Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

I. Anatomi dan Fisiologi


A. Anatomi

Gambar 1. Anatomi Sistem Perkemihan


(Sumber : HdS Picture 2012, Anatomi Hepar)

Gambar 1. Anatomi Hepar


(Sumber : Hedi Sasrawan, Anatomi Hepar)

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan


berat kurang lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral
terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004).
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas
abdominalis tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di
profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan

1
hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke
sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006).
Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena cenrtalis pada masing-
masing lobus bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobus-
lobus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica,
vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (trias hepatis).
Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan
dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

B. Fisiologi
Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi
yaitu :
1. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan
glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa
menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa
kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.
2. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh
yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan
lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.
3. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,
pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino
dan membentuk senyawa lain dari asam amino.

II. Konsep Dasar Penyakit


1.1 Definisi
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir
dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu
pertama dengan ditandai adanya ikterus yang bersifat patologis (Alimun
H.A 2005).
Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit,
membran mukosa, dan sklera yang disebabkan karena peningkatan

2
bilirubin didalam darah. Keadaan ini menandakan adanya peningkatan
produksi bilirubin atau eliminasi bilirubin dari tubuh yang tidak efektif
(Schwartz, 2004).
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa
akibat penumukan bilirubin, sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus
dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya
kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalika (Mansjoer, 2009).
Peningkatan kadar bilirubin serum dihubungkan dengan hemolisis
sel darah merah (SDM) dan resopbsi lanjut dari bilirubin yang tidak
terkonjugasi dari usus kecil. Kondisi mungkin tidak berbahaya atau
membuat neonatus beresiko terhadap komplikasi multiple atau efek-efek
yang tidak diharapkan (Doenges,1996).
Ikterus sering dijumpai pada neonatus. frekuensi menurut
kepustakaan pada bayi cukup bulan adalaha 50 %, pada bayi premature 80
% dalam hari pertama kehidupan. Terdapat 10 % neonatus dengan kadar
bilirubin diatas 10 mg %.

1.2 Klasifikasi
Menurut Hanifa (1987) dalam Tarigan (2012) ikterus dapat
diklasifikasikan menjadi 2 macam antara lain :
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua
dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak
melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi
menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada
bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis
atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus
fisiologis adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut

3
menurut (Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam
(Schwats, 2005) :
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg%
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%
perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau
hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut menurut
(Surasmi, 2003) bila :

1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.


2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24
jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus
< bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36
minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.

2. Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemia


Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan
keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila
kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg%

4
pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut :
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap
sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih
dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
b. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang
bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
c. Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
d. Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis).

1.3 Etiologi
1. Penyebab Ikterus Fisiologis
a. Kurang protein Y dan Z
b. Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
c. Pemberian ASI yang mengandung pregnanediol atau
asam lemak bebas yang akan menghambat kerja G-6-PD

2. Penyebab Ikterus Patologis


a. Peningkatan Produksi
1) Hemolisis, misalnya pada inkompatibilitas yang terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada
penggolongan rhesus dan ABO.
2) Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
3) Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolik yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis.
4) Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
5) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3
(alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
6) Kurangnya enzim glukoronil transeferase, sehingga kadar
bilirubin indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
7) Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan dubin
hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan
misalnya pada hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat
tertentu misalnya sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium
benzoat, gentamisisn, dan lain-lain.

5
c. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati
dan darah merah seperti infeksi , toksoplasmosis, sifilis, rubella,
meningitis, dan lain-lain.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi enterohepatik misalnya pada ileus obstruktif,
hirschsprung.

1.4 Manifestasi Klinis


Menurut Surasmi (2003) gejala ikterus neonatorum dikelompokkan
menjadi :
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kern ikterus
pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita
gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan
pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).

Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah :


1. Warna kuning (ikterik) pada kulit
2. Membran*e mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar
bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.

1.5 Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila tedapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi bila kadar protein
Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang
menimbulkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.

6
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin idirek yang
bersifat sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak, yang diebut
kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20
mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonates. Bilirubin indirek akan mudah
melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR), hipoksia, dan hipolikemia.

7
PATHWAY

Penyakit hemolitik Obat-obatan Gangguan fungsi hepar

Hemolisis defisiensi Jumlah bilirubin yang Jaundice ASI


akan diangkut ke hati
berkurang
Pembentukan Defisiensi G-6-PD
bilirubin bertambah

Konjugasi bilirubin
indirek menjadi bilirubin
direk lebih rendah

Bilirubin indirek
meningkat

Hiperbilirubinemia

Dalam jaringan ekstravaskuler Otak


(kulit, konjungtiva, mukosa,
dan alat tubuh lain
Kern ikterus

Ikterus
Resiko injuri internal

Kecemasan Kurang informasi


Fisioterafi ke orang tua
Orang Tua / Keluarga

Resiko Gangguan Persepsi yang salah


Integritas Kulit

Defisiensi Pengetahuan
8
1.6 Komplikasi
Menurut Irwana (2009) komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi
kern ikterus yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin
indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus
subtalamus, hipokampus, nukleus merah , dan nukleus pada dasar
ventrikulus IV. Gambaran klinik dari kern ikterus adalah :
1. Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputar-putar
2. Letargi, lemas tidak mau menghisap
3. Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus
4. Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
5. Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.

1.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Irwana (2009) pemeriksaan penunjang pada
ikterus antara lain :
1. Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui adanya
suatu anemia dan juga keadaan infeksi.
2. Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah
melihat warna urin dan melihat apakah terdapat
bilirubin di dalam urin atau tidak.
3. Bilirubin
Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan
menyebabkan peningkatan bilirubin indirek. Kelainan
intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubin indirek
maupun direk. Kelainan posthepatik dapat
meningkatkan bilirubin direk.
4. Aminotransferase dan Alkali Fosfatase

5. Tes Serologi Hepatitis Virus


IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk
hepatitis A akut. Hepatitis B akut ditandai oleh adanya
HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.
6. Biopsi Hati

9
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif
untuk ikterus hepatoseluler dan beberapa kasus ikterus
kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik
akibat obat-obatan (drug induced).
7. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk
mendiagnosis penyakit infiltratif dan kolestatik. USG
abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan
metastasis dan penyakit fokal pada hati.
8. Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP)
dan PTC (Percutans Transhepatic Colangiography)
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan
endoskopi dan radiologi untuk mendapatkan anatomi
dari sistim traktus biliaris (kolangiogram) dan sekaligus
duktus pankreas (pankreatogram). ERCP merupakan
modalitas yang sangat bermanfaat dalam membantu
diagnosis ikterus bedah dan juga dalam terapi sejumlah
kasus ikterus bedah yang inoperabel.
Indikasi ERCP diagnostik pada ikterus bedah meliputi:
a. Kolestasis ekstra hepatik
b. Keluhan pasca operasi bilier
c. Keluhan pasca kolesistektomi
d. Kolangitis akut
e. Pankreatitis bilier akut.

1.7 Collaborative Care Management


Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan anemia
2. Menghilangkan antibodi maternal dan eritrosit tersensitisasi
3. Meningkatkan badan serum albumin
4. Menurunkan serum bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi :


1. Fototherapi (Terapi Sinar)

10
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih
dari 10 mg%. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan
Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi
dan Berat Badan Lahir Rendah.
Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi
bilirubin dari suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air
menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga dapt
dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di samping itu pada terapi sinar
ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan
empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran
cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic usus meningkat dan
bilirubin keluar bersama faeces. Dengan demikian kadar bilirubin
akan menurun.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi sinar
adalah :
a. Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.
b. Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum digunakan
cek apakah lampu semuanya menyala. Tempelkan pada alat terapi
sinar ,penggunaan yang ke berapa pada bayi itu untuk mengetahui
kapan mencapai 500 jam penggunaan.
c. Pasang label, kapan mulai dan kapan selesainya fototerapi.
d. Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-
ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung
merata.

Komplikasi fototerapi :
a. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan
mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (IWL)
(penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat
meningkat 2-3kali lebih besar.
b. Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin
indirek dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus.
c. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar
(berupa kulit kemerahan) tetapi akan hilang setelah terapi selesai.

11
d. Gangguan retina bila mata tidak ditutup.
e. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian
lampu dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu
semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan
ekstra minum.
f. Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan.

2. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam
pertama.
d. Tes Coombs Positif
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu
pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam
pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


a. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
b. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi
(kepekaan)
c. Menghilangkan Serum Bilirubin
d. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan
keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O
segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang
dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap
4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa
setiap hari sampai stabil.

3. Therapi Obat

12
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan
enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya.
Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari
sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek
sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan
mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
Enterohepatika.

4. Menyusui Bayi dengan ASI


Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan
feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti
diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian
ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa
kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk
jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat
mempengaruhi kadar bilirubinnya. Sayang, apakah komponen tersebut
belum diketahui hingga saat ini.
Yang pasti, kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama
dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3.
Biasanya untuk sementara ibu tak boleh menyusui bayinya. Setelah
kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.

5. Terapi Sinar Matahari


Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi
tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah
sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang
berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan telentang, misalnya,
seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 7.00 sampai
9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar
bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif,

13
sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi
sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke
matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di
sekeliling, keadaan udara harus bersih.

III. Rencana Asuhan Keperawatan Ikterus Neonatorum


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang
sama, apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat
atau jamu tertentu baik dari dokter maupun yang di beli sendiri,
apakah ada riwayat kontak denagn penderiata sakit kuning,
adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan
suntikan atau transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat
gangguan hemolissi darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau
darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan
metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu
menderita DM.
b. Riwayat Orang Tua
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh,
ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan
dan ASI.
c. Pengkajian Psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah
orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan
dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut,
apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama,
tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari
Hiperbilirubinemia.
e. Pola Kebutuhan Sehari-hari.
Data dasar klien :
1. Aktivitas / Istirahat

14
Letargi, malas.
2. Sirkulasi
a. Mungkin pucat, menandakan anemia
b. Bertempat tinggal di atas ketinggian 500 ft
3. Eliminasi
a. Bising usus hipoaktif
b. Pasase mekonium mungkin lambat
c. Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama
pengeluaran bilirubin
d. Urine gelap pekat; hitam kecoklatan (sindroma bayi
bronze)
4. Makanan / Cairan
a. Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin
disusui dari pada menyusu botol
b. Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran
limpa, hepar
5. Neurosensori
a. Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau
kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma
kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum.
b. Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis
mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
c. Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat.
d. Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung,
fontanel menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang
(tahap krisis).
6. Pernapasan
a. Riwayat asfiksia
b. Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleura,
hemoragi pulmonal)
7. Keamanan
a. Riwayat positif infeksi / sepsis neonates.
b. Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie,
perdarahan intra cranial
c. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan
berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam
kecoklatan (sindrom bayi bronze) sebagai efek samping
fototerapi.
8. Seksualitas

15
a. Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA),
bayi dengan reterdasi pertumbuhan intrauterus (IUGR),
atau bayi besar untuk usia gestasi (LGA), seperti bayi
dengan ibu diabetes.
b. Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress
dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia,
hipoproteinemia.
c. Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi
wanita.
f. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus,
ikterus terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis
yaitu eritema palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia
(kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati (tentang
ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya pembesaran
limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa
abdominal, selaput lender, kulit nerwarna merah tua, urine
pekat warna teh, letargi, hipotonus, reflek menghisap kurang /
lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan
melengking.
g. Pemeriksaan Diagnostik
1) Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi
inkompatibilitas ABO.
2) Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0
– 1,5 mg/dL kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan
5 mg/dL dalam 24 jam, atau tidak boleh lebih 20 mg/dL
pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern.
3) Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL)
karena hemolisis.
4) Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang
memerlukan penentuan bilirubin serum.

2.1.2 Pemeriksaan Fisik : Data Fokus


1. Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas
menurun

16
2. Kepala leher
a. Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan
selaput/mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi
ikterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah
menonjol untuk bayi dengan kulit bersih (kuning)
b. Dapat juga dijumpai sianosis pada bayi yang hypoksia
3. Dada
a. Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan
tanda peningkatan frekuensi nafas.
b. Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia,
kususnya ikterus yang disebabkan oleh adanya infeksi
4. Perut
a. Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu
dicermati. Hal ni berhubungan dengan indikasi
penatalaksanaan photo terapi. Gangguan Peristaltik tidak
diindikasikan photo terapi.
b. Perut membuncit, muntah, mencret merupakan akibat
gangguan metabolisme bilirubun enterohepatik.
c. Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan
sepsis bacterial, tixoplasmosis, rubella.
5. Urogenital
a. Urine kuning dan pekat.
b. Adanya faeces yang pucat/acholis/seperti dempul atau
kapur merupakan akibat dari gangguan/atresia saluran
empedu.
6. Ekstremitas
Menunjukkan tonus otot yang lemah
7. Kulit
a. Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor tang jelek.
Elastisitas menurun.
b. Perdarahan bawah kulit ditunjukkan dengan ptechia,
echimosis.
8. Pemeriksaan Neurologis
Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain-lain
menunjukkan adanya tanda-tanda kern ikterus

2.1.3 Analisa Data


1. Data Subjektif :
a. Riwayat afiksia

17
b. Riwayat trauma lahir

2. Data Objektif
a. Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh
b. Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi
c. Hepatosplenomegali
d. Tahap krisis : epistetanus, aktivitas kejang
e. Urine gelap pekat
f. Bilirubin total :
1) Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL
2) Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20
mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi
pratern.
g. Protein serum total: < 3,0 g/dL
h. Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Ansietas
1.2.1 Definisi
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai
respons autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak
diketahui oleh individu; perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan
yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan
memampukan individu akan adanya bahaya dan memampukan
individu untuk bertindak menghadapi ancaman.

1.2.2 Batasan Karakteristik

Perilaku Afektif
 Penurunan produktivitas  Gelisah
 Gerakan yang irelevan  Kesedihan yang mendalam
 Gelisah  Distress
 Melihat sepintas  Ketakutan
 Insomnia  Perasan tidak adekuat
 Kontak mata yang buruk  Berfokus pada diri sendiri
 Mengekspresikan  Peningkatan kewaspadaan
 Iritabilitas
kekhawatiran karena
 Gugup

18
perubahan dalam peristiwa  Senang berlebihan
hidup  Rasa nyeri yang
 Agitasi meningkatkan
 Mengintai
ketidakberdayaan
 Tampak waspada
 Peningkatan rasa
ketidakberdayaan yang
Fisologis
persisten
 Wajah tegang  Bingung
 Tremor tangan  Menyesal
 Peningkatan keringat  Ragu / tidak percaya diri
 Peningkatan ketegangan khawatir
 Gemetar
 Suara bergetar Parasimpatik
 Nyeri abdomen
Simpatik  Penurunan tekanan darah
 Anoreksia  Penurunan denyut nadi
 Eksitasi kardiovaskular  Diare
 Diare  Vertigo
 Mulut kering  Letih
 Wajah merah  Mual
 Jantung berdebar-debar  Gangguan tidur
 Peningkatan tekanan darah  Kesemutan pada ekstremitas
 Pengingkatan denyut nadi  Sering berkemih
 Peningkatan reflek  Anyang-anyangan
 Peningkatan frekuensi  Dorongan segera berkemih
pernapasan
 Pupil melebar
 Kesulitan bernapas
 Vasokontriksi superfisial
 Kedutan otot
 Lemah

1.2.3 Faktor yang berhubungan


 Perubahan dalam status ekonomi, lingkungan, status
kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran
 Pemajanan toksin
 Terkait keluarga
 Herediter
 Infeksi / kontaminan interpersonal

19
 Penularan penyakit interpersonal
 Krisis maturasi
 Krisis situasional
 Stress
 Penyalahgunaan zat
 Ancaman kematian
 Ancaman pada : status ekonomi, lingkungan, status kesehatan,
pola interaksi, fungsi peran, status peran
 Konflik yang tidak disadari mengenai tujuan penting hidup
 Konflik yang tidak disadari mengenai nilai yang esensial /
penting
 Kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Diagnosa 2 : Defisiensi Pengetahuan


1.2.4 Definisi
Ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan dengan
topik tertentu.

1.2.5 Batasan Karakteristik


 Perilaku hiperbola
 Ketidakakuratan mengikuti perintah
 Ketidaakuratan melakukan tes
 Perilaku tidak tepat (mis., hysteria, bermusuhan, agitasi, apatis)
 Pengungkapan masalah

1.2.6 Faktor yang berhubungan


 Keterbatasan kognitif
 Salah interpretasi informasi
 Kurang pajanan
 Kurang minat dalam belajar
 Kurang dapat mengingat
 Tidak familier dengan sumber informasi

Diagnosa 3 : Resiko Integritas Kulit


1.2.7 Definisi
Perubahan / gangguan epidermis dan atau dermis.

1.2.8 Batasan Karakteristik


 Kerusakan lapisan kulit
 Gangguan permukaan kulit
 Invasi struktur tubuh

20
1.2.9 Faktor yang berhubungan
Eksternal
 Zat kimia
 Usia yang ekstrem
 Kelembaban
 Hipertermia
 Hipotermia
 Faktor mekanik (mis., shearing force, tekanan, pengekangan)
 Medikasi
 Lembab
 Imobilisasi fisik
 Radiasi

Internal
 Perubahan status cairan
 Perubahan pigmenatasi
 Perubahan turgor
 Faktor perkembangan
 Kondisi ketidakseimbangan nutrisi (mis., obesitas, emasiasi)
 Penurunan imunologis
 Penurunan sirkulasi
 Kondisi gangguan metabolik
 Gangguan sensasi
 Tonjolan tulang

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : Ansietas
2.3.1 Tujuan dan Kriteria Hasil (Outcomes Criteria) : Berdasarkan NOC
NOC :
Anxiety level
 Anxiety self-control
 Anxiety level
 Coping

Kriteria hasil :

 Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas


 Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
mengontrol cemas
 Vital sign dalam batas normal

21
 Postur tubuh, eksperesi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan

2.3.2 Intervensi Keperawatan dan Rasional : Berdasarkan NIC


Intervensi Keperawatan :
NIC
Anxiety Reduction
1. Mendengarkan penyebab kecemasan klien dengan penuh
perhatian
2. Observasi tanda verbal dan non verbal dari kecemasan klien

Calming Technique
1. Menganjurkan keluarga untuk tetap mendampingi klien
2. Mengurangi atau menghilangkan rangsangan yang
menyebabkan kecemasan pada klien

Coping Enhancement
1. Meningkatkan pengetahuan klien mengenai glaucoma.
2. Menginstruksikan klien untuk menggunakan tekhnik relaksasi

Rasional :
Anxiety Reduction
1. Klien dapat mengungkapkan penyebab kecemasannya
sehingga perawat dapat menentukan tingkat kecemasan klien
dan menentukan intervensi untuk klien selanjutnya.
2. Mengobservasi tanda verbal dan non verbal dari kecemasan
klien dapat mengetahui tingkat kecemasan yang klien alami.

Calming Technique
1. Dukungan keluarga dapat memperkuat mekanisme koping
klien sehingga tingkat ansietasnya berkurang

22
2. Pengurangan atau penghilangan rangsang penyebab kecemasan
dapat meningkatkan ketenangan pada klien dan mengurangi
tingkat kecemasannya

Coping Enhancement
1. Peningkatan pengetahuan tentang penyakit yang dialami klien
dapat membangun mekanisme koping klien terhadap
kecemasan yang dialaminya
2. Tekhnik relaksasi yang diberikan pada klien dapat mengurangi
ansietas

Diagnosa 2 : Defisiensi Pengetahuan


2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil (Outcomes Criteria) : Berdasarkan NOC
NOC :
Cancer Management
Kriteria Hasil :
 Pasien / keluarga dapat menyebutkan kembali tujuan dan proses
kemoterapi
 Pasien / keluarga dapat menyebutkan kembali efek terapeutik
kemoterapi
 Pasien / keluarga dapat menyebutkan kembali efek samping
kemoterapi
 Pasien / keluarga dapat menyebutkan kembali penanganan
terhadap efek samping yang timbul akibat kemoterapi

2.3.4 Intervensi Keperawatan dan Rasional : Berdasarkan NIC


Intervensi Keperawatan :
NIC
Management
1. Monitor kesiapan pasien sebelum dilakukan kemoterapi.
2. Berikan informasi kepada pasien tentang tujuan dan proses
kemoterapi.Berikan informasi kepada pasien dan keluarga
mengenai efek samping dari kemoterapi (Mual, muntah,
rambut rontok)

23
3. Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk dilakukan sebelum
dikemoterapi, saat dikemoterapi, dan setelah dikemoterapi.
4. Anjurkan pasien dan keluarga untuk meminimalisasi
rangsangan bau yang menyengat (bau makanan yang terlalu
kuat)
5. Anjurkan pasien untuk diet bubur dan tidak terlalu banyak
mengandung bumbu
6. Anjurkan pasien untuk makan dalam porsi yang hangat, sedikit
tapi sering dan menghindari makanan yang pedas.
7. Anjurkan pasien untuk mempertahankan intake cairan sebelum
kemoterapi, selama kemoterapi dan setelah kemoterapi.
8. Ajarkan pasien teknik non farmakologi untuk mengurangi
mual dan muntah ( akupreser pada titik P6)
9. Kolaborasi pemberian obat antiemetic untuk mengurangi mual
dan muntah (Ondansentron 4mg IV)

Rasional :
Management
1. Menentukan intervensi yan tepat dan meninkatkan kesiapan
pasien untuk melaksanakan kemoterapi
2. Meningkatkan pengetahuan dan kesiapan pasien untuk
menjalani kemoterapi
3. Menurangi kecemasan pasien dan meningkatkan kesiapan
pasien menjalani kemoterapi
4. Relaksasi dapat mengurangi kecemasan pasien sebelum
kemoterapi, dan mengurangi
5. Meningkatkan kesiapan keluarga untuk meminimalisasi efek
samping kemoterapi
6. Meningkatkan kesiapan keluarga untuk meminimalisasi efek
samping kemoterapi
7. Meningkatkan kesiapan keluarga untuk meminimalisasi efek
samping kemoterapi
8. Meningkatkan kesiapan keluarga untuk meminimalisasi efek
samping kemoterapi
9. Meningkatkan kesiapan keluarga untuk meminimalisasi efek
samping kemoterapi

24
Diagnosa 3 : Resiko Integritas Kulit
2.3.5 Tujuan dan Kriteria Hasil (Outcomes Criteria) : Berdasarkan NOC
NOC :
Immobility Consequences : Physiological
 Tidak terdapat penekanan (pada skala 5)
 Tidak menunjukkan adanya kelainan pada status nutrisi (pada skala 5)
 Tidak menunjukkan adanya kelainan pada kekuatan otot (pada skala 5)
 Tidak menunjukkan adanya kelainan pada persendian (pada skala 5)

2.3.6 Intervensi Keperawatan dan Rasional : Berdasarkan NIC


Intervensi Keperawatan :
NIC
Pressure management
1. Tempatkan klien pada tempat tidur terapi
2. Evaluasi adanya luka pada ektremitas
3. Memonitoring kulit yang memerah dan terjadi kerusakan

Skin Care : Topical Treatment


1. Memijat disekitar area yang mempengaruhi atau dapat
menimbulkan luka
2. Menjaga linen agar tetap bersih, kering, dan tidak mengkerut
3. Mobilisasi klien setiap 2 jam
4. Memakaikan emolien pada area yang beresiko

Rasional :
Pressure management
1. Dengan menempatkan klien pada tempat tidur terapi dapat
mengurangi penekanan pada bagian seperti kepala dan pantat
2. Dengan evaluasi adanya luka pada ektremitas dapat
mengurangi resiko terjadinya luka
3. Dengan memonitoring area kulit yang merah dan terjadi
kerusakan untuk mengurangi resiko dekubitus

Skin Care : Topical Treatment


1. Dengan memassage disekitar area yang mempengaruhi akan
mengurangi terjadinya kemerahan dan untuk melancarkan
aliran darah disekitar area

25
2. Dengan menjaga linen agar tetap bersih, kering, dan tidak
mengkerut agar tidak ada pada penekanan beberapa bagian
kulit
3. Dengan memobilisasi klien dapat mengurangi penekanan
4. Dengan menggunakan emolien dapat melembabkan daerah
yang kering

26
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba


medika.

Doenges, ME & Moorhouse MF. 1996. Rencana Keperawatan Maternal /


Bayi. EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta:


Media Aecsulapius.

NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi, Dan Klasifikasi


2012-2014/Editor, T. Heather Herdman; Alih Bahasa, Made Sumarwati, Dan
Nike Budhi Subekti; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Barrah Bariid, Monica
Ester, Dan Wuri Praptiani. Jakarta; EGC.
Schwartz, M.William.2004. Pedoman Klinis Pediatri. Alih bahasa Brham
U.Pendit et al. Jakarta: EGC

27

Anda mungkin juga menyukai