Anda di halaman 1dari 44

PENGARUH PEMBERIAN SIMULASI BENCANA TERHADAP

PENGETAHUAN DAN KESIAPSIAGAAN BENCANA GEMPA


BUMI DI SD IMPRES 1 KAYUMALUE PAJEKO

PROPOSAL

AGUNG HADIBYO
201601001

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

PENGARUH PEMBERIAN SIMULASI BENCANA TERHADAP


PENGETAHUAN DAN KESIAPSIAGAAN BENCANA GEMPA
BUMI DI SD IMPRES 1 KAYUMALUE PAJEKO

PROPOSAL

AGUNG HADIBYO
201601001

Proposal ini telah disetujui


Untuk diseminarkan

Tanggal 27 Juni 2023

Pembimbing I Pembimbing II

Ns. Elin Hidayat, S.Kep., M.Kep Ns. Moh. Malikul Mulki, S.Tr.Kep., M.Tr.Kep
NIK. 20230901156 NIK. 20220901132

Mengetahui
Ketua Prodi Ners
Universitas Widya Nusantara Palu

Ns. Yulta Kadang, S.Kep., M.Kep


NIK. 20220901145
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
BAB II TUNJAUAN PUSTAKA 6
A. Tinjauan Teori 6
B. Kerangka Konsep 28
C. Hipotesis 29
BAB III METODE PENELITIAN 30
A. Desaian Penelitian 30
B. Tempat dan Waktu Penelitian 31
C. Populasi dan Sampel Penelitian 31
D. Variabel Penelitian 32
E. Definisi Operasional 32
F. Instrumen Penelitian 33
G. Tekhnik Pengumpulan Data 34
H. Analisa Data 35
I. Bagan Alur Penelitian 37
DAFTAR PUSTAKA 38
LAMPIRAN 41
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai kejadian bencana alam pada akhir-akhir ini terus meningkat.
Setiap tahunnya di dunia terdapat lebih dari 400 bencana yang menimbulkan
dampak terhadap 230 juta orang. Terdapat 450 kota di dunia yang dihuni
penduduk lebih dari satu juta orang, berhadapan dengan berbagai bahaya bencana
alam yang terjadi terutama bencana gempa bumi (BNPB, 2018).
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau yang
memiliki luas total sebesar 5.180.053 km2, yang terdiri dari daratan seluas
1.922.570 km2 (37,1%) dan lautan seluas 3.257.483 km2 (62,9%) dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km. Secara geografis, Indonesia terletak dibeberapa
lempeng tektonik dunia yaitu Indo-Australia, Pasifik, Eurasia, dan Fillipina.
Pertemuan empat lempeng ini menghasilkan lempeng tektonik berupa gempa
bumi dan deretan gunung api. Data Menurut Pusat Mitigasi Bencana ITB
menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan aktivitas kegempaan yang
tinggi di dunia, melebihi 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika (BPBD,
2018).
Menurut UN-ISDR, Indonesia adalah negara yang berada pada peringkat
ketiga paling rawan terhadap bencana gempa bumi di dunia. Menurut Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, dalam 15 tahun terakhir (2004—2018) di
Indonesia telah terjadi 240 bencana gempa bumi berskala besar dan sebanyak 7
kali gempa bumi berdampak tsunami. Pada tahun 2004 di barat laut Sumetera
Meula-boh terjadi gempa 9 SR, tahun 2005 di barat laut Sumatera Padang
Sidempuan terjadi gempa 8,7 SR, tahun 2006 Pengandaran terjadi gempa 7,7 SR,
tahun 2007 Bengkulu terjadi gempa 8,4 SR, 2010 di Kepulauan Mentawai
Sumatera Barat terjadi gempa 7,2 SR dan 28 September 2018 di Palu dan
Donggala (BPBD, 2018).

1
2

Sulawesi Tengah serta tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 yang
berdampak terhadap empat juta lebih kehidupan masyarakat. Setelah gempa dan
tsunami, Palu kembali menghadapi fenomena alam yaitu likuifaksi, guncangan
yang ditimbulkan gempa menyebabkan tanah kehilangan ikatan. Hal tersebut
mengakibatkan tanah larut seperti air lalu mengalir, membawa bangunan dan
kendaraan di atasnya. Likuifaksi berlangsung pada tanah berpasir yang mudah
terendam air, seperti tanah di Kota Palu yang dekat dengan laut (BPBD, 2018).
Gempa terjadi lagi di tahun 2021 titik koordinat 1.72 LS 120.14 BT.
Dilansir dari BMKG, pusat gempa berada di darat 46 km Tenggara Sigi. BMKG
juga mengingatkan agar masyarakat di Palu mewaspadai potensi gempa susulan.
Berdasarkan data yang dirilis BMKG, guncangan akibat gempa Palu hari ini
dirasakan pada sejumlah tempat berikut (skala MMI): III Palu, III Sigi, III Sausu,
III Poso, III Pasangkayu. Untuk diketahui, sebagian besar wilayah Indonesia
termasuk daerah rawan gempa. Merujuk pada data BMKG, selama 1976‐2006
saja, telah terjadi 3.486 gempa bumi dengan magnitudo lebih dari 6,0. Apa
penyebab gempa bumi? Dari segi penyebab, gempa bumi bisa dibedakan dalam 2
jenis. Pertama, gempa tektonik yang terjadi karena pergerakan/pergeseran lapisan
batuan di kulit bumi, secara tiba‐tiba. Hal ini terjadi akibat pergerakan lempeng‐
lempeng tektonik. Selain itu gempa bisa juga terjadi karena aktivitas gunung api.
Gempa jenis kedua ini disebut gempa bumi vulkanik. Pergerakan lapisan batuan
di dalam bumi secara tiba‐tiba dapat menghasilkan energi yang dipancarkan ke
segala arah berupa gelombang seismik. Saat gelombang itu mencapai permukaan
bumi, getarannya bisa merusak segala sesuatu, seperti bangunan, dapat
menimbulkan korban jiwa (BPD, 2021).
Gempa dengan magnitudo (M)4,1 sempat membuat panik warga Kota Palu,
Provinsi Sulawesi Tengah pada Sabtu (10/7), pukul 14.57 waktu setempat.
Guncangan kuat yang dirasakan menyebabkan warga Kota Palu sempat panik dan
keluar rumah. Gempa juga dirasakan sedang oleh warga di Kabupaten Sigi, dan
sempat membuat mereka panik hingga keluar rumah. Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu menginformasikan belum ada laporan
3

kerusakan hingga berita ini dirilis. Pihaknya masih melakukan pemantauan situasi
di lapangan dan melaporkan kondisi sudah mulai kondusif. BMKG
menginformasikan parameter gempa M4,1 dengan pusat gempa berada di darat 9
km arah selatan Kota Palu. Gempa berkedalaman 7 km. BMKG juga melaporkan
gempa tidak berpotensi tsunami. Selang satu jam setelahnya, tepatnya pukul 16.36
waktu setempat, BMKG melaporkan adanya gempa susulan dengan magnitudo
(M)2.7. Pusat gempa susulan berada di darat 10 km arah selatan Kota Palu.
BMKG mengidentifikasi bahwa gempa yang terjadi merupakan gempa dangkal
yang dipicu oleh aktivitas Sesar Palu Koro. BMKG mencatat kekuatan gempa
dengan skala MMI di Palu dan Sigi berada pada III – IV MMI. Menurut analisis
inaRISK, Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi bahaya gempa bumi dengan
kategori sedang hingga tinggi. Sebanyak 13 wilayah administrasi setingkat
kabupaten dan kota atau seluas 416.501 hektar berada dalam potensi bahaya
tersebut. Sementara di Kota Palu, sebanyak 8 kecamatan atau 8.530 hektar
memiliki potensi bahaya gempa bumi sedang hingga tinggi. Kota Palu terletak
pada jalur Sesar Palu Koro, dimana sejarah mencatat pada tahun 2018 terjadi
gempa M7.5. Peristiwa tersebut juga diiringi tsunami dan likuifaksi dengan
korban mencapai 4.340 jiwa. Melihat kajian di atas dan historis kejadian bencana
geologi di kawasan ini, warga diminta untuk selalu siaga dan waspada terhadap
adanya potensi gempa susulan. BNPB juga terus memonitor dan berkoordinasi
dengan BPBD setempat untuk mendapatkan info terkini terkait kondisi di
lapangan (BNPB, 2022).
Gempa bumi tersebut membuat banyak orang terperangkap di dalam rumah
khususnya anak-anak dan orang tua karena terjadi di pagi hari sehingga mayoritas
korban merupakan orang yang berusia lanjut dan anak-anak yang kemungkinan
tidak sempat menyelamatkan diri ketika gempa belangsung. Hal ini
memperlihatkan masih lemahnya kesiapan menghadapi bencana di Indonesia
(Surahman, Edy, dan Mukminan, 2017).
Anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan yang paling berisiko
terkena dampak bencana kerentanan anak-anak terhadap bencana dipicu oleh
4

faktor keterbatasan pemahaman tentang risiko-risiko di sekeliling mereka, yang


berakibat tidak adanya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Berdasarkan
data kejadian bencana di beberapa daerah banyak korban terjadi pada anak usia
sekolah baik di jam sekolah atapun di luar jam sekolah, hal ini menunjukkan
bahwa pentingnya pengetahuan tentang bencana dan pengurangan risiko bencana
diberikan sejak dini untuk memberikan pemahaman dan pengarahan langkah-
langkah yang harus dilakukan saat terjadi suatu ancaman yang ada di sekitarnya
untuk mengurangi risiko bencana (Surahman, Edy, dan Mukminan, 2017).
Pendidikan siaga bencana dapat dilakukan sejak dini melalui program siaga
bencana disekolah supaya anak-anak dapat mengetahui bagaimana cara
menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Pendidikan siaga bencana dapat diawali
pada anak usia sekolah dasar karena menurut Piaget, pada masa ini merupakan
fase operasional konkrit. Pengetahuan mengenai pengurangan risiko bencana
secara khusus belum masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia (Fauzi,
dan Herawati, 2108).
Kondisi tersebut bertentangan dengan Hyogo Framework yang disusun oleh
PBB bahwa pendidikan siaga bencana merupakan prioritas, yakni Priority for
Action 3: Use knowledge, innovation and education to build a culture of safety
and resilience at al levels. Pendidikan mitigasi bencana juga telah diterapkan
didalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada 113 negara lain,
diantaranya Bangladesh, Iran, India, Mongolia, Filipina, Turkey, dan Tonga
(Hayuditias, Beatrix, 2020).
Hal ini didukung oleh pernyataan oleh (Nur, Arief Mustofa, 2020) dalam
penelitiannya tentang peran simulasi didalam manajemen bencana dapat
mengukur kesiapan seseorang dalam menghadapi bencana. Menurut (Surahman,
Edy, dan Mukminan, 2017) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa
pendidikan tentang siaga bencana dengan menggunakan simulasi berupa game
atau permainan dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan yang tidak
menggunakan simulasi. Simulasi merupakan cara penyajian pengalaman belajar
dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip atau
5

ketrampilan tertentu. Simulasi dapat digunakan sebagai metode mengajar dengan


asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada
obyek yang sebenarnya.
Pada penelitian ini simulasi yang digunakan adalah role playing atau
bermain peran yaitu metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang
diarahkan untuk mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian
yang mungkin muncul pada masa mendatang.
Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20 Juli 2022 di SD Impres
1 Kayumalue Pajeko didapatkan data siswa kelas 5 berjumlah 33 orang, dan kelas
6 berjumlah 33 orang. Kemudian di sertai dengan observasi kelas di dapatkan
bangunan kelas yang retak ada juga kelas yang tidak layak di pakai untuk belajar
mengajar. Hasil wawancara dengan salah satu guru bahwa di sekolah tersebut,
untuk kesiapsiagaan bencana belum ada simulasimnnya, hanya di jelaskan begitu
saja, dan untuk petunjuk jalur evakuasinya sudah ada sebelumnya, seiring
berjalannya waktu jalur evakuasi tersebut sudah tidak ada.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka peneliti terdorong untuk
mengambil sebuah masalah yang berjudul “Pengaruh Pemberian Simulasi
Bencana Terhadap Pengetahuan dan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi Di SD
Impres 1 Kayumalue Pajeko”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: Apakah ada Pengaruh Pemberian Simulasi Bencana Terhadap
Pengetahuan Dan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi Di SD Impres 1
Kayumalue Pajeko?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis Pengaruh Pemberian Simulasi Bencana Terhadap
Pengetahuan dan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi Di SD Impres 1
Kayumalue Pajeko.
2. Tujuan Khusus
6

a. Mengidentifikasi pengetahuan tentang pemberian simulasi bencana


gempa bumi di SD Impres 1 Kayumalue Pajeko.
b. Mengidentifikasi Kesipasiagaan tentang bencana gempa bumi di SD
Impres 1 Kayumalue Pajeko.
c. Menganalisis pengaruh pemberian simulasi bencana terhadap
pengetahuan dan kesiapsiagaan bencana gempa bumi di SD Impres 1
Kayumalue Pajeko.
D. Manfaat Penelitia

1. Manfaat Bagi Instansi


Sebagai pengetahuan dan wawasan baru untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.
2. Manfaat Bagi Praktisi
Sebagai bahan masukan dalam menanggulangi bahaya bencana gempa
bumi melalui metode simulasi.
3. Manfaat Bagi Peneliti dan Peneliti Selanjutnya
Dapat menambah wawasan, dapat bermanfaat sebagai sumber
informasi dan referensi terhadap penelitin yang dilakukan selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Bencana
a. Definisi Bencana
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Wiarto, 2018).
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, gunung meletus, banjir, dan angin
topan(18). Sementara itu, definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah
setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau
pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah yang terkena. (BNPB, 2019).
Menurut Asian Disaster Reduction Center bencana adalah suatu
gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara
meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat, berbagai materi, dan
lingkungan (alam) di mana dampak yang ditimbulkan melebihi
kemampuan manusia guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada.
(Wiarto, 2018).
b. Jenis-jenis Bencana
Bencana berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi tiga antara lain:
1) Bencana Alam

6
7

Bencana yang disebabkan oleh alam antara lain dapat berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan angin topan, dan
tanah longsor
2) Bencana Non Alam
Bencana yang disebabkan antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit.
3) Bencana Sosial
Bencana yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antar kelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. (BNPB,
2019).
c. Dampak Bencana
Menurut Pan America Health Organization bencana alam apapun akan
menimbulkan dampak negatif yang dapat merugiakan masyarakat maka
perlu diperlukan kesiapsiagaan agar tidak terlanjut berkepanjangan,
adapun dampak negatifnya sebagai berikut :
1) Dampak Fisik
Masalah fisik ditimbulkan akibat bencana terbagi menjadi empat
katagori yaitu: cedera akut, masalah akut, masalah kronik, dan gejala
fisik secara medis.
2) Dampak Psikologis
Bencana dapat menimbulkan dampak psikologis meliputi efek jangka
pendek seperti kejutan, kecemasan, gangguan tidur, dan rasa bersalah.
Sedangkan masalah kesehatan mental pasca bencana adalah terjadinya
difungsi atau distorsi kognitif, disfungsional perilaku, emosional labil,
gejala fisik kronik non organik, depresi, perilaku kekerasan, dan
skizofrenia.
3) Dampak Psikososial
Kelompok rentan terkena gangguan psikososial adalah anak-anak,
remaja, ibu hamil, wanita, dan lansia. Untuk anak-anak korban
bencana dapat menimbulkan ketakutan, fisik anak-anak yang tidak
8

sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan terhadap ancaman


bencana, sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2007.
Kelompok usia anak, dipandang lebih mengkhawatirkan terhadap
dampak bencana, sehingga mereka dikategorikan sebagai kelompok
rentan.
4) Dampak Spiritual
Dampak spiritual terhadap bencana dimaknai secara berbeda oleh
masyarakat. Sebagai contoh bencana tsunami telah memberikan
dampak terhadap korban dan keluarganya seperti kehilangan tujuan
dan harapan hidup, tiba-tiba marah dan perasaan bersalah. Selain itu,
dampak spiritual lain dari bencana adalah pengalaman berduka, takut,
kehilangan masa depan, dan harapan hidup. (BNPB, 2018).
d. Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Bencana
Adapun faktor-faktor yang berkaitan dengan bencana, yaitu:
1) Risiko (Risk)
Risiko adalah suatu probabilitas dimana struktur masyarakat atau area
geografis menjadi rusak atau terganggu oleh dampak atau suatu
bahaya tertentu yang disebabkan oleh konstruksi dan kedekatan
dengan daerah berbahaya risiko berkaitan erat dengan bahaya,
kerentanan, dan kapasitas.
2) Bahaya (Hazard)
Bahaya adalah sesuatu yang berpotensi menimbulkan kerugian fisik,
kehilangan harta benda, mata pencarian atau kerusakan lingkungan
dan mengancam kehidupan manusia. Sesuatu yang dianggap
berbahaya apabila dapat dikendalikan atau dikontrol dapat menjadi
sesuatu yang bermanfaat.
3) Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan adalah kemungkinan untuk tertimpa kerusakan atau
kerugian akibat bencana alam.
9

4) Kapasitas/Kemampuan
Kapasitas/kemampuan adalah penguasaan sumber daya, cara, dan
kekuatan yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan mereka untuk
mempertahankan dan mempersiapkan diri mencegah, menanggulangi,
dan meredam serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.
2. Gempa Bumi
a. Definisi Gempa Bumi
Gempa bumi peristiwa berguncangnya bumi yang disebabkan oleh
tumbukan antar lempeng bumi, aktivitas sesar (patahan), aktivitas gunung
api, atau runtuhan batuan. Jenis bencana ini bersifat merusak, dapat terjadi
setiap saat, dan berlangsung dalam waktu singkat. Gempa bumi dapat
menghancurkan bangunan, jalan, jembatan, dan sebagainya dalam sekejap.
Gempa bumi adalah perisitwa bergetar atau berguncangnya bumi karena
pergerakan/pergesaran lapisan batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba
akibat pergerakan lempeng-lempeng tektonik . (Nur & Mustofa, 2020)
Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan
energi di dalam bumi secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya
lapisan buatan pada kerak bumi. Akumulasi energi akibat terjadinya
gempa bumi dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik.
Energi yang dihasilkan dipancarkan kesegala arah berupa gelombang
gempa bumi sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan
bumi. Gempa bumi merupakan getaran yang terjadi pada permukaan bumi
disebabkan pelepasan energi dari dalam dengan tiba-tiba yang membuat
gelombang sistematik. (Nur & Mustofa, 2020).
Sehingga gempa bumi dapat diartikan sebagai bencana alam yang
terjadi akibat pergerakan lempeng bumi atau aktivitas gunung berapi yang
dapat menimbulkan getaran serta berakibat pada korban jiwa yang
berjatuhan dan kerugian material.
b. Penyebab Gempa Bumi
10

Gempa bumi dapat disebabkan oleh adanya bergeseran lempeng


tektonik akibatnya terjadi pergerakan atau guncanagan, adanya aktivitas
dipermukaan bumi dan aktivitas gunung api. Pada saat guncangan atau
getaran yang dirasakan kuat sampai di permukaan bumi maka akan
menyebabkan terganggunya proses aktivitas manusia seperti sektor
pendidikan, ekonomi, kerusakan alam, runtuhnya bangunan, dan apabila
gempa bumi terjadi di dalam laut, maka akan berpotensi tsunami. (Rizaldy
& David, 2019).
c. Jenis-jenis Gempa Bumi
1) Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan penyebabnya gempa bumi terbagi menjadi beberapa
macam di antaranya:
a) Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang disebabkan oleh
pelepasan energy elastis yang tersimpan dalam lempeng tektonik.
b) Gempa vulkanik adalah gempa yang disebabkan oleh kegiatan
gunung berapi.
c) Gempa bumi runtuhan adalah gempa bumi lokal yang terjadi
apabila suatu gua didaerah bebatuan karst atau lokasi tambang
runtuh.
2) Berdasarkan Urutan Kejadian
Berdasarkan urutan kejadiannya, gempa bumi dibedakan atas beberapa
jenis, di antaranya:
a) Gempa bumi utama (main shock) langsung diikuti gempa bumi
susulan tanpa gempa bumi pendahuluan (fore shock).
b) Gempa bumi sebelum terjadi gempa bumi utama diawali dengan
adanya pendahulan gempa bumi dan selanjutnya diikuti oleh
gempa bumi susulan.
c) Gempa bumi terus menerus dan dengan tidak terdapat gempa bumi
utama yang tidak signifikan disebut gempa swam. Biasanya dapat
berlangsung cukup lama dan bias mencapai 3 bulan atau lebih.
11

d) Gejala ini masih sangat sulit diprediksi dan kerap kali


menimbulkan tsunami dengan tingkat kerusakan tinggi hingga
menelan korban jiwa.
Bencana gempa bumi merupakan fenomena alam yang ditakuti dan
berdampak pada jatuhnya korban jiwa, hilangnya harta benda, serta
rusaknya infrastruktur. (Rizaldy & David, 2019).
d. Melindungi Diri dari Gempa Bumi
1) Melindungi diri dari gempa bumi antara lain:
2) Berada dalam bangunan atau di dalam rumah:
a) Bila berada dalam ruangan
b) Masuk dan berlindung dibawah meja atau perabotan lainnya yang
kokoh dan memungkinkan kita dapat masuk dan berlindung.
c) Berpeganglah kuat pada kaki meja atau perabotan sampai getaran
gempa bumi berhenti.
3) Bila berada di gedung bertingkat:
a) Masuk dan berlindunglah dibawah meja atau perabotan lainnya
yang kokoh dan memungkinkan kita dapat masuk untuk
berlindung.
b) Gunakan tangga darurat. Tidak panik bila alarm sistem kebakaran
berbunyi.
4) Bila berada di dalam elevator/ lift:
a) Untuk elevator/lift yang dilengkapi dengan pendeteksi gempa,
elevator/ lift akan secara otomatis berhenti pada pintu terdekat.
b) Bila elevator tidak dilengkapi dengan pendeteksi gempa, bila
merasakan getaran, tekan semua tombol lantai yang ada dan segera
keluar bila elevator berhenti.
5) Berada di luar ruangan:
a) Pindah ke daerah terbuka. Carilah tempat yang aman sambil
melindungi kepala dengan barang bawaan.
12

b) Bila sedang berjalan didekat bangunan, hati-hati terhadap


kemungkinan kaca pecah atau kejatuhan papan reklame.
c) Pastikan anda aman dan terhindar dari tiang listrik/ telepon/
rambu/ marka jalan, dan pohon.
6) Bila sedang menyeberang jalan atau jembatan penyebrangan:
a) Berlarilah ke ujung terdekat.
b) Berusahalah untuk keluar dari jembatan.
c) Bila tidak bisa bergerak, rendahkan badan dan berpegangan pada
jembatan supaya tidak terlempar.
7) Bila berkendaraan:
a) Begitu merasakan getaran, turunkan kecepatan, jangan tergesa-
gesa, tepikan mobil dibahu sebelah kiri dan kemudian matikan
mesin. (Lativa & Nuryanto, 2020).
3. Manajemen Bencana
Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meluputi aspek
perencanaan dan penanggulangan bencana pada sebelum, saat, dan sesudah
terjadinya bencana. Pengelolaan bencana yang efektif memerlukan kombinasi
empat konsep, yaitu atas semua bahaya, menyeluruh, terpadu, dan kesiapan
masyarakat. (Lativa & Nuryanto 2020).
Menurut Undang-undang No. 24 tahun 2007 penanggulangan bencana
terdiri dari 3 tahapan diantaranya:
a. Pra bencana
Adapun tahap pra bencana terbagi menjadi 3 bagian diantaranya:
1) Prevensi (pencegahan)
Menurut undang-undang No. 24 tahun 2007 pencegahan bencana
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan risiko terhadap ancaman bahaya bencana serta
kerentanan pihak yang terancam bencana.
2) Mitigasi Bencana
13

Menurut undang-undang No. 24 tahun 2007 mitigasi bencana


adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik, penyadaran, peningkatan
kemampuan dan kapasitas menghadapi bencana.
Bahaya ialah suatu fenomena kejadian fisik yang potensial
merusak serta dapat menimbulkan korban, kerusakan kepemilikan,
kehancuran sosial ekonomi, atau degradasi lingkungan. Kerentanan
adalah kondisi atau proses yang ditentukan oleh faktor-faktor fisik,
sosial, ekonomi, dan lingkungan yang menambah kerentanan suatu
komunitas terhadap akibat bahaya. Kapasitas adalah kombinasi semua
kekuatan dan sumber daya yang tersedia di dalam suatu komunitas,
masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi risiko maupun
akibat suatu bencana
3) Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi terjadinya bencana melalui pengorganisasian serta
melalui langkah tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan
dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam
menghadapi kejadian. (Lativa & Nuryanto 2020).
b. Pasca Bencana
Penyelenggraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana
meliputi rehabilitasi dan rekonstrusi. Upaya rehabilitasi bertujuan untuk
mengembalikan kondisi daerah yang terdampak bencana kembali pada
kondisi normal sebelum terkena bencana. Rehabilitasi dilakukan melalui
kegiatan sebagai berikut:
1) Perbaikan lingkungan daerah bencana.
2) Perbaikan sarana dan prasarana umum.
3) Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat.
4) Pemulihan kondisi psikologis.
5) Rekonsiliasi dan resolusi konflik.
14

6) Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya.


7) Pemulihan keamanan dan ketertiban.
8) Pemulihan keamanan dan keterlibatan.
9) Pemulihan fungsi layanan publik.
Tahapan selanjutnya adalah rekonstruksi, yaitu tahapan dimana
dilakukan kegiatan membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak
akibat bencana kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Pembangunan kembali sarana dan prasarana.
2) Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat.
3) Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya.
4) Penerapan rancangan bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana.
5) Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakat,
dunia usaha, dan masyarakat.
6) Peningkatan kondisi sosial ekonomi dan budaya.
7) Peningakatan fungsi pelayanan publik.
8) Peningkatan pelayanan utama masyarakat. (Lativa & Nuryanto 2020).
4. Tinjauan Teori Lawrence W. Green
Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat
kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu
faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior
causes). Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi
karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun
eksternal (lingkungan). Selanjutnya perilaku individu di pengaruhi oleh 3
faktor utama, yang terangkum dalam akronim PRECEDE dan PROCEED.
Precede (Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Cause in Educational
Diagnosis and Evaluation) merupakan arahan dalam menganalisis atau
diagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi. Sedangkan PROCEED
(Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and
Enviromental Develompment) adalah arahan dalam perencanaan,
15

implementasi, dan evaluasi pendidikan. Model teori ini dapat diuraikan bahwa
perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor (Martini, 2019)
Kemudian menurut Green mengklasifikasikan menjadi faktor yang
mempengaruhi perilakukesehatan, yaitu:
a. Faktor Predisposing (Predisposing factors)
Faktor internal yang ada pada diri individu, kelompok, dan
masyarakat, yang mempermudah individu berperilaku. Faktor-faktor ini
mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi,
dan kepercayaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem
nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, serta tingkat sosial
ekonomi. Faktor tersebut dapat mempengaruhi terwujudnya perilaku
terutama yang positif.
b. Faktor Pemungkin (Enabling factors)
Faktor yang memungkinkan individu berperilaku seperti yang
terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedia fasilitas-
fasilitas atau sarana- sarana kesehatan. Berperilaku sehat, masyarakat
perlu sarana prasarana yang memungkinkan untuk terwujudnya perilaku
kesehatan, maka faktor ini disebut faktor pemungkin.
c. Faktor Penguat atau faktor Pendorong (Reinforsing factors)
Faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya
perilaku. Berperilaku sehat memerlukan contoh dari para tokoh
masyarakat. Sikap dan perilaku petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan
dukungan keluarga juga merupakan faktor pendorong dalam perilaku
kesehatan. Masyarakat terkadang bukan hanya perlu pengetahuan, sikap
positif, dan dukungan fasilitas saja melainkan diperlukan acuan dari tokoh
masyarakat, tokoh agama, para petugas kesehatan. Selain itu, undang-
undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut
(Martini, 2019)
16

Reinforcing factors:
Faktor predisposisi: Faktor Pengaktifan:
Tokoh masyarakat
Pengetahuan Ketersediaan sumber daya kesehatan
Petugas kesehatan
Keyakinan Aksesibilitas kesehatan
Dukungan keluarga
Nilai Hukum masyarakat/pemerintah,
Sikap dan perilaku masyarakat
Sikap keuntungan, dan komitmen terhadap
Dukungan fasilitas
Keyakinan kesehatan
Community leader
Keterampilan yang berhubungan dengan
Decision makers
kesehatan

Lingkungan (kondisi hidup)

Perilaku spesifik oleh individu atau


organisasi
Kesehatan

Gambar 2.1 Faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan (Green


dan Kreuter, 1991)

Faktor-faktor tersebut di atas akan berpengaruh pada


perubahan perilaku (adopsi perilaku baru). Menurut green
perilaku diawali dengan beberapa tahapan berurutan, yakni:
1) Awareness (kesadaran) yakni seseorang akan menyadari atau
mengetahui stimulus dalam arti telah mengetahui objek
terlebih dahulu.
2) Interest (ketertarikan) yakni seseorang mulai tertarik kepada
stimulus mencari informasi lebih lanjut pada orang lain yang
dianggap tahu, membaca atau mendengarkan dari sumber
yang dianggap tahu.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) pada tahap ini seseorang
akan mengevaluasi stimulus yang dianggap baik atau tidak
bagi dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa sikap dari
responden sudah lebih baik lagi.
17

4) Trial (mencoba) hal ini berarti bahwa seseorang mulai


mencoba melakukan perilaku baru.
5) Adoption (adopsi) yaitu subyek telah berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuan, sikap dan kesadaran terhadap stimulus.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan melalui dua cara,
secara langsung, yakni dengan pengamatan (obsevasi), dan tidak
langsung menggunakan metode mengingat kembali (recall).
Metode recall dilakukan melalui pertanyaan pertanyaan yang
diberikak kepada subyek tentang apa yang telah dilakukan
berhubungan dengan obyek tertentu (David,2019).
5. Pengetahuan
a. Definisi Pengetahuan
Berdasarkan teori dari Lawrence W. Green tahun 1980 telah
dijelaskan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu menjadi penyebab
dari perubahan perilaku seseorang tetapi sangat berkaitan dengan penentu
awal untuk seseorang berperilaku. Pengetahuan (Knowledge) juga
diartikan sebagai hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung dan
sebagainya), dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga
menghasilkan pengetahuan. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh
intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan yang
dimiliki seseorang akan membentuk suatu sikap dan menimbulkan suatu
perilaku dalam kehidupan sehari-hari seperti hadir di posyandu.
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Marinda, 2016).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan, yaitu :
18

1) Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah


dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh
badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab
itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan, dan sebagainya.
2) Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan
untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang
telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan.
3) Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada sitasi dan kondisi real
(sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain.
4) Analisis (analysis) adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di
dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi
yang ada.
6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentuan
19

sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Marinda,


2016).
6. Kesiapsiagaan
a. Definisi Kesiapsiagaan
Menurut Carter dalam LIPI-UNESCO/ISDR, kesiapsiagaan adalah
tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintah, organisasi,
masyarakat, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana
secara cepat dan tepat guna. Beberapa bentuk tindakan kesiapsiagaan,
yaitu penyusunan rencana penaggulangan bencana pemeliharaan sumber
daya dan pelatihan personil. (Fauzi & Herawati, 2018).
Kesiapsiagaan menurut undang-undang No. 24 tahun 2007 adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin bahwa
sistem, prosedur, dan sumber daya yang tepat siap di tempatnya masing-
masing untuk memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi korban
bencana sehingga dapat mempermudah langkah-langkah rehabilitasi dan
rekonstruksi layanan. (Mukti & Zahroh, 2020).
Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen
bencana khususnya bencana gempa bumi, pentingnya kesiapsiagaan
merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengendalian
pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadi
bencana. Konsep kesiapsiagaan yang digunakan lebih difokuskan pada
kemampuan untuk melakukan tindakan persiapan menghadapi kondisi
darurat bencana secara cepat dan tepat. (Mukti & Zahroh, 2020).
Berdasarkan pengertian diatas maka kesiapsiagaan dapat disimpulkan
sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk mengantisipasi terjadinya bencana
agar dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
20

b. Sifat Kesiapsiagaan
Pada saat pelaksanaan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana,
harus dibangun juga mekanisme kesiapsiagaan dalam menghadapi
kemungkinan bencana berikutnya. Selain itu, juga perlu diperhatikan sifat
kedinamisan dari suatu kondisi kesiapsiagaan suatu komunitas. Tingkat
kesiapsiagaan suatu komunitas dapat menurun setiap saat dengan
berjalannya waktu dan dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial-
budaya, politik, dan ekonomi dari suatu masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan selalu memantau untuk mengetahui kondisi kesiapsiagaan
suatu masyarakat dan melakukan usaha-usaha agar selalu menjaga dan
meningkatkan tingkat kesiapsiagaan tersebut. (Yusuf, Indina & Otib,
2018).
c. Kesiapsiagaan Bencana Pada Siswa Sekolah
Salah satu pemangku kepentingan penanggulangan bencana yang
memiliki posisi strategis yaitu sekolah. Hal tersebut dikarenakan sekolah
merupakan salah satu sumber informasi dan pengetahuan. Sebagai tempat
yang paling sering dikunjungi oleh siswa, sekolah juga mempunyai peran
penting untuk turut meningkatkan pengetahuan serta keterampilan dalam
menghadapi ancaman bencana. (Ginting, 2018).
Upaya kesiapsiagaan di sekolah telah dibahas didalam Konferensi
World Conference on Disaster Reduction (WCDR) kesebelas
menghasilkan kerangka kerja Hyogo Fremework For Action (HFA) 2005-
2015 berupa usaha-usaha antara lain.
1) Dimasukkannya pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana
sebagai bagian yang relevan dalam kurikulum pendidikan disemua
tingkat dan menggunakan jalur formal dan informal lainnya untuk
menjangkau anak-anak muda dan anak-anak dengan informasi;
menggalakkan interaksi pengurangan risiko bencana sebagai suatu
elemen instrinsik dalam dekade 2005-2014 untuk. Pendidikan bagi
21

pembangunan berkelanjutan (United Nations Dekade of Education for


Sustainanble Development);
2) Menggalakkan pelaksanaan pengurangan risiko tingkat lokal dan
program kesiapsiagaan terhadap bencana di sekolah-sekolah dan
lembaga-lembaga pendidikan lanjutan;
3) Menggalakkan pelaksanaan program dan aktivitas di sekolah-sekolah
untuk pembelajaran tentang bagaimana meminimalisasi efek bahaya;
4) Mengembangkan program pelatihan dan pembelajaran tentang
pengurangan risiko bencana dengan sasaran sektor-sektor tertentu,
misalnya: para perancang pembangunan, penyelenggara tanggap
darurat, pejabat, pemerintah tingkat lokal, dan sebagainya;
5) Menggalakkan inisiatif pelatihan berbasis masyarakat dengan
mempertimbangkan peran tenaga sukarela sebagaimana mestinya
untuk meningkatan kapasitas lokal dalam melakukan mitigasi dan
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana;
6) Memastikan kesetaraan akses kesempatan memperoleh pelatihan dan
pendidikan bagi unit sekolah.
7) Pemerintah dan non pemerintah telah menerbitkan beberapa pedoman
sekolah siaga bencana atau sekolah aman bencana. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana telah mengeluarkan pedoman
sekolah/madrasah aman.
8) Kesiapsiagaan bencana tidak hanya melingkupi unsur struktur saja,
akan tetapi juga meliputi unsur non struktur. Unsur non stuktur yang
perlu dikembangkan dalam upaya kesiapsiagaan di tingkat sekolah
meliputi:
a) pengetahuan, sikap, dan tindakan
b) kebijakan sekolah/ madrasah
c) perencanaan kesiapsiagaan
d) mobilisasi sumber daya. (Surahman, Edy, & Mukminan, 2017).
22

Pembahasan tentang kesiapsiagaan bencana di sekolah lebih lanjut di


kampanyekan oleh UN/ISDR (United Nasionas/ Internasional Strategy
for Disaster Reduction) dengan didasari berbagai pertimbangan bahwa
anak-anak adalah kelompok yang paling rentan selama kejadian bencana
sehingga perlu dilibatkan dan diperhatikan hak-haknya. Hal ini
menjelaskan bahwa anak-anak memiliki peran dalam pengurangan risiko
bencana dan mereka juga memiliki peran untuk menjadi tutor sebaya bagi
teman mereka yang lain. Terutama yang sedang bersekolah pada saat
berlangsung kejadian. Pada saat bencana, gedung sekolah hancur,
mengurangi usia hidup siswa sekolah dan guru yang sangat berharga, dan
terganggunya hak memperoleh pendidikan sebagai dampak bencana.
Pembangunan kembali sekolah juga memerlukan waktu yang tidak
sebentar dan biaya yang besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh LIPI dan UNESCO ditemukan bahwa tingkat kesiapsiagaan sekolah
lebih rendah dibandingkan dengan kesiapsiagaan masyarakat dan aparat.
Maka dapat disimpulkan sekolah adalah ruang publik yang memiliki
kerentanan tinggi terhadap bencana. Mempertahankan dan membudayakan
kesiapsiagaan bencana ditengah-tengah masyarakat melalui pergerakan di
tingkat sekolah sangat efisien dan penting dalam rangka pengurangan
risiko akibat bencana. (Rifka, 2015).
Banyak faktor yang melatarbelakangi sekolah sebagai wadah yang
ideal dalam membudayakan intervensi pra bencana, antara lain:
1) Sekolah adalah sumber alamiah dukungan sosial bagi anak.
2) Intervensi sekolah dapat menjangkau anak-anak secara luas dan tidak
terhalang oleh jadwal dan dapat diintegrasikan kedalam kurikulum
pelajaran.
3) Guru dan semua personil sekolah telah memiliki bounding dengan
anak-anak didiknya serta dipercayai sebagai promortor peningkat
kesejahteraan anak didiknya.
23

4) Sekolah adalah tempat yang dapat menimbulkan peluang untuk


lahirnya sukarelawan-sukarelawan sosial khususnya yang
diperuntukan dalam masalah alam, seperti gempa bumi.
5) Anak sekolah yang dibekali pengetahuan kebencanaan akan mampu
melahirkan motivasi orang tua dan keluarga agar lebih mempersiapkan
diri tehadap ancaman bencana gempa di rumah. (Rifka, 2015).
d. Parameter Kesiapsiagaan Bencana Pada Siswa
Berdasarkan pada pentingnya mengetahui tingkat kesiapsiagaan
bencana pada siswa sekolah LIPI bersama UNESCO dan ISRD merancang
parameter yang dapat digunakan untuk menilai kesiapsiagaan ditingkat
komunitas sekolah, parameter tersebut antara lain:
1) Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksud pada pembahasan ini dikhususkan
pada pengetahuan dasar menegnai bencana gempa bumu dan tsunami,
seperti dapat mengetahui dan memahami ciri-ciri, penyebab, dan
gelaja dari bencana tersebut. Seiring dengan bertambahnya
pengetahuan tentang kebencanaan maka hal ini turut mempengaruhi
sikap dan kepedulian serta ketahanan untuk siap dan siaga
mengantisipasi bencana. (Subagia, 2015).
Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk
kesiapsiagaan. Dengan adanya pengetahuan terkait kebencanaan pada
seseorang maka dapat diartikan sebagai pemahaman mengenai kondisi
lingkungan dimana seseorang tersebut tinggal. Kondisi lingkungan
yang dimaksud meliputi pengetahuan akan terjadinya bencana serta
kemungkinan bencana yang terjadi dilingkungan atau diwilayahnya,
dampak yang ditimbulkan serta kerentanan bangunan fisik sekolah.
Pengetahuan tentang gempa bumi, tsunami, dan risiko bencana
mencakup pada pengertian bencana alam, kejadian yang menimbulkan
bencana, penyebab gempa, ciri-ciri gempa kuat, dan bangunan tahan
gempa serta tindakan yang diperlukan saat terjadi tsunami, bangunan
24

yang tahan tsunami, dan tindakan yang perlu dilakukan jika air laut
tiba-tiba surut. Untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam
seseorang memiliki motivasi yang dibangun antar individu dalam satu
kelompok/ komunitas agar motivasi itu tetap terjaga (Ginting, 2018).
2) Rencana Tanggap Darurat
Perencanaan tanggap darurat adalah keinginan untuk
mengetahui tindakan yang telah dipersiapkan dalam menghadapi
bencana gempa bumi dan tsunami. Rencana tanggap darurat ini antara
lain harus mencukupi hal-hal yang terkait dengan sistem dan cara
evakuasi, pertolongan, serta penyelamatan korban akibat bencana.
Dengan adanya perencanaan yang matang maka diharapkan mampu
meminimalisasi risiko yang ditimbulkan akibat bencana sekaligus
meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana. Setiap individu
dalam komunitas sekolah harus saling berpartisipasi dalam menyusun
rencana tanggap darurat dan setiap individu harus berperan aktif dan
bertanggung jawab tegas. Contohnya, melibatkan siswa dalam
perencanaan tanggap darurat. Agar tercipta sekolah yang aman dan
siap dalam menghadapi bencana perlu dilakukan secara partisipatif.
Siswa diharapkan mampu menjadi mitra dalam penerapan sekolah
siaga bencana (Wirna & Kurniasaputri, 2020)
Kesiapsiagaan siswa terhadap bencana gempa dan tsunami
dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan siswa sebagai
antisipasi jika terjadi bencana gempa bumi dan tsunami. Pertama yang
dilakukan yaitu penentuan tempat yang aman bagi siswa semestinya
diperlukan rekomendasi bagi guru dan pemerintah setempat. Daerah
yang aman kemungkinan daerah yang tidak terjangkau oleh tsunami
dan dengan mudah dapat diakses siswa. Hal lain yang perlu disiapkan
siswa untuk menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami adalah
mengetahui tempat pengungsian keluarga. Dalam rencana kegiatan
dari bencana perlu adanya pelatihan dan bimbingan tentang apa yang
25

harus dipersiapkan jika terjadi bencana gempa bumi dan tsunami


termasuk tas siaga bencana. Pihak sekolah juga harus membuat jalur
evakuasi. Serta pihak sekolah tidak lupa memiliki sarana pertolongan
pertama serta posko kesehatan sekolah. (Wirna & Kurniasaputri, 2020)
3) Sistem Peringatan Dini Bencana
Sistem peringatan dini adalah upaya yang ditujukan untuk
mencegah adanya atau banyaknya korban akibat bencana dengan cara
memberikan tanda-tanda peringatan yang ada dan yang disepakati
sebelumnya. Peringatan bencana dapat meliputi tanda peringatan dan
distribusi informasi perihal bencana yang akan terjadi. Peringatan
bencana akan berfungsi secara efektif jika didukung dengan adanya
pelatihan dan simulasi yang berkenaan dengan tindakan yang harus
dilakukan jika mendengar peringatan bencana, keamanan dan
bagaimana menyelamatkan diri dari ancaman bencana (Indriasari,
2016).
Peringatan dini adalah informasi yang perlu disebarluaskan
dengan sesegera mungkin sebelum bahaya datang. Tujuan dari
peringatan dini adalah agar warga sekolah dapat menyelamatkan diri
ketempat aman. Informasi tentang bencana dapat dilihat melalui tanda-
tanda atau gejala alam yang terjadi. Jika setelah bencana gempa bumi
besar terjadi pihak sekolah khususnya yang berada di zona pesisir
pantai harus segera mengambil tindakan untuk proses evakuasi warga
sekolah meskipun informasi resmi dari pemerintah atau aparat
berwenang belum diterima (Indriasari, 2016).
Sistem peringatan dini yang dikembangkan di sekolah
bertujuan untuk memberdayakan siswa agar dapat bertindak tepat
dalam menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan maupun
kematian akibat bencana. Sebagai suatu bentuk perencanaan dalam
pengurangan risiko akibat bencana, sistem peringatan dini memiliki
syarat antara lain:
26

a) Ada informasi resmi yang dapat dipercaya.


b) Ada alat dan tanda bahaya yang disepakati sekolah.
c) Ada cara dalam menyebarluaskan informasi tersebut kepada
seluruh warga sekolah.
Pengetahuan siswa tentang sistem peringatan dini bencana dapat
membantu mereka dalam mengartikan dan memahami instruksi yang
diberikan guru dalam merespon peringatan bencana yang diterima
komunitas sekolah, berkaitan dengan pengetahuan siswa dalam sistem
peringatan bencana, alat yang digunakan sebagai peringatan bencana
dapat berupa bel, kentongan atau lonceng. Tanda peringatan tersebut
selama ini memang masih digunakan, sehingga siswa dapat mendengar
dan mengetahui meskipun tidak dapat digunakan untuk peringatan
tsunami. Siswa juga dapat mengetahui sistem peringatan dini tsunami
melalui media cetak dan elektronik (Supardi, 2016).
4) Mobilisasi Sumber Daya
Mobilisasi sumber daya dalam konteks dalam konteks
kesiapsiagaan siswa adalah kemampuan sekolah dalam memobilisasi
sumber daya siswa, guru, dan warga sekolah lainnya serta dalam
mengadakan pendanaan, sarana dan prasarana untuk kegawatdaruratan
(Larasati, Sri. 2018). Dalam menjamin kesiapsiagaan bencana, sekolah
harus menyiapkan sumber daya manusia, sarana, prasarana, dan finansial
yang cukup dalam pengelolaanya. Mobilisasi sumber daya siswa dalam
konteks kesiapsiagaan bencana yang didasarkan pada kemampuan sekolah
itu sendiri, dimana mobilisasi ini juga membuka peluang partisipasi bagi
pemangku kepentingan:
a) Semua parameter yang digunakan dalam kesiapsiagaan bencana
komunitas sekolah diatas saling berkaitan satu sama lain dan tidak
berdiri sendiri. Melalui pengukuran yang baik dan tepat maka dengan
menggunakan parameter ini akan dapat diketahui tingkat
27

kesiapsiagaan atau ketahanan sekolah terhadap ancaman bencana


terutama bencana gempa bumi dan tsunami.
b) Kebijakan dan panduan meliputi kebijakan pendidikan yang terkait
dengan kesiapsiagaan komunitas sekolah, UU No.24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Surat Edaran 70a/MPN/2010), peraturan Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, Surat Keputusan Kepala Sekolah tentang
Gugus Siaga Bencana di sekolah, dan kebijakan sekolah tentang
pengintegrasian materi kesiapsiagaan dalam mata pelajaran yang
relevan atau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah serta mobilisasi
sumber daya di sekolah untuk peningkatan kesiapsiagaan komunitas
sekolah.
c) Rencana tanggap darurat terkait dengan evakuasi, pertolongan dan
penyelamatan agar korban bencana dapat diminimalkan. Rencana yang
berkaitan dengan evakuasi mencakup tempat-tempat evakuasi, peta
dan jalur evakuasi, peralatan dan perlengkapan, latihan/simulasi dan
prosedur tetap (protap) evakuasi. Penyelamatan dokumen-dokumen
penting sekolah juga perlu dilakukan, seperti copy atau salinan
dokumen perlu disimpan di tempat yang aman.
d) Parameter peringatan bencana yang meliputi tanda peringatan dan
distribusi informasi akan terjadinya bencana. Peringatan dini bertujuan
untuk mengurangi korban jiwa, karena itu pengetahuan tentang
tanda/bunyi peringatan, pembatalan dan kondisi aman dari bencana
sangat diperlukan. Penyiapan peralatan dan perlengkapan untuk
mengetahui peringatan sangat diperlukan, demikian juga dengan
latihan dan simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar
peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam
waktu tertentu sesuai dengan lokasi di mana masyarakat sedang berada
saat terjadi bencana.
28

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan suatu bentuk teori yang dapat menjelaskan
keterkaitan antara variabel-variabel, baik variabel yang akan diteliti maupun
variabel yang tidak diteliti (Nursalam, 2017).

Factor predisposisi Factor pendorong


Factor pemungkin

 Pengetahuan  Petugas kesehatan


 Sarana dan prasarana
 Sikap  Dukungan keluarga
 Fasilitas kesehatan bagi
 Kepercayaan masyarakat  Tokoh masyarakat
 Nilai yang di anut setempat
 Tingkat pendidikan
 Tingkat social ekonomi

Kesiapsiagaan dengan metode


Respon sosial
simulasi
(adopsi perilaku)
Anak-anak SD Impres 1
Kayumalue Pajeko dapat
menerapkan konsep kesiapsiagaan
bencana
Perilaku anak usia sekolah dalam kesiapsiagaan
meningkat
Pengetahuan tentang kesiapsiagaan
PENGETAHUAN KESIAPSIAGAAN
bencana dapat di pahami deang
lebih efektif

Kesadaran dalam
Anak-anak SD Impres 1 Kayumalue
melakukan kesiapsiagaan
Pajeko pencegahan yang dapat
bencana
mengurangi terjadinya bencana

Keterangan
Diteliti :
Tidak di teliti :

Gambar 2.5 Kerangka Konsep


29

C. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Adakah pengaruh simulasi bencana terhadap pengetahuan dan kesiapsiagaan
dalam menghadapi bencana di SD Impres 1 Kayumalue Pajeko.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualititatif, yang berlandaskan filsafat


positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,
dengan menggunakan rancangan deskriptif analitik, yaitu memberi gambaran
terhadap objek yang diteliti melalui sampel yang dikumpulkan sebagaimana
adanya. (Nursalam, 2017). Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy
Eksperimental, dengan pendekatan pre-post test control group design, yaitu
rancangan penelitian yang menggunakan satu kelompok subjek dengan cara
melakukan pengukuran sebelum dan setelah perlakuan. Efektifitas perlakuan ini
dinilai dengan cara membandingkan nilai post test dengan pre test( Sugiyono,
2015).

Subjek Pre-test Perlakuan Post-test


K-A 01 X 02
K-B 03 - 04
Waktu 1 Waktu 2 Waktu 3
Gambar 3.1 Desain Penelitian
(Sumber : Notoatmodjo, 2018)
Keterangan:
K-A : Kelompok eksperimental (kelompok yang diberi perlakuan)
K-B :kelompok control (kelompok yang tidak diberi perlakuan simulasi
kesiapsiagaan bencana)
01 : pre-test atau hasil pengukuran pengetahuan dan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana pada kelompok eksperimental)
03 : post-test atau hasil pengukuran pengetahuan dan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana pada kelompok kontrol)
X : perlakuan berupa simulasi kesiapsiagaan bencana pada
kelompok eksperimental

30
31

- : tidak diberi perlakuan simulasi kesiapsiagaan bencana pada kelompok


control
02 : post-test atau hasil pengukuran pengetahuan dan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana pada kelompok experimental ( pengaruh intervensi
simulasi kesiapsiagaan bencana)
04 : post-test atau hasil pengukuran pengetahuan dan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana pada kelompok control (tanpa pengaruh intervensi
simulasi kesiapsiagaan bencana)
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di SD Impres 1
Kayumalue Pajeko.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli 2023.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Seluruh objek yang akan diteliti disebut sebagai populasi (Nursalam,
2017). Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh siswa kelas 5, dan 6
SD Impres 1 Kayumalue Pajeko yang aktif selama penelitian berlangsung
sebanyak 66 siswa.
2. Sampel
Populasi yang benar-benar mampu mewakili dan menggambarkan
keadaan sebenarnya adalah sampel (Nursalam, 2017). Besar sampel pada
penelitian ini adalah 66 total sampel
3. Tekhnik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total
sampling. total sampling adalah sejumlah 66 dengan membagi kelompok
control 33 sampel dan kelompok perlakuan 33 sampel.
Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian yaitu:
1. Kriteria inklusif
32

a. Merupakan siswa kelas 5, dan 6.


b. Siswa bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed
concent.
2. Kriteria eklusif
a. Siswa yang tidak hadir saat dilakukan simulasi bencana gempa bumi.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel independen (variabel bebas)

Variabel Independen adalah variabel yang mempengaruhi atau nilainya


menentukan variabel lain. (Nursalam, 2017). Variabel Independen dalam
penelitian ini yaitu pemberian simulasi bencana.
2. Variabel Dependen (variabel teriakat)

Variabel Dependen adalah variabel yang dilainya dipengaruhi serta


ditentukan oleh variabel lain. (Nursalam, 2017). Variabel Dependen pada
penelitian ini yaitu pengetahuan dan kesiapsiagaan bencana.
E. Definisi Operasional
1. Simulasi Bencana

Definisi : Simulasi sangat perlu di lakukan agar para peserta dapat


menambah pengetahuannya dibidang bencana dan mengetahui
tindakan yang harus dilakukan saat evakuasi terjadi serta dapat
menyebar luaskan informasi terkait kebencanaan.
Alat ukur : SAK (Satuan Acara Kegiatan)
Cara ukur :memberikan penyluhan atau simulasi pada responden dengan
melihat alur SAK.
2. Pengetahuan
Definisi operasional : Upaya untuk memberikan informasi tentang
kesiapsiagaan menghadpai bencana
Alat ukur : Kuesiomner
Cara ukur : mengisi lembaran kuesioner
Skala ukur : Ordinal
33

Hasil ukur : 2. Baik (76-100 %)


1. Cukup (56-75 %)
0. Kurang (<56 %)
3. Kesiapsiagaan bencana
Definisi : Kesiapsiagaan merupakan gabungan dari komponen pengetahuan,
rencana tanggap darurat, sistem peringatan dini, dan mobilisasi
sumber daya.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : mengisi lembaran kuesioner
Skala : Ordinal
Hasil ukur : 2. Rendah jika nilai <55%
1. Sedang jika nilai 55 - 79%
0. Tinggi jika nilai 79 - 100%(42)
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner kesiapsiagaan
dan pengetahuan. Responden akan mengisi lembar kuesioner. Kuesioner
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mengatur variabel hingga memiliki
makna dalam pengujian hipotesis penelitian. (Sugiyono, 2018).
1. Pengetahuan
Peneliti menggunakan kuesioner yang terdiri dari 8 pertanyaan. Pada
kuesioner pengetahuan ini penilaian menggunakan skala gutman, yaitu
benar=1 dan salah= 0. Kuesioner ini ambil dari penelitian (Marinda, 2016).
2. Kesiapsiagaan bencana
Peneliti menggunakan kuesioner ESSA (Educational Stress Scale for
Adolescents) yang disusun oleh Made Ayu Rismayanthi (2019). Instrumen
menggunakan skala Guttman dengan penilaian
a. Ya (1)
b. Tidak (0)
34

Skala ini memili 20 item pertanyaan, yang telah dilakukan uji reliabilitas
dan validitas. Skala ESSA yang telah dilakukan validitas, serta diuji pada 125
siswa kelas 5 dan 6 dengan hasil indeks reliabilitas Cronbach’s Alpha sebesar
0,786, jumlah pertanyaan yang valid sebanyak 20 pertanyaan dengan indeks
validitas Validitas sebesar 0,23-0,53.
G. Tekhnik Pengambilan dan Pengumpulan Data
1. Tekhnik Pengambilan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dikumpulkan melalui wawancara
dengan kepalah sekolah SD Impres 1 Kayumalue Pajeko. Adapun langkah-
langkah pengumpulan data sebagai berikut:
a. Peneliti meminta surat persetujuan penelitian yang dibuat oleh bagian tata
usaha Universitas Widya Nusantara Palu melalui kordinasi pembimbing
disampaikan kepada SD Impres 1 Kayumalue Pajeko.
b. Setelah mendapat izin dari kepala sekolah SD Impres 1 Kayumalue
Pajeko, peneliti menemui staf tata usaha untuk menegosiasi pelaksanaan
penelitian.
c. Peneliti berkordinasi dengan unit-unit terkait di SD Impres 1 Kayumalue
Pajeko yaitu guru-guru di sekolah SD Impres 1 Kayumalue Pajeko.
d. Melakukan pendekatan dengan calon responden serta memberikan
penjelasan tentang penelitian sehingga diperoleh persetujan.
e. Responden diminta untuk menandatangani persetujuan ikut dalam
penelitian.
f. Kuesioner dibagikan oleh peneliti kepada responden.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data primer dan
data sekunder. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari Kepala
Sekolah SD Impres 1 Kayumalue Pajeko. Data yang diperoleh langsung dari
sumber data disebut data primer, responden yang dijadikan sampel dalam
penelitian akan diminta untuk mengisi kuesioner secara langsung untuk
memenuhi data primer.
35

Langkah-langkah berikut adalah tekhnik pengumpulan data:


a. Editting dilakukan untuk memeriksa adanya kesalahan atau kurangnya
data yang di isi oleh responden.
b. Coding adalah Kegiatan mengklasifikasi data dengan cara memberi kode
untuk memudahkan peneliti pada saat melakukan entri data.
c. Tabulating adalah penyusunan data yang berdasarkan variable yang
diteliti.
d. Entri adalah proses pemasukan data kedalam program computer untuk
selanjutnya di analisa.
e. Cleaning yaitu membersihkan data dengan melihat variable yang telah
di gunakan apakah data-datanya sudah benar atau belum.
f. Describing yaitu menggambarkan atau menjelaskan data yang sudah
dikumpulkan. (Nursalam, 2017).
H. Analisa Data
Data yang diperoleh akan diolah dengan program pada komputer kemudian
dianalisa sebagai bahan pertimbangan pengambilan kesimpulan dan keputusan.
(Nursalam, 2017). Analisa data yang digunakan dalam penelitian tersebut
meliputi :
1. Analisa Univariat

Analisis Univariat adalah analisis yang dilakukan dalan menganalisis


tiap variabel dari hasil penelitian. Tujuan Analisis Univariat yaitu untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.
(Sugiyono, 2018) Dengan rumus:
f
P= x 100%
n

Dimana : P = Presentase
f = Jumlah jawaban benar
n = Jumlah
36

2. Analisi Statistik

Data tersebut diolah dan diuji dengan menggunakan uji statistic


Wilcoxon Signed Rank Test untuk mengetahui komparatif dua sampel
berkolerasi bila data berbentuk ordinal. Selanjutnya, untuk menganalisis
perbedaan antara perubahan pengetahuan dan sikap pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol menggunakan uji Mann Whitney U Test dengan tingkat
kemaknaan α ≤ 0,05 apabila p ≤ α maka H1 diterima (Sugiyono. 2018).
a. Uji yang dilakukan sebelum dan sesudah merupakan uji komparasi antara
dua nilai dalam pengamatan yang berpasangan.
b. Dengan syarat uji parametrik sebagai berikut :
1) Satu sampel (setiap elemen mempunyai 2 nilai pengamatan).
2) Data berbentuk kuantitatif.
3) Distribusi data normal.
Rumus uji Paired sampel t-test (uji-t berpasangan) sebagai berikut
(Sugiyono, 2018). Rumus uji T-Test :
x 1−x 2

t=
√ s 1 ( 2) s 2( 2) 2 r ( s 1) ( s 2)
nl
+
n2

√ n 1 √n 1

Keterangan
x1 = Rata-rata sampel 1
x2 = Rata-rata sampel 2
s1 = Simpangan baku sampel 1
s2 = Simpangan baku sampel 2
s1 (2) = variasi sampel 1
s2 (2) = variasi sampel 2
37

I. Bagan Alur Penelitia


Proposal penelitian

Mengurus surat izin penelitian

S1 Keperawatan

Tata usaha Universitas Widya Nusantara

SD Impres 1 Kayumalue Pajeko

Populasi
Seluruh Siswa SD Impres 1 Kayumalue Pajeko sebanyak 66 orang
anak.

Sampel
Sampel penelitian ini berjumlah 66 responden.

Teknik Sampling
Total Sampling

Pengumpulan Data
Lembar kuesioner

Variabel Independen Variabel Dependen


Pemberian simulasi Kesiapsiagaan bencana

Analisa Data
Uji Paired T-tes

Hasil Dan Pembahasan

Kesimpulan Dan Saran

Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian


38

DAFTAR PUSTKA

Apriyaanti, Warda. “Implementasi Program Mitigasi Bencana melalui Sekolah Siaga


Bencana di SD Negeri Baluwarti, Kotagede, Yogyakarta.” Skripsi,
Universitas Negeri Yogyakarta, 2019.
Fauzi, dan Herawati. Panduan Tanggap Darurat Bencana Banjir. Jakarta: Erlangga
Group, 2018.
Hayuditias, Beatrix. “Pentingnya Penerapan Pendidikan Mitigasi Bencana Di Sekolah
untuk mengetahui Kesiapsiagaan Peserta Didik.” Jurnal Edukasi Nonformal
01 01 (21 April 2020).
Larasati, Sri. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Deepublish CV Budi
Utama, 2018.
Lativa, dan Novita Nuryanto. “Implementasi Pendidikan Mitigasi Bencana Gempa
Bumi dalam Pembelajaran IPS SD.” Trapsila Jurnal Pendidikan Dasar, 02
01, Juli 2020.
Vindy A.M. Pengaruh pendidikan kesiapsiagaan bencana dengan metode simulasi
terhadap pengatahuan, sikap, dan tindakan dalam menghadapi bencana
kebakaran di karang taruna. Skripsi: Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga Surabaya. 2016.
Mujibnurrahman, Nuraeni, dan Rudi. “Pentingnya Pendidikan Kebencanaan Di
Satuan Pendidikan Anak Usia Dini.” Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 02,
04 (Maret 2020).
Nur, Arief Mustofa. “Gempa Bumi, Tsunami dan Mitigasinya.” UNNES Jurnal
Geografi 07 01 (t.t.). 2020.
Nursyabani. “Mitigasi Bencana dalam Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Ancaman
Gempa Bumi di Universitas Andalas.” Jurnal ILMU ADMINISTRASI
NEGARA, 02, 08 (September 2020). “Penelitian Oleh Tim Peneliti ITB :
Gempa Berpotensi Tsunami Di Selatan Jawa.”
Https://egsa.geo.ugm.ac.id/2020/10/10/penelitian-oleh- tim-peneliti-itb
gempa berpotensitsunami-di-selatan-jawa/, Oktober 2020.
39

Rizaldy, David. “Implementasi Metode Pembelajaran Simulasi Gempa Bumi Mata


Pelajaran Geografi Materi Mitigasi dan Adaptasi Bencana Alam terhadap
Hasil Belajar Siswa di kelas XI IPS MAN 1 Sragen Tahun 2018/2019.”
Skripsi, 2019.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta, 2015.
Surahman, Edy, dan Mukminan. “Peran Guru IPS Sebagai Pendidik dan Pengajar
dalam Meningkatkan Sikap Sosial dan Tanggung Jawab Sosial Siswa SMP.”
Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS 1 (Maret 2017).
Wiarto, Giri. Tanggap Darurat Bencana Alam. Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2018.
Zakiah, Rahman, dan Reza. “Meningkatkan Tanggung Jawab Mahasiswa Melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Pembelajaran IPS.”
International Journal Pedagogy of Social Studies 2 (2019).
Abdurrahman Ginting. 2018. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung:
Humaniora.
Maulana Yusuf, Indina, Otib. 2018. Penerapan Metode Simulasi Untuk
Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa dalam Pembelajaran IPS. Jurnal
Tunas Bangsa Vol. V, No.2. Universitas Negeri Jakarta.
Priyo Mukti dan Chilyatiz Zahroh. 2020. Pengaruh Sosialisasi Kesiapsiagaan
Bencana Melalui Metode Simulasi Terhadap Peningkatan Keterampilan
dalam Menghadapi Bencana Pada Mahasiswa Siaga Bencana (Magma).
Jurnal Ilmiah Kesehatan (Journal of Health Science) Vol. 13 No. 2.
Universitas Nahdatul Ulama Surabaya.
Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Supardi. 2015. Aplikasi Statistika Dalam Penelitian: Konsep Statistika yang Lebih
Komprehensif. Bandung : Alfabeta. Surahmad. 2004. Pengantar Interaksi
Belajar Mengajar. Bandung.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2019. Kejadian Gempa Bumi Di
Bali. http://bnpb.cloud/dibi/laporan4. Diakses tanggal 20 November 2018.
40

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2018. Definisi dan Jenis


Bencana. https://www.bnpb.go.id/home/definisi. Diakses tanggal 20
November 2018.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). 2018. Visi, Misi, Tujuan Dan
Sasaran, Strategi Dan Kebijakan BPBD.
http://balisafety.baliprov.go.id/id/Profil. Diakses tanggal 20 November
2018.
Indriasari, F. N. 2016. Pengaruh Pemberian Metode Simulasi Siaga Bencana Gempa
Bumi Terhadap Kesiapsiagaan Anak Di Yogyakarta. Jurnal ICT. 2(1): 17–
23.
Nursalam. 2017. Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 4. Jakarta: Salemba
Medika.
Rifka, S. J. 2015. Pengaruh Penyuluhan Bencana Banjir Terhadap Kesiapsiagaan
Siswa SMP Katolik Soegiyo Pranoto Manado Menghadapi Banjir. Jurnal
ICT. 3(2): 1-8.
Subagia. 2015. Pelatihan Mitigasi Bencana Alam Gempa Bumi Pada Siswa Sekolah
Dasar Negeri 1 Pengastulan Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng Bali.
Jurnal ICT.4(1): 585–598.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&K). Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai