Kerusakan akibat gelombang tsunami terutama terjadi pada daerah teluk, akibat
terjadinya penyempitan gerakan gelombang sehingga mempercepat gerakan gelombang
tersebut. Sebagai sumber utama tsunami yang mungkin terjadi di kawasan selat Sunda ini
adalah gempa dengan episenter di perairan Selat Sunda, letusan Gunung Anak Krakatau
(Gambar 2), serta longsoran bawah laut. Kecepatan tsunami lebih besar pada laut dalam
dibandingkan laut dangkal, secara gradual mengarah ke daerah dangkal yang bergerak
dengan berbagai variasi kedalaman. Gelombang mendekati pantai dan berkembang sebagai
puncak garis hampir sejajar dengan pantai. Setelah mendekati pantai, gelombang tsunami
tersebut bergerak terus dan naik sampai ke arah daratan. Besaran tsunami dan ukuran risiko
bencana yang ditimbulkannya sangat ditentukan banyak faktor. Berbagai faktor yang
menyebabkan perbedaan magnitude dari suatu kejadian gelombang tsunami adalah :
a. Magnitude dari gempa dan kedalamannya
b. Lokasi pelepasan dalam kerak bumi dan kecepatan pelepasannya
c. Perambatan gelombang tsunami (efek dari topografi dasar laut, kedalaman laut dan
sebagainya)
d. Variasi arah rambatan
e. Konfigurasi pantai
f. Topograsi daratan/bentuk bentang alam
g. Tipe dan ukuran deformasi laut
h. Batimetri dasar laut
1. Kedalaman laut
Dari hasil kajian terhadap kebencanaan yang berada di wilayah Selat Sunda, telah
diklasifikasikan menjadi 5 zonasi kerawanan. Kelima zonasi tersebut adalah Zona I (Merak),
Zona II (Anyer-Carita), Zona III (Bandar Lampung), Zona IV (Kalianda), dan Zona V
(Labuan) (Gambar 3). Daerah Merak dan Anyer mempunyai potensi sangat tinggi terhadap
bencana, karenam selain bencana alam yang timbul jugapemukiman dan industri yang sangat
padat yang berpotensi terhadap bencana akibat ulah manusia. Demikian pula pantai selatan
Bandar Lampung yang merupakan suatu teluk yang rawan terhadap bencana tsunami, juga
kerusakan pemukiman yang sangat padat di sepanjang pantai. Letusan dahsyat dari Gunung
Anak Krakatau yang terjadi pada tanggal 27 Agustus 1883 telah diikuti oleh tsunami yang
telah menghancurkan 295 kota dan desa serta menelan tidak kurang dari 36 ribu jiwa.
Letusan gunung tersebut merupakan kejadian terbesar dalam sejarah letusannya, dengan
melontarkan rempah sebesar 18 km-3 tinggi asap 80 km, dan menimbulkan gelombang
tsunami setinggi 30-40 m di sepanjang pantai Merak-Banten, Lampung Selatan yang juga
sampai ke pantai Jakarta. Gelombang tsunami yang diakibatkan oleh letusan Gunung Anak
Krakatau tersebut telah menghancurkan daerah perkotaan maupun perkampungan di
pinggiran pantai kawasan Selat Sunda. Gelombang pasang ini juga memporakporandakan
Teluk Semangko dan Teluk Lampung yang menghancurkan sepanjang garis pantai dan
merusak banyak perkampungan dan korban jiwa, diantaranya 2.500 penduduk tewas di
kampung Benewani, 327 jiwa hilang di Tanjungan dan Tanot Baringin dan 244 jiwa di
Beteong. Gelombang pasang setinggi 13,6 mjuga melanda mercusuar Bengkulen yang
terbuat dari beton dan menewaskan sepuluh orang yang-sedang bekerja.
Menurut laporan Furneaux (1964) diberitakan bahwa letusan Gunung Anak Krakatau
1883 didengar di Teluk Betung padajam 10.00, dan gelombang tsunami mencapai daerah
tersebut jam 11.03. Lima ratus orang meninggal di daerah tersebut dan sekitarnya. Kapal
perang Berouw yang sedang beraktivitas di kawasan teluk tersebut, telah dilemparkan oleh
gelombang tsunami sampai lembah Sungai Kuripan sejauh 2 km dari garis pantai.
Gelombang tsunami dengan periode kurang lebih 30 menit terdeteksi dengan sumber di
kawasan Selat Sunda, tetapi tsunami tersebut terekam gelombangnya pada jarak yang jauh
dengan periode satu sampai dua jam. Tsunami tersebut berjalan ke arah barat di perairan
Samodra India sekitar Cape of Good Hope, dan ke utara sampai Atlantik. Tsunami terekam
di Cape Town (13.032 km jaraknya) dan jejak tsunami tersebut terobservasi sepanjang pantai
di scmua samodra. Pengukuran gelombang pasang di Pelabuhan Cape Horn (14.470 km) dan
Panama (20.646 km) terlihat jelas bekas kedatangan seri gelombang yang dutang dengan
kecepatan sekitar 720 km per jam (Birowo et al, 1983).
Dari hasil kajian mikrozoning bencana tsunami di Kota Bandar Lampung dan
sekitarnya, dibagi menjadi 3 (tiga) zonasi kerentanan, yaitu Zona I (tinggi), Zona II
(menengah) dan Zona III (rendah) (Gambar 4). Hasil kajian lapangan menunjukan bahwa
daerah teluk betung yang merupakn pusat perdagangan dan pemukiman padat merupakan
dataran rendah yang sangat berpotensi terhadap bencana tsunami. Daerah tersebut termasuk
Zona I, yaitu berpotensi tinggi terhadap kerentanan bencana tsunami. Zona tersebut menerus
ke arah timur sepanjang pantai termasuk jalan utama di pinggir pantai, dan kawasan
reklamasi pantai yang sudahbanyak dilakukan ke arah PelabuhanPanjang. Daerah yang
termasuk dalam Zona I tersebut perlu mendapatkan perhatian yang serius Clari pihak Pemda
terkait dan masyarakat yang menempatinya, supaya bisa dilakukan upaya mitigasi bencana
seefektif mungkin dalam mengurangi dampak terhadap bencana tsunami yang mungkin
terjadi di masa yang akan datang. Zona II terletak semakin ke arah daratan di sebelah utara
Zona I, yang meliputi daerah Teluk Betung Utara, Sukaraja, sekitar Way Garuntang, Way
Tunik, menyempit ke arah timur dan selatan. Zona III terletak semakin menjauhi garis pantai,
yang meliputi daerah Sumurbatu, Kupangtiba,Tanjung Gading, Sawah, Pidada dan
sekitarnya.
A.
A.
A.
A.
Analisis Faktor Kerentanan (Vulnerability)
Faktor kerentanan adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau
proses-proses fisik, sosial, dan ekonomi yang mengakibatkan peningkatan kerawanan
masyarakat dalam menghadapi bahaya. Ada tiga (3) sub faktor yang mempengaruhi
dalam faktor kerentanan, yaitu:
b) Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk merupakan perbandingan antara jumlah penduduk pada
tiap kelurahan dengan luas wilayah per kelurahan di wilayah kota Ternate.
Tingginya kepadatan penduduk akan berpotensi mengakibatkan semakin
tinggi pula kemungkinan banyaknya korban jiwa ataupun materi. Berdasarkan
hasil analisis yang dilakukan dengan data yang ada, menunjukan bahwa kota
Ternate mempunyai kepadatan penduduk yang masih relatif rendah. Hal ini
diperlihatkan dengan peta pola penggunaan lahan yang ada, pola penyebaran
penduduk masih belum terlalu padat terutama di wilayah belakang kota
Ternate. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya ketersediaan sarana dan
prasarana yang belum memadai di kelurahan tersebut sehingga penduduk pun
sulit untuk berkembang.
Berdasarkan hasil perhitungan, dapat diketahui bahwa kelurahan dengan
tingkat kerentanan sosial yang tinggi terhadap indikator prosentase kepadatan
penduduk terdapat di 3 kelurahan yaitu kelurahan Tabam, Kampung Makasar
Timur dan Muhajirin yaitu dengan klasifikasi nilai baku tinggi antara 274,5 –
384,1. Dan kelurahan dengan tingkat kerentanan sosial indikator prosentase
kepadatan penduduk yang sedang terhadap bencana letusan gunungapi
Gamalama tersebar di 12 kelurahan yaitu kelurahan Salero, Kampung Makasar
Barat, Santiong, Stadion, Tanah Raja, Kampung Pisang, Takoma, Jati,
Toboko, Fitu, Sulamadaha dan Tobololo yaitu dengan klasfikasi nilai baku
antara 164,7 – 274,4. Sedangkan 33 kelurahan lainnya memiliki tingkat
kerentanan sosial indikator prosentase kepadatan penduduk yang rendah
terhadap bencana alam letusan gunungapi dengan klasifikasi nilai baku antara
54,9 – 164,6.
Penduduk usia lanjut dan balita adalah penduduk yang berumur > 65 dan < 5
tahun. Prosentase penduduk usia lanjut dan balita diperoleh dari hasil
perbandingan jumlah penduduk usia > 65 tahun dan usia < 5 tahun dengan
jumlah penduduk di wilayah Kota Ternate dikali seratus persen. Tingginya
penduduk usia lanjut dan usia balita rentan terhadap bahaya alam letusan
gunungapi karena dianggap memiliki kemampuan yang relatif rendah dalam
proses evakuasi. Semakin besar jumlah penduduk usia lanjut dan balita, maka
semakin tinggi pula tingkat kerentanannya. Berdasarkan data yang ada setelah
di lakukan perhitungan menunjukkan bahwa prosentase penduduk usia lanjut
dan balita di wilayah kota Ternate relatif berfariasi. Berdasarkan hasil
perhitungan dapat dilihat bahwa kelurahan yang memiliki tingkat kerentanan
indikator prosentase penduduk usia lanjut dan balita terhadap bencana letusan
gunungapi paling tinggi terdapat di 7 kelurahan yaitu kelurahan Tarau, Soa,
Soasio, Moya, Rua, Takome dan Tobololo dengan klasifikasi nilai baku antara
2,44 – 3,8. Dan kelurahan yang mempunyai tingkat kerentanan indikator
prosentase penduduk usia lanjut dan balita terhadap bencana letusan
gunungapi yang rendah terdapat di 19 kelurahan seperti Sango, Tabam,
Sangaji, Toboleu, Makasar Barat, Makasar Timur, Santiong, Kalumpang,
Maliaro, Stadion, Kampung Pisang, Muhajirin, Takoma, Kota Baru, Jati,
Tanah Tinggi, Mangga Dua, Kayu Merah, Kalumata, Foramadiahi, Aftadur,
Sulamadaha dan Kulaba yaitu dengan klasifikasi nilai baku rendah antara 0,3 -
1,06. Sedangkan kelurahan yang lainnya memiliki tingkat kerentanan indikator
prosentase penduduk usia lanjut dan balita terhadap bencana letusan
gunungapi Gamalama yang rendah yaitu dengan nilai baku antara 0,3 – 1,06.