Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada
masyarakat. Diare juga merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada
anak di berbagai negara (Widoyono, 2011). Diare dapat menyerang semua
kelompok usia terutama pada anak. Anak lebih rentan mengalami diare, karena
sistem pertahanan tubuh anak belum sempurna (Soedjas, 2011).

World Health Organizatin (WHO) (2012), menyatakan bahwa diare


merupakan 10 penyakit penyebab utama kematian. Tahun 2012 terjadi 1,5 juta
kematian akibat diare. Sepanjang tahun 2012, terdapat sekitar 5 juta bayi
meninggal pada tahun pertama kehidupan. Kematian tersebut disebabkan karena
pneumonia (18%), komplikasi kelahiran preterm (14%) dan diare (12%).

Hasil Riskesdas (2013), menyatakan bahwa insiden diare pada anak di


Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah
Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan
Banten (8,0%). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur
12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), perempuan (4,9%).

Angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit diare di Indonesia masih


tinggi. Proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6 – 11
bulan yaitu sebesar 21,65% lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%,
kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%, sedangkan proporsi terkecil pada
kelompok umur 54 – 59 bulan yaitu 2,06% (Kemenkes, 2011). Penelitian Marlia
(2015), menyatakan bahwa terdapat 99 anak yang mengalami diare di RS Dr.
Diare pada bayi dan balita ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:
yaitu infeksi, malabsorbsi, makanan, dan psikologis anak. Infeksi enteral
merupakan infeksi saluran percernaan, yang menjadi penyebab utama diare pada
anak. Infeksi enteral disebabkan karena bakteri, virus dan parasit. Sedangkan
infeksi parenteral merupakan infeksi dari luar pencernaan seperti otitis media
akut (OMA), bronkopneumonia, ensefalitis. Keadaan ini terutama terdapat pada
bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun (Ngastiyah, 2014).

Wong (2008), mengatakan pengkajian keperawatan terhadap diare dimulai


dengan mengamati keadaan umum dan perilaku anak. Pengkajian selanjutnya
yang dilakukan pada pasien diare dengan gangguan keseimbangan cairan yaitu
pengkajian dehidrasi seperti berkurangnya keluaran urine, turgor kulit yang jelek,
ubun-ubun yang cekung. Nursalam (2008), mengatakan dampak yang dapat
ditimbulkan jika mengalami gangguan keseimbangan cairan yaitu terjadi hal-hal
seperti dehidrasi pada bayi dan balita, hipoglikemia, mengalami gangguan gizi,
gangguan sirkulasi, hingga terjadi komplikasi pada anak.

Dampak masalah fisik yang akan terjadi bila diare tidak diobati akan berakibat
kehilangan cairan dan eletrolit secara mendadak. Pada balita akan menyebabkan
anoreksia (kurang nafsu makan) sehingga mengurangi asupan gizi, dan diare
dapat mengurangi daya serap usus terhadap sari makanan. Dalam keadaan infeksi,
kebutuhan sari makanan pada anak yang mengalami diare akan meningkat,
sehingga setiap serangan diare akan menyebabkan kekurangan gizi. Jika hal ini
berlangsung terus menerus akan menghambat proses tumbuh kembang anak.
Sedangkan dampak psikologis terhadap anak-anak antara lain anak akan menjadi
rewel, cengeng, sangat tergantung pada orang terdekatnya (Widoyono, 2011).

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi resiko meningkatnya episode


diare, diantaranya dengan pemberian ASI. Pemberian ASI pada bayi atau anak
yang mengalami diare akan memiliki manfaat antara lain untuk mengganti
cairan yang hilang (rehidrasi). ASI mengandung zat- zat gizi yang berguna
untuk memenuhi kecukupan zat gizi selama diare yang diperlukan untuk
penyembuhan dan pertumbuhan (Puput, 2011). Hasil penelitian Tamimi, dkk
(2016), menyatakan bahwa 92.1% bayi yang mendapat ASI eksklusif tidak
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Defenisi Dari Diare
2. Apa Klasifikasi Dari Diare
3. Apa Etiologi Dari Diare
4. Bgaiamana Patofisioologi Diare
5. Bagaimana Penatalaksanaan Dari Diare
6. Apa Komplikasi Dari Diare
7. Apa Pemeriksaan Penunjang Dari Diare
8. Bagaimana Askep Teoritis Diare

1.3 Manfaat
Untuk Mengetahui dan Menambah pemahaman mahasiswa akper setih setio
bagaiamana cara membuat askep gastroenteritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Kasus Diare


2.1.1 Pengertian
Nursalam (2008), mengatakan diare pada dasarnya adalah frekuensi
buang air besar yang lebih sering dari biasanya dengan konsistensi yang
lebih encer. Diare merupakan gangguan buang air besar atau BAB ditandai
dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat
disertai dengan darah dan atau lender (Riskesdas, 2013).

Diare yaitu penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi


feses. Seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari
biasanya, dan bila buang air besar lebih dari tiga kali, atau buang air besar
yang berair tetapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Dinkes, 2016).

WHO (2009), mengatakan diare adalah suatu keadaan buang air besar
(BAB) dengan konsistensi lembek hingga cair dan frekuensi lebih dari tiga
kali sehari. Diare akut berlangsung selama 3-7 hari, sedangkan diare persisten
terjadi selama ≥ 14 hari.

2.2.2 Klasifikasi Diare


Pedoman dari Laboratorium/ UPF Ilmu Kesehatan Anak, Uniersitas
Airlangga dalam Nursalam (2008), diare dapat dikelompokkan
menjadi:
a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi mendadak dan berlangsung

paling lama 3-5 hari.


b. Diare berkepanjangan bila diare berlangsung lebih dari 7 hari.
c. Diare kornik bila diare berlangsung lebih dari 14 hari. Diare kronik bukan
suatu kesatuan penyakit, melainkan suatu sindrom yang penyebab dan
patogenesisnya multikompleks. Mengingat banyaknya kemungkinan
penyakit yang dapat mengakibatkan diare kronik dan banyaknya
pemeriksaan yang harus dikerjakan maka dibuat tinjauan pustaka ini untuk
dapat melakukan pemeriksaan lebih terarah.

Sedangkan menurut Wong (2008), diare dapat diklasifikasikan, sebagai


berikut:

a. Diare akut
Merupakan penyebab utama keadaan sakit pada balita. Diare akut
didefenisikan sebagai peningkatan atau perubahan frekuensi defekasi yang
sering disebabkan oleh agens infeksius dalam traktus Gastroenteritis
Infeksiosa (GI). Keadaan ini dapat menyertai infeksi saluran napas atau
(ISPA) atau infeksi saluran kemih (ISK). Diare akut biasanya sembuh
sendiri (lamanya sakit kurang dari 14 hari) dan akan mereda tanpa terapi
yang spesifik jika dehidrasi tidak terjadi.

b. Diare kronis
Didefenisikan sebagai keadaan meningkatnya frekuensi defekasi dan
kandungan air dalam feses dengan lamanya (durasi) sakit lebih dari 14 hari.
Kerap kali diare kronis terjadi karena keadaan kronis seperti sindrom
malabsorpsi, penyakit inflamasi usus, defisiensi kekebalan, alergi makanan,
intoleransi latosa atau diare nonspesifik yang kronis, atau sebagai akibat dari
penatalaksanaan diare akut yang tidak memadai.

c. Diare intraktabel
Yaitu diare membandel pada bayi yang merupakan sindrom pada bayi dalam
usia minggu pertama dan lebih lama dari 2 minggu tanpa ditemukannya
mikroorganisme patogen sebagai penyebabnya dan bersifat resisten atau
membandel terhadap terapi. Penyebabnya
d. Diare kronis nonspesifik
Diare ini juga dikenal dengan istilah kolon iritabel pada anak atau
diare todler, merupakan penyebab diare kronis yang sering dijumpai pada
anak-anak yang berusia 6 hingga 54 minggu. Feses pada anak lembek dan
sering disertai dengan partikel makanan yang tidak tercerna, dan lamanya
diare lebih dari 2 minggu. Anak- anak yang menderita diare kronis
nonspesifik ini akan tumbuh secara normal dan tidak terdapat gejala
malnutrisi, tidak ada darah dalam fesesnya serta tidak tampak infeksi
enterik.

2.1.3 Etiologi
Ngastiyah (2014), mengatakan diare dapat disebabkan oleh berbagai
infeksi, selain penyebab lain seperti malabsorbsi. Diare sebenarnya
merupakan salah satu gejala dari penyakit pada sistem gastrointestinal atau
penyakit lain di luar saluran pencernaan. Tetapi sekarang lebih dikenal dengan
“penyakit diare”, karena dengan sebutan penyakit diare akan mempercepat
tindakan penanggulangannya. Penyakit diare terutama pada bayi perlu
mendapatkan tindakan secepatnya karena dapat membawa bencana bisa
terlambat.

Faktor penyebab diare, antara lain :


a.) Faktor Infeksi
1) Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan makanan yang
merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral
sebagai berikut :
2.) Infeksi bakteri : Vibrio, E.Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.
3. ) Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO,Coxsackie, Poliomyelitis)
Adeno-virus, Rotavirus, Astrovirus, dan lain-lain.
b.) Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides);
protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas
hominis); jamur (Candida albicans
c.) Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti:
otitis media akut (OMA) , tonsilitis/ tonsilofaringitis, bronkopneumonia,
ensefalitis, dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan
anak berumur di bawah 2 tahun.
d. Faktor malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan
sukrosa); monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa).
Pada bayi dan anak yang terpenting
dan tersering (intoleransi laktosa).
2) Malabsorbsi lemak.
3) Malabsorbsi protein.
e. Faktor makanan, makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
f. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada
anak yang lebih besar).

Selain kuman, ada beberapa perilaku yang dapat meningkatan resiko terjadinya
diare, yaitu :

a. Tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama dari
kehidupan.
b. Menggunakan botol susu.
c. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar.
d. Air minum tercemar dengan bakteri tinja.
e. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja,
atau sebelum menjamaah makanan.

Menurut Wong (2008), penyebab infeksius dari diare akut yaitu :


1. Agens virus
a. Rotavirus, masa inkubasi 1-3 hari. Anak akan mengalami demam (38ºC
atau lebih tinggi), nausea atau vomitus, nyeri abdomen, disertai infeksi
saluran pernapasan atas dan diare dapat berlangsung lebih dari 1
minggu. Biasanya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan, sedangkan pada
anak terjadi di usia lebih
dari 3 tahun.
b. Mikroorganisme, masa inkubasi 1-3 hari. Anak akan demam, nafsu
makan terganggu, malaise. Sumber infeksi bisa didapat

dari air minum, air di tempat rekreasi (air kolam renang, dll), makanan.
Dapat menjangkit segala usia dan dapat sembuh sendiri dalam waktu 2-
3 hari.

2. Agens bakteri
a. Escherichia coli, masa inkubasinya bervariasi bergantung pada strainnya.
Biasanya anak akan mengalami distensi abdomen, demam, vomitus, BAB
berupa cairan berwarna hijau dengan darah atau mukus bersifat
menyembur. Dapat ditularkan antar individu, disebabkan karena daging
yang kurang matang,
pemberian ASI tidak eksklusif.
b. Kelompok salmonella (nontifoid), masa inkubasi 6-72 jam untuk
gastroenteritis. Gejalanya bervariasi, anak bisa mengalami nausea atau
vomitus, nyeri abdomen, demam, BAB kadang berdarah dan ada lendir,
peristaltik hiperaktif, nyeri tekan ringan pada abdomen, sakit kepala,
kejang. Dapat disebabkan oleh makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh binatang seperti kucing, burung, dan
lainnya.
3. Keracunan makanan
a. Staphylococcus, masa inkubasi 4-6 jam. Dapat menyebabkan kram yang
hebat pada abdomen, syok. Disebabkan oleh makanan yang kurang
matang atau makanan yang disimpan di lemari es seperti puding,
mayones, makanan yang berlapis
krim.
b. Clostridium perfringens, masa inkubasi 8-24 jam. Dimana anak akan
mengalami nyeri epigastrium yang bersifat kram dengan intensitas yang
sedang hingga berat. Penularan bisa lewat produk makanan komersial
yang paling sering adalah daging
dan unggas.
c. Clostridium botulinum, masa inkubasi 12-26 jam. Anak akan mengalami
nausea, vomitus, mulut kering, dan disfagia. Ditularkan lewat makanan
yang terkntaminasi. Intensitasnya bervariasi mulai dari gejala ringan
hingga yang dapat

menimbulkan kematian dengan cepat dalam waktu beberapa jam.


2.1.4 Patofisiologi
Hidayat (2008), mengatakan proses terjadinya diare dapat disebabkan

oleh berbagai kemungkinan faktor diantaranya :


a. Faktor infeksi
1) Virus
Penyebab tersering diare pada anak adalah disebabkan infeksi rotavirus.
Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke dalam tubuh
bersama dengan makanan dan minuman yang masuk ke dalam saluran
pencernaan yang kemudian melekat pada sel-sel mukosa usus, akibatnya sel
mukosa usus menjadi rusak yang dapat menurunkan daerah permukaan
usus. Sel-sel mukosa yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit baru
yang berbentuk kuboid atau sel epitel gepeng yang belum matang sehingga
fungsi sel-sel ini masih belum bagus. Hal ini menyebabkan vili-vili usus
halus mengalami atrofi dan tidak dapat menyerap cairan dan makanan
dengan baik. Selanjutnya, terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya
mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorpsi cairan dan elektrolit.
Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri atau virus akan menyebabkan
sistem transpor aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi
yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.

2) Bakteri
Bakteri pada keadaan tertentu menjadi invasif dan menyerbu ke dalam
mukosa, terjadi perbanyakan diri sambil membentuk toksin. Enterotoksin ini
dapat diresorpsi ke dalam darah dan menimbulkan gejala hebat seperti
demam tinggi, nyeri kepala, dan kejang-kejang. Selain itu, mukosa usus
yang telah dirusak mengakibatkan mencret berdarah berlendir. Penyebab
utama pembentukan enterotoksin ialah bakteri Shigella sp, E.coli. diare ini
bersifat self-limiting dalam waktu kurang lebih lima

hari tanpa pengobatan, setelah sel-sel yang rusak diganti dengan sel-sel
mukosa yang baru (Wijoyo, 2013).
B. Faktor malabsorpsi,
1. Gangguan osmotik
Cairan dan makanan yang tidak dapat diserap akan terkumpul di usus
halus dan akan meningkatkan tekanan osmotik usus Akibatnya akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat. Gangguan
osmotik meningkat menyebabkan terjadinya pergeseran air dan elektrolit
ke dalam rongga usus. Hal ini menyebabkan banyak cairan ditarik ke
dalam lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya hiperperistaltik
usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan didorong
keluar melalui anus dan terjadilah diare (Nursalam, 2008).
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan
selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus
(Nursalam, 2008).
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus
untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bisa
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh
berlebihan, selanjutnya timbul diare pula. Akibat dari diare yaitu
kehilangan air dan elektrolit yang dapat menyebabkan cairan
ekstraseluler secara tiba-tiba cepat hilang, terjadi ketidakseimbangan
elektrolit yang mengakibatkan syok hipovolemik dan berakhir pada
kematian jika tidak segera diobati (Nursalam, 2008).
C. Faktor makanan, ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu
diserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang
mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang
kemudian menyebabkan diare (Hidayat, 2008). Diare akut berulang dapat
menjurus ke malnutrisi energi protein, yang mengakibatkan usus halus
mengalami perubahanyang disebabkan oleh PEM tersebut menjurus ke
defisiensi enzim yang menyebabkan absorpsi yang tidak adekuat dan
terjadilah diare berulang yang kronik. Anak dengan PEM terjadi perubahan
respons imun, menyebabkan reaksi hipersensitivitas kulit terlambat,
berkurangnya jumlah limfosit dan jumlah sel T yang beredar.

Setelah mengalami gastroenteritis yang berat anak mengalami malabsorpsi.


Malabsorpsi juga terdapat pada anak yang mengalami malnutrisi, keadaan
malnutrisi menyebabkan atrofi mukosa usus, faktor infeksi silang usus
yang berulang menyebabkan malabsorpsi, enteropati dengan kehilangan
protein. Enteropati ini menyebabkan hilangnya albumin dan imunogobulin
yang mengakibatkan kwashiorkor dan infeksi jalan nafas yang berat
(Suharyono, 2008).

d. Faktor psikologis

faktor ini dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang


akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat
menyebabkan diare. Proses penyerapan terganggu (Hidayat, 2008).

2.5.5 Manifestasi Klinis


Anak yang mengalami diare akibat infeksi bakteri mengalami kram perut,
muntah, demam, mual, dan diare cair akut. Diare karena infeksi bakteri invasif
akan mengalami demam tinggi, nyeri kepala, kejang- kejang, mencret
berdarah dan berlendir (Wijoyo, 2013).

Ngastiyah (2014), mengatakan anak yang mengalami diare BAB cair, mungkin
disertai lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijauan karena
bercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya akan lecet karena
sering defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyak
asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama
diare.

Gejala muntah dapat timbul sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan
karena lambung turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa
dan elektrolit. Jika anak telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, serta
mengalami gangguan asam basa dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolik dan hipokalemia, hipovolemia. Gejala dari dehidrasi yang tampak
yaitu berat badan turun, turgor kulit kembali sangat lambat, mata dan ubun-
ubun besar menjadi cekung, mukosa bibir kering.

Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat


menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak
diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat
berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi
hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan,
dehidrasi sedang atau dehidrasi berat (Juffrie, 2010). Untuk mengetahui
keadaan dehidrasi dapat dilakukan penilaian sebagai berikut:

2.1.6 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
1) Dehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan. Empat hal penting
yang perlu diperhatikan
a) Jenis cairan
(1) Oral : pedialyte atau oralit, Ricelyte
(2) Parenteral : NaCl, Isotonic, infus
b) Jumlah cairan
Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan cairan yang
dikeluarkan.

c) Jalan masuk atau cara pemberian


(1) Cairan per oral, pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang
cairan diberikan per oral berupa cairan yang berisikan NaCl dan
NaHCO3, KCL dan glukosa.

(2) Cairan parenteral, pada umumnya cairan Ringer Laktat (RL) selalu
tersedia di fasilitas kesehatan dimana saja. Mengenai seberapa
banyak cairan yang diberikan tergantung dari berat
2) Penatalaksanaan Keperawatan

1. Bila dehidrasi masih ringan

Berikan minum sebanyak-banyaknya, 1 gelas setiap kali setelah pasien


defekasi. Cairan harus mengandung eletrolit, seperti oralit. Bila tidak
ada oralit dapat diberikan larutan gula garamdenan 1 gelas air
matang yang agak dingindilarutkan dalam 1 sendok the gula pasir dan
1 jumput garam dapur. Jika anak terus muntah atau tidak mau minum
sama sekali perlu diberikan melaluui sonde. Bila pemberian cairan per
oral tidak dapat dilakukan, dipasang infus dengan cairan Ringer Laktat
(RL) atau cairan lain (atas persetujuan dokter). Yang penting
diperhatikan adalah apakah tetesan berjalan lancar terutama pada jam-
jam pertama karena diperlukan untuk segera mengatasi dehidrasi.

2. Pada dehidrasi berat


Selama 4 jam pertama tetesan lebih cepat. Untuk mengetahui kebutuhan
sesuai dengan yang diperhitungkan, jumlah cairan yang masuk tubuh
dapat dihitung dengan cara:

(a) Jumlah tetesan per menit dikalikan 60, dibagi 15/20 (sesuai set
infus yang dipakai). Berikan tanda batas cairan pada botol infus
waktu memantaunya.

(b) Perhatikan tanda vital : denyut nadi, pernapasan, suhu.

(c) Perhatikan frekuensi buang air besar anak apakah masih sering,
encer atau sudah berubah konsistensinya.

(d) Berikan minum teh atau oralit 1-2 sendok jam untuk mencegah
bibir dan selaput lendir mulut kering.

(e) Jika rehidrasi telah terjadi, infus dihentikan, pasien


diberi makan lunak atau secara realimentasi.

Penanganan diare lainnya yaitu dengan rencana


terapi A, B dan C sebagai berikut:
2.1.7 Komplikasi
Menurut Suharyono dalam Nursalam (2008), komplikasi yang dapat terjadi
dari diare akut maupun kronis, yaitu:

1. Kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi)


Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa
(asidosis metabolik), karena:

a. Kehilangan narium bicarbonat bersama tinja.

b. Adanya ketosis kelaparan dan metabolisme lemak yang tidak


sempurna, sehingga benda keton tertimbun dalam tubuh.

c. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia


jaringan.

d. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat


dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguri dan anuria).

e. Pemindahan ion natrium dan cairan ekstraseluler ke dalam cairan


intraseluler. Secara klinis, bila pH turun oleh karena akumulasi beberapa
asam non- volatil, maka akan terjadi hiperventilasi yang akan menurunkan
pCO2 menyebabkan pernafasan bersifat cepat, teratur, dan dalam (pernapasan
kusmaul) (Suharyono, 2008).

2. Hipoglikemia

Hypoglikemia terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare dan
lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita
kekurangan kalori protein (KKP), karena :

a. Penyimpanan persediaan glycogen dalam hati terganggu.


b. Adanya gangguan absorpsi glukosa (walaupun jarang terjadi.

Gejala hypoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun


sampai 40% pada bayi dan 50% pada anak-anak. Hal tersebut dapat
berupa lemas, apatis, peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok,
kejang sampai koma.

3. Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi sehingga terjadi
penurunan berat badan. Hal ini disebabkan karena:

a. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau
muntahnya akan bertambah hebat, sehingga orang tua hanya sering
memberikan air teh saja.

b. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran dalam


waktu yang terlalu lama.

c. Makanan diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan


baik karena adanya hiperperistaltik.

4. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, maka dapat terjadi
gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau syok hipovolemik. Akibat
perfusi jaringan berkurang dan terjadinyaperdarahan di dalam otak, kesadaran
menurun, dan bila tidak segera ditolong maka penderita dapat meninggal.

5. Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na<130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak
malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari
hampir semua anaka dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu: memakai Ringer
Laktat atau Normal Saline (Juffrie, 2010).
BAB III
ASKEP TEORITIS

3.1 Konsep Asuhan Keperawatan


3.3.1 Pengkajian
1) Anamnesis:
pengkajian mengenai nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir, umur,
tempat lahir, asal suku bangsa, nama orang tua, pekerjaan orang tua, dan
penghasilan.

2) Keluhan Utama
Biasanya pasien mengalamin buang air besar (BAB) lebih dari 3 kali sehari,
BAB < 4 kali dan cair (diare tanpa dehidrasi), BAB 4-10 kali dan cair
(dehidrasi ringan/ sedang), atau BAB > 10 kali (dehidrasi berat). Apabila
diare berlangsung <14 hari maka diare tersebut adalah diare akut, sementara
apabila berlangsung selama 14 hari atau lebih adalah diare persisten
(Nursalam, 2008)

3) Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya pasien mengalami:


a. Bayi atau anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin
meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, dan kemungkinan
timbul diare.

b. Tinja makin cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna
tinja berubah menjadi kehijauan karena bercampur empedu.

c. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet karena sering defekasi dan
sifatnya makin lama makin asam.

d. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare.

e. Apabila pasien telah banyak kehilangan cairan dan eletrolit, maka


gejala dehidrasi mulai tampak.

f. Diuresis: terjadi oliguri (kurang 1 ml/kg/BB/jam) bila terjadi dehidrasi.


Urine normal pada diare tanpa dehidrasi. Urine sedikit gelap pada
dehidrasi ringan atau sedang. Tidak ada urine dalam waktu 6 jam
(dehidrasi berat) (Nursalam, 2008).

4) Riwayat Kesehatan Dahulu


a. Kemungkinan anak tidak dapat imunisasi campak Diare lebih sering
terjadi pada anak-anak dengan campak atau yang baru menderita
campak dalam 4 minggu terakhir, sebagai akibat dari penuruan
kekebalan tubuh pada pasien. Selain imunisasi campak, anak juga harus
mendapat imunisasi dasar lainnya seperti imunisasi BCG, imunisasi
DPT, serta imunisasi polio.

b. Adanya riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan (antibiotik),


makan makanan basi, karena faktor ini merupakan salah satu
kemungkinan penyebab diare.

c. Riwayat air minum yang tercemar dengan bakteri tinja, menggunakan


botol susu, tidak mencuci tangan setelah buang air besar, dan tidak
mencuci tangan saat menjamah makanan.

d. Riwayat penyakit yang sering terjadi pada anak berusia dibawah 2


tahun biasanya adalah batuk, panas, pilek, dan kejang yang terjadi
sebelumnya, selama, atau setelah diare. Informasi ini diperlukan untuk
melihat tanda dan gejala infeksi lain yang menyebabkan diare seperti
OMA, tonsilitis, faringitis, bronkopneumonia, dan ensefalitis
(Nursalam, 2008).

5) Riwayat Kesehatan Keluarga


Adanya anggota keluarga yang menderita diare sebelumnya, yang dapat
menular ke anggota keluarga lainnya. Dan juga makanan yang tidak dijamin
kebersihannya yang disajikan kepada anak. Riwayat keluarga melakukan
perjalanan ke daerah tropis (Nursalam, 2008; Wong, 2008).
6. Riwayat Nutrisi
Riwayat pemberian makanan sebelum mengalami diare, meliputi:

a. Pemberian ASI penuh pada anak umur 4-6 bulan sangat mengurangi
resiko diare dan infeksi yang serius.

b. Pemberian susu formula. Apakah dibuat menggunakan air masak dan


diberikan dengan botol atau dot, karena botol yang tidak bersih akan
mudah menimbulkan pencemaran.

c. Perasaan haus. Anak yang diare tanpa dehidrasi tidak merasa haus
(minum biasa). Pada dehidrasi ringan atau sedang anak merasa haus
ingin minum banyak. Sedangkan pada dehidrasi berat, anak malas
minum atau tidak bisa minum (Nursalam, 2008).

b. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
a) Diare tanpa dehidrasi: baik, sadar
b) Diare dehidrasi ringan atau sedang: gelisah, rewel
c) Diare dehidrasi berat: lesu, lunglai, atau tidak sadar
2. Berat badan

Menurut S. Partono dalam Nursalam (2008), anak yang mengalami diare


dengan dehidrasi biasanya mengalami penurunan berat badan, sebagai
berikut:

3. Pemeriksaan Fisik
a) Kepala
Anak berusia di bawah 2 tahun yang mengalami dehidrasi, ubun-
ubunnya biasanya cekung
b) Mata
Anak yang mengalami diare tanpa dehidrasi, bentuk kelopak matanya
normal. Apabila mengalami dehidrasi ringan atau sedang kelopak
matanya cekung (cowong). Sedangkan apabila mengalami dehidrasi
berat, kelopak matanya sangat cekung.

c) Hidung
Biasanya tidak ada kelainan dan gangguan pada hidung, tidak sianosis,
tidak ada pernapasan cuping hidung.

d) Telinga
Biasanya tidak ada kelainan pada telinga.
e) Mulut dan Lidah
(1) Diare tanpa dehidrasi: Mulut dan lidah basah
(2) Diare dehidrasi ringan: Mulut dan lidah kering
(3) Diare dehidrasi berat: Mulut dan lidah sangat kering
f) Leher
Tidak ada pembengkakan pada kelenjar getah bening, tidak ada
kelainan pada kelenjar tyroid.

g) Thorak
(1) Jantung
(a) Inspeksi : Pada anak biasanya iktus kordis tampak terlihat.
(b) Auskultasi Pada diare tanpa dehidrasi denyut jantung normal, diare
dehidrasi ringan atau sedang denyut jantung pasien normal hingga
meningkat, diare dengan dehidrasi berat biasanya pasien mengalami
takikardi dan bradikardi.

(2) Paru-paru
(a) Inspeksi Diare tanpa dehidrasi biasanya pernapasan normal, diare
dehidrasi ringan pernapasan normal hingga melemah, diare dengan
dehidrasi berat pernapasannya dalam.
h) Abdomen
(1) Inspeksi : Anak akan mengalami distensi abdomen, dan kram.
(2) Palpasi :Turgor kulit pada pasien diare tanpa dehidrasi baik, pada pasien
diare dehidrasi ringan kembali < 2 detik, pada pasien dehidrasi berat
kembali > 2 detik.

(3) Auskultasi
Biasanya anak yang mengalami diare bising ususnya meningkat
i) Ektremitas
ringan CRT kembali < 2 detik, akral dingin. Pada anak dehidrasi berat CRT
kembali > 2 detik, akral teraba dingin, sianosis.

j) Genitalia
Anak dengan diare akan sering BAB maka hal yang perlu di lakukan
pemeriksaan yaitu apakah ada iritasi pada anus.

c. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan laboratrium
(a) Pemeriksaan AGD, elektrolit, kalium, kadar natrium serum
Biasanya penderita diare natrium plasma > 150 mmol/L, kalium > 5 mEq/L

(b) Pemeriksaan urin


Diperiksa berat jenis dan albuminurin. Eletrolit urin yang diperiksa adalah
Na+ K+ dan Cl. Asetonuri menunjukkan adanya ketosis (Suharyono, 2008).

(c) Pemeriksaan tinja


Biasanya tinja pasien diare ini mengandung sejumlah ion
natrium, klorida, dan bikarbonat.

(d) Pemeriksaan pH, leukosit, glukosa


Biasanya pada pemeriksaan ini terjadi peningkatan kadar protein leukosit dalam
feses atau darah makroskopik (Longo, 2013). pH menurun disebabkan akumulasi
asama atau kehilangan basa (Suharyono, 2008).
2. Diagnosa Keperawatan
1. Hipovelemia B/d Kehilangan Cairan Aktif

2. Diare B/d Proses Infeksi

3. Defisit Nutrisi B/D Ketidakmampuan mencerna makanan

4. Hipetermi B/d Dehidrasi

3. Intervensi
NNo Hr/Tgl/Jam Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH Intervensi
(SMART)
1.1. Se Hi hipovolemia b/d Setelah dilakukan 1. periksa tanda dan
kehilangan cairan aktif tindakan keperawatan gejala hipofilemia
selama 3x24 jam turgor kulit menurun
diharapkan status cairan membran mukosa
membaik dengan kering HT
kriteria hasil: meningkat haus
1. Konsistensi dan lemah
frekuensi bab 2. monitor input dan
membaik output cairan
2. Ubun-ubun tidak 3. Berikan asupan
cekung tugor kulit cairan oral
menurun mukosa 4. Anjurkan
bibir membaik mata memperbanyak
tidak cekung asupan cairan oral
3. Anak kembali aktif 5. Kolaborasi
tidak cemas dan pemberian cairan IV
rewel (RL NaCl)
4. Anak tidak muntah 6. Kolaborasi
saat diberi minum pemberian obat
dan susu dengan dokter
5. Perut tidak
kembung peristaltik
usus
6. Hasil
- Natrium
-Kalium
-Klorida
-HT
2. Di diare b/d proses infeksi
1. Identifikasi penyebab
1. Setelah dilakukan diare (proses infeksi)
tindakan 2. Identifikasi riwayat
keperawatan selama pemberian makanan
3x24 jam diharapkan 3. Identifikasi gejala
inflamasi fekal invaginasi
membaik dengan 4. Monitor mual muntah
kriteria hasil: frekuensi konsistensi
2. Frekuensi bab tinja
membaik 5. Monitor tanda gejala
3. Konsistensi spesies 6. Berikan asupan cairan
membaik oral
pengeluaran feses 7. Berika cairan
membaik intravena ( RL)
4. Peristaltik usus 8. Ambil sampel feses
membaik jika perlu
9. Anjurkan lanjut
pemberian ASI

3. DeDefisit nutrisi
Se berhubungan dengan
ketidakmampuan
1.Identifikasi makanan
mencerna makanan dan Setelah dilakukan yang disukai
keengganan untuk tindakan keperawatan 2. Monitor asupan
makan selama 3 x 24 jam makanan dan mual
diharapkan status nutrisi muntah
membaik dengan 3. Monitor berat badan
kriteria hasil : 4. Monitor hasil lab
1. Nafsu makan baik 5. Berikan makanan
2. Frekuensi makan yang menarik dan suhu
membaik yang sesuai
3. Sariawan menurun 6. Berikan makanan
4. BB membaik 9 kg tinggi kalori dan tinggi
5. Imt membaik protein
6. Membran mukosa 7. Berikan suplemen jika
membaik perlu.
4.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana


keperawatan yang telah di susun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).
Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses keperawatan,
kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan
dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2010)..

4.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan


yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus
diakhiri dilanjutkan, atau diubah (Kozier, 2011). Evaluasi keperawatan ada dua
macam yaitu:

1. Evaluasi formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawaatan yang telah dilaksanakan.Perumusan evaluasi formatif ini
meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif
(data berupa keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan dan observasi),
analisis data (perbandingan data dengan teori), dan perencanaan.

2. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas
proses keperawatan selesai dilakukan. Evalusi sumatif ini bertujuan menilai dan
memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan.Metode yang dapat
digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir
layanan, menanyakan respon klien dan keluarga terkait layanan keperawatan,
mengadakan pertemuan pada akhir layanan.
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan
keperawatan.
a. Tujuan tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditentukan.

b. Tujuan tercapai sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan
jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang telah
ditetapkan.

c. Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan
tidak ada kemajauan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Nursalam (2008), mengatakan diare pada dasarnya adalah frekuensi
buang air besar yang lebih sering dari biasanya dengan konsistensi yang
lebih encer. Diare merupakan gangguan buang air besar atau BAB ditandai
dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai
dengan darah dan atau lender (Riskesdas, 2013).

Diare yaitu penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi


feses. Seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya,
dan bila buang air besar lebih dari tiga kali, atau buang air besar yang berair
tetapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Dinkes, 2016).

4.2 Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan maka saran yang perlu disampaikan sebagai
berikut:
1. Bagi institusi kesehatan
Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan pihak institusi kesehatan
dapat meningkatkan dan mempertahankan mutu pelayanan.
2. Bagi penulis
dapat menambahkan data pasien dengan perbedaan derajat Gastroenteritis.
selain itu juga perlu adanya studi komparasi di rumah sakit h hanafie muara
bungo

Anda mungkin juga menyukai