TUMOR GASTER
1941313007
PROFESI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
Sindrom Kompartement
Gambar 1. Rangka
Laboratorium :
a. Comprehensive metabolic panel (CMP)
Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan
keseimbangan kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu
pada semua proses fisik dan kimia dalam tubuh yang menggunakan
energi.
b. Complete blood cell count (CBC)
Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar :
Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit (White Blood Cell / WBC),
Trombosit (platelet), Eritrosit (Red Blood Cell / RBC), Indeks
Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju Endap Darah atau Erithrocyte
Sedimentation Rate (ESR), Hitung JenisLeukosit (Diff Count),
Platelet Disribution Width (PDW), Red CellDistribution Width
(RDW).
c. Amylase and lipase assessment.
d. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time
(aPTT) bila pasien diberi heparin.
e. Cardiac marker test (tes penanda jantung).
f. Urinalisis and urine drug screen.
g. Pengukuran level serum laktat.
h. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit
pH, laktat dan basa.
i. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
j. Serum myoglobin
k. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab,
tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
l. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat
mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis.
Imaging :
a. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
b. USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam
memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT).
6. Penatalaksanaan
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi
defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah
lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati
sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi
neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.
a. Terapi non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih
dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini
meliputi:
1) Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan
ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena
dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat
iskemi.
2) Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka
dan pembalut kontriksi dilepas.
3) Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindroma kompartemen.
4) Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produkd arah.
5) Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakain
anmanitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi
seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui
kemampuan dari radikal bebas.
b. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai
> 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan
tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mm
Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa
lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik,
evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan
tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal
dan insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering
digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi
tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan
arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat
berarti membuka ke empat kompartemen, kalau perlu dengan
mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau
terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan
sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan), atau dilakukan
pencangkokan kulit.
Terapi untuk sindrom kompartemen biasanya adalah operasi.
Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang
meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup
dengan pembalut steril) dan ditutup pada operasi kedua, biasanya 5
hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan
debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa
regangan), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka
ini.
7. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat trauma permanen yang mengenai otot
dan syaraf yang dapat mengurangi fungsinya. Apabila sindrom
kompartemen lebih dari 8 jam dapat mengakibatkan nekrosis dari syaraf
dan otot dalam kompartemen. Syaraf dapat beregenerasi sedangkan otot
tidak, sehingga jika terjadi infark tidak dapat pulih kembali dan
digantikan dengan jaringan fibrosa yang tidak elastis yaitu kontraktur
iskemik volkmann, yaitu kelanjutan dari sindrom kompartemen akut
yang tidak mendapat terapi selama lebih dari beberapa minggu atau
bulan. Kontraktur Volkmann adalah deformitas pada tangan, jari, dan
pergelangan tangan karena adanya trauma. Sedangkan komplikasi
sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen dapat meliputi
gagal ginjal, sepsis dan acute respiratory distress syndrome ( ARDS )
yang fatal jika terjadi sepsis kegagalan organ secara multi sistem.
B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Nama, Umur, No. RM, Tanggal lahir, Jenis kelamin,
tanggalmasuk, diagnosa medis, alamat
2. Riwayat Kesehatan Pasien
a. Alasan Masuk Rumah sakit
Keluhan Pada pasien Bedah orthopedi yang paling sering adalah
nyeri, akibat dari cidera, fraktur, spasme otot atau cidera
muskuluskeletal.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Memantau keadaan umum pasien dan masalah-masalah yang timbul
berkaitan denga jenis gangguan muskuloskeletal.
c. Riwayat kesehatan lalu
Apakah pasien pernah mengalami gangguan muskuloskeletal atau
pernah melakukan bedah orthopedi sebelumnya, penyakit seperti
hipertensi dan lain sebagainya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang pernah melakukan bedah
orthopedi.
4. Fungsional Gordon
a. Pola persepsi
Pada pasien syndrome kompertament biasanya klien menghubungkan
penyakit yang dideritanya dengan riwayat penyakit yang pernah
dideritanya
b. Pola nutrisi metabolik
Biasanya klien mengalami tidak nafsu makan.
c. Pola eliminasi
Biasanya selama sakit, klien mampu BAB dan BAK kuning jernih, bau
amoniak, dan tidak ada keluhan sebelum sakit maupun selama sakit
d. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya selama sakit untuk makan/minum, perawatan
diri, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah,
ambulasi/ROM, klien memerlukan bantuan orang lain (score 2).
Sedangkan untuk toileting klien memerlukan bantuan orang lain dan
alat (score 3)
0 = Mandiri
1 = Dengan Alat Bantu
2 = Bantuan dari orang lain
3 = Bantuan peralatan dan orang lain
4 = tergantung/tdk mampu
e. Pola tidur dan istirahat
Biasanya selama sakit klien dapat tidur pada malam hari namun
terkadang merasa kualitas tidur yang kurng baik karena nyeri yang
dirasakan.
f. Kognitif persepsi
g. Persepsi dan konsep diri
Biasanya selama sakit klien mengalami gangguan pada tungkai, klien
mengatakan nyeri , nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan
skala nyeri sedang hingga berat.
h. Peran hubungan
Biasanya pola hubungan peran, sebelum sakit maupun selama sakit
hubungannya dengan keluarga, saudara, tetangga-tetangganya baik
dan tidak ada masalah.
i. Seksualitas
j. Koping toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang
negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain,
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif / adaptif.
k. Nilai keprercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tidak
menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi pola ibadah penderita.
5. Diagnosa Keperawatan