Anda di halaman 1dari 22

1

LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR FEMUR
2.1 Definisi
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang paha yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang /
osteoporosis.
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang terbesar dan terkuat pada
tubuh (Brooker, 2001).
Stadium Penyembuhan Fraktur

1. Std. DESTRUKSI / HEMATOM
terjadi kerusakan jaringan lunak & perdarahan di sekitarfraktur.
2. Std. INFLAMASI & PROLIFERASI SEL
(puncaknya 2X24 jam, penurunan 5-6 hari), sel-sel inflamasi masuk ke daerah
hematom.
Secara bertahap jaringan hematom ini berubah menjadi jaringan granulasi.
3. Std. PEMBENTUKAN KALUS
terjadi pembentukan sel osteoblas & osteoklas (wovenbone).
2

Kalus menyebabkan fragmen-fragmen tulang bersatu.
Pada stadium ini rasa nyeri sudah hilang (anak 3-4 bln, dewasa 6 bln).
4. Std. KONSOLIDASI
Woven bone berubah menjadi lamellar bone (kalus berubahmenjadi hard kalus) dan
fragmen menjadi solid
5. Std. REMODELLING
kalus yang berlebih mulai menghilang sehingga terbentuktulang yang normal atau
mendekati normal.
Kanalis medularismulai terbentuk.
CATATAN:
Sampai dengan stadium remodelling dibutuhkan waktu sekitar 1 tahun. Namun pada anak,
waktu yang dibutuhkan bisa lebih cepat, hingga setengah dari rata-rata waktu penyembuhan
pada dewasa. Ini dikarenakan periosteum anak-anak lebih tebal & dapat menghasilkan kalus
dalam waktu yang singkat serta lebih banyak.

Gambar anatomi tulang femur
3

2.2 Klasifikasi
1. Menurut Chairudin Rasjad (1998) Fraktur di klasifikasikan sebagai berikut :
a. Fraktur tertutup (sederhana)
Merupakan fraktur tanpa komplikasi dengan kulit tetap utuh disekitar fraktur
tidak menonjol keluar dari kulit.
b. Fraktur terbuka (compound)
Pada tipe ini, terdapat kerusakan kulit sekitar fraktur, luka tersebut menghubungkan
bagian luar kulit. Pada fraktur terbuka biasanya potensial untuk terjadinya infeksi, luka
terbuka ini dibagi menurut gradenya, yaitu
Grade I : luka bersih, kurang dari 1 Cm.
Grade II : luka lebih luas disertai luka memar pada kulit dan otot.
Grade III : paling parah dengan perluasan kerusakan jaringan lunak terjadi
pulakerusakan pada pembuluh darah dan syaraf.
c. Fraktur komplit
Pada fraktur ini garis fraktur menonjol atau melingkari tulang periosteum terganggu
sepenuhnya.
d. Fraktur inkomplit
Garis fraktur memanjang ditengah tulang, pada keadaan ini tulang tidak terganggu
sepenuhnya.
e. Fraktur displaced
Fragmen tulang terpisah dari garis fraktur.
f. Fraktur Comminuted
Fraktur yang terjadi lebih dari satu garis fraktur, dan fragmen tulang hancur menjadi
beberapa bagian (remuk).
g. Fraktur impacted atau fraktur compressi
Tulang saling tindih satu dengan yang lainnya.
h. Fraktur Patologis
Fraktur yang terjadi karena gangguan pada tulang serta osteoporosis atau tumor.
i. Fraktur greenstick
Pada fraktur ini sisi tulang fraktur dan sisi tulang lain bengkak
4


2.3 Etiologi
Chairudin Rasjad (1998) menyebutkan penyebab fraktur adalah dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Fraktur Traumatik
Terjadi karena trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang besar dan
tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga menjadi patah.

2. Fraktur Patologik
Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelarutinan patologis di dalam
tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang menjadi lemah karena
tumor atau proses patologis lainnya. Tulang seringkali menunjukkan penurunan
densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor,
baik tumor primer maupun tumos metastasis.
3. Fraktur stress.
Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu.
2.4 Manifestasi Klinis
Menurut Arif Muttaqin, 2009 manifestasi klinis dari fraktur femur terbagi menjadi:
a. Permasalahan pada saluran pernafasan
Anastesi yang digunakan seat operasi bersifat sebagai zat iitan sebagai reflek batuk tertekan
dan karenanya pengeluatan sekresi menjadi sulit, sering juga terjadni sekresi bersifat
sehingga sulit dikeluarkan, karena lemahnya reflek batuk dan sistem sekresi karena
5

tindakan pembiusan menyebabkan pasien mengantuk dan lemah sehingga proses
pembuangan sekresi terganggu.
b. Nyeri, timbul oleh karena rangsangan respon sensorik tubuh oleh karena kerusakan
jaringan (sekitar bekas operasi tungkai kiri).
c. Bengkak, timbul oleh karena pecahnya pembuluh darah arteri yang menyertai
pelaksanaan operasi sehingga aliran darah menuju jantung tidak lancar, maka timbul
bengkak disekitar luka incisi.
d. Eritema, adanya warna kemerahan pada kulit pada daerah yang fiksasi hal ini disebabkan
pembengkakkan, jumlah cairan darah dibawa secara berlebihan akibat rusaknya pembuluh
darah.
e. Peningkatan suhu lokal, dalam keadaan normal suhu kira-kira 36o C kaki pada daerah
yang ada fiksasi atau bekas operasi suhu sama dengan kaki kanan.
f. Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi (LGS), ini terjadi di sendi penggerak tubuh (tungkai
kiri) disebabkan oleh reaksi proteksi yaitu penderita berusaha menghindari gerakan yang
menyebabkan nyeri.
g. Penurunan kekuatan otot, terjadi karena adanya pembengkakan sehingga timbul nyeri dan
keterbatasan gerak serta aktifilas terganggu dan terjadi penurunan kekuatan tungkai kiri.
2.5 Patofisiologi
Fraktur Femur Terbuka. Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk
mematahkan batang femur pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda
yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mengalami jatuh dari ketinggian.
Biasanya, pasien ini mengalami trauma multiple yang menyertainya. Secara klinis, pada fraktur
femur terbuka biasanya akan ditemukan juga kerusakan neuromuskuler. Kondisi ini akan
memberikan manifestasi peningkatan resiko syok, baik syok hipovolemik karena kehilangan
darah (pada setiap patah satu tulang femur diprediksi akan hilangnya darah 500cc dari
vaskuler), maupun syok neurogenik yang disebabkan rasa nyeri yang sangat hebat akibat
kompresi atau kerusakan saraf yang berjalan di bawah tulang femur.
Kerusakan fragmen tulang femur memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas fisik
dan akan diikuti dengan adanya spasme otot paha yang memberikan manifestasi deformitas
khas pada paha yaitu pemendekan tungkai bawah dan apabila kondisi ini berlanjut tanpa
6

dilakukan intervensi yang optimal maka akan memberikan risiko terjadinya malunion pada
tulang femur. Kondisi klinik dari fraktur femur terbuka pada fase awal akan memberikan
implikasi pada berbagai masalah keperawatan pada pasien, meliputi respons nyeri hebat akibat
rusaknya jaringan lunak dan kompresi saraf risiko tinggi injuri pada jaringan akibat kerusakan
vaskuler dengan pembengkakan local, risiko syok hipovolemik yang merupakan sekunder dari
cedera vaskuler dengan perdarahan hebat, hambatan mobilitas fisik sekunder dari kerusakan
fragmen tulang perdarahan hebat, hambatan mobilitas fisik sekunder dari kerusakan fragmen
tulang serta adanya risiko tinggi infeksi sekunder dari porte de entre luka terbakar. Pada fase
lanjut dari fraktur femur terbuka memberikan implikasi pada kondisi terjadinya malunion,
nonunion dan delayed union akibat dari cara mobilisasi yang salah.
Fraktur femur tertutup. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. Biasanya, pasien ini mengalami
trauma multiple yang menyertainya. Pada kondisi degenerasi tulang (osteoporosis) atau
keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis dengan tidak adanya riwayat
trauma yang menandai untuk mematahkan tulang femur. Kerusakan neuromuskuler akan
memberikan manifestasi peningkatan risiko syok, baik syok hipovolemik karena kehilangan
banyak darah, maupun syok neurogenik disebabkan rasa nyeri yang sangat hebat yang dialami
oleh pasien. Kerusakan fragmen tulang femur akan diikuti dengan adanya spasme otot paha
yang memberikan manifestasi deformitas khas pada paha yaitu pemendekan tungkai bawah,
dan apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang optimal maka akan
memberikan risiko terjadinya malunion pada tulang femur.
PATHWAYS
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma.
2. Scan tulang (tomogram, CT scan/MRI) : memperlihatkan fraktur dan juga
dapatmengindentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler di curigai.
4. Hitung darah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun
(pendarahan bermakna pada sisi frktur organ jauh pada trauma multiple).
7

5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple,
ataucedera hati (Doengoes, 2000: 762)
2.7 Penatalaksanaan Fraktur Femur
Terdapat dua kelompok besar fraktur : terbuka dan tertutup. Teknik-teknik pengobatan
dapat digolongkan sebagai reduksi tertutup (traksi, gips, dan bidai) dan reduksi terbuka (fiksasi
interna dan eksterna).
1. REDUKSI TERTUTUP
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya
dan posisi anatomis normal. Pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
A. TRAKSI
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan
untuk meminimalkan spasme otot, untuk mereduksi, mensejajarkan, dan mengimobilisasi
fraktur, untuk mengurangi deformitas, dan untuk menambah ruangan di antara kedua
permukaan patahan tulang.Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan
untuk mendapatkan efek terapeutik.
Mekanisme Traksi
Mekanisme traksi meliputi tidak hanya dorongan traksi sebenarnya tetapi juga
tahanan yang dikenal sebagai kontratraksi, dorongan pada arah yang berlawanan. Seperti
pada gambar fraktur berikut :
Ada dua cara untuk melakukan hal tersebut. Yaitu memberi pengikat ke kulit (traksi
kulit) atau dapat menggunakan Steinmann pin, Denham pin, atau Kirschner wire melalui
tulangnya (traksi tulang).
a. Traksi kulit (skin traksi)
Traksi kulit menggunakan plaster lebar yang direkatkan pada kulit dan diperkuat
dengan perban elastis. Berat maksimum yang dapat diberikan adalah 5 kg yang
merupakan batas toleransi kulit.
8


Traksi kulit Buck (pada dewasa)
b. Traksi Skelet
Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode traksi ini digunakan paling
sering untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus dan tulang leher. Kadang-
kadang skelet traksi bersifat seimbang yang menyokong ekstermitas yang terkena,
memungkinkan gerakan pasien sampai batas-batas tertentu dan memungkinkan
kemandirian pasien maupun asuh keperawatan sementara traksi yang efektif tetap
dipertahankan yang termasuk skelet traksi adalah sebagai berikut (Smeltzer &
Bare,2001).


B. GIPS
Pemasangan gips merupakan salah satu pengobatan konservatif pilihan (terutama
pada fraktur) dan dapat dipergunakan di daerah terpencil dengan hasil yang cukup baik bila
cara pemasangan, indikasi, kontraindikasi serta perawatan setelah pemasangan diketahui
dengan baik. Indikasi pemasangan gips adalah :
Untuk pertolongan pertama pada faktur (berfungsi sama sebagai bidai)
9

Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan mengurangi nyeri
Sebagai pengobatan definitif untuk imobilisasi fraktur .
Mengoreksi deformitas pada kelainan bawaan.
Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis.
Imobilisas setelah operasi pada tendon.
C. BIDAI
Bidai adalah alat yang dipakai untuk mempertahankan kedudukan atau letak tulang
yang patah. Alat penunjang berupa sepotong tongkat, bilah papan, tidak mudah bengkok
atau pun patah, bila dipergunakan akan berfungsi untuk mempertahankan, dan menjamin
tidak mudah bergerak sehingga kondisi patah tulang tidak makin parah.
Balut bidai adalah suatu metode atau cara untuk menfiksasi persendian, menurunkan
atau mengurangi oedem, mempertahankan sirkulasi, mendukung atau mengimobilisasi
bagian-bagian tubuh tertentu, stabilisasi ekstremitas, atau untuk fiksasi peralatan misalnya
traksi (Altman dkk, 2000)
Prinsip pembidaian
1. Prinsip pembidaian melalui 2 sendi. Sebelah proksimal dan distal dari fraktur
2. Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis pada bagian distal
yang mengalami cedera sebelum dan sesudah pembidaian.
3. Tutup luka dengan kasa steril.
4. Pembidaian dilakukan pada bagian proksimal dan distal daerah trauma (dicurigai
patah atau dislokasi).
5. Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku.
6. Periksa hasil pembidaian supaya tidak terlalu longgar atau ketat.
7. Perhatikan respon fisik dari pasien.

2. REDUKSI TERBUKA
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, palt, paku
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
10

ORIF (Open Reduction Internal Fixation) / Fiksasi Internal
Indikasi reduksi terbuka dan fiksasi internal meliputi reduksi fraktur yang tidak
stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan metode terapi tidak membuahkan
hasil. Selain itu proses nyembuhan tidak memerlukan imobilisasi berkepanjangan. Kontra
indikasi pada tulang osteoporotic terlalu rapuh untuk menerima implant, jaringan lunak di
atasnya berkualitas buruk, terdapat infeksi, atau adanya fraktur comminuted yang parah
yang menghambat rekontruksi.

Gambar : fiksasi dengan lempeng dan sekrup pada fraktur tibia kanan.

OREF (Open Reduction External Fixation) / Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksterna digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur dan
remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap posisinya, kemudian dikaitkan pada
kerangkanya. Fiksasi memberikan kenyamanan bagi klien yang mengalami kerusakan
frakmen tulang.
Perawatan luka steril dilakukan perawat setiap hari untuk mencegah timbulnya infeksi
karena adanya benda asing dari luar masuk ke dalam tubuh. Setiap tempat pemasangan pin
perlu dikaji mengenai adanya kemerahan, keluhan nyeri tekan, nyeri pada daerah sekitar
tusukan fiksasi eksternal, dan longgarnya pin.
11



2.8 Komplikasi
Penyebab komplikasi fraktur secara umum syok hipovolemik (karena perdarahan yang banyak),
syok neurogenik (karena nyeri yang hebat), koagulopati diffus, gangguan fungsi pernafasan.
Ada beberapa komplikasi yang terjadi yaitu :
1. Infeksi, terutama pada kasus fraktur terbuka.
2. Osteomielitis yaitu infeksi yang berlanjut hingga tulang.
3. Atropi otot karena imobilisasi sampai osteoporosis.
4. Delayed union yaitu penyambungan tulang yang lama.
Tidak adanya tanda-tanda union (penyatuan) dalam waktu rata-rata penyambungan
tulang pada umumnya.
Bila dalam 6 bulan union tidak terjadi perlu dilakukantindakan operasi.
Penyebabnya antara lain; vaskularisasi tidak adekuat, infeksi, pembidaian yang tidak
benar, dan internal fixation
5. Non union yaitu tidak terjadinya penyambungan pada tulang yang fraktur.
Pada ujung fragmen terlihat sklerosis, tidak ada trabekula yang menyeberangi garis
fraktur.
Penyebab non-union ini antara lain karena; vascularisasi yang tidak adekuat, fiksasi
yang tidak adekuat, adanya gap antar segmenfraktur, interposisi (adanya jar.lunak
atau otot diantara fragmenfraktur), infeksi, malnutrisi berat, usia tua & penyakit
metabolik.

12

Ada 3 macam, yaitu;
1. Atropic sama sekali tidak terbentuk kalus (avascular)
2. Hipertropic terbentuk jar. Fibrous (hipervasculer)
3. Oligotropik kalus yang terbentuk sedikit
6. Malunion yaitu penyambungan fraktur tidak normal, sehingga menimbulkan
deformitas.
Terjadi akibat terapi fraktur yang tidak memadai.
Apabila terjadi pada tulang panjang penyanggabadan, maka akan menyebabkan
osteoartritis padasendi2 terdekat dari kelainan tersebut lebih awal.
7. Artritis supuratif, yaitu kerusakan kartilago sendi.
8. Dekubitus, karena penekanan jaringan lunak oleh gips.
9. Terganggunya gerakan aktif otot karena terputusnya serabut otot,
10. Sindroma kompartemen karena pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga
mengganggu aliran darah.

ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
13

(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.

c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
14

kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan
tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E,
1999).
15

(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu
oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna
D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak
serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
16

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
17

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.

Diagnosis Keperawatan Preoperatif
Diagnostik keperawatan yang secara umum ada pada pasien prabedah baik fraktur femur
terbuka dan tertutup, meliputi :
1. Nyeri akut berbuhungan dengan agen cidera fisik
2. Syok hipovolemik berhubungan dengan hilangnya darah dari luka terbuka, kerusakan
vaskuler dan cedera pada pembuluh darah.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan porte de entre dari luka fraktur terbuka.
4. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan cedera jaringan lunak sekunder dari
fraktur terbuka.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya diskontinuitas tulang, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan respon nyeri.
18

7. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperemi.
8. Deficit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
9. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, kelumpuhan gerak, rencana
pembedahan.
19

Intervensi Keperawatan
Pada klien dengan fraktur femur pre-operasi
NO Dx Keperawatan NOC NIC
1
























2



Nyeri akut
berhubungan dengan
agens cedera biologis





















Resiko syok
berhubungan dengan
faktor resiko sepsis


Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama x24 jam nyeri terkontrol :
No Kriteria Score
1 Mengenal faktor
penyebab nyeri
5
2 Mengenali tanda dan
gejala nyeri

3 Mengetahui onset nyeri 5
4 Menggunakan langkah-
langkah pencegahan
nyeri
5
5 Menggunakan teknik
relaksasi
5
6 Menggunakan analgesic
yang tepat
5
7 Melaporkan nyeri
terkontrol
5
Ket :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan


Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama x24 jam status tanda-tanda vital
adekuat dengan kriteria hasil:
NO Kriteria Score
Manajemen nyeri

1. Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi: skala nyeri,
lokasi, karakteristik dan onset, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi.
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan
3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran sebelum memulai aktivitas
4. Gunakan komunkiasi terapeutik agar klien dapat mengekspresikan
nyeri
5. Kaji latar belakang budaya klien
6. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang
telah digunakan
7. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
8. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama
terjadi, dan tindakan pencegahan
9. Motivasi klien untuk memonitor sendiri nyeri
10. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi nafas dalam
11. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
12. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
13. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan.




Pencegahan syok
1. Monitor status sirkulasi (tekanan darah, warna kulit, suhu tubuh,
suara jantung, denyut jantung, denyut nadi perifer dan capillary
refill)
2. monitor adanya tanda dan gejala ketidakadekuatan jaringan
20





















3

























Resiko Infeksi
berhubungan dengan
faktor resiko
prosedur invasif










1 Temperature:36,3-
37,5
o
C
5
2 Tekanan darah
normal
systole:100-
140mmhg,
diastole:70-
90mmhg
5
3 Nadi:60-
100x/mnt
5
4 Frekuensi
pernapasan:18-
24x/mnt
5
Ket :
1. Ekstrim
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak

Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama x24 jam status infeksi tidak
terjadi dengan kriteria hasil :

No Kriteria Score
1 Tidak terdapat rubor 5
2 Tidak terdapat kalor 5
3 Tidak terdapat dolor 5
4 Tidak terdapat tumor 5
5 Tidak terdapat
fungsiolesa
5
Ket :
1. Ekstrim
oksigenasi
3. monitor adanya kecemasan dan perubahan status mental
4. monitor status pernafasan
5. monitor intake dan output
6. monitor nilai laboratorium (hemoglobin, hematokrit, clotting
profile, nilai elektrolit, cultures, dam profil kimia)
7. catat adanya petechiae dan kondisi membran mukosa
8. catat warna, jumlah dan frekuensi dari BAB dan muntah
9. monitor adanya nyeri abdomen
10. monitor secara dini respon kehilagan cairan (peningkatan denyut
jantung, peningkatan tekanan darah, kulit yang dingin)
11. posisikan pasien supinasi, jaga kepatenan jalan nafas, berikan terapi
oksigenasi.






Kontrol infeksi
1. Bersihkan ruangan sebelum digunakan tindakan pada pasien
2. Ganti peralatan untuk tindakan pada pasien
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan pada pasien untuk melakuakn cuci tangan dengan benar
5. Instruksikan pada pengunjung untuk melakukan cuci tangan
sebelum ke pasien
6. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan
7. Bersihkan tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan pada
pasien
8. Gunakan universal precaution
9. Gunakan sarung tangan sesuai standar universal precaution
10. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai dengan kondisi pasien
11. Ajarkan pada pasien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala
21








2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak
infeksi serta melaporkan pada tenaga kesehatan ketika terdapat
tanda dan gejala infeksi.
22

Daftar Pustaka
Muttaqin, Arif, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif : Konsep, Proses, Dan Aplikasi. Salemba
Medika. Jakarta.
Muttaqin, Arif, dkk. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. EGC. Jakarta.
Gruendemann, Barbara J. 2005. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif, Vol. 2 Praktik. EGC. Jakarta.
King, Murice, dkk. 2001. Bedah Primer : Trauma. EGC. Jakarta.
Kusnadi, Engkus. 2009. Pengkajian Umum Sistem Muskuloskeletal. 2009.
http://www.scribd.com/doc/30225575/PENGKAJIAN-UMUM-Muskuloskeletal
Sri Utami, Sugeng. 2008. Penatalaksanaan Klien Fraktur.
http://www.scribd.com/riefe/d/16679339-Penatalaksanaan-Klien-Fraktur

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia,
F.A. Davis Company.
Kemala. 2009. Asuhan Keperawatan Close Fraktur 1/3 Femur Distal Dextra.
http://pt.scribd.com/doc/86632440/8/G-PEMERIKSAAN-PENUNJANG

Anda mungkin juga menyukai