Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN MAGANG MBKM BPBD KLATEN

DESA TANGGUH BENCANA

Dosen Pembimbing :
Muhaji, S.Kep., Ners.,M.Si., M.Tr.kep

OLEH

Nama : 1. Agya Dhia Pratama 2011604089


2. Denintia Diffa 2011604078
3. Dian Ayu Rahmadani 2011604132
4. Elsa Aulya Pratiwi 2011604097
5. Fajar Susantri 2011604125
Kelompok : 3 BPBD Klaten
Instruktur : Dr. Nur Tjahjono S, S.Sos.,MPP.,M.Eng

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


PROGRAM SARJANA TERAPAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN MAGANG MBKM BPBD KLATEN


DESA TANGGUH BENCANA

Laporan ini disusun untuk Memenuhi Tugas


Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di BPBD Klaten

Oleh :
1.Agya Dhia Pratama 2011604089
2.Denintia Diffa 2011604078
3.Dian Ayu Rahmadani 2011604132
4.Elsa Aulya Pratiwi 2011604097
5.Fajar Sutantri 2011604125

Telah diperiksa dan disetujui tanggal……………

Mengetahui,

Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

Dr. Nur Tjahjono S, S.Sos.,MPP.,M.Eng Muhaji, S.Kep., Ners.,M.Si., M.Tr.kep


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Economic and Social Commission for Asia and the Pacific/ ESCAP

(2010) disitasi United Nations Asian and Pacific Training Centre for

Information/ UN-APCICT/ ESCAP (2011) mengemukakan negara-negara di

kawasan Asia dan Pasifik lebih rentan terhadap bencana dibandingkan dengan

negara di belahan dunia lain. Jumlah masyarakat yang terkena dampak bencana

sekitar empat kali lebih banyak dari pada masyarakat yang tinggal di Afrika dan

25 kali lebih rentan dibandingkan dengan masyarakat di Eropa atau Amerika

Utara. Bencana pada kehidupan manusia dan lingkungan mengingatkan kita

akan eratnya hubungan antara bencana dan pembangunan. Bencana merupakan

gangguan serius terhadap aktivitas suatu komunitas atau masyarakat yang

menelan banyak korban jiwa, kerugian materi, ekonomi atau lingkungan serta

dampaknya yang melebihi kemampuan komunitas atau masyarakat yang

terkena bencana (United Nations International Strategy for Disaster Reduction/

UNISDR, 2009 disitasi UN-APCICT/ ESCAP, 2011).

Indonesia secara geografis terletak di "cincin api pasifik", memiliki

lebih dari 500 gunung api dengan 129 di antaranya aktif, wilayah Indonesia

merupakan kepulauan gunung api terbesar atau terpanjang di dunia. Jumlah

letusan dalam 400 tahun terakhir memiliki 78 letusan dengan luas daerah

terancam 16.670 Km2 dan jumlah jiwa terancam ≥ 5 juta orang. Penyebaran

gunung api meliputi wilayah Sumatera 30, Jawa 35, Bali dan Nusa Tenggara
30, Maluku 16, dan Sulawesi 18 (Rencana Nasional Penanggulangan Bencana

2015-2019, h44). Letusan gunung berapi berpotensi memiliki bencana alam

seperti gempa bumi di Provinsi Jawa (Badan Perencanaan Penangulangan

Nasional/ Bappenas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana/ BNPB 2011

disitasi Puspito, Sumardjo, Sumarti, Muljono, 2014). Gunung-gunung berapi di

Indonesia yang meletus dari tahun ketahun meliputi gunung Merapi tahun 2010,

gunung Kelut tahun 2013, gunung Sinabung tahun 2014 yang menimbulkan

banyak korban jiwa.

United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/

OCHA mengemukakan gunung yang pernah meletus dan menimbulkan korban

antara lain letusan gunung Kelud di Jawa Timur meletus pada tanggal 13

Februari 2013 menewaskan 7 orang dengan level siaga. Letusan gunung

Sinabung pada akhir Februari 2014 Kabupaten Karo Sumatera Utara, Pusat

Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mempertahankan

statusnya di level 4, tangga l1 Februari letusan gunung tersebut menewaskan

15 orang dan 3 orang luka-luka. Gunung Merapi mempunyai posisi

diperbatasan Jawa Tengah yang letaknya sekitar 25 kilometer utara Kota

Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Letusan

gunung Merapi pada tahun 2010 menyebabkan 347 korban jiwa, korban

terbanyak berada di Kabupaten Sleman yaitu 246 jiwa, menyusul Kabupaten

Magelang 52 jiwa, dan Boyolali 10 jiwa (Badan Penanggulangan Bencana

Daerah/ BPBD Kabupaten Klaten, 2014). Erupsi gunung Merapi yang


merupakan suatu penyebab timbulnya korban bencana berada di Jawa Tengah

tepatnya di Kabupaten Klaten.

Gunung Merapi mempunyai salah satu lereng yang terletak di

Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. BPBD Kabupaten Klaten (2014)

menjelaskan letusan gunung Merapi pada tahun 2010 di Klaten mengakibatkan

korban meninggal sebanyak 29. Erupsi gunung Merapi juga mengakibatkan

keluarnya material dari perut gunung sehingga terjadi hujan abu disekitar

wilayah lereng gunung Merapi, salah satunya adalah Kabupaten Klaten. Abu

maupun pasir vulkanik terdiri dari batuan berukuran besar yang jatuh disekitar

sampai radius 5-7km dari kawah dan berukuran halus jatuh pada jarak mencapai

ratusan hingga ribuan kilometer. Material erupsi gunung mempunyai ukuran

yang bervariasi dari batuan, kerikil, pasir sampai debu halus. Material letusan

tersebut antara lain abu vulkanik, lava, gas beracun, hingga batuan beku yang

terlempar ke atmosfer (Tangkupolon, 2014). Peristiwa letusan gunung Merapi

pada dua periode terakhir memberikan dampak bagi kondisi lingkungan sekitar

gunung Merapi namun masyarakat kurang menyadari dampak erupsi tersebut,

sehingga Masyarakat mengalami berbagai kerusakan serta kerugian.

Kementrian Kesehatan menyatakan penilaian kerusakan, kerugian, dan

kebutuhan sumber daya kesehatan pasca bencana mencatat letusan gunung

Merapi pada tanggal 25 Oktober 2010 menyebabkan kerusakan dan kerugian

yang cukup besar di empat kabupaten yaitu Magelang, Boyolali, Klaten dan

Sleman. Perhitungan nilai kerusakan, kerugian dan dampak ekonomi dilakukan


pada 5 sektor yaitu perumahan, sosial (pendidikan, kesehatan, agama), ekonomi

produktif (pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, industri,

perdagangan, pariwisata), prasarana (transportasi darat dan udara, air bersih,

sanitasi, irigasi, energi, telekomunikasi) dan lintas sektor (pemerintahan,

keuangan dan lingkungan hidup). Data yang didapatkan dari BNPB per tanggal

31 Desember 2010 erupsi gunung Merapi mengakibatkan kerusakan dan

kerugian sebesar Rp 3,62 triliun dengan kerusakan dan kerugian sektor sosial

(termasuk didalamnya sub sektor kesehatan) sebesar Rp 122,47 miliar (3,38%).

Kerusakan dan kerugian yang sangat besar mempengaruhi berbagai sektor yang

dapat mengakibatkan berbagai ancaman kehidupan.

Seiring dengan perubahan iklim dan urbanisasi yang cepat, risiko

bencana semakin meningkat di berbagai wilayah. Bencana alam seperti banjir,

gempa bumi, tanah longsor, dan bencana non-alam seperti kebakaran hutan atau

konflik sosial semakin sering terjadi. Hal ini menunjukkan pentingnya

masyarakat dan pemerintah di tingkat desa untuk siap menghadapi berbagai

jenis bencana. Bencana dapat memiliki dampak sosial dan ekonomi yang

signifikan. Kerugian harta benda, kehilangan nyawa, dan kerusakan lingkungan

dapat menghancurkan kehidupan masyarakat di tingkat desa. Oleh karena itu,

menciptakan Desa Tangguh Bencana sangat relevan untuk mengurangi dampak

sosial dan ekonomi yang merugikan. Kesadaran dan partisipasi aktif

masyarakat dalam upaya Desa Tangguh Bencana sangat penting. Oleh karena
itu, memahami bagaimana meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan

masyarakat adalah salah satu aspek yang perlu dibahas dalam makalah.

B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan tujuan desa tangguh bencana

2. Mengetahui tujuan desa tangguh bencana

3. Mengetahui penilaian desa tangguh bencana

C. Manfaat
1. Peningkatan Kesadaran: Makalah ini dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat, terutama di tingkat desa, tentang risiko bencana yang ada

di wilayah mereka. Ini membantu masyarakat lebih memahami ancaman

yang mungkin mereka hadapi dan mendorong mereka untuk mengambil

tindakan pencegahan.

2. Edukasi dan Informasi: Makalah ini berfungsi sebagai alat edukasi yang

berguna untuk menyebarkan informasi tentang bencana, tindakan

mitigasi, rencana tanggap darurat, dan praktik-praktik terbaik dalam

menghadapi bencana. Ini membantu meningkatkan pengetahuan

masyarakat tentang cara mengurangi risiko dan mengatasi bencana.

3. Pengembangan Rencana Tanggap Darurat: Makalah ini dapat menjadi

dasar untuk mengembangkan rencana tanggap darurat yang efektif di

tingkat desa. Informasi yang terdapat dalam makalah dapat digunakan

sebagai pedoman dalam merancang rencana.


BAB II
TINJAUN PUSTAKA

A. Pengertian Desa Tangguh Bencana

Desa yang didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

dapat dijelaskan sebagai sebuah entitas masyarakat hukum yang memiliki batas

wilayah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola

urusan masyarakat setempat. Kewenangan ini didasarkan pada adat dan budaya

setempat yang diakui dan dihormati dalam kerangka pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, Desa Tangguh Bencana adalah

suatu inisiatif yang berasal dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) dan merujuk pada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB) Nomor 1 Tahun 2012.

Dalam konteks ini, Desa Tangguh Bencana merujuk pada suatu desa

atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi

ancaman yang ada di wilayahnya. Desa ini juga memiliki kapasitas untuk

mengorganisasi sumber daya masyarakat dengan tujuan mengurangi

kerentanan mereka terhadap bencana dan meningkatkan kemampuan mereka

dalam mengurangi risiko bencana. Dalam praktiknya, Desa Tangguh Bencana

diharapkan memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi

potensi ancaman bencana, serta memiliki kemampuan untuk pulih dengan cepat

dari dampak bencana yang merugikan. Desa Tangguh Bencana merupakan

salah satu implementasi dari tanggung jawab pemerintah untuk melindungi


masyarakat dari potensi ancaman bencana, sebagaimana diatur dalam Peraturan

Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012. Oleh karena itu masyarakat harus dibentuk

bukan hanya menjadi siap menghadapi bencana namun menjadi tangguh

(Rahman, 2017).

B. Tujuan Desa Tangguh Bencana

Program Desa Tangguh Bencana bertujuan untuk:

1. Memberikan perlindungan kepada penduduk yang tinggal di wilayah

yang berpotensi bahaya dari dampak merugikan yang disebabkan oleh

bencana.

2. Mendorong partisipasi aktif masyarakat, terutama kelompok rentan,

dalam pengelolaan sumber daya dengan tujuan mengurangi risiko

bencana.

3. Meningkatkan kapasitas lembaga lokal masyarakat dalam mengelola

sumber daya dan menjaga kearifan lokal untuk mengurangi risiko

bencana.

4. Memperkuat kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan

sumber daya dan bantuan teknis untuk mengurangi risiko bencana.

5. Meningkatkan kerjasama dengan para pemangku kepentingan dalam

upaya pengurangan risiko bencana, termasuk pemerintah daerah, sektor

swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi masyarakat, dan kelompok-


kelompok lain yang memiliki perhatian terhadap masalah pengurangan

risiko bencana.

C. Penilaian Desa Tangguh Bencana

Klasifikasi Desa Tangguh Bencana dibagi menjadi 3 yaitu Desa

Tangguh Bencana Pratama (Awal), Desa Tangguh Madya (Menengah) dan Desa

Tangguh Bencana Utama (Tinggi). Secara garis besar penilaian Desa tangguh

Bencana sesuai SNI 8357-2017 memiliki 5 variabel (komponen) terdapat dan

26 Indikator sebagai berikut :

Variabel 1: Kualitas dan Akses Layanan Dasar; terdiri dari 9 indikator

1. Kualitas layanan dan akses pendidikan formal maupun non formal,

Pendidikan formal : SD SMP SMA. Pendidikan Non Formal (Luar

sekolah) : TK, PAUD, PKBM (Pusat Kegiatan Belajar

Masyarakat),Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), lembaga swadaya

masyarakat, organisasi kemasyarakatan pendidikan kepemudaan,

pendidikan keterampilan dan pelatihan lainya .

2. Kualitas layanan kesehatan yang mudah diakses masyarakat, adanya

fasilitas pelayanan kesehatan yang menunjang kebutuhan masyarakat.

Hal ini terkait keberadaan puskesmas, puskesmas pembantu bidan

desa dan kader sehat.

3. Sarana dan aksesibilitas transportasi, Aksesibilitas terkait kondisi jalan

dan jembatan yang digunakan untuk memperlancar aktivitas, jika

kondisi kurang layak maka akan memungkinkan menghambat proses


mitigasi bencana. Selain itu sarana transportasi dibutuhkan untuk

menjamin proses evakuasi dan distribusi kebutuhan dasar/logistik

pada saat kejadian bencana sehingga mempercepat aksesibitas

masyarakat terhadap kebutuhan dasar yang dibutuhkan 4. Sistem

informasi bencana

4. Sistem informasi yang memberi kemudahan akses untuk menjangkau

seluruh lapisan masyarakat (kualitas kentongan, sirine, radio, tv,

handphone (HP), handy talky (HT), radio komunitas.

5. Adanya pelayanan publik yang baik, kualitas pelayanan publik

bergantung kepada ketersediaan sarana publik (gedung pertemuan,

lapangan, balai desa, balai kampung, jalur evakuasi, barak

pengungsian, pasar)

6. Tata kelola pemerintahan desa yang mandiri.

7. Adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, salah

satunya terlihat dari program-program perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup yang ada di masyarakat (misal: reboisasi, sistem

pengelolaan sampah, dll).

8. Penguatan perlindungan dan dukungan terhadap kegiatan budaya dan

spiritual masyarakat .

9. Adanya perlindungan keamanan masyarakat misalnya keberadaan dan

ketersediaan aturan ronda desa, kelompok rukun sosial.


Variabel 2 : Dasar sistem penanggulangan bencana (tersedianya regulasi desa

untuk pengelolaan risiko bencana)

1. Adanya regulasi pengelolaan risiko bencana dengan desa tetangga,

penyebab terjadinya bencana bisa saja berasal dari desa tetangga.

Untuk itu dibutuhkan kebijakan pengurangan risiko bencana yang

disusun bersama-sama dengan desa tetangga.

2. Terlaksananya pengkajian risiko bencana berkelanjutan. Misalnya :

adanya dokumen kajian risiko bencana desa dan potensi dampak

perubahan iklim. RPJMDes yang telah disinkronkan dengan kajian

risiko bencana.

3. Adanya rencana penanggulangan bencana yang menjadi bagian

perencanaan pembangunan.

4. Adanya dukungan lembaga luar untuk pengelolaan risiko bencana.

5. Adanya penyelarasan rencana penanggulangan bencana dan adaptasi

perubahan iklim antar desa.

6. Optimalitas peran forum pengelolaan risiko bencana dalam

mewujudkan rencana pembangunan desa. Forum pengelolaan risiko

bencana, surat keputusan atau peraturan desa pembentukan forum

risiko bencana.

Variabel 3 : Pengelolaan Risiko Bencana

1. Adanya aksi pengelolaan risiko bencana antar desa, hal ini bisa

diketahui dari dokumen aksi pengurangan risiko bencana.


2. Adanya program peningkatan wawasan dan keterampilan mengelola

risiko bencana melalui edukasi, sosialisasi dan peningkatan wawasan

kebencanaan.

Variabel 4 : Kesiapsiagaan Darurat, membantu penguatan sistem kesiapsiagaan

bencana desa meliputi:

1. Tersedianya mekanisme untuk mendeteksi dini kemungkinan ancaman

bencana pada skala desa.

2. Tersedianya mekanisme penerima peringatan dini atau perintah

evakuasi.

3. Berfungsinya mekanisme penyebaran arahan evakuasi yang mudah

diakses dan dipahami semua pihak termasuk kelompok rentan.

4. Tersedianya peta rencana evakuasi masyarakat yang dapat digunakan

sebelum dan pada saat bencana terjadi.

5. Tersedianya tempat evakasi, jalur dan rambu evakuasi.

6. Adanya latihan kesiapsiagaan bencana secara berkala dan

berkelanjutan tingkat desa.

7. Tersedianya relawan penanggulangan bencana desa yang memiliki

kemampuan melakukan penanganan darurat bencana.

Variabel 5 : Kesiapsiagaan Pemulihan; terdiri dari 2 indikator

1. Tersedianya mekanisme upaya pemulihan dini bencana di tingkat desa

2. Tersedianya perencanaan pemulihan berkelanjutan untuk berbagai aset

dan properti strategis yang berisiko tinggi rusak terkena bencana.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada laporan ini penulis menganalisis pelaksanaan edukasi keluarga tangguh

bencana di Dukuh Babad Desa Kradenan Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten,

pelaksanaan program Pengabdian Kepada Masyarakat melibatkan beberapa langkah,

termasuk tahap konsultasi dengan perangkat desa setempat, persiapan materi untuk

penyuluhan, dan persiapan alat dan bahan yang diperlukan. Program ini ditujukan

untuk perkumpulan ibu-ibu arisan di Dukuh Babad, Kecamatan Trucuk. Kegiatan

penyuluhan dilaksanakan di salah satu rumah warga, dengan materi yang mencakup

penjelasan mengenai keluarga yang siap menghadapi bencana. Metode yang digunakan

dalam pelaksanaan program ini adalah ceramah dan diskusi. Proses pelaksanaan

program dimulai dengan memberikan peserta pemahaman tentang pentingnya

kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi bencana. Tahap awal program ini

melibatkan ceramah selama 60 menit. Selanjutnya, peserta diberikan kesempatan untuk

berdiskusi mengenai isu-isu yang terkait dengan keluarga yang tanggap terhadap

bencana selama 30 menit. Program Pengabdian Kepada Masyarakat ini dilakukan pada

hari Sabtu, tanggal 05 Oktober 2019, di rumah Ibu Alfi sebagai lokasi pelaksanaan.

Pada tanggal 5 Oktober 2019, tim pengabdian yang terdiri dari dosen-dosen dari

Akademi Akuntansi Muhammadiyah (AAM) Klaten mengadakan pertemuan dan

berdiskusi dengan Kadus dan perangkat desa tentang penyelenggaraan kegiatan yang

akan melibatkan ibu-ibu dalam perkumpulan arisan di Dukuh Babad, Kecamatan

Trucuk. Tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan pengetahuan dan pemahaman
mengenai cara membentuk keluarga yang siap menghadapi bencana, mengenali tanda-

tanda peringatan dini, menyusun rencana kesiapsiagaan keluarga, dan menentukan

jalur evakuasi bagi keluarga. Bencana merupakan serangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat. Bencana dapat terjadi karena

faktor alam maupun non-alam, serta bisa disebabkan oleh tindakan manusia. Hal ini

dapat mengakibatkan kerugian dalam bentuk korban jiwa, kerusakan lingkungan,

kerugian materi, dan dampak psikologis (BNPB, 2021). Berikut adalah ringkasan dari

materi yang disampaikan:

Gambar 1. Tata Cara Saat Terjadi Gempa Bumi


Gambar 2. Tata Cara Setelah Gempa Bumi

Gambar 3. Tata Cara Sebelum


Gunung Meletus
Gambar 4. Tata Cara Saat Terjadi Gunung Meletus

Gambar 5. Tata Cara Setelah Terjadi Gunung Meletus


Memberikan informasi tentang persiapan menghadapi bencana sangat penting

dalam lingkungan keluarga. Dalam konteks keluarga, terdapat kelompok yang lebih

rentan dan memerlukan perhatian khusus. Kelompok rentan ini adalah mereka yang

berisiko tinggi karena berada dalam situasi yang membuat mereka kurang mampu

untuk mempersiapkan diri menghadapi risiko atau ancaman bencana (Teja, 2015).

Penanggulangan bencana dapat melibatkan beberapa aspek, seperti mengenali

dan memantau risiko bencana, melaksanakan perencanaan partisipatif untuk mengatasi

bencana, membangun kesadaran akan bencana, meningkatkan keterlibatan aktif dalam

upaya penanggulangan bencana, serta menerapkan berbagai tindakan fisik dan nonfisik

dalam penanggulangan bencana. Dengan demikian, mengurangi risiko bencana di

kalangan kelompok rentan adalah cara untuk mengelola risiko bencana dengan

meningkatkan ketangguhan mereka. Ketangguhan kelompok rentan dapat terwujud

jika mereka memahami dan menyadari risiko bencana serta mampu mengelola risiko

yang ada dalam diri dan lingkungan mereka (Arsyad, 2017).

Setelah penyuluhan, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi mengenai persiapan

kesiapsiagaan bencana dalam keluarga selama 30 menit. Peserta menunjukkan

antusiasme yang tinggi dalam berdiskusi mengenai bagaimana mereka bisa bersiap

menghadapi bencana di rumah. Pemateri juga menyajikan beberapa pertanyaan yang

dapat dijawab dengan benar oleh peserta. Secara keseluruhan, kegiatan ini berjalan

dengan lancar, dan materi yang disampaikan diterima dengan baik oleh peserta.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pada hakikatnya komunikasi yang dilakukan BPBD kabupaten Klaten

dalam mengenalkan mitigasi bencana diperlukan kerjasama berbagai Pihak

untuk berperan aktif didalamnya. Kesadaran masyarakat akan bahaya bencana

adalah terpenting untuk mengatasi resiko akibat bencana. Selama ini BPBD

kabupaten Klaten sudah efektif dalam mengkomunikasikan pengenalan

mitigasi bencana, karena dapat dilihat pada data pengurangan resiko akibat

bencana, Komunikasi dengan sasaran pengenalan mitigasi bencana yang

Dilakukan dengan cara sosialisasi secara langsung yang menggunakan

Beberapa bentuk komunikasi serta penggunaan media massa dalam Penyebaran

informasi mitigasi bencana seperti radio, pamflet, banner, Spanduk dll.

B. Saran

Setelah terlaksananya kegiatan ini maka disarankan untuk dilakukan

penyuluhan dan pelatihan lanjutan dengan program yang lain, ditingkatkan lagi

wawasan dan pengetahuan untuk semua warga. Di samping itu karen partisipasi

beberapa warga untuk mengikuti kegiatan masih relatif rendah, hendaknya

perlu ditingkatkan untuk aktif mengikuti kegiatan, penyuluhan dan pelatihan.


DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. (2017). Modul Penanggulangan Bencana. kementerian PUPR.


BNPB. (2018). Panduan Kesiapsiagaan Bencana Untuk Keluarga. Available on:
www. safetysign. co. id.
BNPB. (2021). Indeks Risiko Bencana Indonesia Tahun 2021. (R. Yunus, Ed.).
Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
Bpbd.jatengprov.go.id. Badan Nasional Penanggulangan Bencana: Pengurangan
Risiko Bencana dan Kesiapsiagaan Menghadapi Musim Hujan 2019-2020
(2019). Retrieved from
https://bpbd.jatengprov.go.id/wp-
content/uploads/2019/11/Surat-Menghadapi-Musim-Hujan-20192020-1.pdf
Hamdika, W., Miko, A., & Afrizal. (2019). Kesiapsiagaan Komunitas Pesisir
Menghadapi Ancaman Becana Gempa Bumi Dan Tsunami (Studi Kasus di
Nagari Tiku Selatan , Kecamatan Tanjung Mutiara , Kabupaten Agam).
JISPO, 9(2), 531–554.
Muis, I., & Anwar, K. (2018). Model Kesiapsiagaan Masyarakat dalam
Pengurangan Risiko Bencana Tanah Longsor di Desa Tugumukti,
Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Asian Social Work Journal,
4(3), 19–30.
Siregar, J. S., & Wibowo, A. (2019). Upaya Pengurangan Risiko Bencana pada
Kelompok Rentan. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana. Jurnal Dialog
Penanggulangan Bencana, 10(1), 30–38.
Teja, M. (2015). Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Kelompok Rentan Dalam
Menghadapi Bencana Alam Di Lombok. Pusat Penelitian Badan Keahlian
DPR RI, 151(1), 43–70.
Triana, D., Hadi, T. S., & Husain, M. K. (2017). Mitigasi Bencana Melalui
Pendekatan Kultural Dan Struktural. In Prosiding Seminar Nasional XII
“Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi
Teknologi Nasional Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai