Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pneumonia


Pneumonia adalah infeksi akut yang menyerang jaringan paru-paru (alveoli) yang
disebabkan oleh bakteri, virus maupun jamur. Terjadinya pneumonia pada anak balita
seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang
disebut bronchopneumonia (Rasyid, 2013). Bronkopneumonia merupakan radang
paru-paru pada bagian lobularis, ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang
disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur serta benda asing.Bronkopneumonia
ditandai dengan gejala demam tinggi, gelisah, dispnoe, napas cepat dan dangkal
(adanya ronki basah), muntah, diare, batuk kering dan produktif (Dicky dan Wulan,
2017).

2.2. Epidemiologi Pneumonia

WHO memperkirakan insidens pneumonia anak-balita di negara berkembang adalah


0,29 episode per anak-tahun atau 151,8 juta kasus pneumonia/ tahun, 8,7% (13, 1
juta) di antaranya merupakan pneumonia berat dan perlu rawat-inap. Di negara maju
terdapat 4 juta kasus setiap tahun hingga total di seluruh dunia ada 156 juta kasus
pneumonia anak-balita setiap tahun. Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian
Anak-Balita di negara maju dan bahkan di beberapa negara ASEAN jauh lebih
rendah (Kepmenkes 2010).

Di Indonesia, berdasarkan kelompok umur penduduk, pneumonia yang tinggi terjadi


pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun
dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Pneumonia balita di Indonesia
adalah 18,5 per mil dan balita dengan pneumonia yang berobat hanya 1,6 per mil
(Kemenkes, 2013). Bayi merupakan kelompok usia yang tinggi kejadian

5
6

pneumonianya. Oleh karena itu pneumonia pada balita dan terutama pada bayi, perlu
mendapat perhatian (Kepmenkes 2010).

2.3. Etiologi Pneumonia anak-balita

Dari studi mikrobiologik ditemukan penyebab utama bakteriologik pneumonia anak-


balita adalah Streptococcus pneumoniae/pneumococcus (30-50 % kasus) dan
Hemo philus influenzae type b/Hib (10-30% kasus), diikuti Staphylococcus aureus
dan Klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain seperti Mycoplasma
pneumonia, Chlamydia spp, Pseudomonas spp, Escherichia coli (E coli) juga
menyebabkan pneumonia. Pneumonia pada neonatus banyak disebabkan oleh bakteri
Gram negatif seperti Klebsiella spp, E coli di samping bakteri Gram positif seperti
Staphylococcus pneumoniae, grup b streptokokus dan Staphylococcus aureus.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-
40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus
dan adenovirus (Kepmenkes 2010).

2.4. Tanda dan Gejala Pneumonia


Secara umum gambaran klinis pneumonia diklasifikasi menjadi 2 kelompok.
Pertama: gejala umum seperti demam, sakit kepala, maleise, nafsu makan kurang,
gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare. Kedua: gejala respiratorik
seperti batuk, napas cepat (tachypnoe/fast breathing), napas sesak (retraksi dada/chest
indrawing), napas cuping hidung, air hunger dan sianosis. Hipoksia merupakan tanda
klinis pneumonia berat. Anak pneumonia dengan hipoksemia 5 kali lebih sering
meninggal dibandingkan dengan pneumonia tanpa hipoksemia (Kemenkes, 2010).

Pneumonia berat ditandai dengan adanya batuk atau (juga disertai) kesukaran
bernafas, nafas sesak atau penarikan di dinding dada sebelah bawah ke dalam (severe
chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Pada kelompok
usia ini dikenal juga pneumonia sangat berat, dengan gejala batuk, kesukaran
bernafas disertai gejala sianosis sentral dan tidak dapat minum. Sementara untuk anak
7

dibawah 2 bulan, pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernafasan sebanyak 60


kali permenit atau lebih atau (juga disertai) penarikan kuat pada dinding dada sebelah
bawah kedalam (Suryana, 2005).

2.5. Cara Penularan Pneumonia


Pada umumnya pneumoniatermasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan
melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumoniayang menyebarkan
kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi
merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia kedalam saluran
pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu bisa juga melalui
transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang dan menggunakan benda
yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Azwar, 2002).

2.6. Klasifikasi Pneumonia


Klasifikasi Pneumonia dikelompokkan berdasarkan umur, yaitu (WHO, 2013):
1. Kelompok umur < 2 bulan
a. Pneumonia berat
Bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu (jika
sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau
sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC atau lebih)
atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernapasan cepat 60 kali atau
lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah),
serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.
b. Bukan pneumonia
Jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit dan tidak
terdapat tanda pneumonia seperti di atas.
2. Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun
a. Pneumonia sangat berat
Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak dapat
minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.
8

b. Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai
sianosis sentral dan dapat minum. frekuensi nafas > 50x/menit pada anak 2
bulan – 1 tahun dan > 40x/menit pada anak 1 – 5 tahun.
c. Pneumonia
Batuk atau kesulitan bernapas dan pernapasan cepat tanpa penarikan dinding
dada.
d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)
Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding
dada.
e. Pneumonia persisten
Balita dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah diobati selama
10-14 hari dengan dosis antibiotik yang kuat dan antibiotik yang sesuai,
biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernapasan yang tinggi,
dan demam ringan.

2.7. Tingkat Keparahan Pneumonia Anak

Klasifikasi tingkat keparahan pneumonia pada anak menurut WHO yaitu:


Tabel 2.1 Klasifikasi tingkat keparahan pneumonia pada anak
No Tanda dan gejala Klasifikasi
1 Batuk atau sulit bernapas
Pneumonia Ringan
2 Napas cepat
1 Batuk dan atau kesulitan bernapas
2 Napas cepat
3 Suara merintih pada bayi
4 Pada auskultasi terdengar crackles (ronki), suara
Pneumonia Berat
pernapasan menurun dan suara pernapasan bronkia
5 Dalam keadaan sangat berat dapat dijumpai : tidak
dapat menyusu atau minum/makan, kejang, letargis
atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat

Disebut napas cepat bila:


Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit
9

Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit


Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit

2.8. Faktor Resiko Pneumonia

Terdapat 3 kelompok faktor risiko yang mempengaruhi insidens pneumonia pada


anak. Faktor risiko tersebut adalah faktor risiko yang selalu ada (definite risk
factors), faktor risiko yang sangat mungkin (likely risk factors), dan faktor risiko
yang masih mungkin (possible risk factors). Faktor risiko yang selalu ada
(definite) meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak ada atau tidak
memberikan ASI, polusi udara dalam-ruang, dan pemukiman padat (Kemenkes,
2010).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Pneumonia pada balita adalah jenis


kelamin, tipe tempat tinggal, pendidikan ibu, tingkat ekonomi, letak dapur,
keberadaan atau kebiasaan membuka jendela dan ventilasi kamar tidur. Hal ini
berarti bahwa faktor sosial, demografi, ekonomi dan lingkungan rumah secara
bersama-sama berperan terhadap kejadian Pneumonia pada balita di Indonesia
(Anwar dan Darmayanti, 2014).

Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya kejadian pneumonia


pada balita, baik dari aspek individu anak, perilaku orang tua (ibu), maupun
lingkungan. Kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat meningkatkan risiko terjadinya berbagai
penyakit seperti TB, katarak, dan pneumonia. Rumah yang padat penghuni,
pencemaran udara dalam ruang akibat penggunaan bahan bakar padat (kayu bakar/
arang), dan perilaku merokok dari orangtua merupakan faktor lingkungan yang dapat
meningkatkan kerentanan balita terhadap pneumonia (Anwar dan Darmayanti, 2014).

2.9. Patofisiologi Pneumonia


10

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran


resporatori. Ada 3 stadium dalam patofisiologi penyakit pneumonia, yaitu (Said,
2008):
1. Stadium hepatisasi merah
Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena
mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel pneumonia, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.
2. Stadium hepatisasi kelabu
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit
pneumonia di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
3. Stadium resolusi
Setelah itu, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Sistem
bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

2.10. Diagnosis Pneumonia

Gejala pneumonia bervariasi tergantung pada umur penderita dan penyebab


infeksinya. Pneumonia karena infeksi bakteri biasanya menyebabkan anak sakit berat
mendadak dengan demam tinggi dan napas cepat. Infeksi karena virus umumnya
lebih gradual dan bisa memburuk setiap saat. Gejala-gejala yang sering ditemui pada
anak dengan pneumonia adalah napas cepat dan sulit bernapas, batuk, demam,
menggigil, sakit kepala, nafsu makan hilang, dan mengik. Balita yang menderita
pneumonia berat bisa mengalami kesulitan bernafas, sehingga dadanya bergerak naik
turun dengan cepat atau tertarik ke dalam saat menarik napas/inspirasi yang dikenal
sebagai ‘lower chest wall indrawing’. Gejala pada anak usia muda bisa berupa
kejang, kesadaran menurun, suhu turun (hipotermia), tidak bereaksi (letargi) dan
minum terganggu (Kepmenkes, 2010).
11

Diagnosis pneumonia dipastikan dengan foto dada (X-ray) dan uji laboratorium,
namun pada tempat-tempat yang tidak mampu melaksanakannya, kasus dugaan
pneumonia dapat ditetapkan secara klinis dari gejala klinis yang ada. Pedoman untuk
temuan kasus pneumonia dari WHO telah ada sehingga dengan cara yang sederhana
dan mudah, pemberi pelayanan dapat berperan penting dalam mengenal secara dini
gejala pneumonia pada balita dan memberikan pengobatan secara tepat (Kepmenkes,
2010).

Diagnosis Pneumonia dapat dilakukan dengan (Pudjiadi dkk, 2009):


1. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian
terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat
penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme
penyebab infeksi akan mengarahkan kepada pemilihan terapi empiris antibiotik
yang tepat. Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh
kuman yang berbeda.Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit
yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan penunjang.

2. Anamnesis
a. Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak
purulen bahkan bisa berdarah
b. Sesak nafas
c. Demam
d. Kesulitan makan atau minum
e. Tampak lemah
f. Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi
kelainan anatomi bronkus atau asma
12

3. Pemeriksaan Fisis
a. Penilaian keadaan umum anak, frekuensi nafas, dan nadi harus dilakukan
pada awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan
anak gelisah atau rewel.
b. Penilaian keadaan umum, antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan
makan/minum.
c. Gejala distres pernafasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk,
krepitasi,dan penurunan suara paru.
d. Demam dan sianosis.
e. Anak dibawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia yang
klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala nyeri yang di
proyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda, terdapat gejala pernafasaan tak
teratur dan hipopnea.
4. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan foto dada tidak di rekomendasikan secara rutin pada anak
dengan infeksi saluran nafas bawah akut ringan tanpa komplikasi.
b. Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang
dirawat inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan.
c. Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya
kolaps lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat, gejala
yang menetap atau memburuk, atau tidak respon terhadap antibiotik.
d. Pemeriksaan foto dada tidak dapat menidentifikasi agen penyebab.
2) Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakuan
untuk membantu menentukan pemberian antibiotik.
b. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram sputum dengan kualitas yang
baik di rekomendasikan dalam tatalaksana anak dengan pneumonia yang
berat.
13

c. Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat jalan,
tetapi di rekomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan
pada setiap anak yang dicurigai menderita pneumonia bakterial.
d. Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemerikasaan untuk
mendeteksi antigen virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas
tersedia.
e. Jika ada efusi pleura, dilakukan fungsi cairan pleura dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri untuk
penegakkan diagnosis dan menentukan mulainya pemberian antibiotik.

2.11. Penatalaksanaan Pneumonia


Penatalaksanaan untuk pasien pneumonia anak adalah sebagai berikut:
a. Terapi Antibiotik(Anonimb, 2009)
1. Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15
mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
2. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang
berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan
berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV
setiap 8 jam).
3. Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali
sehari). Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan
buat foto dada.
4. Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin
(7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV
14

setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila


keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara
oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau
klindamisin secara oral selama 2 minggu.
b. Terapi Oksigen(Pudjiadi dkk, 2009)
1. Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.
2. Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen
(berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen
yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada
anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil >
90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.
3. Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan
oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak
direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap
waktu. Perbandingan terhadap berbagai metode pemberian oksigen yang
berbeda.
c. Kriteria Pulang (Pudjiadi dkk, 2009)
1. Gejala dan tanda pneumonia menghilang dan asupan peroral adekuat
2. Pemberian antibiotik peroral dapat diteruskan dirumah
3. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
4. Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.
d. Terapi pendukung (Dirjen, 2006)
1. Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan
tanda sesak
2. Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
3. Nutrisi yang memadai
4. Hidrasi yang cukup
5. Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam.

Anda mungkin juga menyukai