Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM KEGAWATDARURATAN DENGAN KASUS

KEDARURATAN DAN KEGAWATDARURATAN PADA ANAK SERTA ASPEK LEGAL DAN


ETIS

Disusun Oleh
Kelompok 2

1. Anak Agung Ratna Wahyundari (193213004)


2. Ayu Novita Sari Tampubolon (193213008)
3. Kadek Ayu Ulan Sudariyanthini (193213020)
4. Ni Kadek Ellys Puja Asvini (193213023)
5. Ni Kadek Meira Diantari (193213025)
6. Ni Nyoman Ayu Krisna Sari (193213037)
7. Ni Putu Cintya Dewi (193213038)
8. Ni Putu Eka Cintya Parwita (193213040)
9. Ni Made Ananda Candra Rahmitha Putri Kepakisan (193213035)
10. Ni Wayan Juni Wirastini (193213045)
11. Ni Wayan Nopita Sari (193213046)
12. Putu Riska Pramudita Dewi (193213049)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya, kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah Keperawatan Keluarga yang berjudul “Pendidikan Kesehatan dalam
Kegawatdaruratan dengan Kasus Kedaruratan dan Kegawatdaruratan pada Anak ”, tepat pada waktunya.

Dalam penulisan makalah ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari para pihak, untuk itu
melalui kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Penulis juga mengharapkan agar hasil tulisan ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, kami
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan masukan dari pembaca sangat
kami perlukan untuk memperbaiki makalah kami selanjutnya.

Denpasar, 16 Februari 2022

Penulis,
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2

1.3 Tujuan...............................................................................................................................2

1.4 Manfaat.............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

2.1 Peran Perawat Dalam Keluarga........................................................................................3

2.2 Ruang Lingkup Keperawatan Keluarga...........................................................................6

BAB III PENUTUP..................................................................................................................11

3.1 Simpulan.........................................................................................................................11

3.2 Saran...............................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak (0-18 tahun, sesuai definisi IDAI) bukanlah dewasa kecil. Secara anatomi, fisiologi,
patofisiologi penyakit dan tumbuh kembang pasien anak yang menderita sakit kritis berbeda dengan
pasien dewasa. Anak sakit kritis adalah pasien yang datang ke rumah sakit dengan kriteria triase gawat
darurat dan gawat tidak darurat. Yang dimaksud dengan gawat adalah keadaan yang mengancam jiwa,
sedangkan darurat adalah keadaan yang memerlukan pertolongan segera.
Populasi anak di Indonesia sebesar 85 juta jiwa dengan angka kematian anak (CMR) di
Indonesia sebesar 12,6/1000 ( SDKI, 2012). Menurut WHO tahun 1996, angka kematian di negara
berkembang terbanyak disebabkan oleh pneumonia, diare, dengue, malaria, dan campak yang disertai
sepsis bakterialis. Untuk menekan mortalitas dan morbiditas ini diperlukan suatu sistem pelayanan
terpadu sejak di emergensi, unit rawat intermediet (HCU) dan unit rawat intensif (PICU). Seluruh
bayi dan anak yang mengalami keadaan emergensi dan sakit kritis yang dirawat di rumah sakit,
terlepas bagaimanapun kondisinya, berhak untuk memperoleh kualitas pelayanan yang optimal.
Dalam 3 dekade terakhir pelayanan emergensi dan rawat intensif anak mengalami kemajuan yang
pesat dalam hal patofisiologi berbagai proses yang mengancam jiwa dan kemampuan teknis pemantauan
dan penatalaksanaan penderita dengan kegawatan. Bersamaan dengan majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi, pelayanan emergensi dan rawat intensif anak telah mengalami evolusi, kebutuhan khusus
penderita anak sakit kritis dan keluarganya dapat dipenuhi oleh spesialis anak.
Pada tahun 1985, the American Board of Pediatrics menetapkan disiplin ilmu Pediatric
Intensive Care sebagai salah satu cabang sub-spesialistis dan untuk mencapainya harus ada kriteria tertentu
dan mendapatkan sertifikat. Selanjutnya The American Board of Medicine, The American Board of Surgery,
dan The American Board of Anesthesiology juga mengakui sub-spesialisasi ini.

Tata laksana pasien anak di ruang emergensi, unit rawat intermediet dan unit rawat intensif
anak memerlukan leadership dari dokter yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai.
Dalam pendidikan dokter spesialis anak di Indonesia pengetahuan anatomi, tumbuh kembang, fisiologi
dan patofisiologi tersebut telah dimasukkan sebagai kemampuan yang wajib dimiliki. Ketrampilan
dalam bidang perawatan intensif diperlukan pendidikan dan pelatihan yang lebih ekstensif sehingga
pelayanan bisa menjadi paripurna. Kriteria staf medik fungsional seperti inilah yang dapat diberi
tanggung jawab sebagai Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
Organisasi pelayanan di ruang emergensi, rawat intermediet dan rawat intensif menerapkan
sistem Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP). DPJP akan menjadi tim leader bagi staf medik
fungsional lain secara multi disiplin, sehingga luaran bisa lebih baik dengan menggunakan standar
medik yang setinggi tingginya (Gambar 1). Hubungan antara spesialis anak, dokter yang merujuk, dan
spesialis di bidang lainnya sangat penting dalam menilai, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
semua keahlian dalam menangani penderita.

Jumlah pasien
dan beban Protokol
Kerjasama
Tim kerja pelayanan

Pengaturan Pengakuan
SDM
LUARAN awat intensif
r

Limitasi Teknologi
error
Struktur

Gambar 1. Faktor yang berpengaruh pada luaran anak sakit kritis (Carmel 2001)

Berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan emergensi dan rawat intensif anak antara
lain: organisasi, tim perawatan intensif, tindakan invasif yang dilakukan, struktur administrasi, alat
dan fasilitas, obat-obatan, serta ruangan yang memadai.

Sistem perawatan sebaiknya terkonsentrasi dan terkoordinasi. Spesialis anak khususnya


terlibat dalam perawatan anak dengan sakit kritis baik perawatan bersifat medis dan bedah serta
berkoordinasi dengan baik. Tim yang multidisiplin merupakan komponen utama dalam perencanaan
dan tatalaksana pasien. Koordinator bertugas melakukan koordinasi yang efektif dan efisien dengan
spesialis dan pelaksana pelayanan kesehatan primer lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pendidikan kesehatan dalam kegawatdaruratan dengan kasus kedaruratan dan
kegawatdaruratan ?
2. Bagaimana pendidikan kesehatan dalam kegawatdaruratan dengan kasus kedaruratan dan
kegawatdaruratan pada anak ?
3. Bagaimana aspek legal dan etis dalam kegawatdaruratan dengan kasus kedaruratan dan
kegawatdaruratan pada anak ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui mengenai pendidikan kesehatan dalam kegawatdaruratan dengan kasus
kedaruratan dan kegawatdaruratan
2. Untuk mengetahui mengenai pendidikan kesehatan dalam kegawatdaruratan dengan kasus
kedaruratan dan kegawatdaruratan pada anak.
3. Untuk mengetahui mengenai aspek legal dan etis dalam kegawatdaruratan dengan kasus
kedaruratan dan kegawatdaruratan pada anak.
1.4 Manfaat
1 Bagi Penulis
Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai pendidikan kesehatan dalam kegawatdaruratan
dengan kasus kedaruratan dan kegawatdaruratan pada anak serta aspek legal dan etis yang terkait.
2 Bagi Pembaca
Untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai pendidikan kesehatan dalam kegawatdaruratan
dengan kasus kedaruratan dan kegawatdaruratan pada anak serta aspek legal dan etis yang terkait.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Kesehatan Dalam Kegawatdaruratan


Pendidikan kesehatan adalah salah satu program pelayanan kesehatan. Pendidikan
kesehatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari setiap upaya kesehatan, dalam hal ini
upaya perawatan kesehatan masyarakat (Zaidin Ali, 2010). Pendidikan kesehatan merupakan
proses dimana individu atau sekelompok individu belajar untuk berperilaku dalam suatu
kebiasaan yang kondusif terhadap peningkatan, pemeliharaan dan pemulihan kesehatan
(Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan


adalah salah satu program pelayanan kesehatan dimana individu atau sekelompok individu
belajar untuk berperilaku dalam suatu kebiasaan kondusif terhadap peningkatan,
pemeliharaan dan pemulihan kesehatan.

2.1.1 Tujuan Pendidikan Kesehatan


-Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat
-Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok mengadakan kegiatan
untuk mencapai tujuan hidup sehat
-Mendorong pengembangan dan penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang ada secara
tepat
-Agar klien mempelajari apa yang dapat dilakukan sendiri dan bagaimana caranya tanpa meminta
pertolongan pada sarana pelayanan kesehatan formal
-Agar terciptanya suasana yang kondusif dimana individu, keluarga, dan kelompok, serta masyarakat
dapat mengubah sikap dan tingkah lakunya (Zaidin Ali, 2010).
2.1.2 Prinsip-Prinsip Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan tidak hanya diterima di bangku sekolah tetapi merupakan kumpulan
pengalaman dari mana saja dan kapan saja sepanjang dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan
kebiasaan sasaran pendidikan

Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang kepada orang lain karena
pada akhirnya sasaran pendidikan itu yang dapat mengubah kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri. Bahwa
yang harus dilakukan oleh pendidik adalah menciptakan sasaran agar individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat dapat mengubah sikap dan tingkah lakunya sendiri. Pendidikan kesehatan dikatakan berhasil
bila sasaran pendidikan (individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat) sudah mengubah perilakunya
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Zaidin Ali, 2010).

2.2 Pendidikan Kesehatan Dalam Kegawatdaruratan pada Anak


Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku dimana perubahan tersebut
terjadi karena adanya kesadaran dalam diri individu, masyarakat ataupun kelompok (Wahit,
2006). Melakukan promosi kesehatan bisa menggunakan media promosikesehatan sebagai
alat bantu pendidikan seperti media cetak, media elektronik dan media papan untuk
mempermudah menerima pesan-pesan bagi masyarakat (Notoatmodjo, 2007). Pendidikan
kesehatan merupakan kegiatan yang membantu individu dalam bertindak secara mandiri dan
membuat keputusan bedasarkan pengetahuan (Mukti, 2009).
Telah kita ketahui kejadian gawat darurat tentunya tidak bisa kita prediksi, kapanpun
dan dimanapun seseorang dapat mengalami kejadian kegawatdaruratan yang membutuhkan
pertolongan segera. Keterlambatan dalam penanganan dapat berakibat kecacatan fisik atau
bahkan sampai kematian. Situasi gawat darurat tidak hanya terjadi akibat lalu lintas jalan
raya yang sangat padat saja, tapi juga dalam lingkup keluarga dan perumahan pun sering
terjadi. Salah satunya yaitu terjadinya kejang deman pada anak. Anak yang mengalami
kegawatdaruratan demam dapat meningkatkan risiko kerusakan pada otak, mempunyai
riwayat keluarga dengan demam, keterlambatan perkembangan dan memunculkan gejala
epilepsi. Orang tua anak sebaiknya harus mengetahui informasi tentang penanganan yang
diberikan pada anak yang mengalami kejang demam. Sebab apabila orang tua memiliki
sikap yang minim dan tidak segera membawa anak mereka ke petugas kesehatan maka akan
berakibat salah satunya kerusakan otak bahkan hingga berunjung pada kematian.
Melalui pendidikan kesehatan merupakan alat yang digunakan untuk memberikan
penerangan yang baik kepada masyarakat agar dapat bekerja sama dan mencapai apa yang
diinginkan. Pendidikan kesehatan mampu memberikan pemahaman lebih baik mengenai
penanganan kegawatdaruaratan demam serta dapat membantu mengatasi kekawatiran
mereka apabila anak mengalami kegawatdaruratan demam. Tujuan dari pemberian
pendidikan kesehatan ini khususnya orang tua agar mengetahui cara menangani anak saat
demam dan juga dapat mengubah sikap dalam menangani demam pada anak.
2.2.1 Kriteria Kegawatdaruratan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Pasal 1 Ayat
(2) Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan Mengenai Kriteria kegawatdaruratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan;

b. adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi;

c. adanya penurunan kesadaran;

d. adanya gangguan hemodinamik; dan/atau

e. memerlukan tindakan segera.

2.2.2 Kondisi yang Menyebabkan Kegawatdaruratan pada Anak


Adapun kondisi-kondisi terkait meliputi :
- Gagal Hati Akut

- Anemia sedang/berat

- Apnea/Gasping

- Bayi/anak ikterus

- Bayi kecil/prematur

- Cardiac arrest/payah jantung

- Cyanotic spell (penyakit jantung)

- Diare profus (lebih banyak dari 10x sehari BAB cair)

- Difteri (sakit pernapasan dengan gejala demam, mual, nyeri tenggorokan, dll)

- Murmur/bising jantung, aritmia

- Edema/bengkak seluruh badan

- Epitaksis, tanda pendarahan lain disertai febris

- Gagal ginjal akut

- Gangguan kesadaran dengan fungsi vital yang masih baik

- Hematuria (gejala urin berwarna merah/cokelat)

- Hipertensi berat
- Hipotensi atau syok ringan hingga sedang

- Intoksikasi atau keracunan (misal: obat serangga)

- Intoksikasi disertai gangguan fungsi vital

- Kejang dengan penurunan kesadaran

- Muntah profus (lebih banyak dari 6x dalam satu hari)

- Panas/demam tinggi yang sudah di atas 40°C

- Sangat sesak, gelisah, kesadaran turun, sianosis dengan retraksi hebat otot pernapasan

- Sesak tapi dengan kesadaran dan kondisi umum yang baik

- Syok berat, dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur

- Tetanus

- Tidak BAK/kencing lebih dari 8 jam

- Tifus abdominalis dengan komplikasi

2.2.3 Kasus Gagal Hati Akut pada Anak

Gagal hati akut pada anak merupakan suatu sindrom klinis yang berlangsung progresif dan
cepat yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi. Hanya sekitar 50% penyebabnya
yang dapat diketahui. Gagal hati akut dapat menimbulkan gejala ensefalopati, koagulopati, dan
kegagalan multi organ. Angka mortalitas gagal hati akut tinggi, walaupun dengan terapi terbaru
dan perawatan yang baik angka harapan hidup berkisar 10-40%.Setelah diperkenalkan
transplantasi hati, angka harapan hidup dapat mencapai 60- 80%.
Gagal hati akut merupakan kondisi klinis yang cepat memburuk. Dokter spesialis anak
perlu mengenal pendekatan diagnostik dan tata laksana gagal hati akut, agar setidaknya dapat
memberikan pertolongan sementara sebelum dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasiltas unit
perawatan intensif (ICU). Tata laksana gagal hati akut yang komprehensif memerlukan tim
multidisiplin, antara lain konsultan gastrohepatologi anak, intensivist anak, dan ahli bedah
transplantasi hati.
Definisi gagal hati akut pada anak berbeda dengan pada dewasa. Pada dewasa gagal hati
akut didefinisikan sebagai terjadinya awitan ensefalopati hepatik kurang dari 8 minggu setelah
gejala awal disfungsi hati atau awitan ensefalopati hepatik dalam 2 minggu setelah terjadinya
gejala kuning. Koagulopati dan ensefalopati merupakan indikator klasik disfungsi hati. Pada anak,
belum ada definisi yang pasti untuk kriteria diagnostik gagal hati akut. Ensefalopati yang
biasanya ditemukan pada dewasa tidak selalu ditemukan pada anak, sehingga ensefalopati tidak
selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis gagal hati akut. Ensefalopati hepatik sulit
dideteksi pada anak dan mungkin tidak jelas terlihat sampai stadium terminal penyakit hati,
sehingga ensefalopati tidak dianggap esensial untuk diagnosis.

 Prinsip penanganan secara umum


Setelah penilaian awal presentasi gagal hati akut, perlu dinilai hal-hal sebagai
berikut:
Evaluasi penyebab gagal hati akut; patokannya adalah usia pasien,utamakan
diagnosis untuk kelainan yang dapat diterapi Evaluasi dan monitor fungsi setiap sistem
organ Identifikasi dan atasi komplikasi Berikan bantuan untuk meningkatkan kesehatan
dan kehidupan.

 Penyebab gagal hati akut pada anak

Etiologi gagal hati akut yang umum pada anak dapat dikategorikan menjadi:

1. Infeksi

2. Imunologik
3. Metabolik
4. Toksin atau obat
5.Vaskular/iskemia
6. Indeterminate

 Tatalaksana gagal hati akut


Pasien dengan gagal hati akut perlu dirawat di unit perawatan intensif dengan pemantauan
ketat. Bila anak mengalami syok perlu dilakukan resusitasi cairan dan tunjangan obat-obat
inotropik.
Kebutuhan cairan untuk gagal hati akut adalah antara 85-90% cairan rumatan agar tidak
terbentuk edema pulmonal dan edema perifer. Hindari pemberian cairan yang berlebihan karena
dapat menyebabkan edema paru. Restriksi cairan dan penggunaan diuretik yang berhati-hati perlu
dilakukan. Restriksi cairan juga tidak boleh terlalu ketat karena akan menurunkan perfusi ginjal
yang juga berbahaya. Monitoring dengan central venous pressure (CVP) diperlukan. Obat
inotropik untuk mempertahankan perfusi organ vital mungkin diperlukan.
Gula darah sebaiknya dipertahankan pada 90-110 mg/dl, untuk mempertahankan glukosa
umumnya diperlukan pemasangan vena sentral untuk memberikan cairan glukosa 12,5%.
Hipoglikemia dapat terjadi karena gangguan glukoneogenesis di hati dan kekurangan cadangan
glikogen. Pasien perlu diberikan infus glukosa bila diperlukan cairan hipertonik perlu melalui
vena sentral. Kecepatan glukosa mungkin 10-15 mg/kg/menit untuk mencapai kadar glukosa
normal. Hipokalemia mungkin karena dilusi akibat kelebihan cairan, adanya asites atau gangguan
ginjal. Hipofosfatemia dapat terjadi perlu dikoreksi. Kadang-kadang dijumpai hiperfosfatemia
karena gangguan ginjal. Keseimbangan asam-basa mungkin terganggu, dapat terjadi alkalosis
respiratorik, asidosis respiratorik karena gagal nafas, alkalosis metabolik karena hipokalemia, dan
asidosis metabolik karena nekrosis hati, syok, dan peningkatan metabolisme anaerob.
Gejala ensefalopati hepatik tidak selalu muncul pada bayi dan anak. Pada umumnya
hiperamonemia ditemukan pada gagal hati akut. Bila ditemukan ensefalopati pasien dibaringkan
dengan posisi kepala dinaikkan sampai dengan 30o. Asupan protein pasien juga perlu direstriksi 1
g/kg/hari. Selain itu berikan laktulosa per oral atau melalui NGT. Pada pasien juga dapat terjadi
kejang umum atau fokal. Obat yang biasa digunakan adalah fenitoin, fenobarbital, atau topiramat.
Bila ditemukan edema serebri, saturasi oksigen perlu dipertahankan >95%, berikan
cairan dengan jumlah 85-90% kebutuhan normal per hari, pertahankan tekanan distolik >40
mmHg, beri sedasi adekuat, posisikan kepala elevasi 20-30o, dan pilih antibiotik untuk
meminimalkan infeksi bakteri. Cairan salin diberikan untuk mempertahankan kadar natrium
serum antara 14-150 mmHg dan manitol diberikan untuk membentuk gradien osmotik untuk
mengeluarkan air dari otak.
Pada gagal hati akut terjadi penurunan protein koagulan dan antikoagulan, sehingga
relatif tidak sering terjadi perdarahan kecuali bila terdapat infeksi atau peningkatan tekanan
hipertensi porta. Berikan dosis tunggal vitamin K (tidak perlu setiap hari) untuk menilai respons
koagulasi. Koreksi PT atau INR perlu dibatasi hanya untuk pasien yang mengalami perdarahan
aktif atau bila akan dilakukan tindakan operasi.
Asites mungkin dapat terjadi, lakukan restriksi cairan. Diuretik digunakan hanya bila
ada gangguan nafas atau kelebihan cairan yang jelas. Diuresis yang berlebihan akan mengarah
pada sindrom hepatorenal. Pankreatitis bila terjadi perlu mengevaluasi glukosa dan kontrol
cairan perlu lebih ketat. Bila terdapat insufisiensi ginjal perlu dipikirkan kemungkinan
intoksikasi parasetamol atau obat atau jamu. Kontrol cairan perlu diperhatikan agar tidak terjadi
azotemia prerenal. Adanya hipotensi karena sepsis atau perdarahan perlu diatasi.
Pasien dengan gagal hati akut rentan terhadap infeksi bakteri dan mudah menjadi sepsis
karena disfungsi sistim imun. Bukti infeksi yang lemah sekalipun seperti adanya takikardia,
perdarahan saluran cerna, penurunan pengeluaran urin, adanya perubahan status mental sudah
perlu diberikan antibiotik. Antibiotik yang dipilih perlu dapat mengatasi infeksi bakteri gram
positif dan negatif.
Nutrisi perlu diperhatikan untuk menghindari keadaan katabolik. Umumnya pemberian
makanan secara oral atau enteral tidak aman, sehingga perlu diberikan nutrisi parenteral. Total
cairan termasuk pemberian produk darah dan nutrisi hanya diperbolehkan sampai 85-95%
kebutuhan cairan rumatan normal. Protein perlu dibatasi maksimal 1 g/kg/hari, tetapi perlu
diturunkan lagi menjadi 0,5 g/kg/hari bila terdapat peningkatan amonia serum.

 Transplantasi hati
Pada kasus tertentu, kematian hanya dapat dicegah dengan transplantasi hati. Keputusan
untuk menentukan transplantasi hati sulit karena perjalanan klinis selanjutnya belum jelas dan
tindakan transplantasi dalam keadaan gagal hati akut juga membawa risiko morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.8 Di Indonesia, saat ini belum dapat dilakukan transplantasi hati untuk
keadaan akut seperti ini.

2.3 Aspek Legal dan Etis Dalam Kegawatdaruratan


Prinsip-prinsip etika yang relevan harus dipertimbangkan ketika dilema etik muncul.
Terdapat beberapa prinsip-prinsip etik yang terkait dam pengaturan perawatan gawat darurat,
prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan hormat dan martabat bagi semua yang
terlibat dalam pengambialn keputusan.
1. Otonomi (Autonomi)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa mampu memutuskan sesuatu dan orang lain
harus menghargainya. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang
menuntut pembedaan diri. Salah satu contoh yang tidak memperhatikan otonomi adalah
Memberitahukan klien bahwa keadaanya baik padahal terdapat gangguan atau penyimpangan
2. Beneficence (Berbuat Baik)
Prinsip ini menentut perawat untuk melakukan hal yan baik dengan begitu dapat
mencegah kesalahan atau kejahatan. Contoh perawat menasehati klien tentang program latihan
untuk memperbaiki kesehatan secara umum, tetapi perawat menasehati untuk tidak dilakukan
karena alasan resiko serangan jantung.
3. Justice (Keadilan)
Nilai ini direfleksikan dalam praktek professional ketika perawat bekerja untuk terapi
yang benar sesuai hukum, standar praktik dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas
pelayanan kesehatan. Contoh ketika perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk
serta ada juga klien rawat yang memerlukan bantuan perawat maka perawat harus
mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor tersebut kemudian bertindak sesuai dengan asas
keadilan.
4. Non-maleficence (tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
Contoh ketika ada klien yang menyatakan kepada dokter secara tertulis menolak pemberian
transfuse darah dan ketika itu penyakit perdarahan (melena) membuat keadaan klien semakin
memburuk dan dokter harus mengistrusikan pemberian transfuse darah. akhirnya transfuse
darah ridak diberikan karena prinsi beneficence walaupun pada situasi ini juga terjadi
penyalahgunaan prinsi nonmaleficince.
5. Veracity (Kejujuran)
Nilai ini bukan cuman dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki oleh seluruh pemberi
layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk meyakinkan agar
klien mengerti. Informasi yang diberikan harus akurat, komprehensif, dan objektif. Kebenaran
merupakan dasar membina hubungan saling percaya. Klie memiliki otonomi sehingga mereka
berhak mendapatkan informasi yang ia ingin tahu. Contoh Ny. S masuk rumah sakit dengan
berbagai macam fraktur karena kecelakaan mobil, suaminya juga ada dalam kecelakaan tersebut
dan meninggal dunia. Ny. S selalu bertanya-tanya tentang keadaan suaminya. Dokter ahli bedah
berpesan kepada perawat untuk belum memberitahukan kematian suaminya kepada klien
perawat tidak mengetahui alasan tersebut dari dokter dan kepala ruangan menyampaikan
intruksi dokter harus diikuti. Perawat dalam hal ini dihadapkan oleh konflik kejujuran.
6. Fidelity (Menepati janji)
Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah
penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan penderitaan. Untuk mencapai itu perawat
harus memiliki komitmen menepati janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain.
7. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi klien. Dokumentasi
tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna keperluan pengobatan dan peningkatan
kesehatan klien. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan harus dihindari.
Landasan aspek legal keperawatan adalah undang-undang keperawatan. Aspek legal
Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikam kewenangan kepada
penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu Surat Ijin Kerja (SIK) bila bekerja
di dalam suatu institusi dan Surat Ijin Praktik Perawat (SIPP) bila bekerja secara perorangan
atau berkelompok. Kewenangan itu, hanya diberikan kepada mereka yang memiliki
kemampuan. Namun, memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga
kemampuan yang didapat secara berjenjang, kewenangan yang diberikan juga berjenjang.
Kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan khusus perawat dalam bidang tertentu yang
memiliki tingkat minimal yang harus dilampaui. Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan
yang bersifat umum saja yang diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala
keprofesian di bidang kesehatan dan kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat
khusus dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi
masing-masing.

Undang-Undang Terkait Kegawatdaruratan


Dalam Undang undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat
(1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat Inap, Rawat Jalan dan Rawat Darurat. Ini membuktikan bahwa
rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien atau penderita dengan arti
kata setiap rumah sakit wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM dalam pengelolaan pelayanan
gawat darurat, ini membuktikan adanya kepastian hukum dalam pelayanan gawat darurat di rumah
sakit”. Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medis. Gawat
Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita, keluarga, atau siapapun yang
bertanggung jawab dalam membawa penderita ke rumah sakit memerlukan pelayanan medis segera.
Penderita gawat darurat memerlukan pelayanan yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau. (Etika
dan HukKesehatan, Prof.Dr.Soekijo Notoatmojo 2010).
Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan,
Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien, perawat berwenang untuk
melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15,
Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang regitrasi dn izin praktik keperawatan
Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien, perawat berwenang
untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal
8, Pasal 11 poin (a) Perawat berhak Memperoleh perlindungan hukum.
Permenkes Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin dan penyelenggaran Praktik Kedokteraan
dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal 15 Ayat (I), Dokter
dan dokter Gigi dapat memberilan pelimpahan suatu tindakan kedokteran dan tindakan kedokteran
gigi , kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatn lainnya
secara tertulis.
Landasan Hukum Pelayanan Gawat Darurat
1. UU NO 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan
2. UU NO 6 Tahun 1963 Tenaga Kesehatan
3. UU NO 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran
4. UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
5. UU NO 36 Tahun 2009 Kesehatan
6. UU NO 44 TAHUN 2009 Rumah sakit
7. PP NO 32 TAHUN 1996 Tenaga Kesehatan
8. PP NO 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian
9. Berbagai Peraturan Menteri Kesehatan

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan adalah salah satu program
pelayanan kesehatan dimana individu atau sekelompok individu belajar untuk berperilaku
dalam suatu kebiasaan kondusif terhadap peningkatan, pemeliharaan dan pemulihan
kesehatan.

Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang kepada
orang lain karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu yang dapat mengubah kebiasaan
dan tingkah lakunya sendiri. Bahwa yang harus dilakukan oleh pendidik adalah
menciptakan sasaran agar individu,keluarga,kelompok, dan masyarakat dapat mengubah
sikap dan tingkah lakunya sendiri. Pendidikan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran
pendidikan sudah mengubah perilakunya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan

3.2 Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan kita tentang Pendidikan Kesehatan Dalam Kegawatdaruratan pada Anak.
Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar
makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes, RI. (2012). Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang
anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta.
Ngastiyah. (2016). Perawatan anak sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC
Saharso, D., et al, (2014). Kejang demam. Dalam: Pedomen pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI): 150-153.
Wong. (2015). Buku ajar keperawatan pediatrik. Alih bahasa: Andry Hartono, etal. Jakarta. EGC.
Wong, L & Donna. (2014). Buku ajar keperawatan pediatrik Wong. Alih bahasa:Agus Sutarna, Neti.
Juniarti, H.Y. Kuncoro. Editor edisi bahasa Indonesia:Egi Komara Yudha. Edisi 6. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai