Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Herpes Zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi


virus Varicella Zoster (VVZ) pada pasien yang pernah terinfeksi. Penyakit ini
ditandai dengan vesikel-vesikel di suatu dermatom ganglia spinalis atau
kranialis, tempat virus tersebut dorman; dan nyeri radikuler yang intensif di
daerah lesi.Insidens Herpes Zoster meningkat berbanding lurus dengan
pertambahan usia.2
Herpes Zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi
oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, angka kesakitan meningkat
dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini
dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di
Indonesia lebih kurang 1% setahun. Herpes Zoster terjadi pada orang yang pernah
menderita Varicella sebelumnya karena Varicella dan Herpes Zoster
disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus Varicella Zoster. Setelah
sembuh dari Varicella, virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup
dalam keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh
menurun.4
Virus Varicella Zoster menyebabkan infeksi primer sebagai cacar air, di
mana waktu latensi didirikan pada neuron dari ganglia akar dorsal atau ganglia
saraf kranial. Reaktivasi menghasilkan infeksi Herpes Zoster, biasa disebut
Shingles. Pemahaman tentang mekanisme latensi sangat penting dalam
mengembangkan terapi yang efektif untuk infeksi VVZ pada sistem saraf.3
Cacar air merupakan manifestasi klinis infeksi primer VVZ. Selama cacar
air, infeksi virus yang hadir dalam jumlah besar di vesikula cacar air memasuki
ujung saraf sensorik di kulit, perjalanan saraf sensorik ke akar dorsal dan ganglia

1
sensorik kranial di mana badan sel saraf berkelompok, dan menetapseumur hidup
(yaitu, infeksi laten) di neuron sensorik tersebut. Akibatnya, akar dorsal dan
ganglia sensoris kranial dari semua orang yang pernah menderita cacar air
terinfeksi secara laten dengan VVZ, yang mana mengandung DNA genomik
VVZ, tetapi bukan virus yang menular.9
Gejala Herpes Zoster berlangsung 1-5 hari. Keluhan biasanya diawali
dengan nyeri pada daerah dermatom yang akan timbul lesi dan dapat berlangsung
dalam waktu yang bervariasi. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung
terus-menerusatau sebagai serangan yang hilang timbul. Keluhan bervariasi dari
rasa gatal, kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk-
tusuk.5
Pengobatan untuk Herpes Zoster terdiri dari dua cara yaitu, non-
farmakologi dan terapi farmakologi. Banyak pasien hanya memerlukan dasar
intervensi untuk mengurangi risiko infeksi dan meminimalkan rasa sakit.
Orang lain mungkin memerlukan terapi antiviral oral atau intravena untuk
mempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa sakit. Untuk pasien dengan
infeksi herpes zoster berat, dapat dipertimbangkan untuk rawat inap dan terapi
dengan parenteral untuk terapi antivirus.4
Berdasar dari hal tersebut, tulisan ini dibuat dimaksudkan untuk
menambah pemahaman mahasiswa tentang penyakit Herpes Zoster, mulai dari
definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, hingga penatalaksanaan.
Setelah pembuatan tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki informasi
yang semakin banyak tentang penyakit Herpes Zoster.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut Janniger, C. (2018), Herpes Zoster (Shingles) adalah infeksi virus
akut kulit yang disebabkan oleh reaktivasi virus VaricellaZoster (VVZ), virus
Herpes yang merupakan penyebab varicella (cacar air). Perbedaan dalam
manifestasi klinis antara Varicella dan Herpes Zoster tampaknya tergantung pada
status kekebalan individu; mereka yang tidak pernah terpapar VVZ, paling umum
anak-anak, mengembangkan sindrom klinis Varicella, sedangkan mereka dengan
antibodi Varicella yang bersirkulasi mengembangkan luapan lokal, Zoster.1
Menurut Gupta et al (2015), Herpes Zoster adalah penyakit lokal yang
ditandai dengan nyeri radikuler unilateral dan ruam vesikuler yang terbatas pada
area kulit yang dipersarafi oleh satu akar dorsal atau ganglion sensoris kranial.
Sedangkan Varicella, atau cacar air, hasil dari infeksi VVZ eksogen primer,
Herpes Zoster disebabkan oleh reaktivasi VVZ endogen yang telah bertahan
dalam bentuk laten dalam sensorikganglia setelah episode cacar sebelumnya.6

2.2 Epidemiologi
Herpes Zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi
oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, angka kesakitan meningkat
dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini
dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di
Indonesia lebih kurang 1% setahun. Herpes Zoster terjadi pada orang yang pernah
menderita Varicella sebelumnya karena Varicella dan Herpes Zoster
disebabkan oleh virus yang sama yaitu VVZ. Setelah sembuh dari Varicella,
virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif
dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun.4

3
Tingginya infeksi Varicella di Indonesia terbukti pada studi yang
dilakukan. Jufri, et. al. tahun 1995-1996, dimana 2/3 dari populasi berusia 15
tahun seropositive terhadap antibodi Varicella. Dari total 2.232 pasien Herpes
Zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia (2011-2013). Puncak kasus
Herpes Zoster terjadi pada usia 45-64 : 851(37,95 % dari total kasus Herpes
Zoster). Trend Herpes Zoster cenderung terjadi pada usia yang lebih muda.
Gender Wanita cenderung mempunyai insiden lebih tinggi. Total kasus Neuralgia
Pasca Herpetik (NPH) adalah 593 kasus (26,5% dari total kasus Herpes Zoster).
Puncak kasus NPH pada usia 45-64 yaitu 250 kasus NPH (42% dari total kasus
NPH).5

Grafik 1. Insidensi Herpes Zoster Berdasarkan Usia.5

4
Grafik 2. Insiden Neuralgia Pasca Herpetik Berdasarkan Usia.5

2.3 Etiologi
Herpes Zoster disebabkan oleh infeksi VVZ. VVZ adalah virus DNA
beruntai ganda yang tertutup dalam keluarga Herpes viridae; genomnya
mengkodekan sekitar 70 protein. Pada manusia, infeksi primer dengan VVZ
terjadi ketika virus kontak dengan mukosa saluran pernafasan atau konektor. Dari
situs-situs ini, didistribusikan ke seluruh tubuh. Setelah infeksi primer, virus
bermigrasi sepanjang serabut saraf sensoris ke sel-sel satelit dari ganglia akar
dorsal di mana ia menjadi ditinggalkan.1

5
Gambar 1. Virus Varicella Zoster.4

Reaktivasi VVZ tetap tidak aktif di ganglia akar dorsal, seringkali selama
beberapa dekade setelah pajanan awal pasien terhadap virus dalam bentuk
Varicella (cacar air), menghasilkan Herpes Zoster. Persis apa yang memicu
reaktivasi ini belum ditentukan secara tepat, tetapi kemungkinan seorang kandidat
(Diri, atau dalam kombinasi) termasuk yang berikut:
 Paparan eksternal terhadap virus
 Proses penyakit akut atau kronis (terutama keganasan dan infeksi)
 Obat-obatan berbagai jenis
 Stres emosional.1

Virus Varicella Zoster adalah virus Herpes yang merupakan penyebab dari
dua penyakit berbeda yaitu Varicella (juga dikenal cacar air) dan Herpes Zoster
(juga dikenal sebagai Shingles/cacar ular/cacar api/dompo).Virus Varicella Zoster
merupakan anggota dari keluarga Herpes viridae, seperti Herpes Simplex Virus
(HSV) tipe 1 dan 2, Cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr Virus (EBV), Human
Herpes Virus 6 (HHV-6), Human Herpes Virus 7 (HHV-7), dan Human Herpes
Virus 8 (HHV-8).5

6
2.4 Patogenesis
Infeksi primer dengan VVZ menyebabkan Varicella (cacar air). Virus
kemudian berpindah dari kulit ke saraf sensoris. Sekali dalam saraf sensorik, virus
berpindah ke ganglia sensori di mana ia menjadi laten. Jika diaktifkan kembali,
virus berpindah dari ganglia sensoris kembali ke kulit di mana ia menghasilkan
infeksi Herpes Zoster, biasa disebut Shingles (Gambar 2). Cara penularannya
adalah melalui udara atau kontak langsung dengan lesi yang terinfeksi, dengan
kemungkinan masuknya melalui saluran pernapasan. Sebagian besar,
infeksiprimer VVZ dan infeksi berulang bersifat simtomatik, dan pelepasan virus
tanpa gejala tampaknya tidak terjadi dengan VVZ.3

Gambar 2. Patogenesis Virus Varicela Zoster.3

Gambaran histopatologis dari lesi kulit Herpes Zoster dan cacar air adalah
identik: keduanya mengandung sel raksasa multinukleus dengan badan inklusi
intranukleus eosinofilik. Ruam Herpes Zoster terbatas pada satu area kulit di satu
sisi tubuh sepanjang dermatom yang diinervasi oleh ganglion di mana virus laten
telah diaktifkan kembali. Selain itu juga, lesi Herpes Zoster terdiri dari vesikula
yang berkelompok secara dekat pada dasar eritematosa, sedangkan pada cacar air
lesinya bersifat individu dan terdistribusi secara acak. Perbedaan-perbedaan ini
mencerminkan penyebaran virus menyebar ke kulit di Herpes Zoster, berbeda
dengan penyebaran viremiapada cacar air.3

7
Virus Varicella Zoster menginfeksi inang manusia ketika partikel virus
mencapai situs mukosa epitel di pintu masuk. Replikasi lokal diikuti oleh
penyebaran ke tonsil dan jaringan limfoid regional lainnya, di mana VVZ
memperoleh akses ke sel T. Sel T yang terinfeksi kemudian mengirimkan virus ke
situs replikasi kutaneous. VVZ membentuk latensi di ganglia sensoris setelah
transportasi ke inti neuronal sepanjang akson neuron atau oleh viremia. Reaktivasi
dari latensi memungkinkan replikasi fase kedua terjadi pada kulit, yang biasanya
menyebabkan lesi pada dermatom yang dipersarafi oleh ganglion sensorik yang
terpengaruh.8

Gambar 3. Siklus hidup dan Replikasi virus Varicela Zoster.8

Partikel VVZ yang diemban menempel ke membran sel, melebur dan


melepaskan protein tegument. Kapsid yang tidak dilapisi menempel di pori-pori
nukleus, di mana DNA genom disuntikkan ke dalam nukleus dan sirkularisasi.
Atas dasar peristiwa yang telah didokumentasikan dalam replikasi virus Herpes
Simplex tipe 1 (HSV-1), gen segera dan awal dilepaskan, diikuti oleh gen awal
dan akhir. Nukleokapsid dirakit dan mengemas DNA genom yang baru disintesis,
pindah ke membran inti dalam dan tunas, kemudian melintasi membran nuklear.
Kapsid masuk ke sitoplasma, dan virion glikoprotein dewasa di daerah trans-
Golgi dan protein tegument berkumpul di vesikula; kapsid mengalami
penyelubungan sekunder dan diangkut ke permukaan sel, di mana partikel virus
yang baru terbentuk dilepaskan.8

8
Gambar 4. Replikasi virus Varicela Zoster.8

Patogenesis dari NPH ditandai dengan kerusakan saraf di sumsum tulang


belakang dan ganglion serta saraf perifer. Fibrosis tercatat di akar ganglion, akar
saraf dan saraf perifer pada resolusi tahap akut. Kerusakan saraf utama dapat
aktif secara langsung dan menjadi hypersensitive pada rangsangan perifer.4
Neuralgia Pasca Herpetika didefinisikan sebagai nyeri Herpes Zoster
yang berlangsung selama lebih dari 30 hari setelah dimulainya penyembuhan
kulit. NPH merupakan sekuel Herpes Zoster yang paling sering dan paling berat
pada pasien dengan sistem imun yang baik NPH mengenai 8% sampai 70% pasien
dan insiden serta durasinya meningkat sesuai usia pasien. Pada satu penelitian,
kurang dari 1% pasien dengan Zoster yang berusia kurang dari 40 tahun
mengalami NPH, dibandingkan dengan 18% pasien berusia lebih dari 75 tahun.
Sebagai tambahan, setiap 10 tahun penambahan usia berkaitan dengan
peningkatan insiden kelainan ini secara proporsional.4
Lokasi yang terbanyak dijumpai adalah Herpes Zoster thorakalis pada
31,4% pasien, diikuti oleh Herpes Zoster oftalmikus 23,7%. Sesuai dengan
penelitian Cebrian-Cuenca dan kawan-kawan bahwa lokasi paling sering adalah
Herpes Zoster thorakalis (42,3%). Literatur lain menyebutkan lokasi Herpes
Zoster paling sering adalah thorakalis diikuti Herpes Zoster oftalmikus.7

9
2.5 Gejala Klinis

Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan
kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit.11 Inisial lesi kutaneus
sangat gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan
menyebar ke bawah.11 Papula ini kemudian berkembang cepat menjadi vesikel
kecil yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal sebagai “tetesan embun
pada kelopak mawar” ( “dew drop on rose petal” ).11 Setelah vesikel matang,
pecah membentuk krusta.11 Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan
karakteristik dari varisela.11

Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.11

Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan


intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir,
beberapa dermatom atau difus.10 Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada
penderita imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita
mayoritas diatas usia 60 tahun.13 Nyeri prodormal : lamanya kira –kira 2 – 3 hari,
namun dapat lebih lama.16

Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal10,15, malaise, demam, nyeri
kepala, dan limfadenopati, gatal10,15, tingling.10 Lebih dari 80% pasien biasanya
diawali dengan prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari
sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit.10

Nyeri preeruptif dari herpes zoster (preherpetic neuralgia)15 dapat


menstimulasi migrain14, nyeri pleura13,14, infark miokardial13,14, ulkus duodenum,
kolesistitis, kolik renal dan bilier, apendisitis13,14, prolaps diskus intervertebral,
atau glaucoma dini, dan mungkin mengacu pada intervensi misdiagnosis yang
serius.13

10
Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di
sekitarnya16 herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral.10
Erupsi diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian
makulopapuler muncul secara dermatomal.10

Lesi baru timbul selama 3-5 hari.16 Bentuk vesikel dalam waktu 12 sampai
24 jam dan berubah menjadi pustule pada hari ketiga.13 Pecahnya vesikel serta
pemisahan terjadi dalam 2 – 4 minggu.16 dan akan menjadi Krusta dalam 7 – 10
hari.13 Pada umumnya krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu.13 Pada orang yang
normal, lesi – lesi baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari ( biasanya sampai
selama 7 hari).13 Rash lebih berat dan bertahan lama pada orang yang lebih tua.,
dan lebih ringan dan berdurasi pendek pada anak – anak.13

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-5 Hari ke-6

Gambar 5. Perkembangan rash pada herpes zoster

Dermatom atau area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis, Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang
dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram
yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan
kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan. Dermatom
sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat kerusakan
saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi
herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul
sebagai lesi pada dermatom tertentu

11
Gambar 6. Gambar Dermatom Sensorik Tubuh Manusia17

Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom dorsolumbal


merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal
oftalmika, kemudian servikal dan sakral.16 Ekstremitas merupakan lokasi yang
paling jarang terkena.16 Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan
kornea.11 Pasien seperti ini harus dievaluasi oleh optalmologi.11 Varian lain adalah
herpes zoster yang melibatkan telinga atau mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-
Hunt.11 Sindrom ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan
nervus fasialis, hilangnya rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai
tambahan lesi zosteriform di telinga.11 Secara klasik, erupsi terlokalisir ke
dermatom tunggal, namun keterlibatan dermatom yang berdekatan dapat terjadi,
seperti lesi meluas dalam kasus zoster-diseminata.11 Zoster bilateral jarang terjadi,
dan harus meningkatkan kecurigaan pada imunodefisiensi seperti HIV / AIDS.11

12
2.6 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis klinis dibuat dalam kebanyakan kasus.14 Konfirmasi


laboratorium biasanya tidak perlu.14,15 Metode laboratorium untuk identifikasi
adalah sama seperti orang-orang untuk herpes simpleks. Tzanck smear , biopsi
kulit, titer antibodi, cairan vesikuler antibodi immunofluorescent (direct
fluorescent antibody), mikroskop elektron, dan kultur dari cairan vesikel dari
beberapa studi patut dipertimbangkan.15

Tes awal pilihan adalah apusan sitologi (Tzanck smear).15 Tes tersebut
tidak membedakan herpes simpleks dan varicella.11,15 Dasar dari lesi pertama kali
dikerok dan diwarnai dengan hematoxylin-eosin, Giemsa, Wright’s, toluidine biru,
atau tinta papanicolaou.15 Sel raksasa multinuklear dan sel epitel yang
mengandung inklusi intranuklear asidofilik dapat terlihat.15

Pemeriksaan Lain yang dapat di lakukan adalah Direct fluorescent antibody :


dilakukan untuk HSV-1. DFA adalah tes cepat (rapid test) untuk membedakan
VHS-1, VHS-2, dan VVZ.11 kemudian Kultur virus yaitu tes yang sangat spesifik,
tetapi tidak sensitif. VVZ sulit untuk dikultur dan tumbuh dengan lambat, minimal
1 minggu.11 Herpes zoster terlihat kira –kira 7 kali lebih sering pada pasien HIV.15
Tes HIV dilakukan jika ada indikasi yang jelas.15

2.7 Diagnosis

Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa


neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan
kulit.11 Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala prodromal
seperti demam, pusing dan malaise.9 Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa
eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat
membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih,
setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika
absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta.

Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan

13
penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis,
apendisitis, kolik renal, dan sebagainya.13 Namun bila erupsi sudah terlihat,
diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster
terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan
mengenai satu dermatom.

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu


menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian
pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron,
serta tes serologik.13,9 Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel
limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel
pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel
virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster
dapat dilihat secara imunofluoresensi.

Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan


diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan
penunjang antara lain:

1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan


mikroskop elektron.

2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen

3. Test serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

2.8 Diagnosis Banding

1. Dermatitis kontak alergi

2. Varisela

3. Herpes Simplek

4. Pemfigus Vulgaris

14
2.9 Komplikasi

2.9.1 Neuralgia paska herpetic

Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai
beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun,
persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur
penderita maka semakin tinggi persentasenya.

2.9.2 Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.


Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau
berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan
jaringan nekrotik.

2.9.3 Zoster trigeminalis


 herpes zoster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi
paling sering terkena adalah bagian oftalmika.11,15 Gangguan mata seperti
konjungitvitis, keratitis, dan/atau iridosiklitis bisa terjadi bila cabang
nasosiliaris dari bagian oftalmika terkena (ditunjukkan oleh adanya vesikel
–vesikel di sisi hidung), dan pasien dengan zoster oftalmika hendaknya
diperiksa oleh oftalmolog.11
 herpes keratokonjungtivitis : termasuk HZO, dalam waktu 3 minggu
selama rash, terdapat ulkus kornea, keratitis punctata.15

Gambar 7. Gambar Herpes Zoster Optalmikus.15

15
Gambar 8. Gambar Herpes Zoster Oral.13

 Infeksi pada bagian maksila dari saraf trigeminus menimbulkan vesikel


– vesikel unilateral pada pipi dan pada palatum11.

2.9.4 Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell),
kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.

2.9.5 Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem
saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah,
diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya
akan sembuh spontan.

16
2.10 Penatalaksanaan12

Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang
dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan
digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga
kebersihan badan.

1. Analgetik : Metampiron sehari 4 kali 1 tablet.

2. Bila ada infeksi sekunder : Antibiotik Erythromicin 250-500 mg, Dicloxacin


125-250 mg 3x1.

3. Lokal :

 Bila basah : Kompres Larutan Garam Faali.

 Bila Erosi : Salep Sodium Fusidate

 Bila kering : Bedak Salicyl 2%

Pengobatan Khusus

1. Acyclovir

Dosis : Dewasa : 800 mg 5x sehari selama 7-10 hari.

Aanak : 20 mg/kg sampai 800 mg sehai 4 kali.

Acyclovir tidak dapat menghilangkan neuralgi pasca herpetika

2. Neuralgi pasca herpatrika :

a. Aspirin : 500 mg sehari 3 kali.

b. Anti depresan Trisiklik mis. Amitriptylin 50-100 mg perhari

hari 1 : 1 tablet (25 mg)

hari 2 : sehari 2 kali 1 tablet.

Hari 3 : sehari 3 kali 1 tablet

17
c. Carbamazepin : 200 mg sehari 1-2 kali.

Khusus untuk trigeminal neuralgia.

d. Gabapentin : 100-300 mg/ hari.

Bila pemberian Antidepresan tidak berhasil

3. Pada Hz Optalmikus perlu konsul ke dokter spesialis Mata / atau dapat di


berikan :

 Acyclovir salep mata 5x setiap 4 jam

 Dan juga Ofloxacin atau ciprofloxacin obat tetes mata :

Hari 1 dan 2 : 1 tetes / 2-4 jam

Hari 3-7 : 1 tetes sehari 4 kali.

2.11 Prognosis

Infeksi primer herpes virus merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan,
biasanya berlangsung selama 1-2 minggu. Kematian dapat terjadi pada masa
neonates, anak dengan malnutrisi berat, kasus meningo-ensefalitis, dan eksema
herpetikum yang berat, diluar keadaan ini biasanya prognosis baik. Mungkin
sering ditemukan serangan berulang,tetapi serangan ulang tersebut jarang berat,
kecuali serangan ulang pada mata yang dapat menyebabkan timbulnya jaringan
parut pada kornea dan menimbulkan kebutaan.

18
BAB III
RINGKASAN

Herpes zoster (shingles) adalah infeksi virus akut kulit yang disebabkan
oleh reaktivasi virus varicellazoster (VZV), virus herpes yang merupakan
penyebab varicella (cacar air). Perbedaan dalam manifestasi klinis antara varicella
dan herpes zoster tampaknya tergantung pada status kekebalan individu; mereka
yang tidak pernah terpapar VZV, paling umum anak-anak, mengembangkan
sindrom klinis varicella, sedangkan mereka dengan antibodi varicella yang
bersirkulasi mengembangkan luapan lokal, zoster.

Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster yang
memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles adalah nama
lain dari herpes zoster. Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi
primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis
sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan
bermanifestasi sebagai herpes zoster.

Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.

Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan


intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir,
beberapa dermatom atau difus. Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita
imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita
mayoritas diatas usia 60 tahun. Nyeri prodormal : lamanya kira –kira 2 – 3 hari,
namun dapat lebih lama.

Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Lesi kulit yang
paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di sekitarnya herpetiformis
berkelompok dengan distribusi segmental unilateral. Dermatom yang terlibat :
biasanya tunggal dermatom dorsolumbal merupakan lokasi yang paling sering

19
terlibat, diikuti oleh trigeminal oftalmika, kemudian servikal dan sakral.
Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena.

Pemeriksaan laboratorium antara lain : tzanck smear, direct fluorescent


antibody dilakukan untuk HSV-1, kultur virus : tes yang sangat spesifik, tetapi
tidak sensitif. Diagnosa banding dari herpes zoster antara lain herpes simpleks
karena herpes zoster dapat muncul di daerah genital, selulitis, erisipelas, eritema
gangrenosum terutama bentuk atipikal, infeksi jamur diseminata, infeksi
mikobakterium diseminata.

Komplikasi yang paling sering adalah neuralgia paska herpes. Neuralgia


pascaherpes merupakan keadaan yang dirasakan paling menganggu pada herpes
zoster dirasakan sebagai nyeri dermatomal yang menetap setelah penyembuhan
walau lesi sudah hilang.

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya


valasiklovir. Obat yang lebih baru ialah famsiklovir dan pensiklovir yang
mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih lama sehingga cukup diberikan
3x250 mg sehari. Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan
biasanya diberikan 7 hari, paling lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul
berupa rejimen yang dianjurkan. Kemudian terapi untuk neuralgia pasca herpatika
dapat di berikan Aspirin 500 mg sehari 3 kali, Anti depresan trisiklik mis.
Amitriptylin 50-100 mg perhari, Carbamazepin 200 mg sehari 1-2 kali dan
gabapentin 100-300 mg perhari.

Prognosis umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis


bergantung pada tindakan perawatan secara dini.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Janniger, Camila. 2018. Herpes Zoster. Medscape. 1-12.


2. Adiwinata et al. 2016. Peran Vaksinaasi dalam Pencegahan Herpes
Zoster. Jakarta: FK-UKI. 432-434.
3. Kumar et al. 2013. Varicella Zoster Virus-Its Pathogenesis, Latency &
Cell-Mediated Immunity. OMP Journal. 360-364.
4. Kuswardhani, Tuty. 2015. Problems Regarding Herpes Zoster in
Elderly. Denpasar: FK-UNUD. 1-12.
5. Pusponegoro et al. 2014. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia
2014. Jakarta: FK-UI. 1-12.
6. Gupta et al. 2015. Pathogenesis of Herpes Zoster: A Review. India: TPI.
11-13.
7. Ayuniangti et al. 2015. Retrospective Study: Characteristic of Herpes
Zoster Patients. Surabaya: FK-UNAIR. 211-217.
8. Zerboni et al. 2014. Molecular mechanisms of varicella zoster virus
pathogenesis. California: Macmillan Publishers. 197-210.
9. Oxman, Michael. 2009. Herpes Zoster Pathogenesis and Cell-Mediated
Immunity and Immunosenescence. JAOA. 13-17.
10. Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.

11. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In :
Lippincott’s Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer
Health. 2011 .p. 148 -151.

12. Odom, R.B., et al. Andrews Disease Of The Skin. 9thed. Philadelpia :
WB Saundersw Company.2000.

13. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General
Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885.

21
14. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and
Marks’ Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver
Saunders. 2006 .p.145-148.

15. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In :
Clinical Dermatology. 5 thed. United States of America : Elseiver
Saunders. 2010.p. 479 – 490.

16. Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta :
Erlangga Medical Series. 2008 : 115 – 119.

17. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology. 4th ed.


New York: Thieme; 2005.

22

Anda mungkin juga menyukai