Anda di halaman 1dari 10

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan ITB

Perencanaan Evakuasi Tsunami Menggunakan Shelter Vertikal di


Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten
Cilacap
Dias Prihantoro

(1)

, Saut Aritua H. Sagala (2)

(1)

Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB.
Kelompok Keilmuan Perencanaan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB

(2)

Abstrak
Tsunami merupakan bencana mematikan yang terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga evakuasi
penduduk ke tempat aman secara cepat dapat menyelamatkan banyak jiwa. Kota Cilacap rawan
bahaya tsunami karena wilayah pantainya padat penduduk dan menghadap Samudera Hindia tempat
bertemunya lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia. Pada daerah dekat pantai, evakuasi
menuju tempat aman membutuhkan waktu yang lebih lama daripada waktu evakuasi yang tersedia,
sehingga dibutuhkan suatu metode evakuasi secara vertikal menggunakan shelter vertikal tsunami.
Penelitian ini mengambil studi kasus Kelurahan Cilacap yang merupakan salah satu wilayah paling
padat di Kota Cilacap dan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Permodelan tsunami
yang dipakai berasal dari GITEWS, sementara sumber data spasial menggunakan citra satelit resolusi
tinggi GeoEye yang disediakan ArcBruTile secara online dan observasi lapangan. Bangunan eksisting
dengan kriteria tertentu dapat difungsikan sebagai shelter evakuasi vertikal tsunami. Penelitian ini
mengasumsikan bahwa dalam evakuasi tsunami, seluruh penduduk dapat tertampung pada seluruh
shelter yang terdapat di wilayah penelitian. Jumlah dan distribusi populasi diketahui berdasarkan
data jumlah penduduk, dan asumsi jumlah penghuni pada setiap bangunan dan fasilitas. Distribusi
penduduk dilakukan pada skenario siang dan malam, kemudian dipakai skenario maksimal di antara
keduanya untuk sebagai analisa kebutuhan shelter evakuasi. Analisa selanjutnya dilakukan untuk
mengetahui jumlah kebutuhan, lokasi, serta area pelayanan shelter sehingga dapat ditentukan arah
evakuasi di wilayah penelitian.
Kata-kunci : evakuasi, evakuasi vertikal, shelter vertikal, tsunami

Pendahuluan
Pengalaman tsunami yang terjadi sebelumnya
menunjukkan bahwa bencana tsunami dapat
merenggut banyak jiwa. Tsunami sangat
merusak, dan terjadi dalam waktu yang relatif
singkat. Gelombang pertama tsunami dapat
mencapai daratan dalam hitungan menit setelah
gempa terjadi. Evakuasi penduduk ke tempat
yang aman secara cepat dapat mengurangi
timbulnya banyak korban jiwa.
Ibukota Kabupaten Cilacap yang selanjutnya
disebut Kota Cilacap terletak di pantai selatan
Pulau Jawa dan merupakan daerah rawan
tsunami. Hal tersebut disebabkan oleh letak
geografisnya yang menghadap samudera

Indonesia dan dekat dengan sumber gempa


dasar laut akibat pertemuan lempeng tektonik
Eurasia dan Indo-Australia di Selatan Pulau
Jawa. Kota Cilacap dan desa-desa di pesisir
pantai merupakan wilayah yang paling rawan
terhadap risiko tsunami.
Kota Cilacap merupakan wilayah yang ikut
terkena dampak tsunami di selatan Pulau Jawa
yaitu Tsunami Pangandaran pada 17 Juli 2006.
Tsunami terjadi karena gempa 7,7 Skala Richter
dengan kedalaman 34 km yang berpusat di 230
km timur laut Christmas Island dan 260 km
selatan Bandung (Lavigne et al., 2007); (Reese
et al., 2007). Gelombang tsunami tersebut
merenggut lebih dari 600 korban jiwa dan
sebanyak 155 korban jiwa berasal dari
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1 | 95

Perencanaan Evakuasi Tsunami Menggunakan Shelter Vertikal

Kabupaten Cilacap. Selain korban jiwa, tsunami


juga merusak beberapa bangunan seperti
fasilitas wisata, Tempat Pelelangan Ikan (TPI),
dermaga dan perahu nelayan.
Kelurahan Cilacap yang merupakan wilayah
penelitian adalah kelurahan di Kota Cilacap yang
paling rentan tsunami. Hal ini ditunjukkan oleh
kepadatan penduduk yang tinggi, berbatasan
langsung dengan Samudera Indonesia serta
berada pada zona bahaya tsunami. Sehingga
kelurahan ini menjadi prioritas perencanaan
evakuasi tsunami di Kota Cilacap.
Evakuasi tsunami di Kota Cilacap menghadapi
masalah evacuation bottlenecks (Widyaningrum,
2009) karena terpusatnya arah evakuasi menuju
jalur-jalur tertentu yang diperkirakan tidak dapat
menampung arus evakuasi. Jalan-jalan utama di
dalam kota justru sejajar dengan garis pantai
sehingga kurang efektif sebagai jalur utama
evakuasi. Topografi wilayahnya yang datar dan
bagi wilayah tepi pantai, akses ke lokasi aman
relatif jauh dan membutuhkan waktu lebih lama
dari waktu perkiraan datangnya tsunami
(GITEWS, 2010). Sehingga evakuasi tsunami
secara horizontal di Kelurahan Cilacap, sulit
diterapkan.
Karena
evakuasi
horizontal
tidak
memungkinkan, maka evakuasi vertikal menjadi
solusi jika terjadi tsunami (Park et al., 2012).
Evakuasi vertikal tsunami merupakan upaya
menghindari gelombang tsunami dengan cara
naik ke tempat/lantai bangunan yang lebih
tinggi dari ketinggian genangan tsunami.
Evakuasi vertikal dapat dilakukan dengan
memanfaatkan bangunan bertingkat maupun
gundukan tanah sebagai tempat berlindung
sementara yang selanjutnya disebut shelter
evakuasi vertikal tsunami.
Bangunan dengan kondisi tertentu dapat
selamat oleh terjangan gelombang tsunami.
Sedangkan ketinggian lantai di atas ketinggian
genangan tsunami dapat menyelamatkan
masyarakat dari bahaya gelombang tsunami.
dengan beberapa kriteria tertentu, bangunan
eksisting dapat ditetapkan sebagai shelter
evakuasi vertikal tsunami (Budiarjo, 2006 &
Dewi, 2010).
96 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1

Dengan kondisi tersebut, maka diperlukan suatu


metode evakuasi secara vertikal dengan
memanfaatkan bangunan yang telah ada
maupun
merencanakan
shelter
baru
berdasarkan kapasitas maupun jangkauan
pelayanan. Dengan evakuasi menggunakan
shelter evakuasi vertikal tsunami, masyarakat di
wilayah penelitian dapat mencapai tempat aman
dari genangan tsunami dalam waktu yang
singkat.
Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana
melakukan perencanaan evakuasi tsunami di
Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan,
Kabupaten
Cilacap
menggunakan
shelter
vertikal.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
dengan pendekatan studi kasus. Metode
pengumpulan data primer melalui survey
lapangan sedangkan data sekunder diperoleh
melalui studi literatur, akuisisi dokumen
pemerintah maupun data dari pihak lain.
Analisis spasial menggunakan Sistem Informasi
Geografis (SIG) untuk menampilkan dan
mengolah data spasial. Sumber data spasial
berasal dari citra satelit online yang diperoleh
menggunakan software ArcBruTile.
Permodelan tsunami di wilayah penelitian
menggunakan intepretasi dari permodelan
tsunami oleh The German-Indonesian Tsunami
Early Warning System (GITEWS). Dalam
identifikasi ketinggian genangan tsunami,
penulis menggunakan Peta Genangan Tsunami
di Kota Cilacap yang dibuat oleh The GermanIndonesian Tsunami Early Warning System
(GITEWS) yang dipublikasikan oleh Leschka
(2009).
Pada
permodelan
tersebut,
tsunami
dibangkitkan oleh gempa dengan magnitude 9
SR
(skenario
065_12_mw9.0)
dengan
episentrum di 220 km sebelah tenggara Cilacap.
Skenario tersebut menurut Gayer, et. al (2010)
merupakan skenario terburuk yang mungkin
terjadi. Lokasi perkiraan gempa pada pertemuan
lempeng di selatan Jawa dan gempa yang
mungkin terjadi mencapai 9,0 SR.

Dias Prihantoro

Desain Penelitian

Analisis dan Interpretasi

Desain penelitian ini ditunjukkan oleh tahapan


berikut :

Analisis Sebaran Populasi

a.
b.
c.
d.
e.

Penyusunan Data Spasial


Penggunaan Data Hasil Permodelan Tsunami
Analisis Sebaran Populasi
Analisa Shelter Evakuasi Vertikal Tsunami
Analisa Area Pelayanan Shelter Evakuasi
Vertikal Tsunami
f. Analisa Perilaku Evakuasi
g. Analisa Kebutuhan Shelter Tambahan
h. Alokasi Akhir Shelter Evakuasi Vertikal
Tsunami di Wilayah Penelitian
Lingkup wilayah penelitian adalah Kelurahan
Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten
Cilacap.
Perencanaan
evakuasi
tsunami
difokuskan dalam skala kelurahan dengan
pertimbangan bahwa Kelurahan Cilacap memiliki
batas geografis dengan kelurahan lain yaitu
Sungai Yasa, sekaligus sebagai penghalang
evakuasi masyarakat jika terjadi tsunami.
Sehingga perencanaan tsunami di Kelurahan
Cilacap dapat direncanakan tersendiri namun
dapat menjadi role model dalam perencanaan
evakuasi tsunami di Kota Cilacap.

Perkiraan jumlah dan distribusi populasi di


wilayah penelitian sangat penting diketahui
untuk
perencanaan
evakuasi.
Dengan
mengetahui perkiraan jumlah populasi yang
akan dievakuasi dan distribusinya, maka shelter
evakuasi tsunami dapat ditempatkan dengan
tepat. Area pelayanan terkait kapasitas shelter
juga dapat diketahui, sehingga dapat diketahui
kebutuhan jumlah dan kapasitas shelter yang
dibutuhkan.
Pada penelitian ini, jumlah populasi diketahui
dari jumlah bangunan dan fasilitas yang
terdapat di wilayah penelitian. Diasumsikan,
penduduk akan beraktivitas pada bangunan dan
fasilitas lainnya seperti rumah, sekolah, kantor,
toko dan lain-lain. Hal ini juga digunakan untuk
membuat skenario populasi siang dan malam.
Analisis Waktu, Kecepatan dan Jarak Evakuasi
Waktu Evakuasi
Dalam rentang waktu perkiraan datangnya
tsunami atau ETA (estimated time of arrival),
tidak semua dapat digunakan sebagai waktu
evakuasi, namun terdapat waktu untuk
mendeteksi tsunami, waktu persiapan dan
waktu untuk naik ke lantai aman.

Gambar 2. Perhitungan waktu evakuasi tsunami di


wilayah penelitian

Gambar 1. Peta Wilayah Penelitian

Dalam penelitian ini ditetapkan waktu perkiraan


datangnya tsunami atau ETA di wilayah
penelitian sebesar 35 menit, maka perhitungan
waktu evakuasi dihitung dengan perincian
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1 | 97

Perencanaan Evakuasi Tsunami Menggunakan Shelter Vertikal

seperti pada gambar 2. Waktu evakuasi yang


tersedia di wilayah penelitian adalah 17 menit.

sebagai shelter evakuasi di wilayah penelitian


seperti ditunjukkan oleh gambar 3.

Kecepatan Evakuasi & Jarak Tempuh Evakuasi


Kecepatan evakuasi memakai standar The Japan
Institute for Fire Safety and Disaster
Preparedness. Untuk skenario tsunami di
wilayah penelitian digunakan kecepatan 0,751

m/dtk atau 45,06 m/mnt.


Dengan waktu evakuasi 17 menit dan kecepatan
evakuasi 45,06 m/mnt maka jarak tempuh
evakuasi adalah 766 meter. Jadi, selama waktu
evakuasi dan dengan kecepatan evakuasi
tersebut, pengungsi hanya dapat mencapai
jarak tempuh 766 meter. Sehingga jarak
jangkauan pelayanan shelter evakuasi vertikal
tsunami nantinya harus kurang dari 766 meter,
agar dapat dicapai oleh pengungsi selama waktu
evakuasi.
Shelter Evakuasi Vertikal Tsunami Eksisting
Bangunan eksisting yang dapat digunakan
sebagai shelter evakuasi vertikal tsunami
ditentukan dengan kriteria shelter evakuasi
vertikal tsunami seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Shelter Evakuasi Vertikal Tsunami
No
1

Komponen
Struktur
Bangunan

Ketinggian
lantai
evakuasi
Akses
Horizontal
Akses
vertikal
Fungsi
bangunan

3
4
5
6

Kapasitas

Lokasi

Kriteria
Memiliki ketahanan
terhadap gempa dan
gelombang tsunami
Lantai evakuasi berada di
atas perkiraan tinggi
genangan tsunami
Memiliki akses horizontal
yang baik
Memiliki akses vertikal yang
baik
Sebagai fasilitas publik atau
berorientasi kepada
pelayanan publik
Memiliki kapasitas yang
cukup untuk menampung
pengungsi selama evakuasi
Berada pada zona aman

Sumber : Diadaptasi dari Kim et al. (2013); FEMA


(2012); Raskin et al. (2011); Sumaryono (2010);
Budiarjo (2006); Yeh, H., et al. (2005)

Dengan kriteria tersebut diperoleh 8 buah


bangunan eksisting yang dapat berfungsi

98 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1

Gambar 3. Lokasi shelter eksisting di wilayah


penelitian

Analisis Kapasitas Shelter Evakuasi Vertikal


Tsunami
Kebutuhan Ruang Evakuasi
Kebutuhan ruang untuk evakuasi sementara
tsunami adalah 0,5 m per orang, dengan kata
lain setiap 1 m dapat menampung 2 orang.
Pengungsi diasumsikan duduk tanpa kursi
(bersila atau menekuk kaki ke depan) selama
beberapa
jam
menunggu
waktu
kritis
gelombang tsunami mereda. Posisi duduk tanpa
kursi dan duduk bersila posisi duduk santai
dengan kaki ditekuk ke depan membutuhkan
ruang seluas 0,47 m s.d 0,55 m per orang
(Neufert, 2001).
Efektifitas Ruang Evakuasi
Beberapa lantai bangunan yang digunakan
untuk evakuasi vertikal tsunami terkadang
bukan berupa lantai kosong, namun berisi
perabot atau furniture yang tentu saja
mengurangi
kapasitasnya
tampungnya.
Penyesuaian luas ruang efektif pada ruang
evakuasi ditunjukkan pada tabel 2.

Dias Prihantoro
Tabel 2. Penyesuaian Luas Lantai Evakuasi
Berdasarkan Karakteristik Perabot / Furnitur
No

Kondisi furnitur pada ruang


evakuasi

Perabotan maupun furnitur


tetap yang terkon-sentrasi
dan tempat duduk yang
sudah tetap

Perabotan maupun furnitur


tetap yang tidak
terkonsentrasi dan tempat
duduk tidak tetap
Perabotan maupun furnitur
yang bisa diatur untuk
memberikan ruang yang
lebih lapang dan tempat
duduk tidak tetap
Tidak terdapat perabotan
maupun furnitur sehingga
diasumsikan bahwa
keseluruhan luas ruang
dapat dipakai

Prosentase
luas ruang
efektif
50 %

65 %

85 %

100 %

Sumber : Diadaptasi dari FEMA (2012)

Dalam menentukan luas lantai evakuasi pada


bangunan eksisting sebagai shelter evakuasi
vertikal tsunami, dilakukan survey lapangan
terhadap bangunan tersebut.
Dengan diidentifikasinya luas lantai evakuasi
dan kondisi perabotannya, kemudian dilakukan
penghitungan luas area efektif untuk evakuasi.
Dari luas efektif ruang yang dapat digunakan
sebagai tempat evakuasi, kemudian dikalikan
dengan kapasitas ruang untuk evakuasi
sementara tsunami yaitu 2 orang per m. Hasil
perkalian tersebut digunakan sebagai kapasitas
shelter evakuasi vertikal tsunami.
Analisis Area Pelayanan Shelter
Area pelayanan shelter evakuasi vertikal tsunami
selanjutnya merupakan kombinasi dari kedua
batasan yaitu kapasitas dan waktu tempuh. Jika
kapasitas terpenuhi terlebih dahulu daripada
waktu tempuh maka area pelayanan shelter
dibatasi oleh kapasitasnya, sedangkan jika
kapasitas belum terpenuhi namun jangkauan
waktu tempuh telah terlewati, maka area
pelayanan shelter dibatasi oleh jarak/waktu
tempuhnya. Area pelayanan shelter evakuasi
eksisting ditunjukkan oleh gambar 4.

Gambar 4. Area pelayanan shelter eksisting di


wilayah penelitian

Analisis Perilaku Evakuasi di Wilayah Penelitian


Secara alamiah jika terjadi ancaman bahaya
tsunami, penduduk akan menjauhi pantai dan
mencari tempat aman dari bahaya tsunami.
Tempat yang aman tersebut berupa wilayah
yang jauh dari pantai di luar wilayah penelitian
atau gedung yang telah diperuntukkan sebagai
shelter evakuasi vertikal tsunami.
Wilayah penelitian dikelilingi oleh batas
geografis berupa Sungai Donan dan Kali Yasa.
Hanya terdapat 3 jembatan sebagai pintu keluar
yang menghubungkan Kelurahan Cilacap
dengan Kelurahan lain yang lebih aman dari
bahaya tsunami. Pengungsi diasumsikan hanya
bisa berpindah dari wilayah penelitian menuju
tempat aman menjauhi pantai melalui tiga pintu
keluar tersebut karena walaupun dimungkinkan
untuk menyeberang sungai, namun sulit
diterapkan dalam keadaan darurat dan sangat
beresiko untuk mendekati sungai jika terjadi
tsunami.
Dengan
kedua
kondisi
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa selain shelter evakuasi
vertikal tsunami eksisting, tiga pintu keluar
tersebut akan menjadi tempat tujuan evakuasi
masyarakat secara umum. Maka di wilayah
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1 | 99

Perencanaan Evakuasi Tsunami Menggunakan Shelter Vertikal

tersebut perlu dan prioritas untuk disediakan


shelter evakuasi vertikal tsunami tambahan.

Gambar 5. Perilaku evakuasi di wilayah penelitian

Dengan memahami perilaku arah evakuasi


tsunami
di
wilayah
penelitian,
maka
diprioritaskan untuk menempatkan shelter
evakuasi tambahan di tiga pintu keluar wilayah
penelitian. Hal tersebut ditunjukkan pada
gambar 5.

Mempertimbangkan perilaku pengungsi terkait


arah evakuasi. Pengungsi secara alamiah akan
melakukan evakuasi menjauh dari pantai dan
atau menuju jalur keluar wilayah penelitian.
Prioritas pemilihan lahan untuk shelter evakuasi
vertikal tsunami tambahan adalah :
Lahan yang telah ditetapkan dan disiapkan
pemerintah setempat sebagai calon lokasi
shelter evakuasi vertikal tsunami.
Lahan kosong milik pemerintah,
Lahan kosong milik swasta/masyarakat yang
dapat dibebaskan untuk pembangunan shelter
evakuasi,
Bangunan fasilitas umum/pemerintah yang
layak untuk direnovasi untuk ditingkatkan
menjadi bangunan yang juga berfungsi
sebagai shelter evakuasi vertikal tsunami,
Lahan beserta bangunan milik swasta/
masyarakat yang dapat dibebaskan untuk
pembangunan shelter evakuasi.
Dari kriteria tersebut dapat ditentukan titik yang
potensial sebagai lokasi shelter evakuasi vertikal
tsunami tambahan di lokasi penelitian. Lokasi
potensial untuk pembangunan shelter tambahan
ditunjukkan pada gambar 6.

Analisis Lokasi Potensial Shelter Tambahan


Dilihat dari analisa jangkauan pelayanan shelter
evakuasi eksisting, dapat disimpulkan bahwa
belum semua penduduk di wilayah penelitian
dapat terlayani. Untuk itu perlu penambahan
shelter baru sebagai tempat evakuasi tsunami di
wilayah penelitian. Kebutuhan kapasitas dan
jumlah shelter evakuasi tambahan diperoleh dari
besaran populasi dan wilayah yang belum
terlayani oleh shelter evakuasi eksisting. Shelter
evakuasi vertikal tsunami tambahan dapat
direncanakan dengan mempertimbangkan dua
hal yaitu lokasi dan ketersediaan lahan.
Kriteria lokasi untuk shelter evakuasi vertikal
tsunami tambahan di wilayah penelitian adalah :
Berada pada jangkauan penduduk yang akan
dilayani selama waktu evakuasi;
Berada pada zona aman yaitu minimal 200
meter dari tepi pantai;
Berada pada jalur utama evakuasi;
100 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1

Gambar 6. Lokasi potensial sebagai shelter evakuasi


vertikal tsunami di wilayah penelitian

Dias Prihantoro

Alokasi Shelter Evakuasi Vertikal Tsunami Di


Wilayah Penelitian
Setelah diperoleh jumlah dan lokasi shelter
evakuasi vertikal tsunami tambahan, dilakukan
kembali permodelan evakuasi tsunami di wilayah
penelitian. Hasil dari permodelan tersebut
diketahui area pelayanan masing-masing shelter
evakuasi vertikal tsunami di wilayah penelitian
ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7 menunjukkan lokasi dan area
pelayanan shelter eksisting serta lokasi dan area

pelayanan rencana shelter tambahan di wilayah


penelitian. Setiap shelter melayani penduduk di
area pelayanannya. Area pelayanan masingmasing shelter terhadap distribusi penduduk
adalah tunggal dengan menggunakan skenario
maksimal di antara skenario siang dan malam.
Hal ini dimaksudkan agar hanya terdapat satu
rencana evakuasi di wilayah penelitian sehingga
mudah dipahami masyarakat namun dapat
melayani evakuasi pengungsi baik siang maupun
malam.

Gambar 7. Area pelayanan shelter evakuasi vertikal tsunami di wilayah penelitian


Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1 | 101

Perencanaan Evakuasi Tsunami Menggunakan Shelter Vertikal

Arah Evakuasi
Arah evakuasi berasal dari setiap titik di area
pelayanan masing-masing shelter melalui jalur
evakuasi menuju ke arah shelter evakuasi
vertikal tsunami yang telah ditentukan. Dalam
evakuasi tsunami, penduduk berjalan dari titiktitik distribusi populasi menuju jalur evakuasi
terdekat, kemudian menuju shelter evakuasi
vertikal tsunami.

perencanaan evakuasi tsunami di wilayah dalam


meletakkan papan penunjuk arah evakuasi
tsunami di wilayah penelitian. Dalam penerapan
di lapangan, arah evakuasi ditunjukkan oleh
papan penunjuk arah evakuasi tsunami. Papan
penunjuk arah evakuasi tsunami diletakkan di
tepi jalan dan persimpangan jalan serta tempattempat strategis lainnya yang mengarah kepada
masing-masing shelter berpedoman pada peta
tersebut.

Peta area pelayanan shelter dan peta rute


evakuasi tersebut menjadi pedoman dalam

Gambar 8. Arah evakuasi tsunami di wilayah penelitian

102 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1

Dias Prihantoro

Kesimpulan
Melalui skenario tsunami, diperoleh data bahwa
seluruh wilayah Kelurahan Cilacap diperkirakan
tergenang oleh gelombang tsunami (1 m sampai
dengan 3,5 m), waktu evakuasi selama 17
menit, dan jarak maksimal jangkauan evakuasi
766 m.
Bangunan eksisting yang memenuhi syarat/
kriteria tertentu dapat ditetapkan sebagai
shelter evakuasi vertikal tsunami. Terdapat 8
(delapan) bangunan eksisting sebagai shelter
evakuasi vertikal tsunami di wilayah penelitian
dan belum dapat melayani evakuasi seluruh
penduduk di wilayah penelitian.
Dibutuhkan 5 (lima) buah shelter evakuasi
vertikal tsunami tambahan di wilayah penelitian.
Setelah ditetapkan SEVT di wilayah penelitian,
maka rute evakuasi diarahkan menuju SEVT.
Hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam
evakuasi menggunakan shelter evakuasi vertikal
tsunami agar dapat berjalan optimal: Kekuatan
struktur bangunan; Waktu evakuasi; Peringatan
dini; Kecepatan evakuasi; Kondisi jalur evakuasi;
Aksesibilitas shelter; Papan peringatan dan
papan petunjuk evakuasi; & Kesiapsiagaan
masyarakat.
Rekomendasi
Bangunan eksisting yang ditetapkan sebagai
shelter evakuasi vertikal tsunami dalam
penelitian ini perlu disiapkan dan dibenahi lagi
agar berfungsi optimal. Sementara usulan
shelter tambahan perlu segera dibangun
sesuai dengan lokasi potensial sebagai tempat
shelter evakuasi vertikal tambahan.
Peningkatan & pemeliharaan kondisi jalan
yang menjadi jalur evakuasi.
Kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat
perlu ditingkatkan dengan pembentukan
komunitas siaga bencana, edukasi masyarakat
untuk tanggap bencana dan secara kontinyu
mengadakan pelatihan dan simulasi tsunami
(tsunami drill) bagi masyarakat di wilayah
penelitian.
Penataan ruang di wilayah penelitian dengan
memperhatikan Pengurangan Risiko Bencana

(PRB) tsunami. Misalnya dengan mengevaluasi


peruntukan lahan di wilayah 200 meter dari
tepi pantai. Wilayah tepi pantai sebaiknya
dijadikan sabuk hijau, penghalang dari
tsunami.
Fasilitas berbahaya yang bisa memicu bencana
ikutan di wilayah penelitian misalnya kilang
minyak harus memiliki perlindungan ekstra
maupun skenario penghentian operasi saat
terjadi gempa & tsunami.
Kelemahan Penelitian
Dalam penelitian ini, penentuan kekuatan
struktur bangunan yang tahan terhadap gempa
bumi dan tsunami hanya menggunakan metode
sederhana. Beberapa kriteria utama yang
dijadikan tolok ukur misalnya secara umum
bangunan didesain dengan baik dan kokoh,
memiliki pondasi, kolom struktur dan balok yang
kuat, serta tidak mengalami kerusakan struktur
selama pengalaman gempa bumi yang pernah
terjadi. Idealnya, perlu dilakukan pengujian
struktur secara teknis menggunakan alat penguji
kekuatan struktur dan penilaian ahli struktur
bangunan.
Dalam penelitian ini, penulis hanya menentukan
satu titik sebagai representasi dari kumpulan
penghuni bangunan tersebut. Asumsinya, titik
tersebut menjadi titik awal evakuasi dari
keseluruhan penghuni bangunan tersebut.
Penelitian ini tidak memperhitungkan dampak
gempa bumi dan tsunami yang terjadi terhadap
kilang distribusi minyak milik Pertamina.
Penelitian ini berasumsi bahwa kilang dan pipapipa
penghubungnya
tidak
mengalami
kerusakan yang dapat berakibat lebih buruk.
Asumsi ini berdasarkan pengalaman gempa
bumi yang mengakibatkan tsunami Pangandaran
dimana kilang tidak mengalami kerusakan sama
sekali serta operasi kilang dapat dimatikan (shut
down) sewaktu-waktu jika terdapat peringatan
tsunami.
Saran Penelitian Lanjutan
Penelitian ini membuka pemikiran terhadap
pengembangan penelitian lanjutan lain yang
masih mengandung keterkaitan. Beberapa
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1 | 103

Perencanaan Evakuasi Tsunami Menggunakan Shelter Vertikal

penelitian lanjutan yang mungkin untuk


dilaksanakan adalah:
Penelitian mengenai persepsi masyarakat dan
pemerintah setempat terhadap penempatan
lokasi shelter evakuasi vertikal tsunami dan
jalur evakuasi di Kelurahan Cilacap.
Penelitian mengenai evakuasi menggunakan
shelter evakuasi vertikal tsunami di Kota
Cilacap.
Penelitian
mengenai
tingkat
resiliensi
masyarakat Kelurahan Cilacap terhadap
bahaya tsunami.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Saut
Aritua H. Sagala, ST., M.Sc., Ph.D. selaku
pembimbing,
atas
bimbingannya
dalam
menyusun penelitian ini.
Daftar Pustaka
Budiarjo, A. (2006). Evacuation shelter building

planning for tsunami prone area : a case study


of Meulaboh city, Indonesia. Thesis, ITC,
Enschede.
Dewi, R. S. (2010). A GIS-Based Approach to

the Selection of Evacuation Shelter Building


and Routes for Tsunami Risk Reduction : a
Case Study of Cilacap Coastal Area, Indonesia.
Thesis, Gadjah Mada University. University of
Twente.
FEMA. (2012). Guidelines for Design of

Structures for Vertical Evacuation from


Tsunamis (Second ed.): Federal Emergency
Management Agency.
Kim, D. S., et al. (2013). Analysis of evacuation
system on tsunami disaster prevention in
Korea. Journal of Coastal Research. (Special
Issue No. 65), pp. 974-979.

104 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1

Lavigne, F., et al. (2007). Field observations of


the 17 July 2006 Tsunami in Java. Natural
Hazards and Earth System Sciences, 7, 177183.
Leschka, S., et al. (2009). Tsunami Inundation
Modeling in Cilacap. In 20091130_Gitews_
Cilacap_final (Ed.), MIKE 21 FM. Cilacap: GKSS
& DHI.
Neufert, E. a. P. (2001). Architects' Data:
Blackwell Science.
Park, S., et al. (2012). Method to Determine
Locations of Tsunami Vertical Evacuation
Shelters. Natural Hazards: Journal of the

International Society for the Prevention and


Mitigation of Natural Hazards, 44 pages.
Raskin, J., et al. (2011). An evacuation building
project for Cascadia earthquakes and
tsunamis. Obras y Proyectos 9, 11-22.
Reese, S., et al. (2007). Tsunami vulnerability of
buildings and people in South Java field
observations after the July 2006 Java tsunami.
Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 7, 573589,
2007.
Sumaryono.
(2010).
Assessing
Building

Vulnerability to Tsunami Hazard Using


Integrative Remote Sensing and GIS
Approaches.
Dissertation,
der
Ludwig-

Maximilians-Universitt Mnchen, Mnchen.


Widyaningrum, E. (2009). Tsunami Evacuation

Planning using Geoinformation Technology


Considering Land Management Aspect, Case
Study: Cilacap City, Central of Java, Indonesia.
Tesis,
Technische
Universitat
Munchen
Munich.
Yeh, H., et al. (2005). Development of Design

Guidelines for Structures that Serve as


Tsunami Vertical Evacuation Sites (Vol. Open
File Report 2005-4). Washington: Washington
Division of Geology and Earth Resources.

Anda mungkin juga menyukai