Anda di halaman 1dari 2

Berikan pandangan Saudara tentang dampak pelaksanaan desentralisasi dan demokrasi

di Indonesia!

Jawaban Belum

Mohon izin Bapak Tutor yang saya hormati dan rekan-rekan sekalian untuk dapat
menambahkan diskusi pada sesi kesembilan. Menurut pendapat saya, hubungan antara
desentralisasi dan demokrasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan. Semenjak adanya reformasi
pasca pemerintahan orde baru, tuntutan akan keterbukaan semakin besar. Namun
kenyataannya menurut Simanjuntak (2015: 111) dalam Bachtiar (2018) desentralisasi dipercaya
telah kehilangan makna dan tujuannya. Lebih jauh lagi, desentralisasi saat ini dimaknai
perpindaah kekuasaan dari pusat ke daerah, menjadikan dinasti politik di tingkat daerah yang
dikuasai oleh elit-elit politik yang kuat. Mengutip Suaib dan Zuada (2015: 51) dalam Bachtiar
(2018) akibatnya pemerataan pembangunan tidak merata dan pusat korupsi bergeser ke
daerah otonom, inilah tantangan dalam desentralisasi saat ini, antara kekuasan politik dan
pemerataan pembangunan. Pengaruh elit-elit politik lokal sangat dominan. Dominannya peran
partai-partai politik di suatu daerah pada satu sisi mendorong partisipasi publik yang positif,
namun disatu sisi jabatan-jabatan strategis pada pemerintah daerah bukan rahasia lagi kalau
ditempati oleh orang-orang titipan pemenang pilkada didaerah tersebut. Hal ini bisa merusak
tatanan administrasi pemerintah serta mengganggu jenjang karir ASN, sehingga dapat
menyuburkan tindakan kecurangan akibat balas jasa tersebut (Haning: 2015, xvii-xviii).

Desentralisasi dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak negatif desentralisasi tidak
terlepas dari dampak politik demokrasi yang berjalan beriringan. Misalnya Ghozali, et.al (2018)
menyebutkan dampak negatif desentralisasi adalah meningkatkan perilaku koruptif. Pelimpahan
kewenangan pusat ke daerah pada awalnya bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat, memudahkan pengelolaan sumber daya manusia kepada kearifan lokal, dan
mendistribusikan ruang fiskal kepada daerah. Pelayanan publik yang diharapkan membaik tetap
sama saja dan tidak berkembang. Mengutip Bachtiar (2018), bahwa perilaku ASN tidak juga
berubah dan tetap mempertahankan budaya-budaya pada saat orde baru. Hal ini menciptakan
penyalahgunaan wewenang yang berdampak pada korupsi dibanding harus memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat. Ghozali, et.al (2018) juga menyebutkan bahwa elit yang
dekat sumber kekuasaan memiliki akses terhadap sumber daya alam apabila otonomi daerah
dan desentralisasi di implementasikan kepada pemerintah daerah. Ini menunjukkan
perekonomian dan kekuasaan berpusat pada elit lokal yang berujung pada pembentukan
dinasti lokal. Hal ini seperti lingkaran setan (vicious circle) dimana biaya politik yang tinggi
menyebabkan kondisi rentan akan perilaku koruptif dari kepada daerah. Kurang kompetennya
pimpinan daerah berdampak pada ASN yang berada di bawah kepada daerah. Ini sejalan
dengan pendapat Alfada (2019) yang mengemukakan bahwa kapasitas ASN, menjadi salah
satu penyebab meningkatnya perilaku koruptif di daerah. Pimpinan pemerintah daerah
seharusnya menjadi pionir, menjadi tauladan bagi bawahannya dan masyarakat yang
dipimpinnya sehingga menjadi contoh yang bagus dan menciptakan nilai serta budaya yang
positif.

Desentralisasi dan demokrasi juga memiliki dampak yang positif. Bachtiar (2018) menyebutkan
dampak positif itu antara lain adalah partisipasi publik yang semakin baik. Indeks demokrasi
dengan adanya partisipasi yang baik akan semakin meningkat. Peran kontrol masyarakat dalam
dunia demokrasi semakin tinggi terhadap setiap aktivitas birokrasi. Masyarakat diharapkan
memainkan peranan penting dalam mengawasi aktivitas birokrasi pada sektor publik (Afala:
2017). Dampak positif lainnya adalah bermunculan calon-calon pemimpin yang potensial dan
amanah. Ini bisa dipahami bahwa calon pemimpin yang diusung partai politik maupun
independen tidak selamanya kurang kompeten. Banyak calon-calon yang potensial memajukan
daerahnya dengan tetap berkomiment akan pemberantasan korupsi.

Kekurangan penerapan desentralisasi ini diIndonesia seperti dikutip dalam Alfada (2019) adalah
kelemahan dalam pengawasan serta lemahnya audit oleh pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Padahal kenyataannya di beberapa negara penerapan desentralisasi meningkatkan
pelayanan kepada publik, meminimalisir tindak pidana korupsi, dan menjadikan tata kelola
pemerintah yang baik. Pemerintah sendiri untuk mengawal proses desentralisasi ini
mengimplementasikan reformasi birokrasi. Tahap pertama reformasi birokrasi adalah merubah
sistem dan kelembagaan dengan mereformasi regulasi dan budaya organisasi pada level
nasional dan perlahan diimplementasikan di level regional. Fokusnya adalah menciptakan clean
government yang bebas dari KKN, peningkatan kualitas layanan publik, dan peningkatan
kapabilitas dan akuntabilitas terhadap pejabat baik di level nasional maupun lokal Afala (2017).
Harapan bebas KKN dengan mengimplementasikan wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan
wilayah bebas dan bersih melayani (WBBM) pada unit organisasi pemerintah yang dilombakan
antar instansi pemerintah. Adapun peningkatan kualitas layanan publik juga termasuk dalam
komponen kator/instansi pemerintah yang menerapkan WBK/WBBM dengan inovasi-inovasi
layanan publiknya. Dan yang terakhir adalah program peningkatan kapasitas ASN dengan nilai-
nilai barunya, misalnya dengan kewajiban menyampaikan laporan harta kekayaan bagi pejabat
untuk mendukung budaya yang anti korupsi. Bisa juga dengan melakukan assessment/lelang
jabatan dengan seleksi dilakukan oleh konsultan independen. Dengan langkah-langkah di atas,
tidak hanya pembenahan kepada manusianya, namun juga pembenahan kepada sistem dan
kelembagaan yang menjadi fokus utama reformasi birokrasi dalam mengawal desentralisasi
dan proses demokrasi.

Sumber:

Afala, Laode Machdani. (2017). Pasang Surut Reformasi Birokrasi Dalam Transisi Demokrasi
Indonesia. Jurnal Transformative: Vol. 3 No. 1 Maret 2017, hal 15-39.

Alfada, Anisah. (2019). Does Fiscal Decentralization Encourage Corruption in Local


Governments? Evidence from Indonesia. Journal of Risk and Financial Management: Vol. 12
No. 118, hal: 1-14.

Bachtiar, Rizki. (2018). The Impact Of Decentralisation On Public Sector Corruption In


Indonesia. Publisia: Jurnal Ilmu Administrasi Publik: Vol. 3 No. 2, Oktober 2018, hal: 83-94.

Ghozali, Imam; Ratmono, Dwi; Harto, Puji; Rohman, Abdul; Ulum, Akhmad Samsul. (2018). The
Role of Natural Resources on Moderating the Relationship between Fiscal Decentralization and
Corruption: Evidence from Indonesia. International Journal of Energy Economics and Policy:
Vol. 9 No. 1, hal: 67-75.

Haning, Muhamad Thahir. (2015). Reformasi Birokrasi: Desain Organisasi yang Mendukung
Pelayanan Publik di Indonesia. Yogyakarta: Ilmu Giri Yogyakarta.

Suwitri, Sri., Dwimawanti, Ida Hayu., dan Warsono, Hardi. (2019) Teori Administrasi. Tangerang
Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai