“BLOK REPRODUKSI”
“BBLR”
Di Susun Oleh:
Nama : Meylisa
Kelompok : II (dua)
Fakultas Kedokteran
2018
SKENARIO
Seorang bayi laki-laki lahir spontan di puskesmas dari seorang ibu berumur 40 tahun.
Berat lahir 1500 gram, skor Ballard 18. Saat lahir bayi segera menangis, ketuban pecah saat
lahir, jernih dan tidak berbau. Bayi mulai disusui 2 jam setelah lahir, tetapi isapan bayi tampak
lemah. Empat jam setelah lahir bayi tampak sesak, frekuensi napas 70 x per menit, retraksi di
daerah subcostal, tidak tampak biru, dan pada auskultasi terdengar expiratory grunting. Suhu
aksiler 36,3 C. Dua hari kemudian wajah dan daerah dada bayi tampak kuning.
KATA SULIT :
KATA KUNCI :
2. jelaskan factor resiko BBLR dan jelaskan hubungan BBLR dengan gejala pada skenario ?
4. masalah apa yang dapat ditimbulkan pada bayi disusui 2 jam setelah lahir ?
7. Mengapa mekanisme terjadinya sesak pada bayi dan mengapa sesak 4 jam setelah lahir ?
LO :
Gangguan pernapasan/paru-paru
Gangguan hati
Hipotermia
Intraventricular hemorage
Retinophaty
Hipoglikemia
Mempertahankan Suhu
BBLR mudah mengalami hipotermia, oleh sebab itu suhunya harus dipertahankan.
Dalam ruangan perawatan bayi, suhu dipertahankan tidak kurang dari 24 C atau jika bayi sangat
kecil dimasukkan kedalam incubator dengan suhu dipertahankan 26-32 C dengan kelembapan
65-75% oksigen diberikan melalui kotak kepala(head box) atau masuk kedalam incubator secara
terkontrol.
Pencegahan infeksi
infeksi dikontrol dengan perhatian khusus untuk mencegah penularan infeksi dari
pengunjung dan staf yang bertugas, dan hal-hal lain ke kamar perawatan bayi. Mencuci tangan
sebelum memegang bayi merupakan tindakan pencegahan yang sangat penting.
Pengawasan Nutrisi/ASI
Reflex mengisap bayibelum sempurna oleh sebab itu pemberian nutrisi/ASI harus
dilakukan denga cermat. Bila bayi tidak dapat mengisap tapi bias saja tetesi ASI dari putting
susu atau diberikan melalui pipa/sendok.
Penimbangan
Perubahan BB mencerminkan kondisi gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan
tubuh, oleh sebab itu Perubahan BB bayi harus dikontrol secra cermat.
ikterus fisiologik dan ikterus patologik terjadi
•Kadar bilirubin indirek sesudah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neontus cukup bulan
dan 10 mg% pada neonates kurang bulan
Ikterus patologik
•Gggn ambilan & konjugasi bilirubin: sindrom gilbert, sindrom Criggler-Najjar , def. protein Y
Hiperbilirubinemia
Definisi
Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu
Ikterus fisiologi
Ikterus fisiologi adalahikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak
mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus.
2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonates cukup bulan.
IkterusPatologi
Ikterus patologis adalahikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% pada
6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik. (Arief ZR, 2009. hlm. 29)
Penatalaksanaan BBLR
Mengingat belum sempurnanya kerja alat-alat tubuh yang perlu untuk pertumbuhan dan
perkembangan dan penyesuaian diri dengan lingkungan hidup diluar uterus maka perlu
diperhatikan pengaturan suhu lingkungan, pemberian makanan, dan bila perlu pemberian
oksigen, mencegah infeksi serta mencegah kekurangan vitamin dan zat besi (Winkjosastro,
2006).
a. Mempertahankan Suhu
Bayi prematur mudah dan cepat sekali menderita hipotermia bila berada di lingkungan
dingin. Bila bayi dirawat di dalam inkubator, maka suhunya untuk bayi dengan berat badan
kurang dari 2 kg adalah 35°C dan untuk bayi berat badan 2-2,5 kg 34°C agar ia dapat
mempertahankan suhu tubu sekitar 37°C suhu inkubator dapat diturukan 1°C perminggu untuk
bayi dengan berat badan kurang dari 2 kg secara berangsur-angsur ia dapat diletakan didalam
tempat tidur bayi dengan suhu lingkungan 27°C-29°C. Bila inkubator tidak ada, pemanasan
dapat dilakukan dengan membungkus bayi dan meletakkan botol-botol hangat di sekitar atau
dengan memasang lampu petromaks didekatkan pada tempat tidur bayi. Bayi dalam inkubator
hanya dipakaikan popok. Hal ini penting untuk memudahkan pengawasan mengenai keadaan
umum, tingkah laku, pernapasan dan kejang (Winkjosastro, 2006).
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan
daya dan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat badan agar bayi tidak menderita
hipoglikemia dan hiperbilirubinemia. Pada umunya bayi dengan berat lahir 2000 gram atau
lebih dapat mengisap air susu ibu dan bayi dengan berat kurang 1500 gram bayi diberi minum
melalui sonde. Sesudah 5 hari bayi lahir dicoba menyusu pada ibunya, bila daya isap cukup baik
maka pemberian air susu ibu diteruskan (Winkjosastro, 2006).
c. Makanan bayi
Pada bayi prematur refleks isap, telan dan batuk belum sempurna, kapasitas lambung masih
sedikit, daya enzim pencernaan terutama lipase masih kurang di samping itu kebutuhan protein
3-5 gr perhari dan tinggi kalori (110 kal/kg/hari), agar berat badan bertambah sebaik-baiknya.
Pemberian minum dimulai pada waktu bayi berumur tiga jam agar bayi tidak menderita
hipoglikemia dan hiperbilirubinemia pada umumnya bayi dengan berat badan lahir 2000 gram
agar lebih dapat mengisap air susu ibu dan bayi dengan berat kurang 1500 gram diberi minum
melalui sonde. Sesudah 5 hari bayi dicoba menyusu pada ibunya, bila daya isap cukup baik
maka pemberian air susu diteruskan (Winkjosastro, 2006).
d. Mencegah Infeksi
Bayi berat lahir rendah mudah sekali terkena daya tahan tubuh yang masih lemah,
kemampuaan leukosit masih kurang dan pembentukan antibodi belum sempurna, oleh karena
itu, upaya preventif sudah dilakukan sejak pengawasan antenatal sehingga tidak terjadi
persalinan prematuritas (BBLR), dengan demikan perawatan dan pengawasan bayi prematuritas
secara khusus dan terisolasi dengan baik (Manuaba, 2006).
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sangat rentan akan infeksi, perhatikan prinsip-prinsip
pencegahan infeksi termasuk mencuci tangan sebelum memegang bayi (Sarwono, 2006).
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sangat rentan akan infeksi, ini disebabkan oleh karena
daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang, relativ belum sanggup membantu antibodi dan
daya fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum oleh karena itu, perhatikan prinsip-
prinsip pencegahan infeksi, termasuk mencuci tanggan sebelum memegang bayi ( Koswara
2009).
JAWABAN :
Defenisi: Ialah bayi baru lahir yang berat badannya pada saat kelahiran kurang dari 2.500 gram
tanpa mengkaitkan dengan umur gestasi.
Klasifikasi:
- Very Low Birth Weight (VLBW) dimana berat badaan bayi baru lahir 1000 g - <1500g
- Extremely Low Birth Weight (ELBW) dimana berat badan bayi baru lahir <1000 g
Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk
masa gestasi itu atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-
SMK).
• Bayi kurang bulan ialah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu
• Bayi cukup bulan ialah bayi dengan masa kehamilan mulai 37 minggu sampai 42 minggu.
• Bayi lebih bulan ialah bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau lebih.
2. Etiologi BBLR
a. Faktor ibu
Kurang gizi pada saat hamil apabila tidak mendapatkan penenganan dengan baik secara intensif
akan mengakibatkan anemia.kebanyakan ibu hamil mengalami anemia gizi seperti anemia
defesiensi besi.oleh sebeb itu,pada saat hamil ibu dianjurkan untuk mengomsumsi tablet zat
besi.
Usia reproduksi optimal seorang ibu adalah antara umur 20-35 tahun, dibawah atau diatas usia
tersebut akan meningkatkan resiko kehamilan dan persalinannya.Umur ibu kurang dari 20
tahun menunjukkan rahim dan panggul ibu belum berkembang secar sempurna karena wanita
pada usia ini masih dalam masa pertumbuhan sehingga panggul dan rahim masih
kecil.Disamping itu usia diatas 35 tahun cenderun mengakibatkan timbulnya masalah- masalah
kesehatan seperti : hipertensi,DM,anemia, TB paru, dan dapat menimbulkan persalinan lama
dan perdarahan pada saat persalinan serta resiko terjadinya cacat bawaan pada janin.
Banyak anakyang dilahirkan seorang ibu akan mempengaruhi kesehatan ibu dan menrupakan
factor resiko terjadinya BBLR, tumbuh kembang bayi lebih lambat, pendidikan anak lebih
rendah dan nutrisi kurang.
Factor resiko lain pada ibu hamil adalah riwayat penyakit yang diderita ibu.adapun penyakit
yang diderita ibu yang berpengaruhterhadap kehamilan dan persalinannya adalah penyakit
yang bersifat kronis seperti hipertensi , cacat bawaan, jantung dan asma, TB paru, dan malaria
Faktor pekerjaan
Pekerjaan ibu pada status social ekonnomi dan aktifitas fisik ibu hamil. Dengan keterbatasan
status social ekonomi akan berpengaruh nterhadap keterbatasan dalam mendapatkan
pelayanan ante natal yang adekuat , pemenuhan gizi, sementara itu, ibu hamil yang bekerja
cenderung cepat lelah sebeb aktifitas fisiknya meningkat karena memiliki tambahan pekerjaan
atau kegiatan di luar rumah.
b. Faktor kehamilan
Hamil dengan hidarmion , yaitu keadaan dimana cairan ketuban melebihi dari normal
Hamil ganda, yaitu kehamilan dimana jumlah janin yang dikandung lebih dari satu
Perdarahan ante partum , yaitu perdarahan yang terjadi pada masa hamil
c. Faktor janin
Cacat bawaan yaitu keadaan janin yang cacat sebagai akibat pertumbuhan janin didalam
kandungan tidak sempurna
Imfeksi dalam rahim yaitu janin yang mengalami infeksi sebagai akibat penyakit yang diderita
ibu. Seperti ibu yang menderita HIV/AIDS sangat rentan mengakibatkan infeksi dalam rahim
d. Faktor lingkungan
Yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan
paparan zat racun.
Pencegahan BBLR
Yaitu berupa intervensi dengan pendekatan faktor resiko yang menjadi faktor penentu
terjadinya BBLR, seperti:
- Pendidikan Wanita
- Perbaikan gizi
Mempertahankan Suhu
BBLR mudah mengalami hipotermia, oleh sebab itu suhunya harus dipertahankan.
Dalam ruangan perawatan bayi, suhu dipertahankan tidak kurang dari 24 C atau jika bayi sangat
kecil dimasukkan kedalam incubator dengan suhu dipertahankan 26-32 C dengan kelembapan
65-75% oksigen diberikan melalui kotak kepala(head box) atau masuk kedalam incubator secara
terkontrol.
Reflex mengisap bayibelum sempurna oleh sebab itu pemberian nutrisi/ASI harus dilakukan
denga cermat. Bila bayi tidak dapat mengisap tapi bias saja tetesi ASI dari putting susu atau
diberikan melalui pipa/sendok.
Penimbangan
Perubahan BB mencerminkan kondisi gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan
tubuh, oleh sebab itu Perubahan BB bayi harus dikontrol secra cermat.
Defenisi: Ikterus fisiologis menurut Tarigan (2003) dan Callhon (1996) dalam Schwats (2005)
adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan
dan 10 mg % per hari pada kurang bulan
Hipotermi
Defenisi
Hipotermia pada neonatus adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan suhu tubuh
yang disebabkan oleh berbagai keadaan, terutama karena tingginya konsumsi oksigen dan
penurunan suhu ruangan. Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal sangat penting
untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan bayi baru lahir, terutama bagi bayi prematur.
Pengaturan suhu tubuh tergantung pada faktor penghasil panas dan pengeluarannya, sedang
produksi panas sangat tergantung pada oksidasi biologis dan aktivitas metabolisme dari sel-sel
tubuh waktu istirahat1. Suhu normal adalah suhu tubuh yang menjamin kebutuhan oksigen
bayi secara individual dapatterpenuhi, pada kulit bayi: 36-36,5°C; pada aksila: 36,5-37°C; dan
pada rektum 36,5-37,5°C C. Istilah hipotermia secara umum digambarkan sebagai suhu tubuh
kurang dari 35°C.
Etiologi:
Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin,
basah, atau bayi yang telanjang,cold linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti
mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan
aliran udara dan penguapan.
Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang
lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan
tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar padaBBLR.
Definisi
Sepsis neonatorum adalah suatu gejala klinis dengan mikroorganisme positif yang
didapat dari spesimen steril seperti darah, cairan serebrospinal, dan urin yang di ambil dengan
cara steril pada satu bulan pertama kehidupan (Thaver D et al, 2009). Infeksi merupakan
penyebab paling umum kematian pada bayi yang berumur kurang dari empat minggu (Qazi SA
et al, 2009). Diperkirakan empat juta neonatus meninggal, 99% dari kematian ini terjadi di
negara berkembang dengan mayoritas di minggu pertama kehidupan (Thaver D et al, 2009).
Dimana angka kejadian sepsis neonatorum di negara berkembang cukup tinggi (1,8–
18/1000 kelahiran hidup), sedangkan di negara maju (1–5/1000 kelahiran). Secara khusus angka
kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2007). Di
Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2002 bahwa angka kelahiran
bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi
(Infant Mortality Rate) sebesar 48/1000 kelahiran hidup. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang angka
kejadian sepsis pada neonatus pada tahun 2004 adalah sebesar 33.1% dengan angka kematian
20.3%, di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2005 sekitar 13.68% terjadi sepsis dari seluruh
kelahiran hidup dengan angka kematian mencapai 14.18%. Sedangkan di RSUD dr H Abdul
Moeloek Lampung, angka kejadian sepsis pada tahun 2009 adalah sebesar 30.1% dengan angka
kematian 40% (Apriliana E et al, 2013).
Etiologi
Pada Negara berkembang, E. coli, Klebsiella sp. dan S. aureus merupakan patogen
penyebab sepsis neonatorum awitan dini tersering, dimana S. aureus, Streptococcus
pneumonia dan Streptococcus pyogenes menjadi patogen penyebab sepsis neonatorum awitan
lambat tersering (Khan, 2012).
Di Indonesia sendiri, menurut data RSCM/FKUI pada tahun 1975-1980 Salmonella sp,
Klebsiella sp. Tahun 1985-1990 Pseudomonas Sp, Klebsiella Sp, E. Coli. Tahun 1995-2003
Acinetobacter Sp, Enterobacter Sp, Pseudomonas Sp, Serratia Sp, E. Coli (Aminullah et al, 2010).
Klasifikasi
Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera
dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses
kelahiran atau in utero. Infeksi terjadi secara vertikal karena penyakit ibu atau infeksi yang
diderita ibu selama persalinan atau kelahiran bayi. Incidence rate sepsis neonatorum awitan
dini adalah 3.5 kasus per 1.000 kelahiran hidup dan 15-50% pasien tersebut meninggal (Depkes
RI, 2008). Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) terjadi disebabkan kuman yang berasal dari
lingkungan di sekitar bayi setelah 72 jam kelahiran. Proses infeksi semacam ini disebut juga
infeksi dengan transmisi horizontal dan termasuk didalamnya infeksi karena kuman nasokomial
(Aminullah, 2010).
Faktor Risiko
Risiko dari sepsis neonatorum bersifat multifaktorial dan berhubungan dengan belum
matangnya sistem humoral, fagosit dan imunitas seluler (biasanya terjadi pada bayi prematur
dan berat bayi lahir rendah), hipoksia, asidosis dan gangguan metabolisme. Insiden sepsis
neonatorum juga dipengaruhi oleh proses persalinan, usia kehamilan, jenis kelamin (laki-laki 4
kali lebih mudah terinfeksi dari pada perempuan), dan standar perawatan bayi (Kardana IM,
2011). Faktor resiko sepsis meliputi faktor resiko mayor yaitu ketuban pecah dini (KPD) > 18
jam, ibu demam intrapartum > 38 0C, karioamionitis, ketuban berbau, denyut jantung janin
(DJJ) > 160 X/ menit. Faktor resiko minor terdiri dari KPD > 12 jam, demam intrapartum > 37.5
0C, skor apgar rendah (menit 1 skor < 5 menit dan menit 5 skor < 7), BBLR (< 2500 gram),
kembar, usia kehamilan < 37 minggu, keputihan yang tidak diobati, ibu yang dicurigai infeksi
saluran kemih (ISK). Seorang bayi memiliki resiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor dan dua kriteria minor (Wilar et al, 2010).
Patofisiologi
Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respon inflamasi dengan pelepasan
eksotoksin/superantigen dan komponen antigen sel. Sitokin proinflamasi primer yang
diproduksi adalah tumor necrosis factor (TNF) α, interleukin (IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN).
Peningkatan IL-6 dan IL-8 mencapai kadar puncak 2 jam setelah masuknya endotoksin. Sitokin
ini dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator
sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin,
dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi berbagai tipe sel, memulai kaskade
sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel (Nasution, 2008).
Imunoglobulin pertama yang dibentuk fetus sebagai respon infeksi bakteri intrauterin
adalah Ig M dan Ig A. Ig M dibentuk pada usia kehamilan 10 minggu yang kadarnya rendah saat
lahir dan meningkat saat terpapar infeksi selama kehamilan. Peningkatan kadar Ig M
merupakan indikasi adanya infeksi neonatus. Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus
yaitu saat bayi dalam kandungan / pranatal, saat persalinan/ intranatal, atau setelah lahir/
pascanatal. Paparan infeksi pranatal terjadi secara hematogen dari ibu yang menderita penyakit
tertentu, antara lain infeksi virus atau parasit seperti Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus,
Herpes (infeksi TORCH), ditransmisikan secara hematogen melewati plasental ke fetus
(Nasution, 2008).
Infeksi transplasenta dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan. Infeksi dapat
menyebabkan aborsi spontan lahir mati, penyakit akut selama masa neonatal atau infeksi
persisten dengan sekuele. Infeksi bakteri lebih sering di dapat saat intranatal atau pascanatal.
Selama dalam kandungan ibu, janin terlindung dari bakteri karena adanya cairan dan lapisan
amnion. Bila terjadi kerusakan lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi melalui
amnionitis. Neonatus terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh aspirasi cairan amnion
yang mengandung lekosit maternal dan debris seluler mikroorganisme, yang berakibat
pneumonia. Paparan bayi terhadap bakteri terjadi pertama kali saat ketuban pecah atau dapat
pula saat bayi melalui jalan lahir. Pada saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke
atas sehingga kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi vertikal, paparan
infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan dimasukkan ke dalam kelompok infeksi
paparan dini (early onset of neonatal sepsis) dengan gejala klinis sepsis, terlihat dalam 3-7 hari
pertama setelah lahir (Hapsari, 2009).
Infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran biasanya berasal dari lingkungan sekitarnya.
Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan, saluran cerna, atau melalui kulit yang
terinfeksi. Bentuk sepsis semacam ini dikenal dengan sepsis paparan lambat (late onset of
neonatal sepsis). Selain perbedaan dalam waktu paparan kuman, kedua bentuk infeksi ini (early
onset dan late onset) sering berbeda dalam jenis kuman penyebab infeksi. Walaupun demikian
patogenesis, gejala klinik, dan tata laksana dari kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak
berbeda (Hapsari, 2009).
Diagnosis
Diagnosis dini sepsis neonatorum penting artinya dalam penatalaksanaan dan prognosis
pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan hidup bayi dan
memperburuk prognosis pasien (Aminullah, 2010). Diagnosis sepsis neonatorum sulit
ditegakkan, oleh karena gejala yang muncul tidak spesifik bahkan dapat menyerupai kelainan
non infeksi. Pendekatan yang rasional dalam diagnosis sepsis ditunjang oleh anamnesis, faktor
risiko, gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium.
Gejala Klinis
Gejala klinik neonatus sehat adalah tampak bugar, menangis keras, refleks hisap bagus,
napas spontan dan teratur, aktif dan gerakan simetris, dengan umur kehamilan 37-42 minggu,
berat lahir 2500-4000 gram dan tidak terdapat kelainan bawaan berat/mayor (Arkhaesi, 2008).
Neonatus yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan
memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak
gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang
hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.
Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah
kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang),
kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula
memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi
(perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan
lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi) (Depkes RI, 2008).
Pemeriksaan Penunjang
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan
diagnosis sepsis neonatorum. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru
akan diketahui dalam waktu minimal 2-5 hari. Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-
hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di
masing-masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum awitan
dini maupun lanjut. Pemeriksaan penunjang lain seperti pewarnaan gram, sitokin,
biomolekuler, darah lengkap, dan C-reactive protein (CRP) juga membantu dalam penegakan
diagnosis sepsis neonatorum (Aminullah, 2010).
Penatalaksanaan
Pada bayi dengan sepsis neonatorum awitan dini, terapi empirik harus meliputi
Streptococcus Group B, E. coli, dan Lysteria monocytogenes. Kombinasi penisilin dan ampisilin
ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimokroba lebih luas dan umumnya efektif
terhadap semua organisme penyebab sepsis neonatorum awitan dini. Kombinasi ini sangat
dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri (Sitompul, 2010).
Kombinasi pensilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida juga dapat digunakan untuk
terapi awal sepsis neonatorum awitan lambat. Pada kasus infeksi Staphylococcus (pemasangan
kateter vaskular), obat anti staphylococcus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat
digunakan sebagai terapi awal. Pemberian antibiotik harusnya disesuaikan dengan pola kuman
yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus (Sitompul, 2010).
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau lebih
yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi, gangguan kardiovaskular
diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi
suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah.
Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang
dilaporkan dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG),
pemberian tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain (Sitompul, 2010).
REFFRENSI
Nelson Textbook
Emedicine.com
Oski's Pediatrics: Principles and Practice, 3rd Edition (June 1999): By Julia A. McMillan (Editor),
Catherine D. Deangelis (Editor), Ralph D. Feigin (Editor), Joesph B. Warshaw (Editor), Frank A.
Oski (Editor), Joseph B. Warshaw By Lippincott Williams & Wilkins Publishers
Buku Acuan Nasional, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawijoyo, Jakarta. 2006