Anda di halaman 1dari 13

Kesiapsiagaan mengatasi Krisis Pangan dan Obat Pasca Gempa

bumi di Cianjur pada Tahun 2022


Dianjurkan untuk memenuhi salah satu tugas karya Tulis Ilmiah mata kuliah
bahasa Indonesia
Dosen: Achmad Dian Nurdiansyah

Disusun Oleh:
Munirul Hinayat 221FK03070
Desti Apriliani 221FK03071
Dhea Nurafida Hermawati 221FK03081

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPARWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Karya Tulis Ilmiah yang
berjudul “Kesiapsiagaan mengatasi Krisis Pangan dan Obat pasca Gempa
bumi di Cianjur pada Tahun 2022”.
Adapun tujuan dari penulisan dari karya tulis ini adalah untuk memenuhi
tugas Bapak Achmad Dian Nurdiansyah pada mata kuliah Bahasa Indonesia.
Selain itu, Karya tulis ini juga bertujuan untuk menambah wawasan pembaca
tentang bagaimana krisis pangan dan obat setelah terjadi bencana.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Achmad Dian Nurdiansyah


pada mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuanan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan karya
tulis ini tepat pada waktunya.

Kami menyadari karya yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Bandung, 14 Desember 2022

Kelompok penyusun
BAB I
PEMBUKAAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia di
bagian Utara, lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Filipina
dan Samudera Pasifik di bagian Timur. Indonesia merupakan negara yang
memiliki tingkat kerawanan bencana alam tinggi, seperti gempabumi
(Pribadi dan Yuliawati, 2009). Gempa bumi mengakibatkan jatuhnya
korban jiwa juga berdampak pada kerusakan infrastruktur fisik seperti
runtuhnya bangunan, retakan jalan, dan tumbangnya pepohohan. Hal ini
menyebabkan bertambah parahnya korban jiwa karena ketidaktahuan
mereka tentang cara menyelamatkan diri dengan benar (Irwansyah,
Saputra, Piu, dan Wirangga, 2012). Dengan ketidaktahuan mereka tentang
cara menyelamatkan diri dari gempa bumi maka diperlukan pengetahuan
tentang kesiapsiagaan.
Di bulan Oktober 2022, gempa dengan magnitudo 5,5 melanda
Banten pada 9 Oktober 2022. Gempa yang terasa hingga Jakarta ini tidak
berpeluang menimbulkan tsunami. Sepanjang bulan tersebut, beberapa
wilayah lain di Tanah Air juga terkena gempa, yakni Cilacap (9 Oktober
2022, magnitudo 4,7), Tapanuli Utara (19 Oktober 2022, magnitudo 3,4),
Kolaka Utara (30 Oktober 2022, magnitudo 2,9), dan Sukabumi (30
Oktober 2022, magnitudo 4,7). Beranjak ke bulan November 2022, salah
satu gempa destruktif terjadi pada 21 November 2022 yang berpusat di
Cianjur, Jawa Barat. Gempa berkekuatan magnitudo 5,6 ini menewaskan
lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 5.400 masyarakat untuk
mengungsi. Tidak hanya di Cianjur, gempa juga terasa hingga ke Bogor
dan Jakarta.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peniliti pada
November 2022 tentang beberapa wilayah pedalaman cianjur yang
mengalami krisis pangan dan juga obat-obatan pasca gempa cianjur
lantaran distribusi bantuan logistic yang tidak merata sehingga
menyebabkan keadaan warga setempat sangat memprihatinkan akibat
kurangnya pangan dan obat-obatan. Berdasarkan berita resmi dari BNPB
bahwa gempa di Cianjur yang terjadi pada Senin (21/11) lalu,

sedikitnya menelan korban jiwa 310 orang, ribuan orang terluka, dan

belasan ribu warga mengungsi karena rumahnya hancur. Hal ini

mendorong peneliti secara pribadi memberikan bantuan kepada

sejumlah korban. Ia berkeyakinan, jika semua orang yang mampu

secara ekonomi mau bahu-membahu memberikan bantuan, maka

para korban akan lebih cepat bangkit dari musibah tersebut (Joko, 2022).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana mengatasi krisis pangan dan obat pasca gempa bumi pada
Masyarakat Cianjur?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui cara mengatasi krisis pangan dan obat pasca gempa
bumi pada Masyarakat Cianjur.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Diharapan penelitian ini mapu mengembangkan kesiapsiagaan
bantuan pada korban bencana gempa bumi. serta dapat memberikan
informasi tambahan bagi masyarakat untuk mengintegraskan dalam
pembelajaran terkait dengan kesiapsiagaan bantuan pada korban
bencana.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Bagi Responden
Dapat memberikan pengetahuan kepada responden tentang
pentingnya Kesiapsiagaan gempa bumi.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai acuan atau studi banding dalam
penelitian mahasiswa selanjutnya tentang pentingnya pangan
dan obat-obatan bagi korban gempa bumi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai
bagaimana kesiapsiagaan dan pentingnya bantuan pangan serta
obat-obatan bagi korban gempa bumi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesiapsiagaan Bencana
2.1.1 Kondisi bencana di Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang diapit oleh dua
Benua yaitu Benua Asia di sebelah Utara dan Benua Australia di
sebelah Selatan, serta oleh dua samudera yaitu Samudera Pasifik di
Timur Laut dan Samudera Hindia di Barat dan Selatan. Wilayah
Indonesia yang berada di Garis Khatulistiwa yang mempunyai iklim
tropis, juga berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar Dunia,
yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Kondisi
pertemuan lempeng tektonik inilah yang menyebabkan Indonesia
memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa, baik dari atas bumi
maupun dari dalam buminya. Efek domino dari wilayah Indonesia
yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar Dunia, selain
kaya akan sumber daya alam, juga memiliki potensi bencana yang luar
biasa.
Bencana adalah sebuah kejadian ataupun rangkaian kejadian yang
diakibatkan oleh faktor fisik atau alam, maupun yang diakibatkan oleh
manusia yang mengakibatkan kerugian terhadap manusia itu sendiri.
Pengertian dari bencana adalah peristiwa yang terjadi di alam yang
diakibatkan oleh manusia ataupun alam itu sendiri, yang memiliki
kemampuan untuk merugikan manusia, mengganggu kehidupan
normal, dan kehilangan harta benda (Immadudina, 2011). Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 mengenai
Penanggulangan Bencana, Bencana didefinisikan sebagai berikut:
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan
lingkungan, harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana merupakan peristiwa yang mengakibatkan gangguan
serius bagi fungsi-fungsi masyarakat, mengakibatkan kerugian,
material, serta manusia secara luas, yang melebihi kemampuan dari
manusianya itu sendiri (Kent, 1994). Bencana akan sangat merugikan
bagi manusia yang terdampak dari bencana tersebut, terlebih jika
masyarakat terdampak tidak memiliki pengetahuan terkait bencana
tersebut.
Sebagai wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik besar Dunia,
Indonesia. memiliki risiko bencana gempa bumi yang sangat tinggi,
hal tersebut tercermin dari beberapa gempa besar yang terjadi di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Seperti gempa bumi
Yogyakarta tahun 2006, di mana gempa berkekuatan 5,9 skala Richter
merenggut korban jiwa sebanyak 5.782 orang, serta merusak hampir
400.000 rumah (Almas, 2020). Kejadian gempa bumi Lombok tahun
2018, dengan kekuatan 6,4 skala Richter yang memakan korban jiwa
sebanyak 16 orang dan lebih dari 10.000 bangunan rusak (Zulfakriza,
2018). Serta masih banyak lagi bencana gempa bumi lainnya.

Gambar 1. Lempeng di Indonesia

Sejalan dengan bencana gempa bumi, efek selanjutnya karena


Indonesia merupakan negara kepulauan, maka sangat rentan dengan
bencana tsunami. Beberapa bencana tsunami besar pernah tercatat
terjadi di Indonesia akhir- akhir ini, seperti bencana tsunami Aceh
pada tahun 2004, dimulai dengan gempa berkekuatan 9,1 skala Richter
memicu gelombang tsunami setinggi 17,4 meter, serta merenggut
sebanyak 230.000 orang korban jiwa di 13 negara di sekitar Samudera
Hindia (Faisol, 2019). Bencana tsunami Pangandaran tahun 2006,
didahului oleh gempa berkekuatan 7,7 skala Richter yang memicu
tsunami setinggi 5 meter, mengakibatkan korban jiwa sebanyak 668
orang (Muhari, 2016). Serta bencana tsunami Palu tahun 2018, yang
diawali oleh gempa berkekuatan 7,4 skala Richter, mengakibatkan
tsunami setinggi 6 meter dan membuat korban jiwa berjatuhan
sebanyak 3.679 orang (Utomo, 2018).
2.1.2 Urgensi mitigasi bencana
Sebagai wilayah dengan tingkat risiko bencana tinggi dan beragam,
membuat Indonesia harus siap akan pentingnya mitigasi bencana.
Mitigasi adalah memilih tindakan dalam rangka mengurangi dampak
suatu bahaya sebelum bahaya tersebut terjadi (Coburn, dkk 1994).
Dengan kata lain memitigasi suatu bencana adalah mempersiapkan
sesuatu yang harus dipersiapkan sebelum bencana itu terjadi. Persiapan
ataupun perencanaan menghadapi bencana dapat digolongkan menjadi
persiapan jangka pendek maupun jangka panjang.
Sebelum melaksanakan mitigasi bencana, kajian risiko bencana
harus terlebih dahulu dilakukan untuk mengidentifikasi potensi
bencana yang ada. Kajian risiko bencana dapat memberikan gambaran
mengenai potensi bencana yang dapat terjadi, kemudian dapat
memberikan bayangan prioritas bahaya serta kerentanan secara tepat
(Sadisun, 2006). Dilakukannya kajian risiko bencana merupakan
sebuah dasar dari proses mitigasi bencana, agar dapat dilakukan secara
tepat sasaran, efektif, dan efisien dalam pengurangan risiko bencana
yang mungkin dapat terjadi.
Kegiatan mitigasi bencana mempunya sebuah siklus yang
berkesinambungan dalam rangka menghadapi sebuah bencana. Dalam
siklus tersebut terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yang
dilakukan, dengan tujuan untuk meminimalisir dampak yang akan
ditimbulkan oleh sebuah bencana. Siklus mitigasi bencana dibagi ke
dalam empat fase, yaitu pada saat situasi tidak terjadi bencana
(pencegahan dan mitigasi), situasi terdapat potensi bencana
(kesiapsiagaan), pada saat terjadi bencana (tanggap darurat), dan
setelah terjadi bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi) (BNPB, 2012).
Keempat fase dalam siklus mitigasi bencana tersebut saling berkaitan
dan sama pentingnya dalam rangka pengurangan risiko kerugian dari
dampak terjadinya bencana.
Kegiatan mitigasi bencana harus dilaksanakan dengan efektif dan
efisien, tentunya hal tersebut memerlukan rangkaian kegiatan yang
terstruktur, hasil dari pemikiran mendalam yang disertai tindakan yang
tepat. Kejadian bencana yang selalu muncul secara tiba-tiba tentunya
dapat menimbulkan dampak kerugian baik harta benda maupun korban
jiwa yang tidak sedikit. Disitulah peran mitigasi bencana diharapkan
mampu dalam meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan dari
suatu bencana tersebut.
Mitigasi bencana dapat dilakukan melalui dua bentuk, yang
pertama adalah mitigasi bencana secara struktural, yaitu mitigasi
bencana yang difokuskan ke penguatan bangunan yang berada di
wilayah yang rentan terhadap bencana. Selain itu bentuk yang kedua
adalah mitigasi bencana secara non-struktural, yaitu mitigasi bencana
yang berfokus terhadap perencanaan pembangunan yang menghindari
wilayah yang rawan bencana, dengan cara mempersiapkan rencana tata
ruang dan wilayah sebaik mungkin. Mempersiapkan masyarakat
dengan pembentukan kesiapsiagaan bencana masuk juga kepada
mitigasi bencana non-struktural. Perwujudan mitigasi bencana non-
struktural yaitu dengan cara bekerja sama dengan para stakeholder,
dalam hal ini masyarakat dan pemerintah daerah secara maksimal dan
berkesinambungan.
2.1.3 Kesiapsiagaan dan komunitas masyarakat
Masyarakat merupakan kumpulan orang-orang yang saling
berinteraksi dalam sebuah wilayah dan menghasilkan kebudayaan yang
sama. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup secara bersama
kemudian menghasilkan kebudayaan (Selo Soemardjan dalam Setiadi,
2013). Ciri-ciri dari masyarakat adalah, pertama manusia yang hidup
bersama lebih dari dua orang individu, kedua berinteraksi dalam waktu
yang cukup lama, ketiga saling menyadari bahwa kehidupannya adalah
suatu kesatuan, dan keempat, sistem bersama yang menghasilkan
kebudayaan dari perasaan yang saling berkaitan antara yang satu
dengan lainnya (Soekanto, 1986). Secara umum dapat disimpulkan
masyarakat adalah kumpulan dari orang-orang yang hidup bersama,
memiliki keterikatan, serta menghasilkan kebudayaan bersama.
Komunitas masyarakat yang akan dibahas disini dibatasi dengan
cakupan wilayah Administrasi Desa Kelurahan, guna mempermudah
kajian kesiapsiagaan bencananya. Masyarakat yang bertempat tinggal
di wilayah yang memiliki kerawanan bencana tinggi, diwajibkan untuk
memiliki kesiapsiagaan yang baik, agar mampu untuk dapat
meminimalisir dampak dari bencana tersebut. Kemudian dikaitkan
dengan lima parameter kesiapsiagaan, yaitu pertama pengetahuan dan
sikap, kedua perencanaan kedaruratan, ketiga sistem peringatan,
keempat mobilisasi sumber daya, serta kelima kebijakan dan panduan.
Berdasarkan kelima parameter kesiapsiagaan bencana tersebut, maka
parameter tersebut dapat diterapkan di komunitas masyarakat dengan
berbagai macam penyesuaian.
Pengetahuan dan sikap terkait bencana sangat penting dimiliki oleh
setiap lapisan masyarakat. Pada struktur masyarakat desa,
pemerintahan desa, kemudian para tokoh masyarakat desa harus
menjadi garda terdepan dalam pemenuhan kebutuhan pengetahuan
tentang kebencanaan. Pemerintah desa dapat bekerja sama dengan
BPBD Kabupaten/ Kota untuk mendapatkan sharing informasi
mengenai kebencanaan di wilayahnya. Kemudian informasi-informasi
kebencanaan tersebut disosialisasikan kepada para tokoh masyarakat
serta para Kepala Dusun Kampung dalam desa tersebut. Dilanjutkan
setiap kepala dusun tersebut mensosialisasikan kembali ke masyarakat
di wilayahnya masing-masing. Sosialisasi ke masyarakat dapat
diselipkan di acara-acara non-resmi seperti Pengajian, Posyandu,
Siskamling, serta lainnya, agar dapat lebih mudah diserap masyarakat.
Diharapkan setelah pengetahuan terkait kebencanaan dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat, maka sikap yang benar dalam
menghadapi bencana dapat terbentuk dengan baik.
2.2 Gempa Bumi

Gambar 2. Proses Gempa Bumi

Bencana gempa bumi merupakan bencana alam yang paling sering terjadi.
Para ahli memperkirakan setiap tahun terjadi sekitar satu juta kali gempa.
Namun, hanya sekitar 5% yang berupa gempa besar. Indonesia termasuk salah
satu negara yang sering mengalami gempa bumi tersebut.
Bukan tanpa alasan jika Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan
gempa. Selain berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh
cincin api pasifik atau ring of fire, Indonesia juga berada di pertemuan tiga
lempeng utama dunia, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Hal ini
disebut para ahli membuat Indonesia sangat berpotensi akan gempa bumi.
Gempa bumi merupakan getaran yang terjadi di permukaan bumi akibat
pelepasan energi dari dalam secara tiba-tiba yang menciptakan gelombang
seismik. Peristiwa tersebut ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada
kerak bumi.
2.3 Kekuatan Gempa Bumi
Perkiraan banyaknya gempa yang terjadi dapat diperoleh melalui hasil
perekaman dari alat pendeteksi gempa bumi atau getaran pada permukaan
tanah, yang dilakukan oleh seorang ilmuwan ahli gempa atau disebut
seismolog. Alat pendeteksi itu disebut seismometer, yakni alat yang
digunakan untuk mengukur atau merekam getaran gempa bumi yang
mencakup kekuatan, lama, arah, dan jaraknya.

Gambar 3. Seismometer
Seismometer berasal dari bahasa Yunani seismos, yang berarti gempa
bumi dan metero yang berarti mengukur. Prototipe dari alat ini diperkenalkan
pertama kali pada tahun 132 SM oleh matematikawan dari Dinasti Han yang
bernama Chang Heng. Dengan alat ini orang pada masa tersebut bisa
menentukan dari arah mana gempa bumi terjadi. Dengan perkembangan
teknologi dewasa ini maka kemampuan seismometer dapat ditingkatkan,
sehingga bisa merekam getaran dalam jangkauan frekuensi yang cukup lebar.
Alat seperti ini disebut seismometer broadband. Seismometer dirangkaikan
dengan seismograf, yaitu alat yang berfungsi untuk mencatat gempa bumi.
Hasil rekaman gempanya disebut seismogram.
2.4 Skala Gempa Bumi
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau biasa disebut BMKG,
yakni Lembaga Pemerintah Non Departemen Indonesia yang mempunyai
tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang meteorologi, klimatologi,
dan geofisika. Salah satu yang sangat tidak asing adalah pemberitahuan
terkait gempa yang baru saja terjadi. Untuk melihat besar gempa, mereka
mempunyai istilah Skala Intensitas Gempabumi (SIG).
Skala ini menyatakan dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya gempa
bumi. SIG-BMKG digagas dan disusun dengan mengakomodir keterangan
dampak gempa bumi berdasarkan tipikal budaya atau bangunan di Indonesia.
Skala ini disusun lebih sederhana dengan hanya memiliki lima tingkatan yaitu
I-V.
SIG-BMKG diharapkan bermanfaat untuk digunakan dalam penyampaian
informasi terkait mitigasi gempa bumi dan atau respons cepat pada kejadian
gempa bumi merusak. Skala ini dapat memberikan kemudahan kepada
masyarakat untuk dapat memahami tingkatan dampak yang terjadi akibat
gempa bumi dengan lebih baik dan akurat.

Anda mungkin juga menyukai