Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap ibu yang telah melahirkan menginginkan anaknya lahir dalam keadaan sehat dan tidak
ada kelainan kelainan pada bayi tersebut. Tetapi keinginan tersebut tidak akan diperoleh
oleh setiap ibu. Karena sebagian kecil ada yang lahir dalam keadaan abnormal. Misalnya
anak lahir dengan BBLR, ikterus, hidrosefalus, dan kelainan kelainan lainnya. Hal ini di
sebabkan oleh banyak factor pencetusnya. Seperti kurang teraturnya antenatal care ibu saat
hamil, asupan gizi yang kurang baik pada ibu maupun pada janin yang di kandung, atau
penyakit yang diturunkan oleh ibu sendiri.
Kurangnya pengetahuan ibu untuk mengenali tanda tanda kelainan yang mungkin timbul
pada bayi baru lahir,seperti bayi dengan hiperbilirubin, dimana kebanyakan ibu membawa
bayinya ke Rumah Sakit dalam derajat yang tinggi. Sebagaimana kita ketahui bahwa ikterik
itu terjadinya dimulai dari wajah. Di sini jelas bahwa kurangnya pengetahuan ibu atau orang
tua tentang hiperbilirubin tersebut, dan kurangnya memperoleh pelayanan kesehatan dari
tenaga kesehatan. Untuk itulah penulis mengangkat makalah ini dengan judul Hiperbilirubin
pada Bayi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian dari hiperbilirubin?
1.2.2 Bagaimana anatomi fisiologi hiperbilirubin?
1.2.3 Apa saja klasifikasi hiperbilirubin?
1.2.4 Apa saja etiologi dari hiperbilirubin?
1.2.5 Bagaimana patofisiologi hiperbilirubin?
1.2.6 Bagaimana pathway dari hiperbilirubin?
1.2.7 Bagaimana manifestasi hiperbilirubin?
1.2.8 Apa saja faktor resiko dari hiperbilirubin?
1.2.9 Apa saja komplikasi dari hiperbilirubin?
1.2.10 Bagaiamana pencegahan hiperbilirubin?

1
1.2.11 Bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubin?
1.2.12 Bagaimana asuhan keperawatan hiperbilirubin?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari hiperbilirubin.
1.3.2 Untuk mengetahui anatomi fisiologi hiperbilirubin.
1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi hiperbilirubin.
1.3.4 Untuk mengetahui etiologi dari hiperbilirubin.
1.3.5 Untuk mengetahui patofisiologi hiperbilirubin.
1.3.6 Untuk mengetahui pathway dari hiperbilirubin.
1.3.7 Untuk mengetahui manifestasi hiperbilirubin.
1.3.8 Untuk mengetahui faktor resiko dari hiperbilirubin.
1.3.9 Untuk mengetahui komplikasi dari hiperbilirubin.
1.3.10 Untuk mengetahui pencegahan hiperbilirubin.
1.3.11 Untuk mengetahui penatalaksanaan hiperbilirubin.
1.3.12 Bagaimana asuhan keperawatan hiperbilirubin?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam darah, baik oleh
faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis ditandai dengan ikterus. Ikterus
Adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa, sclera dan organ lain yang
disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah dan ikterus sinonim dengan
jaundice. Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat hidrofobiknya,
bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Ketika
mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan ligandin. Setelah
diekskresikan ke dalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi menjadi tetrapirol tak
berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diserap kembali ke
dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Pengobatan pada kasus
hiperbilirubinemia dapat berupa fototerapi, intravena immunoglobulin (IVIG), transfusi
pengganti, penghentian ASI sementara, dan terapi medikamentosa.

2.2 Anatomi Fisiologi


A. Hati
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga perut dibawah
diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5% dari berat badan orang dewasa normal. Pada
kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persendian darah. Hati terbagi
menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Lobus
kanan yang lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai tiga bagian utama yaitu lobus
kanan atas, lobus caudatus dan lobus. Hati disuplai oleh pembuluh darah, yaitu : Vena
porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti asam
amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral.
B. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.

C. Fungsi hati

3
1. Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan yang disimpan dari suatu
tempa dalam tubuh dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya.
2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresikan dalam empedu dan
urine.
3. Menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glukogen.
4. Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk dalam retikulo endulium
dialirkan ke empedu.
5. Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe) serta vitamin yang larut
dalam lemak (vitamin A,D,E,K) glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat
dikeluarkan dalam tubuh (seperti peptisida).
6. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit yang sudah tua dan rusak.
7. Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di ubah menjadi ureum,
dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urine.
8. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.

2.3 Klasifikasi

4
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.
A. Ikterus fisiologis
Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang diberi susu
formula, kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan
lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu.
Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama
2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat
susu formula juga akan terjadi peningkatan kadar bilirubun dengan kadar puncak yang
lebih tinggi dan bertahan lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak
diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih
dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolism
bilirubin.1,2,4 Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara
berurut 50-60% dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat membaik
tanpa pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi
kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru
lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir
disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens
bilirubin
B. Ikterus Non-Fisiologis
Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang tidak mudah dibedakan
dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di bawah ini merupakan petunjuk untuk
tindak lanjut, yaitu: 1,2,4 Ikterus non-fisiologik ikterus yang terjadi sebelum usia 24 jam;
setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi; peningkatan
kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar
pada setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat,
apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil) ikterus yang bertahan setelah delapan hari
pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.

5
2.4 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:
A. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
B. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh
imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar,
akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam
hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
C. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut
ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya
bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
D. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di
luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.5 Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari katabolisme
heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama oksidasi,
biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan
karbon monoksi-da. Besi dapat digunakan kembali, sedang-kan karbon monoksida
diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin
yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidro-gen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjuga-si yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat
erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak ter-konjugasi dengan
albumin baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang
bebas dapat me-lewati membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk
penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke neuro-toksisitas. Bilirubin yang mencapai

6
hati akan di-angkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya
bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan
terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pa-da
saat lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan. Bilirubin terikat
menjadi asam gluku-ronat di retikulum endoplasmik retikulum melalui reaksi yang
dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin
mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah
diekskresi-kan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi
tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di
dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini
dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin
plasma total. Siklus absorbsi, kon-jugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorb-si ini disebut
sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada neo-natus, oleh karena
asupan gizi yang ter-batas pada hari-hari pertama kehidupan.

2.6 Pathway
Bilirubin

7
Hemoglobin Mioglobin

Globin Heme

Fe dan Co
biliverdin Fe, Co dilepaskan.
Fe dapat
digunakan
Mengubah bilirubin larut air
kembali, dan
menjadi tidak larut air
Co di
ekskresikan
Diekskresikan kedalam empedu melalui paru-
dan masuk ke usus besar paru.

Bilirubin menjadi tetrapirol


yang tak berwarna oleh
mikroba di usus besar dan kecil

Bilirubin tak terkonjugasi masuk Ikterik neonatus


ke dalam sirkulasi bilirubin
plasma total

Suplai bilirubin melebihi


kemampuan hati normal

Obstruksi usus Tinja berwarna pucat

Kekurangan Ikterus pada sklera, leher,


volume cairan dan badan, peningkatan Kerusakan
bilirubin indirect >12mg/dl integritas kulit

2.7 Manifestasi Klinis

8
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6
mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi
(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini
hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
A. Tampak pada hari 3 - 4
B. Bayi tampak sehat (normal)
C. Kadar bilirubin total <12mg%
D. Menghilang paling lambat 10-14 hari
E. Tak ada faktor resiko Sebab: proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis).
Gambaran klinik ikterus patologis:
A. Timbul pada umur <36 jam
B. Cepat berkembang
C. Bisa disertai anemia
D. Menghilang lebih dari 2 minggu
E. Ada faktor resiko

2.8 Faktor Resiko


A. ASI yang kurang baik
yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah karena tidak cukupnya
asupan ASI yang masuk ke usus untuk memroses pembuangan bilirubin dari dalam
tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup
ASI
B. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko untuk terjadinya
hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki jenis golongan darah yang
berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat abnormalitas eritrosit (antara lain
eliptositosis), atau mendapat transfusi darah; kesemuanya berisiko tinggi akan
mengalami hiperbilirubinemia
C. Infeksi atau inkompabilitas ABO-Rh

9
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu ke janin di dalam
rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi infeksi
kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis.
D. Gejala klinis pada hiperbillirubinemia
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadangkadang kadar
bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kern icterus). Gejala
klinis yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah,
opistotonus, mata terputar-putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa
menyebabkan kematian. Efek jangka panjang Kern icterus ialah retardasi mental,
kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dalam hiperbilirubin pada anak:
A. Retardasi mental
B. Kerusakan neurologis
C. Gangguan pendengaran dan penglihatan
D. Kematian.
E. Kernikterus.

2.10 Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
A. Pengawasan antenatal yang baik.
B. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan masa kehamilan dan
kelahiran, contoh :sulfaforazol, novobiosin, oksitosin. Pencegahan dan mengobati
hipoksia pada janin dan neonatus.
C. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
D. Imunisasi yang baik pada bayi baru lahir.
E. Pemberian makanan yang dini.
F. Pencegahan infeksi.

2.11 Penatalaksanaan

10
A. Tindakan umum
1. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil
2. Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat
menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
3. Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan
kebutuhan bayi baru lahir.
4. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat
B. Tindakan khusus
1. Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi pengganti
untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya berintensitas
tinggi, tindakan ini dapat menurunkan bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi
harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan
berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5
mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam
pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir rendah.
2. Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor imunologik.
Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ibu
dan bayi, pemberian IVIG dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi
tukar.
3. Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit yang rentan
terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi;
mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan albumin yang masih bebas
bilirubin dan meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin.
4. Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pemberian ASI, penghentian ASI selama 24-48 jam
akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian pemberian ASI (walaupun
hanya sementara) masih terdapat perbedaan pendapat.
C. Terapi medikamentosa

11
1. Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif diberikan pada ibu
hamil selama beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan.
Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi pertentangan oleh karena efek
sampingnya (letargi).
2. Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya melalui urin
sehingga dapat menurunkan kerja siklus enterohepatika
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari
setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.- Pada bayi
premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah
lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
2. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragmakanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
UltrasonografiDigunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstra hepatic.
3. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti
untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga
untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
4. Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi
untukperbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
5. Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi
untukperbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

BAB III

12
PEMBAHASAN

Asuhan Keperawatan
3.1 Pengkajian
A. Anamnesa
1. Keluhan utama:
Kulit tampak kuning dan mengelupas (skin resh), sclera mata kuning (kadang-kadang
terjadi kerusakan pada retina), perubahan warna urine dan feses.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Dikembangkan dari keluhan utama, dijabarkan dengan PQRST (intensitas jaundice,
waktu timbulnya jaundice, dampaknya : tidak mau menetek, hemotoma, feses
berwarna gelap, dsb).
3. Riwayat kesehatan yang lalu
a. Pre Natal
Kaji faktor resiko hiperbilirunemia seperti obat-obat yang dicerna oleh ibunya
selama hamil (seperti salisilat, sulfonamid), riwayat inkompatibilitas ABO/Rh,
penyakit infeksi seperti rubela atau toxoplasmosis.
b. Intra Natal
Persalinan preterm, kelahiran dengan vakum ekstraksi, induksi oksitosin,
pengkleman tali pusat yang lambat, trauma kelahiran, BB waktu lahir, usia
kehamilan.
c. Post Natal
Riwayat asfiksia, infeksi neonatus, obat-obatan, pemberian makan, defekasi
mekonium.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji golongan darah ibu dan ayah dan riwayat inkompatibilitas ABO/Rh, riwayat
keluarga dengan hiperbilirubinemia pada kelahiran sebelumnya, dan riwayat
keluarga yang menderita anemia atau pembesaran hati dan limpa.

B. Pemeriksaan fisik

13
1. B1 (breath)
biasany pada pasien hiperbilirubinemia tidaka mengalami gangguan pada sistem
pernapasannya.
2. B2 (blood)
bradikardi, ikterik pada sklera mata, kulit dan membran mukosa, demam, anemia
(biasanya anemia hemolitik).
3. B3 (brain)
peka terhadap rangasangan,cenderung tidur, letargi, dan asteriksis.
4. B4 (bladder)
urin berwarna gelap (kecoklatan).
5. B5 (bowel)
diare, feses berwarna seperti tanah liat, kram abdomen, nyeri tekan pada kuandran
kanan atas.
6. B6 (bone)
tidak ada gangguan.

3.2 Diagnosa
1. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan.
2. Ikterik neonatus yang berhubungan dengan bilirubin tak terkonjugasi didalam sirkulasi.
3. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan sklera leher dan badan.

3.3 Intervensi

DIAGNOSA NIC NOC


1. Kekurangan volume 1. Fluid balance Fluid Management
cairan yang 2. Hydration 1. timbang popok/pembalut
behubungan dengan 3. Nutrional status: food and jika diperlukan
tidak adekuatnya fluid 2. pertahankan catatan intake
intake cairan. 4. Intake dan out put yang kuat
3. monitor status hidrasi
Kriteria Hasil 9kelembabanmembran

14
1. mempertahankan urin out put mukosa, nadi adekuat,
sesuai dengan usia dan BB, tekanan darah ortostatik),
BJ urin normal, HT normal jika diperlukan
2. tekanan darah, nadi, suhu 4. monitor vital sign
tubuh dalam batas normal 5. monitor msukan makanan /
3. tidak ada tanda-tanda cairan dan hitung intake
dehidrasi kalori harian
elastisitas turgir kulit baik, 6. kolaborasikan pemberian IV
membran mukosa lembab, 7. monitor status nutrisi
tidak ada rasa haus yang 8. berikan cairan IV pada suhu
berlebihan ruangan
9. dorong masukan oral
10. berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
11. dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
12. twarka snack 9jus buah,
buah segar)
13. kolaborasi dengan dokter
14. atur kemungkinan transfusi
Hypovolemia Management
1. monitor status cairan
termasuk intake dan output
cairan
2. pelihara IV line
3. monitor tingkat H b dan
hematokrit
4. monitor tanda-tanda vital
5. monitor respon pasien
terhadap penabahan cairan
6. monitor berat badan

15
7. dorong pasien untuk
menambah intake oral
8. pemberian caira IV monitor
aadanya tanda dan gejala
kelebihan volume cairan
9. monitor adanya tanda gagal
ginjal

2. Ikterik neonatus yang 1. breasfeeding inefektif Phothoterapy: neonate


berhubungan dengan 2. breasfeeding interupted 1. meninjau sejarah ibu dan
bilirubin tak 3. liver function, risk of bayi untuk faktor risiko
terkonjugasi didalam impaired untuk hiprbilirubinemia
sirkulasi. 4. blood glucose, risk for (misalnya, ketidakcocokan
unstable Rh atau ABO, polisitemia,
sepsis, prematuritas, mal
Kriteria Hasil: presentasi)
1. menyusui secara mandiri 2. amati tanda-tanda ikterus
2. tetap mempertahankan 3. agar serum bilirubin tingkat
laktasi sebagai protokol per yang
3. pertumbuhan dan sesuai atau permintaan
perkembangan bayi dalam praktisi primer
batas normal 4. melaporkan nilai
4. mengetahui tanda-tanda laboratorium untuk praktisi
penurunan suplai asi primer
5. ibu mampu mengumpulkan 5. tempat bayi di isolette
dan menyimpan ASI 6. instruksikan keluarga pada
secaraa aman prosedur fototerapi dan
6. penyapihan pemberian ASI perawatan
diskontinuitas progresif 7. terapkan tambalan untuk
pemberian menutup kedua mata,
7. ASI

16
8. kemampuan penyedia menghindari tekanan yang
perawatan untuk berlebihan
mecairkan, 8. hapus tambalan mata setiap
menghangatkan, dan 4 jam atau ketika lampu
menyimpan ASI secara mati untuk kontak orang tua
aman dan makan
9. menunjukkan teknik dalam 9. memantau mata untuk
memompa asi edema, drainase, dan warna
10. berat bada bayi =maa tubuh 10. tempat fototerapi lampu di
11. tidak ada respon alergi atas bayi pada ketinggian
sistemik yang sesuai
12. respirasi status: jalan napas, 11. periksa intensitas lamou
pertukaran gas, dan sehari-hari
ventilasi napas bayi 12. memonitor tanda-tanda vital
adekuat per protokol atau sesuai
13. tanda-tanda vital bayi kebutuhan
dalam batas normal 13. ubah posisi bayi setiap 4
14. penerimaan: kondisi jam atau per protokol
kesehatan 14. memantau tingkat bilirubin
15. dapat mengontrol kadar serum per protokolatau
glukosa darah permintaan praktisi
16. dapat memanajemen dan 15. mengevaluasi sistem
mencegah penyakit neurologis setiap 4 jam atau
semakin parah per protokol
17. tingkat pemahaman untuk 16. amati tanda-tanda dehidrasi
dan pencegahan komplikasi (misalnya, depresi
18. dapat meningkatkan fontaaanel, turgor kulit
istirahat mengerut, kehilangan berat
19. status nutrisi adekuat badan)
20. control resiko proses 17. timbang setiap haari
infeksi

17
18. mendorong delapan kali
menyusui per hari
19. dorong keluarga untuk
berpartisipasi dalam terapi
cahay
20. instruksikan keluarga pada
fototerapi di rumah yang
sesuai

3. Kerusakan integritas 1. Tissue integrity: skin and Pressure management


kulit yang mucous 1. Anjurkan pasien untuk
berhubungan dengan 2. Membranes menggunakan pakaian yang
sklera leher dan 3. Hemodyalis akses longgar
badan. 2. Hindari kerutan pada tempat
Kriteria hasil: tidur
1. Integritas kulit yang baik 3. Jaga kebersihan kulit agar
bisa dipertahankan (sensasi, tetap bersih dan kering
elastisitas, temperatur, 4. Mobilisasi pasien(ubah
hidrasi, pigmentasi) tidak posisi pasien) setiap dua jam
ada luka / lesi pada kulit sekali
2. Perfusi jaringan baik 5. Monitor kuliat akan adanya
3. Menunjukan pemahaman kemerahan
dalam proses perbaikan kulit 6. Oleskan lotion/minyak/baby
dan mencegah terjadinya oil pada daerah yang
sedera berulang tertekan
4. Mampu melindungi kulit dan 7. Monitor aktivitas dan
mempertahankan mobilisasi pasien
kelembapan kulit dan 8. Monitor status nutrisi pasien
perawatan alami 9. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
Insision Site Care

18
1. Membersihkan, memantau
dan meningkatkan proses
penyembuhan pada luka
yang ditutup jahitan, klip
atau straples
2. Monitor proses kesembuhan
area insisi
3. Monitor tanda dan gejala
infeksi pada area insisi
4. Bersihkan area sekitar
jahitan atau straples,
menggunakan lidi kapas
steril
5. Gunakan preparat
antiseptic, sesuai program
6. Ganti balutan pada interval
waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program
Dialysis Acces Maintenance

19
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam darah, baik oleh
faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis ditandai dengan ikterus. Ikterus.
Adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa, sclera dan organ lain yang
disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah dan ikterus sinonim dengan
jaundice. Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.

4.2 Saran
1. Meningkatkan kembali pengetahuan terkait konsep dasar pada pasien anak dengan
hiperbilirubin.
2. Meningkatkan pengetahuan perawat dalam pemberian layanan asuhan keperawatan
dengan hiperbilirubin
3. Memperluas kembali pengetahuan demi perkembangan keperawatan terutama pada
klien anak dengan hiperbilirubin.

20
DAFTAR PUSTAKA

Mathindas, Stevry. 2013. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Jurnal: Biomedik, Volume 5,


Nomor 1, Suplemen, Maret 2013, hlm. S4-10 Alamat: https://ejournal.unsrat
.ac.id/index.php/biomedik/article/viewFile/2599/2142. Akses: November 2017.
Anonim. Asuhan Keperawatan Anak Dengan Hiperbilirubin. Alamat: kupdf.com_asuhan-
keperawatan-anak-dengan-hiperbilirubin.pdf. Akses: November 2017.
Bunyaniah, Dahru. 2013. Pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik Pada bayi baru lahir di
rsud dr. Moewardi Surakarta. Alamat: http://eprints.ums.ac.id/
25662/11/naskah_publikasi.pdf. Akses: November 2017.
Putri Rizky Amalia, dkk. 2014. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Jurnal: Medica
Hospitalia Vol. 2, No. 2, Mei 2014. Alamat: file:///C:/Users/My%20
Computer/Downloads/101-406-1-PB.pdf Aksess: November 2017.
Rahma, dkk. 2012. Pemberian Asi Efektif Mempersingkat Durasi Pemberian Fototerapi. Jurnal:
Keperawatan Indonesia Vol 15 No 1 hal 39-46. Alamat: file:///C:/Users/My%20
Computer/Downloads/45-89-2-PB.pdf. Akses: November 2017.

21

Anda mungkin juga menyukai