Anda di halaman 1dari 15

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu
organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung
terdiri dari hidung luar dan hidung dalam (Hilger; 1997).
Hidung dibagi menjadi hidung luar, yang membatasi bagian anterior
dengan wajah melalui lubang hidung yang disebut nares. Hidung luar dapat
dibedakan atas tiga bagian: yaitu yang paling atas adalah kubah tulang yang tidak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di
garis tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan dan
dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior (Gray’s Anatomy, 2008;
Hilger, 1997).
Hidung luar dibentuk oleh tulang keras dan tulang rawan, jaringan ikat dan
otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan lubang hidung. Mobilitas lobulus
hidung yang dijamin oleh otot ekspresi wajah yang terletak subkutan di atas
tulang hidung, pipi anterior, dan bibir atas juga penting untuk ekspresi wajah,
gerakan mengendus dan bersin (Hilger, 1997).
Sedangkan hidung dalam, dibagi secara sagital menjadi bagian kanan dan
kiri oleh septum yang membatasi bagian posterior dengan nasofaring melewati
apertura nasalis posterior atau choanae. Kavum nasi dibentuk oleh kerangka yang
terdiri dari tulang dan kartilago fibro-elastis. Sinus paranasal adalah rongga-
rongga berisi udara yang terdapat pada tulang besar pada kerangka yang
membentuk kavum nasi. Sinus dan duktus nasolakrimalis dihubungkan dengan
kavum nasi melalui dinding lateralnya (Gray’s Anatomy, 2008)

Universitas Sumatera Utara


6

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Dinding Lateral Hidung (Ballenger, 2003)

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka


fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
2. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Universitas Sumatera Utara


7

2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga (sinus) di sepanjang atap dan


bagian lateral rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran dan simetri
yang bervariasi. Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang terdapat
di dalam tulang yang sama dengan namanya yaitu, sinus frontalis, sinus
ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maksilaris. Pada orang sehat, sinus
umumnya berisi udara. Sinus-sinus tersebut berhubungan dengan dinding lateral
kavum nasi melalui apertura-apertura yang relatif kecil. Seluruh sinus dilapisi oleh
epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, maka sinus-sinus tersebut
mampu menghasilkan mukus, dan bersilia sehingga sekret dapat disalurkan ke
dalam rongga hidung. (Hilger, 1997; Gray’s Anatomy, 2008)

Gambar 2.2 Struktur Anatomi Hidung Secara Horizontal (Ballenger, 2003)

2.1.2.1 Sinus Maksilaris


Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar yang terletak di
dalam korpus maksilaris di belakang pipi. Berbentuk segitiga, dengan dinding
anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila atau fosa kanina, dinding

Universitas Sumatera Utara


8

posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah


dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Muara dari sinus
maksilaris tersebut adalah meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris
(Ballenger, 1994; Weir N, 1997; Snell, 2008).

2.1.2.2 Sinus Frontalis

Terdapat dua buah sinus frontalis terletak pada os frontalis yang keduanya
dipisahkan oleh septum tulang. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak
di garis tengah. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini. Masing-masing sinus frontalis ini bermuara ke dalam meatus nasi
medius melalui infundibulum (Ballenger, 1994; Snell, 2008).

2.1.2.3 Sinus Ethmoidalis


Sinus ethmoidale terletak di anterior, medius, posterior, dan terdapat di
dalam os ethmoidale, di antara hidung dan orbita. Terdapat tiga kelompok sinus
ethmoidalis yaitu kelompok anterior yang bermuara ke dalam infundibulum,
kelompok media yang bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada atau di atas
bulla ethmoidalis, dan kelompok posterior yang bermuara ke dalam meatus nasi
superior. Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting karena dapat merupakan sumber infeksi
bagi sinus-sinus lainnya (Snell, 2008; Steven M, 2000)

2.1.2.4 Sinus Sphenoidalis


Ada dua buah sinus sphenoidalis, masing-masing berhubungan dengan
meatus superior melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis. Dua buah
sinus ini terletak di dalam korpus ossis sphenoidalis. Setiap sinus bermuara ke
dalam recessus sphenoethmoidalis di atas konka nasalis superior. Batas-batas

Universitas Sumatera Utara


9

sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
interornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus
dan arteri karotis interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons (Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001; Snell, 2008)

2.1.2.5 Fungsi Sinus Paranasal


Mangunkusumo dalam Supri (2012), menjelaskan bahwa fungsi-fungsi
sinus paranasal antara lain; sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning),
sebagai penahan suhu (thermal insulator), membantu resonansi suara, membantu
keseimbangan kepala, sebagai peredam perubahan tekanan udara dan membantu
produksi mukus.

2.1.3 Sistem Mukosiliar Hidung


2.1.3.1 Histologi Mukosa Hidung
Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous
blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina
propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar
profunda (Mygind N, 1981).
Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia,
pseudostratified, berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada
tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban
udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os
internum masih dilapisi oleh epitel squamous berlapis tanpa silia-lanjutan epitel
kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi
kolumnar, silia pendek dan agak iregular. Sel-sel meatus media dan inferior yang
terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi.
Sinus mengandung epitel kuboidal dan silia yang sama panjang dan jaraknya
antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai berbagai lokasi juga
mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa. Lamina
propria tipis pada daerah di mana aliran udara lambat atau lemah, namun tebal di
daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan sel goblet,

Universitas Sumatera Utara


10

yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan lamina propria.
Lapisan mukus yag sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing, dan
bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini di angkut ke faring,
selanjutnya ditelan dan dihancurkan dalam lambung. Lisozim dan imunoglobulin
A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut
terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam
satu jam. Silia, yaitu struktur kecil mirip rambut bergerak serempak secara cepat
ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih
lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1.000 siklus per menit (Hilger,
1997)

2.1.3.2 Silia Respiratorik


Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya
panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat
mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3
μm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan
satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia
tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pada
gambar 2.3 tampak di dalam silia ada sehelai filamen yang disebut aksonema
(Ballenger, 1994; Hilger, 1997; Weir N, 1997).
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel
permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar
250 per sel pada saluran pernapasan atas. Silia tampaknya bekerja hampir
otomatis. Misalnya, sel dapat saja terbelah menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa
menghentikan gerakan silia. Suatu silia tunggal akan terus bergerak selama bagian
kecil sitoplasma yang menyelubungi korpus basalis silia tetap melekat padanya.
Masing-masing silia bergerak secara metakronis dengan silia disekitarnya. Bila
gerakan silia diamati, maka silia akan membengkok bersamaan dan berurutan.
Gerakan tersebut tidak hanya terkoordinasi menurut waktu, tetapi juga menurut

Universitas Sumatera Utara


11

arahnya pada jutaan epitel dalam sinus, yang merupakan faktor penting dalam
mengangkut mukus ke nasofaring. (Hilger,1997)
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi
geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai
ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya
sama. Pada gambar 2.3 menyebabkan pola gerak silia dengan frekwensi denyut
(ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran per menit (Ballenger, 1994).

Gambar 2.3 Pola Gerak Silia

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang
menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara pasangan
yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin
(Ballenger, 1994; Waguespack R, 1995; Mygind; 1981).
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan
diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia

Universitas Sumatera Utara


12

dan bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel,
yang menambah luas permukaan sel. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak
bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400
buah tiap sel dan tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia ini akan membantu
pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian
mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih
baik dibanding dengan sel epitel gepeng (Ballenger, 1994; Waguespack R, 1995).

2.1.3.3 Palut Lendir (mucous blanket)


Lapisan ganda palut lendir dihasilkan oleh kelenjar serosa dan kelenjar
goblet, yang memiliki ketebalan 12-15 µm. Palut lendir berfungsi sebagai lubrikan
dan menjerat partikulat-partikulat kecil. Jumlahnya sekitar 1-2 L per hari. Pada
kondisi sehat, pH palut lendir sedikit asam. Palut lendir disusun oleh glikoprotein
(2.5-3%), garam (1-2%), dan air (9%). Mukus dijumpai di semua bagian hidung
kecuali vestibulum nasi dan sinus paranasal. Pergerakan silia mendorong mukus
beserta partikel yang terjerat menuju ke faring dan esofagus. (Ballenger, 2003)
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein
sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada
gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang
lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang
menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan
dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin,
kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus
yang terperangkap (Ballenger, 1994; Weir N, 1997).

2.3.3.4 Transpor Mukosiliar


Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung
untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan

Universitas Sumatera Utara


13

lokal pada mukosa hidung. Transport mukosiliar disebut juga clearance


mukosiliar (Weir N, 1997).
Transpor mukosiliar atau sistem pembersihan adalah dua sistem yang
bekerja sama satu dengan yang lainnya yang tergantung pada gerakan aktif silia
mencapai serpihan mukus pada permukaan luminal dan mendorong serpihan-
serpihan tersebut ke esofagus (Ballenger, 2003).
Lapisan tipis dari mukus melapisi epitel hidung. Lapisan tersebut terdiri
dari 2 lapisan: lapisan viskositas rendah yang menyelubungi silia (sol phase) dan
lapisan yang lebih kental (gel phase). Mukus berasal dari sel goblet, seros-mucus
dan kelenjar serous, eksudasi dari pembuluh darah dan air mata. Albumin dan
immunoglobulin, lisozim, lactoferin, sitokin, dan mediator-mediator lain sama
seperti ion-ion yang terdapat pada lapisan mukosa. Gerakan silia menyebabkan
mukus terdorong menuju nasofaring, kecuali pada bagian anterior dari konka
inferior dimana transpor mukosa hidung berada di depan. Partikel dan zat yang
terperangkap atau terlarut di dalam mukus akan ditelan dan dihancurkan oleh
enzim-enzim yang terdapat di saluran cerna. Peningkatan atau penurunan dari
lapisan mukosa menghasilkan gangguan pada transportasi. Pembersihan
mukosiliar juga dapat terganggu akibat disfungsi silia seperti pada fibrosis kistik
atau diskinesia silia primer. (Gaga, Vignola, Chanez, 2001).
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan
menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan
arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari
ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium,
dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian
hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya
1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit (Hilger, 1997).
Lapisan mukosa akan dibawa ke nasofaring setiap 10-15 menit oleh
gerakan silia dan digantikan dengan mukus baru yang disekresikan oleh kavum
nasi dan mukosa sinus. Aktifitas silia dapat terganggu akibat penurunan

Universitas Sumatera Utara


14

kelembaban, penurunan temperatur, atau kohesi dari permukaan mukosa yang


berlawanan. (Walsh, Kern, 2006)
Lapisan mukosa bergerak dengan kecepatan 2-25mm/menit. Secara
terperinci, yang mengontrol frekuensi gerakan silia belum diketahui. Namun,
frekuensi gerakan silia akan meningkat jika sel-sel tersebut terpapar oleh NO atau
sebuah mekanis, calsium-mediated stimulus, sedangkan IL-3 akan menurunkan
frekuensinya. Selain itu, aktivitas fisik yang intensif juga dapat menurunkan
fungsi transpor mukosiliar. Penggunaan NaCl memicu peningkatan frekuensi
gerakan silia dan memperbaiki fungsi transpor mukosiliar. (Beule, 2010)

2.1.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Transpor Mukosiliar


Disfungsi mukosiliar hidung dibagi menjadi kelainan primer dan sekunder.
Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan
sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi
septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid. (Sakakura, 1997)
Menurut Waguespack (1995), keadaan yang mempengaruhi transpor
mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan
kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat
sistemik, bahan pengawet, dan tindakan operasi.

2.1.3.6 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar


Fungsi transpor mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel,
baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin,
obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black,
colloid sulfur, 600-µm alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human
serum albumin, teflon, bismuth trioxide. (Waguespack, 1995; Jorissen, Willems,
Boeck, 2000)
Penilaian terhadap fungsi transpor mukosiliar dapat dinilai dari beberapa
aspek, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


15

a. Pembersihan Mukosiliar
Pemeriksaan ini merupakan suatu tes yang sederhana dengan meletakkan
0.5 mm sakarin pada bagian anterior konka inferior. Lalu dinilai berapa
lama waktu yang dibutuhkan sampai terasa manis dimulut, normalnya
kurang dari 30 menit.
b. Frekuensi Kecepatan Silia
Ketika tes sakarin menunjukkan waktu yang mamanjang atau jika dicuigai
terdapat abnormalitas dari silia, lakukan pemeriksaan silia secara langsung
dengan mengambil sampel menggunakan cuuped spatula (Rhinoprobe)
dan amatii aktivitas silia di bawah mikroskop dengan sel fotometrik.
Normalnya 12-15 Hz pada konka inferior.
c. Mikroskop Elektron
Jika waktu pembersihan mukosiliar dan frekuensi kecepatan silia
abnormal, sampel diambil dengan spatula atau dengan biopsi langsung
untuk diperiksa dengan mikroskop elektron untuk mendiagnosa kondisi-
kondisi seperti primary ciliary dyskinesia (PCD).
d. Pengukuran Nitric Oxide
Kadar nitric oxide yang terdapat pada udara ekspirasi hidung dan paru-
paru dapat membantu untuk menentukan fungsi normal mukosiliar. Jika
terjadi inflamasi, makan akan terjadi peningkatan kadar nitric oxide.
(Lund, 2003)

2.1.4 Kadar pH hidung


pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaaman
atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. Defenisi yang formal
tentang pH adalah negative logaritma dari aktivitas ion Hydrogen. pH adalah
singkatan dari power of Hydrogen. pH normal memiliki nilai 7 sementara bila
nilai pH > 7 menunjukkan zat tersebut memiliki sifat basa sedangkan nilai pH< 7
menunjukkan keasaman. pH 0 menunjukkan derajat keasaman yang tinggi, dan
pH 14 menunjukkan derajat kebasaan tertinggi. Umumnya indikator sederhana
yang digunakan adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila

Universitas Sumatera Utara


16

keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain menggunakan


kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja
berdasarkan prinsip elektrolit/konduktivitas suatu larutan (Hartas, 2010).
Normalnya, kadar pH dalam mukosa hidung adalah 7-9, dimana dalam
keadaan normal ini mukosilia dalam hidung dapat bekerja dengan optimal
(Waguespack,1995).

2.2 Polusi Udara


2.2.1 Kandungan dalam Polusi Udara
Pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam
konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan
mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Mukono, 2005).
Berdasarkan buletin WHO yang dikutip Holzworth & Cormick (1976:690),
penentuan pencemar atau tidaknya udara suatu daerah berdasarkan parameter sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Parameter Pencemaran Udara
No. Parameter Udara bersih Udara tercemar
3
1. Bahan partikel 0,01-0,02 mg/m 0,07- 0,7 mg/m3
2. SO2 0,003-0,02 ppm 0,02- 2 ppm
3. CO < 1 ppm 5- 200 ppm
4. NO2 0,003- 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm
5. CO2 310- 330 ppm 350 – 700 ppm
6. Hidrokarbon < 1 ppm 1 – 20 ppm
Sumber : Buletin Who dalam Mukono, 2005

Penyebab pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari


sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan
antara lain adalah gas NO2, SO2, SO3, ozon, CO, HC, dan partikel debu. Gas
NO2, SO2, HC dan CO dapat dihasilkan dari proses pembakaran oleh mesin yang
menggunakan bahan bakar yang berasal dari bahan fosil (Mukono, 2008).

Universitas Sumatera Utara


17

2.2.2 Nilai Ambang Batas Debu di Udara


Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang
diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengalami
gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut (Agusnar, 2008).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999
tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan mengenai pengertian baku
mutu udara ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen
yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien
yang tercantum di dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel
<10 μm) adalah 150 μg/m3.

2.2.3 Dampak Polusi Udara Terhadap Hidung


Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara akan disaring,
dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama mukosa
inspirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet.
Materi-materi yang terkandung dalam polutan dapat menyebabkan perubahan
suasana rongga hidung menjadi asam dalam upaya proteksi terhadap sumber-
sumber infeksi. Perubahan kadar pH menjadi lebih asam ini akan mengganggu
kerja dari silia-silia hidung, sebab frekuensi denyut silia bekerja optimal pada pH
normal, yaitu 7-9 (Waguespack,1995).
Selain itu, polutan-polutan dalam polusi udara dapat merubah komposisi
dari sekret hidung sehingga menyebabkan kerusakan epitel dan silia. Kerusakan
ini akan memperpanjang waktu transpor mukosilia. Hal ini akan menyebabkan
gangguan sistem mukosiliar dan mengakibatkan polutan yang tertangkap oleh
palut lendir akan menembus mukosa hidung dan terjadilah obstruksi. Dari sini
akan muncul keluhan-keluhan pernafasan lainnya seperti batuk, sesak napas,
rhinitis dll. Jika hal ini terjadi terus menerus dalam jangka waktu tertentu akan
menyebabkan rhinosinusitis kronis atau sinusitis kronik (Jhosepin dan Roy, 1999).

Universitas Sumatera Utara


18

2.3 Cuci Hidung dengan NaCl 0,9%


2.3.1 Pengertian Cuci Hidung
Cuci hidung adalah terapi adjuvan untuk kondisi-kondisi saluran pernafasan
bagian atas dengan cara mencuci daerah kavum nasi melalui semprotan atau
cairan. Metode cuci hidung berasal dari tradisi medis Ayurvedic (am fam
physician, 2009).

2.3.2 Mekanisme Kerja Larutan NaCl 0,9%


Cuci hidung menggunakan salin mampu meningkatkan kemampuan mukosa
hidung untuk melawan pengaruh dari agen-agen infeksi, mediator-mediator
inflamasi, dan berbagai jenis iritan. Metode ini juga dapat memperbaiki fungsi
dari mukosa hidung melalui beberapa efek fisioligis termasuk pembersihan secara
langsung akibat irigasi cairan, membuang mediator-mediator inflamasi, dan
memperbaiki fungsi mukosiliar yang dibuktikan dengan peningkatan frekuensi
kecepatan cilia. Selain itu, penggunaan salin secara signifikan mampu
menurunkan konsentrasi histamin dan leukotrien. Meskipun mekanisme kerja dari
cuci hidung menggunakan salin belum diketahui dengan pasti, terdapat beberapa
hipotesis yang mengatakan bahwa cuci hidung mampu memicu perbaikan gejala-
gejala pada hidung dengan cara memperbaiki pembersihan mukosiliar,
menurunkan edema mukosa, menurunkan jumlah mediator-mediator inflamasi
dan secara langsung membersihkan kerak-kerak pada hidung dan mukus yang
telah menebal (am fam physician, 2009; Hernansez, 2007).

2.3.3 Bahan-bahan Untuk Cuci Hidung


Larutan garam yang tersering digunakan adalah NaCl 0,9 % dan NaCl 3%.
Beberapa literatur mengatakan bahwa larutan isotonis lebih baik dibandingkan
dengan larutan hipertonis karena transpor mukosiliar optimal pada pH yang netral
(Rabago, 2006; Passali, Damiani, 2005).

Universitas Sumatera Utara


19

2.3.4 Metode Cuci Hidung


Putar kepala (sekitar 45 derajat) sehingga salah satu lubang hidung berada
di atas yang lainnya. Lalu masukkan ujung dari spuit ke dalam lubang hidung
dengan nyaman tanpa menekan ke bagian tengah atau septum hidung. Bernafas
melalui mulut dan larutan akan masuk ke lubang hidung bagian atas dan
kemudian mengalir ke lubang hidung bagian bawah. Ketika spuit sudah kosong,
hembuskan nafas secara lembut melalui kedua lubang hidung untuk
membersihkan larutan yang berlebih dan mukus. Lakukan prosedur untuk lubang
hidung lainnya (University of Wisconsin).

Gambar 2.4 Teknik melakukan cuci hidung (am fam physician, 2009)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai