Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBIN

ALEKSANDER GUNTUR
21203020

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA
SANTU PAULUS RUTENG
2021

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan Keperawatan Hiperbilirubin Ini Telah Di Setujui Pada


Tanggal

Menyetujui
Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

……………………………. ……………………………..

2
BAB I
TINJAUAN TEORI

A. ANATOMI FISIOLOGI
a) Gambar anatomi hepar

Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah kanan atas
rongga perut dibawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5% dari
berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna
merah tua karena kaya akan persendian darah. Hati terbagi menjadi
lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum
falciforme. Lobus kanan yang lebih besar dari lobus kirinya dan
mempunyai tiga bagian utama yaitu lobus kanan atas, lobus
caudatus dan lobus quadrates (Price & Wilson, 2005).
Hati disuplai oleh pembuluh darah,yaitu :
1. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus yang
kaya akan nutrient seperti asam amino, monosakarida, vitamin
yang larut dalam air dan mineral.
2. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan
oksigen.
b) Fungsi Hati
1. Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan

yang disimpan dari suatu tempa dalam tubuh dikeluarkan

sesuai dengan pemakaiannya.

3
2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk

diekskresikan dalam empedu dan urine.

3. Menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glukogen.

4. Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk

dalam retikulo endulium dialirkan ke empedu

5. Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe)

serta vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A,D,E,K)

glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan

dalam tubuh (seperti peptisida).

6. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit

yang sudah tua dan rusak.

7. Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di

ubah menjadi ureum, dikeluarkan dari darah oleh ginjal

dalam bentuk urine.

8. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam

karbonat dan air.

B. Definisi
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin
dalam darah>5mg/dL, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik,
yang secara klinis ditandai dengan ikterus. Hiperbilirubinemia merupakan
salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru
lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam
minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan
hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen bilirubin yang
berwarna kuning pada sklera dan kulit (Mathindas dkk, 2013).

4
C. Etiologi
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin

karena tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah

mengalami pemecahan sel yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia

juga dapat disebabkan karena penurunan uptake dalam hati, penurunan

konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).

Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan

oleh disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak

dapat berfungsi maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang

selanjutkan disalurkan ke empedu dan diekskresikan ke dalam usus

menjadi urobilinogen. Hal tersebut meyebabkan kadar

Etiologi pada bayi dengan hiperbilirubinemia diantaranya:


1. Produksi bilirubin berlebihan, yang dapat terjadi karena polycethemia,
issoimun, hemolytic disease, kelainan struktur dan enzim sel darah
merah, keracunan obat (hemolisiskimia salisilat, kortikosteroid,
klorampenikol), hemolisisekstravaskuler, cephalhematoma,
ecchymosis.
2. Gangguan fungsi hati; obstruksi empedu/atresia biliari, infeksi,
masalah metabolik; hypothyroidisme, jaundice ASI.
3. Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit.
4. Gagalnya proses konjugasi dalam mikrosom hepar.
5. Gangguan dalam ekskresi.
6. Peningkatan reabsorpsi pada saluran cerna (siklus enterohepatik).
D. Faktor resiko
Menurut Mathindas dkk (2013), faktor resiko yang dapat memengaruhi
terjadinya hiperbilirubinea antara lain :
1. ASI yang kurang
ASI yang masuk ke tubuh bayi salah satunya berfungsi untuk
memroses pembuangan bilirubin ke dalam tubuh sehingga pada bayi

5
yang tidak cukup mendapatkan ASI akan bermasalah. Hal ini biasanya
terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak cukup memproduksi ASI.
2. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah beresiko untuk terjadinya
hiperbilirubinemia. Misalnya: bayi yang lahir memiliki jenis golongan
darah yang berbeda dengan ibunya, lahir anemia akibat abnormalitas
eritrosit (eliptositosis) atau mendapat transfusi darah beresiko tinggi
akan mengalami hiperbilirubinemia.
3. Infeksi/inkompabilitas ABO-Rh
Berbagai infeksi pada bayi atau yang ditularkan ibu ke janinnya di
dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Seperti
infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis.
E. Klasifikasi
Menurut (Nanny Lia Dewi, 2013) klasifikasi ikterus dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus”
dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonates cukup
bulan dan 12,5 mg% untuk neonates lebih bulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik
2. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau
kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Ikterus patologis memiliki tanda dan gejala sebagai
berikut:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonates cukup bulan atau
melebihi 12,5 mg% pada neonates kurang bulan

6
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
Rumus Kramer

Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)


1. Kepala dan leher 5
2. Daerah 1 + badan bagian atas 9
3. Daerah 1, 2 + badan bagian 11
bawah dan tungkai
4. Daerah 1, 2, 3 + lengan dan 12
kaki dibawah tungkai
5. Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan dan 16
kaki

F. Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa


keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancurkan eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila

7
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu biliribin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah orak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut kern ikterus. Pada
umumnya, dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar bilirubin inderk lebih dari 20 mg/dl. Mudah
tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui
sawar otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah
(BBLR), hipoksia dan hipoglikema.

8
Pathway

Hemoglobin

Globin Hema

Bilivirdin Feco

eningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin/gangguan transport bilirubin/peningkatan siklus enterohepatik), Hb dan eritrosit abnorm

Pemecahan bilirubin berlebih / bilirubin yang tidakberikatandengan albumin meningkat

Suplai bilirubin melebihi kemampuan hepar

Hepar tidak mampu melakukan konjugasi

Sebagian masuk kembali kesiklus enterohepatik

Peningkatan bilirubin unconjugned dalam darah, pengeluaran meconeum terlambat, obstruksi usus, tinja berwarna pucat

Gangguan integritas kulit Icterus padasklera, leher dan badan peningkatan bilirubin indirek> 12 mg/dl

Indikasi Fototerapi

Sinar dengan intensitas tinggi

Resiko tinggi injuri Kekurangan Volume Cairan cairantubuh Gangguan suhu tubuh

9
G. Manifestasi klinis
Menurut Mathindas dkk (2013) menyatakan bahwa gejala yang
tampak pada bayi dengan hiperbilirubinemia ialah rasa kantuk, tidak kuat
menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-putar ke
atas, kejang, dan yang paling parah adalah kematian. Sebagian besar
hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi hiperbilirubin yang sangat
tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kern icterus). Jangka panjang
kern icterus adalah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli dan mata
tidak dapat digerakkan ke atas.
H. Pemeriksaan diagnostik
Menurut (Lissauer, Tom. Dkk 2008) menyatakan bahwa pengukuran
bilirubin diindikasikan jika:
- Ikterus pada usia kurang dari 24 jam
- Ikterus tampaknya signifikan pada pemeriksaan klinis.
Bilirubin total diplot pada nonogram spesifik-jam untuk menentukan
risiko hiperbilirubinemia signifikan. (Gambar 1.1)

Gambar 1.1 : Diagram bilirubin serum berdasar usia untuk bayi dengan
usia gestasi ≥ 35 minggu dan berat lahir ≥ 2,5 kg. Diagram ini dapat

10
digunakan untuk memprediksi risiko berkembangnya hiperbilirubinemia
signifikan.
- Bilirubin direk
- Hitung Darah Lengkap, retikulosit dan apusan untuk darah tepi
- Golongan darah dan tes antibodi direk (direct antibody test, DAT atau
tes coombs).
- Konsentrasi G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase).
- Albumin serum
- Urinalisis untuk mengetahui zat pereduksi (galaktosemia).
Namun demikian, pada sebagian besar bayi penyebabnya tidak
teridentifikasi.
I. Tatalaksana medis
Menurut (Nuarif, A. H & Hardhi K 2015) penatalaksanaan medis
pada hiperbilirubinemia antara lain:
a. Terapi sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar
bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal
b. Terapi transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin
terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu
dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin
dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).
c. Terapi obat-obatan
Misalnya, obat Phenobartial atau luminal untuk meningkatkan
pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya
indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang
mengandung plasma atau albumin berguna untuk mengurangi
timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi ini dilakukan dengan terapi seperti fototerapi.
d. Menyusui bayi dengan ASI
Seperti diketahui, ASI memilki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan kecilnya.

11
e. Terapi sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan.
Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah
sakit.Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia pada Neonatus Cukup
Bulan yang Sehat (American Academy of Pediatrics)

*Neonatus cukup bulan dengan ikterus pada umur ≤ 24 jam, bukan


neonatus sehat dan evaluasi ketat.

12
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Anamnese orang tua/keluarga

Ibu dengan rhesus ( - ) atau golongan darah O dan anak yang


mengalami neonatal ikterus yang dini, kemungkinan adanya
erytrolastosisfetalis ( Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah). Ada
sudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau ikterus,
kemungkinan suspec spherochytosis herediter kelainan enzim darah
merah. Minum air susu ibu , ikterus kemungkinan kaena pengaruh
pregnanediol.

B. Riwayat kelahiran
 Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan
merupakn predisposisi terjadinya infeksi.
 Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan
mengakibatkan gangguan nafas (hypoksia) , acidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubn.
 Bayi dengan apgar score renddah memungkinkan terjadinya
(hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
 Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ
tubuh (hepar).
C. Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas
menurun
 Kepala leher
- Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput / mukosa pada
mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan Tekanan
langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih
( kuning)
- Dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia
 Dada

13
- Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda
peningkatan frekuensi nafas.
- Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus
yang disebabkan oleh adanya infeksi.
 Perut
- Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati.
Hal ini berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan photo terapi.
Gangguan peristaltik tidak diindikasikan photo terapi.
- Perut membuncit, muntah , mencret merupakan akibat gangguan
metabolisme bilirubun enterohepatik
- Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan Sepsis
bacterial, tixoplasmosis, rubella
 Urogenital
- Urine kuning dan pekat.
- Adanya faeces yang pucat / acholis / seperti dempul atau kapur
merupakan akibat dari gangguan / atresia saluran empedu.
 Ekstremitas
- Menunjukkan tonus otot yang lemah
 Kulit
- Tanda dehidrasi titunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas
menurun.
- Perdarahan baah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis.
 Pemriksaan Neurologis
- Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain – lainmenunjukkan
adanya tanda – tanda kern - ikterus
 Pemerksaan Penunjang
- Darah : DL, Bilirubin > 10 mg %
- Biakan darah, CRP menunjukkan adanya infeksi
- Sekrening enzim G6PD menunjukkan adanya penurunan
- Screnning Ikterus melalui metode Kramer dll
- Skreening ikterus melalui matode kremer.

14
-
D. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi
2. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fototerapi
3. Defisien volume cairan berhubungan dengan asupan cairan kurang,
fototerapi
4. Ketidakefektifan pola menyusu bayi berhubungan dengan kemampuan
menghisap menurun
5. Resiko injuri berhubungan dengan efek phototerapi, hepar imatur

15
16
E. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN

1 Kerusakan Tujuan: Tidak mengalami a. Lindungi mata a. Menghindari


integritas kulit komplikasi dari fototerapi bayi dengan langsung mata
berhubungan Kriteria hasil penutup mata sinar
dengan fototerapi a. tidak memperlihatkan khusus b. M encegah keterla
iritasi mata, dehidrasi, b. Cek mata bayi penanganan
ketidakstabilan setiap shift c. Pencahayaan ma
temperatur, dan (drainase dan dan merata serta
kerusakan kulit iritasi) vital terlindungi
b. Bayi terlindung dari c. Letakkan bayi kerusakan
sumber cahaya telanjang dibawah d. Pemaparan panas
lampu dengan sinar memun
perlindungan terjadinya ketidak
mata dan suhu badan
kemaluan e. Pemaparan
d. Monitor meningkatkan pe
temperatur aksila yang harus segera
e. Pastikan intake dengan intake caira
cairan adequate. f. Menekan resiko
kulit
2 Ketidakefektifan Setelah diberikan tindakan a. Observasi suhu a. Suhu terpantau
termoregulasi keperawatan selama ...x24 tubuh tiap 4-6 rutin
berhubungan jam diharapkan tidak jam b. Mengurangi papar
dengan fototerapi terjadi gangguan b. Matikan lampu sementara
termoregulasi dengan sementara bila
kriteria hasil: terjadi kenaikan
Suhu aksila yang stabil suhu dan berikan
antara 36,5-37,7 oC kompres dingin

17
serta ekstra
minum
c. Kolaborasi
dengan tenaga
medis lainnya
3 Defisien volume Setelah diberikan tindakan a. Kaji reflek hisap a. Mengetahui
cairan berhubungan keperawatan selama ...x24 bayi kemampuan
dengan asupan jam diharapkan tidak b. Beri minum per menghisap bayi
cairan kurang, terjadi defisit volume oral/menyusui b. Menjamin inta
fototerapi cairan dengan kriteria bila reflek hisap adekuat
hasil: adekuat c. Mengetahui cuk
a. Intake dan output c. Catat jumlah tidaknya intake
seimbang intake dan d. Mengetahui
b. Turgor kulit, TTV output, tanda dehidra
dalam batas normal frekuensi, dan dapat dicegah
c. Penurunan BB tidak konsistensi feses e. Mengetahui cuk
lebih dari 10% BB d. Monitor turgor tidaknya caira
kulit, suhu, HR nutrisi
tiap 4 jam
e. Timbang BB tiap
hari
4 Ketidakefektifan Setelah diberikan tindakan a. Berikan nutrisis a. Menganti cairan da
pola menyusu bayi keperawatan selama ...x24 secara adequate yang hilang akiba
berhubungan jam diharapkan tidak b. Berikan minum sinar
dengan kemampuan terjadi gangguan tepat waktu dan b. Pemasukan
menghisap pemenuhan sesuai ukuran adequate bila kem
menurun nutrisindengan kriteria dan kebutuhan mengisap baik
hasil: c. Observasi c. Meningkatkan
a. Porsi minum habis kemampuan melalui sonde kare
b. BB naik menghisap melalui mulut

18
c. Menghisap kuat d. Pasang Sonde d. Memantau perkem
bila kemampuan kebutuhan nutrisi
mengisap turun
e. Timbang BB
setiap hari
f. Kolaborasi ahli
gizi
5 Resiko injuri Setelah diberikan tindakan a. Tempatkan a. Mencegah iritasi
berhubungan keperawatan selama ...x24 neonatus 40-45 berlebihan
dengan efek jam diharapkan tidak cm dari sumber b. Mencegah papara
phototerapi, hepar terjadi injury dengan cahaya pada daerah yang s
imatur kriteria hasil: b. Biarkan neonatus c. Pemantauan dini t
Tidak ada konjungtivitis, telanjang kecuali kerusakan daerah m
kerusakan jariangan mata dan area d. Memberi kesempat
kornea genital serta bayi untuk konta
bokong ditutup dengan ibu
dengan kain yang
dapat
memantulkan
cahaya dan
usahakan agar
penutup mata
tidak menutupi
hidung dan bibir
c. Matikan lampu
lalu buka
penutup mata
untuk mengkaji
adanyat
konjungtivitis
tiap 8 jam

19
d. Buka penutup
mata setiap akan
diberikan susu.

20
DAFTAR PUSAKA

Herdman, T.H., &ShigemiKamitsur. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan


(11th ed.) Jakarta: EGC

Lissauer, T. & A. a. F. (2008). At a Glance NEONATOLOGI. Jakarta: Erlangga

Mathindas, Stervy, D. (2013). HIPERBILIRUBINEA PADA NEONATUS. 5, 84–


90

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & DKK. (2013a). Nursing Incomes
Classification (6th ed). Kidlington: Elsevier

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & DKK. (2013a). Nursing Incomes
Classification (6th ed). Kidlington: Elsevier

Nanny Lia Dewi, V. (2013). Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Jakarta:
Salemba Medika.

Nurarif, A. H., Hardhi, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 2. Yogjakarta: MediAct

21
22

Anda mungkin juga menyukai