Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

KEHAMILAN EKTOPIK

DISUSUN OLEH:
SALMAN FIRMANSYAH, S. Kep
NIM. J. 0105. 20.068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR CIMAHI
2020
Laporan Pendahuluan
Kehamilan Ektopik
A. Pengertian
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan berbahaya bagi wanita yang
bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat.
Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik
terganggu merupakan peristiwa yang dapat dihadapi oleh setiap dokter, karena sangat
beragamnya gambaran klinik kehamilan ektopik terganggu itu (Sarwono, 2005).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya
buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim Sedangkan yang
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang
mengalami abortus ruptur pada dinding tuba (Wibowo, 2007).
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar
endometrium kavum uteri. (Yusuf B dkk, 2008).
Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan kehamilan ektopik adalah kehamilan
dengan ovum yang dibuahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni
dalam endometrium kavum uteri.

B. Lokasi Kehamilan Ektopik


Prawirohardjo S, Hanifa (2007), dan Cuningham, dkk (2005), masing-masing
dalam bukunya mengklasifikasikan kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya, yaitu :
1. Tuba Fallopii
a. Pars-interstisialis Implantasi telur biasanya terjadi dalam pars institialis tuba.
Miometrium memiliki lapisan yang lebih tebal sehingga ruptur terjadi lebih
kambat kira-kira pada bulan ke 3 dan ke 4. Apabila terjadi ruptur, makan akan
terjadi perdarahan yang hebat karena tempat ini banyak pembuluh darah.
Sehingga dalam waktu yang singkat dapat terjadi kematian.
1) Isthmus.
2) Ampula.
3) Infundibulum
4) Fimbrae.
2. Uterus
a. Kanalis servikalis.
b. Divertikulum.
c. Kornua.
d. Tanduk rudimenter.
3. Ovarium
Kehamilan ovarial ditegakan atas dasar kriteria Spiegelberg, sebagai berikut:
a. Tuba pada sisi kehamilan harus normal.
b. Kantong janin harus terletak dalam ovarium.
c. Jantung janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovarii proprium.
d. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin.
e. Intraligamenter
f. Biasa terjadi di ligamentum rotundum.
4. Abdominal
a. Primer, terjadi bila telru dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.
b. Sekunder, berasal dari kehamilan tuba dan setelah ruptur baru mengalami
kehamilan abdominal.
5. Servikal
Kehamilan yang jarang terjadi. Pada implantasi di servik dapat terjadi
perdarahan tanpa disertai nyeri dan kemungkinan terjadinya abortus spontan sangat
besar. Jika kehamilan lebih besar perdarahan atau ruptur yang terjadi sangat besar
sehingga sering dilakukan histerektomi total. Kriteria kehamilan servikal menurut
Paalman dan Mc Elin, ostium uteri internum tertutup ostium uteri eksternum terbuka
sebagian fase konsepsi terletak di dalam endoserbiks perdarahan iterus setelah fase
amenore tanpa disertai nyeri serviks lunak, membesar, dapat lebih besar daripada
fundus

C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke
endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-faktor yang disebutkan
adalah sebagai berikut:
1. Faktor tuba.
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu. Faktor tuba yang lain adanya kelainan endometriosis tuba
atau divertikal saluran tuba yang bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran
tuba, misalnya mioma uteri atau mioma ovarium yang menyebabkan perubahan
bentuk dan patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.
2. Faktor abnormalitas dari zigot.
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot
akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan
tumbuh di salauran tuba.
3. Faktor ovarium.
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral,
dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkianan terjadinaya kehamilan ektopik lebih besar.
4. Faktor hormonal.
Pada akseptor pil KB yang hanya mengandung progesterone dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
5. Faktor lain.
Termasuk disini antara lain pemakai IUD dimana proses peradangan yang
dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik. Factor umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga
sering dihubungkan dengan kehamilan ektopik. (Mochtar,1998).

D. Tanda dan gejala


Menurut Manuaba (1998) perbedaan tanda dan gejala pada kehamilan ektopik
dan pada kehamilan intrauteri, yaitu:
a. Keluhan gastrointestinal
Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien kehamilan ektopik
terganggu adalah nyeri pelvis. Dorfman menekankan pentingnya keluhan
gastrointestinal dan vertigo atau rasa pening. Semua keluhan tersebut mempunyai
keragaman dalam hal insiden terjadinya akibat kecepatan dan taraf perdarahannya di
samping keterlambatan diagnosis.
b. Nyeri tekan abdomen dan pelvis
Nyeri tekan yang timbul pada palpasi abdomen dan pemeriksaan, khususnya
dengan menggerakkan servik, dijumpai pada lebih dari tiga per empat kasus
kehamilan ektopik sudah atau sedang mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak
terlihat sebelum ruptur terjadinya.
c. Amenore
Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah
satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam yang lazim
pada kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal, dengan demikian
memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.
d. Spotting atau perdarahan vaginal
Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya
tidak ditemukan, namun bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak
memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan tersebut
biasanya sedikit-sedikit, bewarna cokelat gelap dan dapat terputus-putus atau terus-
menerus.
e. Perubahan Uterus
Uterus pada kehamilan etopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa
ektopik tersebut. Pada kehamilan ligamentum latum atau ligamentum latum terisi
darah, uterus dapat mengalami pergeseran hebat. Uterine cast akan dieksresikan oleh
sebagian kecil pasien, mungkin 5% atau 10% pasien. Eksresi uterine cast ini dapat
disertai oleh gejala kram yang serupa dengan peristiwa ekspulsi spontan jaringan
abortus dari kavum uteri.
f. Tekanan darah dan denyut nadi
Reaksi awal pada perdarahan sedang tidak menunjukkan perubahan pada
denyut nadi dan tekanan darah, atau reaksinya kadang-kadang sama seperti yang
terlihat pada tindakan flebotomi untuk menjadi donor darah yaitu kenaikan ringan
tekanan darah atau respon vaso vagal disertai bradikardi serta hipotensi.
g. Hipovolemi
Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi dalam posisi duduk
merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya penurunan volume darah
yang cukup banyak. Semua perubahan tersebut mungkin baru terjadi setelah timbul
hipovolemi yang serius.
h. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh dapat tetap normal atau bahkan
menurun. Suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa adanya
infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang penting untuk membedakan
antara kehamilan tuba yang mengalami ruptura dengan salpingitis akut, dimana pada
keadaan ini suhu tubuh umumnya diatas 38oC.
i. Masa pelvis
Masa pelvis dapat teraba pada ± 20% pasien. Masa tersebut mempunyai
ukuran, konsistensi serta posisi yang bervariasi. Biasanya masa ini berukuran 5-15
cm, sering teraba lunak dan elastis. Akan tetapi dengan terjadinya infiltrasi dinding
tuba yang luas oleh darah masa tersebut dapat teraba keras. Hampir selalu masa pelvis
ditemukan di sebelah posterior atau lateral uterus. Keluhan nyeri dan nyeri tekan
kerap kali mendahului terabanya masa pelvis dalam tindakan palpasi.
j. Hematokel pelvik
Pada kehamilan tuba, kerusakan dinding tuba yang terjadi bertahap akan
diukuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen tuba, kavum
peritonium atau keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat dan bahkan keluhan
yang ringan dapat mereda, namun darah yang terus merembes akan berkumpul dalam
panggul, kurang lebih terbungkus dengan adanya perlekatan dan akhirnya membentuk
hematokel pelvis.

E. Patofisiologi
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi
tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen,
serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba
maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau
sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan
kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot.
Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai
desidua, yang disebut pseudokapsul.
Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan
miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya,
hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan
akibat invasi trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami
hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda
kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah
menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi
hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol.
Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella. Karena tempat
implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu
saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah:
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.
2. Abortus ke dalam lumen tuba.
3. Ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris,
sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba,
bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus
berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta.
Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui
ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan
membentuk hematokel retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena
pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis
ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum
uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka
sebagai kehamilan intrauterin biasa.
Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal
karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars
interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan
yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun
diindikasikan.Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars
interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus
dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih
terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat
berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan
meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen
(Rachimhadhi, 2005)

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam
dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.
2. USG : Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri, Adanya kantung kehamilan
di luar kavum uteri, Adanya massa komplek di rongga panggul.
3. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum
Douglas ada darah.
4. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
5. Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar
uterus (Mansjoer, dkk, 2001).

G. Terapi dan Penanganan.


Prinsip dasar penanganan adalah sebagai berikut :
1. Segera di bawa ke rumah sakit.
2. Transfusi darah dan pemberian cairan alkaloid untuk koreksi anemia dan
hipovolemia.
3. Operasi (laparotomi) segera setelah diagnosis dipastikan :
a. Salpingektomi untuk kehamilan tuba.
b. Ooforektomi atau salpingo-ooforektomi untuk kehamilan kornu.
c. Pada kehamilan kornu yang usia lebih dari 35 tahun dapat dilakukan histerektomi,
atau fundektomi, bila usia masih muda, atau hanya insisi dan reparasi bila
kerusakan pada kornu kecil saja.
d. Kehamilan abdominal dilakukan laparotomi lalu produk kehamilan diambil
seluruhnya, jikalau kehamilan tersebut kecil. Tetapi pada kehamilan abdominal
lanjut, tali pusat di potong sedekat mungkin dengan plasenta dan plasenta tersebut
ditinggalkan secara utuh dalam rongga abdomen lalu dinding abdomen ditutup
(pasang drain kalau perlu). Upaya untuk mengangkat plasenta pada kehamilan
abdominal lanjut dapat berakhir dengan bencana, yakni pendarahan yang tidak
dapat dikendalikan ataupun diatasi.
4. Tingkat kewenangan
Setiap kecurigaan kehamilan ektopik terganggu (KET) harus dikonsulkan
kepada dokter spesialis obstetri dan ginekologi, selanjutnya diambil alih untuk
dilakukan laparotomi.
5. Perawatan rumah sakit
Segera dirawat, baik untuk keperluan perbaikan keadaan umum maupun persiapan
laparotomi.
(Achadiat,2004)
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi, pada kehamilan ektopik, yaitu :
1. Pada pengobatan konservatif, yaitu jika rupture tuba telah lama berlangsung (4-6
minggu), terjadi pendarahan ulang (recurrent bleeding). Ini merupakan tindakan
operasi.
2. Infeksi.
3. Sub ileus karena masa pelvis
4. Sterilitas.
(Yuliaikhah, dkk, 2006)

Gambar Kehamilan Ektopik :


I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan yang lebih banyak pada
uterus
2. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan rupture pada lokasi implantasi ,
perdarahan
3. Nyeri yang berhubungan dengan rupture tuba fallopii, perdarahan intraperitonial
4. Kelemahan berhubungan dengan banyaknya darah yang keluar saat perdarahan
5. Berduka berhubungan dengan kematian janin
6. Ansietas berhubungan dengan proses akan dilakukannya pembedahan
7. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kurang pemahaman atau tidak
mengenal sumber-sumber informasi.
8. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan kulit sekunder akibat
laparotomi
9. Risiko infeksi berhubungan dengan luka operasi dan pemasangan alat-alat perawatan
DAFTAR PUSTAKA

Manuaba, Ida Bgus Gde.1998.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga


BerencanaUntuk Pendidikan Bidan.Jakarta: EGC
Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Ilmu Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Doengoes, Marilynn E. 1999.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC
Yulianingsih, Maryunanni, Anik. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan.
Penerbit : Trans Info Media, Jakarta

Yuliaikhah, Lily S.Si. T, 2009. Seri Asuhan Kebidanan Kehamilan. Penerbit Buku
Kedokteran ECG, Jakarta

Wiknjosastro, Hanifa. 1992. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. Penerbit PT Gramedia.Jakarta

Bandung, Padjajaran, Kedokteran, Universitas. 1974. Ilmu Kebidanan Patologi. Penerbit


Elstar Offset Eleman, Bandung

http://atenvincentskep.blogspot.com/2009/10/askep-kehamilan-ektopik-terganggu.html

http://www.koranplus.com/forum/medical-info/13867.html

Anda mungkin juga menyukai