Anda di halaman 1dari 8

Nama : Hendrik Alvin Zebua

Nim : 032017045

Prodi : Ners IIIA Tahap Akademik

Matakuliah : Gadar 1

Dosen Pembimbing : Jagentar P Pane S.kep., Ns., M.kes

1. Menyebutkan dan Menjelaskan trauma ekstremitas yang berpotensi mengancam nyawa


2. Menyebutkan dan menjelaskan penatalaksanaan dari
a. Fraktur
b. Sindrome Kompartemen
c. Dislokasi
3. Menyebutkan Macam-macam Splint
4. Menyebutkan Kelemahan Splint Udara

Jawaban

1. Trauma Ekstermitas adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang
yanutuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/ruda paksa atau tenaga fisik yang
ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman dan Nurma, 2009) sehingga fraktur
merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas seseorang akan mengalami
penurunan fungsi fisik, terlebih lagi jika yang mengalami fraktur adalah bagian
ekstremitas bawah yang memberikan pergerakan. Yaitu seperti tulang hemerus, ulna,
radius, karpal, femur, tibia, fibula dan patella. Kondisi ini membutuhkan masalah
keperawatan hambatan mobilitas fisik, yang disebabkan karena adanya kerusakan
integritas struktur tulang, trauma, kaku sendi, nyeri dan gangguan muskuloskletal (Nanda
Internasional, 2015) ada beberapa Trauma Ekstermitas yang dapat mengancam nyawa
Menrurut (Parahita, 2013)
a. Perdarahan Arteri besar
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri mampu
menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan besar pada luka
terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas yang dingin, pucat, dan
menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan gangguan aliran darah arteri.
Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskular. Cedera
ini menjadi berbahaya apabila kondisi hemodinamik pasien tidak stabil. Jika dicurigai
adanya trauma arteri besar maka harus dikonsultasikan segera ke dokter spesialis bedah.
Pengelolaan pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang
agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah akibat pendarahan yang masif.
b. Crush Syndrome
Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh
kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal akut.
Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering adalah
paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia, dan
pelepasan mioglobin. Patofisiologi crush syndrome dimulai dari adanya trauma ataupun
etiologi lain yang menyebabkan iskemia pada otot. Trauma otot yang luas seperti pada
paha dan tungkai oleh trauma tumpul merupakan salah satu penyebab tersering pada
crush syndrome. Crush syndrome biasanya sering terjadi saat bencana seperti gempa
bumi, teror bom dan lain-lain dimana otot dan bagian tubuh remuk tertimpa oleh benda
yang berat.
Pada keadaan normalnya kadar myoglobin plasma adalah sangat rendah (0 to 0.003 mg
per dl). Apabila lebih dari 100 gram otot skeletal telah rusak, kadar myoglobin melebihi
kemampuan pengikatan myoglobin dan akan mengganggu filtrasi glomerulus,
menimbulkan obstruksi pada tubulus ginjal dan menyebabkan gagal ginjal. Gejala yang
timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan pembengkakan pada otot
yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan fungsi otot tersebut.
c. Sindroma kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot dibatasi oleh rongga
fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagai lapisan penahan.
Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan bawah, kaki, tangan, region
glutea, dan paha. Iskemia dapat terjadi karena peningkatan isi kompartemen akibat edema
yang timbul akibat revaskularisasi sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena
penyusutan isi kompartemen yang disebabkan tekanan dari luar misalkan balutan yang
menekan
2. Penatalaksanaan
Fraktur
a. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis tulang yang
dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka. Reduksi tertutup dilakukan
dengan traksi manual atau mekanis untuk menarik fraktur kemudian, kemudian
memanipulasi untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal
atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka
dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi
sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen,
kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat tersambung kembali.
b. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan mencegah
pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan plat atau traksi dimaksudkan
untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur.
c. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah pembedahan, pasien
memerlukan bantuan untuk melakukan latihan. Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan
rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
1) Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan rentang gerak
sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan lunak serta mencegah
strain berlebihan pada otot yang diperbaiki post bedah.
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat, katrol atau tongkat
3) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot. Latihan
biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6 minggu setelah
pembedahan atau dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan ekstremitas atas

Sindrome Kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan kumpulan gejala yang terjadi saat tekanan dalam
ruang tertutup kompartemen otot meningkat sampai tingkat berbahaya. Peningkatan
tekanan dalam kompartemen otot biasanya diawali oleh proses trauma yang disertai
fraktur. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh fraktur, ataupun oleh serangkaian tindakan
selama penanganan fraktur. Artikel ini membahas mekanisme sindrom kompartemen
pada tungkai bawah, tanda dan gejala, dan tatalaksana sindrom kompartemen.
Prinsip utama penanganan sindrom kompartemen tungkai bawah adalah dekompresi.
a. Dekompresi
Dekompresi dengan tujuan menurunkan tekanan dalam kompartemen dapat dilakukan
dengan cara:
• Lepaskan semua plaster yang mengikat tungkai bawah
• Letakkan tungkai pada posisi sejajar dengan jantung, karena posisi lebih tinggi
dari jantung dapat menurunkan aliran darah arterial ke otot dan akan memperburuk
keadaan iskemia.
• Lakukan imobilisasi fraktur dengan posisi paling relaks; dengan menyangga kaki
dalam posisi sedikit fleksi plantaris (kaki condong ke arah bawah)
• Lakukan tindakan fasiotomi (pemotongan fascia) apabila ada indikasi. Banyak
peneliti menyatakan indikasi dekompresi dengan fasiotomi adalah apabila tekanan
kompartemen naik menjadi 30 mmHg

Prosedur ini harus dilakukan sesegera mungkin karena kerusakan permanen otot akan
terjadi dalam 4-12 jam dan kerusakan permanen saraf akan terjadi dalam 12-24 jam sejak
terjadinya peningkatan tekanan intra-kompartemen.
Cara Mengukur Tekanan Intrakompartemen :
• Siapkan alat pengukur stryker intra-compartemental pressure monitors system dan
hubungkan dengan jarum infus ukuran 18 G.
• Posisikan pasien senyaman mungkin dengan meletakkan posisi kompartemen
yang akan diukur sejajar jantung.
• Lakukan prosedur septik dan aseptik pada daerah pengukuran, pilih jaringan kulit
pada kompartemen yang akan diukur dengan syarat kulit intak dan bebas infeksi.
• Lakukan prosedur pembiusan.
• Masukkan jarum yang terdapat pada alat pengukur secara tegak lurus sedalam 3
sentimeter pada kompartemen tungkai bawah yang diukur.
• Gerakkan kaki pada posisi fleksi dan ekstensi untuk melihat peningkatan tekanan
intra-kompartemen dan memastikan ujung jarum sudah terletak di dalam kompartemen.
• Dalam posisi diam, baca angka pada alat pengukur yang menunjukkan tekanan
dalam kompartemen.

b. Fasiotomi
Fasiotomi merupakan tindakan operatif definitif dengan cara memotong fascia untuk
membuka ruang, sehingga tekanan dapat langsung berkurang.
• Pada tungkai bawah, fasiotomi dilakukan dengan sayatan di sepanjang
kompartemen tungkai bawah dengan teknik insisi dobel.
• Dua sayatan sejajar sepanjang 15-20 sentimeter dibuat di dua tempat. Tempat
pertama adalah bagian tepi luar depan (anterolateral) tungkai untuk dekompresi
kompartemen anterior dan lateral, dan sayatan kedua pada bagian tepi dalam belakang
(posteromedial) tungkai untuk dekompresi kompartemen posterior.
• Jangan lakukan tindakan fasiotomi apabila sindrom kompartemen terdiagnosis
pada hari ketiga atau keempat setelah onset.9,15 Fasiotomi juga tidak boleh dilakukan
apabila telah terjadi kematian jaringan otot yang ditandai dengan rasa nyeri yang
memburuk, perubahan warna otot menjadi lebih gelap, perubahan warna urin menjadi
kecoklatan (akibat kandungan mioglobin yang meningkat), dan dapat disertai gangren
serta gejala inflamasi sistemik lainnya.16 Hal ini karena jaringan otot yang telah nekrosis
sangat rentan terhadap infeksi. Apabila saat terjadinya sindrom kompartemen tidak
diketahui pasti, tindakan fasiotomi tetap dianjurkan (Aprianto, 2017)

Dislokasi
Dislokasi adalah cedera pada sendi yang terjadi ketika tulang bergeser dan keluar dari
posisi normalnya. 
1. Reposisi pada dislokasi anterior pada shoulder.
a. Reduksi tertutup harus dilakukan setelah pemeriksaan klinis yang adekuat dan telah
diberikan analgetik , sedatif, dan muscle relaxant
b. Hippocratic Technique : Efektif hanya dengan satu orang untuk melakukan reduksi
dengan satu kaki ditempatkan diantara dinding axilla dan dinding dada dengan rotasi
internal dan external secara hati-hati, disertai traksi axial.
c. Traction – Counter Traction: merupakan modifikasi dari Hippocratic Technique
dengan menggunakan sabuk sekitar daerah dada untuk memberikan gaya
countertraction.
d. Stimson’s Technique : pasien dalam posisi prone dengan bantalan di area clavicula
di atas tempat tidur diberikan beban 2,5-4 kg yang diikat pada wrist joint. Persendian
akan tereduksi secara spontan dalam waktu 15-20 menit.
e. Milch’s Technique : pasien dalam posisi supine, kemudian ekstremitas atas di
posisikan abduksi dan rotasi eksternal, kemudian caput humerus di tekan ke
tempatnya semula dengan bantuan ibu jari.
f. Kocher’s maneuver : caput humerus ditarik hingga anterior glenoid untuk
memberikan efek reduksi

2. Reposisi pada dislokasi Posterior pada shoulder

a. Reduksi tertutup harus dilakukan setelah pemeriksaan klinis yang adekuat dan
telah diberikan analgetik , sedatif, dan muscle relaxan

b. Pasien dengan posisi supine traksi dilakukan dengan adduksi dari lengan yang
segaris dengan deformitas, dengan cara mengembalikan secara hati-hati caput
humerus ke dalam fossa glenoid.

3. Post-reposisi pada dislokasi pada shoulder

a. Immobilisasi selama 2 – 5 minggu

b. Immobilisasi dengan Velpeau sling

c. Pemeriksaan X-Ray Shoulder AP untuk menilai hasil reduksi

4. Reposisi dislokasi posterior pada elbow

a. Reduksi tertutup harus dilakukan setelah pemeriksaan klinis yang adekuat dan
telah diberikan analgetik dan sedatif.
b. Parvin’s method : pasien dalam posisi prone diatas tempat tidur, kemudian
melakukan traksi wrist ke arah bawah dalam beberapa menit. Ketika olecranon
bergeser ke arah distal, angkat lengan atas.

c. In Meyn and Quigley’s method : lengan bawah tergantung disamping tempat


tidur, lakukan traksi ke arah bawah pada wrist, reduksi olecranon dengan
menggunakan tangan lainnya

5. Post-reposisi pada dislokasi pada elbow

a. Immobilisasi selama 2 –3 minggu

b. Immobilisasi dengan crepe bandage dan sling

c. Pemeriksaan X-Ray Elbow AP dan lateral untuk menilai hasil reduksi

3. Macam macam Splint

Saleh (2006), menyatakan bahwa pembidaian (splinting) adalah suatu cara pertolongan pertama
pada cedera atau trauma pada sistem muskuloskeletal yang harus diketahui oleh dokter, perawat,
atau orang yang akan memberikan pertolongan pertama pada tempat kejadian kecelakaan.
Pembidaian adalah cara untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami
cedera dengan menggunakan suatu alat. Saleh (2006), menyatakan bahwa ada 5 alasan dalam
melakukan pembidaian pada cedera musculoskeletal yaitu:

a.Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau sendi yang mengalami
dislokasi.

b Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar tulang yang patah
(mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah, jaringan saraf perifer dan pada jaringan
patah tulang tersebut).

c.Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.

d.Untuk mencegah terjadinya syok.

e.Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan.


Gilbert (2011) menyatakan bahwa pembidaian membantu mengurangi komplikasi sekunder dari
pergerakan fragmen tulang, trauma neurovaskular dan mengurangi nyeri. Ada beberapa macam
splint, yaitu:

a.Hard splint (bidai kaku)

Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku sederhana bisa dibuat dari
kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dari plastik, aluminium, fiberglass dan gips back slab.
Gips back slab ini dibentuk dan diberi nama sesuai peruntukannya untuk area trauma yang
dipasang bidai. Gips back slab merupakan alat pembidaian yang lebih baik dan lebih tepat
digunakan pada ekstremitas atas dan bawah serta digunakan untuk imobilisasi sementara pada
persendian.

b.Soft splint (bidai lunak)

Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh penolong dengan menggunakan
alat pembidaian sederhana seperti bantal atau selimut.

c.Air slint atau vacuum splint

Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara. Bidai udara mempunyai efek
kompresi sehingga beresiko terjadi compartment syndrome dan iritasi pada kulit.

d.Traction splint (bidai dengan traksi)

Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan traksi pada bidai. Bidai
dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk trauma pada daerah femur dan sepertiga bagian
tengah ekstremitas bawah

4. Kelemahan Splint Udara adalah Bidai udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko
terjadi compartment syndrome dan iritasi pada kulit. (Gillber 2011)

Anda mungkin juga menyukai