BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hidung
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu
organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung
terdiri dari hidung luar dan hidung dalam (Hilger; 1997).
Hidung dibagi menjadi hidung luar, yang membatasi bagian anterior
dengan wajah melalui lubang hidung yang disebut nares. Hidung luar dapat
dibedakan atas tiga bagian: yaitu yang paling atas adalah kubah tulang yang tidak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di
garis tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan dan
dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior (Gray’s Anatomy, 2008;
Hilger, 1997).
Hidung luar dibentuk oleh tulang keras dan tulang rawan, jaringan ikat dan
otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan lubang hidung. Mobilitas lobulus
hidung yang dijamin oleh otot ekspresi wajah yang terletak subkutan di atas
tulang hidung, pipi anterior, dan bibir atas juga penting untuk ekspresi wajah,
gerakan mengendus dan bersin (Hilger, 1997).
Sedangkan hidung dalam, dibagi secara sagital menjadi bagian kanan dan
kiri oleh septum yang membatasi bagian posterior dengan nasofaring melewati
apertura nasalis posterior atau choanae. Kavum nasi dibentuk oleh kerangka yang
terdiri dari tulang dan kartilago fibro-elastis. Sinus paranasal adalah rongga-
rongga berisi udara yang terdapat pada tulang besar pada kerangka yang
membentuk kavum nasi. Sinus dan duktus nasolakrimalis dihubungkan dengan
kavum nasi melalui dinding lateralnya (Gray’s Anatomy, 2008)
Terdapat dua buah sinus frontalis terletak pada os frontalis yang keduanya
dipisahkan oleh septum tulang. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak
di garis tengah. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini. Masing-masing sinus frontalis ini bermuara ke dalam meatus nasi
medius melalui infundibulum (Ballenger, 1994; Snell, 2008).
sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
interornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus
dan arteri karotis interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons (Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001; Snell, 2008)
yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan lamina propria.
Lapisan mukus yag sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing, dan
bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini di angkut ke faring,
selanjutnya ditelan dan dihancurkan dalam lambung. Lisozim dan imunoglobulin
A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut
terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam
satu jam. Silia, yaitu struktur kecil mirip rambut bergerak serempak secara cepat
ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih
lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1.000 siklus per menit (Hilger,
1997)
arahnya pada jutaan epitel dalam sinus, yang merupakan faktor penting dalam
mengangkut mukus ke nasofaring. (Hilger,1997)
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi
geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai
ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya
sama. Pada gambar 2.3 menyebabkan pola gerak silia dengan frekwensi denyut
(ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran per menit (Ballenger, 1994).
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang
menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara pasangan
yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin
(Ballenger, 1994; Waguespack R, 1995; Mygind; 1981).
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan
diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia
dan bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel,
yang menambah luas permukaan sel. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak
bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400
buah tiap sel dan tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia ini akan membantu
pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian
mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih
baik dibanding dengan sel epitel gepeng (Ballenger, 1994; Waguespack R, 1995).
a. Pembersihan Mukosiliar
Pemeriksaan ini merupakan suatu tes yang sederhana dengan meletakkan
0.5 mm sakarin pada bagian anterior konka inferior. Lalu dinilai berapa
lama waktu yang dibutuhkan sampai terasa manis dimulut, normalnya
kurang dari 30 menit.
b. Frekuensi Kecepatan Silia
Ketika tes sakarin menunjukkan waktu yang mamanjang atau jika dicuigai
terdapat abnormalitas dari silia, lakukan pemeriksaan silia secara langsung
dengan mengambil sampel menggunakan cuuped spatula (Rhinoprobe)
dan amatii aktivitas silia di bawah mikroskop dengan sel fotometrik.
Normalnya 12-15 Hz pada konka inferior.
c. Mikroskop Elektron
Jika waktu pembersihan mukosiliar dan frekuensi kecepatan silia
abnormal, sampel diambil dengan spatula atau dengan biopsi langsung
untuk diperiksa dengan mikroskop elektron untuk mendiagnosa kondisi-
kondisi seperti primary ciliary dyskinesia (PCD).
d. Pengukuran Nitric Oxide
Kadar nitric oxide yang terdapat pada udara ekspirasi hidung dan paru-
paru dapat membantu untuk menentukan fungsi normal mukosiliar. Jika
terjadi inflamasi, makan akan terjadi peningkatan kadar nitric oxide.
(Lund, 2003)
Gambar 2.4 Teknik melakukan cuci hidung (am fam physician, 2009)