Anda di halaman 1dari 37

RESPONSI

HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE

Oleh:

Atid Nurus Silmi 160070200011016


Kresna Ardinugraha W. 160070200011052
Raehani Ajeng P.N. 160070200011042

Pembimbing:
dr. Rulli Rosandi, SpPD

LABORATORIUM/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR
MALANG

2017

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul..............................................................................................1

Daftar Isi…………………………………………………………….…………..………2

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang………………………………………………………………..4

1.2. Tujuan…………………………………………………………………………..5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ………………………………………………………..…..……………6

2.2 Epidemiologi…….……………………………………….……………………..6

2.3 Patogenesis…………………………………………………………...............6

2.4 Faktor Resiko dan Pemicu………….………………………...………………8

2.5 Penegakan Diagnosis….…………………..……………………………..…..8

2.5.1 Anamnesis…………….……………..………………………………....8

2.5.2 Pemeriksaan Fisik..….……………..………………………………….8

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang.……………..………………………………9

2.6 Tatalaksana……………………………………………………….………......11

2.7 Diagnosis Banding…………………………………………….………….....14

2.8 Pencegahan…………………………………………………….………….....15

2.9 Komplikasi…………………………………………………….………….....15

2.10 Prognosis……………….…………………………………….………….....16

BAB III URAIAN KASUS

3.1 Identitas Pasien …………………………………………………..……….. 17

3.2 Anamnesis……………………………………….…………………………. 17

3.3 Pemeriksaan Fisik……………………………………………………….... 19

2
3.4 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………… 20

3.5 POMR…………………………………………………………….………….. 24

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis………..…………………….……………………………………....31

4.2 Tatalaksana………………………………..……………..…………………..33

BAB V PENUTUP……….…..…………………….…………………..……………....37

DAFTAR PUSTAKA…………………………..………………………………………38

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan

terjadinyahiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan

protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari

kerja dan atau sekresi insulin.International Diabetes Federation(IDF)

menyebutkan bahwa prevalensi DMdi dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan

DM sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia (Buraerah, 2010).

Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi DM di Indonesia sebesar 2,1 %

pada penduduk usia lebih dari 15 tahun yang meningkat sesuai dengan

bertambahnya umur, namun mulai umur ≥65 tahun cenderung menurun. Melihat

pola pertambahan penduduk dunia saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti

akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun, dan dengan

asumsi prevalensi DM sebesar 2%, akan didapatkan 3,56 juta pasien DM, suatu

jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh para ahli DM (Larsen

et,al,2003).

Krisis hiperglikemia dan hipoglikemia adalah komplikasi DM yang

mengancam nyawa dan merupakan kegawatan medis yang harus segera

ditangani. Krisis hiperglikemia terdiri dari ketoasidosis diabetikum (KAD) dan

hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) (Carmody dan Philipson, 2015).HHS

merupakan komplikasi akut yang paling serius dari pasien dengan DM tipe 2.

Angka mortalitas HHS diperkirakan sebesar 20%, lebih tinggi sekitar 10 kali lipat

daripada angka mortalitas DKA. Angka kejadian pasti dari HHS belum diketahui,

4
akan tetapi HHS diperkirakan menjadi <1% penyebab pasien dengan DM dirawat

di rumah sakit. Sebagian besar kasus HHS terjadi pada pasien-pasien usia lanjut

dengan DM tipe 2, akan tetapi kasus HHS yang terjadi pada anak-anak dan usia

dewasa muda juga telah dilaporkan(Pasquel dan Umpierrez, 2014).

Mengingat semakin tingginya prevalensi DM yang memiliki risiko untuk

terjadinya komplikasi berupa HHS, dirasa perlu bagi tenaga kesehatan untuk

mengetahui bagaimana cara mendiagnosis dan melakukan tatalaksana secara

tepat sebagai upaya menurunkan mortalitas dan morbiditas HHS.

1.2 Tujuan Penulisan

Responsi ini ditulis untuk meningkatkan pengetahuan dokter muda

mengenai HHS, mulai dari etiologi, faktor pemicu, patogenesis, diagnosis, hingga

tatalaksananya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah sindroma yang dicirikan

dengan hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi tanpa adanya

ketoasidosis (Pasquel dan Umpierrez, 2014). HHS merupakan komplikasi

akut/emergensi dari diabetes melitus (DM) (Soewondo, 2014).

2.2 Epidemiologi

Angka kejadian pasti dari HHS belum diketahui, akan tetapi HHS

diperkirakan menjadi <1% penyebab pasien dengan DM dirawat di rumah sakit.

Sebagian besar kasus HHS terjadi pada pasien-pasien usia lanjut dengan DM

tipe 2, akan tetapi kasus HHS yang terjadi pada anak-anak dan usia dewasa

muda juga telah dilaporkan. Angka mortalitas HHS diperkirakan sebesar 20%,

lebih tinggi sekitar 10 kali lipat daripada angka mortalitas DKA (Pasquel dan

Umpierrez, 2014).

2.3 Patogenesis

Defisiensi insulin parsial atau relatif dapat memicu HHS dengan cara

mengurangi penggunaan glukosa oleh jaringan otot, lemak, dan hepar. Selain itu,

defisiensi insulin juga memicu hiperglukagonemia dan meningkatakan

pengeluaran glukosa oleh hepar. Keberadaan glukosa pada urin dalam jumlah

yang besar akan menyebabkan kehilangan air (Stephen et al., 2011).

6
Apabila pasien tidak dapat mempertahankan intake cairan yang adekuat

dikarenakan penyakit akut atau kronik yang menyertai, atau pasien mengalami

kehilangan cairan yang berlebih, dehidrasi akan terjadi. Akibat menurunnya

volume plasma, akan terjadi kerusakan pada ginjal yang berkaibat berkurangnya

pengeluaran glukosa oleh ginjal. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya

kadar glukosa darah (Stephen et al., 2011).

Tidak adanya ketosis pada HHS tidak dimengerti dengan baik,

kemungkinan karena defisiensi insulin pada HHS bersifat relatif dan lebih ringan

dari DKA. Kemungkinan lainnya adalah rasio insulin-glukagon pada pasien HHS

yang tidak mendukung terjadinya ketogenesis (Fauci et al., 2008).Walaupun tidak

cukup untuk memfasilitasi penggunaan glukosa oleh sel, kadar insulin pada HHS

cukup untuk mencegah lipolisis dan ketogenesis (Kitabchi et al., 2009).

Gambar 1. Patogenesis HHS (Pasquel dan Umpierrez, 2014)

7
2.4 Faktor Risiko dan Pemicu

Faktor pemicu HHS yang tersering adalah infeksi. Faktor lain di antaranya

adalah penghentian terapi insulin, terapi insulin yang tidak adekuat, pankreatitis,

infark miokard, kejadian serebrovaskular, dan obat-obatan (Kitabchi et al.,

2009).HHS sering terjadi pada pasien-pasien usia lanjut dengan diabetes tipe 2.

Penyakit-penyakit lain seperti stroke, infark myokard, dan trauma membatasi

akses pasien ke air dan memicu pelepasan hormon-hormon kortisol,

katekolamin, serta glukagon. Keterbatasan intake air pada pasien-pasien yang

tirah baring lama akan diperburuk oleh respon haus yang berubah pada pasien.

Obat-obatan tertentu juga dapat memicu HHS, misalnya glukokortikoid, thiazide,

dan phenytoin (Pasquel dan Umpierrez, 2014).

2.5 Penegakan Diagnosis

2.5.1 Anamnesis

Pasien dengan HHS umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai

DM, dan pasien tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat

hipoglikemik oral. Keluhan pasien HHS adalah: rasa lemah, gangguan

penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah.

Kadang pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,

hemiparesis, kejang, atau koma (Soewondo, 2014).

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti

turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas

yang dingin, hipotensi dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula

ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis

8
dapat pula dijumpai distensi abdomen yang membaik setelah rehidrasi adekuat

(Soewondo, 2014). Meskipun defisit elektrolit yang berat dan penurunan volume

cairan tubuh, khas pada HHS, pasien mungkin tidak terlihat seperti dehidrasi

karena hipertonisitas mengakibatkan preservasi volume intravaskular

(menyebabkan pergerakan air dari intraseluler ke kompartemen ekstraseluler)

(Scott AR,2015).

Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai

koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung

dengan osmolaritas efektif serum. Koma dapat terjadi saat osmolaritas serum

mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350mmol/kg). Kejang ditemukan pada

25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal maupun mioklonik. Dapat

juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit cairan

(Soewondo, 2014).

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Secara klinis HHS akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil

laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton, dan analisis gas darah belum

ada hasilnya (Soewondo, 2014).Evaluasi laboratorium awal pada pasien dengan

kecurigaan HHS di antaranya adalah glukosa plasma, blood urea nitrogen,

kreatinin serum, keton serum, elektrolit, osmolalitas, urinalisis, keton urin dengan

dipstik, analisis gas darah, dan hitung darah lengkap. HbA1c mungkin berguna

untuk membedakan hiperglikemia kronik yang tidak terkontrol dari dekompensasi

metabolik akut pada pasien dengan DM yang terkontrol (Gosmanov et al., 2015).

Pemeriksaan keton merupakan salah satu pembeda antara HHS dengan

DKA. Pengukuran keton serum memiliki banyak kelebihan dibandingkan keton

urin, yaitu lebih akurat dan kuantitatif. Benda keton yang diukur pada pengukuran

keton urin adalah asetoasetat, sedangkan pada keton serum adalah 3-beta-

9
hidroksibutirat. Pada kasus DKA, rasio 3-beta-hidroksibutirat : asetoasetat

meningkat dari 1:1 menjadi 5:1. Selain itu, diuresis osmotik akibat hiperglikemia

mengakibatkan dilusi dari keton urin yang diukur. Oleh karena itu, pengukuran

keton urin dapat menggambarkan tingkat keparahan DKA yang lebih rendah dari

sebenarnya (Brewsteret al., 2017).

Selain itu, sampel urin yang sebelumnya telah ditampung dalam kandung

kemih selama beberapa jam tidak akan menggambarkan kondisi saat ini pada

pengukuran keton urin. Obat-obatan tertentu juga dapat mengaburkan hasil

keton urin. Obat-obatan yang mengandung grup sulphydryl seperti captopril dan

levodopa dapat menyebabkan hasil positif palsu. Kemudian vitamin C dapat

menyebabkan hasil negatif palsu(Brewsteret al., 2017).

Kadar kalium darah dapat meningkat sebagai akibat dari perpindahan

kalium dari intrasel ke ekstrasel dikarenakan kurangnya insulin dan

hipertonisitas. Osmolalitas serum efektif dapat dihitung dengan rumus berikut

(Kitabchi, et al., 2009):2 Na (mEq/L) + glukosa (mg/dL)/18.

Kriteria diagnosis HHS berdasarkan American Diabetes Association adalah

sebagai berikut(Pasquel dan Umpierrez, 2014):

1. Glukosa plasma >600 mg/dL

2. Osmolalitas serum efektif >320 mOsm/L

3. pH darah arteri >7,30

4. Bikarbonat serum >18 mEq/L

5. Keton urin atau serum negatif atau sedikit

6. Penurunan kesadaran

10
Gambar 2 Kriteria diagnosis dan perbandingan HHS dan DKA berdasarkan
American Diabetes Association (2004) (Kitabchi et al., 2009)

2.6 Tatalaksana

Terapi Cairan

Penggantian cairan merupakan hal yang terpenting dalam

penatalaksanaan HHS. Jika terjadi hipovolemia, pemberian cairan sebaiknya

dimulai dengan normal saline 0,9%. Jika tidak terjadi hipovolemia, saline 0,45%

lebih dianjurkan untuk penggantian cairan awal karena cairan tubuh pasien

bersifat hiperosmolar. Sebanyak 4-6 liter cairan mungkin diperlukan dalam 8-10

jam pertama (Stephen et al., 2011). Pemberian normal saline 0,9% 15-20

mL/kgBB dianjurkan dalam 1-2 jam, diikuti dengan 250-500 mL/jam hingga

resolusi krisis hiperglikemia (Pasquel dan Umpierrez, 2014).

11
Gambar 3 Tatalaksana pasien HHS (Kitabchi et al., 2009)

Hanya dengan pemberian cairan, konsentrasi glukosa darah akanmenurun,

bahkan sebelum insulin diberikan.Hal ini disebabkan oleh penurunan hormon

kounter regulasi dan membaiknya perfusi ginjal (Pasquel dan Umpierrez, 2014).

Hal inidapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapicairan yang

diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidakbisa diturunkan sebesar 75-100

mg/dL tiap jam, hal inibiasanya menunjukkan penggantian cairan yang

kurangatau gangguanginjal (Soewondo, 2014).

Ketika glukosa darah mencapai nilai 300 mg/dL, penggantian cairan

sebaiknya menggunakan dekstrosa 5% dalam air, saline 0,45%, atau saline

0,9%. Kadar glukosa darah harus dipertahankan pada level 250-300 mg/dL untuk

mengurangi risiko edema otak. Hasil akhir yang diharapkan dari terapi cairan

12
adalah mengembalikan output urin sebesar 50 mL/jam atau lebih (Pasquel dan

Umpierrez, 2014; Stephen et al., 2011).

Terapi Insulin

Rehidrasi akan menurunkan glukosa plasma pada awalnya, tetapi infus

insulin juga dibutuhkan. Pertama, insulin diinjeksikan dengan dosis 0,1 U/kgBB,

kemudian diikuti dengan infus insulin dengan kecepatan 0,1 U/kgBB/jam.Selain

itu dapat juga langsung diberikan infus insulin dengan kecepan 0,14 U/kgBB/jam

tanpa injeksi terlebih dahulu.Jika kadar glukosa darah tidak turun sebesar 50

mg/dL dari nilai awal dalam 1 jam, maka kecepatan infus insulin dapat dinaikkan

dua kali lipat setiap jam hingga kadar glukosa darah turun 50-75 mg/jam.Ketika

kadar glukosa darah mencapai 300 mg/dL, kecepatan infus insulin dapat

diturunkan menjadi 0,05-0,1 U/kgBB/jam dan dextrosa 5% atau 10% dapat

ditambahkan sebagai cairan intravena (Fauci et al., 2008; Kitabchi et al., 2004).

Pemberian insulin dapat dilakukan melalui infus intravena atau dengan

injeksi subkutan atau intramuskular. Pemberian insulin dengan infus lebih dipilih

karena waktu paruh lebih pendek dan lebih mudah untuk melalukan titrasi

dibandingkan dengan insulin subkutan yang memiliki onset lebih lambat dan

waktu paruh lebih panjang. Studi oleh Menzel dan Jutzi (1970) menunjukkan jika

pemberian insulin melalui subkutan secara reguler lebih lambat dalam

menurunkan kadar glukosa darah dibandingkan insulin intravena. Perbedaan ini

disebabkan konsentrasi insulin mencapai puncak dalam satu jam pertama

pemberian melalui jalur intravena, dibandingkan melalui jalur subkutan yang

membutuhkan waktu 2 hingga 3 jam (Umpierrez et al., 2004).

Pasien dengan HHS harus ditangani dengan insulin intravena hingga krisis

hiperglikemik teratasi. Kriteria resolusi HHS adalah jika osmolalitas plasma dan

status mental pasien telah normal. Ketika itu terjadi, insulin subkutan dapat

13
dimulai. Untuk mencegah rekurensi hiperglikemia, penting untuk memulai insulin

subkutan sambil menurunkan dosis insulin intravena selama 1-2 jam (Kitabchi et

al., 2009).

Terapi Kalium

Terapi insulin dan ekspansi volume cairan akan menurunkan konsentrasi

kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah

level serum turun di bawah 5-5,2 mEq/L. Tujuan terapi adalah untuk

mempertahankan level kalium pada rentang normal (4-5 mEq/L). Secara umum,

20-30 mEq kalium per liter cairan infus cukup untuk mempertahankan kadar

kalium pada rentang normal. Apabila kadar kalium serum pasien berada pada

level <3,3 mEq/L, maka pemberian terapi insulin harus ditunda. Pasien harus

diberikan kalium 20-30 mEq tiap jam hingga kadar kalium >3,3 mEq/L sehingga

insulin dapat diberikan(Kitabchi et al., 2009;Kitabchi et al., 2004).

2.7 Diagnosis Banding

HHS dapat dibedakan dari DKA apabila dilihat dari gejala klinis dan hasil

laboratorium. Selain itu, DKA cenderung memiliki onset dalam hitungan jam

sementara HHS biasanya baru muncul dalam hitungan hari dan akibat yang

ditimbulkan, yaitu dehidrasi dan gangguan metabolisme yang biasanya lebih

ekstrim. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya HHS dan DKA secara

bersamaan. Beberapa pasien memiliki hipertonisitas berat disertai ketosis dan

asidosis(Scott AR,2015).

14
2.8 Pencegahan

Sebagian besar kasus HHS dapat dicegah dengan cara edukasi pasien

dengan baik dan komunikasi efektif dengan penyedia pelayanan kesehatan di

saat menderita suatu penyakit. Pasien harus diberikan edukasi mengenai

pentingnya penggunaan insulin di saat sakit (Kitabchi et al., 2009). Hal yang

harus diperhatikan dalam pencegahan adalahperlunya penyuluhan mengenai

pentingnya pemantauankonsentrasi glukosa darah dan compliance yang

tinggiterhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yangjuga perlu diperhatikan

adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika pasein tinggal sendiri, teman

atauanggota keluarga terdekar sebaiknya secararutinmenengok pasien untuk

memperhatikan adanyaperubahan status mental dan kemudian

menghubungidokter jikahal tersebut ditemui. Padatempat perawatan, petugas

yang terlibatdalam perawatan harus diberikan edukasi yang memadaimengenai

tanda dan gejala HHS dan juga edukasimengenai pentingnyaasupan cairan yang

memadai danpemantauan yang ketat (Soewondo, 2014).

2.9 Komplikasi

Komplikasi tersering dari HHS adalah hipoglikemia akibat terapi insulin

yang berlebih, hipokalemia akibat pemberian insulin, dan hiperglikemia akibat

penghentian penggunaan insulin intravena setelah pemulihan tanpa penggunaan

insulin subkutan sebagai terapi lanjutan (Kitabchi et al., 2004). Komplikasi dari

terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskuler, infark miokard, low-flow

syndrome, disseminated intravascular coagulopathy dan rabdomiolosisis.

Overhidrasi dapat menyebabkan respiratory distress syndrome dan edema

15
serebri yang jarang ditemukan namun fatal pada anak-anak dan dewasa

muda(Soewondo, 2014).

2.10 Prognosis

Prognosis pasien dengan HHS biasanya buruk, tetapi sebenarnya

kematian pasien bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh

penyakit yang mendasari atau menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-

50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama lematian adalah infeksi,

usia lanjut dan osmolaritas darah yangsangat tinggi. Di negara maju, angka

kematian dapat ditekan menjadisekitar 12% (Soewondo, 2014).

16
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. Baeti

Tanggal lahir : 05 Juli 1945

Umur : 74 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Tangkilisan A-B RT 12/12 Pakis

Pekerjaan : Ibu tumah tangga

Status : Menikah

Agama : Islam

No. Register : 11351075

Tempat perawatan : R. 26 HCU

3.2 Anamnesis (14-12-2017)

Heteroanamnesis

Keluhan utama: Penurunan kesadaran

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk

rumah sakit. Kelarga pasien mengatakan, pasien sulit untuk dibangunkan. Pasien

masih bisa diajak biacara 1 hari sebelumnya. Pasien juga memiliki riwayat jatuh,

kelemahan tubuh bagian kanan, dan cara bicara yang tidak jelas sejak 2 bulan

sebelum masuk rumah sakit. Namun pasien tidak datang ke dokter melainkan

datang ke pengobatan alternatif.

17
Pasien juga mengalami mual muntah sejak 2 hari sebelum masuk rumah

sakit. Pasien mengalami penurunan nafsu makan sejak 2 bulan sebelum masuk

rumah sakit. Pasien hanya makan 3 sendok bubur 2 kali sehari.

Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Pasien

mengalami penurunan berat badan, sering BAK, dan sering haus. Keluarga

pasien lupa gula darah terakhir pasien. Pasien mendapatkan terapi insulintetapi

obat terapi tidak rutin dipakai. Riwayat hipertensi tidak diketahui.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun sebelum masuk rumah

sakit. Telah mendapatkan terapi insulin dan obat terapi tidak rutin dipakai.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit yang sama dengan pasien, DM

(-) hipertensi (-) Hepatitis (-), penyakit hepar (-)

Riwayat Sosial

Pasien adalah ibu rumah tangga. Tinggal bersama suami dan memiliki 6 orang

anak.

18
3.3 Pemeriksaan Fisik

Tekanan Darah = Nadi = 95 kali per menit, RR = 18 kali per Tax : 36,7°C

115/74 mmHg on drip regular menit

NE 1,28 mg/menit

Keadaan umum tampak sakit berat GCS 211

Kepala Konjungtiva anemis (-) Sklera ikterus (-)

Leher JVP R + 2 cmH2O 30 derajat, pembesaran KGB (-)

Thorax Jantung: Iktus tampak dan teraba di ICS V Sinistra

S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru: Simetris, Stem Fremitus D=S

ss v v Rhonki - - Wheezing - -

ss vv - - - -

ss vv - - - -

Abdomen Soefl, liver span 8 cm, traube space tymphani, bising usus (+)

normal, shifting dullness (-), turgor >2detik

Ekstremitas Edema -/-, Akral dingin (-)

Pemeriksaan Neurologis

Meningeal sign Nuchal rigidity (-), Kernig’s sign (-), Brudzinski 1 (-)
Brudzinski 2 (-) Brudzinski 3 (-) Brudzinski 4 (-)
Motoric Tonus otot menurun, lateralisasi dextra
Sensorik Susah dievaluasi
Reflex Patologis Fisiologis
B +/+ TPR 0/0
C +/- KPR 0/0
O +/+ APR 0/0
G -/-
S -/-

19
3.4 Pemeriksaan Penunjang (13/12/2017)

Hematologi

Lab Value Lab Value

Hemoglobine 16,7 11,4-15,1 APTT

g/dl Pasien 21,60 detik 24,6-30,6

Kontrol 26,5 detik

Eritrocyte 4,78 x 106 4,0-5,5/µL SGOT 112 0-40U/L

Leukocyte 10.850 3.700- SGPT 27 0-41 U/L

10.100/µL

Hematocrite 51,9 40-47 % Albumin 3,25 3,5-5,5 g/dL

Trombocyte 278.000 155.000- Ureum 96,9 16,6-48,5 mg/dL

366.000/µL

MCV 88,6 81,1-96,0 fL Creatinin 3,03 <1,2 mg/dL

MCH 28,5 27,0-31,2 pg Natrium 164 136-146 mmol/L

Eu/Bas/Neu/ 0/0,1/82,4/15 0-4/0-1/51- Kalium 3,44 3,5-5 mmol/dL

Lim/Mo ,9/1,6 67/25-33/2-5


BUN 45,22 7 – 20 mg/dL
%

PTT GDS 870 <200

Pasien 10,50 detik 9,4-11,3


Osmolalitas 376,3 285-295 mOsm/kg
Kontrol 10,1 detik

20
Urinalisis (13/12/17)

Lab Value Lab Value

Warna Agak keruh, kekuningan 10 x

SG 1,015 Epitel 12 LPK

pH 5,5 Silinder Negatif

Glukosa 3+ 40 x

Protein 2+ Eritrosit 50 LPB

Keton Negatif Eumorfik 15%

Bilirubin - Dismorfik 85%

Urobilinogen 1+ Leukosit 35

Nitrit - Kristal -

Leukosit 2+ Bakteri 4730,4x103/ml

Darah 3+

BGA (13/12/2017)

pH 7.37 7.35-7.45

PCO2 19,2 35 – 45 mmHg

PO2 277,8 (64,82) 80 – 100 mmHg

HCO3 11,2 21 – 28 mmol/L

O2 sat Art 99,8 > 95 %

BE -14,3 (-3) - (+3) mmol/L

Kesimpulan: Alkalosis respiratorik terkompensasi penuh

21
EKG (13/12/2017)

EKG

Sinus rhytm, heart rate 126 bpm

Frontal Axis : Normal

Horizontal Axis : Normal

PR interval : 0.12 detik

QRS complex : 0.04 detik

QT interval : 0.32 detik

Kesimpulan: Sinus rhytm with HR 126 bpm

22
Foto Thorax (29/8/2017)

 Posisi AP, asimetris, KV cukup, kurang inspirasi

 Trakea di tengah

 Jaringan lunak dan tulang tampak normal

 Hemidiafragma D/S (dome shape/dome shape)

 Sudut costofrenikus D/S (tajam/tajam)

 Pulmo : bronchovesicular pattern normal, infiltrat (-)

 Cor : lokasi N, bentuk N, pinggang jantung (+), CTR 42%

23
No CUE&CLUE PL IDx PDx PTx P.Mo& P.Edu

1. Perempuan / 74 tahun 1. DOC 1.1. Hyperglicemia CT Scan  Bed rest GDS/jam


Subjektif:
crisis kepala  O2 NRBM 8-10 lpm SE/4jam
Pasien mengalami penurunan
kesadaran sejak 1 hari SMRS.
1.2. CVA  Puasa sementara GCS

Pasien tidak dapat dibangunkan 1.2.1. hemorrhagic  IV Line


dari tidur,
1.2.2. thrombosis Line 1: drip insulin 50 U
Objektif:
dalam 50 cc NS
Pemeriksaan Fisik:
Jika GDS> 300 mg/dl, drip
Keadaan umum: tampak sakit
berat. insulin 5 U/jam
GCS: 211
Jika GDS 200-250 mg/dl,
BP = 115/74 mmHg on drip NE
drip insulin 2,5 U/jam
PR = 95 bpm
RR = 18 tpm jika GDS 150-200 mg/dl,
Tax : 36.7°C
drip insulin 1 U/jam dalam

D51/2 NS
Ext: lateralisasi dextra,
Babinsky, chadok, Oppenheim Line 2: drip Wida KN 2 20
(+)
tpm
Lab: GDS: 870 mg/dl

24
jika K>5,2 mmol/L drip

stopped

Jika K<3,3 mmol/L drip

insulin dihentikan

sementara

Line 3: Total rehidrasi 1000

cc in RS sebelumnya +

1500 cc di IGD.

FWD 3,9 L + UOP 350 cc +

IWL 500 cc = 4750 cc/48

jam = D5% 98cc/jam

2. Perempuan/ 74 tahun 2. Krisis 2.1 HHS Serum  Bed rest GDS/jam


Subjektif:
Hiperglikemia 2.2 KAD mixed keton  O2 NRBM 8-10 lpm SE/ 4 jam
Penurunan kesadaran sejak 1
hari SMRS, tidak dapat
HHS  Puasa sementara BGA/6 jam

dibangunkan.  IV Line
Riwayat DM (+) penurunan

25
berat badan, sering BAK dan Line 1: drip insulin 50 U
haus (+)
dalam 50 cc NS

Jika GDS> 300 mg/dl, drip


Objektif:
GCS: 221 insulin 5 U/jam
Turgor >2 detik
Jika GDS 200-250 mg/dl,

drip insulin 2,5 U/jam


Hasil Laboratorium:
GDS: 870  328 mg/dl jika GDS 150-200 mg/dl,
Na: 164 mmol/L
drip insulin 1 U/jam dalam
BUN: 45,22 mg/dL
D51/2 NS
Osm: 376,3 mOsm/kg
Anion gap: 28,8 Line 2: drip Wida KN 2 20
BGA
tpm
pH 7,37
jika K>5,2 mmol/L drip
HCO3 11,2
Urinalisis: stopped
Keton: negatif
Jika K<3,3 mmol/L drip
Glukosa +3
insulin dihentikan

sementara

26
Line 3: Total rehidrasi 1000

cc in RS sebelumnya +

1500 cc di IGD.

FWD 3,9 L + UOP 350 cc +

IWL 500 cc = 4750 cc/48

jam = D5% 98cc/jam

3. Perempuan/ 74 tahun 3. Syok Hipovolemic - - Line 3: Total rehidrasi 1000 GCS


Subjektif:
cc in RS sebelumnya + TD
Mual dan muntah sejak 2 hari
1500 cc di IGD. Nadi
SMRS. Pasien tidak makan dan
minum sejak 2 hari. FWD 3,9 L + UOP 350 cc +

IWL 500 cc = 4750 cc/48


Objektif:
jam = D5% 98cc/jam
Pemeriksaan fisik:
TD = 115/74 mmHg on drip NE
N = 95 x/menit
RR = 18 x/menit
Tax = 36,7 °C
Abdomen: turgor >2 detik
Ekstremitas: akral dingin

27
Hasil laboratorium:
Hb: 16,7 g/dl
Hct: 51,9%
Leu: 10.850 ul

4. Perempuan/74 tahun 4. Hipernatremia dt - - Rehidrasi Natrium post


Subjektif:
dehidrasi FWD 3,9 L + UOP 350 cc + koreksi
Mual dan muntah sejak 2 hari
IWL 500 cc = 4750 cc/48
SMRS. Pasien tidak makan dan
minum sejak 2 hari. jam = IVFD D5% 98cc/jam
Objektif:
Na:164 mmol/L

5. Perempuan/ 74 tahun 5. Azotemia renal 5.1. Diabetic Fundusc Total rehidrasi 1000 cc in Ur/Cr post
Subjektif:
kidney disease opy RS sebelumnya + 1500 cc rehidrasi
Riwayat DM sejak 10 tahun
5.2. ATN dt vol di IGD.
SMRS
depletion
Objektif
Ur/Cr: 96,9/3,03 mg/dl
BUN/Cr 14,94
eGFR 13 ml/min/1,73m2

28
Urinalisis:
Protein 2+
Leukosit 2+
Darah 3+
40x
Eritrosit 50/hpf
Eumorfik 15%
Dismorfik 85%
Leukosit 35/hpf

6. Perempuan/74 tahun 6. Mual dan muntah 6.1 Diabetic - Inj. Lansoprazole 1x30 mg Mual dan muntal
Subjektif:
gastroparese Inj. Metoclopramide 3x10
Mual dan muntah sejak 2 hari
6.2 PUD mg
SMRS. Pasien tidak makan dan
minum sejak 2 hari.
Riwayat DM sejak 10 tahun
SMRS

7. Perempuan/74 tahun 7. Geriatric problem - - Puasa sementara Ulcer decubitus


Subjektif:
(imobilisasi, Proper positioning/2 jam
Mual dan muntah sejak 2 hari
kelemahan)
SMRS. Pasien tidak makan dan

29
minum sejak 2 hari.
Riwayat DM sejak 10 tahun
SMRS
Penurunan kesadaran sejak 1
hari SMRS, tidak dapat bangun
dari tidur,
Objektif:
Keadaan umum: tampak sakit
berat
GCS 211

30
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis

Pasien HHS biasanya adalah pasien usia lanjut dengan riwayat DM tipe 2

dengan riwayat poliuri, penurunan berat badan, dan intake oral menurun yang

akhirnya menimbulkan kebingungan, letargi, hingga koma. Pemeriksaan fisik

menunjukkan adanya dehidrasi berat, hiperosmolalitas, takikardi, dan perubahan

status mental.

Kelainan laboratorium yang paling mencolok adalah hiperglikemia yang

signifikan (dapat lebih dari 1000 mg/dL), hiperosmolalitas (> 350 mOsm/L), dan

azotemia prerenal. (Fauci et al., 2008). Kriteria diagnosis HHS yang digunakan

saat ini adalah level glukosa plasma > 600 mg/dl dan osmolalitas plasma efektif >

320 mOsm/kg tanpa adanya ketoasidosis, dengan penurunan kesadaran

(stupor/koma) (Pasquel dan Umpierrez, 2014).

Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 74 tahun dibawa ke IGD RSSA

karena penurunan kesadaran bertahap sejak 1 hari sebelumnya. Pasien memiliki

riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun sebelum masuk rumah sakit. Telah

mendapatkan terapi insulin dan obat terapi tidak rutin dipakai. Pasien mengalami

penurunan berat badan, sering BAK, dan sering haus. Keluarga pasien lupa gula

darah terakhir pasien. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan GCS 221. Bibir tampak

kering dan turgor kulit kembali lambat, tanda bahwa pasien dehidrasi. Hasil

pemeriksaan darah vena didapatkan GDS 870 mg/dL, peningkatan ureum (96,9

mg/dL), peningkatan kreatinin (3,03 mg/dL), peningkatan SGOT (112 U/L),

hipernatremia (164 mmol/L), dan hipokalemia ringan (3,44 mmol/L). Hasil analisis

31
gas darah menunjukkan adanya alkalosis respiratorik terkompensasi dengan pH

7,37 dan HCO3 11,2. Hasil urinalisis menunjukkan Protein (2+), Leukosit (2+),

Darah (3+), dan Keton (-).

Gambar 2 Kriteria diagnosis HHS pada pasien

Kriteria diagnosis laboratorium HHS terpenuhi pada pasien ini. Pasien

mengalami penurunan kesadaran. Kadar glukosa darah pasien 854 mg/dL, yang

sudah melebihi batas 600 mg/dL. pH arteri 7,37, sesuai dengan kriteria di mana

pH > 3,0. Serum bikarbonat yang ditemukan pada pasien in adalah 11,2 yang

kurang cocok dengan kriteria HHS. Keton urin ditemukan negatif, keton serum

belum diperiksa dan akan menjadi rencana pemeriksaan selanjutnya.

Osmolalitas serum efektif pada pasien, jika dihitung menggunakan rumus 2 x Na

+ (glukosa/18), adalah 376,3, yang sudah melebihi batas 320 mOsm/kg. Pada

pasien ini didapatkan anion gap sebesar 28,8. Pasien memiliki faktor risiko HHS

yaitu penghentian terapi insulin dan usia lanjut. Pasien didiagnosis HHS dengan

diganosis banding KAD mixed HHS.

4.2 Tatalaksana

Berdasarkan teori, penggantian cairan harus dilakukan untuk stabilisasi

status hemodinamik pasien yaitu dengan memberikan 1-3 L normal saline pada

32
2-3 jam pertama (Fauci et al, 2008), atau 15-20 ml/kgBB/jam (Miles dan Fisher,

2009). Setelah hemodinamik stabil, cairan yang dimasukkan untuk membalikkan

free water deficit adalah dengan cairan hipotonis (normal saline 0,45% lalu D5%).

Menurut Kitabchi dan kawan-kawan, 2009, cairan yang dipilih untuk manajemen

HHS adalah NS 0,45% yang kemudian diganti dengan D5% dalam air, NS

0,45%, atau NS 0,9% setelah GDS mencapai 300 mg/dL.Rata-rata defisit (9-10

L) harus dikembalikan pada 1-2 hari berikutnya, dengan kecepatan infus 200

ml/jam (Fauci et al., 2008).

Pada pasien ini, telah diberikan 2.500 cc normal saline pada 2 jam pertama

yang diberikan 1.000 cc oleh RS sebelumnya dan 1.500 cc di IGD RSSA.

Penghitungan langkah rehidrasi selanjutnya dilakukan dengan menjumlah free

water deficit, yang dihitung pada pasien ini dengan estimasi berat badan sebesar

50 kg, sebesar 3,9 L dengan tambahan urine output sebesar 350 cc serta

insensible water loss sebesar 500 cc. Total rehidrasi yang akan dilakukan pada 2

hari MRS pada pasien adalah 4.750 cc menggunakan D5%. Jika mengacu pada

guideline krisis hiperglikemia yang dikeluarkan oleh ADA (Kitabchi, et al., 2009),

cairan yang diberikan seharusnya tidak hanya dengan D5% saja tetapi dicampur

dengan NS 0,45% atau NS 0,9% jika GDS pasien sudah mencapai 300 mg/dL

dengan kecepatan 150 - 250 mL/jam. Pada saat masuk ruangan, GDS pasien

yang dicek menggunakan POCT adalah 328 mg/dL.

Pasien dengan HHS harus ditangani dengan insulin intravena hingga krisis

hiperglikemik teratasi. Pertama, insulin diinjeksikan dengan dosis 0,1 U/kgBB

diikuti dengan insulin drip. Kecepatan insulin drip konstan pada 0,1 U/kg/jam.

Jika glukosa serum tidak turun, maka kecepatan infus dinaikkan dua kali lipat.

Infus insulin harus dilanjutkan hingga pasien dapat makan dan menggunakan

insulin subkutan (Fauci et al., 2008).

33
Pada pasien ini diberikan drip insulin short acting 5 IU/jam dalam 50 cc

NS 0,9%, karena berat badan pasien diperkirakan 50 kg, dengan monitoring

GDS/jam. Setelah GDS mencapai 250-300 mg/dL, kecepatan drip diturunkan

menjadi 2,5 IU/jam, dan jika GDS mencapai ≤ 200 mg/dL, drip diturunkan

menjadi 0,5-1 IU/jam. Pada pasien ini dilakukan monitoring GDS setiap jam,

sesuai dengan guideline ADA 2009 yang menyarankan untuk monitoring GDS

setiap 2-4 jam.

Kriteria resolusi HHS adalah jika osmolalitas plasma dan status mental

pasien telah normal. Ketika itu terjadi, insulin subkutan dapat dimulai (Miles dan

Fisher, 2009).Setelah HHS membaik, insulin diganti ke subkutan, dengan

multidose regiment yaitu long acting insulin (Levemir) 0-0-10 U dan rapid acting

insulin (Novorapid) 6 x 2 U sebelum makan (diet DM cair 6 x 200 cc). Selama 1-2

jam penggantian insulin intravena menjadi subkutan, drip insulin tetap dijalankan

untuk menjaga kecukupan kadar insulin darah (Kitabchi, et al., 2009).

Terapi insulin dan ekspansi volume cairan akan menurunkan konsentrasi

kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalsium dimulai

setelah level serum turun di bawah 5-5,2 mEq/L. Tujuan terapi adalah untuk

mempertahankan level kalium pada rentang normal (4-5 mEq/L). Secara umum,

20-30 mEq kalium per liter cairan infus cukup untuk mempertahankannya

(Kitabchi et al., 2009; Kitabchi et al., 2004). Pada pasien ini, diberikan drip Wida

KN 2 dengan kecepatan 20 tpm untuk mencegah hipokalemia dan dilakukan cek

serum elektrolit (SE) setiap 4 jam untuk monitoring. Jika K > 5,2 mmol/L,

hentikan drip WIDA KN 2 tetapi lanjutkanmonitoring SE. Jika K< 3,3 mmol/L, drip

insulin dihentikan sementara hingga K > 3,3 mmol/L.

34
BAB V

PENUTUP

Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah sindroma yang dicirikan

dengan hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi tanpa adanya

ketoasidosis. Pasien dengan HHS umumnya berusia lanjut, belum diketahui

mempunyai DM, dan pasien tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat

hipoglikemik oral. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi

berat dan peningkatan suhu tubuh. Saat ini, diagnosis HHS mengacu pada

Kriteria diagnosis yang dikeluarkan oleh American Diabetes Association (2009)

yaitu: Glukosa plasma >600 mg/dL, Osmolalitas serum efektif >320 mOsm/L, pH

darah arteri >7,30, Bikarbonat serum >18 mEq/L, keton urin atau serum negatif

atau sedikit, dan penurunan kesadaran. Terapi yang diberikan pada kondisi HHS

adalah rehidrasi, pemberian insulin intravena, dan peberian kalium untuk

mencegah hipokalemia. Volume deplesi dan hiperglikemia adalah kunci dari

HHS, maka pengawasan ketat terhadap status hidrasi dan kecepatan infus

insulin dari pasien sangat penting.

35
DAFTAR PUSTAKA

Buraerah, Hakim. 2010. Analisis Faktor RisikoDiabetes Melitus tipe 2 di

PuskesmasTanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional

Brewster, S., Curtis, L., & Poole, R. (2017). Urine versus blood ketones. Practical

Diabetes, 34(1), 13-15.

Carmody dan Philipson. 2015. “Hyperglycemic Crisis and Hypoglycemia”

dalamHall, J.B., Schimd, G.A., dan Kress, J.P (eds). Principles of Critical

Care 4th edition. China: McGraw and Hill Education.

Fauci, AS., Kasper, DL., Longo, DL., Braunwald, E., Hauser, SL., Jameson, JL,

Loscalzzo, J. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.

Boston: McGraw-Hill. 7108:9.

Gosmanov, A.R., Gosmanova, E.O. and Kitabchi, A.E., 2015. Hyperglycemic

crises: diabetic ketoacidosis (DKA), and hyperglycemic hyperosmolar

state (HHS).In: De Groot LJ, Chrousos G, Dungan K, et al., editors.

Endotext [Internet]. South Dartmouth (MA): MDText.com, Inc.; 2000-.

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279052/

Larsen et,al. 2003.Williams Textbook of Endocrinology, 10th ed. Elsevier.

Kitabchi, A.E., Umpierrez, G.E., Murphy, M.B., Barrett, E.J., Kreisberg, R.A.,

Malone, J.I., Wall, B.M. and American Diabetes Association, 2004.

Hyperglycemic crises in diabetes. Diabetes care, 27, p.S94.

Kitabchi, A.E., Umpierrez, G.E., Miles, J.M. and Fisher, J.N., 2009.

Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes. Diabetes care, 32(7),

pp.1335-1343.

36
Miles JM, Fisher JN. 2009. Hyperglycemic crises in adult patientswith diabetes.

Diabetes Care32:1335-43.

Pasquel, FJ., Umpierrez, GE. 2014. Hyperosmolar Hyperglycemic State: A

Historic Review of the Clinical Presentation, Diagnosis, and Treatment.

Diabetes Care 37: 3124-31.

Soewondo, P., dalam PAPDI. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi

VI.

Stephen, J., Papadakis, M. and Rabow, M.W., 2011. Current medical diagnosis

and treatment.

Scott AR. 2015. Management of Hyperosmolar Hyperglycaemic State

inAdultswith Diabetes. Diabet. Med; 32: 714–724.

Umpierrez, G. E., Cuervo, R., Karabell, A., Latif, K., Freire, A. X., & Kitabchi, A.

E. 2004. Treatment of diabetic ketoacidosis with subcutaneous insulin

aspart. Diabetes care, 27(8), 1873-1878.

37

Anda mungkin juga menyukai