Anda di halaman 1dari 10

Kehamilan Ektopik

A. Pengertian

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan berbahaya bagi wanita yang bersangkutan
berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat ini
dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan
peristiwa yang dapat dihadapi oleh setiap dokter, karena sangat beragamnya gambaran klinik
kehamilan ektopik terganggu itu (Sarwono, 2005).

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya


buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim Sedangkan yang
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang
mengalami abortus ruptur pada dinding tuba (Wibowo, 2007).

Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar


endometrium kavum uteri. (Yusuf B dkk, 2008).

Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan kehamilan ektopik adalah kehamilan
dengan ovum yang dibuahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni
dalam endometrium kavum uteri.

B. Lokasi Kehamilan Ektopik

Prawirohardjo S, Hanifa (2007), dan Cuningham, dkk (2005), masing-masing dalam


bukunya mengklasifikasikan kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya, yaitu :

a. Tuba Fallopii

1) Pars-interstisialis Implantasi telur biasanya terjadi dalam pars institialis tuba.


Miometrium memiliki lapisan yang lebih tebal sehingga ruptur terjadi lebih kambat kira-kira
pada bulan ke 3 dan ke 4. Apabila terjadi ruptur, makan akan terjadi perdarahan yang hebat
karena tempat ini banyak pembuluh darah. Sehingga dalam waktu yang singkat dapat terjadi
kematian.

a) Isthmus.

b) Ampula.

c) Infundibulum.

d) Fimbrae.
b. Uterus

1) Kanalis servikalis.

2) Divertikulum.

3) Kornua.

4) Tanduk rudimenter.

c. Ovarium

Kehamilan ovarial ditegakan atas dasar kriteria Spiegelberg, sebagai berikut:

1) Tuba pada sisi kehamilan harus normal.

2) Kantong janin harus terletak dalam ovarium.

3) Jantung janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovarii proprium.

4) Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dindiing kantong janin.

d. Intraligamenter

Biasa terjadi di ligamentum rotundum.

1) Abdominal

a) Primer, terjadi bila telru dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.

b) Sekunder, berasal dari kehamilan tuba dan setelah ruptur baru mengalami kehamilan
abdominal.

e. Servikal

Kehamilan yang jarang terjadi. Pada implantasi di servik dapat terjadi perdarahan
tanpa disertai nyeri dan kemungkinan terjadinya abortus spontan sangat besar. Jika kehamilan
lebih besar perdarahan atau ruptur yang terjadi sangat besar sehingga sering dilakukan
histerektomi total. Kriteria kehamilan servikal menurut Paalman dan Mc Elin, ostium uteri
internum tertutup ostium uteri eksternum terbuka sebagian fase konsepsi terletak di dalam
endoserbiks perdarahan iterus setelah fase amenore tanpa disertai nyeri serviks lunak,
membesar, dapat lebih besar daripada fundus
C. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke


endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-faktor yang disebutkan adalah
sebagai berikut:

a. Faktor tuba.

Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit atau buntu.
Faktor tuba yang lain adanya kelainan endometriosis tuba atau divertikal saluran tuba yang
bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau mioma
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi
kehamilan ektopik.

b. Faktor abnormalitas dari zigot.

Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan tersendat
dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di salauran tuba.

c. Faktor ovarium.

Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat
membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkianan
terjadinaya kehamilan ektopik lebih besar.

d. Faktor hormonal.

Pada akseptor pil KB yang hanya mengandung progesterone dapat mengakibatkan gerakan
tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya kehamilan
ektopik.

e. Faktor lain.

Termasuk disini antara lain pemakai IUD dimana proses peradangan yang dapat timbul pada
endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Factor
umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan
kehamilan ektopik.

(Mochtar,1998).

2.1.4. Tanda dan gejala


Menurut Manuaba (1998) perbedaan tanda dan gejala pada kehamilan ektopik dan
pada kehamilan intrauteri, yaitu:

a. Keluhan gastrointestinal

Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien kehamilan ektopik terganggu
adalah nyeri pelvis. Dorfman menekankan pentingnya keluhan gastrointestinal dan vertigo
atau rasa pening. Semua keluhan tersebut mempunyai keragaman dalam hal insiden
terjadinya akibat kecepatan dan taraf perdarahannya di samping keterlambatan diagnosis.

b. Nyeri tekan abdomen dan pelvis

Nyeri tekan yang timbul pada palpasi abdomen dan pemeriksaan, khususnya dengan
menggerakkan servik, dijumpai pada lebih dari tiga per empat kasus kehamilan ektopik sudah
atau sedang mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadinya.

c. Amenore

Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah satu
sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam yang lazim pada
kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal, dengan demikian memberikan tanggal
haid terakhir yang keliru.

d. Spotting atau perdarahan vaginal

Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak
ditemukan, namun bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak memadai lagi,
mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit,
bewarna cokelat gelap dan dapat terputus-putus atau terus-menerus.

e. Perubahan Uterus

Uterus pada kehamilan etopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa ektopik
tersebut. Pada kehamilan ligamentum latum atau ligamentum latum terisi darah, uterus dapat
mengalami pergeseran hebat. Uterine cast akan dieksresikan oleh sebagian kecil pasien,
mungkin 5% atau 10% pasien. Eksresi uterine cast ini dapat disertai oleh gejala kram yang
serupa dengan peristiwa ekspulsi spontan jaringan abortus dari kavum uteri.

f. Tekanan darah dan denyut nadi


Reaksi awal pada perdarahan sedang tidak menunjukkan perubahan pada denyut nadi
dan tekanan darah, atau reaksinya kadang-kadang sama seperti yang terlihat pada tindakan
flebotomi untuk menjadi donor darah yaitu kenaikan ringan tekanan darah atau respon vaso
vagal disertai bradikardi serta hipotensi.

g. Hipovolemi

Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi dalam posisi duduk
merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya penurunan volume darah yang
cukup banyak. Semua perubahan tersebut mungkin baru terjadi setelah timbul hipovolemi
yang serius.

h. Suhu tubuh

Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh dapat tetap normal atau bahkan menurun.
Suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa adanya infeksi. Karena itu panas
merupakan gambaran yang penting untuk membedakan antara kehamilan tuba yang
mengalami ruptura dengan salpingitis akut, dimana pada keadaan ini suhu tubuh umumnya
diatas 38oC.

i. Masa pelvis

Masa pelvis dapat teraba pada ± 20% pasien. Masa tersebut mempunyai ukuran,
konsistensi serta posisi yang bervariasi. Biasanya masa ini berukuran 5-15 cm, sering teraba
lunak dan elastis. Akan tetapi dengan terjadinya infiltrasi dinding tuba yang luas oleh darah
masa tersebut dapat teraba keras. Hampir selalu masa pelvis ditemukan di sebelah posterior
atau lateral uterus. Keluhan nyeri dan nyeri tekan kerap kali mendahului terabanya masa
pelvis dalam tindakan palpasi.

j. Hematokel pelvik

Pada kehamilan tuba, kerusakan dinding tuba yang terjadi bertahap akan diukuti oleh
perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen tuba, kavum peritonium atau
keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat dan bahkan keluhan yang ringan dapat
mereda, namun darah yang terus merembes akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih
terbungkus dengan adanya perlekatan dan akhirnya membentuk hematokel pelvis.
D. Patofisiologi

Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi


tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen,
serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba
maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi
jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan
kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot.
Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai
desidua, yang disebut pseudokapsul.

Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping
dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi
berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat
implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.

Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi
akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti
tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua,
meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik,
intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol.

Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella. Karena tempat


implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat
kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi pada kehamilan ektopik adalah:

a. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.

b. Abortus ke dalam lumen tuba.

c. Ruptur dinding tuba.

Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris,
sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila
pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus
berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba
akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba
ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel
retrouterina.

Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars
isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur
terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang
lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai
kehamilan intrauterin biasa.

Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena
suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars
interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang
melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan.Ruptur, baik
pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara
spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah
ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan
plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk
memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan
sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen (Rachimhadhi, 2005)

E. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan
jumlah sel darah merah dapat meningkat.

b. USG : Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri, Adanya kantung kehamilan di
luar kavum uteri, Adanya massa komplek di rongga panggul.

c. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas
ada darah.

d. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.

e. Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus
(Mansjoer, dkk, 2001).

F. Terapi dan Penanganan.

Prinsip dasar penanganan adalah sebagai berikut :


a. Segera di bawa ke rumah sakit.

b. Transfusi darah dan pemberian cairan alkaloid untuk koreksi anemia dan hipovolemia.

c. Operasi (laparotomi) segera setelah diagnosis dipastikan :

1) Salpingektomi untuk kehamilan tuba.

2) Ooforektomi atau salpingo-ooforektomi untuk kehamilan kornu.

3) Pada kehamilan kornu yang usia lebih dari 35 tahun dapat dilakukan histerektomi, atau
fundektomi, bila usia masih muda, atau hanya insisi dan reparasi bila kerusakan pada kornu
kecil saja.

4) Kehamilan abdominal dilakukan laparotomi lalu produk kehamilan diambil seluruhnya,


jikalau kehamilan tersebut kecil. Tetapi pada kehamilan abdominal lanjut, tali pusat di potong
sedekat mungkin dengan plasenta dan plasenta tersebut ditinggalkan secara utuh dalam
rongga abdomen lalu dinding abdomen ditutup (pasang drain kalau perlu). Upaya untuk
mengangkat plasenta pada kehamilan abdominal lanjut dapat berakhir dengan bencana, yakni
pendarahan yang tidak dapat dikendalikan ataupun diatasi.

d. Tingkat kewenangan

Setiap kecurigaan kehamilan ektopik terganggu (KET) harus dikonsulkan kepada dokter
spesialis obstetri dan ginekologi, selanjutnya diambil alih untuk dilakukan laparotomi.

e. Perawatan rumah sakit

Segera dirawat, baik untuk keperluan perbaikan keadaan umum maupun persiapan
laparotomi.

(Achadiat,2004)

G. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi, pada kehamilan ektopik, yaitu :

a. Pada pengobatan konservatif, yaitu jika rupture tuba telah lama berlangsung (4-6
minggu), terjadi pendarahan ulang (recurrent bleeding). Ini merupakan tindakan
operasi.
b. Infeksi.

c. Sub ileus karena masa pelvis

d. Sterilitas.

(Yuliaikhah, dkk, 2006)


Gambar Kehamilan Ektopik :

Anda mungkin juga menyukai