Oleh :
Nurul Cholifah Lutfiana
115070100111038
Nian Nikmah
115070100111060
PPDS Pembimbing:
dr. Muhammad Rodli
Supervisor
dr. Wiwi Jaya, Sp.An-KIC
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
menimbulkan syok hipovolemik yang akan menyebabkan gagal organ dan kematian.
Untuk itu diperlukan penanganan yang cepat dan tepat dalam rehidrasi.
1.3 Tujuan
hal
pelaksanaan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
penegakan
diagnosis,
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Secara definisi, dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air di dalam
tubuh karena hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat, atau
kombinasi keduanya (Mentes et al., 2013). Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air
lebih banyak daripada jumlah yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai
dengan hilangnya elektrolit. Pada dehidrasi terjadi keseimbangan negatif cairan tubuh
akibat penurunan asupancairan dan meningkatnya jumlah air yang keluar (lewat
ginjal, saluran cerna atau insensible water loss/IWL), atau karena adanya
perpindahan cairan dalam tubuh. Berkurangnya volume total cairan tubuh
menyebabkan penurunan volume cairan intrasel dan ekstrasel. Manifestasi klinis
dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi volume cairan intravaskuler. (Leksana,
2015).
2.2 Epidemiologi
Diare pada anak merupakan penyebab 3 juta kunjungan dokter, 220.000
rawar inap, dan 400 kematian anak setiap tahunnya. Anak kurang dari 5 tahun
merupakan kelompok risiko tertinggi terserang diare. Rata-rata anak bawah lima tahun
di Amerika Utara terkena 2 episode serangan gastroenteritis setiap tahunnya. Diare ini
akan menyebabkan dehidrasi yang berkontribusi pada sekitar 4 juta kematian per
tahun pada bayi dan anak-anak (Brandt et al, 2015).
Prognosis akan baik jika anak-anak tersebut ditangani dengan cepat dan tepat.
Akan tetapi, anak dengan dehidrasi berat dan syok hipovolemik bisa terkena
moebiditas dan mortalitas yang signifikan bila tatalaksana ini tertunda. Mortalitas dan
morbiditas yang terjadi bergantung pada derajat keparahan dehidrasi dan ketepatan
pemberian rehidrasi oral dan intrevena. Jika tatalaksana bisa diberikan dengan cepat
dan tepat, maka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh dehidrasi menjadi
rendah.
Gastroenteritis.
Diare adalah etiologi paling sering. Pada diare yang disertai muntah,
dehidrasi akan semakin progresif. Dehidrasi karena diare menjadi penyebab
utama kematian bayi dan anak di dunia. Rotavirus merupakan penyebab
tersering dehidrasi dan penyakit diare berat pada bayi dan anak-anak. (Koster
et al, 2016)
Demam.
Demam dapat meningkatkan IWL dan menurunkan nafsu makan (Huang,
2015)
Gastroenteritis
Diabetic Ketoasidosis
Luka Bakar: Kehilangan cairan pada kondisi luka bakar sangat ekstrem
sehingga perlu tatalaksana cairan yang sangat agresif
Heat Stroke: pada heat stroke bisa terjadi hiperpireksia, kulit kering, dan
perubahan status mental (Cheuvron et al, 2010).
Fibrosis Kistik menyebabkan kehilangan natrium dan klor yang sangat banyak
melalui keringan yang menempatkan pasien pada kondisi yang rentan terjadi
dehidrasi hiponatremia dan hipokloremia berat.
ekstraselular.
Komplikasi neurologis dapat terjadi pada kondidi hiponatremia dan
hipernatremia. Hiponatremia berat menyebabkan kejang, dimana koreksi secara
cepat koreksi hiponatremia kronik dihubunbgkan dengan central pontine myelinolysis.
Selama dehidrasi hipernatremia, air secara osmotik ditarik dari sel ke ruang
ekstraselular. Untuk mengkompensasi hal ini, sel akan menciptakan partikel aktif
secara osmotik yang menarik air kembali ke sel dan mempertahankan volume cairan
sel. Selama rehidrasi cepat hipernatremia, peningkatan aktivitas osmotik dari sel
menyebakan influks air yang besar, menyebabkan sel menjadi bengkak dan pecah;
dan menyebabkan edema serebri. Rehidrasi lambat sekitar 48 jam secara umum
meminimalisir terjadinya risiko tersebut (Guarner et al, 2011).
2.6 Klasifikasi Dehidrasi
Dehidari bisa diklasifikasikan berdasarkan osmolaritas dan keparahan. Kadar
sodium serium merupakan penanda yang baik untuk mewakili osmolaritas serum
apabila glukosa pasien dianggap normal. Berdasarkan osmolaritas, dehidrasi
dibedakan menjadi:
1. Dehidrasi isotonik (isonatremik)
Tipe ini merupakan yang paling sering (80%). Pada dehidrasi isotonik
kehilangan air sebanding dengan jumlah natrium yang hilang, dan biasanya tidak
mengakibatkan cairan ekstrasel berpindah ke dalam ruang intraseluler. Kadar.
natrium dalam darah pada dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan osmolaritas efektif
serum 275-295 mOsm/L.
2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik)
Natrium yang hilang lebih banyak daripada air. Penderita dehidrasi hipotonik
ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 135 mmol/L) dan
osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mOsml/L). Karena kadar natrium rendah,
cairan intravaskuler berpindah ke ruang ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi
cairan intravaskuler. Hiponatremia berat dapat memicu kejang hebat; sedangkan
koreksi cepat hiponatremia kronik (2 mEq/L/jam) terkait dengan kejadian
mielinolisis pontin sentral (Bettari et al, 2012).
Intake cairan, termasuk volume, tipe (hipertonik atau hipotonik), dan frekuensi
Feses, frekuensi buang air besar, konsistensi feses, adanya darah atau mukus
di feses
Demam
Pola makan
Riwayat perjalanan
Tabel 1 Derajat dehidrasi berdasarkan persentase kehilangan air dari berat badan
Derajat Dehidrasi
Bayi (<10kg)
Anak (>10kg)
Dewasa
Dehidrasi Ringan
5% atau 50 mL/kg
3% atau 30 mL/kg
Dehidrasi Sedang
6% atau 60 mL/kg
Dehidrasi Berat
9% atau 90 mL/kg
Dehidrasi Ringan
Dehidrasi Sedang
Dehidrasi Berat
Kesadaran
Sadar
Letargi
Apati
CRT
<2s
2-4s
Membran Mukosa
Normal
Kering
Keriput
Air Mata
Normal
Menurun
Tidak ada
Respiratory Rate
Normal
Meningkat
Meningkat
Tekanan Darah
Normal
Normal, hipotensi
Menurun
Nadi
Normal
Meningkat
Tidak teraba
Turgor Kulit
Normal
Melambat
Sangat Lambat
Fontanella
Normal
Cekung
Sangat Cekung
Mata
Normal
Cekung
Sangat Cekung
Urin
Menurun
Oliguria
Oliguria/Anuria
Pada dehidrasi karena muntah hebat, ondansetron efektif membantu asupan cairan
melalui oral dan mengatasi kedaruratan.
Pemberian makan segera saat asupan oral memungkinkan pada anak-anak
yang dehidrasi karena diare, dapat mempersingkat durasi diare. Susu tidak perlu
diencerkan, pemberian ASI jangan dihentikan. Disarankan memberikan makanan
tergolong karbohidrat kompleks, buah, sayur dan daging rendah lemak. Makanan
berlemak dan jenis karbohidrat simpel sebaiknya dihindari (Leksana, 2015). WHO
sejak tahun 2004 juga telah menambahkan zinc dalam panduan terapi diare pada
anak (WHO, 2014)
2.8.1 Tatalaksana Dehidrasi Derajat Ringan-Sedang
Dehidrasi derajat ringan-sedang dapat diatasi dengan efektif melalui
pemberian cairan ORS (oral rehydration solution) untuk mengembalikan volume
intravaskuler dan mengoreksi asidosis. Selama terjadi gastroenteritis, mukosa usus
tetap mempertahankan kemampuan absorbsinya. Kandungan natrium dan sodium
dalam proporsi tepat dapat secara pasif dihantarkan melalui cairan dari lumen usus
ke dalam sirkulasi. Jenis ORS yang diterima sebagai cairan rehidrasi adalah dengan
kandungan glukosa 2-3 g/dL, natrium 45-90 mEq/L, basa 30mEq/L, kalium 20-25
mEq/L, dan osmolalitas 200-310 mOsm/L.
Banyak cairan tidak cocok digunakan sebagai cairan pengganti, misalnya jus
apel, susu, air jahe, dan air kaldu ayam karena mengandung glukosa terlalu tinggi
dan atau rendah natrium. Cairan pengganti yang tidak tepat akan menciptakan diare
osmotik, sehingga akan makin memperburuk kondisi dehidrasinya. Cairan ORS yang
bisa diberikan di rumah, dibuat dari 8 sendok teh gula, sendok teh garam, dan 1
liter air dalam 1 liter air. ORS efektif dalam terapi dehidrasi ringan-sedang karena
mengandung gula dan garam yang mempercepat penyerapan usus. Penting
menghindari pemberian air murni dalam jumlah yang besar karena aur tidak secara
aktif diabsorpsi oleh usus, sehingga dibutuhkan glukosa dan garam sebagai
kombinasi untuk meningkatkan proses absorbsi.
Adanya muntah bukan merupakan kontraindikasi pemberian ORS, kecuali jika
ada obstruksi usus, ileus, atau kondisi abdomen akut, maka rehidrasi secara
intravena menjadi alternatif pilihan. Defi sit cairan harus segera dikoreksi dalam 4 jam
dan ORS harus diberikan dalam jumlah sedikit tetapi sering, untuk meminimalkan
distensi lambung dan refl eks muntah. Secara umum, pemberian ORS sejumlah 5 mL
setiap menit dapat ditoleransi dengan baik. Jika muntah tetap terjadi, ORS dengan
NGT (nasogastric tube) atau NaCl 0,9% 20-30 mL/kgBB selama 1-2 jam dapat
diberikan untuk mencapai kondisi rehidrasi. Saat pasien telah dapat minum atau
makan, asupan oral dapat segera diberikan.
2.8.2 Tatalaksana Dehidrasi Derajat Berat
Pada dehidrasi berat dibutuhkan evaluasi laboratorium dan terapi rehidrasi
intravena, Penyebab dehidrasi harus digali dan ditangani dengan baik. Penanganan
kondisi ini dibagi menjadi 2 tahap:
Tahap Pertama berfokus untuk mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu syok
hipovolemia yang membutuhkan penanganan cepat. Pada tahap ini dapat
diberikan cairan kristaloid isotonik, seperti ringer lactate (RL) atau NaCl 0,9%
sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan cairan intravaskuler dapat dilihat dari
perbaikan takikardi, denyut nadi, produksi urin, dan status mental pasien.
Apabila perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan dengan kecepatan
hingga 60 mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus dipikirkan (misalnya anafi
laksis, sepsis, syok kardiogenik). Pengawasan hemodinamik dan golongan
inotropik dapat diindikasikan.
Tahap
Kedua
berfokus
pada
mengatasi
defisit,
pemberian
cairan
Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/ kgBB untuk setiap kilogram berat
badan di atas 10 kg
Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/ kgBB untuk setiap kilogram berat
badan di atas 20 kg
Cairan untuk rehidrasi direkomendasikan diberikan 50% selama 8 jam
pertrama dan sisanya diberikan pada 16 jam berikutnya. Selain itu, kehilangan cairan
yang masih berlangsung (misalnya karena muntah atau diare) harus diganti sesuai
jumlah cairan yang hilang.
2.8.3 Tatalaksana Dehidrasi berdasarkan Osmolaritas
Dehidrasi Isotonik
Pada kondisi isonatremia, defisit natrium secara umum dapat dikoreksi
dengan mengganti defi sit cairan ditambah dengan cairan pemeliharaan dextrose 5%
dalam NaCl 0,45-0,9%. Kalium (20 mEq/L kalium klorida) dapat ditambahkan ke
dalam cairan pemeliharaan saat produksi urin membaik dan kadar kalium serum
berada dalam rentang aman.
Dehidrasi Hipotonik
Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% atau RL
20 mL/ kgBB sampai perfusi jaringan tercapai. Pada hiponatremia derajat berat (<130
mEq/L) harus dipertimbangkan penambahan natrium dalam cairan rehidrasi. Koreksi
defisit natrium melalui perhitungan = (Target natrium - jumlah natrium saat tersebut) x
volume distribusi x berat badan (kg).
Cara yang cukup mudah adalah memberikan dextrose 5% dalam NaCl 0,9%
sebagai cairan pengganti. Kadar natrium harus dipantau dan jumlahnya dalam cairan
disesuaikan untuk mempertahankan proses koreksi perlahan (<0,5 mEq/L/jam).
Koreksi kondisi hiponatremia secara cepat sebaiknya dihindari untuk mencegah
mielinolisis pontin (kerusakan selubung mielin), sebaliknya koreksi cepat secara
parsial menggunakan larutan NaCl hipertonik (3%; 0,5 mEq/L) direkomendasikan
untuk menghindari risiko ini.
Dehidrasi Hipertonik
Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% 20 mL/
kgBB atau RL sampai perfusi jaringan tercapai. Pada tahap kedua, tujuan utama
adalah memulihkan volume intravaskuler dan mengembalikan kadar natrium serum
sesuai rekomendasi, akan tetapi jangan melebihi 10 mEg/L/24 jam. Koreksi dehidrasi
magnesium dan anion fosfat, baik adenosin trifosfat (ATP), adenosin difosfat (ADP),
atau adenosin monofosfat (AMP). Cairan Ekstraseluler (ECF) terdiri dari 1/3 TBW
dimana kation utama adalah natrium dan anion berupa bikarbonat (HCO3-) dan
klorida (Cl-). Plasma terhitung sekitar dari ECF, sedangkan cairan intersisial
terhitung dari ECF.
Elektrolit muda dipertukarkan antara intraseluler dan cairan ekstraseluler
dalam rangka mendukung metabolisme sel. Sebuah pompa bergantung ATP yang
melekat pada membran sel menukar natrium dengan kalium dalam rasio 3: 2.
Tekanan intravaskular terus memaksa cairan menuju ruang interstitial, tetapi
mekanisme homeostasis dipertahankan oleh tekanan onkotik yang diciptakan oleh
molekul besar, seperti protein dan koloid. Molekul-molekul besar tidak dapat
menyeberangi penghalang antar kompartemen, sehingga dengan demikian molekul
besar
mempertahankan
volume
intravaskular,
sehingga
secara
efektif
mempertahankan sirkulasi.
Hipovolemia bisa berasal dari puasa pra operasi yang berkepanjangan,
vasodilatasi akibat obat anestesi atau blokade neuroaksial, atau perdarahan akut.
Untuk memahami kapan dan bagaimana mengelola terapi cairan, penting untuk
membedakan dehidrasi dari hipovolemia intravaskular. Dehidrasi mempengaruhi
ruang ekstravaskular melalui produksi urin dan pengeluaran keringat. Hal ini
menyebabkan hilangnya cairan tanpa koloid dari ruang ekstraselular dan
ditatalaksana dengan pemberian cairan kristaloid. Di sisi lain, hipovolemia akut
berasal dari hilangnya cairan kaya koloid-(plasma) dari ruang intravaskular yang
menurunkan tekanan onkotik dan mengarah ke edema interstitial. Penggunaan
kristaloid untuk mengganti kerugian ini dapat memperburuk tekanan onkotik yang
sudah rendah dan memperburuk edema. Oleh karena itu, menggunakan larutan
koloid mungkin lebih disarankan ketika melakukan tatalaksana hypovolemia (Parel et
al, 2013).
Cairan kristaloid terdiri dari berbagai konsentrasi saline normal (natrium dan
klorida), ringer laktat (natrium klorida, kalium, kalsium, laktat), dan dekstrosa. Normal
Saline biasanya menjadi pilihan fluida awal untuk resusitasi. Namun, pemberian
normal saline yang berlebihan (> 3-4 liter) dapat menyebabkan asidosis metabolik
hiperkloremia. Ringer laktat (RL) merupakan cairan yang sedikit hipotonik dan solusi
yang paling fisiologis ketika sejumlah besar cairan diperlukan. Namun, RL bukan
merupakan cairan ideal untuk digunakan sebagai Dilutent untuk transfusi sel darah
merah karena mengandung kalsium (antagonis sitrat). Selain itu, RL mengandung
kalium, yang kuranb baik jika diberikan untuk pasien dengan penyakit ginjal, dan juga
laktat, yang dimetabolisme menjadi bikarbonat menyebabkan alkalosis metabolik.
Dextrose terutama digunakan untuk penggantian defisit air murni dan hypernatremia,
tetapi juga berguna dalam mencegah ketosis dan hipoglikemia selama puasa.
Dekstrosa tidak digunakan dalam neuroanesthesia, karena hiperglikemia telah
ditemukan merugikan jaringan saraf yang cedera. Solusi kristaloid, karena berat
molekul yang rendah, tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan tekanan
onkotik dari ruang intravaskular dan sebagian besar (80%) mendistribusikan cairan ke
seluruh ruang ekstraseluler.
mual dan muntah pasca operasi. Untuk Goal-directed fluid therapy, selain stroke
volume dan cardiac output, parameter lain juga harus dijaga, termasuk denyut
jantung <100 kali / menit, tekanan darah normal (dalam waktu 20% dari baseline),
output urin 0,5-1 ml / kg / jam, CVP antara 8 dan 12 mmHg, hemoglobin minimal 7 g /
dl ( 10 g / dl pada lansia dan pasien dengan penyakit jantung), pH normal, PaO2, dan
serum laktat (Rocca, 2013).
BAB III
KESIMPULAN
Dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air di dalam tubuh karena
hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat, atau kombinasi
keduanya. Mortalitas dan morbiditas pada kasus dehidrasi yang terjadi bergantung
pada derajat keparahan dehidrasi dan ketepatan pemberian rehidrasi oral dan
intrevena. Penegakan diagnosis dehidrasi dapat dilakukan dengan melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang kemudian akan didapatkan derajat dehidrasi.
Penilaian klinis keparahan dehidrasi akan menentukan tatalaksana yang selanjutnya.
Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah mengganti cairan yang
hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Kristaloid merupakan cairan pilihan untuk terapi
dehidrasi karena dehidrasi mempengaruhi ruang ekstravaskular melalui produksi urin
dan pengeluaran keringat yang menyebabkan hilangnya cairan tanpa koloid dari
ruang ekstraselular. Pilihan kristaloid perlu diperhatikan dan perlu dilakukan
monitoring terhadap efek terkait kristaloid yang digunakan. Perlu juga diperhatikan
Goal-directed fluid therapy untuk mencapai tujuan rehidrasi tanpa menimbulkan
komplikasi overload cairan.
DAFTAR PUSTAKA
Arora SK. Hypernatremic Disorders in the Intensive Care Unit. J Intensive Care Med.
2011 May 16
Bettari L, Fiuzat M, Shaw LK, Wojdyla DM, Metra M, Felker GM, et al. Hyponatremia
and long-term outcomes in chronic heart failure--an observational study from
the Duke Databank for Cardiovascular Diseases. J Card Fail. 2012 Jan.
18(1):74-81
Brandt KG, de Castro Antunes MM, da Silva GA. Acute diarrhea: evidence-based
management. J Pediatr (Rio J). 2015 Nov-Dec. 91 (6 Suppl 1):S36-43
Cheuvront SN, Kenefick RW, Montain SJ, Sawka MN. Mechanisms of aerobic
performance impairment with heat stress and dehydration. J Appl Physiol.
2010 Dec. 109(6):1989-95
Clinical management of acute diarrhea. WHO/UNICEF Joint Statement 2004.
Mentes JC, Kang S. Hydration management. J Gerontol Nurs. 2013;39(2):11-9.
Disease and condition: Dehydration. 2014 [cited 2014 Aug 15]. Available from:
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/dehydration/basics/symptoms/
con-20030056.
Edwards MR, Mythen MG. Fluid therapy in critical illness. Extrem Physiol Med.
2014;3:16.
Guarner J, Hochman J, Kurbatova E, Mullins R. Study of outcomes associated with
hyponatremia and hypernatremia in children. Pediatr Dev Pathol. 2011
Mar-Apr. 14(2):117-23.
Hackett P. & Mangione MP. 2015. Basic Clinical Anesthesia Chapter 7: Fluid and
Electrolyte Balance. New York: Springer.
Huang LH, Anchala KR, Ellsbury DL, George CS. Dehydration. 2015. Diakses tanggal
16 Novemver 2016. http://emedicine.medscape.com/article/906999
Koster C, Klingelhfer D, Groneberg DA, Schwarzer M. Rotavirus - Global research
density equalizing mapping and gender analysis. Vaccine. 2016 Jan 2. 34
(1):90-100.
Leksana Erie, Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. 2015. SMF Anestesi dan Terapi
Intensif RSUP dr Kariadi/ Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang, Indonesia
Leksana Erie, Dehidrasi dan Syok. 2015. SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr
Kariadi/ Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Miller TE, Roche AM, Mythen M. Fluid management and goal-directed therapy as an
adjunct to enhanced recovery after surgery (ERAS). Can J Anesth Can
Anesth. 2014;62(2):15868.
Miller TE, Raghunathan K, Gan TJ. State-of-the-art fl uid management in the
operating room. Best Pract Res Clin Anaesthesiol. 2014;28(3):26173.
Parel PR, Roberts I, Ker K. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in
critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev. 2013;2:CD000567.
Rocca GD. Goal-directed therapy in anesthesia: any clinical impact or just a fashion.
Minerva Anesthesiol. 2013;77:54553.
Samuel N. Cheuvront and Robert W. 2014. Dehydration: Physiology, Assessment,
and Performance Effects. ComprPhysiol 4:257-285, 2014
Wiley John and sons. 2015. Clinical symptoms, signs and tests for identication of
impending and current water-loss dehydration in older people