Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN BENCANA PADA KELOMPOK

RENTAN : BAYI DAN ANAK


Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Keperawatan Bencana

Oleh :
Kelompok 1 AJ1 B19
1. Crispina S. Nuryanti 131611123001
2. Leli Ika Hariyati 131611123002
3. Alfan Fachrul Rozi 131611123003
4. Anggar Dwi Untari 131611123004
5. Selvi Ratu Djawa 131611123005
6. Rian Kusuma Dewi 131611123006
7. Awalludin Suprihadi P 131611123007
8. Delisa Alfriani 131611123008
9. Ika Minarni 131611123009
10. Nadhifatul Kamilah 131611123010

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
ASUHAN KEPERAWATAN BENCANA PADA KELOMPOK RENTAN :
BAYI DAN ANAK

A. BENCANA
1. Definisi Bencana
Bencana adalah suatu kejadian alam, buatan manusia, atau
perpaduan antara keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga
menimbulkan dampak negatif yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan.
Dalam kejadian tersebut, unsur yang terkait langsung atau terpengaruh harus
merespons dengan melakukan tindakan luar biasa guna menyelesaikan
sekaligus memulihkan kondisi seperti semula atau menjadi lebih baik
(Priambodo, S. Arie, 2009).
Berdasakan UU No 24 Tahun 2007 dalam Kadoatie, Robert J &
Syarief, Roestam, 2010, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Kejadian bencana seringkali saling berkaitan. Dengan kata lain,
suatu bencana dapat menjadi penyebab utama dari bencana lainnya yang
potensial terjadi dalam jangkauan wilayah tertentu. Misalnya, bencana
gempa bumi dapat berkaitan dengan gelombang pasang air laut (tsumani),
tanah longsor, letusan gunung berapi, semburan lumpur panas, atau bahkan
bencana sosial (penjarahan) pasca bencana (Priambodo, S. Arie, 2009).
2. Kategori Bencana
Secara garis besar ada tiga kategori bencana, sebagai berikut: (Priambodo,
S. Arie. 2009)
a. Bencana alam, yakni bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi
alamiah alam semesta (angina: topan, badai, putting beliung; tanah:
erosi, sedimentasi, longsor, gempa bumi; air: banjir, tsunami,
kekeringa; api: kebakaran, letusan gunung berapi).
b. Bencana sosial, yakni bencana yang disebabkan oleh ulah manusia
sebagai komponen sosial (instabilitas politik, sosial, dan ekonomi;
perang; kerusuhan massal; terror bom; kelaparan; pengungsian; dll).
c. Bencana kompleks, yakni perpaduan antara bencana sosial dana lam
sehingga dampak negatif bagi kehidupan (kebakaran; epidemi
penyakit; kerusakan ekosistem; polusi lingkungan, dll).

Tabel 1.1 Jenis bencana menurut UU No 24 Tahun 2007


No Kategori Bencana Jenis Bencana
1 Bencana alam Gempa bumi
Tsunami
Gunung Meletus
Banjir
Kekeringan
Angin topan
Tanah longsor
2 Bencana non-alam Gagal teknologi
Gagal modernisasi
Epidemi & wabah penyakit
3 Bencana sosial Konflik sosial antar kelompok dan
kominitas
Masyarakat terror
Sumber: Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam (2010).
3. Skala Bencana
Dalam menghadapi bencana, dibutuhkan perhitungan skala bencana,
tingkat bahaya, serta risiko yang dapat ditimbulkan. Ada kalanya tingkat
bahaya dan risiko yang ditimbulkan bercampur menjadi satu. Besar kecilnya
skala bencana tidak mudah dipastikan.

Skala Tingkat Bahaya Manusia Bangunan

A Ringan Cedera Rusak ringan


B Menengah Luka parah Rusak sedang

C Berat Cacat Permanen Rusak parah

D Dahsyat Meninggal dunia Hancur

Tabel 1.2 Bagan Skala Bencana


Sumber: (Priambodo, S. Arie. 2009).
4. Penyebab Bencana
Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu alam dan
manusia. Secara alami bencana akan selalu terjadi dipermukaan bumi, misal
tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke
bumi (misal meteor), tidak adanya hujan pada suatu lokasi dalam waktu
yang relatif lama sehingga menimbulkan kekeringan, atau sebaliknya curah
hujan yang sangat tinggi di suatu lokasi menimbulkan bencana banjir dan
tanah longsor.

Bencana oleh aktivitas manusia adalah terutama akibat eksplorasi


alam yang berlebihan, eksplorasi ini disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk yang terus meningkat. Pertumbuhan ini mengakibatkan
kebutuhan pokok dan non pokok meningkat, kebutuhan infrastruktur
meningkat Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam (2010).

B. DEFINISI BAYI DAN ANAK


Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai
dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat disertai dengan perubahan
dalam kebutuhan zat gizi
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Sedangkan menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak
anak di dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-
hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada
tanggal 20 Nopember 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian
1 pasal 1, yang dimaksud Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18
tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan
bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Kemenkes, 2014).
C. KERENTANAN BAYI DAN ANAK SAAT BENCANA
Korban bencana adalah orang atau kelompok yang menderita atau
meninggal dunia akibat bencana (Pemerintah Republik Indonesia 2008).
Kerentanan berasal dari kata rentan yang berarti mudah terkena penyakit
(Kamus besar Bahasa Idonesia (KBBI) online.
Kelompok rentan merupakan mereka yang memiliki kebutuhan
khusus yang berisiko karena kondisi fisik, psikologis atau kesehatan.
Kelompok rentan bencana adalah bayi, anak usia dibawah lima tahun, anak-
anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat dan orang lanjut usia.
Kelompok rentan merupakan mereka yang memiliki kebutuhan khusus yang
berisiko karena kondisi fisik, psikologis atau kesehatan. Pada kejadian bencana
pertolongan diprioritaskan pada masyarakat terkena bencana yang mengalami
luka parah dan kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan,
pelayanan kesehatan dan psikososial (Pemerintah Republik Indonesia 2008).
Bayi dan anak dibawah lima tahun terutama rentan dalam keadaan
bencana dikarenakan kondisi fisik, psikologis dan kesehatan mereka sangat
tergantung pada orang tuanya (orang dewasa). Anak mengalami dampak lebih
berat dari pada orang dewasa pada saat bencana. Mereka sangat terpengaruh
oleh peristiwa traumatis yang dialami (menyaksikan kematian, terpisah dari
orang tua, sebatang kara), juga merasakan dampak peristiwa yang dialami
orang tuanya, hal ini diakibatkan orang tua yang mengalami trauma akibat
bencana seringkali berkurang kemampuannya untuk mendukung dan
melindungi anak secara emosional, gangguan parah yang dialami orang tua
seperti tindak kekerasan menjadi trauma baru bagi anak serta anak belum
memiliki kemampuan untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan.
1. Kerentanan Psikologis
Menurut Rhodes et al. (2010) terpisah dari keluarga pada saat terjadi
dan sesudah bencana, kehilangan orangtua ataupun orang yang disayangi,
tinggal dalam lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda-
tandanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah
marah, tempertantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul
kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya, reaksi ketakutan dan
kecemasan, keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi
sekolah, menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan
sering bertengkar dengan saudara, berkurangnya ketertarikan dalam
aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi pemberontak, gangguan makan,
gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko
yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi.
2. Kerentanan Fisik
Jenis bencana memengaruhi kerentanan fisik anak, misalnya bayi di
amerika pada bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu
yang terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja
yang meninggal karena kedinginan Anak yang tinggal dalam lokasi yang
rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal ataupun menjadi cacat,
misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam reruntuhan
tembok sekolah. Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana,
anak yang tinggal dalam lokasi pengungsian ataupun darurat, sangat rentan
terhadap berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit
pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih dan sanitasi yang kurang
membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan
dengan mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan
anak. Kesehatan reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu
dicermati. Usia yang secara biologis mulai matang membutuhkan piranti
tersendiri utnuk bisa hidup secara sehat. Faktor sosial juga menimbulkan
kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan stress orang tua ataupun
lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada individu yang
lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp pengungsian
bahwa anak diperlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan oleh
orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri
menjadi tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada anak.
3. Kerentanan Pendidikan
Banyak akses pendidikan yang hilang akibat bencana. Selain
infrastruktur pendidikan yang hancur, banyak guru ataupun tenaga pendidik
yang mengungsi, akibatnya pendidikan tidak bisa berjalan. Anak terpaksa
tidak sekolah dalam jangka waktu tertentu ataupun malah berhenti.
Meskipun diadakan sekolah darurat, dan juga kampanye untuk kembali
bersekolah, banyak orangtua yang masih enggan mendaftarkan anaknya
untuk bersekolah di sekolah relokasi karena mereka belum tahu kepastian
tempat tinggal mereka. Pada masyarakat dengan kultur budaya patriarki
yang kuat dimana anak perempuan lebih diarahkan untuk mengerjakan
pekerjaan domestic, angka putus sekolah untuk anak perempuan lebih
tinggi. Angka putus sekolah yang tinggi menjadi tanda rentannya intervensi
pendidikan anak paska bencana.
Program pengurangan risiko untuk kelompok dengan kebutuhan
khusus dilakukan melalui program-program spesifik yang bertujuan untuk
tidak meningkatkan kerentanan tetapi sebaliknya mendukung ketangguhan
kelompok rentan terhadap bencana (BNPB 2010).
Perlindungan khusus bagi anak korban bencana dilaksanakan
melalui pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan rekreasi, jaminan keamanan
dan persamaan perlakuan (Pemerintah Republik Indonesia 2002).
Kerentanan Kerentanan Kerentanan
Psikologis Fisik Pendidikan
 Ancaman  Hidup dalam  Rusaknya bangunan
 Keluarga terpisah komunitas miskin sekolah
 Kematian orangtua  Bersekolah di  Guru dan siswa yang
 Kehilangan materi sekolah dibawah mengungsi
 Kerusakan rumah standar keslamatan  Kehilangan catatan
atau sekolah bangunan penting
 Ekspose langsung  Kehilangan  Tertundanya masuk
oleh media orangtua sekolah
 Minimnya persiapan  Keluarga terpisah  Perubahan sekolah
tanggap bencana  Stress orangtua  Lingkungan sekolah
 Stress orangtua  Lingkungan shelter yangtidak ramah
yang tidak sehat  Prestasi rendah
 Rendahnya  Kehilangan orangtua
dukungan sosial  Permintaan pekerrjaan
 Adanya stressor yang meningkat
tambahan
 Ketrampilan
“coping” randah
 Kurangya dukungan
“coping”
 Pengungsian

D. DAMPAK BENCANA PADA BAYI DAN ANAK


1. Dampak Fisik
Anak tidak saja secara emosi rentan pada efek bencana, mereka juga
secara fisik sangat lemah terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Lebih dari 18,000 anak meninggal pada gempa di pakistan(International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies 2007), dan tsunami
2004 di samudra Hindia menyebabkan 60.000 anak meninggal(Oxfam
International 2005). Jenis bencana juga mempengaruhi kerentanan fisik
anak. Misalnya bayi di amerika pada bencana badai Katrina banyak yang
meninggal karena suhu yang terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di
Rusia, banyak remaja yang meninggal karena kedinginan Anak yang tinggal
dalam lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal
ataupun menjadi cacat, misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap
dalam reruntuhan tembok sekolah.
Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak
yang tinggal dalam lokasi pengungsia ataupun darurat, sangat rentan
terhadap berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit
pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih dansanitasi yang kurang
membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan
dengan mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan
anak. Kesehatan reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu
dicermati. Usia yang secara biologis mulai matang membutuhkan piranti
tersendiri utnuk bisa hidup secara sehat.
Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam
keadaan stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan
emosinya pada individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak
ditemui di kamp pengungsian bahwa anak dieprlakukan sebagai subyek
kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh
maupun perilaku menarik diri menjadi tanda penting adanya kemungkinan
kekerasan fisik pada anak.
2. Dampak Psikologis

Untuk anak- anak bencana bisa sangat menakutkan, fisik mereka


yang tidak sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan tehadap
ancaman bencana. Rasa aman utama anak-anak adalah orang dewasa
disekitar mereka (orang tua dan guru) serta keteraturan jadwal. Oleh karena
itu anak-anak juga sangat terpengaruh oleh reaksi orang tua mereka dan
orang dewasa lainya. Jika orangtua dan guru mereka bereaksi dengan panik,
anak akan semakin ketakutan. Saat mereka tinggal di pengungsian dan
kehilangan ketaraturan hidupnya. Tidak ada jadwal yang teratur untuk
kegiatan belajar, dan bermain, membuat anak kehilangan kendali atas
hidupnya. Anak mengalami kecemasan dan ketegangan yang dirasakan oleh
orang dewasa di sekitarnya. Dan seperti orang dewasa, anak mengalami
perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat mengontrol stres yang
ditimbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti orang dewasa, anak
mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka meletakkan
situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspetif. Children sense the anxiety
and tension in adults around them. Setiap anak mempunyai respon yang
berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemahaman dan pengertian
mereka, tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat
menciptakan kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka
berpikir bahwa bencana adalah sesuatu yan mengancam dirinya dan orang
yang mereka sayangi.
Terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah bencana,
kehilangan orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam
lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya dapat
dikenali dari uraian di bawah ini.
a. Kerentanan Psikologis Pada Anak Pra sekolah
Tanda-tanda anak pra sekolah (1-4 tahun) mengalami gangguan
psikis adalah adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk,
kelekatan, mudah marah, temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif,
”baby talk” muncul kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya
(Norris et al. 2002).

b. Kerentanan psikologis Anak Usia Sekolah (5-12)


Anak usia ini menunjukkan adanya reaksi ketakutan dan
kecemasan, keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi
sekolah, menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD,
dan sering bertengkar dengan saudara (Mandalakas, Torjesen, and
Olness 1999).

c. Kerentanan Psikologis Anak Usia 13 – 18 tahun


Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan
berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak
menjadi pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang
konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena
penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi.
Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa factor lain yang
mempengaruhi “wellbeing” anak paska bencana, Faktor resiko lainya yang
mempengaruhi anak adalah:
a. Kematian orangtua atau orang yang dicintai anak
Dalam kasus bencana tsunami Aceh, dimana banyak orangtua dan
keluarga yang meninggal, anak perempuan sangat rentan terhadap
praktek prostitusi, kawin muda, dan menjadi subyek pelecehan seksual.
Perdagangan anak juga menjadi isue pasca bencana ini, dimana anak
yang tidak punya orang tua disalah gunakan oleh pihak yang
bertanggungjawab untuk kepentingan lembaga tersebut.

b. Nonintegrated family – separated children


Pada saat terjadinya bencana banyak anak yang terpisah dari
orangtuanya. Banyak dari mereka tidak mengetahui keberadaan
orangtua, anak batita dan balita adalah anak dalam kategori berisiko
tinggi dalam hal ini karena mereka belum bisa menjelaskan jatidiri
mereka, seperti nama orangtua, asal-usul, dsb. Anak-anak ini
kebanyakan dipelihara oleh orang yang menemukan mereka atau tinggal
dalam lingkungan pengungsian tanpa perlindungan.
c. Kehilangan ”sense” of normality secara mendadak
Kehilangan rumah, masyarakat, dan juga teman tempat anak
tumbuh dalam lingkaran kehidupan sehari-hari menjadikan anak hidup
dalam situasi yang “tidak normal”. Kondisi pengungsian yang sama
sekali berbeda dari lingkungan normal anak menjadi factor resiko bagi
anak yang harus beradaptasi secara mendadak. Perubahan situasi yang
baru merupakan stressor bagi anak yang biasanya tumbuh dalam
lingkungan yang memberinya rasa nyaman.
E. PERAWATAN PADA BAYI DAN ANAK SAAT BENCANA
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-
kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan
penanganan bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010) :
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan bayi dan
anak menurut (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency
(FEMA), 2010; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007):
1. Sebelum Bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau
gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak
pada saat bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
2. Saat Bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar
yang digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan
alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan dengan orang
dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka
3. Setelah Bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi
resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma
psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa
berupa kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak
sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang
dalam massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan
maka akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para
korban bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti
ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh
perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan
sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya,
selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap
bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat
lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat
mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan
mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga
kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
Anak-anak memerlukan perawatan khusus yang berbeda dari
orang dewasa, terutama karena berkaitan dengan tanggap darurat
terhadap peristiwa radiasi skala besar. Masa kanak-kanak dan remaja
adalah tahap pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dan unik
sehingga menimbulkan kerentanan, variasi biologis, perbedaan
fisiologis, dan kebutuhan perkembangan. Skrining, dekontaminasi,
strategi pengobatan, dan penggunaan tindakan pencegahan medis harus
dilakukan dengan memperhatikan perbedaan ini. Menanggapi bencana
radiasi yang berdampak pada anak-anak memerlukan evaluasi dan respon
yang cepat oleh penyedia layanan kesehatan yang dilengkapi dengan
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk menangani
kebutuhan kesehatan fisik, emosional, dan mental anak secara tepat.
Anak-anak memiliki kelenjar tiroid yang cukup kecil itu dapat
mengumpulkan dosis
DAFTAR PUSTAKA

Janine M. Schroeder, MA;1 Melissa A. Polusny, PhD2 (2004) Risk Factors


for Adolescent Alcohol Use Following a Natural Disaster
http://pdm.medicine.wisc.edu Prehospital and Disaster Medicine Schroeder,
Polusny 123

Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam. (2010). Tata ruang Air. Yogyakarta:
C.V Andi OFFSET.

Kemenkes. (2014). Infodatin. Jakarta: Kemenkes.

Kemenkes, 2012. PEDOMAN KEGIATAN GIZI DALAM


PENANGGULANGAN BENCANA, Jakarta: Dirjen Bina Gizi dan KIA. Available
at: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/11/Buku-Pedoman-Kegiatan-
Gizi-dalam-Penanggulangan-Bencana.pdf [Accessed October 15, 2017].

Kemenkes, 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat


Bencana (mengacu pada Standar internasional) Revisi., Jakarta: Pusat
Penanggulangan Krisis Kesehatan Kemenkes RI.

Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster
Report 2007: Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.

Lauten, Anne Westbrook and Kimberly Lietz (2008). “A Look at the


Standards Gap: Comparing Child Protection Responses in the Aftermath of
Hurricane Katrina and the Indian Ocean Tsunami.” Children, Youth and
Environments 18(1): 158-201. Available from:
http://www.colorado.edu/journals/cye.

Morris, Kerry-Ann N. and Michelle T. Edwards (2008). “Disaster Risk


Reduction and Vulnerable Populations in Jamaica: Protecting Children within the
Comprehensive Disaster Management Framework.” Children, Youth and
Environments 18(1): 389-407. Available from: www.colorado.edu/journals/cye.

Nursalam. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik


dam Keperawatan. (Nursalam, Ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Priambodo, S. Arie. (2009). Panduan Praktis Menghadapi Bencana.


Yogyakarta: Kanisius.

Plutchik, R 2003. Emotions and Life: Perspective from psychology, biology,


and evolution. Washington, DC:APA

Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing.
Cambridge, UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.
Ronan, Kevin R., Kylie Crellin, David M. Johnston, Kirsten Finnis, Douglas
Paton and Julia Becker (2008). “Promoting Child and Family Resilience to
Disasters: Effects, Interventions and Prevention Effectiveness.” Children, Youth
and v fEnvironments 18(1): 332-353. Available from:
www.colorado.edu/journals/cye.

Santrock, J.W. 1999. Life Span Development. Seventh Edition. Boston:


McGraw-Hill

Soemarno, 2011. PENDUGAAN-RISIKO-BENCANA-DAN-


PENGELOLAANNYA.

The Sphere Project, 2017. Health Standards : Essential Concepts. , (October),


pp.1–73. Available at: http://www.sphereproject.org.

Thornton, C. P., & Veenema, T. G. (2015). Caring for Children After a


Radiological Disaster. Journal of Radiology Nursing, 34(4), 200–208.
https://doi.org/10.1016/J.JRADNU.2015.09.007

Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for


Chemical, Biological, and Radiological Terorism and Other Hazards (2nd ed.). New
York, NY: Springer Publishing Company, LLC.

Weissbecker, Inka, Sandra E. Sephton, Meagan B. Martin, and David M.


Simpson (2008). “Psychological and Physiological Correlates of Stress in Children
Exposed to Disaster: Review of Current Research and Recommendations for
Intervention.” Children, Youth and Environments 18(1): 30-70. Available from:
www.colorado.edu/journals/cye.

Anda mungkin juga menyukai