Oleh:
Pembimbing:
dr. Rulli Rosandi, SpPD
2017
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul..............................................................................................1
Daftar Isi…………………………………………………………….…………..………2
BAB I PENDAHULUAN
1.2. Tujuan…………………………………………………………………………..5
2.2 Epidemiologi…….……………………………………….……………………..6
2.3 Patogenesis…………………………………………………………...............6
2.5.1 Anamnesis…………….……………..………………………………....8
2.6 Tatalaksana……………………………………………………….………......11
2.8 Pencegahan…………………………………………………….………….....15
2.9 Komplikasi…………………………………………………….………….....15
2.10 Prognosis……………….…………………………………….………….....16
3.2 Anamnesis……………………………………….…………………………. 17
2
3.4 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………… 20
3.5 POMR…………………………………………………………….………….. 24
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis………..…………………….……………………………………....31
4.2 Tatalaksana………………………………..……………..…………………..33
BAB V PENUTUP……….…..…………………….…………………..……………....37
DAFTAR PUSTAKA…………………………..………………………………………38
3
BAB I
PENDAHULUAN
protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari
menyebutkan bahwa prevalensi DMdi dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan
pada penduduk usia lebih dari 15 tahun yang meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur, namun mulai umur ≥65 tahun cenderung menurun. Melihat
pola pertambahan penduduk dunia saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti
akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun, dan dengan
asumsi prevalensi DM sebesar 2%, akan didapatkan 3,56 juta pasien DM, suatu
jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh para ahli DM (Larsen
et,al,2003).
merupakan komplikasi akut yang paling serius dari pasien dengan DM tipe 2.
Angka mortalitas HHS diperkirakan sebesar 20%, lebih tinggi sekitar 10 kali lipat
daripada angka mortalitas DKA. Angka kejadian pasti dari HHS belum diketahui,
4
akan tetapi HHS diperkirakan menjadi <1% penyebab pasien dengan DM dirawat
di rumah sakit. Sebagian besar kasus HHS terjadi pada pasien-pasien usia lanjut
dengan DM tipe 2, akan tetapi kasus HHS yang terjadi pada anak-anak dan usia
terjadinya komplikasi berupa HHS, dirasa perlu bagi tenaga kesehatan untuk
mengenai HHS, mulai dari etiologi, faktor pemicu, patogenesis, diagnosis, hingga
tatalaksananya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian pasti dari HHS belum diketahui, akan tetapi HHS
Sebagian besar kasus HHS terjadi pada pasien-pasien usia lanjut dengan DM
tipe 2, akan tetapi kasus HHS yang terjadi pada anak-anak dan usia dewasa
muda juga telah dilaporkan. Angka mortalitas HHS diperkirakan sebesar 20%,
lebih tinggi sekitar 10 kali lipat daripada angka mortalitas DKA (Pasquel dan
Umpierrez, 2014).
2.3 Patogenesis
Defisiensi insulin parsial atau relatif dapat memicu HHS dengan cara
mengurangi penggunaan glukosa oleh jaringan otot, lemak, dan hepar. Selain itu,
pengeluaran glukosa oleh hepar. Keberadaan glukosa pada urin dalam jumlah
6
Apabila pasien tidak dapat mempertahankan intake cairan yang adekuat
dikarenakan penyakit akut atau kronik yang menyertai, atau pasien mengalami
volume plasma, akan terjadi kerusakan pada ginjal yang berkaibat berkurangnya
kemungkinan karena defisiensi insulin pada HHS bersifat relatif dan lebih ringan
dari DKA. Kemungkinan lainnya adalah rasio insulin-glukagon pada pasien HHS
cukup untuk memfasilitasi penggunaan glukosa oleh sel, kadar insulin pada HHS
7
2.4 Faktor Risiko dan Pemicu
Faktor pemicu HHS yang tersering adalah infeksi. Faktor lain di antaranya
adalah penghentian terapi insulin, terapi insulin yang tidak adekuat, pankreatitis,
2009).HHS sering terjadi pada pasien-pasien usia lanjut dengan diabetes tipe 2.
tirah baring lama akan diperburuk oleh respon haus yang berubah pada pasien.
2.5.1 Anamnesis
DM, dan pasien tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat
penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah.
Kadang pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,
turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas
yang dingin, hipotensi dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula
ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis
8
dapat pula dijumpai distensi abdomen yang membaik setelah rehidrasi adekuat
(Soewondo, 2014). Meskipun defisit elektrolit yang berat dan penurunan volume
cairan tubuh, khas pada HHS, pasien mungkin tidak terlihat seperti dehidrasi
(Scott AR,2015).
dengan osmolaritas efektif serum. Koma dapat terjadi saat osmolaritas serum
mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350mmol/kg). Kejang ditemukan pada
25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal maupun mioklonik. Dapat
juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit cairan
(Soewondo, 2014).
Secara klinis HHS akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton, dan analisis gas darah belum
kreatinin serum, keton serum, elektrolit, osmolalitas, urinalisis, keton urin dengan
dipstik, analisis gas darah, dan hitung darah lengkap. HbA1c mungkin berguna
metabolik akut pada pasien dengan DM yang terkontrol (Gosmanov et al., 2015).
urin, yaitu lebih akurat dan kuantitatif. Benda keton yang diukur pada pengukuran
keton urin adalah asetoasetat, sedangkan pada keton serum adalah 3-beta-
9
hidroksibutirat. Pada kasus DKA, rasio 3-beta-hidroksibutirat : asetoasetat
meningkat dari 1:1 menjadi 5:1. Selain itu, diuresis osmotik akibat hiperglikemia
mengakibatkan dilusi dari keton urin yang diukur. Oleh karena itu, pengukuran
keton urin dapat menggambarkan tingkat keparahan DKA yang lebih rendah dari
Selain itu, sampel urin yang sebelumnya telah ditampung dalam kandung
kemih selama beberapa jam tidak akan menggambarkan kondisi saat ini pada
keton urin. Obat-obatan yang mengandung grup sulphydryl seperti captopril dan
6. Penurunan kesadaran
10
Gambar 2 Kriteria diagnosis dan perbandingan HHS dan DKA berdasarkan
American Diabetes Association (2004) (Kitabchi et al., 2009)
2.6 Tatalaksana
Terapi Cairan
dimulai dengan normal saline 0,9%. Jika tidak terjadi hipovolemia, saline 0,45%
lebih dianjurkan untuk penggantian cairan awal karena cairan tubuh pasien
bersifat hiperosmolar. Sebanyak 4-6 liter cairan mungkin diperlukan dalam 8-10
jam pertama (Stephen et al., 2011). Pemberian normal saline 0,9% 15-20
mL/kgBB dianjurkan dalam 1-2 jam, diikuti dengan 250-500 mL/jam hingga
11
Gambar 3 Tatalaksana pasien HHS (Kitabchi et al., 2009)
kounter regulasi dan membaiknya perfusi ginjal (Pasquel dan Umpierrez, 2014).
Hal inidapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapicairan yang
0,9%. Kadar glukosa darah harus dipertahankan pada level 250-300 mg/dL untuk
mengurangi risiko edema otak. Hasil akhir yang diharapkan dari terapi cairan
12
adalah mengembalikan output urin sebesar 50 mL/jam atau lebih (Pasquel dan
Terapi Insulin
insulin juga dibutuhkan. Pertama, insulin diinjeksikan dengan dosis 0,1 U/kgBB,
itu dapat juga langsung diberikan infus insulin dengan kecepan 0,14 U/kgBB/jam
tanpa injeksi terlebih dahulu.Jika kadar glukosa darah tidak turun sebesar 50
mg/dL dari nilai awal dalam 1 jam, maka kecepatan infus insulin dapat dinaikkan
dua kali lipat setiap jam hingga kadar glukosa darah turun 50-75 mg/jam.Ketika
kadar glukosa darah mencapai 300 mg/dL, kecepatan infus insulin dapat
ditambahkan sebagai cairan intravena (Fauci et al., 2008; Kitabchi et al., 2004).
injeksi subkutan atau intramuskular. Pemberian insulin dengan infus lebih dipilih
karena waktu paruh lebih pendek dan lebih mudah untuk melalukan titrasi
dibandingkan dengan insulin subkutan yang memiliki onset lebih lambat dan
waktu paruh lebih panjang. Studi oleh Menzel dan Jutzi (1970) menunjukkan jika
Pasien dengan HHS harus ditangani dengan insulin intravena hingga krisis
hiperglikemik teratasi. Kriteria resolusi HHS adalah jika osmolalitas plasma dan
status mental pasien telah normal. Ketika itu terjadi, insulin subkutan dapat
13
dimulai. Untuk mencegah rekurensi hiperglikemia, penting untuk memulai insulin
subkutan sambil menurunkan dosis insulin intravena selama 1-2 jam (Kitabchi et
al., 2009).
Terapi Kalium
level serum turun di bawah 5-5,2 mEq/L. Tujuan terapi adalah untuk
mempertahankan level kalium pada rentang normal (4-5 mEq/L). Secara umum,
20-30 mEq kalium per liter cairan infus cukup untuk mempertahankan kadar
kalium pada rentang normal. Apabila kadar kalium serum pasien berada pada
level <3,3 mEq/L, maka pemberian terapi insulin harus ditunda. Pasien harus
diberikan kalium 20-30 mEq tiap jam hingga kadar kalium >3,3 mEq/L sehingga
HHS dapat dibedakan dari DKA apabila dilihat dari gejala klinis dan hasil
laboratorium. Selain itu, DKA cenderung memiliki onset dalam hitungan jam
sementara HHS biasanya baru muncul dalam hitungan hari dan akibat yang
ekstrim. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya HHS dan DKA secara
asidosis(Scott AR,2015).
14
2.8 Pencegahan
Sebagian besar kasus HHS dapat dicegah dengan cara edukasi pasien
pentingnya penggunaan insulin di saat sakit (Kitabchi et al., 2009). Hal yang
adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika pasein tinggal sendiri, teman
tanda dan gejala HHS dan juga edukasimengenai pentingnyaasupan cairan yang
2.9 Komplikasi
insulin subkutan sebagai terapi lanjutan (Kitabchi et al., 2004). Komplikasi dari
terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskuler, infark miokard, low-flow
15
serebri yang jarang ditemukan namun fatal pada anak-anak dan dewasa
muda(Soewondo, 2014).
2.10 Prognosis
kematian pasien bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh
penyakit yang mendasari atau menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-
50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama lematian adalah infeksi,
usia lanjut dan osmolaritas darah yangsangat tinggi. Di negara maju, angka
16
BAB III
LAPORAN KASUS
Umur : 74 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Heteroanamnesis
rumah sakit. Kelarga pasien mengatakan, pasien sulit untuk dibangunkan. Pasien
masih bisa diajak biacara 1 hari sebelumnya. Pasien juga memiliki riwayat jatuh,
kelemahan tubuh bagian kanan, dan cara bicara yang tidak jelas sejak 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Namun pasien tidak datang ke dokter melainkan
17
Pasien juga mengalami mual muntah sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien mengalami penurunan nafsu makan sejak 2 bulan sebelum masuk
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Pasien
mengalami penurunan berat badan, sering BAK, dan sering haus. Keluarga
pasien lupa gula darah terakhir pasien. Pasien mendapatkan terapi insulintetapi
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun sebelum masuk rumah
sakit. Telah mendapatkan terapi insulin dan obat terapi tidak rutin dipakai.
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit yang sama dengan pasien, DM
Riwayat Sosial
Pasien adalah ibu rumah tangga. Tinggal bersama suami dan memiliki 6 orang
anak.
18
3.3 Pemeriksaan Fisik
Tekanan Darah = Nadi = 95 kali per menit, RR = 18 kali per Tax : 36,7°C
NE 1,28 mg/menit
ss v v Rhonki - - Wheezing - -
ss vv - - - -
ss vv - - - -
Abdomen Soefl, liver span 8 cm, traube space tymphani, bising usus (+)
Pemeriksaan Neurologis
Meningeal sign Nuchal rigidity (-), Kernig’s sign (-), Brudzinski 1 (-)
Brudzinski 2 (-) Brudzinski 3 (-) Brudzinski 4 (-)
Motoric Tonus otot menurun, lateralisasi dextra
Sensorik Susah dievaluasi
Reflex Patologis Fisiologis
B +/+ TPR 0/0
C +/- KPR 0/0
O +/+ APR 0/0
G -/-
S -/-
19
3.4 Pemeriksaan Penunjang (13/12/2017)
Hematologi
10.100/µL
366.000/µL
20
Urinalisis (13/12/17)
Glukosa 3+ 40 x
Urobilinogen 1+ Leukosit 35
Nitrit - Kristal -
Darah 3+
BGA (13/12/2017)
pH 7.37 7.35-7.45
21
EKG (13/12/2017)
EKG
22
Foto Thorax (29/8/2017)
Trakea di tengah
23
No CUE&CLUE PL IDx PDx PTx P.Mo& P.Edu
D51/2 NS
Ext: lateralisasi dextra,
Babinsky, chadok, Oppenheim Line 2: drip Wida KN 2 20
(+)
tpm
Lab: GDS: 870 mg/dl
24
jika K>5,2 mmol/L drip
stopped
insulin dihentikan
sementara
cc in RS sebelumnya +
1500 cc di IGD.
dibangunkan. IV Line
Riwayat DM (+) penurunan
25
berat badan, sering BAK dan Line 1: drip insulin 50 U
haus (+)
dalam 50 cc NS
sementara
26
Line 3: Total rehidrasi 1000
cc in RS sebelumnya +
1500 cc di IGD.
27
Hasil laboratorium:
Hb: 16,7 g/dl
Hct: 51,9%
Leu: 10.850 ul
5. Perempuan/ 74 tahun 5. Azotemia renal 5.1. Diabetic Fundusc Total rehidrasi 1000 cc in Ur/Cr post
Subjektif:
kidney disease opy RS sebelumnya + 1500 cc rehidrasi
Riwayat DM sejak 10 tahun
5.2. ATN dt vol di IGD.
SMRS
depletion
Objektif
Ur/Cr: 96,9/3,03 mg/dl
BUN/Cr 14,94
eGFR 13 ml/min/1,73m2
28
Urinalisis:
Protein 2+
Leukosit 2+
Darah 3+
40x
Eritrosit 50/hpf
Eumorfik 15%
Dismorfik 85%
Leukosit 35/hpf
6. Perempuan/74 tahun 6. Mual dan muntah 6.1 Diabetic - Inj. Lansoprazole 1x30 mg Mual dan muntal
Subjektif:
gastroparese Inj. Metoclopramide 3x10
Mual dan muntah sejak 2 hari
6.2 PUD mg
SMRS. Pasien tidak makan dan
minum sejak 2 hari.
Riwayat DM sejak 10 tahun
SMRS
29
minum sejak 2 hari.
Riwayat DM sejak 10 tahun
SMRS
Penurunan kesadaran sejak 1
hari SMRS, tidak dapat bangun
dari tidur,
Objektif:
Keadaan umum: tampak sakit
berat
GCS 211
30
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis
Pasien HHS biasanya adalah pasien usia lanjut dengan riwayat DM tipe 2
dengan riwayat poliuri, penurunan berat badan, dan intake oral menurun yang
status mental.
signifikan (dapat lebih dari 1000 mg/dL), hiperosmolalitas (> 350 mOsm/L), dan
azotemia prerenal. (Fauci et al., 2008). Kriteria diagnosis HHS yang digunakan
saat ini adalah level glukosa plasma > 600 mg/dl dan osmolalitas plasma efektif >
Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 74 tahun dibawa ke IGD RSSA
riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun sebelum masuk rumah sakit. Telah
mendapatkan terapi insulin dan obat terapi tidak rutin dipakai. Pasien mengalami
penurunan berat badan, sering BAK, dan sering haus. Keluarga pasien lupa gula
darah terakhir pasien. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan GCS 221. Bibir tampak
kering dan turgor kulit kembali lambat, tanda bahwa pasien dehidrasi. Hasil
pemeriksaan darah vena didapatkan GDS 870 mg/dL, peningkatan ureum (96,9
hipernatremia (164 mmol/L), dan hipokalemia ringan (3,44 mmol/L). Hasil analisis
31
gas darah menunjukkan adanya alkalosis respiratorik terkompensasi dengan pH
7,37 dan HCO3 11,2. Hasil urinalisis menunjukkan Protein (2+), Leukosit (2+),
mengalami penurunan kesadaran. Kadar glukosa darah pasien 854 mg/dL, yang
sudah melebihi batas 600 mg/dL. pH arteri 7,37, sesuai dengan kriteria di mana
pH > 3,0. Serum bikarbonat yang ditemukan pada pasien in adalah 11,2 yang
kurang cocok dengan kriteria HHS. Keton urin ditemukan negatif, keton serum
+ (glukosa/18), adalah 376,3, yang sudah melebihi batas 320 mOsm/kg. Pada
pasien ini didapatkan anion gap sebesar 28,8. Pasien memiliki faktor risiko HHS
yaitu penghentian terapi insulin dan usia lanjut. Pasien didiagnosis HHS dengan
4.2 Tatalaksana
status hemodinamik pasien yaitu dengan memberikan 1-3 L normal saline pada
32
2-3 jam pertama (Fauci et al, 2008), atau 15-20 ml/kgBB/jam (Miles dan Fisher,
free water deficit adalah dengan cairan hipotonis (normal saline 0,45% lalu D5%).
Menurut Kitabchi dan kawan-kawan, 2009, cairan yang dipilih untuk manajemen
HHS adalah NS 0,45% yang kemudian diganti dengan D5% dalam air, NS
0,45%, atau NS 0,9% setelah GDS mencapai 300 mg/dL.Rata-rata defisit (9-10
L) harus dikembalikan pada 1-2 hari berikutnya, dengan kecepatan infus 200
Pada pasien ini, telah diberikan 2.500 cc normal saline pada 2 jam pertama
water deficit, yang dihitung pada pasien ini dengan estimasi berat badan sebesar
50 kg, sebesar 3,9 L dengan tambahan urine output sebesar 350 cc serta
insensible water loss sebesar 500 cc. Total rehidrasi yang akan dilakukan pada 2
hari MRS pada pasien adalah 4.750 cc menggunakan D5%. Jika mengacu pada
guideline krisis hiperglikemia yang dikeluarkan oleh ADA (Kitabchi, et al., 2009),
cairan yang diberikan seharusnya tidak hanya dengan D5% saja tetapi dicampur
dengan NS 0,45% atau NS 0,9% jika GDS pasien sudah mencapai 300 mg/dL
dengan kecepatan 150 - 250 mL/jam. Pada saat masuk ruangan, GDS pasien
Pasien dengan HHS harus ditangani dengan insulin intravena hingga krisis
diikuti dengan insulin drip. Kecepatan insulin drip konstan pada 0,1 U/kg/jam.
Jika glukosa serum tidak turun, maka kecepatan infus dinaikkan dua kali lipat.
Infus insulin harus dilanjutkan hingga pasien dapat makan dan menggunakan
33
Pada pasien ini diberikan drip insulin short acting 5 IU/jam dalam 50 cc
menjadi 2,5 IU/jam, dan jika GDS mencapai ≤ 200 mg/dL, drip diturunkan
menjadi 0,5-1 IU/jam. Pada pasien ini dilakukan monitoring GDS setiap jam,
sesuai dengan guideline ADA 2009 yang menyarankan untuk monitoring GDS
Kriteria resolusi HHS adalah jika osmolalitas plasma dan status mental
pasien telah normal. Ketika itu terjadi, insulin subkutan dapat dimulai (Miles dan
multidose regiment yaitu long acting insulin (Levemir) 0-0-10 U dan rapid acting
insulin (Novorapid) 6 x 2 U sebelum makan (diet DM cair 6 x 200 cc). Selama 1-2
jam penggantian insulin intravena menjadi subkutan, drip insulin tetap dijalankan
setelah level serum turun di bawah 5-5,2 mEq/L. Tujuan terapi adalah untuk
mempertahankan level kalium pada rentang normal (4-5 mEq/L). Secara umum,
20-30 mEq kalium per liter cairan infus cukup untuk mempertahankannya
(Kitabchi et al., 2009; Kitabchi et al., 2004). Pada pasien ini, diberikan drip Wida
serum elektrolit (SE) setiap 4 jam untuk monitoring. Jika K > 5,2 mmol/L,
hentikan drip WIDA KN 2 tetapi lanjutkanmonitoring SE. Jika K< 3,3 mmol/L, drip
34
BAB V
PENUTUP
mempunyai DM, dan pasien tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat
berat dan peningkatan suhu tubuh. Saat ini, diagnosis HHS mengacu pada
yaitu: Glukosa plasma >600 mg/dL, Osmolalitas serum efektif >320 mOsm/L, pH
darah arteri >7,30, Bikarbonat serum >18 mEq/L, keton urin atau serum negatif
atau sedikit, dan penurunan kesadaran. Terapi yang diberikan pada kondisi HHS
HHS, maka pengawasan ketat terhadap status hidrasi dan kecepatan infus
35
DAFTAR PUSTAKA
Brewster, S., Curtis, L., & Poole, R. (2017). Urine versus blood ketones. Practical
dalamHall, J.B., Schimd, G.A., dan Kress, J.P (eds). Principles of Critical
Fauci, AS., Kasper, DL., Longo, DL., Braunwald, E., Hauser, SL., Jameson, JL,
Kitabchi, A.E., Umpierrez, G.E., Murphy, M.B., Barrett, E.J., Kreisberg, R.A.,
Kitabchi, A.E., Umpierrez, G.E., Miles, J.M. and Fisher, J.N., 2009.
pp.1335-1343.
36
Miles JM, Fisher JN. 2009. Hyperglycemic crises in adult patientswith diabetes.
Diabetes Care32:1335-43.
Soewondo, P., dalam PAPDI. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
VI.
Stephen, J., Papadakis, M. and Rabow, M.W., 2011. Current medical diagnosis
and treatment.
Umpierrez, G. E., Cuervo, R., Karabell, A., Latif, K., Freire, A. X., & Kitabchi, A.
37