JUDUL PENELITIAN/PENGABDIAN
Screening Prevalensi dan Karakteristik Scoliosis Pada Populasi Remaja Usia
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kotamadya Makassar
DEPARTEMEN PENGUSUL
Departemen Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
ANGGOTA PENGUSUL
dr. Husnul Mubarak, Sp.KFR
dr. NillaMayasari, Sp.KFR, M.Kes
dr. MeldaWarliani, Sp.KFR
dr. AnshorySahlan, Sp.KFR
I
HALAMAN PENGESAHAN
BLOCK GRANT PENELITIAN DAN PENGABDIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
1. Judul Riset : Screening Prevalensi dan Karakteristik Scoliosis Pada Populasi Remaja Usia Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di Kotamadya Makassar
2. KetuaPeriset
a. NamaLengkap : dr. Husnul Mubarak, Sp.KFR
b. JenisKelamin : Laki-laki
c. NIP : 198610182010121006
d. Jabatan Struktural : PYMT Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
e. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
f. Insititusi Periset : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
g. Alamat : Jl Perintis Kemerdekaan Km.10 Makassar
h. HP/Telepon/Faks : 0411 586010
i. Alamat Rumah : Jl Puri Kencana Sari Blok I/9 Tamalanrea, Makassar
j. Telepon/Faks/Email : 081355073911
3. Anggota Periset :
No Nama NIP Departemen
1 dr. Husnul Mubarak, Sp.KFR 198610182010121006 Dept. IKFR
2 dr. NillaMayasari, Sp.KFR, M.Kes 197705192003122002 Dept. IKFR
3 dr. AnshorySahlan, Sp.KFR 198603172012121003 Dept. IKFR
4 dr. MeldaWarliani, Sp.KFR - Dept. IKFR
KETUA PERISET
MENYETUJUI
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
II
RINGKASAN
III
Lampiran I
PAKTA INTEGRITAS PENELITI
BLOCK GRANT FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS
1. Tidak akan melakukan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam
pelaksanaan program;
2. Memiliki komitmen, kemampuan, dan kesanggupan untuk memberikan
dalam pelaksanaan riset sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan;
3. Proposal berjudul “Screening Prevalensi dan Karakteristik Scoliosis Pada Populasi
Remaja Usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kotamadya Makassar" yang
diusulkan bersifat original dan belum mendapat sumber pendanaan lain;
4. Tidak sedang mengikuti kegiatan akademik lain yang dapat mengganggu
keberhasilan/kesuksesan pelaksanaan program riset/pengabdian;
5. Apabila saya melanggar hal-hal yang dinyatakandalam PAKTA INTEGRITAS ini,
bersedia menerima sanksi administratif, menerima sanksi dipublikasikan melalui
media massa, digugat secara perdatadan/atau dilaporkan secara pidana
IV
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN -------------------------------------------------------------------- ii
RINGKASAN --------------------------------------------------------------------------------------iii
LAMPIRAN ---------------------------------------------------------------------------------------- iv
DAFTAR ISI -----------------------------------------------------------------------------------------v
BAB 1 PENDAHULUAN-------------------------------------------------------------------------1
1.1 Latar Belakang ----------------------------------------------------------------------------------1
1.2 Tujuan --------------------------------------------------------------------------------------------2
1.3 Sasaran Penelitian ------------------------------------------------------------------------------2
1.4 Tempat Penelitian -------------------------------------------------------------------------------3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA -----------------------------------------------------------------4
2.1 Definisi -------------------------------------------------------------------------------------------4
2.2 Epidemiologi ------------------------------------------------------------------------------------4
2.3 Etiologi -------------------------------------------------------------------------------------------5
2.4 Klasifikasi ----------------------------------------------------------------------------------------6
2.5 Pemeriksaan Fisik ------------------------------------------------------------------------------8
2.6 Pemeriksaan Tambahan ---------------------------------------------------------------------- 11
2.7 Terapi ------------------------------------------------------------------------------------------- 12
2.8 Prognosis --------------------------------------------------------------------------------------- 14
2.9 Komplikasi ------------------------------------------------------------------------------------- 14
BAB 3METODE PENELITIAN -------------------------------------------------------------- 15
3.1 Tempat Penelitian ---------------------------------------------------------------------------- 15
3.2 Teknis Pelaksanaan --------------------------------------------------------------------------- 15
3.3 Instrumen Pemeriksaan Skrining ----------------------------------------------------------- 16
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian ------------------------------------------------------------ 16
3.5 Rincian Peran Anggota Departemen ------------------------------------------------------- 17
BAB 4 Luaran ------------------------------------------------------------------------------------ 18
4.1 Manfaat Penelitian ---------------------------------------------------------------------------- 18
BAB 5 PENDANAAN --------------------------------------------------------------------------- 19
5.1 Pendanaan Penelitian ------------------------------------------------------------------------- 19
5.2 Anggaran Alokasi Penelitian ---------------------------------------------------------------- 19
Daftar Pustaka ------------------------------------------------------------------------------------- 21
V
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adolescent Idiopathic Scoliosis (AIS) merupakan deformitas vertebra yang paling umum
ditemukan pada remaja mulai usia 10 tahun, dan tercatat menjadi 80 hingga 85% dari seluruh
kasus scoliosis idiopathic. Pada beberapa literatur, scoliosis memiliki prevalensi hingga 3%
dari seluruh populasi usia 10 – 16 tahun. Kondisi scoliosis ditandai dengan adanya deviasi
alignment dari vertebra pada bidang frontal, diukur sebagai Cobb’s angle> 100biasanya disertai
dengan rotasi pada segmen vertebra yang terlibat.1
Scoliosis pada umumnya tidak menimbulkan gejala klinis hanya merupakan masalah
estetik postur namun pada kurva scoliosis yang berat, yaitu cobb’s angle > 400seringkali
menimbulkan gejala nyeri punggung, paresthesis tungkai, penurunan kapasitas kardiovaskular,
dan gejala neurologis lainnya yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup bagi
penderitanya. Penanganan scoliosis pada kondisi ini kebanyakan akan membutuhkan tindakan
operasi dan pemberian orthotic yang seringkali tidak disenangi oleh penderita dan keluarga.1, 2
Jika ditemukan sejak dini, scoliosis dapat dicegah progresivitasnya dan mengurangi
kemungkinan diperlukannya tindakan yang lebih agresif. Terdapat banyak bukti literatur yang
menunjukkan peningkatan kualitas hidup, progresi kurva dan estetika postur terkait dengan
intervensi dini scoliosis. Edukasi postur dan latihan scoliosis telah terbukti efektif mengurangi
progresivitas cobbs angle pada penderita scoliosis dengan kurvatura yang rendah.2
The US Preventive Services Task Force (USPSTF), yang merupakan unit pencegahan
penyakit dalam sistem kesehatan Amerika Serikat, menunjukkan banyak manfaat yang
diperoleh dengan melakukan skrining sekolah untuk kasus AIS pada siswa-siswa sekolah usia
10 – 18 tahun dengan penggunaan instrumen skrining yang baku, sehingga tindakan preventif
dapat dilakukan terutama pada penderita yang tidak menyadari kondisi scoliosis pada
posturnya untuk mencegah progresivitas kurva scoliosisnya.2 Terdapat pernyataan
rekomendasi dari USPSTF dipublikasi pada tahun 2018, terkait dengan akurasi tes skrining
yang mencapai hingga 94% untuk sensitivitas dan 99% untuk spesifisitas jika menggunakan
tiga skrining test yaitu forward bending, scoliometer, dan topografi Moire.1
1
Kasus scoliosis di Indonesia kebanyakan ditemukan pada kurvatura yang sudah berat
sehingga memerlukan tindakan operatif. Ketidakberadaan dari gejala scoliosis dan kultur malu
dari masyarakat Indonesia menyebabkan pasien enggan untuk mencari pengobatan ke klinik
atau rumah sakit. Di Indonesia masih belum dilaporkan program skrining scoliosis yang
melibatkan siswa-siswa usia sekolah, sehingga deteksi dini scoliosis sulit dilakukan.
Skrining sekolah untuk kasus scoliosis dapat merupakan salah satu cara sebagai program
kesehatan remaja untuk mengurangi beban biopsikologis pada penderita yang ditemukan dan
menjadi program yang berpotensi memiliki efisiensi pembiayaan kesehatan. Thilagaratnam et
al. menggambarkan program skrining berbasis sekolah yang dilakukan di Singapura pada tahun
1999 hingga 2001, menunjukkan bahwa pembiayaan langsung dan tidak langsung dari skrining
adalah sekitar SGD $450.000/tahun dimana biaya total dari operasi dan follow up sekitar
SGD$1.300.000/tahun.3
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini untuk menemukan kasus scoliosis pada anak usia sekolah tingkat
sekolah menengah pertama yang merupakan populasi yang paling umum terjadinya AIS.
Skrining scoliosis menggunakan instrumen yang baku sehingga kasus scoliosis yang tidak
bergejala diharapkan dapat ditemukan pada skrining dan penderita akan diberikan edukasi
postural dan latihan skoliosis.
Penelitian ini merupakan skrining scoliosis pada remaja dengan usia sekolah tingkat
sekolah menengah pertama (SMP) dari setiap kecamatan yang berada di wilayah kota
Makassar. Sasaran penelitian yaitu melakukan deteksi dini sehingga sampel yang ditemukan
2
memiliki deformitas scoliosis dilakukan asessment resiko dengan menggunakan kuesioner
scoliosis dan tatalaksana dalam bentuk edukasi postur dan latihan scoliosis.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Scoliosis berasal dari kata Yunani “Skoliosis” yang berarti bengkok atau lengkungan.
Hal ini disebabkan oleh adanya deformitas complex three-dimensional tulang belakang yang
ditandai dengan deviasi tulang kearah lateral setidaknya 10 derajat dengan rotasi vertebra dan
biasanya berhubungan dengan reduksi dari curvature normal khypotic pada tulang belakang
(Hypokyphosis).4
Skoliosis merupakan kelainan bentuk tulang belakang yang mempengaruhi jutaan orang
di seluruh dunia. Sementara 20% kasus scoliosis dapat dikaitkan dengan gangguan
neuromuscular, sindrom atau kongential, sebanyak 80 % dari skolisosis adalah idiopatik atau
etiologi tidak diketahui.5
2.2 Epidemiology
4
dengan rasio perempuan:laki-laki 4,7:1. Pada studi ini juga menemukan bahwa derajat
kemiringan 7o atau lebih besar, lebih dapat diterima dibandingkan dengan derajat kemiringan
5o sehingga cocok digunakan unutk screeing pada tingkat sekolah.6
Penelitian lain juga menemukan bahwa prevalensi skolisois juga lebih tinggi pada remaja
yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tertentu seperti menari, balet, berenang, tenis meja,
lempar lembing, bola volly, senam, dan senam ritmik. Terlepas dari temuan ini tidak ada bukti
yang menunjukkan hubungan kausal antara kejadian scoliosis dan aktivitas olahraga apapun.
Penelitian di bidang ini terbatas karena sebagian besar penelitian adalah retrospektif case
control yang memiliki bias dalam pengambilan informasi.5
2.3 Etiologi
Scoliosis idiopatik merupakan bentuk diagnosis lain dari scoliosis yang sampai hari ini
penyebabnya belum diketahui.5 Namun beberapa perbedaan teori termasuk teori hormone,
pertemubuhan yang asimetris, gangguan biomekanik dan neuromuscular tulang, serta factor
genetic. Hampir 30% pasien dengan AIS memiliki riwayat keluarga dengan scoliosis.7
a. Factor Genetik
Teori ini diadapatasi pada tahun 1920-an dan studi selanjutnya dilakukan untuk
mengkonfirmasi sifat keluarga pada kondisi tersebut dan ditemukan adanya peningkatan
insiden deformitas yang memiliki riwayat keluarga scoliosis namun tetap kontroversi mengenai
apakah kondisi ini merupakan gen dominan atau multiple.3literatur tidak dapat menyimpulkan
apakah kelainan tersebut terkait dengan kromosom X, 24 multifaktorial, 44 autosomal
dominan, 65 atau dominan gen diallele.8
b. Factor Hormonal
Pada teori ini menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadinya scoliosis adalah
defisiensi hormon melatonin. Clark et al dan peneliti lain menemukan hubungan antara AIS
dan kadar melaotin rendah. Hormone melatonin telah menjadi menarik dalam studi AIS sejak
ditemukan pada hewan yang kekurangan melatonin dan berkembang menjadi skolisosis.
Namun, studi pada manusia beragam. Beberapa peneliti lain tidak menemukan perbedaan yang
signifikan penurunan melatonin pada malam hari atau siang hari pada pasien AIS dan control
normal. Hasil yag brtentangantersebut mengarah pada proposal bahwa AIS bukan disebabkan
oleh disfungsi jalur sinyal melatonin yang hanya mempengaruhi tipe sel tertentu yaitu
osteoblast.5
5
c. Teori Biomekanik
Abnormalitas dari mekanisme pertumbuhan spinal juga menunjukkan penyebab dari
perkembangan dan progresivitas skoliosis. Dimana dihubungkan dengan waktu kecepatan
pertumbuhan pada remaja.5
d. Perubahan Struktur Anatomi
Adanya tekana asimetris pada vertebra imatur menyebabkan bagian vertebra pada sisi
cekung dari kurva mengalami pertumbuhan yang lambat sedangkan bagian vertebra cembung
lainnya di mana lebih sedikit tekanan memiliki pertumbuhan yang cepat atau normal. Pada
scoliosis terjaid pada struktur jaringan lunak yang mengelilingi vertebra. Pemendekan
jaringan-jaringan terjadi pada sisi cekung kurva dan disertai pemendekan intervertebralis
kapsul sendi.5
2.4 Klasifikasi
Scoliosis idiopatik diklasifikasikan berdasarkan usia anak. Ini dapat dibagi pada onset
dini (usia 5-7 tahun) dan onset lambat (usia 7 hingga matur). Namun Growing Spine Committee
of the Scoliosis Research Society, and the Pediatric Orthopaedic Society of North America
menentukan scoliosis dimilai dari onset dini sampai usia kurang sepuluh tahun. Scoliosis
idiopatik bisa dibagi dalam tiga fase usia: infantile, juvenile, dan adolescent.4
Congenital: Failure of formation, Failure of Idiopathic: Infantile (0-3 tahun), Juvenile (3-
segmentation 10 tahun), Adolescent (10+ tahun)
Neuromuscular: Others: Neurofibromatosis, Mesenchymal
1) Myopathic Arthrogryposis, Muscular (Marfan’s, Ehler-Danlos), Traumatic,
dystrophy Tumors, Osteochondrodystrophies
2) Neuropathic Upper Motor Neurone,
Lower Motor Neurone, Dysautonomia
6
Oleh karena itu, ada beberapa klasifikasi untuk scoliosis yang digunakan salh satunya adalah
klasifikasi Lenke.
Ahli bedah menggunakan klasifikasi Lenke untuk mengklasifikasikan jenis kurva pada
pasien AIS dan untuk menentukan sejauh mana arthrodesis diperlukan untuk memperbaiki
scoliosis pada pasien tersebut. System ini membagi tipe kurva menjadi 6 dan 3 jenis lumbar
spine modifier. Kurva digambarkan sebagai structural atau non structural dan sebagai Main
Thoracic (MT), Double Thoracic (DT), Double Major (DM), Triple Major (TM),
Thoracolumbar/Lumbar (TL/L), Or Thoracolumbar/Lumbar-Main Thoracic (TL/L – MT).
Selanjutnya lumbar spine modifier diterapkan ketika center sacral vertical line (CSVL) berada
di antara pedikel dalam kurva vertebra lumbar (A), menyentuh tubuh apical dari kurva vertebra
lumbar (B) atau medial ke kurva vertebra lubar (C).8
7
Selama beberapa tahun terakhir, beberapa artikel menerbitkan mengenai evaluasi dan
klasifkasi AIS menggunakan terminology dan teknik 3 dimensi (3D). CT-Scan dan MRI dapat
digunakan untuk menilai tulang belakang dalam 3D.5,9
Pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian pola kurva, tingkat bahu, asimetris pinggang
dan kemiringan panggul. Deformitas rotasi tulang rusuk (punuk rusuk) harus di evaluasi
dengan melalukan Adam forward bend test. Tes positif akan memperlihatkan punuk rusuk di
sisi cembung kurva.5Adams forward bend test dilakukan untuk mengindentifikasi lengkungan
bidang aksial dan koronal dengan rotasi aksial yang sesuai. Scoliometer juga dapat digunakan
selama tes ini untuk mengukur secara klinis.8
Skrining
Kebutuhan dan manfaat yang diperoleh dari skrining populasi secara universal untuk
mengidentifikasi remaja dengan skoliosis idiopatik ringan, sedang atau berat telah menjadi
subjek perdebatan dan ketidaksepakatan dalam komunitas medis selama beberapa dekade.
Kurva derajat ini sering asimptomatik pada masa remaja, dengan pengecualian kelainan
kosmetik, sebagian besar kurva tersebut tidak akan berkembang secara signifikan selama masa
remaja, dan kemungkinan kelanjutan perkembangan di masa dewasa rendah untuk kurva
8
kurang dari pada kematangan kerangka. Namun, kemampuan untuk mengidentifikasi kasus-
kasus AIS mana yang cenderung memburuk secara signifikan selama masa remaja terbatas.
Oleh karena itu, alasan di balik skrining untuk tingkat skoliosis yang lebih ringan adalah bahwa
jika awal, pengobatan yang efektif dapat dilakukan untuk orang dengan AIS, maka
perkembangan kurva dapat diperlambat atau dihentikan sebelum kematangan kerangka, yang
secara teoritis dapat meningkatkan hasil jangka panjang.10
Sebagian besar metode penyaringan AIS berbiaya rendah dan tidak invasif. Namun,
karena mereka mengukur rotasi tulang belakang atau asimetri tulang belakang daripada
kelengkungan tulang belakang yang sebenarnya, dan karena kesalahan interexaminer
menghalangi korelasi hasil skrining yang dapat diandalkan dengan tingkat kelengkungan
tulang belakang yang spesifik, diperlukan x-ray konfirmasi untuk mengukur tingkat keparahan
AIS.10
Pemeriksaan Spesifik
Gambar 4. Tes forward-bending Adam. Di sini seorang pasien dilihat dari belakang dan diminta untuk
membungkuk ke depan sampai tulang belakangnya horizontal. Perhatikan sisi kanan belakang tampak
lebih tinggi dari kiri.5
9
Penyebab sekunder scoliosis harus disingkirkan. Oleh karena itu pemeriksaan neurologis dan
musculoskeletal penuh diperlukan (lihat tabel 2).8 Tes duduk membungkuk kedepan dapat
menghilangkan ketidakseimbangan panjang kaki seperti cavovarus, dapat mengindikasikan
adanya kelainan sumbu saraf yang mendasari.5
b. Scoliometer (inclinometer)
Scoliometer (inclinometer) adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurva pada tulang
belakang pada procesus spinosus yang asimetris.5,8 Cara pengukuran dengan inclinometer
dilakukan pada pasien dengan posisi membungkuk, kemudian atur posisi pasien karena posisi
ini akan berubah-ubah tergantung pada lokasi kurvatura scoliosis, sebagai contoh kurva
dibawah vertebra lumbal akan membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding
kurvapada thorokal. Kemudian letakkan inclinometer pada apeks kurva, biarkan inclinometer
tanpa ditekan, kemudian baca angka derajat kurva. Pada screening, pengukuran ini signifikan
apabila hasil yang diperoleh labih besar dari 5 derajat, hal ini biasanya menunjukkan derajat
adanya rib hump. Ini disebabkan karna adanya rotasi pada daerah vertebra thorakal, dan ini
juga dapat menunjukan kelengkungan vertebra. Perlu dicatat hal ini hanya menunjukan adanya
kelainan pada spine akan tetapi tidak menunjukan tingkat keparahan dan deformitas tersebut.8
10
Gambar 5.Scoliometer (inclinometer)
Evaluasi umunya dilakukan baik melalui tingkat sekolah, pelatih sekolah atauun dokter
anak. Evaluasi formal yang tepat termasuk pencitraan x-ray. Pasien membutuhkan coronal x-
ray, sagittal x-ray, left and right bending x-ray. Klasifikasi Risser umumnya dapat dihitung dari
krista iliaka pada potongan koronal x-ray. Konsensus menyatakan bahwa CS-Scan dan MRI
unutk pasien AIS tipikal tidak dibenarkan. Namun, teknik pencitraan intraoperative tertentu
memang membutuhkan pencitraan CT pra operatif dan intraoperative.4,6 Pencitraan tingkat
lanjut seperti CT atau MRI dicadangkan untuk kasus-kasus di mana ada "bendera merah"
(misalnya, kurva toraks kiri, kyphosis, nyeri, atau defisit neurologis).8
11
Gambar 6. Posterio-anterior standing radiograph showing right thoracic curve.b Lateral standing
radiograph.5
2.7 Terapi
Pilihan pengobatan pada scoliosis dapat dilakukann dengan observasi, orthosis, dan
operatif. Pemilihan pengobatan terbaik didasarkan pada kematangan pasien (usia, status
menarke, penilian Risser dari apofisi iliaca), lokasi tingkat keparahan dan resiko perkembangan
kelemgkungan. Protocol umum pengobatan adalah untuk kurva kurang dari 25 cukup
observasi, 25-45 derajat dengan ortosis, dan lebih dari 45 derajat mempertimbangkan untuk
operasi.5,8
12
Non Operativ
a. Observasi
Ketika kelengkungan kurang dari 25 derajat, pasien dapat diamati setiap 6 hingga 12
bulan dengan tindak lanjut klinis dan radiologis. Pasien-pasien ini diberikan informasi yang
sesuai. Ketika mendiskusikan operasi pada pasien maka riwayat penyakit AIS perlu
diperhitungkan. Tinjauan literatur menunjukkan bahwa kurva toraks tunggal 50-75 °
mengalami kemajuan 0,73 ° / tahun selama periode 40 tahun. Jika dibandingkan dengan
populasi yang sehat, tidak ada kerugian nyata dalam fungsi sosial, melahirkan anak, dan
menikah. Beberapa pasien dengan kurva yang lebih besar (lebih dari 110) memiliki masalah
paru, tetapi ini tidak menghasilkan peningkatan mortalitas.5
b. Bracing
Untuk kurva antara 25 dan 45 derajat di bawah level T8 secara umum, dan ada risiko
perkembangan kurva. Bracing harus dipertimbangkan, sehingga kurva tidak berkembang
seiring waktu. Sebuah meta-analisis oleh Row et al. telah menunjukkan tingkat keberhasilan
93% untuk menguatkan 23 jam per hari. Meskipun bracing telah terbukti efektif, kepatuhannya
buruk dan dikaitkan dengan tekanan psikologis.5,8
Operatif
2.8 Prognosis
Skoliosis infantil atau skoliosis onset dini jarang terjadi dan sembuh secara spontan pada
kebanyakan kasus. Orang-orang yang melakukan kemajuan memerlukan perawatan yang
kompleks. Jika tidak diobati, ini mungkin terkait dengan komplikasi paru jangka panjang, yang
tidak umum terlihat pada AIS.5
13
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari skoliosis yang tidak diobati termasuk perkembangan kelainan bentuk. Ini
dapat menghasilkan nyeri punggung, radikulopati lumbar, masalah kosmetik, dan bahkan
pembatasan jantung dan paru. Pasien yang tidak diobati dengan kurva lebih dari 80 derajat pada
bidang koronal dapat mengalami peningkatan sesak napas.7
Komplikasi bedah umumnya lebih rendah daripada operasi deformitas tulang belakang orang
dewasa tetapi ada. Satu seri data nasional memperkirakan cedera neurologis pasca-bedah 0,9%,
komplikasi pernapasan 2,8%, komplikasi jantung 0,8%, infeksi 0,5%, dan 2,7% untuk
komplikasi gastrointestinal.7
14
BAB 3
METODE PENELITIAN
15
3.3 Instrumen Pemeriksaan Skrining
3.3.1 Scoliometer
Scoliometer (inclinometer) adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurva pada tulang
belakang pada procesus spinosus yang asimetris.5,8Cara pengukuran dengan inclinometer
dilakukan pada pasien dengan posisi membungkuk, kemudian atur posisi pasien karena posisi
ini akan berubah-ubah tergantung pada lokasi kurvatura scoliosis, sebagai contoh kurva
dibawah vertebra lumbal akan membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding
kurvapada thorokal
3.3.2 Plumb line
Pemeriksaan dengan plumb line menggunakan tali yang diikat dengan beban kecil
(pendulum) pada bagian ujungnya. Sampel penelitian berdiri tegap kemudian pemeriksaa
menaruh ujung tali pada processus spinosus vertebra C7 dan memperhatikan posisi pendulum
pada bagian dari gluteal fold. Normalnya pendulum tersebut tepat pada bagian gluteal fold
bukan di sisi lateral dari gluteal fold.
16
3.5 Rincian Peran Anggota Departemen
Masing-masing anggota peneliti memiliki tugas dalam penelitian sebagai berikut:
No Nama Departemen/Institusi Peranan
1 dr. Husnul Mubarak, Sp.KFR Dep. Kedokteran Ketua Penelitian
Fisik dan
Rehabilitasi
2 dr. Nilla Mayasari, Sp.KFR, Dep. Kedokteran Penanggung Jawab
M.Kes Fisik dan Pengumpulan Data
Rehabilitasi 1, Pengolahan Data
3 dr. Anshory Sahlan, Sp.KFR Dep. Kedokteran Pengumpulan Data
Fisik dan 2
Rehabilitasi
4 dr. Melda Warliani, Sp.KFR Dep. Kedokteran Melatih mahasiswa
Fisik dan untuk melakukan
Rehabilitasi screening
17
BAB 4
LUARAN
18
BAB 5
PENDANAAN
19
9 Monitoring 1 1 5.000.000 5.000.000
dan Evaluasi
TOTAL 50.103.200
20
BAB 5
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
Kami mengambil parameter antropometri sebagai salah satu karakteristik yang dapat
menjadi suatu komorbid dari kondisi scoliosis terutama untuk obesitas dan underweight. Dari
penelitian ini kami menemukan cukup banyak sampel dengan berat badan yang di atas rata-
rata (overweight, obese 1, dan obese 2).
Parameter terakhir adalah prestasi belajar yang kami bagi menjadi tiga karakteristik
dibagi menjadi tiga persentil dari peringkat kelas pada akhir tahun ajar 2018/2019, yaitu dibagi
menjadi persentil atas (peringkat 1/3 atas dari jumlah siswa di kelas), persentil tengah, dan
persentil bawah. Peneliti mengambil parameter ini sebagai gambaran karakteristik tingkat
21
intelektual dari sampel, beberapa penelitian sebelumnya mengaitkan kejadian scoliosis pada
siswa-siswa dengan peringkat kelas yang tinggi.
Pada hasil skrining sampel siswa SMP jumlah kasus scoliosis sebanyak 63 temuan
(15,8%), dimana pada SMP 6, SMP 8, dan SMP 12 ditemukan secara berturut-turut sebanyak
22
24, 18, dan 21 temuan. Distribusi temuan kasus scoliosis berdasarkan data demografi yaitu
dipaparkan pada tabel 5.2.
23
2010 yaitu ditemukan pada 752 pasien scoliosis, diantaranya 644 pasien (86%) adalah
perempuan
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Dunn. J., Henrikson. NB., Morrison. CC., Nguyen. M., Blasi. PR., Lin. JS.,(2018).
Screening for AdolescentIdiopathic Scoliosis: A Systematic Evidence Review for the U.S.
Agency for Healthcare Research and Quality No. 17-05230-EF-1.
2. Ha. AS., Beauchamp. EC., (2018). Screening for adolescent idiopathic scoliosis: US
preventive services task force recommendation statement. Jounal Spine Surgey Vol.
4(4):812-816
3. Thilagaratnam S., (2007). School-based screening for scoliosis: Isit cost-effective.
Singapore Med Journal, Vol. 48:1012-7
4. Naghman, M., Ahmad. Z., Verma, R., (2016). Adolescent Idiopathic Scoliosis. The Open
Othopaedics Journal, 10, 143-154
5. Fadzan, M., Bettany-S.J. (2017). Etiological Theories of Adolescent Idiopathic Scoliosis:
Past and Present. The Open Othopaedics Journal, 11, (Suppl-9, M3) 1466-1489
6. Agung K., Purnomo. D.SB., Susilowati. A., (2017). Prevalence Rate of Adolescent
Idiopathic Scoliosis: Results of School-based Screening in Surabaya, Indonesia. Malaysian
Orthopaedic Journal, Vol 11 No 3, 17-22
7. Menger RP. Sin AH. 2018. Adolescent and Idiopathic Scoliosis. Lousiana State University
HSC
8. Jada. A., Charles.E., et al. (2017). Evaluation and management of adolescent idiopathic
scoliosis: a review. Neurosurg Focus, Vol 43 (4) E2, 1-9
9. Pasha. S., Flynn. J., (2018). Data-driven Classification of the 3D Spinal Curve in
Adolescent Idiopathic Scoliosis with an Applications in Surgical Outcome Prediction.
Scientific RepoRts, 8:16296
10. Rockville, MD, et al. (2018). Screening for Adolescent Idiopathic Scoliosis: A Systematic
Evidence Review for the U.S. Preventive Services Task Force
11. Daniel M. et al. (2014). Scoliometer measurements of patients with idiopathic scoliosis.
Brazilian Jounal of Physical Therapy, 12 (2):179-184
12. Ramirez, et al. (2013). Body Composition in Adolescent Idiopathic Scoliosis. European
Spine Journal 22(2), 324-329, 2013
26
Lampiran 1
Laporan Anggaran Pengabdian Block Grant Dept.Kedokteran Fisik & Rehabilitasi
27