Anda di halaman 1dari 61

TUGAS KELOMPOK

Case Study : Rancangan Manajemen Penangan Bencana Yang Terjadi Di

Indonesia “Tanah Longsor”

Nama Anggota Kelompok 7 :

1. Rezania Cindy Berliantine (G2A219041)

2. Dyah Retno Udayanti (G2A219065)

3. Irvan Dwi Septian (G2A219075)

4. Ika Yuliana Ermawati (G2A219082)

5. Wilda Ayu Yusrina Dewi (G2A219084)

PROGRAM SARJANA ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara yang sering mengalami bencana, baik

bencana alam maupun akibat ulah manusia. Provinsi Jawa Barat masuk kedalam

kategoriprovinsi dengan Indek Resiko Bencana tertinggi di Indonesia terutama

dari komponen dampak fisik bencana

(Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], 2019). Salah satunya

bencana yang ada di indonesia yaitu Tanah longsor dimana sering terjadi di

dataran tinggi.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka beberapa daerah di Indonesia dibentuk

tim siap siaga bencana untuk membimbing, memberikan penyuluhan dan

motivator kepada masyarakat dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana (Safety Sign,

2018).Bencana dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar dan berdampak

pada segala aspek. (Center for Research on the Epidemiology of Disaster

(CRED), 2016)mencatat pada tahun 2016terjadi 342 bencana alam yang

mengakibatkan 8.733 korban meninggal dunia dan 569,4 juta jiwa mengalami

dampak dari bencana dimana korban yang terdampak bencana mengalami

peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 98,5 juta jiwa.

Studi kasus yang penulis ambil yaitu dari Faizana Fina, Laila Nugraha

Arief,& Darmo Yuwono Bambang (2015). Pemetaan Risiko Bencana Tanah

Longsor Kota Semarang. Jurnal GeodesiUndip,4(1),223-234.Retrieved from


https://ejournal3.undip.ac.id. Penentuan daerah risiko bencana tanah longsor

dilakukan dengan pembobotan parameter menggunakan overlay. Nilai bobot pada

setiap kelas parameternya menggunakan pembobotan sesuai PERKA BNPB No.2

Tahun 2012 untuk pemetaan kerentanan dan kapasitas bencana tanah longsor.

Hasil sebaran peta risiko bencana tanah longsor Kota Semarang terdapat tingkat

risiko rendah seluas 126,003 hektar di delapan kelurahan,

Pemetaan kapasitas banjir Kota Semarang didapat dari penggabungan

beberapa parameter, yaitu jumlah tenaga kesehatan, jumlah sarana kesehatan,

sosialisasi bencana, usaha antisipasi bencana, dan posko tanggap darurat, yang

diolah berdasarkan data BPBD dan statistik dengan unit terkecil klasifikasi adalah

pada wilayah administrasi kecamatan. Berdasarkan hasil penggabungan tersebut

diperoleh 6 kecamatan yang masuk kategori kapasitas sedang, yaitu Candisari,

Gajah Mungkur, Gayamsari, Gunungpati, Pedurungan, dan Semarang Utara.

Sedangkan terdapat 10 kecamatan yang termasuk kapasitas tinggi yaitu

Banyumanik, Genuk, Mijen, Ngaliyan, Semarang Barat, Semarang Selatan,

Semarang Tengah, Semarang Timur, Tembalang, dan Tugu.

B. Tujuan Penulisam

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui perencanaan manajemen bencana di daerah Semarang.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui penanggulangan manajemen bencana Tanah Longsor di

Semarang
b. Mengetahui faktor- faktor yang menghambat dan mendukung

penanggulangan tanah lonngsor di Kota Semarang


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Bencana Secara Umun

Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat

yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor

manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis

(Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007) (Ananto, 2015).

Definisi bencana (disaster) menurut (S. W. A. Gunn, 2013)

bencana adalah kehancuran ekologis yang luas baik secara fisik maupun

hubungan fungsional antara manusia dengan lingkungannya, yang

disebabkan oleh alam atau manusia, berbentuk kejadian yang serius atau

tidak nampak (atau lambat, seperti pada kekeringan), dalam skala yang

tidak dapat ditangani oleh sumberdaya yang ada, dan komunitas yang

terdampak membutuhkan upaya yang luar biasa untuk menangani

kerusakan yang terjadi, bahkan membutuhkan bantuan dari masyarakat

internasional.

B. Macam Bencana Di Indonesia

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 peristiwa atau serangkaian peristiwa

yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,

gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor

(Linda, 2011)
C. Kemungkinan Bencana Yang Ada di Daerah

Untuk mengidentifikasi bencana alam yang mungkin terjadi

tersebut berkenan dengan peristiwa-peristiwa alam yang pernah (dalam

sejarah kebencanaan) dan mungkin akan terjadi di masa yang akan datang,

maka pada tahap pertama adalah dilakukan Kajian Geologis,

Hidrogeologis dan Geomorfologis wilayah dengan menggunakan data

Geologi berupa peta Geologi, Peta Lereng, Peta Hidrologi, Peta

Penggunaan Lahan.

Kawasan rawan bencana adalah suatu wilayah yang memiliki

kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis,

geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi yang untuk

jangka waktu tertentu tidak dapat atau tidak mampu mencegah, meredam,

mencapai kesiapan, sehingga mengurangi kemampuan untuk menanggapi

dampak buruk bahaya/bencana alam tertentu. Oleh karena itu,

penyelenggaraan penataan ruang secara keseluruhan haruslah merupakan

upaya intervensi terhadap kerentanan wilayah dan meningkatkan kondisi

ketahanan ruang wilayah terhadap kemungkinan adanya bahaya/bencana

alam yang terjadi ( Linda, 2011).

D. Penatalaksanaan Bencana Secara Umum

Menurut (Arandita, 2011) lima prioritas pengurangan risiko bencana yang

harus dilakukan adalah meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai

prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung

oleh kelembagaan yang kuat, mengidentifikasi, mengkaji dan memantau


risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini, memanfaatkan

pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran

keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan

masyarakat, mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana,

memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan

masyarakat agar respon yang dilakukan lebih efektif.

Berdasarkan kepada prioritas pelaksanaan pengurangan risiko bencana

maka upaya dan rencana aksi yang dilakukan meliputi :

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional

maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh

kelembagaan yang kuat

2. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk

membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap

bencana pada semua tingkatan masyarakat, dengan kegiatan, salah

satunya adalah Mengembangkan program-program pelatihan dan

pembelajaran pengurangan risiko bencana pada sektor tertentu

(perencana pembangunan, penanggung jawab keadaan darurat dan

pemerintah daerah).
BAB III

STUDI KASUS DAN MANAJEMEN PENANGANAN BENCANA

TANAH LONGSOR DI SEMARANG

A. Studi Kasus Manajemen Penanganan Bencana

Studi kasus yang penulis ambil yaitu dari Faizana Fina, Laila Nugraha

Arief, & Darmo Yuwono Bambang (2015). Pemetaan Risiko Bencana Tanah

Longsor Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip, 4(1), 223-234. Retrieved

from

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/geodesi/article/download/7669/7429.

1. Penentuan daerah risiko bencana tanah longsor dilakukan dengan

pembobotan parameter menggunakan overlay. Nilai bobot pada setiap

kelas parameternya menggunakan pembobotan sesuai PERKA BNPB

No.2 Tahun 2012 untuk pemetaan kerentanan dan kapasitas bencana tanah

longsor.

2. Pemodelan risiko bencana tanah longsor Kota Semarang dengan pemetaan

ancaman, kerentanan dan kapasitas.

3. Hasil penilaian tingkat risiko bencana tanah longsor kota semarang dengan

dua metode yaitu VCA modifikasi dan PERKA BNPB menujukkan bahwa

menggunakan metode VCA modifikasi hasilnya lebih sesuai dengan

kondisi sebenarnya.

4. Hasil sebaran peta risiko bencana tanah longsor Kota Semarang terdapat

tingkat risiko rendah seluas 126,003 hektar di delapan kelurahan,


Pemetaan kapasitas banjir Kota Semarang didapat dari penggabungan

beberapa parameter, yaitu jumlah tenaga kesehatan, jumlah sarana

kesehatan, sosialisasi bencana, usaha antisipasi bencana, dan posko

tanggap darurat, yang diolah berdasarkan data BPBD dan statistik dengan

unit terkecil klasifikasi adalah pada wilayah administrasi kecamatan.

Berdasarkan hasil penggabungan tersebut diperoleh 6 kecamatan yang

masuk kategori kapasitas sedang, yaitu Candisari, Gajah Mungkur,

Gayamsari, Gunungpati, Pedurungan, dan Semarang Utara. Sedangkan

terdapat 10 kecamatan yang termasuk kapasitas tinggi yaitu Banyumanik,

Genuk, Mijen, Ngaliyan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang

Tengah, Semarang Timur, Tembalang, dan Tugu.

Kemudian penulis juga melakukan studi kasus dari penelitian Zahrah

Zahirah & Zainal Hidayat. (2017). Implementasi Program Kelurahan Siaga

Bencana (Ksb) Di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. Journal of Public

Policy and Management Review, 6(2), 88-100.

1. Implementasi Program Kelurahan Siaga Bencana (Ksb) Di Kecamatan

Ngaliyan Kota Semarang

a. Ketepatan Kebijakan disini adalah hal-hal mengenai kesesuaian

kebijakan yang telah dirumuskan dengan karakter masalah yang akan

dipecahkan. Kemudian pembentukan program yang dilakukan oleh

lembaga yang akuntabel.

1) Kesesuian Kebijakan Pelaksanaan program Kelurahan Siaga

Bencana (KSB) di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dilakukan


sesuai dengan kebijakan tentang penyelenggaraan penanggulangan

bencana di antaranya yaitu mengatur tentang berbagai kegiatan

yang dilakukan sesuai dengan tahapan penanggulangan bencana

yang meliputi pra bencana, tanggap bencana dan pasca bencana.

2) Perumusan Program oleh Lembaga yang Akuntabel Di dalam

pembentukan Kelurahan Siaga Bencana (KSB) di Kecamatan

Ngaliyan Kota Semarang seperti yang dikemukakan pada hasil

wawancara bahwa program Kelurahan Siaga Bencana (KSB) di

Kecamatan Ngaliyan telah dibuat oleh lembaga-lembaga yang

mempunyai kewenangan. Lembaga yang membuat program

Kelurahan Siaga Bencana (KSB) adalah Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, kemudian Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang

bekerjasama dengan LSM BINTARI dan Universitas Diponogoro.

b. Ketepatan pelaksana ialah kesesuaian pemilihan aktor baik kelompok

atau induvidu untuk melaksanakan suatu kebijakan. Dalam setiap

implementasi program terdapat aktor dibalik kesuksesan program

tersebut. Aktor implementasi kebijakan tidak hanya pemerintah. Ada

tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerja

sama antara pemerintah masyarakat/ swasta, atau implementasi yang

diswastakan (Nugorho, 2014:686).

1) Aktor utama
Dalam pelaksanaan program KSB yang menjadi aktor utamanya

sendiri yaitu kelompok KSB (masyarakat) sediri karena sesuai

dengan tujuan awal dibentuknya Kelurahan Siaga Bencana (KSB)

adalah mengurangi tingkat risiko bencana dengan memberdayakan

masyarakat. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program

tersebut antara lain Pemerintah Kota, Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, LSM Bintari,

Kecamatan, Kelurahan, Kelompok KSB dan Masyarakat.

2) Keterlibatan Swasta dan Masyarakat

Dalam pelaksanaan Kelurahan Siaga Bencana (KSB) di Kecamatan

Ngaliyan pemerintah tidak hanya melibatkan masyarakat saja

namun juga ikut melibatkan pihak swasta, namun sangat

disayangkan dari hasil wawancara dengan informan bahwa dalam

pelaksanaan Kelurahan Siaga Bencana (KSB) di Kecamatan

Ngaliyan pihak swasta belum sepenuhnya terlibat.

c. Ketetapan Target

Ketepatan target berkenaan dengan tiga hal, yaitu pertama apakah

target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan. Kedua

apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak.

1) Sasaran Program

Berdasarkan hasil wawancara bahwa implemetor telah mengetahui

target atau sasaran dari tujuan program Kelurahan Siaga Bencana


(KSB) di Kecamatan Ngaliyan. Pada fenomena ini dapat

dikatakkan bahwa sasaran telah sesuai dengan tujuan awal.

2) Respon Masyarakat

respon masyarakat terhadap pelaksanaan program Kelurahan Siaga

Bencana (KSB) di Kecamatan Ngaliyan selama ini tanggapannya

dan responya positif dan mendukung, karena masyarakat

menyadari bahwa dengan adanya program Kelurahan Siaga

Bencana (KSB) mereka bisa lebih cepat tanggap baik sebelum

terjadi bencana maupun saat terjadi bencana.

d. Ketapatan Lingkungan

Ada dua lingkungan yang paling menentukan keberhasilan suatu

kebijakan maupun program

1) Lingkungan Internal

Interaksi yang dilakukan oleh Badan penanggulanggan Bencana

Daerah (BPBD) Kota Semarang dengan pihak pelaksana lainnya

adalah dengan melakukan rapat-rapat koordinasi, yaitu

menyangkut penyelenggaran penanggulanggan bencana mulai dari

pra bencana hingga pasca bencana dalam bentuk kerja sama dan

pembagian tugas antara pihak pelaksana agar pihak-pihak

pelaksana melakukan tugas dan fungsinya masing-masing sesuai

dengan apa yang telah dikoordinasikan oleh Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang.

2) Lingkungan Eksternal
Peran media massa baik media cetak maupun elektronik atau

internet di dalam pelaksaan program Kelurahan Siaga Bencanna

(KSB) di Kecamatan Ngaliyan telah memberikan informasi dengan

baik kepada masyarakat yang dimana media massapun baik cetak

maupun elektronik atau intenet, biasanya mereka rutin memberikan

informasi terkait perkembangan Kelurahan Siaga Bencana (KSB)

di Kecamatan Ngaliyan atau meliputi apabila ada kegiatan

pelatihan-pelatihan dan simulasi.

e. Ketepatan Proses

Secara umum implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses

(Nugroho, 2014:688), yaitu Policy acceptane, Policy adoption dan

Strategic readiness.

1) Kesiapan Pelaksana

Kesiapan pelaksana dalam menjalankan program Kelurahan Siaga

Bencana (KSB) di Kecamatan Ngaliyan sudah terlihat dimana para

pelaksana sudah memahami tugas dan fungsinya masing-masing.

2) Kesiapan Masyarakat

Kesiapan masyarakat adalah pemahaman kelompok sasaran agar

kelompok sasaran siap menerima dan melakukan sebuah kebijakan.

Kelompok sasaran telah cukup memahami mengenai pelaksanaan

program Kelurahan Siaga Bencana (KSB) di Kecamatan Ngaliyan.

2. Faktor Pendorong dan Penghambat pengorganisasian di Kecamatan

Ngaliyan Kota Semarang


a. Faktor Pendorong

1) Kondisi Rawan Bencana

Dengan kondisi geografis dan jenis bencana yang sering terjadi di

Kecamatan Ngaliyan menyebabkan kecamatan tersebut di bentuk

Keluran Siaga Bencana (KSB).

2) Dorongan Beberapa Pemangku

Dalam pembentukan Keluruhan Siaga Bencana (KSB) di

Kecamatan Ngaliyan yaitu Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) Kota Semarang tidak hanya sendiri, mereka

dibantu olehh LSM BINTARI dan Universitas Diponogoro.

3) Pendampingan

Dalam melaksanakan suatu program, program tidak dapat berjalan

sesuai dengan harapan apabila tidak ada dukungan dari pihak lain.

b. Faktor penghambat

1) Sumber daya manusia

Pelaksanaan Kelurahan Siaga Bencana (KSB) di Kecamatan

Ngaliyan memiliki kendala pada sumber daya manusia.

Permasalannya yaitu seperti sebagian pengurus atau anggota

Kelurahan Siaga Bencana (KSB) adalah pekerja maka terdapat

hambatan dalam melaksanakan kegiatan.

2) Sumber daya finansial

Dana yang diperoleh pada masing-masing Kelurahan Siaga

Bencana (KSB) di Kecamatan Ngaliyan yaitu hasil dari iuran


masyarakat atau memanfaatkan fasilitas yang dimiliki oleh

Kelurahan Siaga Bencana (KSB) dengan melakukan usaha sewa

barang.

3) Sumber daya fasilitas

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang

dalam pelaksanaan Kelurahan Siaga Bencana (KSB) di Kecamatan

Ngaliyan memberikan beberapa fasilitas pada masing² masing

kelurahan. Fasilitas yang disediakan ialah rompi untuk pengurus,

pelampung, HT, radio, P3K sedangkan barang yang diberikan oleh

BPBD Kota Semarangg masih dalam bentuk pinjam pakai,

sementara itu perlengkapan lainnya yang dimiliki didapat dari

pemberian atau pinjaman masyarakat. Kartu identitas untuk

pelaksana di kelurahan masih dikeluhkan, padahal kartu identitas

sangat penting dalam melaksanaka program ini. Permasalahan

lainya belum adanya Posko pada masing-masing Kelurahan Siaga

Bencana (KSB).

B. Manajemen Bencana oleh BPBD Semarang dalam menanggulangi bencana

Tanah Longsor

1. Tahap Pra Bencana

a. Mitigasi

Mitigasi merupakan salah satu dari tahapan manajemen

bencana yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah


(BPBD) Kota Semarang dimana merupakan tahapan yang pertama

dilakukan. Pada tahap pra-bencana mitigasi ini adalah tugas yang

dilakukan oleh Bidang I yaitu Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang.

Sesuai dengan tahapan pra-bencana yaitu mitigasi, maka dapat

dilihat dengan program dan kegiatan yang dilakukan oleh Bidang I

Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kota Semarang adalah yaitu:

Membentuk kelurahan siaga bencana dan kelurahan tangguh bencana.

Dalam rangka mengurangi risiko dampak bencana tanah longsor yang

terjadi, maka Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota

Semarang membentuk Kelurahan Siaga Bencana (KSB) dan Kelurahan

Tangguh Bencana. Pembentukan KSB dan KTB ini merupakan

langkah yang diambil oleh Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan

bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat yang berada di daerah

rawan akan bencana tanah longsor agar dapat mengantisipasi apabila

terjadi banjir. Pembentukan Kelurahan Siaga Bencana (KSB) dan

Kelurahan Tangguh Bencana (KTB) di Kota Semarang tersebut

melibatkan banyak pihak yaitu warga masyarakat, Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, Aparatur

Sipil Negara tingkat Kelurahan, Ketua RT/RW, dan juga pihak terkait

seperti relawan-relawan bencana, dan juga Organisasi Non Pemerintah.

Semuanya saling terkait satu sama lain dalam rangka untuk mencegah

terjadinya tanah longsor atau paling tidak mengurangi dampak yang


ditimbulkan akibat tanah longsor di suatu kelurahan berbasis

masyarakat setempat.

Pembentukan KSB dan KTB tersebut merupakan perwujudan

langkah manajemen bencana yang dilakukan oleh Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang dalam

menerapkan program pra-bencana untuk menghadapi bencana tanah

longsor yang sering melanda Kota Semarang. Melalui sosialisasi yang

rutin dilakukan oleh BPBD kepada KSB dan KTB, agar dapat berperan

optimal dalam menghadapi bencana tanah longsor.

b. Kesiapsiagaan

1) Rencana Kontigensi

Rencana kotigensi adalah suatu proses perencanaan ke depan,

dalam situasi terdapat potensi bencana, di mana skenario dan

tujuan disepakati, tindakan teknis dan manajerial ditetapkan, dan

sistem tanggapan dan pengarahan potensi disetujui bersama, untuk

mencegah atau menanggulangi secara baik dalam situasi darurat

atau kritis. Tujuan adanya dokumen rencana kontigensi adalah

sebagai dasar memobilisasi sumber daya para pemangku

kepentingan pada saat tanggap darurat bencana dalam melakukan

penanggulangan bencana yang cepat dan efektif.

2) Membuat peta rawan dan risiko bencana

Peta rawan bencana dan peta risiko bencana merupakan salah satu

program yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana


Daerah (BPBD) Kota Semarang dalam rangka untuk menghadapi

kemungkinan terjadinya tanah longsor di suatu wilayah. Peta

rawan bencana sendiri merupakan peta yang dibuat dengan tujuan

agar memetakan wilayah atau daerah mana saja yang rawan dan

memungkinkan terdampak banjir suatu waktu. Sedangkan peta

risiko bencana lebih detil dibandingkan peta rawan bencana.

3) Peringatan Dini

Bentuk peringatan dini dalam pencegahan dan kesiapsiagaan yang

selanjutnya dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah sarana dan prasarana yang

sangat membantu dalam pelaksanaan mitigasi bencana tanah

longsor misalnya adanya alat peringatan dini atau EWS tanah

longsor memberikan informasi kepada masyarakat untuk siaga

bencana tanah longsor, dan lain-lain.

2. Saat terjadi bencana (darurat bencana)

Daya Tanggap

a. Respon terhadap bencana

Pada tahap ini terdapat langkah-langkah yang harus segera

dilakukan agar kejadian bencana tanah longsor yang terjadi tidak

menimbulkan korban jiwa ataupun kerugian yang besar. Hal tersebut

dapat dilihat dari daya tanggap Bidang II Kedaruratan dan Logistik

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang

dalam mengatasi keadaan darurat bencana tanah longsor di lokasi.


Sesuai dengan logo BPBD yang bergambar Segitiga, dimana artinya

adalah terdapat tiga pilar utama dalam penanggulangan bencana yaitu

pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam pemerintah sendiri tidak

hanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota

Semarang saja yang mempunyai peran pada saat darurat bencana tanah

longsor terjadi, melainkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya

pun juga mempunyai kewajiban yang sama pada saat penanganan

kedaruratan bencana, namun BPBD di sini tugasnya adalah sebagai

komando, pelaksana, dan koordinator.

Ketika bencana tanah longsor terjadi Bidang II Kedaruratan

dan Logistik meresponnya dengan langkah-langkah yang sekiranya

diperlukan pada saat itu juga. Sehingga penanggulangan bencana

banjir oleh BPBD ketika bencana itu terjadi adalah sifatnya fleksibel.

Ketika ada laporan bencana tanah longsor terjadi di suatu tempat, maka

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang

segera bergerak mengirim personil ke lokasi kejadian untuk

memastikan informasi tersebut, lalu melakukan tindakan selanjutnya.

Namun ketika survei ke lokasi terjadinya bencana tanah longsor

tersebut, personil Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kota

Semarang sudah siap dengan segala peralatan yang dimiliki, seperti

mobil Ranger, perahu karet, pelampung, HT, dan lainnya. Tidak

adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) seperti yang dijelaskan

dalam Peraturan Kepala BNPB No. 9 tahun 2008 tentang Prosedur


Tim Reaksi Cepat, bahwa Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) Kota Semarang tidak menerapkannya ke dalam pembuatan

Standar Operasional Prosedur kedaruratan bencana tanah longsor.

Sehingga sampai saat ini BPBD dalam pelaksanaan kedaruratan

bencana tanah longsor di Semarang masih menggunakan metode yang

sederhana, yaitu fleksibilitas, artinya bahwa apa yang perlu dilakukan

maka akan dilakukan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

manajemen bencana Bidang II Kedaruratan dan Logistik dalam

menghadapi saat terjadi bencana tanah longsor masih berisfat fleksibel

dan tidak ada Standar Operasional Prosedur yang dijalankan karena

memang tidak dibuat oleh Bidang II tersebut.

b. Pemberian logistik

Selain melakukan tindakan kedaruratan pada saat terjadi

bencana tanah longsor di lokasi, Bidang II Kedaruratan dan Logistik

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang juga

melakukan kegiatan penunjang dari kedaruratan tadi, yaitu dengan cara

pemberian logistik kepada korban bencana tanah longsor. Pemberian

logistik kepada korban bencana tanah longsor tersebut bertujuan agar

korban tanah longsor yang berada di lokasi dapat mengungsi dengan

tetap mendapatkan pasokan kebutuhan sehari-hari yang normal.

Pemberian logistik pada korban tanah longsor oleh Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang harus


dengan syarat yang harus dipenuhi. Setelah pihak dari Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang survei ke

lokasi tanah longsor, maka yang menentukan apakah akan diberi

bantuan logistik atau tidak, lalu apakah para warga masyarakat di

lokasi tersebut harus mengungsi atau tidak. Apabila kerusakan

bangunan di lokasi terbut sudah berada pada fase membahayakan bagi

warga, maka warga akan diungsikan ke tempat yang lebih aman.

Korban bencana yang menjadi pengungsi tersebut pastinya

tidak bisa berkegiatan sehari-hari, maka dari sinilah Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang

memberikan bantuan logistik, yang dapat berupa makanan dan air

minum, tenda darurat untuk mengungsi, dan lain sebagainya.

Pemberian logistik tersebut oleh Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) Kota Semarang sangatlah terbatas, apabila warga

masyarakat yang terkena tanah longsor tidak terlalu parah, maka tidak

diberi logistik oleh BPBD.

3. Pasca Bencana

Tahapan manajemen bencana yang selanjutnya adalah tahap pasca

bencana. Setelah bencana terjadi dan proses tanggap darurat sudah

dilewati, maka langkah selanjutnya adalah melakukan rehabilitasi dan

rekonstruksi. Tahap pasca bencana tanah longsor dilaksanakan oleh

Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) Kota Semarang.


a. Rehabilitasi dan rekonstruksi

Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek

pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada

wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau

berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan

masyarakat pada wilayah pasca bencana (Soehatman Ramli: 38).

Dalam rehabilitasi yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang meliputi kegiatan-kegiatan

yang bersifat untuk memperbaiki dan memulihkan kondisi para korban

bencana banjir.

Upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh Bidang III Rehabilitasi

dan Rekonstruksi ada beragam sektor yang harus dicapai. Pemulihan

sektor-sektor tersebut adalah sebagai berikut :

1) Sektor kesehatan

2) Sektor rekonsiliasi dan resolusi konflik

3) Sektor pemulihan sosial ekonomi masyarakat

4) Sektor keamanan dan ketertiban

5) Sektor fungsi pemerintahan dan fungsi pelayanan publik

b. Bantuan sosial

Program Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang selanjutnya

adalah dengan cara pemberian bantuan sosial. Bantuan sosial yang

diberikan bukan menjadi tanggung jawab Badan Penanggulangan


Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang sepenuhnya, namun mereka

hanya mempunyai kewenangan sebagai koordinasi, komando dan

pelaksana.

Dalam hal pemberian bantuan sosial ini tugas dari Bidang III

Rehabilitasi dan Rekonstruksi adalah melihat dan memastikan siap saja

yang berhak untuk dapat diberi bantuan sosial. Bantuan sosial yang

diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang adalah bantuan kepada

korban bencana meninggal dunia, korban luka dan perlu dirawat di

rumah sakit, korban bencana yang rumah/tempat usaha/kios/los

mengalami kerusakan. Hanya tiga (3) jenis akibat yang dapat diberi

bantuan sosial.

C. Pembiayaan anggaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Kota Semarang

Anggaran yang ada dikelola oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) Kota Semarang tidak dapat dikelompokkan ke dalam sub prioritas

bencana tertentu, seperti bencana banjir. Artinya adalah, bahwa anggaran yang

ada itu untuk mencakup seluruh kegiatan dan penanggulangan bencana

apapun, baik bencana banjir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, dan

lain sebagainya. Anggaran untuk penanggulangan bencana banjir masuk ke

dalam program dan kegiatan yang direncanakan oleh masing-masing bidang

yaitu Bidang I, Bidang II, dan Bidang III yang dimana program

penanggulangan banjir dilakukan. Karena keterbatasan anggaran untuk


penanggulangan bencana banjir, maka BPBD Kota Semarang berkoordinasi

dengan pihak-pihak luar yang ingin bekerja sama untuk penanggulangan

banjir dengan memberikan bantuan berupa materi atau tenaga.

D. Pengawasan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota

Semarang

Sistem pengawasan yang dilakukan di Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) Kota Semarang ada dua jenis, yaitu pengawasan secara

langsung dan juga pengawasan tidak langsung. Untuk pengawasan secara

langsung dilakukan secara hierarki, maksudnya adalah pengawasan yang

dilakukan dari atasan kepada bawahannya. Dari kepala BPBD Kota Semarang

hingga yang berada paling bawah yaitu pegawai staf. Pengawasan dilihat dari

berbagai aspek, mulai dari kedisiplinan, kinerja dan lain sebagainya.

Pengawasan tidak langsung yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah dengan membuat laporan

kinerja setiap setahun sekali, sehingga dapat dilihat kinerja yang dicapai oleh

BPBD, apakah sesuai dengan rencana atau tidak. Pelaksanaan pengawasan

selama ini berdasarkan penelitian sudah dilaksanakan dengan baik, artinya

tidak ada kendala yang berarti.

E. Faktor Penghambat Keefektifan Organisasi Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Semarang. (Manullang Adelina &

Maesaroh (2020)
1. Karakteristik Organisasi: Karateristik organisasi dapat mempengaruhi

organisasi dalam upaya pencapaian tujuan organisasi, terdiri dari struktur

hubungan yang relatif tetap sifatnya seperti dijumpai struktur adalah

hubungan yang relatif tetap sifatnya seperti dijumpai di organisasi,

sehubungan dengan susunan sumber daya manusia. Salah satu aspek

karakteristik organisasi yang mempengaruhi efektivitas adalah pembagian

wewenang sesuai dengan kebijakan pergub, masing-masing mempunyai

tupoksi sesuai dengan peraturan daerah bertanggung jawab atas apa yang

telah di tugaskan. Pembagian tugasnya sesuai dengan tupoksi masing-

masing seksi yang outsorsing fokus ada penanganan bencana dan asnnya

ke administrasi dan jika outsorsing ke lapangan kurang personil ikut turun

kelapangan juga.

2. Karakteristik Lingkungan: Karakteristik lingkungan mencakup dua aspek.

Aspek pertama adalah lingkungan ektern lingkungan yang berada diluar

batas organisasi dan sangat berpengaruh terhadap organisasi, terutama

dalam pembuatan keputusan. Aspek kedua adalah lingkungan internal

yang pada umumnya dikenal sebagai iklim organisasi yaitu ligkungan

secara keseluruhan dala lingkungan organisasi yangmeliputi macam-

macam atribut lingkungan organisasi. Lingkungan juga dapat didefinisikan

sebagai suatu sistem yang kompleks dimana terdapat berbagai faktor yang

saling memberikan pengaruh timbal balik satu sama lain denan cara

mengisi satu sama lain jika ada kekurangan staff yang satu membantu dan

memberikan arahan.
3. Karakteristik Pekerja: Karakteristik Pekerja merupakan faktor yang paling

berpengaruh terhadap efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan

ditemukan banyak perbedaan, akan tetapi kesadaran individu akan

perbedaan itu sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisai. Jadi

apabila suatu organisasi menginginkan keberhasilan, organisasi tersebut

harus dapat mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi.

Pekerja atau pegawai merupakan aset penting dalam suatu organisasi

khususnya di Badan Penanggulangan Bencana Daerah kabupaten

Semarang faktor pekerja juga sangat menentukan efektif atau tidaknya

organisasi. Hal ini staf sangat tertarik karna sudah berasal dari ilmu sosial

maka mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan kebersamaan yang kuat dan

juga empati. Kemantapan staf :juga mantap karena sudah panggilan jiwa

dan sudah ada acuan yaitu tupoksi masing-masing, agar lebih mantap

melakukan BINTEG seperti melakukan pelatihan-pelatihan yang ada

ditunjuk oleh provinsi maupun intern untuk pelatihan kebencanaan.

Kekompakan tetap dijaga satu rasa istilahnya korsa dan selalu siap siaga

membantu kapanpun dimanapun dan jam berapa pun kita harus tetap

berangkat dan jaga kekompakan. Kemampuan teori tentang kebencanaan

harus bisa vertikal resque, water resque yang memiliki setiap anggota

seperti naik tebing sebagai driver jiwa kepemimpinan untuk meningkatkan

kepandaian dilakukan DIKLAT disipo brimop.

4. Karakteristik Kebijakan dan Praktik Manajemen: Kebijakan dan praktek

manajemen dalam suatu organisasi dapat mempengaruhi efektivitas


organisasi. Karakteristik manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja

yang dirancang untuk mengkondisikan semua hal yang ada didalam

organisasi sehingga efektivitas tercapai penanganan dengan bertindak

cepat, tepat, efektif dan efisien dan mengkoordinasikan pelasanaan

kegiatan penanggulangan bencana ecaara terncana, terpadu dan

menyeluruh. Kebijakan dan praktek manajemen merupakan alat bagi

pimpinan untuk mengarahkan setiap kegiatan guna mencapai tujuan

organisasi. Manajer mempunyai peran sentral dalam keberhasilan suatu

organisasi melalui perencanaan, koordinasi dan memperlancar kegiatan

yang ditujukan kearah sasaran. Dalam pelaksanaannya rencana kerja

disusun berdasarkan anggaran yang telah di alokasikan untuk BPBD. Dari

hasil penelitian bahwa meningkatkan kinerja para staff ada kegiatan

sertifikasi wajib guna peningkatan kapasitas individu

F. Efektivitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam

Penanggulangan Bencana Di Kabupaten Semarang. (Manullang Adelina

& Maesaroh (2020)

1. Pencapaian Tujuan

Pencapaian tujuan adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan yang harus

dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan

akhir semakin terjamin, diperlukan pertahapan, baik dalam arti pertahapan

pencapaian bagian-bagiannya maupun pertahapan dalam arti

periodisasinya. Sehingga untuk mencapai sasaran yang telah di tentukan


tersebut, berkaitan erat dengan adanya tujuan utama dari organisasi.

Seperti halnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten

Semarang, bahwa tujuan dari organisasi tersebut adalah :

a. Meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah bidang

penanggulangan bencana: Dalam peningkatan kualitas kerja BPBD

Kabupaten Semarang mengikuti beberapa diklat dari BPBD provinsi

dan pelatihan gabungan bersama instansi terain seperti TNI/POLRI

dan instansi lain yang terkait bisa bermacam - macam dalam rangka

peningkatan kualitas kerja, penanggulangan bencana tidak hanya

menjadi tanggung jawab dari pemerintah tetapi masyarakat juga harus

ikut serta. Rapat dinas dan juga apel pagi menjadi sebuah wadah dalam

membahas pencapaian kegiatan evaluasi - evaluasi kegiatan dapat

dibahas. Peningkatan kualitas ada juga yang setiap hari jumat dan jika

ada waktu luang latihan peningkatan diri sendiri jika ada bencana

Badan Penanggulanagn Bencana Daerah Kabupaten Semarang tidak

akan kaget untuk menghadapi.

b. Meningkatkan Jumlah Dan Kapasitas Relawan: Setiap tahun BPBD

mengadakan reorganisasi untuk membentuk organisasi relawan dan di

bentuk dan setiap tahunnya mengadakan petemuan, melakukan bintek

- bintek terus menanamkan jiwa sosial terhadap masyarakat khususnya

yang peduli terhadap bencana dan setelah itu ditindak lanjuti dengan

adanya masukan - masukan. Dalam peningkatan kapasitas relawan

BPBD membentuk organisasi namanya desa tangguh bencana,


meningkatkan peran serta masyarakat yang terutama di daerah yang

rawan bencana agar sadar lingkungannya rawan bencana longsor.

Relawan - relawan di bentuk dan diberi pelatihan khusus supaya bisa

mandiri dan menangani bencana seperti istilahnya memberi

pertolongan pertama relawan tersebut di beri pengetahuan jika

menunggu BPBD turun ke tempat kejadian waktunya tidak cukup

apalagi bencana yang ada di pelosok. Setiap tahun ada binteg sar

dimana mencari masyarakat Kabupaten Semarang untuk membantu

dalan penanggulangan bencana di Kabupaten Semarang.

c. Mengurangi Resiko Bencana Di Kabupaten Semarang: Beberapa usaha

dapat dilakukan untuk mengurangi potensi bencana. Pertama,

menanami kembali lahan miring yang sudah dijadikan lahan pertanian.

Kedua, pembuatan terasering terhadap lahan miring juga sangat

penting. Di antara fungsi terasering adalah untuk menambah stabilitas

lereng, memperlambat aliran air, serta memperkecil kemiringan air.

Ketiga, pembuatan sistem drainase yang baik di lereng-lereng,

sehingga air di lereng dengan mudah hilang dari lereng. Keempat,

membuat penahan gerakan tanah lereng berupa jangkar atau pilling.

Sedangkan untuk mengurangi resiko bencana, ada beberapa hal yang

dapat dilakukan. Pertama, pemetaan daerah rawan bencana longsor.

Peta rawan bencana longsor ini sangat diperlukan sebagai dasar bagi

pemerintah untuk menjalankan program-program terkait dengan

mitigasi bencana dan untuk menjadi perhatian warga sekitar agar


meningkatkan kewaspadaan. Jika sudah diidentifikasi bahwa

pemukiman betul-betul tidak aman lagi dari bahaya longsor, warga

diajak untuk pindah atau melakukan relokasi. Di sinilah dibutuhkan

kearifan semua pihak, baik warga maupun pemerintah untuk

mendapatkan solusi relokasi yang terbaik, syukur-syukur warga aktif

mencari lokasi yang aman untuk tempat tinggal. Kedua, melakukan

program-program dalam rangka mendukung mitigasi bencana.

Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah pendidikan dan latihan

untuk masyarakat terkait peningkatan pengetahuan dan keterampilan

tentang mitigasi bencana, pembuatan jalur evakuasi, serta persiapan

peralatan yang diperlukan. Ketiga, membangun instrumen untuk

peringatan dini bencana longsor. Instrumen ini sangat penting agar

warga bersiap sejak awal sebelum terjadinya bencana.

d. Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana: Upaya peningkatan peran serta masyarakat

dalam penyelenggaraan penanggulangan Badan Penanggulangan

Bencana Daerah membentuk destana. Desa Tangguh Bencana

(Destana) adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk

beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri

dengan segera dari dampak bencana yang merugikan (Perka BNPB

No.1 Tahun 2012). Penyelenggaraan program Desa Tangguh Bencana

membutuhkan tenaga fasilitator sebagai pendamping di masyarakat

selama proses kegiatan berlangsung. Penyelenggaraan program Desa


Tangguh Bencana membutuhkan tenaga fasilitator sebagai

pendamping di masyarakat selama proses kegiatan berlangsung.

Penyelenggaraan program Desa Tangguh Bencana membutuhkan

tenaga fasilitator sebagai pendamping di masyarakat selama proses

kegiatan berlangsung.

e. Meningkatkan pelayanan tanggap darurat terhadap masyarakat: Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Semarang ada piket 24

jam dan selalu on call/quick respon non stop jika ada laporan dari

masyarakat pasti petugas piket langsung melakukan tindakan awal ke

lokasi kemudian kebutuhan apa yang diperlukan nantinya akan di

persiapkan. Badan Penanggulangn Bencana Daerah Kabupaten

tanggap jika ada bencana dan segera berangkat kelapangan dan cek

lokasi kalau butuh logistik dan personil yang banyak segera di berikan

dan harus selalu siap siaga ketika ada berita langsung berangkat.

f. Meningkatkan pelayanan rehabilitasi rekonstruksi pasca bencana:

Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai seksi rehab rekon

dimana mempuyani tugas yang memfasilitasi dan mengkoordinasi

penanganan rehab rekon sebelumnya melakukan identifikas lokasi dan

nanti di usulkan dana rehabilitasinya. Jika kerusakannya masih parah

dan mungkin jumlah APBD banyak yang dibutuhkan maka BPBD

Kabupaten Semarang membuat laporan lalu di laporkan ke bupati dan

nanti akan di buat nota dinas untuk Rehabilitasi Rekonstruksi. Rehab

rekon juga besar kaitannya dengan uang kalau ingin meningkatkan


pelayanan jika ada banyak kejadian bencana yang harus dikerjakan

sementara anggaran yang diturunkan tidak memenuhi sehingga

mengakibatkan semua kejadian bencana tidak dapat dikerjakan.

2. Adaptasi

Indikator perubahan atau adaptasi organisasi yaitu strategi yang dilakukan

BPBD untuk menghadapi ketidaksesuaian lingkungan dalam upaya

penanggulangan bencana dan respon pegawai maupun staff terhadap

situasi maupun kondisi yang tak menentu. Apabila BPBD dapat mengatasi

ketidaksesuaian yang terjadi dilingkungan maka dapat dikatakan efektif

namun apabila tidak, maka organisasi tersebut belum bisa dikatakan

efektif.

a. Strategi yang dilakukan BPBD untuk menghadapi ketidaksesuaian

lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana: Di dalam

penanggulangan bencana sering didapati ketidak sesuaian keadaan

maupun kondisi yang diharapkan. Maka untuk menghadapi

ketidaksesuaian tersebut dibutuhkan startegi dalam penyelesaiaannya.

Mengadakan konsolidasi atau rapat internal dan juga menghimbau

masyarakat dan mengubah pola pikir agar masyarakat juga ikut

bertanggungjawab dan ikut berperan serta dalam rapat nanti

menyampaikan unek-unek apa saja dan akan dipecahkan bersama.

Penanganannya ada rapat staf juga dengan mengevaluasi kinerja apa

saja yang mau dievaluasi selanjutnya agar lebih baik lagi kedepannya.
b. Respon staf/pegawai dalam menghadapi ketidaksesuaian pada saat

penanggulangan bencana: Respon pegawai dalam menghadapi situasi

maupun kondisi yang terjadi dilingkungan juga dapat mempengaruhi

efektif atau tidaknya suatu organisasi. berdasarkan hasil penelitian

yang diteliti perolehan di lapangan, untuk mengatasi ketidaksesuaian

yang terjadi dilingkungan. Komunikasi sesama harus tetap dijaga agar

terjalin kerjasama dan kekompakan dalam melakukan penanggulangan

bencana. Respon kita suka tidak suka mau tidak mau harus kita

laksanakan dan mengajak peran serta masyarakat jika masyarakat

tidak mau ikut serta Badan Pananggulangan Bancana Daerah

Kabupaten Semarang tetap harus turun tangan karna sudah meenjadi

tugas dan kewajiban.

3. Integrasi

Merupakan pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu

organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pegembangan konsesnsus dan

komunikasi dengan berbagai macam organisasi lainnya. Dalam proses

integrasi diharapkan organisasi satu dengan yang lain dapat saling mengisi

kebutuhan yang satu dengan yang lainnya.

a. Keterlibatan bidang maupun pihak lainnya dalam penanggulangan

bencana di Kabupaten Semarang: Untuk mewujudkan tujuan dari

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Semarang

dibutuhkan keterlibatan antara bidang satu dengan bidang lainnya agar

proses penanggulangan bencana dapat berjalan dengan efektif dan


efisien. Berdasarkan hasil yang peneliti peroleh dilapangan, masing-

masing pegawai maupun staf di BPBD menyadari akan pentingnya

keterlibatan maupun koordinasi antar bidang. Apabila ada bencana

yang tejadi harus segera cepat tanggap dalam menanggulangi bencana.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Semarang

mempunyai banyak komunitas yang terlibat seperti SAR, TAGANA,

PMI, TNI/POLRI dan masih banyak komunitas lainnya yang terlibat.

b. Kendala pada saat proses koordinasi antara BPBD dengan organisasi

lainnya/pihak terkait lainnya dalam proses penanggulangan bencana di

Kabupaten Semarang: Di dalam proses koordinasi antara instansi satu

dengan instansi lainnya BPBD Kabupaten Semarang ditemukan

hambatan maupun kendala diantaranya pada saat proses

penanggulangan seperti misalnya koordinasi satu relawan setiap desa

melaporkan terjadi bencana dan langsung ditindak lanjuti sesuai

dengan berita yang disampaikan kita koordinasikan juga dengan dinas

sosial PU, PMI, dan BKUD kendala koordinasinya biasanya sudah

dberitahu tapi tidak segera bergerak bisa jadi dikarenakan tidak

berslogan tanggap sehingga pergerakannya kurang komit.

c. Sosialisasi tentang upaya penanggulangan bencana: Dari BPBD sudah

maksimal untuk sosialisasinya sejak tahun berdirinya BPBD sudah

melakukan sosialiasi seminggu sekali dan diajarkan bagaimana cara

assasment, tahap rekon, misal istilahnya menggungsi atau menangani

wilayah itu pra bencaa. Setiap kecamatan pasti ada sosialisasi


penanggulangan bencana seperti pemetaan wilayah tanah longsor di

himbauan kepada masyarakat setempat tetapi kadang masyarakat

sangat susah diberikan pemahaman khususnya yang berada di daerah

rawan tanah longsor. Jika masyarakatnya sendiri susah diberi

pemahaman seperti misalnya pemasangan alat dan tanda-tanda kalau

ada kejadian yang akan terjadi dengan menjaga terus peralatannya

terus dipasang rambu-rambu jalur.

d. Mengetahui kendala BPBD pada saat proses Penanggulangan bencana

tanah longsor di Kabupaten Semarang: Dalam proses penanggulangan

bencana sering kekurangan alat dalam proses penanggulangan

sehingga menjadi sebuah penghambat dalam penanggulangan kita

butuh alat dan saat itu alatnya juga dipakai oleh dinas lain otomatis

kita menggnakan alat seadanya dan mengakibatkan tidak efektifnya

penanggulangan bencana yang terjadi. Masyarakat kurang memahami

potensi bencana disekitar dan alatalat evakuasi yang digunakan.


BAB IV

PEMBAHASAN

Kasus manajemen bencana alam perlu kita perhatikan secara detail,

karena didalam nya menyangkut banyak faktor dan jika salah dalam

menangani hal ini bisa berakibat fatal bagi SDM yang ada. Kota Semarang

mempunyai daerah-daerah yang rawan bencana, antara lain: banjir, tanah

longsor, kebakaran, dll, maka dari itu kita harus mempersiapkan diri baik

dari segi SDM dan peralatan yang memadai. Dari paparan yang telah kita

baca diatas maka tentunya kita perlu pembahasan pengetahuan sejak dini

tentang ancaman-ancaman yang kemungkinan terjadi di daerah Kota

Semarang, agar hal itu dapat meminimalisir bencara yang akan terjadi.

Pada permasalahan yang pertama yaitu tentang Pemetaan Risiko

Bencana Tanah Longsor Kota Semarang, perlu kita ketahui dan pelajari

bahwa kita harus mensosialisasi penduduk tentang bahaya tanah longsong,

yaitu dengan mengarahkan jangan membangun rumah atau bangunan yang

bertepatan dibawah perbukitan atau bantaran sungai karena hal ini bisa

berakibat fatal untuk keselamatan penduduk yang ada disekitar daerah

rawan longsor.

Pada kasus kedua tentang Implementasi Program Kelurahan Siaga

Bencana (KSB) Di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang tentunya hal ini


perlu kita jadikan pengalaman untuk semua daerah-daerah lainnya di

wilayah kota semarang, tidak hanya sosialisasi dan edukasi tentang

bencana di tingkat kecamatan tapi juga ditingkat kelurahan, RW dan RT

serta melibatkan semua elemen masyarakat dari anak-anak hingga dewasa

hal ini terkait apakah kemungkinan bencana ini berskala kecil atau besar.

Bencana itu bisa saja terjadi kapan saja, dimana saja, dan tanpa

mengenal siapa korbannya, akan tetapi hal itu bisa kita minimalisir jika

kita mengetahui dan mempersiapkan kemungkinan yang terjadi sejak dini.

Misalkan bencana tanah longsor dan banjir, biasanya bencana ini banyak

terjadi di musim hujan. Apa yang harus kita persiapkan jika bencana

tersebut terjadi, jika di daerah tersebut terkenal daerah banjir dan longsor

maka yang dilakukan yaitu masyarakat mempersiapkan diri dengan

beberes barang-barang berharga dalam satu tempat, supaya nantinya bisa

menyelamatkan diri dan membawa barang berharga dengan aman ketika

bencana itu datang untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Globalisasi zaman sekarang memerlukan alat teknologi yang

canggih untuk mengetahui tentang adanya potensi bencana alam banjir dan

tanah longsor, maka dari itu perlu sinergisitas antara masyrakat setempat

yang terdampak dengan pemerintah daerah dalam hal ini BPBD dan TIM

SAR setempat bahkan PMI guna melakukan tindakan cepat jika terjadi

bencana dan ada korban jiwa. Selain itu masyarakat secara terus menerus

diedukasi dan simulasi bagaimana meminimalisir jumlah korban dan

jumlah harta yang hilang.


Ada juga bencana kebakaran, hal ini biasnya terjadi di musim

kemarau karena panas yang terlalu lama. Kebakaran terjadi jika ada

daerah-daerah yang mempunyai bukit atau hutan dan bisa rentan terbakar

karena musim kemarau. Hal ini juga bisa terjadi di daerah-daerah yang

pemukimannya padat penduduk yang tempat tinggalnya saling

berhimpitan satu sama lain serta kabel-kabel listrik saling bersinggungan

yang dapat menyebabkan konsleting pada listrik di daerah pemukiman

tersebut.

Sama seperti bencana-bencana lain zaman sekarang memerlukan

alat teknologi yang canggih untuk mengetahui tentang adanya potensi

bencana kebakaran, maka dari itu perlu sinergisitas antara seluruh lapisan

masyarakat setempat yang terdampak dengan pemerintah daerah dalam hal

ini petugas PMK dan TIM SAR setempat bahkan PMI guna melakukan

tindakan cepat jika terjadi bencana dan ada korban jiwa untuk segera

dievakuasi. Dengan demikian masyarakat yang kemungkinan besar

terdampak bencana di daerahnya tidak perlu lagi khawatir tentang hal

tersebut karena sudah mengetahui sejak dini bagaimana cara menghadapi

akan datang bencana dengan baik dan benar dan selalu berdoa agar semua

terhindar dan selamat.

Kondisi dan Manajemen Penanganan Bencana di Indonesia Saat Ini

Bencana alam menunjukkan kepada kita, bahwa negeri ini

(pemerintah dan masyarakat) belum memiliki manajemen nasional terpadu


dalam penanganan bencana (alam) beserta seluruh ekses-eksesnya. Pada

saat itu bantuan dari berbagai pihak di seluruh penjuru tanah air maupun

dari luar negeri mengalir tanpa henti dan begitu berlimpah. Namun, belum

adanya manajemen nasional penanganan bencana alam menyebabkan

proses pemberian bantuan ini mengalami banyak kendala. Selain karena

hancurnya infrastruktur seperti jalan dan jembatan, terbatasnya kapasitas

alat angkut dan bandara serta terpencilnya daerah yang dituju, tidak

maksimalnya proses penanggulangan bencana disebabkan karena tidak

tersedianya informasi yang diperlukan dan minimnya koordinasi atas

tindakan tanggap darurat yang terjadi di lapangan.

Informasi seperti barang-barang apa saja yang dibutuhkan, tempat

untuk memperolehnya, dan jenis transportasi yang dapat digunakan untuk

mencapai lokasi bencana menjadi sangat vital. Selain itu respons yang

efektif dan cepat menuntut kemampuan logistik untuk menyediakan

barang dan mengirimnya ke daerah tujuan. Koordinasi yang efektif di

antara pihak-pihak yang merespons bencana alam termasuk masyarakat

lokal, pemerintah lokal, dan organisasi kemanusiaan juga menjadi bagian

yang sangat penting dari manajemen penanganan korban bencana alam.

Hampir semua organisasi yang terjun dalam operasi bantuan

kemanusian atau penanganan bencana di Kota Semarang mengalami

keterlambatan dan berbagai macam hambatan dalam memberikan bantuan,

selain karena skala kerusakan yang sangat hebat, keterlambatan ini

disebabkan karena sangat terbatasnya informasi kondisi di lapangan,


sehingga menyulitkan mereka dalam berkoordinasi dengan pihak terkait

untuk menentukan prioritas kerja dan mendapatkan pasokan barang

bantuan yang tepat. Keterlambatan ini menunjukkan rendahnya tingkat

koordinasi antar berbagai pihak, yang merupakan salah satu permasalahan

utama di dalam penanganan bencana alam di Kota Semarang dan

penanganan bencana lainnya di Indonesia.

Sehubungan dengan makin seringnya terjadi bencana alam dan

besarnya kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan. Analisis mengenai

kebutuhan adanya suatu sistem informasi yang dapat menunjang

manajemen penanganan bencana, terutama dalam hal koordinasi dan

penyebaran informasi yang melibatkan semua pihak dan didukung dengan

infrastruktur memadai dalam tanggap darurat bencana menjadi sangat

penting, apalagi melihat dari kondisi kerugian serta jumlah korban yang

mungkin timbul di Indonesia.

Sebelum dibentuknya Badan Nasional Penanganan Bencana

(BNPB), badan penanganan bencana di tingkat nasional hingga ke tingkat

kabupaten sifatnya hanya koordinatif. Bakornas PBP sendiri hanyalah

sebuah sekretariat yang berada di bawah Kantor Wakil Presiden.

Seharusnya Bakornas, satkorlak, dan satlak menjadi unit pelaksana sesuai

dengan namanya, bukan hanya koordinatif dalam hal bantuan dan kerja

sama dengan semua stakeholder dan pihak luar negeri. Sejak berlakunya

otonomi daerah, Bakornas bahkan tidak lagi memiliki kepanjangan tangan

di daerah, baik di provinsi maupun di kabupaten/kota.


Dalam penanganan bencana di Indonesia, koordinasi merupakan

masalah tersendiri. Selama ini perencanaan kontingensi bencana ada di

masing-masing departemen terkait, seperti Departemen PU, Depkes, dan

Depsos. Akan tetapi, saat terjadi bencana harus ditangani Bakornas,

satkorlak, dan satlak. Sedangkan kondisi di lapangan sepertinya

menunjukkan bahwa Bakornas tidak diberi tahu apa yang telah dilakukan

oleh departemen yang berkaitan dengan mitigasi atau pencegahan bencana,

atau bisa juga Bakornas selama ini membuat kebijakan, tetapi tidak

dijalankan oleh departemen. Padahal, seharusnya departemen

melaksanakan keputusan yang diambil secara kolektif.

Penanganan bencana di Indonesia saat ini masih diwarnai dengan

ketidak jelasan struktur komando pusat dan daerah, infrastruktur lembaga

penanganan bencana merupakan unit ad hoc yang miskin pengalaman,

serta ketidak jelasan preferensi pengambilan keputusan suatu bencana

dianggap bencana nasional atau bukan, lagi-lagi ini berimbas pada

kebijakan penyediaan dana pusat. Jika dirunut ini dimulai dari ketiadaan

aturan dan payung hukum yang baik.

Masalah payung hukum ini sebenarnya sudah berusaha diperbaiki

dengan dikeluarkannya Undang-Undang no 24 tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana. Tetapi pelaksanaannya di lapangan masih tetap

belum terkoordinasi dengan baik. Misal mengenai siapa yang seharusnya

mengambil peran utama dalam penanganan bencana nasional. Benarkah

sebagai sebuah badan koordinasi harus dikomandoi oleh Presiden/Wakil


Presiden atau sebuah lembaga tetap setingkat departemen. Lebih dalam

lagi benarkah sebuah komite atau badan dapat menangani sebuah bencana

yang sedemikian kompleks. Masih ada banyak alternatif lain misalnya

berupa sistem yang melibatkan publik dalam kondisi penanganan darurat.

Belum lagi mengenai kebijakan dan penyediaan dana penanggulangan

bencana, isu koordinasi dsb. Kecarut marutan penanganan bencana selalu

saja menjadi bencana kedua menyusul bencana sebenarnya.

Sosialisasi dalam bentuk seminar, diskusi, lewat media, selebaran,

dan lain-lain baik ke level pemerintah, ke lembaga non-pemerintah dan

masyarakat umum. Selain bertujuan untuk mendekati instansi

pemerintah/pemda yang secara tupoksi atau posisi dan pengalamannya

dalam bidang penanggulangan bencana, sehingga nantinya terbentuk

jembatan komunikasi yang baik, dan juga bertujuan untuk menyiapkan

masyarakat yang tanggap terhadap bencana.

Dalam tahap ini harus pula dilakukan pengidentifikasian peran-

peran lembaga yang dulu tidak pernah diikutkan atau kontribusinya tidak

langsung dalam penanganan bencana, seperti BMG, BATAN, BPPT, dan

lembaga-lembaga pemantau konflik sosial, serta dunia usaha yang bidang

usahanya relevan dengan program penanganan bencana seperti perusahaan

logistik, freight forwarder, pergudangan, shipping, dan perusahaan

penerbangan. Jangan pula dilupakan untuk selalu melibatkan mereka

dalam proses koordinasi pada saat penanganan bencana. Saat ini kita

memerlukan sistem tanggap bencana baru yang lebih komprehensif dan


terintegrasi. Konsep ini memandang seluruh dimensi yang mungkin terkait

seperti manusia, waktu, sumberdaya, budaya, ekonomi, geososial, dan

teknologi dalam penanganan bencana.

Informasi dan Koordinasi dalam Program Tanggap Bencana

Pada masa tanggap darurat, ketersediaan informasi merupakan

masalah utama. Para pihak yang berkepentingan mendapat banyak

hambatan dalam mengumpulkan informasi. Hambatan ini disebabkan

karena parahnya kerusakan yang terjadi serta terpencilnya lokasi bencana

di sepanjang garis pantai pulau Sumatera, di mana sebagian komunitas

tidak memiliki akses ke dunia luar karena terputusnya sarana komunikasi,

jalan dan jembatan. Hal ini menyebabkan sebagian besar lembaga pemberi

bantuan yang berada di lapangan pada masa awal tanggap darurat terpaksa

mengambil keputusan tanpa basis informasi yang valid. King (2005)

menekankan perlunya penyebarluasan informasi, karena ketika informasi

telah terdistribusi dengan baik, hal tersebut akan mengurangi duplikasi

dari kegiatan yang sama serta akan meningkatkan koordinasi.

Penerapan teknologi informasi yang efektif juga merupakan

tantangan tersendiri dari operasi bantuan kemanusiaan. Sebagai contoh:

hanya sebagian kecil dari organisasi pemberi bantuan di Kota Semarang

yang menggunakan software/program khusus untuk menelusuri material

yang mereka salurkan. Mayoritas hanya menggunakan metode manual dan

kumpulan spreadsheet untuk menelusuri barang yang tertunda


pengirimannya (Fritz Institute Survey, 2005). Padahal kecepatan respons

program kemanusiaan tergantung pada kemampuan logistik untuk

mendapatkan, memindahkan dan menyalurkan barang bantuan di level

lapangan. Demikian pula dengan Bakornas PBP, sebagai badan koordinasi

utama pada saat itu, mereka tidak memiliki data/informasi mengenai

jumlah dan jenis barang bantuan apa saja yang telah disalurkan oleh

lembaga-lembaga kemanusiaan di Kota Semarang. Data kebutuhan

bantuan yang komprehensif maupun kondisi dari tiap lokasi yang terkena

bencana juga tidak tersedia. Hal ini menyebabkan hampir seluruh lembaga

kemanusiaan yang ada melakukan proses assessment atau evaluasi sendiri-

sendiri, sehingga terjadi banyak duplikasi dalam penggunaan sumber daya

Menurut IFRC World Disaster Report (2005), informasi

memainkan peranan yang sangat penting dalam merespons bencana, dan

informasi itu sendiri merupakan sebuah bentuk bantuan, karena persiapan

kegiatan tanggap darurat dan aktivitas pemberian bantuan bisa dibilang

dikendalikan oleh informasi yang tersedia. Oleh karena itu, sharing

informasi antara pihak-pihak yang berkepentingan menjadi sangat penting

dan sifatnya dapat saling menguntungkan dalam melancarkan kegiatan

tanggap bencana.

Pada saat terjadinya bencana, deskripsi dari bencana, konsekuensi,

respons yang dibutuhkan, dan besarnya kapasitas nasional untuk

menangani bencana tersebut sangat dibutuhkan. Media massa dapat

menyediakan informasi dengan cepat, tetapi informasi tersebut biasanya


tidak disertai dengan analisis, sehingga diperlukan tim tersendiri untuk

melakukan proses analisis berdasarkan pemahaman mendalam atas fakta

yang ada di lapangan karena akan berpengaruh terhadap keputusan

strategis yang akan diambil. Hasil analisis ini diharapkan tersedia pada

saat dibutuhkan, bersifat netral atau imparsial, dan transparan.

Sistem Informasi Sebagai Alat Bantu Manajemen Penanganan

Bencana

Manajemen informasi juga dapat menjadi katalis dalam hal

relationship building dan kerjasama di dalam aktivitas pemberian bantuan

kemanusiaan, hal ini disebabkan karena kemungkinan atau kesempatan

untuk bekerjasama menjadi lebih jelas serta mendapat justifikasi untuk

dilakukan karena dukungan validitas dari hasil analisis data yang dibuat.

Sehingga permasalahan tidak tersedianya informasi serta buruknya

koordinasi antar pihak terkait dalam operasi penanganan bencana dapat

diatasi dengan pengembangan sistem manajemen informasi terpadu oleh

BNPB.

Jika telah diimplementasikan, sistem manajemen informasi ini

diharapkan dapat berperan sebagai:

a. Fasilitator untuk inisiatif dan aktifitas yang berhubungan

dengan manajemen informasi di lapangan.

b. Menjadi focal point dalam pengumpulan, analisa, dan

penyebaran data.
c. Penyedia informasi sehingga memungkinkan komunitas

organisasi pemberi bantuan kemanusiaan menjalankan

tugasnya dengan efektif dan efisien.

d. Menjembatani terciptanya jaringan kerjasama dan koordinasi

serta mengadvokasikan budaya pertukaran informasi di antara

seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan penanganan

bencana.

Di luar peran yang telah disebutkan di atas, implementasi sebuah

sistem manajemen informasi yang komprehensif dalam program

penanggulangan bencana akan sangat menguntungkan, karena:

a. Sistem informasi memiliki kemampuan melakukan

penyimpanan dan analisis data berukuran besar serta

menghasilkan simulasi dan prediksi bencana dengan

memanfaatkan teknik analisis data dan aplikasi inteligensi

buatan.

b. Memungkinkan tersedianya informasi yang dapat diakses

secara online dan real time sehingga situasi dan kondisi daerah

bencana dapat diketahui dan hal ini akan mempermudah proses

pemberian bantuan.

c. Kemampuan menampilkan data secara real time dari sensor

lokal atau satelit yang menginformasikan perubahan pada

daerah yang dimonitor.


d. Berfungsi sebagai decision support system, sehingga dapat

membantu perencanaan penanganan bencana yang tepat serta

proses pengambilan keputusan yang lebih cepat.

e. Sistem manajemen informasi menyediakan informasi yang

memudahkan alokasi sumber daya seperti masalah distribusi

bantuan sehingga penyaluran bantuan menjadi lebih tepat

sasaran.

f. Sistem informasi memiliki kemampuan menyimpan data

history bencana, juga melakukan dokumentasi dari keseluruhan

kegiatan yang sudah dilakukan. Dengan demikian kegiatan

yang tidak efektif dan tidak efisien dapat diidentifikasi

sehingga tidak akan terulang di masa yang akan datang.

Pengembangan Sistem Manajemen Informasi

Kegiatan utama dalam proses pengembangan sistem informasi

adalah analisa sistem, perancangan sistem, programming, testing,

konversi, produksi, dan perawatan system. Analisa sistem adalah proses

mendefinisikan permasalahan yang ada, identifikasi penyebab,

menspesifikasikan solusi, dan mengidentifikasikan kebutuhan informasi

yang diperlukan oleh sistem. Dalam kasus BNPB, permasalahan utama

saat ini adalah belum tersedianya sistem informasi yang komprehensif

untuk membantu tugas mereka dalam manajemen penanganan bencana.

Hal ini antara lain disebabkan karena BNPB merupakan sebuah lembaga
yang baru dibentuk pada tahun 2008 berdasarkan UU No. 24/2007 tentang

Penanggulangan Bencana. Sedangkan data atau informasi yang diperlukan

oleh sistem informasi BNPB antara lain seperti data demografi, peta

topografi, peta lokasi rawan bencana, dan citra satelit. Pada periode

sebelum terjadinya bencana, data-data tersebut digunakan untuk

merancang kegiatan pengurangan resiko bencana, sistem peringatan dini,

dan rencana mitigasi. Sedangkan pada saat terjadinya bencana, sistem

informasi akan berperan sebagai pusat dan penyedia informasi yang

bersifat real-time, serta menjadi pendukung proses koordinasi jaringan

bantuan nasional maupun internasional.

Desain sistem informasi menunjukkan bagaimana sistem yang

akan dibangun dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Sedangkan

dalam tahap programming, spesifikasi sistem yang telah disiapkan pada

tahap perancangan diterjemahkan ke dalam kode program perangkat lunak.

Proses selanjutnya adalah testing, dalam tahapan ini dilakukan pengujian

secara menyeluruh untuk menjamin apakah sistem menghasilkan output

yang diharapkan. Tahap konversi adalah tahap di mana sistem lama

digantikan oleh sistem baru. Tahap konversi ini tidak akan dilakukan oleh

BNPB karena sistem yang akan dikembangkan merupakan merupakan

sistem yang sama sekali baru dan tidak bersifat menggantikan sistem yang

telah ada sebelumnya. Tahapan yang terakhir adalah tahapan produksi,

pada tahap ini dilakukan proses analisis oleh pengguna dan ahli sistem

informasi untuk menentukan apakah sistem telah berjalan sesuai dengan


yang direncanakan, juga untuk melihat apakah diperlukan modifikasi atau

perbaikan untuk menyempurnakan sistem.

Metode Pembangunan Sistem Informasi

Terdapat beberapa alternatif metode dalam membangun suatu

sistem informasi, masing-masing disesuaikan dengan kondisi dan

permasalahan yang ada. Metode-metode tersebut antara lain adalah:

a. Metode life cycle, sistem informasi dikembangkan secara

bertahap. Tahaptahap tersebut diproses secara berurutan dan

memiliki output yang terdefinisi dengan jelas. Sistem life cycle

dapat sangat berguna bagi proyek besar yang menuntut

spesifikasi formal dan kontrol manajemen yag ketat pada setiap

tahap pembangunan sistem.

b. Prototyping, adalah membangun sistem eksperimental secara

cepat dan murah bagi pengguna dengan tujuan agar proses

interaksi dan evaluasi dapat segera dilakukan. Prototipe sistem

dikembangkan dan diperbaiki hingga semua kebutuhan

pengguna terakomodasi dengan baik, dan dapat digunakan

sebagai template dalam membuat sistem final.

c. Menggunakan paket perangkat lunak umum yang telah tersedia

di pasaran. Membangun sistem informasi dengan menggunakan

paket aplikasi perangkat lunak umum yang telah tersedia di


pasaran akan meminimalkan kebutuhan penulisan program

perangkat lunak pada saat pengembangan sistem.

d. Metode pengembangan oleh end-user, adalah pengembangan

sistem informasi oleh pengguna, baik dilakukan sendiri atau

dengan pengawasan minimal dari ahli sistem informasi.

Metode ini dapat menghasilkan sistem informasi secara cepat

dan informal dengan menggunakan perangkat lunak generasi

keempat.

e. Outsourcing, metode ini menggunakan vendor eksternal untuk

membangun atau mengoperasikan sistem informasi yang

dibutuhkan. Seluruh pekerjaan dilakukan oleh vendor, bukan

dikerjakan oleh staff sistem informasi internal.

Metode-metode tersebut di atas memiliki kelebihan dan

kelemahannya masing-masing sesuai dengan kondisi, permasalahan, serta

kebutuhan dari BNPB. Metode life cycle menggunakan pendekatan sangat

rigid dan berbiaya besar serta tidak cocok untuk diterapkan terhadap

aplikasi yang decision oriented, tidak terstruktur, dan tidak dapat

divisualisasikan dengan cepat.

Prototyping memiliki keunggulan dalam hal tingginya keterlibatan

pengguna dalam pengembangan sistem, hingga spesifikasi yang

diinginkan dapat tercapai secara tepat. Tetapi pendekatan ini juga memiliki

kelemahan, karena proses prototyping yang cenderung cepat dapat

menyebabkan sistem yang dihasilkan belum teruji dan terdokumentasi


secara menyeluruh atau tidak memenuhi persyaratan teknis bagi

lingkungan produksi.

Penggunaan paket perangkat lunak umum yang tersedia dipasaran

akan mengurangi jumlah pekerjaan desain, pengujian, instalasi, dan waktu

pemeliharaan dalam membangun sebuah sistem. Penggunaan paket

perangkat lunak yang telah tersedia sangat membantu organisasi yang

tidak memiliki staf sistem informasi internal atau kemampuan finansial

untuk membuat suatu program perangkat lunak khusus. Pendekatan ini

memiliki kemungkinan perangkat lunak yang dipilih akan memerlukan

modifikasi ekstensif untuk dapat memenuhi kebutuhan organisasi yang

spesifik. Hal ini dapat menambah biaya pengembangan secara signifikan.

Metode end-user development memiliki keuntungan utama dalam

hal penentuan kebutuhan yang lebih baik, mengurangi backlog aplikasi,

dan meningkatkan partsipasi pengguna serta control terhadap proses

pengembangan sistem. Tetapi metode ini juga memiliki kelemahan, yaitu

risiko penggunaan sistem informasi dan tersebarnya data yang tidak

memenuhi standar serta kesulitan dilakukannya proses kontrol dengan

cara-cara tradisional.

Outsourcing dapat menghemat biaya pengembangan aplikasi atau

memungkinkan organisasi untuk mengembangkan aplikasi yang

dibutuhkan tanpa perlu memiliki staff sistem informasi internal. Tetapi,

organisasi memiliki risiko untuk kehilangan control atas seluruh sistem

informasinya dan menjadi terlalu tergantung kepada vendor eksternal.


Dapat disimpulkan bahwa metode pengembangan prototyping yang

dikombinasikan dengan penggunaan paket perangkat lunak umum yang

tersedia dipasaran merupakan metode yang cocok untuk digunakan dalam

pengembangan sistem informasi BNPB, karena kedua metode tersebut

dapat meminimalkan waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan

sistem, serta memiliki probabilitas lebih besar bahwa sistem informasi

yang dihasilkan dapat saling berkomunikasi dengan sistem informasi yang

digunakan lembaga lain karena perangkat lunak yang digunakan adalah

perangkat lunak umum yang tersedia dipasaran dan biasanya telah

memiliki standar industry tersendiri. Sedangkan metode life cycle tidak

cocok diterapkan karena sifat manajemen penanggulangan bencana yang

sangat dinamis, penuh ketidakpastian, dan tidak stabil. Begitu pula metode

end Usulan pengembangana user development dan outsourcing, kedua

metode ini kurang tepat untuk digunakan karena data atau informasi yang

dihasilkan oleh sistem informasi BNPB harus dapat terkontrol dengan baik

serta memenuhi standar yang berlaku umum sehingga dapat menjamin

interoperability dengan sistem informasi yang digunakan oleh lembaga-

lembaga yang terkait dengan penanganan bencana.

Rancangan Sistem Manajemen Informasi Sistem manajemen

informasi terpadu yang akan dikembangkan dan diimplementasikan oleh

BNPB ini paling sedikit terdiri dari komponen berikut:

a. Sistem Komunikasi dan Jejaring Data.

b. Sistem Distribusi Data.


c. Sistem Manajemen dan Pengolahan Data. Sistem Komunikasi

dan Jejaring akan memasok real-time data dan informasi untuk

mensuport BNPB sebagai koordinator dan badan pemberi

bantuan lainnya dalam pemantauan kondisi bencana, mitigasi,

dan proses implementasi penanganan bencana.

Sistem komunikasi yang digunakan dapat melalui sarana telepon,

radio komunikasi, dan internet. Sedangkan informasi dan data yang

diberikan ini bisa bersumber dari:

1) Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

(Bakosurtanal), yaitu berupa data-data geologi, data

pemantauan pasang surut air laut, dan peta lokasi rawan

bencana.

2) Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), menyediakan

data pemantauan cuaca dan iklim, serta pemantauan gempa.

3) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN),

antara lain menyediakan citra satelit dari gambar muka

bumi.

Badan pemerintah terkait seperti: TNI dan POLRI, Pemadam

Kebakaran, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Sosial,

Departemen kesehatan, Usulan pengembangan Departemen Sosial, dan

departemen lainnya. Badan-badan pemerintah ini antara lain dapat

berperan dalam memberikan informasi kondisi keamanan, kondisi

infrastruktur jalan, Bandar Laut dan Udara.


a. United States Geological Survey (USGS), menyediakan peta

topography, citra satelit, dan data pemantauan gempa.

b. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Selain melakukan pemantauan cuaca, lembaga ini juga

mengelola Pacific Tsunami Warning Center (PTWC). Sejak

tsunami Aceh 2004, PTWC meluaskan jangkauan pengamatan

dan peringatan dini atas tsunami hingga samudera Hindia.

c. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Pemerintah

Daerah, rumah sakit, dan lain-lain. Badan-badan lokal ini dapat

berperan dengan menyediakan informasi langsung mengenai

kondisi di lapangan.

Sistem Distribusi Data memiliki kapabilitas utama dalam

melakukan proses verifikasi, mengontrol kualitas, serta melakukan

layanan penyimpanan data yang masuk dan keluar dari sistem. Di dalam

sistem ini, data atau informasi harus dikelola dan disimpan dengan baik.

Kualitas dari data yang ada, termasuk formatnya, juga harus dikontrol

secara ketat, sehingga dapat dipergunakan oleh keseluruhan sistem. Sistem

Manajemen dan Pengolahan Data. Sistem ini memberikan laporan yang

efektif dan akurat mengenai pengawasan dan prediksi dari ancaman

bencana. Fungsi dari sistem ini adalah melakukan deteksi, memberikan

peringatan dini, pengawasan, dan mitigasi bencana melalui output berupa

analisis situasional, analisis kerentanan, analisis risiko dan tingkat

kerusakan.
Sistem Manajemen dan Pengolahan Data merupakan pusat dari

database, dimana data dan informasi tersedia secara online dan real-time,

serta merupakan sistem cerdas yang dapat membantu proses perencanaan

dalam menghadapi bencana. Fungsi utama lainnya yang juga vital sebagai

alat bantu koordinasi, komunikasi dan penghubung bagi semua pihak yang

terlibat dalam penanggulangan bencana antara lain: menyediakan materi

orientasi bagi para organisasi pemberi bantuan kemanusiaan dalam bentuk

tertulis maupun verbal, mengembangkan standar dari data sehingga

memungkinkan terjadinya proses pertukaran data antar organisasi, dan

memberikan data-data mengenai siapa, lokasi, dan apa yang dikerjakan

oleh masing-masing organisasi.

Dengan implementasi sistem informasi yang terintegrasi ini

diharapkan manajemen penanganan bencana yang dikelola oleh BNPB

memiliki kemampuan untuk mengumpulkan, menganalisis dan

menyebarkan informasi secara efektif sebagai faktor yang sangat penting

bagi keberhasilan jalannya kegiatan penanganan bencana. Walaupun

teknologi tidak akan dapat menyelesaikan semua masalah yang ada, tetapi

teknologi dapat membantu menyelaraskan kolaborasi antar lembaga yang

terlibat dalam kegiatan penanganan bencana. Sedangkan beberapa output

spesifik yang diharapkan dapat dihasilkan dengan implementasi sistem

manajemen informasi oleh BNPB adalah sebagai berikut:

1. Prediksi bencana. Dengan tersedianya database yang

komprehensif, sistem informasi dapat menghasilkan prediksi yang akurat


akan timbulnya bencana dan kerusakan akibat bencana. Prediksi yang

dihasilkan ini memungkinkan dilakukannya kegiatan perencanaan,

pelatihan dan penyediaan berbagai kebutuhan dasar seperti bahan

makanan, obat-obatan dan pakaian. Kompleksitas dari bantuan

kemanusiaan tidak hanya tergantung dari jenis dan besarnya bencana,

tetapi juga dipengaruhi oleh karakter lingkungan, ekonomi, dan keragaman

budaya partisipan. Banyaknya faktor yang berpengaruh ini menyebabkan

prediksi menjadi sulit, sehingga sebuah database yang komprehensif

dibutuhkan untuk mendapatkan prediksi yang akurat berdasarkan

pengalaman dari kejadian serupa di masa lalu.

2. Koordinasi. Dalam kegiatan penanganan bencana, setiap

organisasi bekerja di berbagai daerah yang berbeda. Jadi, apabila ada

sistem yang dapat menginformasikan lokasi dari aktivitas, persediaan, jasa

yang tersedia, serta daftar kebutuhan, hal itu akan membuat perencanaan

dan proses koordinasi menjadi lebih mudah.

3. Peringatan Dini. Dengan terkoneksinya lembaga-lembaga

pemantau kondisi cuaca dan bumi seperti BMG, Bakosurtanal, USGS,

NOAA atau lembaga lainnya ke dalam sistem, diharapkan peringatan atas

terjadinya bencana dapat diberikan tepat pada waktunya kepada pihak

lokal di daerah yang akan mengalami bencana. Karena karakteristik unik

dari setiap bencana, pihak lokal yang berwenang harus dapat membuat

keputusan secara cepat dalam waktu yang terbatas. Tetapi peringatan yang

tidak tepat dan terjadi berulangkali akan menyebabkan masyarakat


mengacuhkan tanda bahaya. Oleh karena itu tanda bahaya yang akurat

menjadi sangat penting.

4. Komunikasi dengan area bencana. Sistem komunikasi yang

tahan dalam menghadapi bencana seperti telepon satelit sangat

direkomendasikan sebagai sarana komunikasi di daerah yang terkena

bencana. Karena jaringan komunikasi fixed-line hampir dipastikan akan

mengalami gangguan jika terjadi bencana besar, sedangkan selama

bencana, rumor dan informasi/komunikasi yang tidak akurat sering

mempersulit operasi bantuan kemanusiaan. Oleh karena itu, jalinan

komunikasi dengan populasi yang terkena bencana harus selalu terbuka

dalam rangka menjamin kelancaran pasokan data/informasi.

Hambatan Non-Teknis Implementasi Teknologi Informasi

Banyak sektor seperti perbankan, industri manufaktur dan jasa

mengadopsi teknologi informasi terbaru secara rutin dan agresif untk

mendukung kelancaran operasi usahanya. Banyak organisasi/lembaga

kemanusiaan juga telah melakukan hal yang sama, tetapi adopsi teknologi

informasi ini kurang terlalu berhasil. Hal ini biasanya disebabkan beberapa

hambatan non-teknis sebagai berikut:

a. Sumber dana hanya tersedia pada saat terjadinya bencana, dan

harus segera dibelanjakan dalam waktu yang singkat. Dengan

pola seperti ini, implementasi teknologi informasi biasanya

hanya berfokus untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek.


Oleh karena itu perencanaan yang matang dengan menyertakan

tujuan/kebutuhan jangka panjang serta jangka pendek harus

disiapkan sebelumnya, dengan harapan apa yang telah

direncanakan tersebut dapat direalisasikan dengan baik ketika

dana telah tersedia.

b. Lingkungan dari manajemen penanggulangan bencana yang

sangat dinamis, penuh ketidakpastian, dan tidak stabil. Hal ini

berlawanan sekali dengan proses akuisisi teknologi informasi

yang biasa terjadi, dimana pengembangan, instalasi, operasi,

dan pemeliharaan dilakukan di lingkungan yang stabil dan

kebutuhannya mudah diprediksi.

c. Penanggulangan bencana melibatkan berbagai pihak dengan

latar belakang yang sangat beragam seperti lembaga

kemanusiaan, organisasi pemerintah, militer, dan PBB.

Lembaga-lembaga independen tersebut melakukan keputusan

akuisisi teknologi informasinya secara sendiri-sendiri sesuai

dengan kebutuhan masing-masing. Sedangkan pada saat terjadi

bencana, lembaga-lembaga tersebut harus saling bekerjasama

dan sering kali ditemukan bahwa teknologi informasi yang

mereka miliki tidak bisa saling berkomunikasi atau memiliki

format yang berbeda, sehingga menyulitkan proses koordinasi.


BAB V
KESIMPULAN

Kasus manajemen bencana alam perlu diperhatikan. Analisis kebutuhan

adanya suatu sistem informasi yang dapat menunjang manajemen penanganan

bencana, terutama dalam hal koordinasi dan penyebaran informasi yang

melibatkan semua pihak dan didukung dengan infrastruktur yang memadai dalam

tanggap darurat bencana menjadi hal yang sangat penting. Penerapan teknologi

informasi yang efektif juga memainkan peranan yang sangat penting dalam

merespon bencana. Dengan implementasi sistem manajemen informasi

diharapkan dapat berperan menjembatani terciptanya jaringan kerjasama dan

koordinasi serta mengadvokasi budaya pertukaran informasi di antara seluruh

pihak yang terlibat dalam kegiatan penanganan bencana secara efektif.


DAFTAR PUSTAKA

Faizana Fina, Laila Nugraha Arief, & Darmo Yuwono Bambang (2015).

Pemetaan Risiko Bencana Tanah Longsor Kota Semarang. Jurnal Geodesi

Undip, 4(1), 223-234. Retrieved from

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/geodesi/article/download/7669/742

Manullang Adelina & Maesaroh. (2020). Efektivitas Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (Bpbd) Di Kabupaten Semarang. Journal of Public

Policy and Management Review, 9(1), 296-311.

Doi: 10.14710/jppmr.v9i1.26407

Zahrah Zahirah & Zainal Hidayat. (2017). Implementasi Program Kelurahan

Siaga Bencana (Ksb) Di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. Journal of

Public Policy and Management Review, 6(2), 88-100. Retrieved from

https://media.neliti.com/media/publications/99848-ID-implementasi-

program-kelurahan-siaga-ben.pdf

Aji Ananto. (2015). Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana

Banjir Bandang Di Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara. Indonesian Journal

of Conservation Volume 04, Nomor 1, tahun 2015 [ISSN: 2252-9195] Hlm. 1—8

Gunn, S. W. A. (2013). Dictionary of Disaster Medicine and Humanitarian Relief

(2nd ed.). New York : Springer.


Tondobala Linda. (2011). Pendekatan Untuk Menentukan Kawasan Rawan

Bencana Di Pulau Sulawesi. Jurnal Sabua Vol.3, No.3: 40-52 : ISSN 2085-7020

Arismastuti Arandita, (2011), Tahapan Proses Komunikasi Fasilitator Dalam

Sosialisasi Pengurangan Resiko Bencana, Journal Penanggulangan Bencana

Volume 2 Nomor 2, Tahun 2011, Hal 15 - 23

Anda mungkin juga menyukai