Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SINDROM KOMPARTEMEN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Kritis
Dosen : Nunung Liawati, M. Kep.

Disusun oleh:

Kelompok 8

Shendi C1AB21027
Siti Shinta Safitri C1AB21037
Sri Rahayu C1AB21029
Syifa Fauziyah Maqbullah C1AB21031

PROGRAM ALIH JENJANG 13

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI

KOTA SUKABUMI

2022
KATA PENGANTAR
Puja dan Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang
berjudul “Sindroma Kompartemen”

Makalah ini berisikan tentang Latar belakang, rumusan masalah, tujuan juga manfaat
yang nantinya diharapkan Makalah ini memberikan informasi kepada kita semua tentang
“Sindroma Kompartemen”

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata “sempurna”, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya, semoga Allah SWT senantiasa
meridhai usaha kita. Aamiin.

Sukabumi, November 2022

Kelompok 8
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sindrom kompartemen merupakan masalah medis akut setelah


cedera pembedahan, di mana peningkatan tekanan (biasanya disebabkan oleh
peradangan) di dalam ruang tertutup (kompartemen fasia) di dalam tubuh
mengganggu suplai darah atau lebih dikenal dengan sebutan kenaikan tekanan intra-
abdomen. Tanpa pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini dapat menyebabkan
kerusakan saraf dan otot kematian (Arief Muttaqin. 2011)
Sindrom kompartemen terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang
tertutup di otot yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga
menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan
kerusakan pada otot (Novelandi, 2011). Sindrom kompartemen dapat ditemukan pada
tempat dimana otot dibatasi oleh rongga vasia yang tertutup. Daerah yang sering
terkena adalah tungkai bawah, lengan bawah, kaki, tangan, region glutea dan paha
(Parahita, 2013).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi sindrom kompartemen?
2. Bagaimana Patofisiologi pada sindroma kompartemen?
3. Bagaimana proses keperawatan pada Sindroma Kompartemen?
4. Bagaimana manajemen pengobatan Sindroma Kompartemen?
5. Bagaiamana Evidance Based Practice pada Sindroma Kompartemen?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi sindrom kompartemen
2. Untuk mengetahui patofisiologi pada sindrom kompartemen
3. Untuk mengetahui proses keperawatan pada Sindrom kompartemen
4. Untuk mengetahui manajemen pengobatan Sindroma Kompartemen
5. Untuk mengetahui Evidance Based Practice pada Sindroma Kompartemen
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi terjebaknya
otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu
pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah (Zairin 2016 ;Nisa, 2021).
Sindrom kompartemen adalah peningkatan tekanan dari suatu edema
peningkatan tekanan dari suatu edema progresif di dalam kompartemen
osteofasial yang kaku secara otomatis mengganggu sirkulasi otot-otot dan saraf-
saraf intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan
intrakompartemen. Kondisi tersebut terjadi karena peningkatan tekanan didalam
ruang anatomi sempit yang secara akut mengganggu sirkulasi kemudian dapat
mengganggu fungsi jaringan didalam ruang tersebut (Hendry, 2014).
Sindrom kompartemen merupakan gejala toksisitas lokal bisa ular yang
berat. Fasciotomi yang tidak tepat untuk mengatasi sindrom kompartemen pada
kasus gigitan ular dapat mengakibatkan perdarahan pada pasien dengan
koagulopati.
Sindrom kompartemen (Compartment Syndrome atau CS) merupakan salah
satu kedaruratan ortopedi. Identifikasi pasien berisiko tinggi, membuat diagnosis
yang cepat, dan memulai pengobatan efektif adalah langkah krusial dalam
menghindari hasil yang buruk. Apabila CS telah terjadi lebih dari 8 jam, maka
dapat mengakibatkan nekrosis dari saraf dan otot dalam kompartemen. Iskemik
berat yang berlangsung selama 6 – 8 jam dapat menyebabkan kematian otot dan
nervus yang kemudian menyebabkan terjadinya kontraktur Volkman. Sedangkan,
komplikasi sistemik yang dapat dari sindroma kompartemen meliputi gagal ginjal
akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang fatal jika
terjadi kegagalan organ secara multi sistem (Hosseinzadeh dan Talwakar, 2016).
Ada 2 macam Sindrom Kompartemen:
1. Sindrom kompartemen akut
Sindrom kompartemen akut adalah kondisi serius yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan dalam ruang tertutup yang cepat. Jika tekanan cukup tinggi
dan dipertahankan cukup lama, aliran darah menurun menyebabkan nekrosis otot
dan saraf yang terlibat kompartemen. Jika fasiotomi tidak dilakukan, pasien
mungkin akan menderita kontraktur, kelumpuhan, infeksi, dan gangren pada
ekstremitas serta masalah sistemik, seperti mioglobinuria dan gagal ginjal.
Sindrom kompartemen akut paling sering disebabkan oleh fraktur tibia, dan
dapat terjadi sebanyak 17% dari fraktur ini. Kompartemen anterior paling sering
terkena, meskipun berbagai kompartemen sering terlibat. Bentuk trauma lainnya,
seperti cedera, ruptur otot, pukulan langsung ke otot dan luka bakar, juga dapat
menyebabkan sindrom kompartemen. Tekanan langsung, seperti dari gips atau
pakaian anti syok, dapat meningkatkan risiko sindrom kompartemen.
Penyebab non trauma sindrom kompartemen akut lebih jarang ditemukan. Hal
ini termasuk perdarahan ke dalam kompartemen, seperti dapat terjadi pada pasien
antikoagulasi dan sindrom kompartemen setelah infark otot pada diabetes.
Penyebab sindrom kompartemen lainnya yakni iskemik dan kemudian
hiperperfusi yang disebabkan oleh operasi yang lama dalam posisi litotomi. Hal
ini juga dikenal sebagai sindrom kompartemen-well leg dan paling sering terlihat
setelah operasi panggul dan perineum. Faktor risikonya yaitu lamanya prosedur,
besarnya elevasi kaki, banyaknya kehilangan darah perioperatif, dan adanya
penyakit pembuluh darah perifer dan obesitas. Kejadian secara keseluruhan dalam
operasi panggul kompleks mungkin sebanyak 1 dari 500.
2. Sindrom kompartemen kronik
Ini dikenal juga sebagai sindrom kompartemen exertional kronis (CEES) dan
merupakan cedera berlebihan yang paling sering terlihat pada pelari, pengendara
sepeda, dan atlet lainnya dalam olahraga yang butuh berlari, seperti basket dan
sepak bola. Pada CEES, fasia di kaki bagian bawah tidak mengakomodasi 2
peningkatan aliran darah dan perpindahan cairan yang mungkin terjadi dengan
latihan berat. Peningkatan tekanan kompartemen kemudian mengganggu aliran
darah, yang menyebabkan iskemia dan nyeri.
B. Patofisiologi Pada Sindroma Kompartemen

Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal


normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa
memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan
obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara
terusmenerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi.

Fasia merupakan sebuah jaringan yang tidak elastis dan tidak dapat
meregang, sehingga pembengkakan pada fasia dapat meningkatkan tekanan intra-
kompartemen dan menyebabkan penekanan pada pembuluh darah, otot dan saraf.

Pembengkakan tersebut dapat diakibatkan oleh fraktur yang kompleks


ataupun cedera jaringan akibat trauma dan operasi. Aktifitas fisik yang dilakukan
secara rutin juga dapat menyebabkan pembengkakan pada fasia, namun umumnya
hanya berlangsung selama aktifitas.

Patofisiologi sindrom kompartemen mengarah pada suatu ischemic injury.


Dimana struktur intra kompartemen memiliki batasan tekanan yang dapat
ditoleransi. Apabila cairan bertambah dalam suatu ruang yang tetap, maupun
penurunan volume kompartemen dengan komponen yang tetap, akan
mengakibatkan pada peningkatan tekanan dalam kompartemen tersebut.

Perfusi pada jaringan ditentukan oleh Tekanan Perfusi Kapiler atau


Capillary Perfusion Pressure (CPP) dikurangi tekanan interstitial. Metabolisme sel
yang normal memerlukan tekanan oksigen 5-7 mmHg. Hal ini dapat berlangsung
baik dengan CPP rata-rata 25 mmHg dan tekanan interstitial 4-6 mmHg. Apabila
tekanan intra-kompartemen meningkat, akan mengakibatkan peningkatan tekanan
perfusi sebagai respon fisiologis serta memicu mekanisme autoregulasi yang
mengkibatkan “cascade of injury”.

Patofisiologi dari sindrom kompartemen terdiri dari dua kemungkinan


mekanisme, yaitu berkurangnya ukuran kompartemen dan atau bertambahnya isi
kompartemen tersebut. Kedua mekanisme tersebut sering terjadi bersamaan
sehingga menyulitkan untuk mencari mekanisme awal atau etiologi yang
sebenarnya. Edema jaringan parah atau hematom yang berkembang dapat
menyebabkan bertambahnya isi kompartemen sehingga memberi kontribusi pada
mekanisme sindrom kompartemen.
Fasia tidak dapat bertambah volumenya sehingga jika terjadi
pembengkakan pada sebuah kompartemen akan meningkatkan tekanan dalam
kompartemen tersebut. Ketika tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan
darah di kapiler, pembuluh kapiler akan kolaps. Hal ini akan menghambat aliran
darah ke otot dan sel saraf berkurangnya suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf
dan otot akan mengalami iskemia dan mulai mati dalam waktu beberapa jam.
Iskemia jaringan akan menyebabkan edema jaringan. Edema jaringan di dalam
kompartemen menyebabkan tekanan intrakompartemen meningkat yang
mengganggu aliran balik vena dan limfatik pada daerah yang cedera. Jika tekanan
terus meningkat maka perfusi arteri dapat terganggu sehingga menyebabkan
iskemia jaringan yang lebih parah.

Tekanan jaringan rata-rata normal adalah mendekati 0 mmHg pada


keadaan tanpa kontraksi otot. Jika tekanan menjadi lebih dari 30 mmHg,
pembuluh darah kecil akan tertekan yang menyebabkan menurunnya aliran nutrisi.
Selain dengan mengukur tekanan intrakompartemen, dapat pula menghitung
selisih tekanan darah diastolik dengan tekanan intrakompartemen. Jika hasilnya
kurang dari 30 mmHg maka dianggap gawat darurat karena daerah tersebut sudah
terjadi sindrom kompartemen.

Sindrom kompartemen dapat berupa akut maupun kronis. Sindrom


kompartemen akut adalah suatu kegawatdaruratan medis. Tanpa penatalaksanaan,
hal ini dapat berakhir dengan kelumpuhan, hilangnya organ distal, bahkan
kematian. Sedangkan pada sindrom kompartemen kronik bukanlah
kegawatdaruratan medis.

Sindrom kompartemen akut memerlukan waktu beberapa jam untuk


terjadi. Saraf perifer dapat bertahan dalam kompartemen hingga 4 jam setelah
iskemia tanpa terjadi kerusakan permanen, tetapi bila iskemia tanpa terjadi
kerusakan permanen, tetapi bila iskemia pada saraf lebih dari 4 jam, akan terjadi
kerusakan saraf permanen. Otot dapat bertahan sampai 6 jam setelah iskemia
terjadi, sebelum tidak dapat regenerasi lagi. Selanjutnya, otot-otot yang nekrosis
akan digantikan oleh jaringan fibrosa padat yang secara bertahap terbentuk dan
menghasilkan kontraktur kompartemental atau kontraktur iskemia Volkmann. Jika
tekanan tidak segera dihilangkan dengan cepat, ini dapat menyebabkan kecacatan
permanen atau kematian.

C. Proses Keperawatan (Pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, dan


evaluasi)
A. Pengkajian
1. Identitas pasien (Mencakup: Nama, Jenis Kelamin, Umur, Suku, Agama,
Pekerjaan, Alamat)
2. Keluhan Utama
Pasien dengan sindrom kompartemen keluhan utamanya adalah nyeri
3. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Provokes/Pilliates : penyebab nyeri pada pasien sindrom kompertemen
dapat berupa peregangan pasif pada otot-otot yang terkena.
2) Quality : Klien tampak meringis kesakitan akibat nyeri
3) Radiates: nyeri hanya pada bagian ektremitas bawah
4) Severity : skala pada pasien sindrom kompartemen 7-10
5) Time : waktu saat terjadi nyeri pada saat klien mengalami nyeri hebat
4. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki riwayat fraktur ekstermitas,
hipotermi,gigitan ular,luka bakar,
B. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik
Kesadaran: Komposmentis
TTV: TD : 140/90 mmHg
N: 40x/m
R: 16x/m
S:37,5oC
Airway:-
Bhreating :
Circulation : nadi tidak teraba
Disability : Paralysis, parastesia
2. Head To Toe: oedema pada ektremitas
C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan hipertensi
3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi (Herdman & Kamitsuru,
2015) 

D. Penatalaksanaan sindrom kompartemen


Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang tebaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan, semua ahli bedah setuju bahwa
adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi (Hendry, 2014).
1. Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan ini adalah jika diagnosa kompartemen amsih dalam bentuk dugaan
sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan
aliran darah dan akan lebih memperberat iskemi.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kritaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol meredeksi edema seluler,
dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi
sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30
mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot.
Jika tekanannya < 30 mmHg maka tungkai cukup diobservasi dengan
cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan
tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam
fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Insisi ganda pada
tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif,
sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko
kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah fasciotomi dapat
berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi atau
segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot
dapat dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka dapat dijahit (tanpa
regangan) atau dilakukan pencangkokan kulit.
E. Manajemen pengobatan pada sindrom kompartemen
a) Inisial
1. Sindrom Kompartemen Akut
Pengobatan inisial sindroma kompartemen akut adalah pembedahan
2. Sindrom Kompartemen Kronik

Untuk sindroma kompartemen kronik, pengobatan inisial terdiri dari


istirahat, terapi dingin, dan obat antiinflamasi non steroid. Kontrol pronasi dengan
ortotik juga penting. Pasien seharusnya diberikan konseling untuk menghindari
berjalan di permukaan keras dan memakai sepatu lari dengan jumlah bantal yang
cukup dan hak yang lebar. Pijatan telah ditunjukkan pada beberapa penelitian
kecil yang cukup menjanjikan, tetapi dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut
untuk dilakukan pada tempat ini untuk melihat apakah jangka waktu yang panjang
memiliki perubahan yang cukup signifikan dapat dibuat dengan terapi manual
lainnya atau dengan pijatan.

b) REHABILITASI
1. Sindrom Kompartemen Akut

Rehabilitasi sindrom kompartemen akut terbatas pada derajat post


fasiotomi. Rehabilitasi bergantung pada besar luka. Perawatan kulit yang tepat
untuk membuka area terbuka lainnya untuk ditutup dengan maksud sekunder atau
skin grafting yang telah diterapkan sangat penting. Suatu ortotik matakaki untuk
membenarkan kaki yang patah (footdrop) sering dibutuhkan. Terapi fisik
dibutuhkan untuk rentang latihan kelenturan untuk mencegah kontraktur dan
seharusnya dimulai sesegera mungkin setelah pembedahan memungkinkan dan
diperbolehkan untuk mengikat jaringan yang terluka. Penilaian lainnya termasuk
penguatan otot yang mungkin terluka sebagian dan memungkinkan latihan gait
dengan alat assistive. Tidak ada literatur yang mendukung protokol rehabilitasi
spesifik dan begitu pula dengan program yang seharusnya menjadi dasar
individualisasi kebutuhan pasien sendiri. Jika pasien memiki keterbatasan atau
gangguan aktivitas fisik sehari-hari seperti berbaju atau berjalan, terapi
okupasional mungkin dapat menolong.

2. Sindrom Kompartemen Kronik

Rehabilitasi sindrom kompartemen kronik tidak sepenuhnya dieksplorasi.


Karena suatu luka yang terjadi karena tindakan berulang atau berlebihan maka
pengobatan pertama adalah istirahat menyeluruh secara relatif dan analisa tentang
penyebabnya. Sebagai contoh , pemikiran secara umum bahwa CECS lebih terjadi
pada pronasi berlebihan sehingga fokus rehabilitasi untuk panjang otot normal
melalui rantai kinetik khususnya pelebaran melalui latihan tarikan untuk
gastrocnemius dan tibial posterior dan kekuatan tibial anterior.

Sepatu ortosis untuk menambahkan istirahat overpronasi mungkin juga


membantu. Kesalahan latihan seperti peningkatan kecepatan pada intensitas atau
durasi lari harus dibenarkan. Jika fasiotomi dilakukan untuk sindrom
kompartemen kronik, rehabilitasi setelah pembedahan seharusnya diikuti. Berat
yang dibebankan seharusnya dapat ditoleransikan dan rentang kelenturan dan
latihan dmulai 1-2 hari selesai operasi. Penguatan dan pengembalian secara
bertahap untuk memulai aktivitas pada 1-2 minggu. Pemulihan sepenuhnya untuk
beraktivitas seperti berlari biasanya memakan waktu 8-12 minggu.

c) PROSEDUR

Prosedur tidak dilakukan secara umum dalam sindrom kompartemen


kecuali dinyatakan sebelumnya untuk penilaian tekanan kompartemen sebagai
prosedur diagnostik.

d) PEMBEDAHAN
1. Sindroma Kompartemen Akut

Fasiotomi seharusnya dilakukan secepat mungkin untuk sindrom


kompartemen akut. Insisi longitudinal yang besar dibuat untuk mempengaruhi
kompartemen. Insisi ini dibiarkan terbuka agar dapat ditutup secara bertahap atau
dilipat tebal dengan aplikasi skin grafting. Hasil dari pembedahan tersedia dan
bergantung pada lamanya waktu iskemik dan luka lainnya yang terlibat.

Jika pengobatan tertunda lebih dari 12 jam, hal ini diasumsikan bahwa
kerusakan permanen telah terjadi hingga ke otot dan saraf yang terlibat dalam
kompartemen. Terkadang, pasien diatasi dengan perawatan pendukung
(supportive care) seperti managemen nyeri, observasi status ginjal, dan monitoring
cairan. Hal ini dikarenakan peningkatan morbiditas khususnya infeksi dan
kehilangan anggota tubuh dan peningkatan mortalitas ditunjukkan dengan
fasiotomi yang tertunda. Prosedur rekonstruksi yang terlambat dilakukan, jika
penting untuk membenarkan kontraktur otot atau melakukan pemindahan tendon
untuk footdrop.

2. Sindroma Kompartemen Kronik

Fasiotomi juga diandalkan untuk pengobatan pembedahan sindrom


kompartemen kronik dan beberapa peneliti mengemukakan bahwa ada rating
100% kegagalan pada pengobatan konservatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh
populasi pasien dengan masalah ini yang dilihat oleh spesialis baru saja
mengalami kegagalan terapi dengan menggunakan terapi konservatif yang dibuat
berdasarkan diagnosis. Waktu yang cukup dari munculnya onset gejala
berdasarkan waktu diagnosis yang dibuat selama 22 bulan lamanya.

Sindrom kompartemen kronik memiliki tehnik fasiotomi yang berbeda.


Seringnya metode terbaru menggunakan insisi kecil pada kulit dan pengambilan
fascia sejauh linea proksimal dan distal sebagus mungkin dengan menghindari
pembedahan pada saraf dan pembuluh darah. Hasil yang didapat dari pembedahan
pada umumnya adalah baik dengan rating yang cukup sukses yakni sekitar 80%
sampai 90% seperti yang dijelaskan pada pengurangan gejala dan kembalinya
aktifitas olahraga.

D. Evidance based practice pada kasus sindroma kompartemen.


No Topik Peneliti Tahun Metode Populasi & Sample Hasil
1 Kelainan Koagulasi dan Iswandi Darwis 2019 - Dalam Laporan kasus Evaluasi sindrom
Sindrom Kompartemen ini, Seorang wanita, kompartemen diperoleh pain
Ekstremitas Inferior 45 tahun, seorang dan pallor, tanpa paresthesia,
Akibat Gigitan Ular petani. paralysis, poikilothermia, dan
pulselessness. Tindakan
fasciotomi tidak dilakukan
mengingat pasien mengalami
koagulopati. Selama
perawatan dilakukan evaluasi
sindrom kompatemen secara
berkala. Pada tiga hari
pertama terjadi perluasan
ekimosis dari colli dan bahu
posterior ke lateral toraks dan
posterior brachii dekstra.
Setelah itu bengkak
berangsur-angsur mereda
mulai dari bagian leher hingga
lengan atas. Nyeri berkurang
dengan pemberian analgetik
opioid yang dititrasi turun
selama perawatan.
2 Tata laksana gigitan ular AA Gde Putra Semara 2016 - Dalam laporan kasus Pada pemantauan, bengkak
yang disertai sindrom Jaya, I Putu Agus Surya ini, Pasien lelaki usia kaki tidak berkurang selama
kompartemen di ruang Panji 53 tahun, suku Bali, lima hari perawatan.
terapi intensif petani Dilakukan USG Doppler
dengan hasil penyempitan
arteri femoralis, poplitea,
tibialis posterior dan anterior
sinistra karena sindrom
kompartemen akibat udema
ekstremitas inferior.
penyempitan arteri femoralis,
poplitea, tibialis posterior dan
anterior sinistra karena
sindrom kompartemen akibat
udema ekstremitas inferior.
Dari bagian bedah
direncanakan debridement.
3
4
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Nisa, I. M. (2021). Asuhan keperawatan pada pasien post operasi orif fraktur femur dextra
dengan nyeri akut di ruang marjan atas rumah sakit umum daerah DR Slamet Garut.
Darwis, I., Ilmu, D., Dalam, P., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2019). Kelainan Koagulasi
dan Sindrom Kompartemen Ekstremitas Inferior Akibat Gigitan Ular Abnormalities of
Coagulation and Inferior Extremity Compartment Syndrome Due to Snake Bites.
Laporan Kasus, 6, 903–909.
Hosseinzadeh, P dan Talwakar, V.R. (2016). Compartment Syndrome: Diagnosis and
Management The American Journal of Orthopedics;45 (1): 19-22.
Jaya, A. G. P. S., & Panji, I. P. A. S. (2016). Tata laksana gigitan ular yang disertai sindrom
kompartemen di ruang terapi intensif. Medicina, 47(2), 188–193.
https://doi.org/10.15562/medicina.v47i2.90
Herdman, T . H., & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis KeperawatanDefinisi &
Klasifikasi2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika.
Gruendemann, B J. Fernsebner, B. 2006. Buku Ajar: Keperawatan Perioperatif
(Comprehensive Perioperative Nursing) Volume 1 Prinsip. Jakarta: EGC.
Woolley SI, Smith DR. (2006) Acute compartment syndrome secondary to diabetic muscle
infarction: case report and literature review Eur J Emerg Med; 13: 113-116.

Anda mungkin juga menyukai