Anda di halaman 1dari 2

.

Menurut Agus Dwiyanto dalam bukunya yang berjudul Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik menyatakan bahwa penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup dilakukan
dengan menggunakan indikator yang melekat pada birokrasi itu, seperti efisiensi dan efektivitas,
tetapi juga harus dilihat dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti
kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas (Agus Dwiyanto, 2006 : 49 ).

Dwiyanto (2002) mengemukakan terdapat 5 indikator untuk mengukur


kinerja organisasi, yaitu:
a) Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umunya dipahami sebagai rasio
antara input dan output. Produktivitas adalah suatu tingkat prestasi
organisasi dalam mencapai tujuan, artinya sejauh mana tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai.

b) Kualitas layanan:
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjalankan kinerja organisasi publik. Banyak pandangan yang negatif yang
muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang
diterima organisasi publik. Dengan demikian kepuasan masyarakat terhadap
layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik.
c) Responsivitas:
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Sebagai salah satu indikator kinerja responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan
misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara
pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan
kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik.
d) Responsibilitas:
Menjelaskan/mengukur kesesuaian pelaksanaan kegiatan organisasi publik
yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau
sesuai dengan kebijakan organisasi.
e) Akuntabilitas:
Seberapa besar kebijakan dan kegiatan publik tunduk pada para pejabat
politik yang dipilih oleh rakyat atau ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian
penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau
norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki para
stakeholders18.

Sekalipun demikian, ada gejala baru di Era Reformasi yakni terpilihnya beberapa
wali nagari perempuan di beberapa nagari (nama kesatuan wilayah administratif dan
wilayah adat setingkat desa di Minangkabau, Sumatera Barat). Pemilihan wali nagari
dengan sistem langsung ternyata dapat membuka kesempatan kepada perempuan untuk
tampil lebih jauh di panggung politik nagari-nagari, yang selama ini didominasi lakilaki.
Terpilihnya wali nagari perempuan di Batu Basa (Kabupaten Tanah Datar) di awal
Era Reformasi, sebagai salah satu dari sedikit nagari di Sumbar yang memiliki wali
nagari perempuan di awal reformasi,2 tentu menarik dicermati. Di tengah gencarnya
sorotan atas rendahnya partisipasi dan kiprah kepemimpinan politik perempuan di
Era Reformasi, masyarakat nagari tersebut ternyata mampu menampilkan wali nagari
perempuan sebagai hasil pilihan rakyat.

Sebaliknya ada pula anggapan perbedaan antara perempuan dan laki-laki


dalam kepemimpinan. Perempuan malah diasumsikan cenderung mengadopsi gaya
kepemimpinan yang lebih demokratik. Mereka mendorong partisipasi, berbagi
kekuasaan dan informasi, dan mencoba meningkatkan kemanfaatan bagi pengikutnya.
Mereka cenderung memimpin dengan pelibatan atau pemberdayaan dan mendasarkan
pada kharisma, keahlian, kontak, dan keahlian interpersonal dalam mempengaruhi orang
lain. Sementara laki-laki cenderung menggunakan gaya yang mendasarkan pada kontrol
dan perintah (direction). Kepemimpinan pada laki-laki lebih mendasarkan pada jabatan
otoritas formal sebagai dasar baginya untuk melakukan pengaruhnya. (Sudarmo, 2009)

Anda mungkin juga menyukai