HIPERBILIRUBINEMIA
Disusun oleh :
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
KASUS 1 : HIPERBILLIRUBIN
Bayi X, laki-laki umur 3 hari, dirawat di RS karena lahir dengan sectio caesarea atas indikasi gawat
janin dengan APGAR: 1’= 7; 5’= 9 (usia gestasi 34 minggu); BBL: 1800 gr; dan PBL: 41 cm. Saat dilakukan
pengkajian fisik, kulit Bayi X tampak kuning di bagian wajah hingga dada, dalam Kramer’s Rule masuk
kedalam grade 2. Tanda-tanda vital HR 144x/menit; RR 47x/menit; dan Suhu 36,70 C. Antropometri: BB =
1790 gr; PB = 41 cm; dan LK= 30 cm. Menurut Ibu Bayi X, Bayi X malas menyusu dan suckingreflex lemah.
Setelah dilakukan tes laboratorium diketahui kadar bilirubin total Bayi X adalah 19 mg/dL. Ibu Bayi X
mengatakan ingin bayinya segera pulang karena ingin segera meyelenggarakan prosesi aqiqah sebagaimana
dianjurkan oleh agama Islam yang dianutnya. Akan tetapi, Ibu Bayi X juga mengatakan dirinya takut
merawat anak yang berat badannya kecil apalagi bayi ini merupakan anak pertamanya. Ibu juga selalu
bertanya kapan anaknya mulai boleh menggunakan gurita dan bertanya bolehkah menggunakan koin yang
menempel di pusar bayi karena khawatir pusarnya bodong untuk menuruti saran dari nenek bayi tersebut.
Learning Objectives :
1. Buat analisis untuk menjelaskan kondisi yang dialami oleh pasien (definisi, prevalensi, etiologi, faktor
risiko, tanda dan gejala klinis, komplikasi)
2. Bagaimana patofisiologi/mekanisme munculnya gejala pada kasus bayi X tersebut?
3. Jelaskan data fokus (pengkajian), pemeriksaan penunjang, beserta kemungkinan masalah yang akan
muncul dan penatalaksanaan pada kasus Bayi X tersebut
4. Buat asuhan keperawatan pada Bayi X menggunakan evidence based practice/hasil penelitian terkait
(analisis data, diagnosis keperawatan, dan rencana asuhan keperawatan)
5. Jelaskan isu/peka budaya dan aspek etik legal berdasarkan kasus bayi X tersebut
JAWABAN
LO 1
Dalam kasus, bayi tersebut mengalami BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) dan Hiperbilirubinemia
A. Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi
cukup bulan (intrauterine growth restriction) (Pudjiadi, dkk., 2010).
B. Klasifikasi
Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan Ismawati, 2010) :
Sedangkan Hiperbilirubinemia atau ikterus adalah suatu kondisi yang terjadi pada bayi baru lahir atau
neonatus yang disebabkan oleh ketinggian dari kadar bilirubin serum sebanyak >5mg/dL dalam darah.
Dengan gejala utama yaitu perubahan warna kulit, jaringan mukosa, sklera, dan organ menjadi kekuningan.
Hiperbilirubinemia dianggap sebagai salah satu masalah utama pada periode neonatal di seluruh dunia
dengan angka kejadian yang tinggi, terutama di Asia dan Tenggara (Yahya et al., 2017). Hiperlirubin adalah
akumulasi berlebihan dari bilirubin didalam darah (Wong, hal. 432). Hiperbilirubinemia / Ikterus
neonatorum) adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayibaru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di
dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning
( Ngastiyah, 1997). Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya
lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Menurut Ullah, Rahman, dan Hedayati (2016) pada Iranian Journal of Public Health jenis-jenis
hiperbilirubinemia pada neonatus telah dikelompokan menjadi 3, yaitu ikterus fisiologis, ikterus patologis,
ikterus karena menyusui atau ASI dan ikterus hemolitik.
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah jenis hiperbilirubinemia yang paling banyak terjadi, tidak memiliki
konsekuensi serius karena bayi baru lahir sangat wajar mengalami hal tersebut. Penyakit kuning
yang disebabkan oleh ketidakmatangan fisiologis ini biasanya muncul antara usia 24-72 jam dan
antara hari ke 4 dan ke-5 dapat dianggap sebagai puncaknya pada istilah neonatus dan pada usia
preterm. Kemudian pada hari ke-7 dan hilang dalam 10-14 hari. Bilirubin tak terkonjugasi adalah
bentuk predominan dan biasanya kadar serumnya kurang dari 15 mg/dl. Berdasarkan rekomendasi
terbaru dari AAP, kadar bilirubin sampai 17-18 mg/dl masih dapat diterima normal pada bayi baru
lahir yang sehat dan akan membaik dengan sendirinya tanpa pengobatan (Mathindas et al., 2013).
2. Ikterus Patologis
Tingkat bilirubin dengan penyimpangan dari kisaran normal dan intervensi yang membutuhkan
terapi lebih seperti fototerapi akan digambarkan sebagai ikterus patologis. Peningkatan bilirubin
serum di luar 5 mg/dl / hari terjadi sebelum usia 24 jam dan tahan selama lebih dari 8 hari,
kemudian tingkat puncak lebih tinggi dari kisaran normal yang diharapkan, adanya ikterus klinis
lebih dari 2 minggu (Ullah et al., 2016). Muncul tanda-tanda seperti muntah, letargis, malas
menyusui, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, sepsis, atau suhu yang tidak stabil
(Mathindas et al., 2013).
3. Ikterus Menyusui
Penyakit kuning pada bayi yang diberi ASI biasanya muncul antara usia 24-72 jam, mencapai
puncak dalam 5-15 hari dan lenyap pada minggu ketiga. Tingkat bilirubin yang lebih tinggi telah
terjadi pada bayi yang meminum ASI. Beberapa bahan kandungan dalam ASI (beta glucoronidase)
akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak, sehingga bilirubin indirek akan
meningkat, dan kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bilirubin dalam jumlah sangat besar jarang
terakumulasi dalam darah dan menyebabkan lesi serebral, sebuah situasi yang dikenal sebagai
ikterus nuklir. Frekuensi menyusui yang menurun dikaitkan dengan pembengkakan ikterus
fisiologis. Salah satu prosedur penting untuk mengelola ikterus adalah bukan dengan
menghentikan pemberian ASI, melainkan dengan meningkatkan frekuensi menyusui pada bayi
setidaknya 10-12 kali per hari (Ullah et al., 2016). Ibu disarankan untuk terus menyusui pada
interval yang lebih sering dan tingkat bilirubin biasanya berkurang secara bertahap, hal ini
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada bayi. Diskontinuitas menyusui tidak dianjurkan
kecuali kadar bilirubin melebihi 20 mg/dl.
4. Ikterus Hemolitik
Penyebab paling umum adalah saat produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,
dan defisiensi enzim G6PD (Ullah et al., 2016).
Defisiensi G6PD: yang paling umum adalah defisiensi enzim dalam sel darah merah.). Pemeriksaan
penunjang defisiensi G6PD harus dipertimbangkan pada bayi dengan penyakit kuning parah dalam keluarga
dengan riwayat ikterus yang signifikan atau pada asal geografis yang terkait dengan kekurangan G-6-PD.
C. Prevalensi
Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan
batasan 33%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah.
Kejadian ikterus sering dijumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah. Prevalensi Ikterus terjadi selama
usia minggu pertama pada sekitar 60% neonatus cukup bulan dan 80% pada neonatus prematur (Ningsih,
2013). Setiap tahun, 65% dari 4 juta neonatus di Amerika Serikat menderita hiperbilirubinemia pada minggu
pertama kelahirannya. Menurut Manish dan Modi Prashant tahun 2017 pada The Journal of Integrated
Health Sciences, keluhan paling umum yang timbul pada neonatus Hiperbilirubinemia (12,8%), Sepsis
(7,95%), Hypoxic-Ischemic Encephalopathy (HIE) tahap 2-3 (3,68%), Kelainan kongenital mayor (2,94%),
Tacypnea sementara pada bayi baru lahir (2,89%), Respiratory Distress Syndrome (RDS) (2,78%), Aspirasi
mekonium (1,52%), Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn (PPHN) (1,29%), Apnea (1,17%),
dan Necrotizing Enterocolitis (NEC) 0,63%. Dapat kita lihat bahwa Hiperbilirubinemia memiliki persentase
paling tinggi untuk keluhan pada neonatus.
D. Etiologi
Ada hubungan antara berat badan lahir rendah dengan hyperbilirubinemia (p=value=0,000), dengan
nilai OR 2,182 yang berarti bayi dengan BBLR berisiko 2,182 kali mengalami hiperbilirubinemia
dibandingkan bayi yang tidak BBLR. (Anisa, 2017)
Faktor Penyebab Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah (Proverawati dan
Ismawati, 2010).
1. Faktor ibu
Penyakit
a. Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan antepartum, preekelamsi
berat, eklamsia, infeksi kandung kemih.
b. Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, hipertensi, HIV/AIDS,
TORCH, penyakit jantung.
c. Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.
Ibu
a. Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20 tahun atau lebih dari
35 tahun.
b. Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
c. Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
Keadaan sosial ekonomi
a. Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan keadaan gizi
dan pengawasan antenatal yang kurang.
b. Aktivitas fisik yang berlebihan
c. Perkawinan yang tidak sah
1. Faktor janin
Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi sitomegali, rubella
bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.
2. Faktor plasenta
Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio plasenta, sindrom tranfusi
bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini.
3. Faktor lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran tinggi, terkena radiasi, serta
terpapar zat beracun.
Sedangkan penyebab dari hiperbilirubin adalah :
1. Peningkatan produksi :
a. Hemolisis, misalnya pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan
darah ibu dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
b. tertutup biasanya pada trauma kelahiran.
c. Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terjadi pada bayi
hipoksia dan asidosis.
d. Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogense)
e. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannnya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), dan diol
(steroid). Kurangnya enzim glukoronil transferase pada keadaan berat badan lahir rendah.
Sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin.
f. kongenital (rotor syndrom) dan dubin hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya pada hipoalbuminemia
atau akibat pengaruh obat-obatan tertentu seperti sulfadiazine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang secara
langsung dapat merusak sel hati dan darah merah seperti toksoplasmosis dan shipilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi di ekstar atau intra hepatic
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya ileus obstruktif.
E. Faktor Resiko
Faktor – faktor yang dapat menyebabkan terjadinya BBLR adalah faktor ibu yang terdiri dari umur
yang kurang dari 20 tahun atau umur lebih dari 35 tahun, multiparitas, jarak kelahiran yang terlalu dekat,
penyakit menahun ibu seperti jantung, dan pekerjaan yang terlalu berat, adapun antepartum dan pre-
eklampsia atau eklampsia sedangkan faktor janin yang dapat menyebabkan BBLR adalah cacat bawaan dan
infeksi dalam rahim (Manuaba, 1998).
Ada beberapa faktor resiko yang mempengaruhi Hiperbilirubinemia pada neonatus, yaitu:
1. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko dalam neonatal hiperbilirubinemia, hasil ini
relevan dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kromosom Y meningkatkan risiko
metabolisme bilirubin menyebabkan gangguan dan kerusakan enzim sehingga berperan
pembentukan bilirubin (Nurani et al., 2017).
2. Ibu yang mengandung dengan usia lebih dari 25 tahun akan memiliki resiko komplikasi kehamilan
yang lebih tinggi, seperti hipertensi dan diabetes. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadi
Hiperbilirubeinemia pada anaknya (Yahya et al., 2017).
3. Bayi kelahiran kedua atau selanjutnya, dan juga yang memiliki saudara kandung sebelumnya
dengan hiperbilirubinemia berat (Devi et al., 2016).
4. Bobot lahir adalah salah satu karakteristik yang mempengaruhi hiperbilirubinemia. Dalam
penelitian yang dilakukan Nurani (2017) di Rumah Sakit Hasan Sadikin kota Bandung, tingkat
kejadian tinggi terjadi pada ikterus dengan berat lahir rendah bayi. Neonatus yang lahir dengan
berat kurang dari 2.500 gram memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi karena enzim metabolik
belum bekerja dengan baik.
5. Bayi dengan ibu penderita diabetes berisiko mengalami hiperbilirubinemia. Menurut Yahya et al
(2017) hal terkait dengan massa sel besar yang lebih besar, konjugasi tidak efisien oleh enzim,
erythropoiesis yang tidak efektif, memicu untuk meningkatnya kadar serum yang tidak
terkonjugasi bilirubin.
6. Bayi yang lahir prematur dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu, lebih beresiko
dibandingkan dengan bayi dengan usia kehamilan yang tepat. Hal ini terkait dengan organ.
Secara keseluruhan, 6-7% bayi cukup bulan mempunyai kadar bilirubin indirek lebih besar dari 12,9
mg/dl dan kurang dari 3% mempunyai kadar bilirubin yang lebih besar dari 15% mg/dl. Faktor resiko untuk
mengalami hiperbilirubinemia indirek meliputi : diabetes pada ibu, ras (Cina, Jepang, Amerika Asli),
prematuritas, obat-obatan (vitamin k3, novobiosin), tempat yang tinggi,polisitemia, jenis kelamin laki-laki,
trisomi-21, memar kulit, sefalhematoma, induksi oksitosin, pemberian Asi, berat badan dan kehilangan
kalori, pembentukan tinja lambat, dan ada riwayat saudara yang pernah mengalami ikterus sebelumnya.
(Anisa, 2017).
G. Komplikasi
Penyebab kesakitan atau komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara
lain : hipotermia, hipoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit, hiperbilirubinemia (ikterus), infeksi,
gangguan pernafasan, dan anemia. BBLR sering dikaitkan dengan hiperbilirubin karena hubungannya dengan
faktor kematangan hepar, sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum sempurna atau
bisa juga karena disebabkan gangguan pertumbuhan hati pada bayi dismatur yang beratnya kurang
dibandingkan dengan bayi biasa. BBLR yang berhubungan dengan kejadian ikterus tersebut sesuai dengan
penelitian Riyanti Imron dan Diana Metti (2015). Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa dari 315 bayi
terdapat bayi dengan berat badan lahir rendah sejumlah 105 bayi (33,3%) dan hiperbilirubinemia berjumlah
111 bayi (35,2%).
BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai permasalahan yang banyak sekali pada
sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum stabil (Surasmi, dkk., 2002).
Beberapa kasus hiperbilirubinemia yang tidak teratasi dapat menyebabkan komplikasi. Jika kadar
bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaan ini disebut kren ikterus). Yang
memiliki efek jangka panjang yaitu keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang
abnormal, cerebral palsy), tuli, dan mata tidak dapat digerakkan keatas.
H. Penatalaksanaan BBLR
Konsekuensi dari anatomi dan fisiologi yang belum matang menyebabkan bayi BBLR cenderung
mengalami masalah yang bervariasi. Hal ini harus diantisipasi dan dikelola pada masa neonatal.
Penatalaksanaan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi stress fisik maupun psikologis. Adapun
penatalaksanaan BBLR meliputi (Wong, 2008; Pillitteri, 2003) :
a) Dukungan respirasi
Tujuan primer dalam asuhan bayi resiko tinggi adalah mencapai dan mempertahankan respirasi.
Banyak bayi memerlukan oksigen suplemen dan bantuan ventilasi. Bayi dengan atau tanpa
penanganan suportif ini diposisikan untuk memaksimalkan oksigenasi karena pada BBLR beresiko
mengalami defisiensi surfaktan dan periadik apneu. Dalam kondisi seperti ini diperlukan pembersihan
jalan nafas, merangsang pernafasan, diposisikan miring untuk mencegah aspirasi, posisikan
tertelungkup jika mungkin karena posisi ini menghasilkan oksigenasi yang lebih baik, terapi oksigen
diberikan berdasarkan kebutuhan dan penyakit bayi. Pemberian oksigen 100% dapat memberikan
efek edema paru dan retinopathy of prematurity.
b) Termoregulasi
Kebutuhan yang paling krusial pada BBLR setelah tercapainya respirasi adalah pemberian
kehangatan eksternal. Pencegahan kehilangan panas pada bayi distress sangat dibutuhkan karena
produksi panas merupakan proses kompleks yang melibatkan sistem kardiovaskular, neurologis, dan
metabolik. Bayi harus dirawat dalam suhu lingkungan yang netral yaitu suhu yang diperlukan untuk
konsumsi oksigen dan pengeluaran kalori minimal. Menurut Thomas (1994) suhu aksilar optimal bagi
bayi dalam kisaran 36,5°C – 37,5°C, sedangkan menurut Sauer dan Visser (1984) suhu netral bagi
bayi adalah 36,7°C – 37,3°C.
Menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu
(Kosim Sholeh, 2005) :
1) Kangaroo Mother Care atau kontak kulit dengan kulit antara bayi dengan ibunya. Jika ibu tidak
ada dapat dilakukan oleh orang lain sebagai penggantinya.
2) Pemancar pemanas
3) Ruangan yang hangat
4) Inkubator
f) Penghematan energi
Salah satu tujuan utama perawatan bayi resiko tinggi adalah menghemat energi, Oleh karena itu
BBLR ditangani seminimal mungkin. Bayi yang dirawat di dalam inkubator tidak membutuhkan
pakaian , tetapi hanya membutuhkan popok atau alas. Dengan demikian kegiatan melepas dan
memakaikan pakaian tidak perlu dilakukan. Selain itu, observasi dapat dilakukan tanpa harus
membuka pakaian. Bayi yang tidak menggunakan energi tambahan untuk aktivitas bernafas, minum,
dan pengaturan suhu tubuh, energi tersebut dapat digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Mengurangi tingkat kebisingan lingkungan dan cahaya yang tidak terlalu terang meningkatkan
kenyamanan dan ketenangan sehingga bayi dapat beristirahat lebih banyak. Posisi telungkup
merupakan posisi terbaik bagi bayi preterm dan menghasilkan oksigenasi yang lebih baik, lebih
menoleransi makanan, pola tidur-istirahatnya lebih teratur. Bayi memperlihatkan aktivitas fisik dan
penggunaan energi lebih sedikit bila diposisikan telungkup. PMK akan memberikan rasa nyaman
pada bayi sehingga waktu tidur bayi akan lebih lama dan mengurangi stress pada bayi sehingga
mengurangi penggunaan energi oleh bayi.
g) Stimulasi Sensori
Bayi baru lahir memiliki kebutuhan stimulasi sensori yang khusus. Mainan gantung yang dapat
bergerak dan mainan- mainan yang diletakkan dalam unit perawatan dapat memberikan stimulasi
visual. Suara radio dengan volume rendah, suara kaset, atau mainan yang bersuara dapat memberikan
stimulasi pendengaran. Rangsangan suara yang paling baik adalah suara dari orang tua atau keluarga,
suara dokter, perawat yang berbicara atau bernyanyi. Memandikan, menggendong, atau membelai
memberikan rangsang sentuhan. Rangsangan suara dan sentuhan juga dapat diberikan selama PMK
karena selama pelaksanaan PMK ibu dianjurkan untuk mengusap dengan lembut punggung bayi dan
mengajak bayi berbicara atau dengan memperdengarkan suara musik untuk memberikan stimulasi
sensori motorik, pendengaran, dan mencegah periodik apnea.
h) Dukungan dan Keterlibatan Keluarga
Kelahiran bayi preterm merupakan kejadian yang tidak diharapkan dan membuat stress bila keluarga
tidak siap secara emosi. Orang tua biasanya memiliki kecemasan terhadap kondisi bayinya, apalagi
perawatan bayi di unit perawatan khusus mengharuskan bayi dirawat terpisah dari ibunya. Selain
cemas, orang tua mungkin juga merasa bersalah terhadap kondisi bayinya, takut, depresi, dan bahkan
marah. Perasaan tersebut wajar, tetapi memerlukan dukungan dari perawat. Perawat dapat membantu
keluarga dengan bayi BBLR dalam menghadapi krisis emosional, antara lain dengan memberi
kesempatan pada orang tua untuk melihat, menyentuh, dan terlibat dalam perawatan bayi. Hal ini
dapat dilakukan melalui metode kanguru karena melalui kontak kulit antara bayi dengan ibu akan
membuat ibu merasa lebih nyaman dan percaya diri dalam merawat bayinya. Dukungan lain yang
dapat diberikan perawat adalah dengan menginformasikan kepada orang tua mengenai kondisi bayi
secara rutin untuk meyakinkan orang tua bahwa bayinya memperoleh perawatan yang terbaik dan
orang tua selalu mendapat informasi yang tepat mengenai kondisi bayinya.
c. Penilaian Pertumbuhan
Fisik Indikator pertumbuhan fisik dapat dinilai dari berat badan, panjang badan, lingkar
kepala, lingkar lengan atas, dan lipatan kulit. Akan tetapi pengukuran yang paling mudah dan
sering digunakan pada bayi untuk memantau dan menilai pertumbuhannya adalah kenaikan berat
badan (Kosim Sholeh, 2005).
Bayi akan kehilangan berat selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk bayi dengan berat
lahir ≥1500 gr dan 15% untuk bayi dengan berat lahir < 1500 gr ). Berat lahir biasanya tercapai
kembali dalam 14 hari kecuali apabila terjadi komplikasi. Setelah berat lahir tercapai kembali,
kenaikan berat badan selama tiga bulan seharusnya :
1. 150-200 gr seminggu untuk bayi < 1500 gr (misalnya 20-30 gr/hr)
2. 200-250 gr seminggu untuk bayi 1500-2500 gr ( misalnya 30-35 gr/hari)
LO 2
Persalinan section cesaria adalah suatu cara melahirkan janin melalui dinding depan abdomen. Sectio
cesaria dipahami sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan persalinan, salah satunya seperti pada
kondisi gawat janin (Sari, 2019). Pada kondisi dalam kasus, diketahui ibu bayi mengalami gawat janin.
Sehingga di usia kehamilan ibu yang terbilang masih kurang matang, usia gestasi 34 minggu. Maka dari itu
bayi yang dilahirkan termasuk kategori bayi premature. Hal ini pun didukung dengan data yang menyebutkan
bahwa berat bayi saat lahir adalah 1800 gr.
Sekitar 80% bayi yang lahir premature mengalami penurunan sucking reflex. Hal tersebut karena untuk
dapat melakukan oral feeding yang baik, seseorang membutuhkan kematangan fungsi neurophysical, yang
belum matang pada bayi premature (Lau, 2016). Adanya penurunan sucking reflex tersebut mempengaruhi
asupan nutrisi yang baik, karena bayi jadi enggan untuk menyusu kepada ibunya, hal ini dibuktikan dengan
“malas menyusu” yang disebutkan dalam kasus.
Karena asupan nutrisi tidak adekuat, beberapa zat yang dibutuhkan oleh tubuh tidak dapat terpenuhi.
Rangkuman etiologi:
Gawat Jalan
Sectio cesaria
Hiperbilirubin
Bilirubin diproduksi dalam sistem Retikuloendotelial sebagai produk akhir dari katabolisme heme dan
terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama oksidasi, Biliverdin terbentuk dari heme
melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan
kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air
direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan
hidrogen intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor
endogen maupun eksogen (misalnya obat - obatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran yang
mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke
neurotoksisitas. Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin terikat ke
ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi
ligandin.
Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di retikulum endoplasmik melalui reaksi yang ikatalisis oleh
Uridin Difosfoglukuronil Transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak
larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin
direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi
didalam usus kecil proksimal melalui kerja B-Glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi
kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total.
LO 3
Nama : Bayi X
Umur : 3 hari
Pengkajian Fisik :
Keadaan umum : kulit Bayi W tampak kuning di bagian wajah hingga dada(Kramer’s Rulegrade 2).
TTV :
a. HR 144x/menit
b. RR 47x/menit
0
c. Suhu 36,7 C.
BB = 2100 gr
LLA = 6 cm
PB = 48 cm
LK= 31 cm
Focus pengkajian :
a. Nutrisi : Bayi X malas menyusu (berat badan kurang)
b. Aktivitas / Istirahat : Bayi X malas menyusu dan suckingreflex lemah
c. Keamanan : Bayi memakai gurita, koin menempel di pusar bayi
d. Pengetahuan : Ibu bayi X mengatakan dirinya kurang paham tentang perawatan
bayinya ketika kuning kembali
Berikut ini dapat mengindikasikan ensefalopati bilirubin akut pada bayi dengan ikterus:
b. Kenictirus merupakan terwarnainya sel otak dan nekrosis sel otak yang dihasilkan dari
perwarnaan kronik dan permanen. Kernicterus adalah sindrom yang terjadi jika ensefalopati
bilirubin akut menyebabkan kerusakan permanen pada otak. Kernicterus dapat menyebabkan:
Gerakan tidak disadari dan tidak terkontrol (athetoid cerebral palsy)
Tetap menatap ke atas
Gangguan pendengaran
Perkembangan enamel gigi yang tidak benar
LO 4
Analisa data
Diagnosis keperawatan
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menghisap/menelan d.d BB bayi usia 3 hari
turun 10 gram dari BBL.
2. Potensial kerusakan integritas kulit b.d peningkatan kadar bilirubin indirek dalam darah d.d kadar
bilirubin total 19 mg/dL dan jaundice pada bagian wajah dan dada.
3. Defisit pengetahuan b.d keterangan yang salah dari orang lain d.d mempertanyakan penggunaan koin
yang menempel pada pusar bayi karena khawatir pusarnya bodong untuk menuruti saran dari nenek bayi.
LO 5
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 23,3 % bayi mengalami infeksi tali pusat, hal ini terjadi karena
adanya kurang pengetahuan dan lebih menuruti tradisi budaya seperti meletakkan atau membalutkan ramuan
tradisonal ke tali pusat supaya tali pusat cepat lepas (puput) atau ditutupi dengan koin agar pusat tidak
bodong. Infeksi pada tali pusat juga dapat dipengaruhi oleh ibu yang tidak melakukan perawatan tali pusat
dengan baik sesuai dengan tenanga kesehatan.
Tindakan seperti mambalut ramuan dan ditutupi koin adalah tindakan yang tidak perlu dilakukan
karena dapat membayakan untuk sang bayi, koin ini dapat menularkan kuman akibatnya terjadi infeksi atau
tetanus yang sangat membahayakan karena tingkat mortalitasnya tinggi. (Zacharia, 2008). Karena dibuktikan
bahawa sebanyak 300.000 bayi dilaporkan meninggal akibat tetanus, dan 460.000 lainnya meninggal karena
infeksi berat dengan infeksi tali pusat (omfalitis) sebagai salah satu predisposisi penting.
Tali pusat merupakan jalan masuk utama infeksi sistemik pada bayi baru lahir (Shafique, 2006). Sekitar
23% sampai 91% tali pusat yang tidak dirawat dengan menggunakan antiseptik akan terinfeksi oleh kuman
staphylococcus aureus pada 72 jam pertama setelah kelahiran (Anderson, 2007). Kuman ini dapat
menyebabkan pustula, konjungtivitis, pyoderma dan omfalitis atau infeksi pusat. Tanpa pengobatan, dapat
terjadi kematian dalam beberapa hari (Hamilton, 2005).
Perawatan tali pusat sangat penting dilakukan terutama oleh ibu melahirkan karena ibu yang lebih
mengetahui perkembangan bayi ssetiap harinya. Perawatan tali pusat yang baik seperti menghindari
penggunaan bedak dermatol, dan penggunaan ramuan-ramuan tradisional yang kurang memperhatikan
kesterilannya (DepKes RI, 2009) sangat penting.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik ibu tentang perawatan tali pusat sebagian besar kurang
sebanyak 33 responden (55,0%). Hal ini terjadi karena sebagian besar ibu merawat tali pusat tidak mengganti
popok yang telah basah, tidak memberikan betadine pada tali pusat, tidak mencuci tangan sebelum
memegang atau membersihkan tali pusat, ibu menaburi bedak pada tali pusat agar cepat mongering, ibu tidak
membersihkan tali pusat bayi dengan sabun saat memandikan bayi, ibu tidak memandikan bayi sampai tali
pusat putus, ibu tidak menutup tali pusat dengan kasa steril, ibu tidak menjaga kelembaban tali pusat dan ibu
tidak menjaga tali pusat bayi agar tidak terendam saat dimandikan.
Perawatan tali pusat yang benar dilakukan dengan cara tali pusat dicuci dengan air bersih dan sabun
bilas dan keringkan betul-betul dan pertahankan tali pusat dalam keadaan terbuka dan terkena udara dan
tutupi dengan air bersih secara longgar (Pusdiknakes, 2013). Pada pangkal tali pusat dan tali pusat ditutup
dengan kain kasa yang bersih atau steril dan diplester. Untuk mengurangi insiden infeksi perumbilikalis,
seluruh kulit pada tali pusat harus dibersihkan dengan menggunakan kapas steril yang dicelupkan ke dalam
air hangat dan atau larutan sabun encer.
Risiko terjadinya ikterus neonatorum atau terjadinya peningkatan kadar bilirubin serum yang melebihi
12,9 mg/dl dapat dicegah dengan berbagai tindakan. Salah satu tindakan yang dire- komendasikan dan umum
dilakukan masyarakat adalah dengan pemanfaatan sinar matahari. Pengaruh sinar matahari terhadap ikterus
neonatorum pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat di salah satu rumah sakit di
Inggris pada tahun 1956. Seorang perawat di ruang perawatan bayi melihat bahwa bayi-bayi yang mendapat
sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterus nya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi lainnya. Hasil
penelitian Cremer menunjukkan sinar matahari dengan intensitas cahaya 400-520 nm dapat memberikan laju
degradasi bilirubin 3,5 mg/dljam. Pendapat Cramer diperkuat dengan penelitian Salih bahwa sinar matahari
mempunyai keefektifan 6,5 kali dibandingkan unit fototerapi dalam mendegradasi bilirubin dan tingkat
keefektifannya masih lebih baik meskipun musim dingin dimana intensitasnya menurun.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi foto kimia yang relatif
cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah
struktur bilirubin. Penyinaran tersebut menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto-isome-risasi)
menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan diekskresikan dengan cepat tanpa harus di
konjugasi dan dikonversi terlebih dahulu oleh hepar dan flora usus. Fototerapi dapat mengubah bilirubin
menjadi bentuk yang tidak toksik dan dapat dikeluarkan dengan sempurna melalui ginjal dan traktus
digestivus. Spektrum sinar biru dengan intensitas panjang gelombang 460-490 nm paling efektif mempunyai
efek foto terapeutik.
Terapi dengan sinar matahari merupakan tindakan pencegahan untuk mengantisipasi terjadinya
penimbunan bilirubin dalam darah yang berlebihan. Sehingga sinar matahari direkomendasi kan sebagai
salah satu alternatif mengatasi ikterus neonatorum melalui pemanfaatan yang tepat (mengurangi risiko
paparan ultra- violet pada kulit). Pemaparan ultraviolet sejak dini dapat meningkatkan risiko terja- dinya
kanker kulit pada usia dewasa.
ASPEK KULTURAL
Aspek budaya yang perlu diperhatikan dalam keperawatan :
Persepsi sehat-sakit pada masyarakat. Di masyarakat masih banyak kepercayaan-kepercayaan bahwa
sakit disebabkan oleh makhluk halus dan guna-guna dari orang lain.Kepercayaan mempengaruhi tingkah laku
kesehatan masyarakat. Kadang, ada beberapa kepercayaan di agama ataupun budaya masyarakat yang
menghambat pengobatan. Oleh karena itu, perawat harus memberikan edukasi yang tepat kepada pasien
agara mau melakukan terapi kesehatan.
Kaitan dengan kasus : ibu bayi mengatakan boleh atau tidak untuk menempelkan koin di pusar
bayinya agar tidak bodong. Secara rasional, tindakan tersebut merupakan hal yang keliru karena jika
dipasang koin pada pusar bayi, atau bahkankoin dipasang ketika tali pusar belum lepas maka akan beresiko
infeksi pada pusar bayi. Perawat harus menjelaskan bahwa hal tersebut keliru dan perawat harus memberika
informasi yang tepat kepada orang tua khususnya ibu dengan memperhatikan aspek budaya dari klien.
Kaitan dengan kasus : ibu klien mengatakan ingin segera membawa bayinya pulang dikarenakan akan
dilakukan prosedur aqiqah pada bayinya, padahal kondisi anak masih membutuhkan terapi medis karena bayi
lahir prematur. Melihat kondisi ini, perawat harus mampu memberikan pengertian kepada orang tua bayi agar
menunda prosedur aqiqah sampai terapi pada bayinya dapat diselesaikan dan juga sampai kondisi bayi
membaik.
Faktor pendidikan juga masih menjadi salah satu penyebab rendahnya status kesehatan klien. Semakin
tinggi tingkat pendidikan klien, maka kemampuan untuk menerima informasi juga semakin tinggi sehingga
klien dapat menerapkan asuhan keperawatan yang telah diberikan oleh perawat.
Kaitan dengan kasus : ibu bayi menanyakan kapan bayinya dapat menggunakan gurita, hal tersebut
menunjukkan bahwa sang ibu sudah mencari informasi terkaoit perawatan bayi. Peran perawat disini adalah
memberi informasi yang tepat terkait pemasangan gurita pada bayi dan memberi contoh bagaimana cara
pemasangannya, sehingga ibu bayi dapat mencontoh.
DAFTAR PUSAKA
Anggraini, Yetti. 2014. HUBUNGAN ANTARA PERSALINAN PREMATUR DENGAN HIPERBILIRUBIN PADA
NEONATUS. Jurnal Kesehatan, 5, 111-112. Diambil dari http://www.ejurnal.poltekkes-
tjk.ac.id/index.php/JK/article/view/40
Devi, D. S., Vijaykumar, B. 2016. Risk Factors for Neonatal hyperbilirubinemia: a case control study. Internasional
Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology, 6 (1), 198-202. Diambil dari
http://dx.doi.org/10.18203/2320-1770.ijrcog20164657
Nurani, N. B., Kadi, F. A., Rostini, T. 2017. Incidence of Neonatal Hyperbilirubinemia based on their
Characteristics at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Indonesia. Althea Medical Journal, 4 (3),
431- 4. Diambil dari http://dx.doi.org/10.15850/amj.v4n3.1195
Mathindas, S., Wilar R., Wahani, A. 2013. Hiper Bilirubinemia pada Neonatus. Jurnal Biomedik, Vol 5, No
1, S4-10. Diambil dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article
Sagung Adi Sresti Mahayana, Eva Chundrayetti, Yulistin. 2015. Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap
Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Diambil dari:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/viewFile/345/300
Tuti Meihartati, S.ST., M.Kes. 2015. FAKTOR IBU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BAYI
BERAT LAHIR RENDAH DI RSUD ANDI ABDURRAHMAN NOOR TANAH BUMBU 2015. Diambil dari:
https://idr.uin-antasari.ac.id/6828/2/JURNAL%20hal%2071-77.pdf
Yahya, N., Yuniati., T., lubis, l. 2017. Characteristics of Neonatal Hyperbilirubinemia at West Java’s Top
Referral Hospital, Indonesia. Althea Medical Journal, 4 (2), 167-72. Diambil dari
http://dx.doi.org/10.15850/amj.v4n2.1065
Mathindas, Wilar, Wahani. 2013. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal Biomedik, Vol.5, hlm. S4-10
diakses dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/2599/2142
Lau, C. 2016. Development of Suck and Swallow Mechanism in Infants. PMC. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles
Sari, RM & Nuril Absari. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Sectio Caesaria di Rumah
Sakit DKT Bengkulu. Retrieved from http://ojs.umsida.ac.id