A. Pengertian
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan berbahaya bagi wanita yang bersangkutan
berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat ini
dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan
peristiwa yang dapat dihadapi oleh setiap dokter, karena sangat beragamnya gambaran klinik
kehamilan ektopik terganggu itu (Sarwono, 2005).
Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan kehamilan ektopik adalah kehamilan
dengan ovum yang dibuahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni
dalam endometrium kavum uteri.
a. Tuba Fallopii
a) Isthmus.
b) Ampula.
c) Infundibulum.
d) Fimbrae.
b. Uterus
1) Kanalis servikalis.
2) Divertikulum.
3) Kornua.
4) Tanduk rudimenter.
c. Ovarium
4) Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dindiing kantong janin.
d. Intraligamenter
1) Abdominal
a) Primer, terjadi bila telru dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.
b) Sekunder, berasal dari kehamilan tuba dan setelah ruptur baru mengalami kehamilan
abdominal.
e. Servikal
Kehamilan yang jarang terjadi. Pada implantasi di servik dapat terjadi perdarahan
tanpa disertai nyeri dan kemungkinan terjadinya abortus spontan sangat besar. Jika kehamilan
lebih besar perdarahan atau ruptur yang terjadi sangat besar sehingga sering dilakukan
histerektomi total. Kriteria kehamilan servikal menurut Paalman dan Mc Elin, ostium uteri
internum tertutup ostium uteri eksternum terbuka sebagian fase konsepsi terletak di dalam
endoserbiks perdarahan iterus setelah fase amenore tanpa disertai nyeri serviks lunak,
membesar, dapat lebih besar daripada fundus
C. Etiologi
a. Faktor tuba.
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit atau buntu.
Faktor tuba yang lain adanya kelainan endometriosis tuba atau divertikal saluran tuba yang
bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau mioma
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi
kehamilan ektopik.
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan tersendat
dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di salauran tuba.
c. Faktor ovarium.
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat
membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkianan
terjadinaya kehamilan ektopik lebih besar.
d. Faktor hormonal.
Pada akseptor pil KB yang hanya mengandung progesterone dapat mengakibatkan gerakan
tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya kehamilan
ektopik.
e. Faktor lain.
Termasuk disini antara lain pemakai IUD dimana proses peradangan yang dapat timbul pada
endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Factor
umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan
kehamilan ektopik.
(Mochtar,1998).
a. Keluhan gastrointestinal
Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien kehamilan ektopik terganggu
adalah nyeri pelvis. Dorfman menekankan pentingnya keluhan gastrointestinal dan vertigo
atau rasa pening. Semua keluhan tersebut mempunyai keragaman dalam hal insiden
terjadinya akibat kecepatan dan taraf perdarahannya di samping keterlambatan diagnosis.
Nyeri tekan yang timbul pada palpasi abdomen dan pemeriksaan, khususnya dengan
menggerakkan servik, dijumpai pada lebih dari tiga per empat kasus kehamilan ektopik sudah
atau sedang mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadinya.
c. Amenore
Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah satu
sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam yang lazim pada
kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal, dengan demikian memberikan tanggal
haid terakhir yang keliru.
Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak
ditemukan, namun bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak memadai lagi,
mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit,
bewarna cokelat gelap dan dapat terputus-putus atau terus-menerus.
e. Perubahan Uterus
Uterus pada kehamilan etopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa ektopik
tersebut. Pada kehamilan ligamentum latum atau ligamentum latum terisi darah, uterus dapat
mengalami pergeseran hebat. Uterine cast akan dieksresikan oleh sebagian kecil pasien,
mungkin 5% atau 10% pasien. Eksresi uterine cast ini dapat disertai oleh gejala kram yang
serupa dengan peristiwa ekspulsi spontan jaringan abortus dari kavum uteri.
g. Hipovolemi
Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi dalam posisi duduk
merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya penurunan volume darah yang
cukup banyak. Semua perubahan tersebut mungkin baru terjadi setelah timbul hipovolemi
yang serius.
h. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh dapat tetap normal atau bahkan menurun.
Suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa adanya infeksi. Karena itu panas
merupakan gambaran yang penting untuk membedakan antara kehamilan tuba yang
mengalami ruptura dengan salpingitis akut, dimana pada keadaan ini suhu tubuh umumnya
diatas 38oC.
i. Masa pelvis
Masa pelvis dapat teraba pada ± 20% pasien. Masa tersebut mempunyai ukuran,
konsistensi serta posisi yang bervariasi. Biasanya masa ini berukuran 5-15 cm, sering teraba
lunak dan elastis. Akan tetapi dengan terjadinya infiltrasi dinding tuba yang luas oleh darah
masa tersebut dapat teraba keras. Hampir selalu masa pelvis ditemukan di sebelah posterior
atau lateral uterus. Keluhan nyeri dan nyeri tekan kerap kali mendahului terabanya masa
pelvis dalam tindakan palpasi.
j. Hematokel pelvik
Pada kehamilan tuba, kerusakan dinding tuba yang terjadi bertahap akan diukuti oleh
perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen tuba, kavum peritonium atau
keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat dan bahkan keluhan yang ringan dapat
mereda, namun darah yang terus merembes akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih
terbungkus dengan adanya perlekatan dan akhirnya membentuk hematokel pelvis.
D. Patofisiologi
Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping
dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi
berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat
implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi
akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti
tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua,
meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik,
intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris,
sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila
pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus
berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba
akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba
ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel
retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars
isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur
terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang
lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai
kehamilan intrauterin biasa.
Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena
suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars
interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang
melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan.Ruptur, baik
pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara
spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah
ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan
plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk
memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan
sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen (Rachimhadhi, 2005)
E. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan
jumlah sel darah merah dapat meningkat.
b. USG : Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri, Adanya kantung kehamilan di
luar kavum uteri, Adanya massa komplek di rongga panggul.
c. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas
ada darah.
e. Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus
(Mansjoer, dkk, 2001).
b. Transfusi darah dan pemberian cairan alkaloid untuk koreksi anemia dan hipovolemia.
3) Pada kehamilan kornu yang usia lebih dari 35 tahun dapat dilakukan histerektomi, atau
fundektomi, bila usia masih muda, atau hanya insisi dan reparasi bila kerusakan pada kornu
kecil saja.
d. Tingkat kewenangan
Setiap kecurigaan kehamilan ektopik terganggu (KET) harus dikonsulkan kepada dokter
spesialis obstetri dan ginekologi, selanjutnya diambil alih untuk dilakukan laparotomi.
Segera dirawat, baik untuk keperluan perbaikan keadaan umum maupun persiapan
laparotomi.
(Achadiat,2004)
G. Komplikasi
a. Pada pengobatan konservatif, yaitu jika rupture tuba telah lama berlangsung (4-6
minggu), terjadi pendarahan ulang (recurrent bleeding). Ini merupakan tindakan
operasi.
b. Infeksi.
d. Sterilitas.