Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI

“SWAMEDIKASI DIARE”

Disusun Oleh :

Angelia Citra (2018001144)


Ayu Dina Unifah (2018001150)
Aurina Ligina (2018001215)
Debi Rose (2018001156)
Devilke Yandriyani (2018001221)
Fadhillah (2018001227)
Firda Rosdiana (2018001162)
Kelas/kelompok : A/4

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit diare masih menjadi penyebab kematian balita (bayi dibawah 5
tahun) terbesar di dunia. Diare sering kali dianggap sebagai penyakit sepele, padahal
di tingkat global dan nasional fakta menunjukkan sebaliknya. Menurut catatan
(WHO, 2013) diare membunuh 2 juta anak di dunia setiap tahun, sedangkan di
Indonesia diare merupakan salah satu penyebab kematian ke 2 terbesar pada balita.
Menurut WHO (2013), diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari
tiga kali sehari. Dimana pada dunia ke-3, diare adalah penyebab kematian paling
umum kematian balita, membunuh lebih dari 1,5 juta orang pertahun. Diare
kondisinya dapat merupakan gejala dari luka, penyakit, alergi (Fructose, Lactose),
penyakit dan makanan atau kelebihan Vitamin C dan biasanya disertai sakit perut
dan seringkali enek dan muntah. Dimana menurut WHO (2013) diare terbagi dua
berdasarkan mula dan lamanya, yaitu diare akut dan diare kronik.
Diare seringkali dianggap penyakit yang biasa dan sering dianggap sepele
penanganannya. Pada kenyataanya diare dapat menyebabkan gangguan sistem
ataupun komplikasi yang sangat membahayakan bagi penderita. Beberapa di
antaranya adalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan berbagai
organ tubuh, dan bila tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan kematian.
Dengan demikian menjadi penting bagi perawat untuk mengetahui lebih lanjut
tentang diare, dampak negatif yang ditimbulkan, serta upaya penanganan dan
pencegahan komplikasinya (Riskesdas, 2007).
Angka prevalensi diare di Indonesia masih berfluktuasi. Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007) prevalensi diare klinis adalah 9,0%
(rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (18,9%) dan terendah di D.I.
Yogyakarta (4,2%). Beberapa provinsi mempunyai prevalensi diare klinis >9%
(NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua). Sedangkan menurut data Riskesdas
pada tahun 2013 angka prevalensi mengalami penurunan sebesar (3,5%) untuk
semua kelompok umur.
Secara umum, gejala klinis diare itu adalah gejala seperti demam karena
adanya infeksi, mual muntah, feses lembek dan cair serta lebih dari 3 kali dalam 24
jam, sakit perut dan kram perut, kehilangan nafsu makan, dehidrasi, dan badan
lemah. Apabila tidak dilakukan tatalaksana dengan baik dapat menyebabkan
kematian. Untuk menghilangkan gejala yang menyertai dapat menggunakan obat-
obatan yang sesuai bila diperlukan (Amin, 2015).
Obat bebas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan bisa
diperoleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini
ditandai dengan lingkaran hitam dengan latar berwarna hijau. Ada beberapa obat
bebas yang dapat membantu mengatasi diare akut jika gejala Anda tidak parah. Obat-
obatan bebas termasuk: oralit untuk mencegah kekurangan cairan tubuh, Adsorben
dan Obat Pembentuk Massa yang termasuk dalam kelompok ini adalah Norit (karbo
adsorben), kombinasi (Kaolin-Pektin dan attapulgit). Kegunaanya adalah untuk
mengurangi frekuensi buang air besar, memadatkan tinja, menyerap racun pada
penderita diare (Depkes, 2007).
Setelah mengetahui dan memahami pengobatan diare masyarakat dapat
mengobati diri sendiri yang disebut swamedikasi. Swamedikasi ialah mengobati
segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat yang dibeli bebas di apotek atau
toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter. Obat bebas dan obat bebas
terbatas adalah obat yang dapat diperjualbelikan secara bebas tanpa resep dokter
untuk mengobati jenis penyakit yang pengobatannya dapat ditetapkan sendiri oleh
masyarakat (Depkes, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Diare ?
2. Apa saja klasifikasi dari penyakit Diare ?
3. Apa saja manifestasi klinis dari penyakit Diare ?
4. Apa saja fakto resiko terjadinya Diare ?
5. Bagaimana patofisiologis dari penyakit Diare ?
6. Bagaimana swamedikasi dari penyakit Diare?
7. Bagaimana terapi farmakologi dan non farmakologi penyakit Diare ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memberikan informasi berupa pengetahuan kepada pembaca mengenai
bahaya yang ditimbulkan dari penyakit diare
2. Untuk memberikan informasi tentang penanganan dan pencegahan penyakit
diare secara farmakologis maupun non farmakologis.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Definisi
Diare adalah frekuensi dan likuiditas buang air besar (BAB) yang abnormal.
Frekuensi dan konsistensi BAB bervariasi dalam dan antar individu. Sebagai contoh,
beberapa individu defekasi tiga kali sehari, sedangkan yang lainnya hanya dua atau
tiga kali seminggu (Adnyana, 2008).

B. Klasifikasi Diare
1. Pembagian diare menurut etiologi
a. Diare Spesifik
Diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, atau parasit. Contoh:
disentri.
b. Diare Non Spesifik
Diare yang disebabkan oleh malabsorbsi makanan, rangsangan oleh zat
makanan, gangguan saraf.
2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan
a. Absorpsi
b. Gangguan sekresi
3. Pembagian diare menurut lamanya diare
a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi noninfeksi
c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi.
(Adnyana, 2008).

C. Manifestasi Klinis
Diare dikelompokkan menjadi akut dan kronis. Umumnya episode diare akut
hilang dalam 72 jam dari onset. Diare kronis melibatkan serangan yang lebih sering
selama 2-3 periode lebih panjang. Penderita diare akut umumnya mengeluhkan onset
yang tak terduga dari buang air besar encer, gas-gas dalam perut, rasa tidak enak, dan
nyeri perut. Pada diare, pemeriksaan fisik abdomen dapat mendeteksi hiperperistaltik
dengan borborygmi (bunyi pada lambung). Pemeriksaan turgor kulit dan tingkat
keberadaan saliva oral berguna dalam memperkirakan status cairan tubuh. Jika
terdapat hipotensi, takikardia, denyut lemah, diduga terjadi dehidrasi. Adanya
demam mengindikasikan adanya infeksi. Untuk diare yang tidak dapat dijelaskan,
terutaman pada situasi kronis dapat dilakukan pemeriksaan parasit dan ova pada
fases, darah, mukus dan lemak selain itu juga dapat diperiksa osmolaritas fases,pH
dan elektrolit (Adnyana, 2008).

D. Faktor Resiko
1. Faktor Umur
Sebagian besar episiode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.
Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan
makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan
kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang
mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau
binatang pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen merangsang
paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang
membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar
dan pada orang dewasa.
2. Infeksi Asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsiasimtomatik ini
meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada
infeksi asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja
penderita mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang
dengan infeksi asimtomatik berperan penting dalam penyebaran banyak
enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga
kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Escheria coli
dapat menyebabkan bakteremia dan infeksi sistemik pada neonatus. Meskipun
Escheria coli sering ditemukan pada lingkungan ibu dan bayi, belum pernah
dilaporkan bahwa ASI sebagai sumber infeksi Escheria coli.
3. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Di daerah
sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan
diare karena virus terutama rotavirus puncaknya terjadipada musim dingin. Di daerah
tropik (termasuk indonesia), diare yang disebabkan oleh retrovirus dapat terjadi
sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare
karena bakteri cenderung meningkat pada musim hujan (Adisasmito. 2007).

E. Patofisiologi
Diare adalah kondisi ketidakseimbangan absorpsi dan sekresi air dan elektrolit.
Terdapat 4 mekanisme patofisiologis yang mengganggu keseimbangan air dan
elektrolit yang mengakibatkan terjadinya diare, yaitu:
1. Perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan absorpsi natrium
atau peningkatan sekresi klorida.
2. Perubahan motilitas usus.
3. Peningkatan osmolaritas luminal.
4. Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan.

Mekanisme tersebut sebagai dasar pengelompokkan diare secara klinik, yaitu:


1. Secretory diarrhea, terjadi ketika senyawa yang strukturnya mirip (contoh:
Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) atau toksin bakteri) meningkatkan sekresi atau
menurunkan absorpsi air dan elektrolit dalam jumlah besar.
2. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang mempertahankan cairan
intertinal
3. Exudative diarrhea, disebabkab oleh penyakit infeksi saluran pencernaan yang
mengeluarkan mukus, protein atau darah ke dalam saluran pencernaan.
4. Motilitas usus dapat berubah seiring dengan mengurangi waktu kontak di usus
halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan (Adnyana, 2008).
F. Swamedikasi
Swamedikasi (pengobatan sendiri) berarti mengobati segala keluhan pada diri
sendiri dengan obat-obat yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif
sendiri tanpa nasehat dokter. Obat bebas dan obat bebas terbatas adalah obat yang
dapat diperjualbelikan secara bebas tanpa resep dokter untuk mengobati jenis
penyakit yang pengobatannya dapat ditetapkan sendiri oleh masyarakat, sedangkan
pengertian obat itu sendiri adalah suatu zat yang digunakan untuk diagnosa,
pengobatan melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau
hewan. Swamedikasi dibutuhkan penggunaan obat yang tepat atau rasional.
Penggunaan obat yang rasional adalah bahwa pasien menerima obat yang tepat
dengan keadaan kliniknya, dalam dosis yang sesuai dengan keadaan individunya,
pada waktu yang tepat dan dengan harga terjangkau (Depkes, 2007).

G. Terapi
Tujuan terapi pada pengobatan diare adalah untuk mengatur diet, mencegah
pengeluaran air berlebihan, elektrolit, dan gangguan asam basa, menyembuhkan
gejala, mengatasi penyebab diare, dan mengatur gangguan sekunder yang
menyebabkan diare.
 Terapi farmakologi: obat-obat yang digunakan dalam pengobatan diare
dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu antimotilitas, adsorben,
antisekresi, antibiotik, enzim, dan mikroflora usus.
Beberapa jenis anti diare yang umum digunakan seperti (Adnyana, 2008) :
1. Anti motilitas ( misalnya loperamide) merupakan golongan opioid yang berfungsi
untuk memperlambat motilitas usus, memperpanjang waktu kontak antara isi usus
dan mukosa sehingga meningkatkan absorpsi cairan dalam usus.
2. Adsorben (Attapulgit, Kaolin, Pektin) digunakan untk meringankan gejala.
Fungsinya mengabsorpsi toksin dan obat. Pemberian bersamaan obat lain akan
mengurangi bioavailabilitasnya
3. Obat lainnya yang sering digunakan dalam penanganan diare
Cairan rehidrasi oral (oralit)
Prebiotik: Lactobacillus
Suplemen: Zinc Sulfat
Tabel 2.1. Antimotililtas (Loperamide)
Indikasi Pengobatan simptomatik diare akut sebagai tambahan terapi
rehidrasi pada dewasa dengan diare akut.
Kontaindikasi Hipersensitifitas, diare bercampur darah, diare disertai demam
tinggi, diare disertai infeksi, pada pasien dimana konstipasi harus
dihindari, nyeri perut tanpa diare, usia < 2 tahun..
Peringatan Hentikan penggunaan bila diare tidak membaik dalam 48 jam.
Hentikan bila terjadi konstipasi, nyeri perut, distensi abdomen,
ileus
Efek samping Kembung, nyeri perut, konstipasi, nausea, pusing, lemas, mulut
kering, ruam.
Interaksi Obat Cotrimoxazole dapat meningkatkan kadar loperamide
Dosis Dewasa: Dosis awal 4mg, dilanjutkan dengan 2 mg setelah BAB.
Dosis maksimal 16 mg/hari. Hentikan penggunaan obat bila
tidak ada perbaikan dalam waktu 48 jam.
Sediaan Sediaan oral (Tablet/kaplet) 2mg`: Amerol, Colidium, Diadium,
Diasec, Imodium, Imosa, Lexadium, Lodia, Motilex, Primodium

Tabel 2.2. Adsorben (Attapulgite)


Indikasi Terapi simptomatik pada diare non spesifik
Kontaindikasi Hipersensitivitas, obstruksi usus, demam tinggi (diare disertai
infeksi) disentri, darah pada feses.
Peringatan Jangan digunakan > 2 hari.
Minum 2-3 jam sebelum/setelah mengkonsumsi obat lain.
Efek samping Konstipasi
Interaksi Obat Dapat menghambat absorbi obat lain yang diberikan bersamaan
Dosis Dewasa dan anak > 12 tahun : 2 tablet setelah setiap buang air
besar, maksimal 12 tablet/hari
Anak 6-12 tahun:1 tablet setelah setiap uang air besar, maksimal
6 tablet/ hari
Sediaan Sediaan oral (tablet attapulgite 600 mg) : Biodar, new diatabs
Kombinasi attapulgite dan pectin
Entrostop ( tablet kombinasi attapulgite 650 mg + pectin 50 mg)
molagit ( tablet kombinasi attapulgite 700 mg + pectin 50 mg)
Tabel 2.3. Asdorben (Kaolin)
Indikasi Terapi simptomastik pada diare non spesifik
Kontaindikasi Obstruksi usus
Peringatan Diare yang tidak membaik setekah 48 jam, diare disertai rasa
panas dan mengandung darah.
Efek samping Konstipasi
Interaksi Obat Dapat menghambat absorbsi obat lain yang diberikan bersamaan
Dewasa dan anak > 12 tahun: 30 ml, maksimum 180 ml per hari.
Dosis Anak-anak 6-12 tahun: 15 ml, maksimum 90 ml perhari
Pemberian setiaap kali setelah buang air besar

Tabel 2.4. Terapi diare lain (Zinc Sulfat)


Indikasi Terapi penunjang/suplemen untuk diare akut non spesifik pada
anak
Efek samping Penggunaan dosis tinggi (dosis > 150mg/hari) pada jangka waktu
lama dapat menyebabkab penurunan absorbsi tembaga. Mual,
muntah, rasa pahit pada lidah.
Interaksi Obat Zat besi dapat menurunkan penyerapan zinc. Jika diberikan
bersamaan dengan zat besi direkomendasikan untuk memberikan
zinc terlebih dahulu yaitu beberapa jam sebelum memberikan zat
besi
Dosis Anak dan bayi > 6 bulan : 20 mg sekali sehari
Bayi < 6 bulan : 10 mg sehari
Zinc diberikan selaam 10 hari (meskipun diare sudah berhenti)
Sediaan Sediaan bubuk 10 mg : Orezinc
Sediaan tablet 20mg: Zinc, Zincare, Zidiar
Sediaan syrup 20mg/5ml: Zircum kid: syrup 10mg/5ml: L-zinc,
Zinkid

Pemberian cairan rehidrasi oral merupakan lini pertama dalam pengobatan


diare untuk mencegah dan mengatasi kehilangan cairan dan elektrolit yang
berlebihan.
Komposisi oralit 200 :
- Glukosa anhidrat 4 g
- Na. klorida 0,7 g
- Na. Sitrat dihidrat 0,58 g
- Kalium klorida 0,3 g
Cara pemerian : 1 bungkus serbuk (5,6 g) dilarutkan dalam 200 ml atau satu
gelas air matang hangat. Contoh sediaan yang beredar : oralit 200 generik, corsalit
200.

Umur < 1 tahun 1-4 tahun 5-12 tahun Dewasa


Tidak ada dehidrasi Setiap kali BAB beri oralit
Terapi A 100 ml 200 ml 300 ml 400 ml
Mencegah dehidrasi (0,5 gelas) (1 gelas) (1,5 gelas) (2 gelas)
3 jam pertama beri oralit
300 ml 600 ml 1,2 liter 2,4 liter
Dengan dehidrasi ( 1,5 gelas) (3 gelas) (6 gelas) (12 gelas)
Terapi B Selanjutnya setiap BAB beri oralit
Mengatasi dehidrasi 100 ml 200 ml 300 ml 400 ml
(0,5 gelas) (1 gelas) (1,5 gelas) (2 gelas)
Tabel 2.5. Takaran Pemakaian Oralit Pada Diare
(Adnyana, 2008).

 Terapi Non Farmakologi:


Pencegahan diare dapat diupayakan melalui berbagai cara umum dan
khusus/imunisasi. Termaksud cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena peningkatan higiene dan sanitasi dapat menurunkan insiden diare,
jangan makan sembarangan terlebih makanan mentah, mengonsumsi air yang bersih
dan sudah direbus terlebih dahulu, mencuci tangan setelah BAB dan atau setelah
bekerja. Memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai 2 tahun.
Memberikan makanan pendamping ASI sesuai umur, untuk mencegah dehidrasi bila
perlu diberikan infus cairan untuk dehidrasi. Buang air besar dijamban, Membuang
tinja bayi dengan Dengan benar Memberikan imunisasi campak (Soewondo, 2002).
BAB III

KASUS DAN SWAMEDIKASI

3.1 Kasus

Ny. A datang ke apotek mengeluh sakit perut, mulas, dan telah BAB sebanyak
4 kali sejak pagi dengan konsistensi tinja yang lembek. Keluhan muncul
setelah Ny. A makan ayam bakar di RM Lesehan kemarin malam dan Ny. A
suka makan makanan yang pedas.

3.2 Swamedikasi

Berdasarkan hasil dari penggalian informasi terhadap pasien, pasien telah BAB
sebanyak 4 kali sejak pagi dengan konsistensi tinja yang lembek. Dari
informasi tersebut, pasien mengalami diare akut (ditandai dengan frekuensi
BAB yang meningkat & konsistensi tinja lembek atau cair dan lama diare < 2
minggu) sehingga apoteker menyarankan pasien menggunakan obat Diatabs
(Attapulgite) dan sementara waktu pasien disarankan untuk menghindari
makan makanan yang pedas agar tidak memperburuk kondisi. Selain itu, pasien
disarankan minum air putih yang banyak agar tidak mengalami dehidrasi.
Selain itu, pasien dianjurkan mengonsumsi teh karena kandungan tanin, saponin
dan flavonoid yang terdapat dalam daun teh berkhasiat sebagai antimikroba sehingga
mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyebab diare. Setelah diare sembuh,
obat dapat dihentikan.
3.3 Informasi Obat

Nama Obat Diatabs

Kandungan Attapulgite

Dosis 2 tablet setelah BAB, maksimal 12 tablet

Kontraindikasi Gagal ginjal atau hati berat

Interaksi Obat Mengurangi aksi ipecacuanha dan emetik lainnya;


hipoglikemik oral; antikoagulan; antagonis Vit K; PABA;
procaine; dapat mempotensiasi efek antikolinergik dari
antihistamin, antidepresan, antipsikotik, dan obat
antiparkinson.

Perhatian Khusus Hipersensitivitas, gangguan ginjal, asma brochial,


obstruksi usus, dan hipertrofi prostat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1 Kesimpulan
1. Diare adalah frekuensi dan likuiditas buang air besar (BAB) yang abnormal.
2. Klasifikasi Diare terbagi menjadi tiga kelompok, menurut etiologi (spesifik
dan non spesifik), Mekanisme (gangguan absorbsi dan sekresi) dan lamanya
diare (diare akut kurang dari 14 hari, diare kronik lebih dari 14 hari tidak
disertai dengan infeksi dan diare persisten lebih dari 14 hari disertai infeksi).
3. Penderita diare umumnya mengeluhkan onset yang tak terduga dari buang air
besar encer, gas-gas dalam perut, rasa tidak enak, dan nyeri perut, Jika
terdapat hipotensi, takikardia, denyut lemah, diduga terjadi dehidrasi. Adanya
demam mengindikasikan adanya infeksi.
4. Faktor resiko dari penyakit diare adalah faktor umur, infeksi dan musim.
5. Patofisiologi dari penyakit diare adalah adanya ketidakseimbangan absorpsi
dan sekresi air dan elektrolit. Terdapat empat mekanisme patofisiologis yang
menyebabkan terjadinya diare yaitu; Perubahan transport ion aktif yang
disebabkan oleh penurunan absorpsi natrium atau peningkatan sekresi
klorida, perubahan motilitas usus, peningkatan osmolaritas luminal, dan
peningkatan tekanan hidrostatik jaringan.
6. Swamedikasi pasien diare pada kasus ini menggunakan diatabs dengan
kandungan Attapulgit dengan dosis 2 tablet setelah BAB, maksimal 12 tablet.

IV.2 Saran
Pasien penderita diare disarankan menjaga kebersihan diri seperti
membiasakan untuk mencuci tangan sebelum makan dan menjaga kebersihan
makanan yang dikonsumsi. Selain itu, pasien harus menghindari makan
makanan yang pedas agar tidak memperburuk kondisi, minum air putih yang
banyak agar tidak mengalami dehidrasi. Dan mengonsumsi teh karena
kandungan tanin, saponin dan flavonoid yang terdapat dalam daun teh berkhasiat
sebagai antimikroba sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyebab
diare. Setelah diare sembuh, obat dapat dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I.K., Andrajati, R., Setiadi, A.P., Sigit, J.I., Sukandar, E.Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI. Jakarta.

Adisasmito. 2007. Faktor risiko diare pada bayi dan balita di Indonesia: Systematic
review penelitian akademik bidang kesehatan masyarakat. Malang.
Universitas Muhammadiyah Malang.

Amin, Lukman Zulkifli. 2015. Tatalaksana Diare Akut. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.

Depkes, RI. 2007. Pedoman Penggobatan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Depkes, RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Departemen


Kesehatan RI.

Soewondo E, S. 2002. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious


Diarrhoea). Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit
Tropik Infeksi Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit
Tropik Infeksi. Surabaya : Universitas Airlangga.

WHO (World Health Organization). 2013. Diarrhoeal disease. Geneva: WHO.

Widiana. 2012. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Daun Teh (Camellia
sinensis L.) Pada Escherichia coli dan Salmonella sp. Sumatera Barat: STKIP PGRI.

Anda mungkin juga menyukai