Anda di halaman 1dari 26

USULAN PENELITIAN

ANALISIS JANGKAUAN, KAPASITAS, DAN JALUR


TERDEKAT MENUJU BANGUNAN SHELTER EVAKUASI
TSUNAMI DI KABUPATEN PANDEGLANG

YULINAR VERONICA

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
ANALISIS JANGKAUAN, KAPASITAS, DAN JALUR
TERDEKAT MENUJU BANGUNAN SHELTER EVAKUASI
TSUNAMI DI KABUPATEN PANDEGLANG

YULINAR VERONICA

Usulan Penelitian
sebagai salah satu syarat melakukan penelitian
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020

i
Judul : Analisis Jangkauan, Kapasitas, dan Jalur
Penelitian Terdekat Menuju Bangunan Shelter Evakuasi
Tsunami Di Kabupaten Pandeglang
Nama : Yulinar Veronica
NIM : F44160060

Bogor, 3 Maret 2020


Disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Sutoyo S.TP., M.Si. Maulana Ibrahim Rau, S.T, M.Sc


NIP. 19770212 200701 1 003

Diketahui oleh
Ketua Departemen / Program Studi

Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan, DEA


NIP. 16580527 198103 2 001

ii
PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya usulan penelitian yang berjudul “Analisis Jangkauan dan Kapasitas
Bangunan Shelter Evakuasi Tsunami di Kabupaten Pandeglang” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Penyusunan usulan penelitian ini merupakan
salah satu syarat melakukan penelitian pada Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan.
Penyusunan dapat terlaksana dengan baik berkat dukungan berbagai pihak
yang turut memberi kesempatan, pengarahan, dan bimbingan dalam penyusunan
Usulan Penelitian ini. Diucapkan terima kasih kepada Sutoyo S.TP, M.T sebagai
dosen pembimbing tugas akhir. Walaupun demikian, disadari usulan penelitian ini
masih belum sempurna sehingga kritik, saran, dan masukan sangat di harapkan.
Semoga usulan penelitian ini dapat membantu kelancaran pelaksanaan penelitian.

Bogor, Maret 2020

Yulinar Veronica

iii
DAFTAR ISI

PRAKATA iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN v
PENDAHULUAN v
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Tsunami 3
Mitigasi Tsunami 3
Bangunan Shelter 5
Kabupaten Pandeglang 6
Zona Bahaya Tsunami Kabupaten Pandeglang 7
Sistem Informasi Geografis (SIG) 8
ArcGIS 10.4.1 8
Surface Water Modeling System 12.3.5 11
METODE PENELITIAN 12
Lokasi dan Waktu 12
Alat dan Bahan 12
Prosedur Penelitian 12
DAFTAR PUSTAKA 15

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kategori kecepatan berjalan saat evakuasi 4

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Waktu terjadi gempa hingga tsunami tiba di pantai 5
Gambar 2 Diagram alir penelitian 14

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rencana pelaksanaan penelitian 18
Lampiran 2 Lokasi penelitian 19

v
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan proporsi laut yang besar. Pada Tahun
2010 Kemendagri telah merilis bahwa luas daratan NKRI adalah 1.910.931,32 km
2 atau 35% dari total seluruh wilayah NKRI. Wilayah laut, Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) dalam buku statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2011
dinyatakan bahwa Indonesia memiliki luas laut teritorial pedalaman seluas
284.210,900 km2, luas Zone Ekonomi Eksklusif seluas 2.981.211 km 2 dan luas
laut 12 Mil seluas 279.322 km2. Dikarenakan daerah laut yang sangat luas,
Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang paling sering dilanda
tsunami dengan 71 kejadian atau hampir 9% dari jumlah tsunami di dunia
(Pratomo dan Rudiarto 2013). Namun, bahaya yang mengancam pesisir Indonesia
adalah tsunami lokal yang menyisakan sedikit waktu untuk penyebaran peringatan
dini dan melakukan evakuasi (Hoppe et al 2010). Sehingga, evakuasi diri dari
ancaman tsunami menjadi prioritas utama. Menyelamatkan diri dari tsunami
dilakukan dengan keluar dari jangkauan gelombang tsunami dan air genangan
tepat pada waktunya dan merupakan langkah penting untuk upaya jiwa dari
Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No.24 Tahun 2007). Mitigasi
dapat bersifat struktural maupun non-struktural. Terdapat kecenderungan bawa
sudah menjadi kebutuhan untuk lebih menitik beratkan pada upaya mitigasi dari
pada respon pasca kerusakan lingkungan (Yuhanah 2014). Upaya mitigasi
bencana yang bersifat struktural salah satunya ialah dengan membangun shelter.
Shelter merupakan bangunan yang digunakan untuk evakuasi saat bencana,
namun juga dapat digunakan untuk tujuan lain misalnya untuk perkantoran
maupun tempat rekreasi ketika tidak terjadi bencana.
Kabupaten Pandeglang merupakan sebuah kabupaten yang terletak di
Provinsi Banten. Posisinya berbatasan dengan Kabupaten Serang di utara,
Kabupaten Lebak di timur serta Samudra Indonesia di barat dan selatan. Secara
geologis, wilayah Kabupaten Pandeglang merupakan dataran rendah, sebagian
kecil bergelombang dan di Kawasan selatan terdapat pegunungan. Daerah
Pandeglang di dominasi oleh satuan endapan gunungapi (dari Gunung Asupan,
Gunung Pulosari, dan Gunung Karang), Formasi Bojong, Formasi Bojongmanik,
Formasi Cipacar, satuan tuf Banten, dan aluvial. Kabupaten Pandeglang
merupakan salah satu kabupaten yang terkena dampak paling parah pada tsunami
Selat Sunda tahun 2018. Terdapat beberapa zona sumber gempa di wilayah Selat
Sunda, antara lain zona sumber gempa subduksi, yaitu daerah pertemuan lempeng
Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Selain zona subduksi, terdapat zona
sumber gempa lain yang berada di wilayah Selat Sunda, antara lain sesar
Sumatera segmen Teluk Semangka dan sesar Ujungkulon (Gumilar et al 2012).

1
Hal tersebut membuat potensi gempa dan tsunami di Kabupaten Pandeglang
semakin membesar, sehingga pembagunan sistem kesiapsiagaan dan mitigasi
bencana perlu dilakukan.

Perumusan Masalah
Perencanaan mitigasi saat dibutuhkan untuk mengurangi dampak dari
bencana tsunami di Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan hal tersebut maka
permasalahan yang ada adalah:
1. Bagaimana ketersediaan bangunan shelter evakuasi tsunami di Kabupaten
Pandeglang?
2. Apakah jangkauan bangunan shelter evakuasi tsunami yang ada sudah
memenuhi kebutuhan untuk mitigasi?
3. Apakah kapasitas bangunan shelter evakuasi yang ada sudah memenuhi
kapasitas yang dibutuhkan untuk mitigasi?
4. Bagaimana jalur yang sebaiknya digunakan saat dilakukannya evakuasi
menuju lokasi bangunan shelter?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis jangkauan bangunan shelter evakuasi tsunami di Kabupaten
Pandeglang dari daerah terdampak bencana tsunami
2. Menentukan kapasitas yang dapat ditampung oleh bangunan shelter
evakuasi tsunami di Kabupaten Pandeglang
3. Menentukan jalur terdekat menuju lokasi bangunan shelter evakuasi
tsunami di Kabupaten Pandeglang

Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini yaitu memberikan informasi kepada
Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Pandeglang mengenai:
4. Lokasi bangunan shelter evakuasi tsunami yang ada di Kabupaten
Pandeglang
5. Jangkauan bangunan shelter evakuasi tsunami di Kabupaten Pandeglang
6. Kapasitas yang dapat ditampung oleh bangunan shelter evakuasi tsunami
di Kabupaten Pandeglang
7. Jalur terdekat menuju lokasi bangunan shelter evakuasi tsunami di
Kabupaten Pandeglang

Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup dari penelitian ini:
1. Penelitian dilakukan di lokasi zona bahaya tsunami di Kabupaten
Pandeglang

2
2. Perbandingan kapasitas shelter yang ada dan yang dibutuhkan dilakukan
berdasarkan jumlah penduduk perkecamatan di Kabupaten Pandeglang.
3. Jalur terdekat menuju lokasi shelter dilakukan dari kelurahan di Kabupaten
Pandeglang yang masuk kedalam lokasi zona bahaya tsunami

TINJAUAN PUSTAKA

Tsunami
Tsunami berasal dari Bahasa Jepang tsu dan nami yang arti harfiahnya
adalah gelombang di pelabuhan, terjadi karena adanya gangguan impulsif pada air
laut akibat terjadinya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba (Sudarmono
2005). Sehingga dalam istilah yang paling sederhana, tsunami adalah serangkaian
gelombang laut yang umumnya paling sering diakibatkan oleh gerakan-gerakan
dahsyat di dasar laut (Rudyanto 2010). Selama ini tsunami masih dianggap
bencana alam yang tidak membahayakan (underrated hazard), karena
kedatangannya yang cukup jarang. Penyebab terjadinya tsunami ada tiga,
diantaranya yaitu gempa bawah laut (ocean-bottom earthquake), tanah longsor
bawah laut (submarine landslide), dan gunung berapi (volcanoes). Namun, tidak
semua gempa berakibat tsunami, hal ini tergantung beberapa faktor utama seperti
tipe sesaran (fault type), kemiringan sudut antar lempeng (dip angle), dan
kedalaman pusat gempa (hypocenter).
Tsunami adalah serangkaian gelombang yang dibangkitkan oleh adanya
pergerakan di bawah laut seperti gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung api,
atau jatuhnya benda-benda angkasa (Sutikno 2012). Perubahan permukaan laut
saat terjadinya tsunami terjadi secara tiba-tiba. Gelombang tsunami dapat
bergerak dan merambat ke segala arah. Tenaga yang terkandung pada gelombang
tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Gelombang
tsunami yang yang berada di laut dalam akan memiliki kecepatan lima ratus
hingga seribu kilometer per jam dengan ketinggian gelombang hanya satu meter.
Sedangkan saat akan mencapai daratan, kecepatannya akan menurun hingga 30
kilometer per jam, namun ketinggiannya dapat mencapai puluhan meter. Menurut
Nur (2010), dampak yang ditimbulkan oleh bencana gempa bumi dan tsunami
sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu besarnya kekuatan
gempa, jarak episentrum dengan kawasan rawan bencana, kedalaman
hiposentrum, letak hiposentrum, kepadatan penduduk, kualitas dan kuantitas
bangunan, dan kesiapan masyarakat.

Mitigasi Tsunami
Berdasarkan PP No. 21 Tahun 2008, mitigasi bencana adalah serangkaian
upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadpi ancaman bencana. Mitigasi
merupakan berbagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana

3
bagi masyarakat yang berada pada Kawasan rawan bencana baik bencana alam,
bencana ulah manusia, maupun gabungan dari keduanya dalam suatu negara atau
masyarakat. Mitigasi dibagi menjadi dua macam, yaitu mitigasi struktural dan
mitigasi non struktural. Mitigasi struktural ditujukan dalam rangka pembuatan
infrastruktur sebagai upaya minimalisasi dampak dari bencana, sedangkan
mitigasi non struktural lebih menekankan kepada peningkatan kapasitas
masyarakat yang dilakukan melalui penyebaran informasi tentang tata cara
mengenali, mencegah, dan penanganan bencana (Rahman 2015). Ada beberapa
upaya yang bisa dilakukan untuk melindungi pantai dari terjangan tsunami.
Idealnya, menggunakan mitigasi yang komprehensif, yaitu dengan
mengkombinasikan pemodelan fisik penjalaran tsunami dengan analisis
mekanisme evakuasi yang sesuai dengan kemampuan manusia dan ketersediaan
sarana dan prasarana di lokasi tinjauan (Baeda et al 2016).
Walau bencana tsunami adalah efek dari adanya kejadian gempabumi yang
sulit untuk diprediksi, letusan gunung api di laut, maupun longsoran dasar laut,
upaya manusia untuk mengantisipasi bencana tsunami terus dilakukan. Datangnya
gelombang tsunami lebih mudah diketahui dibandingkan datangnya gelombang
gempabumi. Hal ini dikarenakan kecepatan gelombang gempa yang berkisar
antara 4-11 km/detik, sedangkan keceatan penjalaran gelombang tsunami
bervariasi antara 10 km/jam (0,0001 km/detik) sampai 800 km/jam (0,01
km/detik), bergantung pada kedalaman laut (Marwanta 2005). Hal ini
menyebabkan gelombang tsunami jauh tertinggal dibanding gelombang gempa
saat tiba di daratan, sehingga perbedaan waktu tiba gelombang tersebut dapat
dimanfaatkan untuk bersap-siap menghadapi bencana gelombang tsunami.
Menurut Budiman dan Diposaptono (2005), ancaman tsunami dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu jarak dekat (local field atau near field
tsunami) dan jarak jauh (far field tsunami). Kejadian tsunami di Indonesia
umumnya berupa tsunami jarak dekat dengan lama waktu antara 10 hingga 20
menit setelah kejadian gempa (Rahmadhani et al 2013). Hingga saat ini, belum
ada standar nasional maupun internasional yang dapat digunakan sebagai acuan
untuk menentukan kecepatan berjalan pengungsi, karena kecepatan berjalan
selama evakuasi berbeda-beda dan sebagian besar bergantung pada usia, kekuatan
fisik, keadaan kesehatan dan tingkat cacat (Nurrady 2015). Namun, Potangaroa
(2008) menyelidiki gerakan berjalan orang berdasarkan video yang diambil saat
tsunami Aceh 26 Desember tahun 2004, dan menyarankan tiga kategori pengungsi
berdasarkan kecepatan mereka berjalan, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1 Kategori kecepatan berjalan saat evakuasi
Kondisi Berjalan Kecepatan Evakuasi (m/det)
Seseorang dengan anak (A person with a
1.5
child)
Orang tua bergerak bebas (An independent
1.0-1.5
elder person)

4
Orang tua sudah ketergantungan (A dependent
1.0
elderly person)
Sumber: Potangoroa dalam Sutikno (2012)

Jika kecepatan gelombang tsunami ini dihubungkan dengan kecepatan


berjalan ataupun berlarinya manusia, tentu saja akan dapat ditentukan berapa lama
waktu dan jarak yang dibutuhkan untuk korban bencana tsunami bisa
menyelamatkan diri menuju daerah evakuasi dan tempat/gedung tinggi.
Kecepatan evakuasi tsunami dirujuk dari kecepatan berjalan orang tua sudah
ketergantungan, yaitu 1.0 m/det. Kecepatan ini dipilih karena juga pengungsi
dengan kecepatan terendah dapat diselamatkan, maka otomatis pengungsi lain
diasumsikan juga selamat (Cahyono dan Muhajir 2013). Namun, Menurut
Budiarjo (2006), waktu datang gelombang tsunami adalah 40 menit, dengan
sistem peringatan dini tsunami dibutuhkan waktu 13 menit dan untuk koordinasi
dengan pihak berwenang adalah 8 menit, tersisa waktu 19 menit dengan
pembagian waktu 15 menit menuju bangunan shelter, dan 4 menit untuk menaiki
bangunan shelter (Budiarjo 2006). Sehingga bangunan shelter harus dapat
dijangkau masyarakat dengan waktu kurang lebih 19 menit setelah peringatan dini
tsunami disiarkan kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Waktu terjadi gempa hingga tsunami tiba di pantai


(Sumber: Budiarjo 2006)

Bangunan Shelter
Dalam aksi evakuasi ada dua macam cara yang dilakukan, yaitu evakuasi
vertikal dan evakuasi horizontal. Prinsip evakuasi tsunami adalah dengan
meninggalkan wilayah rawan tsunami menuju wilayah yang aman. Hal tersebut
secara sederhana dipahami dengan meninggalkan wilayah yang dekat dengan
pantai menuju dataran yang jauh dari pantai sehingga aman dari gelombang
tsunami, yang kegiatannya dapat disebut dengan evakuasi horizontal. Sedangkan
evakuasi yang dilakukan dengan mengarahkan pengungsi ke area aman yang
berada dalam area jangkauan tsunami dinamakan evakuasi vertikal (Aji 2019).
Evakuasi horizontal yang diterapkan bila terjadi tsunami pada daerah pantai
adalah terjadinya evacuation bottlenecks. Menurut Widyaningrum (2009),
evacuation bottlenecks terjadi karena terpusatnya arah evakuasi menuju jalur-jalur
tertentu yang diperkirakan tidak dapat menampung arus evakuasi. Jalan-jalan
utama di dalam kota justru sejajar dengan garis pantai sehingga kurang efektif

5
sebagai jalur utama evakuasi. Namun, evakuasi vertikal juga memiliki
kekurangan, dimana biasanya ketersediaan dan terbatasnya kapasitas shelter
menjadi hambatan.
Menurut Yuhanah (2014), Bangunan Perlindungan Evakuasi / Evacuation
Shelter Building (ESB) atau bangunan shelter didefinisikan sebagai bangunan
yang berfungsi sebagai tempat tujuan evakuasi tsunami. Bangunan ini dutujukan
untuk tempat evakuasi apabila terjadi bencana dan jika tidak terjadi bencana dapat
digunakan sebagai fasilitas umum seperti tempat ibadah, sosialisasi, dan lainnya
(Alhadi dan Lakosa 2019). Bangunan penyelamatan untuk evakuasi menurut
Departemen Pekerjaan Umum (2010) mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Bangunan umum seperti halnya mesjid, sekolah, pasar atau perkantoran
pemerintah yang tidak memiliki tingkat kerahas seperti halnya bank.
b. Terletak tidak lebih dari 1 km dari konsentrasi penduduk yang harus
diselamatkan
c. Terletak pada daerah diperkirakan hanya akan rusak ringan, bila berada di
daerah yang diperkirakan akan rusak berat, maka bangunan tersebut harus
diperkuat konstruksinya.
d. Terletak pada jaringan jalan yang aksesibel/mudah dicapai dari semua arah
dengan berlari/berjalan kaki.
e. Diperkirakan setiap orang akan membutuhkan ruang minimum 2 m2, sehingga
daya tampung bangunan penyelamatan dapat dihitung sebagai luas lantai
dibagi 2.
f. Untuk bangunan yang lantainya masih satu lantai di rekomendasikan menjadi 2
lantai.
g. Merubah atap bangunan mesjid yang tadinya berupa kubah dan mengerucut
menjadi lantai beton yang dapat dijadikan tempat untuk orang berdiri.
h. Membangun tangga untuk orang naik ke lantai beton di atap bangunan secara
bersamaan.
Peran penting dalam menentukan tempat evakuasi sementara adalah
bangunan harus dapat bertahan dari bencana dan mempunyai lantai di atas tingkat
genangan tsunami. Persyaratan khusus dibutuhkan agar bangunan dapat bertugas
sebagai tempat evakuasi diantaranya:
a. Struktur
b. Lantai evakuasi
c. Fungsi
d. Rancangan dan Kapasitas
e. Lokasi atau Kemudahan Akses
f. Kemudahan akses vertikal
g. Keamanan

6
Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu daerah rawan bencana
tsunami. Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak pada 6021’ hingga 7010’
Lintang Selatan dan 104048’ hingga 106011’ Bujur Timur dengan luas wilayah
2747 kilometer persegi (km2) atau sebesar 29.98 persen dari luas wilayah Provinsi
Banten (Badan Statistik Kabupaten Pandeglang 2019). Letaknya di ujung barat
Pulau Jawa dengan luas wilayah 2.747 km2 dan memiliki panjang garis pantai
230 km, berpenduduk 1.106.788 jiwa. Kabupaten Pandeglang dibagi menjadi 35
kecamatan dengan 13 Kelurahan dan 322 desa, Kecamatan Cikeusik merupakan
kecamatan terluas di Kabupaten Pandeglang dengan luas 322.76 kilometer persegi
sedangkan Labuan merupakan kecamatan terkecil dengan luas 15.66 kilometer
persegi. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Pandeglang antara lain:
a. Sebelah Utara : Kabupaten Serang
b. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
c. Sebelah Barat : Selat Sunda
d. Sebelah Timur : Kabupaten Lebak
Topografi Kabupaten Pandeglang bervariasi antara dataran hingga
bergunung dengan variasi antara 0 hingga 1.778 m dpl, sebagian besar merupakan
dataran rendah dengan luas sekitar 80,07% dari luas wilayah dimana titik tertinggi
berada pada bagian utara yaitu di puncak Gunung Karang dan titik terndah
terletak didaerah pantai dengan ketinggian 0 m dpl (Sukamay dan Susanto 2016).
Jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang pada tahun 2018 sebesar 1.209.011 jiwa
yang terdiri dari 617.012 laki-laki dan 591.999 perempuan (Badan Statistik
Kabupaten Pandeglang 2019).

Zona Bahaya Tsunami Kabupaten Pandeglang


Salah satu daerah yang berpotensi terkena tsunami di Indonesia adalah
wilayah pesisir Kabupaten Pandeglang (Giachetti et al 2012). Keberadaan
Gunungapi Anak Krakatau dan jalur subduksi Selat Sunda menyebabkan
Kabupaten Pandeglang menjadi salah satu daerah yang berpotensi. Selain itu,
sejumlah catatan sejarah mengenai kejadian tsunami di Selat Sunda dan rekam
jejak gempa di Selat Sunda memperkuat potensi tsunami di wilayah pesisir
Kabupaten Pandeglang. Pada tahun 2018, sebagian wilayah pesisir Kabupaten
Pandeglang terkena dampak bencana tsunami di Selat Sunda karena longsoran
dari letusan gunung berapi Anak Krakatau. Alhasil, berdasarkan laporan dari
BNPB DIBI sebanyak 41.132 orang menjadi korban bencana tsunami.
Berdasarkan literatur standar yang dikeluarkan oleh BNPB pada tahun 2012,
kecamatan di Kabupaten Pandeglang harus mengantisipasi potensi tsunami
dengan ketinggian mencapai 10 meter.
Kabupaten Pandeglang terdiri dari 35 kecamatan, 13 kelurahan, dan 326
desa. Dari 35 kecamatan yang ada di Kabupaten Pandeglang, menurut peraturan
daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 3 Tahun 2011 Rencana Tata Ruang

7
Wilayah Kabupaten Pandeglang, Kawasan rawan bencana alam tsunami terletak
pada pesisir pantai di daerah Pantai Selatan dan Pantai Barat. Kawasan tersebut
meliputi 9 kecamatan, yaitu kecamatan Carita, Cigeulis, Labuan, Pagelaran,
Panimbang, dan Sukaresmi pada Pantai Barat dan Kecamatan Cibitung, Cikeusik,
dan Cimanggu pada Pantai Selatan.
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) yang
selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer
yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis
(Aronoff, 1989). Menurut Gistut (1994), SIG adalah sistem yang dapat
mendukung pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan
deskripsi-deskripsi lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang
ditemukan di lokasi tersebut. SIG yang lengkap mencakup metodologi dan
teknologi yang diperlukan yaitu data spasial perangkat keras, perangkat lunak dan
struktur organisasi. Penggunaan Sistem Informasi Geografi (SIG) meningkat
tajam sejak tahun 1980-an. Peningkatan pemakaian system ini terjadi dikalangan
pemerintah, militer, akademis, atau bisnis terutama di negara-negara maju. SIG
merupakan kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat
lunak, data geografi, dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan,
memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk
informasi yang berefernsi geografi. SIG mempunyai kemampuan untuk
menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi,
menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang
akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi
geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai
dasar referensinya.
Fungsi sistem informasi geografis adalah meningkatkan kemampuan
menganalisis informasi spasial secara terpadu untuk perencanaan dan
pengambilan keputusan. Sistem informasi geografis dapat memberikan informasi
kepada pengambil keputusan untuk analisis dan penerapan database keruangan
(Prahasta 2002). Dalam menjalankan fungsinya, SIG membutuhkan beberapa
komponen. Menurut Irwansyah (2013), komponen- komponen yang membangun
sebuah system informasi geografis adalah:
1. Computer system and software
Merupakan system computer dan kumpulan piranti lunak yang digunakan
untuk mengolah data
2. Spatial data
Merupakan data spasial (bereferensi keruangan dan kebumian) yang kamn
diolah
3. Data management and analysis procedure
Manajemen data dan Analisa prosedur oleh database management system
4. People

8
Entitas sumber data manusia yang akan mengoperasikan sistem informasi
geografis

ArcGIS 10.4.1
Pembuatan peta dapat dilakukan dengan perangkat lunak, dan salah
satunya adalah ArcGIS. ArcGIS Desktop merupakan platform dasar yang dapat
digunakan untuk mengelola suatu proyek dan alur kerja SIG yang komplek serta
dapat digunakan untuk membangun data, peta, model, serta aplikasi. ArcGIS
Desktop mencakup ArcCatalog, ArcMap, ArcToolbox, ArcGlobe, dan
ModelBuilder. Dengan menggunakan aplikasi ini pengguna dapat menjalankan
berbagai macam proses SIG dari yang paling simple hingga tingkat lanjut.
ArcCatalog digunakan untuk mengorganisasikan dan mengelola semua informasi
geografis, seperti peta, data- data format file, geodatabases, toolboxes untuk
geoprosesing, metadata, serta services SIG. ArcMap merupakan aplikasi utama
dalam ArcGIS, yang dapat digunakan untuk mapping dan editing, serta untuk
query dan analisa yang berdasarkan pada peta. ArcToolbox merupakan koleksi
dari tools geoprosesing Aplikasi ArcGlobe tercakup dalam ekstensi ArcGIS 3D
Analyst, yang mempunyai kemampuan untuk penayangan informasi geografis
dalam bentuk kenampakan 3D yang dinamis. Model Builder merupakan bahasa
pemrograman secara visual yang digunakan untuk membangun suatu alur kerja
dan skrip dari suatu rangkaian geoprosesing (Bhirowo et al 2010). Penelitian ini
menggunakan jendela ArcMap dan ArcCatalog. Selain jendela program yang
digunakan, ada beberapa fungsi utama pada ArcGIS yang digunakan pada
penelitian ini. Fungsi utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu:

Digitasi
Digitasi adalah proses merubah data peta analog ke dalam format digital
(peta digital) (Rahardjo dan Warkim 2015). Digitasi adalah pengambilan data
dengan cara menelusuri peta yang telah ada dengan menggunakan meja gambar
yang disebut Digitizer Tablet atau mengikuti gambar hasil scanner/penyiaman di
layar monitor (Buana 2010). Digitasi bertujuan untuk membuat obyek–obyek di
peta digambar ulang dalam bentuk digital, untuk mempermudah dalam
interpretasi citra. Proses digitasi dapat dilakukan dengan berbagai software, yang
salah satunya ialah ArcGIS. Sumber data peta untuk digitasi dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu diantaranya adalah data image raster yang terdiri dari peta
analog, image remote sensing, dan image scanning, dan data tubular yang terdiri
dari tabel manual dan data yang berasal dari GPS.
Proses digitasi akan menghasilkan format file Shapefile (.Shp) yaitu
format data vektor yang digunakan untuk menyimpan lokasi, bentuk atribut dari
fitur geografis. Shapefile adalah file-file yang menyimpan data vektor dalam
ArcView. Shapefile ini kemudian diolah dan dianalisis dalam berbagai pekerjaan
spasial dengan ArcView. Data vektor yang tidak disimpan dalam sebuah shapefile

9
hanya akan menjadi objek grafik dalam lembar view. Shapefile harus memiliki
tipe yang sejenis dengan data yang akan disimpan. Data vektor berjenis titik
(point) hanya dapat disimpan dalam shapefile bertipe point. Data vektor bertipe
garis (line) hanya dapat disimpan dalam shapefile bertipe line. Demikian pula data
vektor bertipe area (polygon) yang hanya dapat disimpan dalam shapefile bertipe
polygon (Barus 2018). Titik digunakan untuk menggambarkan objek yang
memiliki pusat, garis untuk menggambarkan objek dengan bentuk memanjang
seperti jalan, dan poligon digunakan untuk menggambarkan objek yang memiliki
luasan.

Buffering
Analisis buffer merupakan analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi
daerah sekitar fitur geografis. Proses ini menghasilkan daerah cakupan (range) di
sekitar fitur geografis yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau memilih
fitur berdasarkan letak obyek yang berada di dalam atau di luar batas buffer.
Buffer adalah suatu analisis untuk membuat suatu area penyangga di sekitar objek
yang sedang dilakukan pengamatan (Kusuma dan Sukendra 2016). Buffering
merupakan salah satu proses dalam geoprocessing yang umum digunakan dalam
analisis SIG. Buffering merupakan kegiatan membuat kenampakan baru di sekitar
kenampakan yang sudah ada. Buffer dapat dibuat dalam:
a. Pada jarak tertentu
b. Berdasarkan atribut pada peta
c. Dan menghasilkan multiple buffer
Buffer menggambarkan area tertutup (poligon) pada suatu jarak tertentu pada
bentang kenampakan tertentu, dimana beberapa fungsi buffer antara lain:
a. Mengidentifikasi daerah yang berada di sekitar kenampakan geografis;
b. Mengidentifikasi/memilih kenampakan yang termasuk di dalam atau berada
di luar daerah buffer; dan
c. Untuk menyediakan ukuran perkiraan yang dekat dengan suatu kenampakan
Cara kerja buffer adalah dengan memproses algoritma matematika untuk
mengidentifikasi ruang yang berada di sekitar bentang kenampakan, lalu
kenampakan yang dipilih untuk buffering harus melalui beberapa proses seleksi
dan pertimbangan. Jarak buffer dapat berasal dari input langsung, dari attribut dan
dari data lainnya, sebuah garis dapat digambar dalam banyak arah di sekitar
kenampakan yang terpilih hingga terbentuk sebuah poligon yang solid. Dan
sebuah basis data baru yang mengandung data mengenai buffer dihasilkan setelah
poligon buffer selesai terbentuk.
Menurut Prahasta (2002), buffer dapat dilakukan untuk tipe feature
polygon, polyline maupun point. Buffer yang terbentuk dari titik biasanya
menggambarkan kondisi mengenai cakupan atau jangkauan pelayanan dari sebuah
fungsi di titik tersebut. Sementara pada buffer yang terbentuk dari unsur garis dan
polygon lebih banyak menggambarkan kondisi dampak dari fenomena yang

10
terkandung dalam unsur peta tersebut. Contohnya dalam hal ini adalah cakupan
luapan sungai atau dampak kebisingan di jalan raya. Khususnya pada bentuk
poligon, terdapat dua jenis buffer yang terbentuk berdasarkan arahnya, yaitu
keluar dan kedalam. Buffer yang terbentuk ke dalam disebut sebagai set-backs
sebagai representasi dari kondisi poligon tersebut pengaruhnya terhadap suatu
regulasi, contohnya garis sempadan bangunan atau rencana perluasan jalan atau
lahan yang kemudian berdampak pada lahan yang menjadi poligon tersebut (Aqli
2010).
Network Analysis
Network Analyst adalah ekstensi dari perangkat lunak ArcGIS yang
melakukan analisis jaringan. Yang termasuk dalam analisis jaringan, seperti
jaringan jalan, listrik, sungai dan pipa. Network Analyst dapat membuat dan
menganalisis dataset jaringan. Prinsip dari network analyst adalah menemukan
rute jaringan yang paling efisien dari suatu titik awal ke titik tujuan (Buana 2010).
Tools pada Network Analyst dibagi menjadi lima jenis, yaitu route, closest
facility, service areas, OD cost matrix, dan vehicle routing problem. Penelitian ini
menggunakan closest facility.
Tool closest facility memiliki tiga atribut utama, yaitu facility (lokasi
fasilitas), incident (lokasi awal), dan restriction (rute yang tidak dapat dilewati).
Closest facility digunakan untuk menentukan rute terbaik dari satu lokasi ke lokasi
lainnya atau menemukan rute terbaik untuk mengunjungi berbagai lokasi
sekaligus. Selain itu, network analyst juga memiliki fitur yang dapat memberi
arahan jalan yang ditempuh beserta dengan jaraknya, sehingga pengguna
dipermudah dalam mendapatkan rute yang akan digunakan menuju lokasi
evakuasi beserta dengan arah yang akan dilalui dari titik awal yaitu desa hingga
menuju titik akhir, yaitu shelter bencana.

ISO Cluster Unsupervised


Klasifikasi tutupan lahan dan penggunaan lahan merupakan sebuah upaya
dalam mengelompokkan berbagai jenis tutupan lahan maupun penggunaannya ke
dalam suatu kesamaan sesuai dengan system tertentu. Klasifikasi tutupan lahan
dan penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses
interpretasi citra penginderaan jauh dalam pembuatan peta tutupan dan
penggunaan lahan. Pengklasifikasian tutupan lahan dapat dilakukan dengan du
acara, yaitu supervised dan unsupervised.
Unsupervised Classification memisahkan piksel gambar ke dalam
pengelompokan alami berdasarkan karakteristik spektral yang serupa dengan
menggunakan algoritma klasifikasi dan penugasan yang dihasilkan dari
pengelompokan tersebut ke kelas informasi oleh analis. Salah satu unsupervised
classification yang paling umum digunakan adalah ISO Cluster Unsupervised.
Metode ini didasarkan pada pelabelan setiap piksel ke pusat-pusat cluster yang
tidak diketahui dan kemudian pindah dari satu pusat cluster ke yang lain dengan
cara bahwa ukuran SSE dari bagian sebelumnya dikurangi data (Vinoth 2017).

11
Reclassify
Reclassify merupakan tool untuk mengklasifikasikan kembali suatu data
spasial maupun atribut menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan
kriteria tertentu. Tool ini digunakan untuk mengklasifikasikan data raster.
Reclassify dapat menggunakan data dalam bentuk data satuan maupun dalam
bentuk interval. Tool ini juga memiliki fitur untuk mengontrol kepresisian data
yang diolah, dengan mengatur decimal sehingga hasil lebih presisi.

Weighted Overlay
Karakteristik utama sistem informasi geografis adalah kemampuan
menganalisa sistem secara spasial. Salah satu alat untuk menganalisa pada ArcGIS
adalah overlay. Overlay merupakan Teknik menempatkan grafis satu peta di atas
grafis lain dan menampilkan hasilnya di layar. Salah satu alat untuk melakukan
analisis overlay adalah weighted overlay. Weighted overlay atau analisis overlay
berbobot merupakan teknik overlay beberapa peta yang berkaitan dengan faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap penilaian kerentanan. Weighted overlay
merupakan sebuah teknik untuk menerapkan sebuah skala penilaian untuk
membedakan dan menidaksamakan input menjadi sebuah analisa yang
terintegrasi. Weighted overlay memberikan pertimbangan terhadap faktor atau
kriteria yang ditentukan dalam sebuah proses pemilihan kesesuaian (Sofyan et al
2010).

Quantum GIS Desktop 3.12

Quantum GIS (QGIS) adalah cross-platform perangkat lunak bebas (open


source) desktop pada sistem informasi geografis (SIG). Aplikasi ini dapat
menyediakan data, melihat, mengedit, dan kemampuan analisis. Dibandingkan
dengan ArcGIS, QGIS merupakan perangkat lunak open source. QGIS dapat
digunakan untuk sistem operasi Windows, Mac OS X, Linux, BSD, dan Android
(beta). Perangkat lunak QGIS dikembangkan dengan menggunakan Bahasa
pemrograman C++ dan modul proyek open source QT Project (QGIS 2014). Pada
QGIS, terdapat beberapa plugins atau ekstensi yang dapat di install. Diantaranya
ialah InaSAFE yang digunakan untuk mempelajari akibat dari bencana alam,
FloodRisk yang mampu memperhitungkan dan melihat banyaknya orang yang
terdampak dan kerusakan langsung pada bangunan yang disebabkan berbagai
skenario banjir di area yang telah ditentukan (Albano et. al. 2015). Daerah
terdampak tsunami dapat diprediksi dengan menggunakan ekstensi InaSAFE.

InaSAFE 5.0

12
METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu


Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari hingga Maret 2019. Jadwal
penelitian disajikan pada Lampiran 1. Penelitian dilakukan di daerah zona bahaya
tsunami Kabupaten Pandeglang. Terletak antara 6º21’ - 7º10’ Lintang Selatan dan
104º48’ - 106º11’ Bujur Timur.

Alat dan Bahan


Penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer yang didapat
dengan turun langsung ke lokasi penelitian dan data sekunder dari berbagai
sumber seperti; hasil penelitian terdahulu, studi pustaka, peta, laporan, dan
dokumen yang ada di berbagai instansi terkait. Peralatan yang digunakan adalah
telepon genggam yang dilengkapi dengan software google map, dan laptop yang
dilengkapi dengan software ArcGIS, Microsoft office, dan google earth.

Prosedur Penelitian
Langkah awal dari penelitian ini adalah studi pustaka terkait tsunami,
kemudian menentukan lokasi penelitian. Studi lapangan kemudian dilakukan di
lokasi penelitian. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data
primer dan sekunder di lokasi penelitian, setelah diperoleh data yang cukup
kemudian dilakukan pengolahan data, analisis spasial, multiple ring buffering,
network analyst, dan analisis kapasitas. Kerangka penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2.

Pengumpulan Data Primer


Adapun data primer yang akan dikumpulkan dalam penelitian antara lain :
a. Data koordinat lokasi bangunan shelter
b. Data luas tampungan bangunan shelter

Pengumpulan Data Sekunder


Adapun data sekunder yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini antara
lain:
a. Data geospasial Kabupaten Pandeglang, meliputi:
- Data batas administrasi kota
- Data batas administrasi kecamatan
- Data batas administrasi kelurahan
- Data batas zona bahaya tsunami
- Data jalan
b. Data lainnya, meliputi:
- Data jumlah penduduk
- Data luas kecamatan

13
- Data historis tinggi dan jarak rayapan tsunami

Analisis Data Spasial


Analisis data spasial untuk mengetahui batas administrasi kota, kecamatan,
dan kelurahan di Kabupaten Pandeglang. Selanjutnya dilakukan digitasi ulang
zona bahaya tsunami Kabupaten Pandeglang berdasarkan daerah zona bahaya
Tsunami yang dikeluarkan pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang. Setelah itu
dilakukan input data koordinat lokasi bangunan shelter.

Pemodelan Tsunami
Pemodelan tsunami dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
Surface Water Modelling System (SMS) versi 12.3.5. Pemodelan menggunakan
ekstensi CMSWave atau Coastal Modelling System – Wave. Pemodelan diawali
dengan mengubah data batimetri menjadi format .xyz, kemudian interpolasi, dan
di ekspor dalam bentuk gambar.

Analisis Jangkauan Bangunan Shelter


Analisis jangkauan dilakukan dengan menggunakan tools Multiple ring
buffer yang ada pada software ArcGIS. Buffer dilakukan dengan jarak yang
ditentukan dengan waktu tempuh 5 menit sangat dekat, 10 menit dekat, 20 sedang,
30 menit jauh, dan lebih dari 30 menit sangat jauh. Selanjutnya dilakukan
klasifikasi jangkauan bangunan shelter dengan kategori sangat dekat, dekat,
sedang, jauh dan sangat jauh. Setelah itu dilakukan perhitungan luas daerah yang
masuk dalam kategori sangat dekat, dekat, sedang, jauh, dan sangat jauh.

Analisis Kapasitas Bangunan Shelter


Analisis kapasitas bangunan shelter dilakukan dengan menghitung luas
atap bangunan yang dijadikan lokasi evakuasi. Perhitungan luas dilakukan dengan
proses digitasi pada luasan gedung pada software ArcGIS. Setelah itu dilakukan
perbandingan dengan jumlah penduduk yang ada pada zona bahaya tsunami
perkecamatan dengan kapasitas bangunan shelter yang tersedia.

Analisis Jalur Terdekat


Analisis jalur terdekat dilakukan dengan menggunakan tools network
analyst yang ada pada software ArcGIS. Network Analyst dilakukan pada setiap
kelurahan yang masuk kedalam zona bahaya tsunami. Guna dari langkah ini untuk
mempermudah pemerintah dalam pembuatan plang jalur evakuasi di setiap sudut
jalan. Output dari analisis ini berupa peta jalur evakuasi menuju shelter terdekat
atau zona aman tsunami pada setiap kelurahan.

14
Mulai

Studi literatur

Pengumpulan Data

Pengumpulan data Primer: Pengumpulan data Sekunder:


Data koordinat lokasi shelter Data batas administrasi kota,
Data luas tampungan shelter kecamatan, dan kelurahan
Data kondisi bangunan sheler Data jalan dan bangunan
Data jumlah penduduk
Data luas kecamatan
Peta DEMNAS Kabupaten
Pandeglang
Data historis tinggi dan jarak
rayapan tsunami

Analisis data spasial

Pemodelan tsunami

Analisis jangkauan bangunan shelter

Analisis jalur terdekat

Analisis kapasitas bangunan shelter

Selesai

Gambar 2 Diagram alir penelitian

15
DAFTAR PUSTAKA

Aji LW. 2019. Identifikasi jalur dan tempat evakuasi tsunami pada Pantai Siung-
Nglambor-Jogan di Kabupaten Gunungkidul. Information Technology and
Vocational Education. 1(1): 1-9.
Alhadi Z, Lakosa FY. 2019. Analisis SWOT dalam pelaksanaan pengelolaan
tempat evakuasi sementara oleh BPBD Kota Padang. Journal of Education
on Social Science. 3(2): 57-66.
Albano R, Mancusi L, Sole A. 2015. Floodrisk: a QGIS plugin for flood
consequences estimation. Makalah. Dalam: FOSS4G Europe Conference di
Como, 15 Juli.
Aqli W. 2010. Analisa buffer dalam sistem informasi geografis untuk perencanaan
ruang kawasan. INERSIA. 6(2): 192-201.
Aronoff. 1989. Geographic Information Systems: A Management Perspective.
Ottawa (US): WDL pub.
[BNBP] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2017. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta (ID).
[BNBP] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia. Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana. Jakarta (ID).
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang. 2019. Kabupaten
Pandeglang Dalam Angka 2019. Pandeglang (ID): Badan Pusat Statistik
Kabupaten Pandeglang.
Baeda AY, Hendra, Klara S, Muliyati R. 2016. Mitigasi bencana tsunami di
Pantai Losari Makassar, Sulawesi Selatan. Jurnal JPE. 20(1): 20-27.
Barus DA, Barus ES, Ginting JV, Sinuraya B, Zendrato N. 2018. Pemetaan objek
retribusi menggunakan GIS untuk meminimalisir pungli. Makalah. Dalam:
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi STI&K di STMIK,
26 Juli.
Bhirowo A, Khalil B, Hartoyo GMK, Nugroho Y. 2010. Modul Pelatihan Sistem
Informasi Geografis (SIG) Tingkat Dasar. Bogor (ID): Tropenbos
International Indonesia Programme.
Buana PW. 2010. Penemuan rute terpendek pada aplikasi berbasis peta. Jurnal
Ilmiah Teknologi Informasi. 1(1):1-8.
Budiarjo A. 2006. Evacuation shelter building planning for tsunami prone area; a
case study of Meulaboh City Indonesia [Thesis]. Enschede (NL): University
of Twente.
Budiman, Diposaptono S. 2005. Tsunami. Jakarta (ID): Penerbit Buku Ilmiah
Populer.
Cahyono AB, Muhajir A. 2013. Analisis persebaran bangunan evakuasi bencana
tsunami menggunakan network analyst di SIG. Jurnal Teknik Pomits. 2(1):
1-6.

16
Gianchetti T, Kelfoun K, Ontowirjo B, Paris R. Tsunami hazard related to a flank
collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia. Journal of
Geological Society. 361(1): 79-90.
Gistut. 1994. Sistem Informasi Geografis. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Gumilar I, Hidayat MN, Meilano I. 2012. Regangan tektonik dan estimasi potensi
bahaya gempa di Selat Sunda berdasarkan data pengamatan GPS.
Widyariset. 15(3): 619-628.
Hoppe M, Spahn H, Usdianto B, Vidiarina H. 2010. Panduan Perencanaan Untuk
Evakuasi Tsunami. Jakarta (ID): GTZ International Services.
Irwansyah E. 2013. Sistem Informasi Geografis: Prinsip Dasar dan
Pengembangan Aplikasi. Yogyakarta (ID): Penerbit Digibooks.
Kusuma AP, Sukendra DM. 2016. Analisis spasial kejadian demam berdarah
dengue berdasarkan kepadatan penduduk. Unnes Journal of Public Health.
5(1): 48-56.
Madrapriya F, Muliati Y, Pratama AR. 2016. Analisis hidrodinamika
menggunakan software SMS 8.1 dalam rangka pengembangan Pelabuhan
Penyeberangan Kaledupa, Sulawesi Tenggara. Jurnal Online Institut
Teknolohi Nasional. 2(4): 124-135.
Marwanta B. 2005. Tsunami Indonesia dan upaya mitigasinya. Jurnal Alami.
10(2): 29-36.
Nur AM. 2010. Gempa bumi, tsunami dan mitigasinya. Jurnal Geografi. 7(1): 66-
73.
Nurrady TI, Rinaldi, Sutikno S. 2015. Kajian konfigurasi escape building untuk
evakuasi terhadap bencana tsunami di Kota Banda Aceh. Jon FTEKNIK.
2(2) 1-10.
Prahasta E. 2002. Sistem Informasi Geografis: Konsep-Konsep Dasar Informasi
Geografis. Bandung (ID): Informatika Bandung.
Pratomo RA. Rudiarto I. 2013. Permodelan tsunami dan implikasinya terhadap
mitigasi bencana di Kota Palu. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota.
9(2):174-182.
Rahardjo D, Warkim 2015. Prototipe sistem informasi geografis fasilitas
kesehatan di Kota Cirebon berbasis web. Jurnal Teknik Informatika dan
Sistem Informasi. 1(3): 210-220.
Rahmadhani N, Sabri LM, Suprayogi A. 2013. Analisis aksesibilitas shelter
evakuasi tsunami di Kota Padang berbasis sistem informasi geografis.
Jurnal Geodesi Undip. 2(1): 1-11.
Rahman AZ. 2015. Kajian mitigasi bencana tanah longsor di Kabupaten
Banjarnegara. Jurnal Manajemen dan Kebijakan Publik. 1(1): 1-14.
Rudyanto A, Rusli I. 2010. Pemodelan tsunami sebagai bahan mitigasi bencana
studi kasus Sumenep dan Kepulauannya. Jurnal Neutrino. 2(2):164-182.
Sudarmono. 2005 Maret 17. Tsunami dan penghijauan kawasan pantai rawan
tsunami. Inovasi Volume 3. Topik Utama: 11 (kol 2).

17
Sukamay M, Susanto A. 2016. Pengembangan konsep wilayah agropolitan
sebagai strategi menuju green city (studi kasus Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten). Makalah. Dalam: Seminar Nasional Tahunan Matematika,
Sains, dan Teknologi 2016 di Balai Sidang Universitas Terbuka (UTCC), 22
September.
Sutikno S. 2012. Kajian penentuan lokasi shelter untuk evakuasi tsunami
berdasarkan analisis service area di Kota Pacitan. Jurnal Sains dan
Teknologi. 11(2):72-78.
Vinoth P. 2017. Supervised/unsupervised classification of land cover using
remote sensed data. International Journal of Research. 4(8): 792-798.
Widyaningrum E. 2009. Tsunami evacuation planning using geoinformation
technology considering land management aspects case study: Cilacap,
Central of Java [Thesis]. Munich (DE): Universitas Teknik Munchen.
Yuhanah T. 2014. Konsep desain shelter mitigasi tsunami. Jurnal Teknologi.
6(1):19-31.

18
Lampiran 1 Rencana pelaksanaan penelitian
Rencana Januari Februari Maret April Mei Juni
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusun
an
proposal
Pengumpulan
data
Pengolahan
data
Analisis Data

Pembuatan
draft skripsi
Seminar
Ujian Skripsi
Perbaikan dan
penggandaan

19
Lampiran 2 Lokasi penelitian

20

Anda mungkin juga menyukai