Anda di halaman 1dari 6

Wacana:

Kepatuhan Wajib Pajak Ditengah Pandemi COVID-19

Oleh: Supriyati

Pengurus IAI Wilayah Jawa Timur Bidang Akuntan Pajak dan Dosen STIE Perbanas Surabaya

Selama bertahun-tahun negara kita masih belum mampu mencapai maksimum target penerimaan
pajak. Berbagai kebijakan dan fasilitas pemerintah diterapkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib
pajak dalam hal membayar maupun melaporkan kewajiban perpajakannya. Kepatuhan wajib pajak
masih menjadi masalah yang sangat kompleks dan melanda hampir semua negara. Selama ini ada aspek
besar yang mempengaruhi, yaitu aspek diri wajib pajak dan aspek aparat pajak. aspek diri wajib pajak
diantaranya demografi, faktor keluarga, faktor budaya, faktor agama, faktor sosial dan lingkungan, dan
faktor diri lainnya (motivasi dan kepercayaan). Aspek aparat pajak meliputi otoritas pajak, sistem
administrasi perpajakan, layanan aparat pajak, dan langkah pemeriksaan pajak. Masalah ini perlu
disikapi dengan arif dan bijak oleh pemerintah karena tidak mudah membangkitkan kesadaran dan
kerelaan membayar dan melaporkan pajak.

Ditengah pandemi COVID-19 sekarang ini yang belum dapat dipastikan kapan akan berakhir tentu
mempengaruhi realisasi penerimaan pajak tahun 2020. Kondisi perekonomian yang belum stabil
mempengaruhi banyak aspek. Omzet perusahaan mengalami penurunan, pendapatan masyarakat
berkurang, kesempatan kerja menurun, tingkat pendidikan masyarakat susah dijangkau karena
ketiadaan biaya pendidikan. Aspek sosial dan psikologis masyarakat juga berpengaruh seperti masih ada
rasa ketakutan akan bahaya COVID-19, kegalauan akan masa depan, kebingungan mencari alternatif
penghasilan, keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam hidup. Walaupun kondisi ini mungkin terjadi
dalam periode pendek, namun mempengaruhi sikap mental seseorang termasuk kemauan dan
kesadaran membayar pajak. Perubahan kebijakan baik oleh pemerintah maupun pimpinan perusahaan
ikut terpengaruh oleh pandemi ini.

Hasil penelitian supriyati et al. (2018) berdasarkan motivational posture (Braithwaite, 2003)
menunjukkan memang motif yang berasal dari diri individu sangat kuat mempengaruhi perilaku patuh
atau tidak. Pandangan wajib Pajak terhadap otoritas pajak dan sistem perpajakan yang berlaku tidak
banyak mempengaruhi perilaku wajib pajak. Wajib pajak menganggap apa yang dilakukan pemerintah
kepada masyarakat sebagai sebuah kewajiban dan akan selalu dilakukan sepanjang masa. Namun, aspek
yang penting mempengaruhi wajib pajak adalah strategi pemeriksaan dan sanksi pajak. Strategi
pemeriksaan pajak secara random masih efefktif dilakukan agar wajib pajak patuh. Dan, Sanksi pajak
yang semakin tinggi mendorong wajib pajak lebih patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Kondisi tahun 2020 yang terjadi saat ini tentu akan sulit bagi masyarakat untuk berperilaku patuh,
bahkan mungkin wajib pajak bersedia dikenakan sanksi pajak yang besar. Hanya wajib pajak sektor
industri tertentu (pertanian, perkebunan, perikanan dan sumberdaya alam lain) maupun wajib pajak
berpenghasilan tetap yang bertahan mengamankan kondisi menjadi wajib pajak patuh, sementara
banyak wajib pajak yang tidak memiliki kemampuan membayar pajak. Kebijakan pemerintah yang
diperlukan saat ini diarahkan untuk:

Memperluas fasilitas pajak yang tidak hanya pada PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 25 dan PPN.

Memperluas KLU yang sementara hanya 1.062.

Menghapus sanksi pajak yang cukup berat.

Menjalankan pemeriksaan pajak secara random dan ajeg.

Meningkatkan kedekatan dengan wajib pajak melalui sosialisasi dan konsultasi terkait beberapa
kebijakan pajak baru.

Memperluas jejaring dengan praktisi pajak dan akademisi yang menjadi media komunikasi dengan wajib
pajak maupun calon wajib pajak.

Sumber: https://www.iaijawatimur.or.id/course/interest/detail/5

Pertanyaan:

Bagaimana dampak kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak?

Strategi apa saja yang menurut Saudara perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan
kepatuhan wajib pajak?
Insentif pajak apa saja yang dapat diberikan pemerintah agar wajib pajak tertarik untuk membayar
pajak?

Salam, Bapak Tutor YSH, izin menambahkan diskusi sesi keempat ini.

Bagaimana dampak kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak?

Perubahan gaya hidup termasuk dalam bekerja menyebabkan tatanan kehidupan baru bagi masyarakat.
Dengan melakukan jaga jarak, mencuci tangan, dan mengenakan masker menjadi pola hidup baru
ditengah-tengah komunitas saat ini. Dalam pekerjaan meskipun dapat dilaksanakan secara daring, tidak
serta merta setiap bidang pekerjaan dapat dilakukan secara daring. Hal ini dapat berdampak pada
kapasitas produksi perusahaan, yang pada ujungnya dapat menyebabkan penurunan laba. Belum lagi
penurunan laba dari hasil produksi yang tidak terjual karena daya beli dan konsumsi masyarakat turun.
Ini diduga dapat berdampak pada kepatuhan wajib pajak pada penerimaan pajak. Mengutip siaran pers
Kanwil Pajak Jawa Tengah I (https://pajak.go.id/sites/default/files/2020-07/10%20-%20KONPERS
%20SEMESTER%20I%202020.pdf) terkait dengan kinerja perpajakan lingkup kerjanya, ditemukan bahwa
kepatuhan perpajakan di Kanwil Pajak Jawa tengah I pada semester I 2020 lebih rendah 13% dibanding
target nasional yang ditetapkan atau 86% atau sebesar 956.225 WP SPT. Selisih yang cukup besar ini
cukup mengkhawatirkan. Meskipun penerimaan pajak tidak menjadi penyumbang utama penerimaan
Negara, namun, perputaran perekonomian yang dapat berdampak pada penerimaan pajak cukup
menggangu arus kas pemerintah.

Pemerintah saat ini telah menerapkan adaptasi kebiasaan baru (AKB) untuk dapat mendongkrak
perekonomian. Mekanisme fiskal untuk menekan tekanan resesi telah dilakukan pemerintah melalui
program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Namun demikian, dampak pandemi terhadap sektor riil
cukup dalam. Berbagai sektor dan tingkatan level ekonomi masyarakat terdampak pandemi ini. Namun
demikian, faktor kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak tidak serta merta dipengaruhi oleh
pandemi corona ini. Kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak, mengutip Supriyati (2011) secara
signifikan dipengaruhi oleh pengetahuan pajak, sedangkan variable persepsi wajib pajak petugas pajak
dan persepsi terhadap kriteria wajib pajak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan
membayar pajak. Penelitian lain diungkapkan Jotopurnomo dan Mangonting (2013) ditemukan bahwa
kesadaran wajib pajak, kualitas pelayanan, pengenaan sanksi pajak, dan lingkungan wajib pajak
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajaknya.

Apabila kita melihat hasil penelitian di atas dengan keadaa saat ini, dimana salah satunya adalah
lingkungan wajib pajak berada dapat menyebabkan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak membayar
pajak, dapat kita bandingkan dengan kondisi saat ini, dimana lingkungan serba dibatasi termasuk usaha
maka dapat berdampak pada penerimaan Negara. Dampak lainnya kualitas layanan, karena layanan
pada saat pandemi tidak dilakukan secara maksimal, dapat saja wajib pajak merasa tidak diperhatikan
terkait pelayanan yang diperlukannnya, hal ini dapat menimbulkan persepsi ketidakpedulian fiskus
terhadap wajib pajak. Dampak yang dirasakan tentunya berkurangan penerimaan Negara dari sektor
perpajakan.
Strategi apa saja yang menurut Saudara perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan
kepatuhan wajib pajak?

Mengutip laman https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f1f73403e162/pasca-pandemi--


pemerintah-siapkan-2-strategi-optimalkan-penerimaan-pajak/, upaya Ditjen Pajak untuk meningkatkan
kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak antara lain melalui kesadaran sukarela (voluntary
compliance), pengawasan kepatuhan, dan reformasi bidang perpajakan. Menurut saya ketiga langkah ini
cukup strategis untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, mengingat kondisi perekonomian yang
sedang lesu. Pertama, kesadaran sukarela, contohnya seperti kesadaran UMKM dalam membayar pajak
dengan perhitungan yang lebih sederhana, mudah, dan senantiasa diberikan asistensi kepada UMKM
(https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/kajian%20pph%20final%20umkm_pkpn.pdf). Kedua
pengawasan kepatuhan dalam hal ini Ditjen Pajak dapat memaksimalkan data serta pengelolaan risiko
dari database wajib pajak yang telah dimilikinya dengan pengawasan yang terstruktur dan terarah.
Misalnya dengan pengawasan dan pemeriksaan yang efektif memanfaatkan basis data yang dilanjutkan
dengan penagihan. Yang terakhir adalah dengan reformasi perpajakan, Pemerintah melalui Ditjen Pajak
selama ini berupaya untuk terus melakukan reformasi perpajakan. Adapun target perubahan reformasi
perpajakan mengutip Sumantry (2011) antara lain pelayanan dasar kepada wajib pajak berupa
paradigma pelayanan yang diberikan kepada wajib pajak. Adapun reformasi perpajakan mencakup :
administrasi menggunakan teknologi informasi, kemudahan pembayaran pada bank/kantor
pembayaran/fintech, pelaporan menggunakan media daring (eSPT), dan dilakukan monitoring secara
ketat terkait kewajiban perpajakan wajib pajak.

Insentif pajak apa saja yang dapat diberikan pemerintah agar wajib pajak tertarik untuk membayar
pajak?

Dalam rangka meningkatkan penerimaan dari perpajakan di tengah masa pandemi ini, pemerintah
melalui Ditjen Pajak memberikan beberapa insentif pajak agar wajib pajak tertarik membayar pajak.
Mengutip https://nasional.kontan.co.id/news/asyik-seluruh-insentif-pajak-diperpanjang-hingga-
desember-2020, terdapat beberapa insentif yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak, antara lain:

1. Insentif pajak penghasilan pasal 21. Insentif ini diberikan kepada karyawan/pegawai yang
bergerak di 1.189 bidang industri yang telah ditentukan. Dengan pemberian insentif ini
diharapkan karyawan/pegawai dapat memanfaatkan penghasilan tambahan berbentuk pajak
yang tidak dipotong untuk kemudian dibelanjakan sehingga dapat sekaligus memberikan
manfaat meningkatkan konsumsi sekaligus meningkatkan penerimaan pajak dari sektor lainnya.
2. Insentif pajak UMKM. UMKM menjadi salah satu pihak yang paling terdampak selama masa
pandemi covid ini. Mengutip Baker & Judge (2020) dalam Sugiri (2020), UMKM banyak yang
menutup tempat usaha sementara, yang berdampak pada arus kas usaha. Arus kas yang kurang
baik tentunya berpengaruh terhadap laba yang berdampak seterusnya kepada pendapatan
pajak yang harusnya dibayar UMKM.
3. Insentif pajak penghasilan pasal 22 impor. Insentif PPh ini diberikan kepada 721 perusahaan di
bidang industri tertentu. Dengan adanya insentif pajak penghasilan, maka diharapkan dapat
meningkatkan kinerja dan kapasitas perusahaan.
4. Insentif pembayaran angsuran pajak penghasilan pasal 25. Fasilitas ini diberikan kepada
perusahaan yang masuk ke dalam 1.013 perusahaan bidang industri tertentu. Insentifnya
berupa pengurangan angsuran pembayaran PPh pasal 25 sejumlah 30% dari yang seharusnya
terutang. Fasilitas ini menurut saya diharapkan dapat meningkatkan arus kas perusahaan,
karena disaat yang sama perusahaan yang seharusnya membayar PPh pasal 25 sebagaimana
terutang, cukup membayar pengurangan sebesar 30%.
5. Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Keringanan berupa percepatan pembayaran
pengembalian (restitusi) pajak. Fasilitas ini diharapkan dapat membantu penerimaan pajak
pemerintah dari sektor lainnya. Misalnya dari karena mendapatkan restitusi, perusahaan dapat
menggunakan sumber dana restitusi untuk aktivitas produksi yang menghasilkan barang/jasa
untuk kemudian diedarkan ke masyarakat sehingga dapat meningkatkan potensi penerimaan
perpajakan.

Selain insentif atau relaksasi atas perpajakan sebagaimana diuraikan di atas, terdapat fasilitas
perpajakan lainnya yang dapat meningkatkan penerimaan pajak. Mengutip https://www.online-
pajak.com/st/seputar-efaktur-ppn/kebijakan-insentif-pajak, beberapa kebijakan itu antara lain
Penurunan tarif pajak penghasilan badan dari yang sebelumnya sebesar 25% menjadi sebesar 22%
untuk tahun 2020 dan 2021, kemudian menjadi sebesar 21% di tahun 2022. Penurunan ini
diharapkan dapat memacu kinerja perusahaan.

PUSTAKA:

Ikhsan, M. (2019). Administrasi Keuangan Publik. Modul 1-12, Penerbit Universitas Terbuka: Tangerang
Selatan.

Jotopurnomo, C dan Mangonting, Y. (2013). Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Kualitas Pelayanan Fiskus,
Sanksi Perpajakan, Lingkungan Wajib Pajak Berada terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di
Surabaya. Tax & Accounting Review: Vol. 1(1), 49-54.

Sugiri, D. (2020). Menyelamatkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dari Dampak Pandemi Covid-19.
Fokus Bisnis: Media Pengkajian Manajemen dan Akuntansi: Vol 19(1), Juli 2020, 76-86.

Sumantry, D. (2011). Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum Yang Seimbang Antara Wajib
Pajak Dengan Fiskus Sebagai Pelaksanaan Terhadap Undang-Undang Perpajakan. Jurnal Legislasi
Indonesia: Vol. 8(1), April 2011, 13-28

Supriyati. (2011). Pengaruh Pengetahuan Pajak dan Persepsi Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak. Vol. 1(1), Januari 2011, 27-36.

https://pajak.go.id/sites/default/files/2020-07/10%20- %20KONPERS%20SEMESTER%20I%202020.pdf
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f1f73403e162/pasca-pandemi--pemerintah-siapkan-2-
strategi-optimalkan-penerimaan-pajak/

https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/kajian%20pph%20final%20umkm_pkpn.pdf

https://nasional.kontan.co.id/news/asyik-seluruh-insentif-pajak-diperpanjang-hingga-desember-2020

https://www.online-pajak.com/st/seputar-efaktur-ppn/kebijakan-insentif-pajak

Anda mungkin juga menyukai