Anda di halaman 1dari 16

2.2.

Fraktur Humerus
2.2.1. Definisi
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus.2
2.2.2. Etiologi
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.2
Trauma dapat bersifat2:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan jaringan
lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih
jauh dari daerah fraktur.
Tekanan pada tulang dapat berupa2:
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik sebagian tulang
2.2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, fraktur diafisis humerus terjadi sebanyak 1,2% kasus dari
seluruh kejadian fraktur, dan fraktur proksimal humerus terjadi sebanyak 5,7% kasus
dari seluruh fraktur.7 Sedangkan kejadian fraktur distal humerus terjadi sebanyak
0,0057% kasus dari seluruh fraktur.8 Walaupun berdasarkan data tersebut fraktur distal
humerus merupakan yang paling jarang terjadi, tetapi telah terjadi peningkatan jumlah
kasus, terutama pada wanitu tua dengan osteoporosis.8
Fraktur proksimal humerus sering terjadi pada usia dewasa tua dengan umur
rata-rata 64,5 tahun. Sedangkan fraktur proksimal humerus merupakan fraktur ketiga
yang paling sering terjadi setelah fraktur pelvis dan fraktur distal radius. Fraktur
diafisis humerus lebih sering pada usia yang sedikit lebih muda yaitu pada usia ratarata 54,8 tahun.7
2.2.4. Klasifikasi
Fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Fraktur Proximal Humerus
2. Fraktur Shaft Humerus
3. Fraktur Distal Humerus

2.2.4.1.

Fraktur Proksimal Humerus(9,10)

Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang terkait
dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1.
Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan
kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat terjadi
karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor.
Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu, trauma
langsung, kejang, proses patologis: malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada saat
digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding dada dan
pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan dengan cedera toraks.

Menurut Neer, proksimal humerus dibentuk oleh 4 segmen tulang:


1. Caput/kepala humerus
2. Tuberkulum mayor
3. Tuberkulum minor
4. Diafisis atau shaft
Klasifikasi menurut Neer, antara lain:
1. One-part fracture : tidak ada pergeseran fragmen, namun terlihat garis fraktu
2. Two-part fracture :

3.

4.
5.
6.

anatomic neck
surgical neck
Tuberculum mayor
Tuberculum minor
Three-part fracture :
Surgical neck dengan tuberkulum mayor
Surgical neck dengan tuberkulum minus
Four-part fracture
Fracture-dislocation
Articular surface fracture

I
MINIMAL
DISPLACEMENT
2-PART

3-PART

4-PART

II
ANATOMICAL NECK

III
SURGICALL NECK

IV
GREATER TUBEROSITY

V
LESSER TUBEROSITY
ARTICULAR
SURFACE

VI
FRACTURE
DISLOCATION

A
P

2.2.4.2.

Fraktur Shaft Humerus(9)

Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi. 60% kasus adalah fraktur
sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proximal diafisis dan 10% sepertiga

distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara langsung maupun tidak
langsung.
Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri, bengkak, deformitas, dan
dapat terjadi pemendekan tulang pada tangan yang fraktur. Pemeriksaan
neurovaskuler adalah penting dengan memperhatikan fungsi nervus radialis. Pada
kasus yang sangat bengkak, pemeriksaan neurovaskuler serial diindikasikan untuk
mengenali tanda-tanda dari sindroma kompartemen. Pada pemeriksaan fisik terdapat
krepitasi pada manipulasi lembut.
Deskripsi klasifikasi fraktur shaft humerus :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Fraktur terbuka atau tertutup


Lokasi : sepertiga proksimal, sepertiga tengah, sepertiga distal
Derajat : dengan pergeseran atau tanpa pergeseran
Karakter : transversal, oblique, spiral, segmental, komunitif
Kondisi intrinsik dari tulang
Ekstensi artikular

2.2.4.3. Fraktur Distal Humerus9


Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar 2% untuk
semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian fraktur
humerus.(9)
Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat terjadi karena trauma langsung atau
trauma tidak langsung. Trauma langsung contohnya adalah apabila terjatuh atau
terpeleset dengan posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena siku
tangan terbentur atau dipukul benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila jatuh
dalam posisi tangan menopang tubuh namun posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal
ini biasa terjadi pada orang dewasa usia pertengahan atau wanita usia tua.(9,10)
Gejala klinis dari fraktur ini antara lain pada daerah siku dapat terlihat
bengkak, kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien akan mengeluhkan siku
lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari perabaan (palpasi) terdapat nyeri tekan,
krepitasi, dan neurovaskuler dalam batas normal.(9,10)
1. Suprakondiler Fraktur
Fraktur suprakondilus merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai
daerah siku, dan sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus adalah
fraktur yang mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus. Pada fraktur
jenis ini dapat dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension type
(pergeseran posterior) dan flexion type (pergeseran anterior) berdasarkan pada

bergesernya fragmen distal dari humerus. Jenis fleksi adalah jenis yang jarang
terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui
benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan dengan siku
dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen distal humerus akan
terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus.(11)
Fraktur humerus suprakondiler jenis fleksi pada anak biasanya terjadi
akibat jatuh pada telapak tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku
dalam posisi sedikit fleksi. Pada pemeriksaan klinis didapati siku yang bengkak
dengan sudut jinjing yang berubah. Didapati tanda fraktur dan pada foto rontgen
didapati fraktur humerus suprakondiler dengan fragmen distal yang terdislokasi ke
posterior.(11)
Gambaran klinis, setelah jatuh anak merasa nyeri dan siku mengalami
pembengkakan, deformitas pada siku biasanya jelas serta kontur tulang abnormal.
Nadi perlu diraba dan sirkulasi perlu diperiksa, serta tangan harus diperiksa untuk
mencari ada tidaknya bukti cedera saraf dan gangguan vaskularisasi, sehingga bila
tidak diterapi secara cepat dapat terjadi: "acute volksman ischaemic" dengan
tanda-tanda: pulseless; pale; pain; paresa; paralysis.(11)
Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari
dan ekstensi jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Juga didapati gangguan
sensorik pada bagian dorsal serta metacarpal I. Pada lesi saraf ulnaris didapati
ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan adduksi jari. Gangguan
sensorik didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi saraf medianus didapati
ketidakmampuan untuk gerakan oposisi ibu jari dengan jari lain. Sering didapati
lesi pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada cabangnya yang disebut saraf
interoseus anterior. Di sini didapati ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan
fleksi.
a. Pada Dewasa
Fraktur suprakondilus extension type
Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada tangan yang
terekstensi. Humerus patah tepat di atas condilus. Fragmen distal terdesak
ke belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi) terpuntir ke
dalam. Ujung fragmen proksimal yang bergerigi mengenai jaringan lunak
bagian anterior, kadang mengenai arteri brachialis atau n. medianus.
Periosteum posterior utuh,sedangkan periosteum anterior ruptur; terjadi
hematom fossa cubiti dalam jumlah yang signifikan.(11)

Fraktur suprakondilus flexion type


Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung pada
sendi siku pada distal humeri.(11)

b. Pada Anak
Angka kejadiannya pada anak sekitar 55% sampai 75% dari semua fraktur siku.
Insidensi puncaknya adalah pada anak berusia 5-8 tahun. 98% dari fraktur
suprakondiler pada anak adalah fraktur suprakondiler tipe ekstensi. Gejala
klinisnya adalah bengkak, nyeri pada daerah siku pada saat digerakkan. Dapat
ditemukan Pucker Sign, cekungan dari kulit pada bagian anterior akibat
penetrasi dari fragmen proximal ke muskulus brakhialis. Pada anak, fraktur
suprakondiler dapat diklasifikasikan menurut Gartland.(9)
Klasifikasi Gartland(9)
Tipe I
:
tidak ada pergeseran
Tipe II
:
ada pergeseran dengan korteks posterior intak, dapat
disertai angulasi atau rotasi
Tipe III :
pergeseran komplit; posteromedial atau posterolateral
2. Transkondiler Fraktur(9)
Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik.
3. Interkondiler Fraktur(9)
Pada dewasa, jenis fraktur ini adalah tipe paling sering diantara tipe fraktur
humerus distal yang lain.
Klasifikasi menurut Riseborough and Radin:
Tipe I : fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis fraktur
Tipe II : terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen
kondilus
Tipe III : pergeseran dengan rotasi
Tipe IV : fraktur komunitif berat dari permukaan artikular
4. Kondiler Fraktur(9)
a. Pada Dewasa
Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan fraktur kondilus lateral.
Klasifikasi menurut Milch :
Tipe I : penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius dan ulna
Tipe II : terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan
kapsuloligamen
b. Pada Anak
Lateral Condyler Physeal Fractures(9)
Pada anak, kejadian fraktur jenis ini adalah sebanyak 17% dari seluruh
fraktur distal humerus. Usia puncaknya adalah pada saat anak berusia 6
tahun.

Klasifikasi Milch :

Tipe I

: garis fraktur membelah dari lateral ke troklea melalui


celah kapitulotroklear. Hal ini timbul pada

Tipe II

fraktur

salter-

harris tipe IV. Siku stabil dikarenakan troklea intak.


: garis fraktur meluas sampai apeks dari troklea. Ini timbul

pada fraktur salter-harris tipe II. Siku tidak stabil oleh


karena ada kerusakan pada troklea.
Klasifikasi Jacob:
Stage I
: fraktur tanpa pergeseran dengan permukaan artikuler

Intak
Stage II : fraktur dengan pergeseran sedang
Stage III : pergeseran dan dislokasi komplit dan instabilitas siku
Medial Condyler Physeal Fractures(9)
Fraktur jenis ini biasanya terjadi pada umur 8 sampai 14 tahun.
Klasifikasi Milch:
Tipe I : garis fraktur melewati sepanjang apex dari troklea. Hal ini
Tipe II

timbul pada fraktur salter-harris tipe II.


: garis fraktur melewati celah capitulotroklear. Ini timbul

pada fraktur salter-harris tipe VI.


Klasifikasi kilfoyle :
Stage I
: tidak ada pergeseran, permukaan artikular intak
Stage II : garis fraktur komplit dengan pergeseran yang minimal
Stage III : pergeseran komplit dengan rotasi fragmen dari penarikan
otot fleksor

2.2.5. Diagnosis
2.2.5.1.
Anamnesis12
Anamnesis terdiri dari:
1. Auto anamnesis:
Dicatat tanggal saat melakukan anamnesis dari dan oleh siapa. Ditanyakan
persoalan: mengapa datang, untuk apa dan kapan dikeluhkan; penderita bercerita
tentang keluhan sejak awal dan apa yang dirasakan sebagai ketidakberesan; bagian
apa dari anggotanya/lokalisasi perlu dipertegas sebab ada pengertian yang berbeda
misalnya sakit di tangan ., yang dimaksud tangan oleh orang awam adalah
anggota gerak atas dan karenanya tanyakan bagian mana yang dimaksud, mungkin
saja lengan bawahnya.

Kemudian ditanyakan gejala suatu penyakit atau beberapa penyakit atau beberapa
penyakit yang serupa sebagai pembanding. Untuk dapat melakukan anamnesis
demikian perlu pengetahuan tentang penyakit.
Ada beberapa hal yang menyebabkan penderita datang untuk minta pertolongan:
1) Sakit/nyeri
Sifat dari sakit/nyeri:
- Lokasi setempat/meluas/menjalar
- Ada trauma riwayat trauma tau tidak
- Sejak kapan dan apa sudah mendapat pertolongan
- Bagaimana sifatnya: pegal/seperti ditusuk-tusuk/rasa panas/ditarik-tarik,
terus-menerus atau hanya waktu bergerak/istirahat dan seterusnya
- Apa yang memperberat/mengurangi nyeri
- Nyeri sepanjang waktu atau pada malam hari
- Apakah keluhan ini untuk pertama kali atau sering hilang timbul
2) Kelainan bentuk/pembengkokan
- Angulasi/rotasi/discrepancy (pemendekan/selisih panjang)
- Benjolan atau karena ada pembengkakan
3) Kekakuan/kelemahan
Kekakuan:
Pada umumnya mengenai persendian. Apakah hanya kaku, atau disertai nyeri,
sehingga pergerakan terganggu?
Kelemahan:
Apakah
yang
dimaksud

instability

atau

kekakuan

otot

menurun/melemah/kelumpuhan
Dari hasil anamnesis baik secara aktif oleh penderita maupun pasif (ditanya oleh
pemeriksa; yang tentunya atas dasar pengetahuan mengenai gejala penyakit)
dipikirkan kemungkinan yang diderita oleh pasien, sehingga apa yang didapat
pada anamnesis dapat dicocokkan pada pemeriksaan fisik kemudian.
2. Allo anamnesis:
Pada dasarnya sama dengan auto anamnesis, bedanya yang menceritakan adalah
orang lain. Hal ini penting bila kita berhadapan dengan anak kecil/bayi atau orang
tua yang sudah mulai dementia atau penderita yang tidak sadar/sakit jiwa; oleh
karena itu perlu dicatat siapa yang memberikan allo anamnesis, misalnya:
- allo anamnesis mengenai bayi tentunya dari ibu lebih cocok daripada ayahnya
- atau mungkin pada saat ini karena kesibukan orangtua, maka pembantu rumah
-

tangga dapat memberikan keterangan yang lebih baik


juga pada kecelakaan mungkin saksi dengan pengantar dapat memberikan
keterangan yang lebih baik, terutama bila yang diantar tidak sadarkan diri.

2.2.5.2.

Pemeriksaan Fisik2,12

Dibagi menjadi dua yaitu (1) pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan (2) pemeriksaan setempat (status lokalis).
1. Gambaran umum:
Perlu menyebutkan:
a. Keadaan Umum (K.U): baik/buruk, yang dicatat adalah tanda-tanda vital
yaitu:
- Kesadaran penderita; apatis, sopor, koma, gelisah
- Kesakitan
- Tanda vital seperti tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu
b. Kemudian secara sistematik diperiksa dari kepala, leher, dada (toraks), perut
(abdomen: hepar, lien) kelenjar getah bening, serta kelamin
c. Ekstremitas atas dan bawah serta punggung (tulang belakang)
2. Pemeriksaan lokal:
Harus dipertimbangkan keadaan proksimal serta bagian distal dari anggota
terutama

mengenai

status

neuro

vaskuler.

Pada

pemeriksaan

orthopaedi/muskuloskeletal yang penting adalah:


a. Look (inspeksi)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
-

fraktur tertutup atau terbuka


Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam samapai beberapa hari
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan

b. Feel (palpasi)
Pada waktu mau meraba, terlebih dulu posisi penderita diperbaiki agar dimulai
dari posisi netral/posisi anatomi. Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik si pemeriksa maupun si pasien,
karena itu perlu selalu diperhatikan wajah si pasien atau menanyakan perasaan
si pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
-

kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang


Krepitasi
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota
gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit
pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.

Pengukuran tugkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya


perbedaan panjang tungkai

c. Move (pergerakan terutama mengenai lingkup gerak)


Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan
anggota gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pada anak periksalah bagian yang tidak sakit dulu, selaiam untuk
mendapatkan kooperasi anak pada waktu pemeriksaan, juga untuk mengetahui
gerakan normal si penderita. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar kita
dapat berkomunikasi dengan sejawat lain dan evaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya.
Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat gerakan abnormal di daerah
fraktur (kecuali pada incomplete fracture).
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari setiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik.
Pencatatan ini penting untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak.
Kekakuan sendi disebut ankilosis dan hal ini dapat disebabkan oleh faktor
intra artikuler atau ekstra artickuler.
- Intra artikuler: Kelainan/kerusakan dari tulang rawan yang menyebabkan
kerusakan tulang subkondral; juga didapat oleh karena kelainan ligament
dan kapsul (simpai) sendi
- Ekstra artikuler: oleh karena otot atau kulit
Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (penderita sendiri disuruh
menggerakkan) dan pasif (dilakukan oleh pemeriksa).
Selain pemeriksaan penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini juga
penting

untuk

melihat

kemajuan/kemunduran

pengobatan.

Selain diperiksa pada posisi duduk dan berbaring juga perlu dilihat waktu
berdiri dan jalan. Jalan perlu dinilai untuk mengetahui apakah pincang
disebabkan karena instability, nyeri, discrepancy, fixed deformity.
Anggota gerak atas:
- Sendi bahu: merupakan sendi yang bergerak seperti bumi (global joint);
ada beberapa sendi yang mempengaruhi gerak sendi bahu yaitu: gerak
tulang

belakang,

gerak

sendi

sternoklavikula,

gerak

sendi

akromioklavikula, gerak sendi gleno humeral, gerak sendi scapula torakal


(floating joint).
Karena gerakan tersebut sukar diisolasi satu persatu, maka sebaiknya
gerakan diperiksa bersamaan kanan dan kiri; pemeriksa berdiri di belakang
pasien, kecuali untuk eksorotasi atau bila penderita berbaring, maka
pemeriksa ada di samping pasien.

Sendi siku:
Gerak fleksi ekstensi adalah gerakan ulna humeral (olecranon terhadap
humerus). Gerak pronasi dan supinasi adalah gerakan dari antebrachii dan
memiliki sumbu ulna; hal ini diperiksa pada posisi siku 90 untuk

menghindari gerak rotasi dari sendi bahu.


Sendi pergelangan tangan:
Pada dasarnya merupakan gerak dari radio karpalia dan posisi netral
adalah pada posisi pronasi, dimana jari tengah merupakan sumbu dari
antebrachii. Diperiksa gerakan ekstensi-fleksi dan juga radial dan ulnar
deviasi.
Jari tangan:
Ibu jari merupakan bagian yang penting karena mempunyai gerakan

aposisi terhadap jari-jari lainnya selain abduksi dan adduksi, ekstensi, dan
fleksi.
Jari-jari lainnya hamper sama, MCP (Meta Carpal Phalangeal Joint)
merupakan sendi pelana dan deviasi radier atau ulnar dicatat tersendiri,
sedangkan PIP (Proximal Inter Phalanx) dan DIP (Distal Inter Phalanx)
hanya diukur fleksi dan ekstensi.
Pemeriksaan Radiologis12:
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur.

2.2.5.3.

Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,


lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan
lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat
radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua:
1. Dua posisi proyeksi; dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior
dan lateral
2. Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di proximal dan distal
sendi yang mengalami fraktur
3. Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada kedua anggota
gerak terutama pada fraktur epifisis
4. Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah
tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto
pada panggul dan tulang belakang
5. Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid foto
pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14
hari kemudian.

Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena dan
lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.
Pemeriksaan Laboratorium12
Pemeriksaan laboratorium meliputi:
1. Pemeriksaan darah rutin untuk mengenai keadaan umum, infeksi akut/menahun
2. atas indikasi tertentu: diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi,
2.2.5.4.

fungsi hati/ginjal
3. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan sensitivity test
2.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum13:
1. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu.
2. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah
(bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan fraktur.
Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak bagian atas
untuk sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan
pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka
waktu sesingkat mungkin.12
1. Fraktur proksimal humeri9,12
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama
waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil
membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan
dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder spica).
2. Fraktur shaft humeri 9,12
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi
kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila
kedudukn sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U slab
(sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. hanging cast
terutama dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen distal
dan proksimal terjadi contractionum (pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera n.Radialis, harus
dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk humerus

disertai eksplorasi n. Radialis. Bila ditemukan n. Radialis putus (neurotmesis)


dilakukan penyambungan kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan
hanya neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik
kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
3. Fraktur suprakondiler humeri9,12
Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam narkose umum.
Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai a.Radialis mulai tak
teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan a.Radialis teraba lagi.
Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi
fleksi maksimal dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang
berfungsi sebagai internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat
dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca reposisi
ditemukan tanda Volkmanns iskaemik secepatnya posisi siku diletakkan dalam
ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis patahnya
berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini lebih baik
dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.
4. Fraktur transkondiler humeri9,12
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau tanpa
dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi reposisi terbuka
dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.

5. Fraktur interkondiler humeri9,12


Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan immobilisasi dengan
gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan sendi (ankilosis). Untuk
mengatasi hal tersebut dilakukan tindakan operasi reduksi dengan pemasangan
internal fiksasi dengan plate-screw.
6. Fraktur kondilus lateral & medial humeri9,12
Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi tertutup,
kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya kurang baik,
perlu dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna
dengan plate-screw. Kalau lukanya terbuka dilakukan debridement dan dilakukan
fiksasi luar.
2.2.7. Komplikasi12
Adapun komplikasi yang dapat terjadi:

1. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada n.Sirkumfleksi aksilaris menyebabkan


paralisis m.Deltoid.
2. Apabila pada fraktur medial humerus disertai komplikasi cdera n.Radialis, harus
dilakukan operasi reduksi dan internal fiksasi dengan plate screw untuk humerus
disertai eksplorasi n.Radialis.
3. Sindroma kompartemen yang biasa disebut dalam 5 P (Pain, Pallor, Pulselesness,
Paraesthesia, Paralysis), terjepitnya a. Brakhialis yang akan menyebabkan
nekrosis otot-otot dan saraf.
4. Mal union cubiti varus (carrying angle berubah) dimana siku berbentuk O, secara
fungis baik, tapi kosmetik kurang baik. Perlu dilakukan koreksi dengan operasi
meluruskan siku dengan teknik French osteotomy.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2010, Bab 42;
Sistem Muskuloskeletal.
2. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2007,
Bab. 14; Trauma.
3. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12 th Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The Skeletal System: The
Appendicular Skeleton.
4. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The Muscular System.
5. Standring, S. Grays Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, 2008, Chapter 48;
General Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb.
6. Wang, E.D. & Hurst, L.C. Netters Orthopaedics 1 st Edition. Philadelphia:
Elsevier, 2006, Chapter 15; Elbow and Forearm.
7. Emedicine. 2012. Humerus Fracture. Accessed: 2nd February 2012. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/825488-overview
8. Aaron N., Michael D.M., et.al., 2011. Distal Humeral Fractures in Adults.
Accessed: 2nd February 2012. Available from: http://www.jbjs.org/article.aspx?
articleid=35415
9. Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614
10. Thompson, J.C. Netters: Concise Otrhopaedic Anatomy 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier Inc. 2010:p. 109-116.
11. Noffsinger,

M.

A.

Supracondylar

Humerus

www.emedicine.com. Accessed on 4thMarch 2012

Fractures.

Available

at

12. Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara


Publisher, 2009, Bab 9; Orthopaedi.
13. Purwadianto A, Budi S. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara, 2000, Bab
7; Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.

Anda mungkin juga menyukai