Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI

GELOMBANG I
PERIODE 8 AGUSTUS – 3 SEPTEMBER 2022

LAPORAN KASUS KLINIK


“PEMANTAUAN TERAPI OBAT PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY
DISEASE STAGE V DI RUANG PERAWATAN KHUSUS”

O L E H:
NURHALISA AMALIA ACHMAD
N014 21 2057

Disusun untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk


Menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat,
karunia, dan petunjuk-Nya sehingga laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji ini dapat diselesaikan.
Shalawat dan Salam juga senantiasa tercurah ke Nabiullah Muhammad SAW
yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang lebih
baik.
Praktik Kerja Profesi Apoteker, atau disingkat PKPA, merupakan salah
satu tahapan pendidikan Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin. Kegiatan ini dibagi dalam tiga bagian yaitu PKPA
Apotek, Rumah Sakit, dan Industri. Dalam PKPA Rumah Sakit, terdapat berbagai
aspek yang diharapkan dapat dipahami oleh mahasiswa calon apoteker agar dapat
merasakan pengalaman langsung dalam dunia rumah sakit sehingga mahasiswa
diharapkan lebih siap dalam mengemban amanah sebagai profesi apoteker.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis mendapatkan banyak bantuan
dari berbagai pihak berupa bimbingan, saran, hingga ucapan semangat sehingga
penyusunan laporan ini dapat terselesaikan, khususnya dukungan dari orang tua,
bapak ibu yang penulis sayangi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Bapak Habibie, S.Si., M.Pharm.Sc., Apt. selaku Pembimbing PKPA
Farmasi Rumah Sakit Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Ibu apt. Latifah Mahaya Sarifah, S.Si. selaku pembimbing PKPA Rumah
Sakit di RSUD Labuang Baji Makassar.
3. Ibu apt. A. Selvi Kartini Wonsu, S.Si. selaku Kepala Instalasi Farmasi
RSUD Labuang Baji Makassar.
4. Ibu Prof. Dr. rer.nat. Marianti A. Manggau, Apt., selaku Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin, Bapak Abdul Rahim, S.Si., M.Si., Ph.D.,
Apt., selaku Wakil Dekan I, Ibu Prof. Dr. Sartini, M.Si., Apt., selaku
Wakil Dekan II, dan Ibu Yulia Yusriani Djabir, S.Si., MBM Sc., M.Si.,
PhD., Apt., selaku Wakil Dekan III.
5. Bapak Abdul Rahim, S.Si., M.Si., Ph.D., Apt., selaku Ketua Program
Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
6. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt., selaku Koordinator PKPA
Rumah Sakit Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar.
7. Segenap dosen dan pegawai Program Studi Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.
8. Seluruh karyawan RSUD Labuang Baji Makassar yang telah banyak
membantu dan memberikan wawasan ilmu kepada penulis selama
pelaksanaan PKPA Farmasi Rumah Sakit.
9. Rekan-rekan peserta Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar

Demikian ungkapan terima kasih penulis untuk semua pihak yang telah
berperan dalam proses pembuatan laporan ini. Penulis berharap melalui
laporan ini dapat membantu menambah ilmu dan pengetahuan bagi pembaca
dan orang di sekitarnya.
Makassar, 2022

Nurhalisa Amalia Achmad


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR SINGKATAN ix
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
II.I Chronic Kidney Disease 3
II.1.1 Etiologi 4
II.1.2 Patofisiologi 4
II.1.3 Klasifikasi 5
II.1.4 Penatalaksanaan 6
II.1.4.1 Terapi Farmakologi 6
II.1.4.1.1 Terapi untuk Edema 6
II.1.4.1.2 Terapi untuk Hipertensi dan Proteinuira pada Pasien CKD 6
II.1.4.1.3 Terapi untuk Anemia Pasien CKD 8
II.1.4.2 Terapi Non-Farmakologi 9
II.2 Hipertensi 9
II.2.1 Etiologi 10
II.2.2 Patofisiologi 10
II.2.3 Klasifikasi 12
II.2.4 Penatalaksanaan 12
II.2.4.1 Terapi Farmakologi 12
II.2.4.1.1 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) 13
II.2.4.1.2 Angiotensin Receptor Bloker (ARB) 14
II.2.4.1.3 Calcium Canal Bloker (CCB) 14
II.2.4.1.4 β-blocker 16
II.2.4.1.5 Diuretik 16
II.1.4.2 Terapi Non-Farmakologi 17
BAB III STUDI KASUS 19
III.1 Profil Pasien 19
III.2 Profil Penyakit 19
III.3 Data Klinis 20
III.4 Data Laboratorium 21
III.5 Pemeriksaan Radiologi 22
III.6 Profil Pengobatan 23
III.7 Analisis Rasionalitas 25
III.8 Drug Related Problem 27
III.9 Uraian Bahan 32
BAB IV PEMBAHASAN 43
IV.1 Pembahasan 43
BAB V PENUTUP 47
V.1 Kesimpulan 47
V.2 Saran 47
DAFTAR PUSTAKA 48
LAMPIRAN 52
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Tanda-tanda Vital Pasien 20


Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien 21
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Radiologi Pasien 22
Tabel 4. Profil Pengobatan Pasien 23
Tabel 5. Rasionalitas Pengobatan Pasien 25
Tabel 6. Analisis SOAP Pasien 27
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Klasifikasi Chronic Kidney Disease 5


Gambar 2. Terapi Hipertensi pada Pasien Chronic Kidney Disease 7
Gambar 3. Dosis IV Suplemen Zat Besi 8
Gambar 4. Dosis Terapi ESA 9
Gambar 5. Klasifikasi Hipertensi 12
Gambar 6. Algoritma Terapi Hipertensi 12
Gambar 7. Dosis Terapi Obat Golongan ACEI 13
Gambar 8. Dosis Terapi Obat Golongan ARB 14
Gambar 9. Dosis Terapi Obat Golongan CCB 15
Gambar 10. Dosis Terapi Obat Golongan β-blocker 16
Gambar 11. Dosis Terapi Obat Golongan Diuretik 17
DAFTAR SINGKATAN

WBC = White Blood Cell


RBC = Red Blood Cell
HGB/Hb = Hemoglobin
HCT = Hematokrit
MCV = Mean Corpuscular Volume
MCH = Mean Corpuscular Hemoglobin
MCHC = Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration
PLT = Platelet
RDW-SD/CV = Red Cell Distribution Width Standard Deviation/Coefficient
Variation
PDW = Platelet Distribution Width
MPV = Mean Platelet Volume
P-LCR = Platelet Large Cell Ratio
P-LCC = Platelet Large Cell Consentration
NEUT = Neutrofil
LYMPH = Limfosit
MONO = Monosit
EO = Eosinofil
BASO = Basofil
IG = Immunoglobulin
LIC = Liver Iron Consentration
CT = Clotting Time
BT = Bleeding Time
SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic Transminase
SGPT = Serum Glutamic Pyruvic Transminase
GFR = Glomerulus Filtration Rate
HbsAg = Hepatitis B Surface Antigen.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.
WHO mendefinisikan kesehatan yang dirumuskan pada tahun 1948 sebagai
“keadaan lengkap secara fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan bukan hanya
bebas dari penyakit atau kelemahan" (1). Di Indonesia, aspek kesehatan menjadi
faktor utama turunnya pertumbuhan penduduk dari tahun 2015-2019 dilihat dari
angka 3.34 juta per tahun menjadi 3.06 juta per tahun (2).
Aspek kesehatan tidak dapat dilepaskan dari peran fasilitas pelayanan
kesehatan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun
2016 Tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan, fasilitas yang dimaksudkan untuk
menunjang pelayanan kesehatan meliputi Tempat Praktik Mandiri Tenaga
Kesehatan, Pusat Kesehatan Masyarakat, Klinik, Rumah Sakit, Apotek, Unit
Transfusi Darah, Laboratorium Kesehatan, Optikal, Fasilitas Pelayanan
Kedokteran Untuk Kepentingan Hukum, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tradisional (3). Terkait hal tersebut, rumah sakit merupakan salah satu fasilitas
kesehatan yang lebih dikenal luas oleh masyarakat selain apotek.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (4). Sebagai institusi kesehatan, rumah
sakit melayani berbagai penyakit, salah satunya adalah Chronic Kidney Disease
dan Hipertensi.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis kerusakan ginjal ditandai
dengan adanya protein di dalam urin. Berbagai faktor yang mempengaruhi
kecepatan kerusakan serta penurunan fungsi ginjal dapat berasal dari genetik,
perilaku, lingkungan maupun proses degeneratif. Walaupun prevalensi CKD
tinggi dan tersedianya medikasi yang efektif, hanya sebagian kecil pasien
mencapai target pengobatan yang diharapkan. Banyak faktor yang menyebabkan
hal tersebut, salah satunya adalah tingkat kepatuhan minum obat serta tidak
adanya mosifikasi pola hidup pada pasien dengan CKD (5).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah arteri (BP) yang terus
meningkat. Hipertensi dapat terjadi akibat etiologi yang tidak diketahui (hipertensi
primer atau esensial) atau dari penyebab spesifik (hipertensi sekunder). Hipertensi
sekunder (<10% kasus) biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis (CKD)
atau penyakit renovaskular. Kondisi lainnya adalah sindrom Cushing, koarktasio
aorta, apnea tidur obstruktif, hiperparatiroidisme, pheochromocytoma,
aldosteronisme primer, dan hipertiroidisme. Beberapa obat yang dapat
meningkatkan BP termasuk kortikosteroid, estrogen, obat antiinflamasi nonsteroid
(AINS), amfetamin, sibutramine, cyclosporine, tacrolimus, erythropoietin, dan
venlafaxine (6).
Adanya komplikasi penyakit tersebut yang diderita dapat menjadikan kondisi
tersebut membahayakan pasien dan dapat menyebabkan kematian. Sehingga
terjadinya komplikasi secara bersamaan memerlukan penanganan khusus yang
melibatkan masing-masing pengobatan agar didapat hasil yang optimal dalam
mencapai kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Sehingga pada
laporan ini diuraikan mengenai analisis rasionalitas penggunaan obat-obatan dan
penanganan pada pasien yang mengalami Chronic Kidney Disease dan Hipertensi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Chronic Kidney Disease

Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan sebagai kelainan pada struktur


atau fungsi ginjal selama 3 bulan atau lebih. Tingkat filtrasi glomerulus yang
rendah (GFR) dan rasio albumin kreatinin urin yang lebih tinggi (uACR)
merupakan salah satu efek yang terjadi akibat CKD. Selama beberapa dekade,
diagnosis CKD diukur berdasarkan klirens kreatinin (CLcr) yang berkurang
hingga kurang dari 50 mL/menit (0,83 mL/detik) Penyakit ginjal kronis
diklasifikasikan berdasarkan penyebab gangguan ginjal, penilaian laju filtrasi
glomerulus, dan tingkat albuminuria selama setidaknya periode 3 bulan.
Perkembangan CKD ke stadium yang lebih lanjut (tahap 4-5) terjadi selama
beberapa dekade sebagian besar orang, dengan mekanisme yang bergantung pada
kerusakan ginjal pada etiologi penyakit dan sangat terkait dengan usia, jenis
kelamin, dan urin. Sebagaimana dibuktikan oleh berbagai faktor inisiasi dan
perkembangan, kerusakan ginjal dapat diakibatkan dari berbagai penyebab
heterogen (7)

Anemia CKD adalah gangguan multifaktorial yang diakibatkan hilangnya


sintesis erythropoietin oleh ginjal, kekurangan zat besi, dan peradangan kronis.
Penatalaksanaan anemia meliputi pemberian erythropoiesisstimulating agents
(ESAs), misalnya, epoetin alfa, epoetin alfa-epbx, darbepoetin alfa, metoksi
polietilen glikol-epoetin beta, dan zat besi untuk menjaga konsentrasi hemoglobin
dan mencegah kebutuhan transfusi darah. Edukasi kepada pasien dan
pengambilan keputusan bersama memainkan peran penting dalam manajemen
yang tepat dari pasien dengan CKD dan yang terkait komplikasi. Edukasi
multidisiplin berfungsi untuk mencegah risiko tinggi perkembangan ke ESRD dan
mengimplementasikan terapi nonfarmakologis yang direkomendasikan dan
intervensi farmakologis (7).
Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs) dan angiotensin
receptor blockers (ARBs) adalah perawatan farmakologis utama untuk menunda
perkembangan CKD karena efeknya pada hemodinamik ginjal mengurangi
tekanan intraglomerular dan proteinuria (7).

II.1.1 Etiologi Chronic Kidney Disease


Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease,
diabetes melitus dapat menyebabkan kerusakan pada nefron, sehingga
mempengaruhi fungsi ginjal dalam menyaring darah dan membuang kelebihan
cairan dari dalam tubuh. Hal tersebut menyebabkan albumin yang terdapat dalam
darah masuk ke dalam urin, sehingga kadar albumin di urin meningkat yang
menandakan ginjal mengalami kebocoran. Selain diabetes melitus, tekanan darah
tinggi juga menjadi penyebab paling umum kerusakan pada ginjal (8).
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyempitan pada pembuluh
darah, sehingga aliran darah ke ginjal berkurang dan mempengaruhi fungsi ginjal
sehingga terjadi akumulasi produk sisa metabolisme, serta ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit dalam tubuh (8). Adapun faktor risiko lain yang dapat
menjadi penyebab penyakit ginjal kronis, yaitu merokok, obesitas, infeksi,
kelainan genetik, dan usia (9).

II.1.2 Patofisiologi Chronic Kidney Disease


Apabila terjadi kerusakan pada nefron maka tidak terjadi pertukaran
natrium, sehingga kadar natrium tidak terkontrol. Jika kadar natrium meningkat
dapat menyebabkan GFR menurun dan terjadi dehidrasi, sedangkan jika kadar
natrium menurun dapat menyebabkan gangguan pada gastrointestinal. Apabila
keseimbangan cairan terkontrol maka hiperkalemia jarang terjadi sebelum
stadium 4. Hiperkalemia terjadi karena intake kalium yang berlebihan, sedangkan
pada penyakit tubuler ginjal, nefron ginjal meningkatkan ekskresi kalium
sehingga terjadi hipokalemia yang mempengaruhi penurunan GFR. Apabila
fungsi ginjal menurun 20-25%, hiperfosfatemia dan hipokalsemia dapat terjadi
sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme. Selain itu, akumulasi magnesium
akibat penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan henti jantung. Perubahan
fisiologis lain yang dapat terjadi akibat dari penyakit ginjal kronis yaitu gangguan
produksi hormon eritropoetin yang mengontrol produksi sel darah merah sehingga
menyebabkan terjadinya anemia (9).
Pada stadium awal penyakit ginjal kronik glomerular filtration rate (GFR)
masih berada dalam range normal, namun mengalami penurunan fungsi ginjal
sekitar 40-75% yang secara perlahan akan menurun secara progresif yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan serum kreatinin. Pada GFR 60% belum
terdapat keluhan, namun telah terjadi peningkatan kadar urea dan serum kreatinin.
Pada GFR 30% mulai timbul keluhan seperti, nokturia, lemah, mual, nafsu makan
menurun, serta penurunan berat badan dan pada GFR di bawah 30% terjadi gejala
yang serius, seperti anemia, gangguan metabolisme elektrolit, mual, muntah, serta
gangguan pada sistem pencernaan. Sedangkan pada GFR < 15% yang merupakan
penyakit ginjal kronis stadium akhir telah terjadi gejala dan berbagai komplikasi
yang lebih berat dan memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal (9).
II.1.3 Klasifikasi Chronic Kidney Disease
Menurut Kidney Disease Improving Global Oucomes, penyakit ginjal
kronis diklasifikasikan menjadi 5 stadium berdasarkan perhitungan nilai GFR,
yaitu (10):

Gambar 1. Klasifikasi CKD (10)


II.1.4 Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease
Penatalaksanaan CKD dapat dilakukan melalui terapi non-farmakologi dan
terapi farmakologi yang bertujuan untuk menunda atau mencegah perkembangan
CKD, serta meminimalkan perkembangan atau keparahan komplikasi yang terdiri
dari terapi non-farmakologi dan terapi farmakologi (7).
II.1.4.1 Terapi Farmakologi
II.1.4.1.1 Terapi untuk Edema
Pada pasien CKD volume cairan meningkat hingga 30% dan dapat
menyebabkan edema. Terapi yang direkomendasikan untuk mengatasi edema
pada pasien CKD dengan GFR <30 mL/min/1,73 m 2 adalah diuretik loop, karena
diuretik lain seperti thiazid kurang efektif pada pasien CKD. Diuretik loop yang
biasanya digunakan untuk mengontrol edema pada pasien CKD adalah furosemid
dengan mekanisme kerja mereduksi reabsorbsi natrium di tubulus ginjal melalui
penghambatan co-transpoter natrium-kalium-klorida, sehingga eksresi elektrolit
dan cairan meningkat (11). Dosis oral furosemid yang dapat digunakan untuk
mengatasi edema yaitu 40 mg sehari dan dapat ditingkatkan sampai 80 mg sehari,
sedangkan untuk dosis IV furosemid yang dapat digunakan untuk mengatasi
edema yaitu 20-50 mg sehari, dapat dingkatkan 20 mg tiap 2 jam dengan dosis
maksimum 1.500 mg (12).

II.1.4.1.2 Terapi untuk Hipertensi dan Proteinuria pada Pasien CKD


Pencapaian target tekanan darah merupakan tujuan utama pasien CKD
dengan hipertensi dan tujuan sekundernya adalah untuk mengontrol proteinuria.
Terapi lini pertama untuk mengatasi hipertensi dan proteinuria pada pasien CKD
yaitu Angiotensin-Coverting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin II
Receptor Blocker (ARB) dengan dosis yang direkomendasikan terendah dan dapat
ditingkatkan sampai proteinuria berkurang 30% hingga 50% atau penurunan GFR
yang diperkirakan lebih dari 30% yang disertai dengan peningkatan serum kalium
yang sering terjadi. Nondihydropyridine Calcium Channel Blockers (CCB)
merupakan obat antiproteinurik lini kedua ketika ACEI atau ARB
dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi (7).

Gambar 2. Terapi hipertensi pada pasien CKD (7)

Pedoman KDIGO merekomendasikan target tekanan darah 140/90 mm Hg


atau kurang jika ekskresi albumin urin kurang dari 30 mg/24 jam (<3 mg/mmol)
(kategori A1 albuminuria). Sedangkan target tekanan darah untuk pasien dengan
kategori A2 dan albuminuria lebih tinggi yaitu ≤130/80 mm Hg dan dianjurkan
menggunakan terapi lini pertama dengan ACEI atau ARB. Jika penggunaan ACEI
atau ARB gagal mencapai target tekanan darah, dapat ditambahkan diuretik
thiazide (7).

II.1.4.1.3 Terapi untuk Anemia pada Pasien CKD


Terapi farmakologi untuk anemia CKD meliputi suplemen zat besi dan
terapi erythropoiesis-stimulating agent (ESA). Suplemen zat besi adalah terapi
lini pertama untuk anemia CKD jika terjadi defisiensi zat besi dan untuk beberapa
pasien CKD target Hb dapat dicapai. Suplemen zat besi yang dapat digunakan
untuk anemia CKD yaitu garam besi (ferrous sulfate, ferrous fumarate, dan
ferrous glauconate), serta ferric maltol. Dosis yang dianjurkan untuk terapi oral
adalah 200 mg zat besi per hari (9).
Gambar 3. Dosis IV suplemen zat besi (9)

Terapi erythropoiesis-stimulating agent (ESA) seperti epoetin alfa,


darbepoetin alfa, dan metoksi PEG-epoetin beta digunakan untuk mengatasi
defisiensi eritropoietin pada pasien anemia CKD. Dosis terapi ESA dapat dilihat
pada gambar 4 (9).

Gambar 4. Dosis terapi ESA (9)

II.1.4.2 Terapi Non-Farmakologi


Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien CKD, yaitu
membatasi asupan protein menjadi 0,8g/kg/hari jika GFR < 30 mL/min/1,73 m 2,
berhenti merokok untuk memperlambat perkembangan CKD dan mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular, serta melakukan olahraga minimal 30 menit lima
kali seminggu (7).
II.2 Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang sering disebut sebagai
the silent killer of death yang menjadi masalah serius karena prevalensinya yang
terus meningkat. Menurut World Health Organization, sekitar 26,4% penduduk
dunia mengalami hipertensi dan 60% berada di negara berkembang, termasuk
Indonesia (13).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg yang merupakan salah satu faktor
risiko paling signifikan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular akibat
kerusakan organ pada pembuluh darah di jantung, otak, ginjal, maupun mata
(Kemenkes RI, 2017). Tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya
usia, sekitar 90% hipertensi dapat terjadi pada usia 55 tahun ke atas (9).

II.2.1 Etiologi Hipertensi


Peningkatan tekanan darah dikaitkan dengan peningkatan resistensi aliran
darah pada arteriol secara keseluruhan (15). Berdasarkan etiologinya, hipertensi
dibedakan menjadi 2 yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi
primer atau hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya, namun sebagian besar faktor genetik menjadi faktor yang diduga
berkaitan dengan berkembangnya hipertensi ini. Lebih dari 90% penderita
hipertensi jenis ini (9).
Sedangkan hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penderitanya
sekitar 10-15% dan diketahui penyebabnya, dapat disebabkan karena suatu
penyakit yang mendasari, seperti penyakit ginjal kronis, stenosis arteri renalis,
serta penyakit penyerta lainnya. Selain itu, dapat disebabkan karena efek dari
suatu obat yang dapat meningkatkan tekanan darah (DiPiro et al., 2021; Zeind
and Michael, 2018).

II.2.3 Patofisiologi Hipertensi


Hipertensi adalah penyakit multifaktoral yang timbul akibat berbagai
faktor risiko dengan berbagai mekanisme. Mekanisme yang mengatur konstriksi
dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak.
Impuls dari pusat vasomotor dihantarkan bergerak ke ganglia simpatis melalui
saraf simpatis, kemudian neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah kapiler. Pelepasan
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pada pembuluh darah kapiler. Keadaan ini
dapat mempercepat jantung dalam memompa darah untuk mengatasi resistensi
perifer yang lebih tinggi (17).
Vasokontriksi mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, sehingga
terjadi pelepasan renin yang merangsang pembentukan angiotensin I, kemudian
diubah oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang
merupakan vasokonstriktor kuat. Perubahan tersebut merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal yang menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, sehingga meningkatkan volume intravaskuler. Perubahan struktural
dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer berpengaruh pada perubahan
tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut, meliputi aterosklerosis, dan
penurunan relaksasi otot polos pembuluh darah, sehingga menurunnya daya
regang pembuluh darah. Hal ini menyebabkan aorta dan arteri besar mengalami
penurunan dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer (9). Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung
dan tekanan perifer. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi curah jantung dan
tekanan perifer seperti asupan garam yang tinggi, faktor genetik, obesitas, serta
stres (17).
Tekanan darah tinggi menyebabkan penyempitan arteri yang membawa
darah dan oksigen ke otak, sehingga jaringan otak kekurangan oksigen dan
mengakibatkan kematian pada bagian otak yang dapat menimbulkan stroke.
Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu, jantung berdebar-debar, kerusakan pada
ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan,
mudah Lelah, dan sakit kepala (17).
II.2.3 Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi diklasifikasikan menjadi 5, yaitu (9):

Gambar 5. Klasifikasi hipertensi (9)

II.2.4 Penatalaksanaan Hipertensi


Penatalaksanaan hipertensi dilakukan melalui terapi non-farmakologi dan
terapi farmakologi yang bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortilitas
akibat komplikasi kardiovaskular, seperti serebrovaskular, gagal jantung, dan
penyakit ginjal (9).

II.2.4.1 Terapi Farmakologi


Gambar 6. Algoritma terapi hipertensi (7)
Terdapat beberapa golongan obat yang digunakan dalam terapi hipertensi,
yaitu Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin Receptor
Blocker (ARB), Calcium Canal Blocker (CCB), β-blocker, serta diuretik. Menurut
JNC-8, terapi lini pertama seperti ACEI, ARB, CCB, dan diuretik tiazid harus
digunakan dalam memulai terapi awal hipertensi. Penggunaan terapi lini kedua
seperti β-blocker, antagonis aldosteron, dan obat golongan antihipertensi lainnya
dapat digunakan apabila pasien memiliki kontraindikasi pada terapi lini pertama
(9).

II.2.4.1.1 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)


Obat-obat golongan ACEI seperti kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril,
dan benazepril merupakan salah satu pilihan lini pertama yang digunakan dalam
terapi hipertensi. Mekanisme kerja dari obat golongan ACEI yaitu memblokir
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor
kuat dan stimulator sekresi aldosteron, sehingga terjadi penurunan tekanan darah.
Dosis terapi obat-obat golongan ACEI dapat dilihat pada gambar 7 (7).

Gambar 7. Dosis terapi obat golongan ACEI (7)


II.2.4.1.2 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Obat-obat golongan ARB seperti candesartan, irbesartan, valsartan,
olmesartan, dan telmisartan merupakan salah satu pilihan lini pertama selain
golongan ACEI yang digunakan dalam terapi hipertensi. Mekanisme kerja dari
obat golongan ARB yaitu memodulasi renin-angiotensin-aldosteron-system
dengan memblokir reseptor angiotensin II tipe 1 yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi, sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Dosis terapi obat-obat
golongan ARB dapat dilihat pada gambar 8 (7).

Gambar 8. Dosis terapi obat golongan ARB (7)

II.2.4.1.3 Calcium Canal Blocker (CCB)


Obat-obat golongan CCB seperti amlodipin, nifedipin, isardipin,
verapamil, dan diltiazem merupakan salah satu pilihan lini pertama selain
golongan ACEI dan ARB yang digunakan dalam terapi hipertensi. Mekanisme
kerja dari obat golongan CCB yaitu memblokir kanal kalsium, sehingga
mengurangi kadar kalsium yang masuk dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi
dan penurunan tekanan darah. Selain itu, obat-obat golongan ini juga memblokir
nodus atrioventrikular (AV), sehingga kontraksi jantung menurun dan
vasodilatasi. Dosis terapi obat-obat golongan CCB dapat dilihat pada gambar 9
(7).
Gambar 9. Dosis terapi obat golongan CCB (7)

Obat-obatan CCB, termasuk dihidropiridin dan jenis nondihydropyridine,


adalah pilihan terapi lini pertama. CCB juga digunakan di tambahan atau sebagai
pengganti antihipertensi lini pertama lainnya untuk yang memiliki indikasi
penyakit arteri koroner dan diabetes. CCB menyebabkan relaksasi otot jantung
dan otot polos dengan memblokir tegangan-sensitif saluran kalsium, sehingga
mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Hal ini menyebabkan
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah yang sesuai. CCB dihidropiridin dapat
menyebabkan aktivasi refleks simpatis dan semua agen (kecuali amlodipine dan
felodipine) memiliki efek inotropik negatif (7).
II.2.4.1.4 β-Blocker
Obat-obat golongan β-blocker seperti atenolol, nadolol, acebutolol,
labetalol, dan bisoprolol dapat menurunkan tekanan darah melalui penghambatan
β adrenergik di jantung, pembuluh darah, dan ginjal, sehingga menurunkan
resistensi vaskular perifer. Dosis terapi obat-obat golongan β-blocker dapat dilihat
pada gambar 10 (7).

Gambar 10. Dosis terapi obat golongan β-blocker (7)

II.2.4.1.5 Diuretik
Obat golongan diuretik merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk
hipertensi. Mekanisme kerja dari obat golongan diuretik yaitu meningkatkan
eksresi natrium, air, dan klorida sehingga terjadi penurunan curah jantung dan
tekanan darah. Penggunaan obat golongan diuretik dapat meningkatkan efektifitas
terapi jika dikombinasikan dengan obat antihipertensi lainnya (18). Obat-obat
golongan diuretik yaitu tiazid, furosemid, diuretik hemat kalium, dan
spinorolakton. Diuretik tiazid diberikan sebagai lini pertama terapi hipertensi,
selain ACEI, ARB, dan CCB; furosemid yang merupakan loop diuretik dapat
digunakan untuk mengatasi hipertensi, namun lebih berpotensi dalam mengatasi
edema dengan mengiduksi diuresis; diuretik hemat kalium merupakan
antihipertensi lemah apabila digunakan sebagai monoterapi dan memberikan efek
aditif apabila dikombinasikan dengan tiazid atau furosemid, efek utama diuretik
hemat kalium yaitu menginduksi diuresis dengan tetap menjaga kadar kalium;
sedangkan spinorolakton yang merupakan antagonis aldosteron diberikan sebagai
lini kedua dalam terapi hipertensi dengan onset kerja yang lebih panjang (16).
Dosis terapi obat-obat golongan β-blocker dapat dilihat pada gambar 11 (7).

Gambar 11. Dosis terapi obat golongan diuretik (7)

II.2.4.2 Terapi Non-Farmakologi


Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien hipertensi, yaitu
modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat badan, menerapkan diet yang
sesuai dengan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), mengurangi
asupan natrium (idealnya 1,5 g/hari) (3,8 g/hari natrium klorida), olahraga secara
teratur, mengurangi konsumsi alkohol, dan berhenti merokok. Modifikasi gaya
hidup telah cukup untuk sebagian besar pasien dengan prehipertensi, tetapi belum
cukup untuk pasien dengan hipertensi dan faktor risiko kardiovaskular atau
kerusakan organ target (7).
BAB III
STUDI KASUS

III.1 Profil Pasien


Nama : Ny. T
Umur :58 tahun
Jenis Kelamin :Perempuan
Alamat : Kabupaten Gowa
Berat Badan : 42.20 kg
Tinggi Badan Pasien : 150 cm
IMT : 19.49 kg/m2
Cara Bayar :Bpjs Kesehatan
No. Rekam medik :40XXXX
Masuk Rumah Sakit :31 Agustus 2022
Keluar Rumah Sakit : 9 September 2022
III.2 Profil Penyakit
Keluhan Utama : Sesak nafas
Anamnesis Terpimpin : Sesak nafas sejak 3 hari yang lalu
Riwayat Penyakit : Hipertensi
Diagnosa Primer : CKD Stage V
Diagnosa Sekunder : Edema Paru Akut
Anemia
Hipertensi
Diagnosa Foto Thorax : Dyspneu
29

III.3 Data Klinik


Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien oleh dokter maka diperoleh data klinik pasien dari tanggal 31 Agustus – 9 September
2022. Dari data tersebut dapat dilihat pada Tabel
No Pemeriksaan Hasil Pengamatan
31 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Tekanan Darah 191/110 138/8 168/98 142/89 162/93 163/84 172/100 156/96 175/108 153/108
(<140/90 mmHg) 1
2 Denyut Nadi 105 68 66 160 65 69 79 66 75 68
(60-100 kali/menit)
3 Pernapasan 25 26 26 24 19 16 24 15 20 20
(12-20 kali/menit)
4 SpO2 90 99 97 96 99 99 99 99 100 99
5 Suhu Badan 37.9 36.2 36.5 36 36 36 37 36 36.1 36.5
(36,4-37,2°C)
6 Sesak nafas + + + + + + ↓ ↓ - -
7 Lemah + + + + + + + + - -
8 Demam + - - - - - - - -
9 Mual - - - - + + + - - -
10 Muntah - - - - + + - - - -
11 Malas makan - - - - - + + - - -
12 Batuk - - - - - sesekali sesekali - - -
13 Kesadaran pasien - - - - - ↓ - - - -
14 Nafsu makan - - - - - ↓ - - - -
15 Keluar urin kemerahan - - - - - - - - + -
Keterangan (+) = ada keluhan; (-) = Tidak ada keluhan; Merah diatas Normal; Biru =dibawah normal
30

III.4 Data Laboratorium


Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, maka diperoleh data
Tabel
Tabel hasil pemeriksaan Laboratorium Pasien
No Aspek Nilai Satuan 1/9 2/9 3/9
Pemeriksaan Rujukan
Hematologi
1 WBC 4.11-11.30 103/uL 19.38 9.43
2 RBC 4.50 -5.90 (106/uL) 1.41 1.96
3 HGB 14 -17.5 g/dL 4.3 6.2
4 HCT 41.4 – 50.4 % 13.0 17.6
5 MCV 80.0 -96.1 fL 92.2 89.8
6 MCH 27.5 – 33.2 Pg 30.5 31.7
7 MCHC 33.4 – 35.5 g/dl 33.1 35.3
8 PLT 172 – 450 103/uL 160 89
9 RDW-SD 37.0 – 54.0 fL 56.5 56.3
10 RDW-CV 11.6 – 14.6 % 16.8 23.1
11 PDW 9.0 – 17.0 fL 10.8 14.7
12 MPV 9.0 – 13.0 fL 11.0 9.2
13 P-LCR 13.0 – 43.0 % 30.0 26.2
14 P-LCC 44 - 140 103/uL 23
15 PCT 0.17 – 0.35 % 0.18 0.08
16 NEUT 1.80 – 7.70 103/uL 17.92 8.08
17 LYMPH 1.00 – 4.80 103/uL 0.96 0.45
18 MONO 0.00 – 0.80 103/uL 0.48 0.32
19 EO 0.00 – 0.60 103/uL 0.00 0.11
20 BASO 0.00 – 0.20 103/uL 0.02 0.02
21 IG 0.00 – 7.00 103/uL 0.73
22 LIC 0.00 – 0.10 103/uL 0.45
23 Clotting time <10 Menit 7 menit
(CT)
24 Blending <5 Menit 3 menit
Time (BT) 30 detik
25 Hb 12-16 g/dL 6.2
Kimia
1 SGOT 6-30 IU/dL 936
2 SGPT 7-32 IU/dL 735
3 GDS <200 gr/dL 118
4 Ureum <50 mg/dL 315
5 Kreatinin L:0.7-1.1, mg/dL 19.8
P:0.6-0.9
31

No Aspek Nilai Rujukan Satuan 1/9 3/9


Pemeriksaan
Elektrolit
1 Natrium (Na) 133-145 mEq/L 135 139
2 Kalium (K) 3.5-5.0 mEq/L 8.0 5.5
3 Klorida (Cl) 96-106 mEq/L 103 102
Immunologi
1 HbsAg Non reaktif Non
reaktif

No Aspek Nilai Satuan 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9


Pemeriksaan Rujukan
Kinerja Ginjal
1 Urine Output - cc/20 jam 500 666.6 791.6
2 GFR <15 mL/menit 4.16
(stage 5)
Keterangan Merah diatas Normal; Biru =dibawah normal

III.5. Hasil Pemeriksaan Radiologi


Klinis: Dyspneu
Foto Thorax AP Kesan
 Infiltrat di sentral paru dan  Cardiomegaly dengan dilatasi
suprahilar blateral dan elongasi aorta disertai
 Cor besar, aorta dilatasi dan alveora edema
elongasi  Coexist Bronchopneumonia
 Sinus berselubung, diafragma tidak disingkirkan
dalam batas normal  Efusi pleura minimal
 Tulang-tulang intak bilateral
32

III.6. Profil Pengobatan


Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap pasien tersebut, maka dilakukan intervensi pengobatan,
No Nama Obat Dosis Aturan Pakai Tanggal Pemberian Obat
31 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 O2 3 liter/menit √ √ √ √ √ √ √ - - -
2 NaCl 0.9% infus 500 mL 8 tetes/menit √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
3 Ceftriaxone injeksi 1 gram 12 jam/ IV √ √ √ √ √ √ √ √ - -
4 Furosemide ampul 20 mg 12 jam/IV √ √ √ √ - - - - - -
5 Furosemide ampul 40 mg 12 jam/IV - - - - √ √ √ - - -
6 Paracetamol infus 500 mg Drips/ekstra √ - - - - - - - - -
7 Cedocard 1 mg Per jam/syringe pump - √ √ Stop ganti nitrokaf
8 Atorvastatin tablet 20 mg 24 jam/oral (malam) - √ √ √ √ √ √ √ - -
9 Omeprazole injeksi 40 mg 24 jam/vial - - √ √ √ √ √ √ - -
10 Proliver tablet 1 tablet 8jam/oral - √ √ √ √ √ √ √ √ √
11 Kalsium glukonat 1g 24jam/IV - - √ - - - - - - -
12 Amiodarone injeksi 150 mg 15 menit/Bolus IV - - - √ - - - - - -
13 Nitrokaf tablet 2.5 mg 12 jam/oral - - - √ √ √ √ √ - -
14 Dekstrose 40% 25 mL 1 flakon/IV - - √ - √ √ - - - -
15 Dekstrose 5% 500 mL 8 tetes/menit - - - - √ √ √ - - -
16 Kalitake 1 saset 12 jam/ oral - - - - - - √ - - -
17 Neurobion injeksi 1 ampul 24jam/drips - - - - - √ √ - - -
18 Asam folat tablet 400 mcg 12jam/oral - - - - - - - √ √ √
19 Furosemide tablet 40 mg 24jam/oral - - - - - - - √ √ √
20 Valsartan tablet 8 mg 24jam/oral - - - - - - - √ √ √
21 ISDN tablet 5 mg 24jam/oral - - - - - - - √ - -
22 Omeprazole capsul 20 mg 24jam/oral - - - - - - - - √ √
23 Asam traneksamat 1 ampul 8jam/IV - - - - - - - - √ -
33

24 Adona 1 ampul drips - - - - - - - - √ √


25 Asam mefenamat tablet 500 mg 8jam/oral - - - - - - - - - √
34

III.7. Analisis Rasionalitas


Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap pasien tersebut, maka dilakukan intervensi pengobatan,
Table Data profil pengobatan pasien
Rasionalitas
No Nama Obat Dosis
Indikasi Obat Dosis Aturan Pasien Cara Lama
pakai Pemberian Pemberian
1 O2 R R R R R R R
2 NaCl 0.9% infus 500 mL R R R R R R R
3 Ceftriaxone injeksi 1 gram R R R R R R R
4 Furosemide ampul 20 mg R R R R R R R
5 Furosemide ampul 40 mg R R R R R R R
6 Paracetamol infus 500 mg R R R R R R R
7 Cedocard 1 mg R R IR R R R R
8 Atorvastatin tablet 20 mg R R R R R R R
9 Omeprazole injeksi 40 mg R R R R R R R
10 Proliver tablet 1 tablet R R R R R R R
11 Kalsium glukonat ineksi 1g R R R R R R R
12 Amiodarone injeksi 150 mg R R R R R R R
13 Nitrokaf kapsul 2.5 mg R R R R R R IR
14 Dekstrose 40% 25 mL IR IR R IR IR R R
15 Dekstrose 5% 500 mL IR IR R IR IR R R
16 Kalitake 1 saset R R R R R R R
17 Neurobion injeksi 1 ampul R R R R R R R
18 Asam folat tablet 400 mcg R R R R R R R
19 Furosemide tablet 40 mg R R R R R R R
20 Valsartan tablet 8 mg R R R R R R R
35

21 ISDN tablet 5 mg R R R R R R R
22 Omeprazole kapsul 20 mg R R R R R R R
23 Asam traneksamat 1 ampul R R IR R R R R
24 Adona 1 ampul R R R R R R IR
25 Asam mefenamat tablet 500 mg R R R R R R R
36

III.8. Drug Related Problem


Berdasarkan analisis rasional pengobatan pasien selama dirawat dirumah sakit, maka dilakukan assessment dan plan seperti
pada

Problem Objektif Terapi DRPs Assessment Plan Monitoring


Medik

Hipertensi Pemeriksaan  Valsartan Tidak tepat Pasien lambat Pemberian terapi Tekanan
Tekanan Darah: obat diberikan pengobatan hipertensi darah
 31/8/2022: antihipertensi golongan
191/110 angiotensin
mmHg converting enzyme
 1/9/2022: inhibitor (ACEi)
138/81 reseptor bloker
 2/9/2022: (ARB).
168/98 Contohnya:
 3/9/2022:142/8 Valsartan (JNC
9 VIII).
 4/9/2022:162/9 Direkomendasikan
3 diberikan pada saat
 5/9/2022:163/8 pasien masuk
4 Rumah Sakit
bersama dengan
 6/9/2022:172/1
pemberian
00
Furosemide/diureti
 7/9/2022:156/9
k loop
6
 8/9/2022:175/1
37

08
 9/9/2022:153/1
08

 Atorvastatin Pemberian Direkomendasikan Kolesterol


atorvastatin evaluasi
sebaiknya pemeriksaan LDL,
mempertimbangkan HDL, &
hasil pemeriksaan Trigliserida
kadar kolestrol

Cardiomegaly  Nitrokaf Tidak tepat Pemberian Nitrokaf Direkomendasikan Foto


lama dihentikan tiba-tiba jika ingin Thorax
pemerian dan dalam jangka menghentikan (Radiologi)
waktu yang pendek nitrokaf maka
sehingga diperlukan proses
dikhawatirkan terjadi tappering dose agar
efek rebound (19) tidak terjadi
serangan angina
mendadak

Angina  Cedocard Tidak tepat Pemberian Cedocard Direkomendasikan EKG


Pektoris injeksi dosis tidak tepat dosis kepada dokter
karena dosis yang penanggung jawab
diberikan pada pasien pasien perubahan
1mg/jam/SP, menurut dosis Cedocard
38

(MIMS, 2022) dosis yaitu 2-10 mg/jam


IV yaitu 2-10 mg/jam

Anemia Pemeriksaan Ada indikasi Terdapat diagnosa Rekomendasikan Eritrosit


hematologi tidak ada anemia pada pasien kepada dokter
 WBC:↑19.38 terapi namun terapi yang penanggung jawab
103/uL diberikan kurang pasien pemberian
 RBC:↓1.41 sesuai terapi anemia
106/uL khusus penderita
 HGB: ↓4.3 CKD yakni
g/dL Eritropoeitin (20)
 HCT : ↓13.0 %
 MCHC : ↓33.1
g/dL
 PLT : ↓160
103/uL
 RDW-SD :
↑56.5 fL
 RDW-CV :
↑16.8 %
 NEUT : ↑17.92
103/uL
 LYMPH :
↓0.96 103/uL
39

Pendarahan  Adona Tidak tepat Pemberian Adona Rekomendasikan Kondisi


(Carbaxocro lama tetap diberikan ketika kepada dokter Pasien
me) pemberian pendarahan sudah penanggung jawab
berhenti pasien untuk
menghentikan
pemberian Adona

 Asam Tidak tepat Pemberian Asam Rekomendasikan


Tranexamat dosis Tranexamat kepada dokter
memerlukan untuk melakukan
penyesuaian dosis penyesuaian dosis
pada pasien CKD yaitu hanya
dengan nilai serum sebanyak 315 mg
kreatinin diatas diatas untuk pasien
500 mikromol/liter dengan BB 42 kg
atau 5.6548 mg/dL
yaitu sebesar 7.5
mg/kgBB sekali
sehari

Hipoglikemik Pemeriksaan  Dextrosa Tidak tepat Dari hasil Rekomendasikan GDS/GDP


Kimia 40% obat dan pemeriksaan lab, kepada dokter
 GDS : 118 lama pasien tidak penanggung jawab
gr/dL pemberian mengalami pasien untuk
hipoglikemik menghentikan
pemberian Dextrosa
40

-  Asam Tidak tepat Pemberian Asam Rekomendasikan Skala Nyeri


Mefenamat pasien Mefenamat tidak tepat kepada dokter
karena pasien tidak menghentikan
mengalami keluhan pemberian Asam
nyeri Mefenamat
41

III.9. Uraian Bahan


1. O2 (21)
Komposisi Tiap tabung mengandung kadar oksigen murni
95-100%
Indikasi Hipoksemia, gangguan saluran pernafasan,
Kontraindikasi Pasien hiperoksemia
Efek Samping Toksisitas saluran pernafasan dapat terjadi jika
diberikan dalam jangka waktu yang lama.
Kejadian hiperoksemia juga dapat terjadi dan
berisiko pada serebral dan vasokontriksi koroner.
Farmakologi Oksigen merupakan terapi tambahan yang
diberikan kepada pasien hipoksemia untuk
memperbaiki dan meningkatkan pengiriman
oksigen ke jaringan dalam kondisi dimana udara
ambien tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh.
Dosis Pada kasus keracunan monoksida, diberikan
dengan konsentrasi 15 lpm, pasien hipoksemia
akut diberikan konsentrasi 10-15 lpm

2. Natrium Klorida 0.9% (21)


Komposisi Tiap 500 mL larutan NaCl 0,9% mengandung
natrium klorida 4.5 g
Indikasi Mengembalikan cairan ekstraselular tubuh akibat
dehidrasi berat dan deplesi natrium.
Dosis Dosis tergantung pada usia dan keadaan klinis
pasien
Kontraindikasi Asidosis metabolik berat, gagal jantung kongestif,
gangguan hati, dan kondisi hipernatremia.
Perhatian Hati–hati penggunaan natrium klorida 0.9% pada
pasien gagal jantung kongestif, sirosis hati, dan
preklampsia.
Efek Samping Efek samping terkait penggunaan natrium klorida
0.9% yaitu berkurangnya air liur dan air mata,
demam, takikardi, dan sakit kepala.
Interaksi Dapat mempengaruhi konsentra serum lithium
42

3. Ceftriaxone injeksi (21)


Komposisi 1 ampul mengandung ceftriaxone 1 g/mL
Indikasi Untuk infeksi saluran pernapasan, saluran kemih,
gonoreal, infeksi tulang dan jaringan, dan infeksi
kulit.
Dosis 1-2 g secara intravena setiap 24 jam atau dibagi
setiap 12 jam. Dosis maksimum 4 g/hari
Efek Samping Diare, mual, muntah, peningkatan BUN, sakit
kepala, ruam kulit, demam atau menggigil
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sefalosporin atau
riwayat hipersensitivitas berat terhadap antibiotic
β-lactam jenis lain (penisilin, monobaktam,
karbapenem). Neonatus premature hingga usia
pascamenstruasi 41 minggu (usia kehamilan dan
usia kronologis), neonatus cukup bulan (hingga
usia 28 hari) dengan hiperbilirubinemia,
hipoalbuminemia atau asidosis yang memerlukan
pengobatan IV kalsium atau infus yang
mengandung kalsium.
Interaksi Dapat meningkatkan efek antikoagulan antagonis
vit K (warfarin). Dapat meningkatkan
nefrotoksisitas aminoglikosida. Dapat mengurangi
efek terapi BCG, vaksin tifoid, Na picosulfate.
Pemberian larutan IV yang mengandung kalsium
dapat menyebabkan pengendapan bahan Kristal di
paru-paru dan ginjal.

4. Furosemide (22)
Komposisi Tiap ampul (mL) mengandung 10
mg furosemid
Tiap tablet mengandung 40 mg furosemid
Indikasi Edema akibat penyakit ginjal, hati, dan jantung.
Selain itu digunakan sebagai terapi tambahan pada
edema pulmonari akut dan edema otak.
Dosis - Injeksi intravena/intramuskular
Edema: dosis awal 20-40 mg diberikan 1-2
kali sehari, dapat ditingkatkan 20 mg tiap
interval 2 jam, hingga efek tercapai.
Maksimal dosis dalam sehari 1.500. mg.
43

Edema pulmonari akut: dosis awal 40 mg,


dapat ditingkatkan hingga 80 mg.
Edema otak: 20-40 mg 3 kali sehari.

- Oral
Edema (dewasa): dosis awal 40 mg sehari,
dapat ditingkatkan hingga 80 mg sehari.
Edema (anak): 1-3 mg/kgBB sehari, maksimal 40
mg sehari.
Kontaindikasi Hipovolemia dan hipersensitivitas
Perhatian Hati–hati penggunaan furosemid pada pasien
hipotensi, gout, dan hipoproteinemia.
Efek Samping Efek samping terkait penggunaan furosemid yaitu
gangguan elektrolit, dehidrasi, hipokloremia,
peningkatan asam urat, dan peningkatan volume
urin.
Interaksi Obat OAINS, aminoglikosida, sefalosporin, glikosida
jantung, glukokortikoid, dan laksatif.

5. Paracetamol (22)
Komposisi Tiap tablet mengandung 500 mg paracetamol
Indikasi Meredakan nyeri, demam, dan mengatasi radang
Dosis Dosis tunggal 15 mg/kg setiap 4 atau jam lebih,
hingga maksimum 60 mg/kg (hingga 3 g) setiap
hari
Kontraindikasi Gangguan fungsi hati berat
Perhatian Hati–hati penggunaan paracetamol jangka
panjang pada pasien anemia
Efek Samping Efek samping terkait penggunaan paracetamol
yaitu mual, muntah, dan diare.
Interaksi Warfarin, carbamazepin, fenobarbital, fenitoin,
probenesid, dan isoniazid

6. Atorvastatin (21,22)
Komposisi Tiap tablet mengandung 10 mg; 20 mg; atau 40
mg atorvastatin
Indikasi Hiperlipidemia, profilaksis kejadian
kardiovaskular
Kontraindikasi Hiperglikemia, hipersensitivitas, pasien dengan
44

kelainan hati, pasien dengan kadar serum-


aminotransferase tinggi, kehamilan
Efek Samping Sakit kepala, insomnia, gangguan saluran cerna,
ruam, hiperglikemia, diabetes melitus, nefropati
perifer, gangguan kognitif, depresi, disfungsi
seksual, reaksi hipersensitivitas, miopati,
rhabdomiolisis
Farmakologi Merupakan golongan penghambat HMG-CoA
reduktase atau statin. Agen statin bekerja dengan
menurunkan kadar LDL melalui penghambatan
pada enzim HMG-CoA reduktase. Dengan
mengurangi konversi HMG-CoA menjadi
mevalonat sebagai bagian dari pembentukan
kolesterol sehingga tidak sintesis kolesterol tidak
terjadi
Dosis Dosis lazim 10-20 mg sekali sehari, dosis dapat
ditingkatkan sesuai dengankebutuhan pasien,
dengan maksimal dosis sehari 80 mg.
Interaksi Risiko miopati atau rhabdomiolisis dapat
meningkat ketika diberikan bersama dengan
simvastatin atau agen statin yang lain, derivat
fibrat seperti gemfibrozil, dan asam nikotinat.
Atorvastatin dimetabolidme olehn enzim sitokrom
P450 isoenzim CYP3A4, sehingga akan
berinteraksi dan kadarnya akan dipengaruhi ketika
diberikan bersama dengan obat-obat yang
menghambat enzim ini seperti ciclosporin,
fluconazole, itraconazole, ketoconazole,
erythromycin, clarithromycin, amlodipin,
diltiazem, dan lainnya.

7. Omeprazole (22)
Komposisi Tiap ampul (mL) mengandung 40
mg omeprazol
Tiap kapsul mengandung 20 mg omeprazol
Indikasi Tukak lambung dan tukak duodenum
Dosis - Injeksi intravena/intramuskular
Tukak lambung dan tukak duodenum: 40 mg
sehari
45

- Oral
Tukak lambung dan tukak duodenum: 20 mg
sehari, dapat ditingkatkan 20-40 mg sehari.
Kontraindikasi Hipersensitivitas
Perhatian Hati–hati penggunaan omeprazol pada pasien
gangguan hati
Efek Samping Efek samping terkait penggunaan omeprazol yaitu
ruam kulit, sakit kepala, diare, demam, mual dan
muntah.
Interaksi Nelfinavir, metotrexat, digoxin, clopidogrel, dan
alprazolam

8. Proliver (21)
Komposisi Tiap tablet mengandung curcuminoid 20 mg,
silymarin phytosome 70 mg, choline bitartrate 150
mg, vit B6 2 mg.
Indikasi Membantu memelihara kesehatan hati.
Dosis 3 kali sehari 1 kapsul

9. Kalsium Glukonat (21)


Komposisi Setiap ampul mengandung 10 mg/ml kalsium
glukonat
Indikasi Antidot hipermagnesemia, hiperkalemia, dan
hipokalsemia
Dosis Dalam larutan 10%, untuk dewasa diberikan 10-20
ml secara perlahan secara injeksi dan 1-2 ml/kg
berat badan pada anak-anak selama 10-20 menit
Kontraindikasi Pasien dengan hiperkalsemia atau kondisi yang
berhubungan dengan hiperkalsemia,
hiperkalsiuria.
Perhatian -
Efek Samping Bradikardi dengan vasodilatasi/aritmia, iritasi
gastrointestinal, mual, muntah, berkeringat,
gelisah, hipotensi
Interaksi Peningkatan risiko hiperkalsemia jika digunakan
dengan obat golongan diuretik tiazid dan vitamin
D/A. Dapat meningkatkan efek toksisitas glikosida
jantung. Dapat meningkatkan efek adregenik
epinefrin.
46

10. Amiodaren (21)


Komposisi 50 mg/mL
Indikasi Aritmia supraventrikular, Aritmia ventrikel
Dosis 5 mg/kgBB selama 20-120 menit. Untuk kondisi
darurat: 150-300 mg selama >= 3 menit
Kontraindikasi Sinus bradikardia, blokade sinoatrial, gangguan
konduksi berat, syok kardiogenik, hipotensi berat,
gagal napas berat, disfungsi tiroid,
hipersensitivitas yang diketahui untuk yodium
Perhatian Pasien dengan gagal jantung laten atau manifes,
defibrilator kardioverter implan atau alat pacu
jantung, kardiomiopati dekompensasi, hipotensi.
Pasien menjalani operasi, orang tua, dan
kehamilan
Efek Samping Bradikardia, pemanjangan QT, hipotensi,
neuropati perifer, fotosensitifitas, neuropati optik
dan/atau neuritis optik.
Interaksi Tidak kompatibel dengan larutan NaCl 0,9%,
aminofilin, cefamandole nafate, cefazolin,
mezlocillin, heparin, dan Na bicarbonate.

11. Nitrokaf (21)


Komposisi Tiap kapsul mengandung Nitrogliserin 2,5 mg
Indikasi Pengobatan penyakit jantung, pencegahan dan
pengobatan jangka panjang angina pektoris.
Dosis 1 kapsul 2-3 kali sehari. Pada kasus parah 2
kapsul 2-3 kali sehari.
Kontraindikasi Anemia berat, trauma kepala, peningkatan tekanan
intrakranial, perdarahan otak, glaucoma,
kegagalan sirkulasi akut (syok, kolaps), hipotensi,
serangan jantung.
Efek Samping Efek merugikan yang paling umum dari nitrat
adalah sakit kepala yang biasanya berkurang
setelah beberapa hari. Selain itu dapat terjadi
toleransi nitrat yang menyebabkan efikasi
berkurang
Interaksi Vasodilator, antihipertensi, antagonis Ca,
neuroleptik atau TCA, sildenafil dan alkohol,
47

dihidroergotamin, heparin.

12. Dekstrosa (21)


Komposisi 50 g/L (5 %); 10 g/25 mL (40%)
Kelas Obat Karbohidrat sebagai nutrisi umum
Indikasi Menambah volume peredaran darah saat dehidrasi
dan syok, mengganti kebutuhan air pada
hipernatremia, sumber energi dan mencegah
starvation ketosis, perawatan hipoglisemia,
dicampur dengan larutan asam amino untuk
nutrisi parenteral
Mekanisme Kerja Dekstrosa dimetabolisme menjadi air dan CO2.
Air didistribusikan ke dalam ECF dan ICF. Air
dapat menyebabkan hemolisis bila diberikan
secara IV
Dosis Injeksi IV dengan kecepatan alir yang dianjurkan
3 mL/kg BB/jam atau disesuaikan dengan kondisi
pasien. Kecepatan maksimum rata-rata 500 mg/kg
BB/hari selama periode kurang dari 24 jam. Dosis
maksimum 1,5-3,0 g dekstrosa/kg BB/hari
Kontraindikasi Pasien dengan kondisi hiperhidrasi, asidosis, DM,
sindrom malabsorpsi dekstrosa-galaktosa
Efek Samping Bila pH larutan rendah (3,5-5,0) dapat
menyebabkan tromboflebitis. Reaksi yang
mungkin terjadi diantaranya rasa panas, iritasi
pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau
flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan dan
ekstravasasi
Perhatian Hati-hati diberikan pada pasien asidosis laktat,
payah jantung, edema dengan retensi Na,
gangguan ginjal, sepsis parah, keadaan pra-paska
trauma

13. Kalikate (22)


Komposisi Tiap sachet mengandung 5 g ca polistirene
sulfonat
Indikasi Hiperkalemia pada pasien CKD
Dosis - Dewasa: 15-30 g 3 kali sehari
- Anak: ½ dosis dewasa
48

Kontraindikasi Obstruksi usus


Perhatian Stenosis usus dan hipertiroid
Efek Samping Efek samping terkait penggunaan kalitake yaitu
mual, konstipasi, dan hipokalemia.
Interaksi Fenitoin, warfarin, kontrasepsi oral, dan sukralfat

14. Neurobion (21)


Komposisi Terdiri atas 2 ampul:
Ampul 1 mengandung vitamin B1 100 mg,
vitamin B6 100 mg
Ampul 2 mengandung vitamin B12 5000 mcg
Indikasi Defisiensi vitamin B1, B6, dan B12, neuritis
perifer dan neuralgia, membantu pencegahan
neuropati perifer akibat komplikasi diabetik
Dosis Untuk kasus berat, 1 pasang ampul setiap hari via
IM
Kontraindikasi Hipersensitivitas
Efek Samping Keringat, takikardia, gatal dan urtikaria, mual,
muntah, diare, nyeri perut
Interaksi Efek terapi obat menurun jika diberikan bersama
dengan levodopa. Kadarthiamine di dalam darah
berkurang jika diberikan bersama dengan diuretic
kuat

15. Asam Folat (21)


Komposisi Tiap tablet mengandung Asam Folat 400 mcg
Indikasi Anemia megalobastik defesiensi folat
Dosis Dewasa: 5 mg setiap hari hingga 4 bulan. Dapat
meningkat menjadi 15 mg setiap hari pada
keadaan malabsorpsi. Pemeliharaan: 5mg setiap 1-
7 hari.
Anak: >1 tahun Sama seperti dosis dewasa
Kontraindikasi Anemia pernisiosa dan defisiensi cobalamin
Perhatian Pasien dengan tumor yang bergantung pada folat.
Efek Samping - Gangguan jantung: Pembilasan.
- Gangguan gastrointestinal: Anoreksia, mual,
perut kembung, perut kembung.
- Gangguan sistem kekebalan tubuh: Reaksi
alergi.
49

- Gangguan sistem saraf: Malaise.


- Gangguan pernapasan, toraks dan
mediastinum: Bronkospasme.
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan:
Eritema, pruritus, ruam kulit, hipersensitivitas.
Interaksi Dapat menurunkan konsentrasi fenitoin.
Penurunan penyerapan dengan sulfasalazine dan
triamterene. Kloramfenikol, metotreksat, dan
kotrimoksazol dapat mengganggu metabolisme
folat. Dapat meningkatkan kemanjuran lithium.

16. Valsartan (21,22)


Komposisi Tiap tablet mengandung 80 mg Valsartan
Indikasi Anti hipertensi
Dosis 80-160 mg per hari, dapat ditingkatkan hingga
320 mg per hari
Kontraindikasi Sirosis bilier, kolestasisme, gangguan hati yang
parah, kehamilan.
Efek Samping Hipotensi, hiperkalemia, hipotensi ortostatik
Interaksi Peningkatan risiko hiperkalemia dengan diuretik
seperti spironolactone, triamterene, amiloride,
suplemen vitamin K atau obat yang mengandung
vitamin K (misalnya heparin). Dapat
meningkatkan konsentrasi dan toksisitas serum
lithium. Memiliki efek antagonis yang
menyebabkan hipotensi dan memperburuk fungsi
ginjal dengan aspirin dan AINS lainnya.
Peningkatan konsentrasi sistemik dengan
rifampisin, siklosporin, dan ritonavir.

17. Cedocard (21,22)


Komposisi Tiap tablet sublingual mengandung Isosorbide
Dinitrate 5 mg
Indikasi Vasodilator untuk penanganan anemia
Dosis 2.5 – 10 mg
Kontraindikasi Kegagalan sirkulasi akut (misalnya syok, kolaps
vaskular), kardiomiopati obstruktif hipertrofik, MI
akut, hipotensi berat, tekanan pengisian jantung
rendah, tamponade jantung, perikarditis
50

konstriktif, stenosis katup aorta atau mitral,


penyakit yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan intrakranial (misalnya setelah trauma
kepala, perdarahan serebral), anemia berat,
hipovolemia
Efek Samping Efek merugikan yang paling umum dari nitrat
adalah sakit kepala yang biasanya berkurang
setelah beberapa hari. Selain itu dapat terjadi
toleransi nitrat yang menyebabkan efikasi
berkurang
Interaksi Efek hipotensi dari ISDN dapat ditingkatkan oleh
alkohol dan oleh vasodilator atau obat lain dengan
efek hipotensi. Kemanjuran sublingual dan
sediaan tablet bukal dapat dikurangi dengan obat
yang menyebabkan mulut kering seperti
antidepresan trisiklik dan antimuskarinik

18. Asam Traneksamat (22)


Komposisi Setiap 5 ml mengandung 250 mg asam tranexamat
Indikasi Antifibrinolitik yang menghambat pemecahan
bekuan fibrin. Digunakan dalam pengobatan
perdarahan yang berhubungan dengan fibrinolisis
Dosis Dosis oral asam traneksamat adalah 1-1,5 g, 2
sampai 4 kali sehari. Dosis injeksi intravena
adalah 0,5 – 1 g (10 mg/ kg) 3 kali sehari. Asam
traneksamat dapat diberikan secara infus dengan
dosis 25-50 mg/kg.
Kontraindikasi Hipersensitivitas, penyakit tromoemboli aktif,
kondisi fibrinolitik setelah konsumsi koagulan,
riwayat thrombosis vena/arteri, riwayat kejang,
penggunaan bersamaan dengan kontrasepsi
hormonal
Efek Samping Gangguan gastrointestinal, hipotensi, komplikasi
trombolitik, gangguan penglihatan warna
sementara, reaksi hipersesitivitas pada kulit.
Interaksi Potensi pembentukan trombus dapat meningkat
jika digunakan bersamaan dengan estrogen

19. Adona (22)


Komposisi Tiap tablet mengandung Carbazochrome Sodium
51

Sulfonate 10 mg
Indikasi Agen haemostatik
Dosis 30-150 mg per hari dalam 3 dosis terbagi
Efek Samping Gangguan pencernaan dan hipersensitivitas

20. Asam Mefenamat (21,22)


Komposisi Tiap tablet mengandung Asam Mefenamat 500
mg
Indikasi Inflamasi dan nyeri ringan
Dosis 500 mg tiga kali sehari
Kontraindikasi Asam mefenamat dikontraindikasikan pada pasien
dengan penyakit radang usus
Efek Samping Efek samping paling umum adalah tukak
lambung. Selain itu pengobatan harus dihentikan
jika diare dan ruam terjadi. Efek lain yang
dilaporkan termasuk kantuk, dan efek pada darah
seperti trombositopenia, anemia hemolitik, dan
anemia aplastik. Kejang dapat terjadi pada
overdosis
Interaksi Dapat meningkatkan risiko perdarahan dengan
NSAID lain atau salisilat (misalnya aspirin),
antikoagulan (misalnya warfarin), agen
antiplatelet, kortikosteroid, dan SSRI. Dapat
meningkatkan efek nefrotoksik dari ciclosporin
atau tacrolimus. Dapat mengurangi efek obat
antihipertensi (misalnya ACE inhibitor, antagonis
angiotensin II, β-blocker), diuretik (misalnya
furosemid, tiazid), dan mifepristone
(pertimbangkan untuk menghindari asam
mefenamat setidaknya 8-12 hari setelah
penggunaan mifepristone). Dapat meningkatkan
konsentrasi plasma glikosida jantung, litium,
aminoglikosida, dan metotreksat. Dapat
memperpanjang waktu paruh agen hipoglikemik
oral, meningkatkan risiko hipoglikemia.
Metabolisme dan eliminasi dapat dikurangi
dengan probenesid. Dapat meningkatkan risiko
toksisitas hematologis dengan zidovudine.
52

BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Pembahasan
Studi kasus pasien dengan diagnosis CKD Stage 5,edema paru akut,
hipertensi, dan anemia, yang diambil dari rekam medik pasien dengan inisial Ny.
T di ruang perawatan khusus, lantai 2, Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar. Pasien berada di rumah sakit sejak 31 Agustus 2022 hingga tanggal 9
September 2022. Pasien berusia 58 tahun dengan berat badan 48.20 kg.

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan utama sesak nafas dirasakan
pasien sejak 3 hari yang lalu. Sebelumnya dirawat di RS Daerah Syekh Yusuf
Gowa kemudian pasien dirujuk ke RSUD Labuang Baji. Anamnesis pasien berupa
sesak nafas 3 hari yang lalu. Diagnosa awal yang diberikan dokter adalah
Dyspneu pro ev + Anemia E.C susp CKD, namun diagnosa ini dihilangkan hingga
diagnosis yang terdapat selama perawatan di rumah sakit adalah CKD Stage
5,edema paru akut, hipertensi, dan anemia.

Pada tanggal 2 September pasien menjalani operasi pemasangan Catheter


double lumen guna untuk menjadi akses pembuluh darah sementara yang dibuat
untuk proses hemodialisis.

Dari hasil pemeriksaan radiologi memberikan gambaran mengenai kondisi


pembesaran jantung (kardiomegali). Penyakit jantung yang disebabkan oleh
tekanan darah tinggi disertai aveora edema, coexist bronkopneumonia tidak
disingkirkan, dan efusi pleura di salah satu rongga paru. Hasil dari pemeriksaan
radiologi tersebut menyimpulkan bahwa pasien mengalami pembesaran ukuran
jantung, efusi pleura dan bronkopneumonia
53

Pemberian pengobatan pada pasien dilakukan selama pasien berada di


rumah sakit yaitu tanggal 31 Agustus – 9 September 2022. Pemberian pengobatan
Furosemide selama pasien menjalani terapi dinilai telah rasional diberikan,
mengingat penggunaan Furosemide memiliki indikasi untuk mengatasi hipertensi
dan mengatasi edema paru pasien (23). Namun menurut JNC 8, penggunaan obat
anti hipertensi bagi pasien yang mengalami gagal ginjal kronis lebih disarankan
menggunakan obat-obatan golongan ACEi dan ARB, seperti Kaptopril atau
Valsartan. Hal ini telah menunjukkan korelasi pengobatan dimana pada tanggal 7
September 2022 pasien diberikan pengobatan Valsartan. Namun lama penggunaan
Valsartan yang diberikan belum dapat mencapai target terapi bagi pasien dengan
umur dibawah <65 tahun yaitu <140/90, sehingga disarankan penggunaan
Valsartan lebih lama hingga mencapai target terapi (24).

Pemberian pengobatan Amiodarone pada pasien dinilai telah rasional, hal


ini dinyatakan dengan hasil pemeriksaan radiologi yang menyatakan adanya
kardiomegali atau pembesaran ukuran jantung, sehingga hal ini memengaruhi
kondisi kondisi detak jantung normal pasien. Karena hal itu maka dilakukan
pemeriksaan EKG pada pasien. Faktor lain yang dapat memengaruhi kondisi
aritmia pada pasien adalah hiperkalemia yang diderita oleh pasien (25)

Pemberian Nitrokaf pada pasien dinilai telah rasional digunakan. Hal ini
merujuk pada DiPiro et al. (2012) yang menyatakan bahwa pada pasien dengan
pulmonary edema (edema paru), maka dapat diberikan Nitrogliserin beserta
Furosemide. Sehingga secara efektif, penggunaan Nitrokaf dan Furosemide telah
tepat. Pemberian Cedocard relatif sama dengan Nitrokaf, karena keduanya
merupakan direct vasodilator yang penggunaan keduanya dikhususkan pada kasus
CKD (20). Pada pemberian Nitrokaf dihentikan secara tiba-tiba yaitu pada tanggal
8 September setelah pemberian selama 2 hari. Penghentian Nitrokaf secara tiba-
tiba dapat mengakibatkan efek rebound sehingga diperlukan tappering dose untuk
penghentiannya (19).
54

Pemberian Cedocard jika dinilai dari jenis obatnya telah sesuai, namun
dosis yang diberikan tidak mencukupi. Dosis yang diberikan pada pasien tersebut
adalah sebanyak 1 mg/jam dengan metode syringe pump. Sedangkan dosis yang
memberikan efek bagi pengobatan angina adalah 2 - 12 mg/jam (27). Sehingga
dalam hal ini diperlukan penyesuaian dosis bagi pasien.

Pemberian Ceftriaxone kepada pasien dinilai telah rasional diberikan. Hal


ini merujuk pada hasil diagnosa pasien yang menunjukkan adanya kesan
Bronkopneumonia pada pasien dan didukung dengan data hasil WBC yang tinggi
sehingga adanya indikasi terjadi infeksi pada pasien. Dalam kasus ini, Ceftriaxone
merupakan pilihan antibiotik yang tepat untuk pengobatan bronkopneumonia (28).

Pemberian Kalitake pada pasien telah rasional diberikan karena pasien


mengalami keadaan hiperkalemia. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yu
et al. (2017) menunjukkan bahwa pemberian agen calcium polystyrene sulfonate
(Kalitake) dapat diberikan secara aman kepada pasien CKD yang menderita
hiperkalemia.

Pemberian Ca Glukonas pada pasien untuk menurunkan serum kalium


pasien yang berada diatas kadar normal. Hal ini telah dinilai rasional karena
pemberian Ca Glukonas termasuk dalam penanganan hiperkalemia pada pasien
CKD. Ca Glukonas dalam kasus ini berfungsi sebagai membran potential
stabilizer. Selain itu pemberian Ca Glukonas dapat berefek pada normalisasi EKG
sehingga berguna pada pasien yang mengalami indikasi aritmia (30).

Pemberian infus NaCl 0.9% dan Dekstrosa 5% digunakan untuk


memenuhi kebutuhan cairan pasien dengan 8 tetes per menit dianggap telah
rasional. Hal ini juga berlaku untuk pemberian Dekstrosa 40%. Kebutuhan ini
diberikan berdasarkan keadaan pasien yang lemah sehingga ada indikasi
terjadinya kekurangan cairan tubuh.

Pemberian Asam Folat kepada pasien terkait anemia yang diderita oleh
pasien telah tepat digunakan, namun terdapat obat anemia yang lebih tepat untuk
pasien CKD yaitu Eritropoetin. Pada pasien dengan CKD, anemia terjadi
55

dikarenakan berkurangnya produksi dari hormon bernama erythropoietin.


Sehingga terapi utama pasien CKD dengan anemia adalah pemberian ESA
(erythropoietin stimulating agent. Sehingga dalam kasus ini sebaiknya diberikan
pengobatan Eritropoetin (31).

Pemberian Neurobion yang berisi vitamin B1, B6, dan B12 dinilai telah
rasional diberikan, karena dapat mengatasi anemia yang terjadi akibat defisiensi
dari vitamin B12 sehingga suplemen dari Neurobion dapat diberikan (31).

Pemberian Asam Tranexamat sebagai penanganan pendarahan sudah tepat


digunakan, namun pada pasien CKD diberikan dosis 500 mg. Menurut (27) Dosis
yang diberikan pada pasien CKD dengan nilai serum kreatinin diatas 500
mikromol/liter atau 5.6548 mg/dL memerlukan penyesuaian dosis 7.5 mg/kgBB
sekali sehari. Sehingga pada pasien dengan BB 42 kg memerlukan Asam
Tranexamat sebanyak 315 mg. Sedangkan pemberian Adona telah sesuai dengan
indikasi dan tidak terdapat kontraindikasi dengan pasien CKD (32). Namun, pada
pasien sebaiknya pemberian Adona dihentikan jika tidak terjadi lagi perdarahan.

Pemberian Asam Mefenamat kepada pasien tidak tepat diberikan


dikarenakan pasien tidak mengalami nyeri atau gangguan lain terkait inflamasi
sehingga disarankan untuk dihentikan pemberiannya.
56

BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus yang telah dikaji sebelumnya, dapat disimpulkan DRPs
yang dialami oleh pasien adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan obat anti hipertensi yang digunakan sebaiknya
disesuaikan menurut guideline
2. Penggunaan Atorvastatin sebaiknya mempertimbangkan pemeriksaan
kolestrol
3. Penggunaan Nitrokaf sebaiknya tidak dihentikan secara mendedak
4. Penggunaan Cedocard sebaiknya disesuaikan dosisnya
5. Pemberian terapi anemi bagi pasien CKD sebaiknya diberikan obat
anemia yang lebih sesuai yakni EPO
6. Pemberian Adona sebaiknya dihentikan dikarenakan pasien sudah
tidak mengalami pendarahan
7. Penggunaan Asam Mefenamat sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan
skala nyeri pasien
8. Pemberian Dextrosa sebaiknya dihentikan karena pasien tidak
mengalami hipoglikemik
9. Pemberian NaCl harus disesuaikan jumlah tetes per menitnya agar
mencapai kebutuhan cairan yang diinginkan

V.2 Saran
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai tenaga kesehatan,
apoteker diharapkan dapat bekerjasama dengan tenaga medis lain sehingga
permasalahan yang terjadi pada kasus tersebut dapat teratasi sehingga pasien
dapat segera mencapai kesembuhan.
57

DAFTAR PUSTAKA

1. Huber M, André Knottnerus J, Green L, Van Der Horst H, Jadad AR,


Kromhout D, et al. How should we define health? BMJ. 2011;343(7817).
2. Pusat Data dan Informasi KR. Indonesian Health Profile 2019 [Internet].
Indonesian Ministry of Health Information Center. 2020. 98 p. Available
from: www.journal.uta45jakarta.ac.id
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. PP Nomor 47 Tahun 2016
Tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Fasilitas Pelayanan Kesehat
[Internet]. 2016;(101):1–2. Available from:
https://persi.or.id/wp-content/uploads/2020/11/pp472016.pdf
4. Kementerian Kesehatan RI. PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2019 TENTANG
KLASIFIKASI DAN PERIZINAN RUMAH SAKIT. Kementrian Kesehat
RI [Internet]. 2019; Available from:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__30_Th_2019
_ttg_Klasifikasi_dan_Perizinan_Rumah_Sakit.pdf
5. Fadhilah A. Chronic Kidney Disease Stage V. Agromed Unila J.
2104;1(2):109–13.
6. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, DiPiro C V. Pharmacotherapy
Handbook,Tenth Edition. McGraw-Hill Companies. 2017. 1-8,787-797 p.
7. Wells B, Dipiro J, Dipiro C, Schwinghammer T. Pharmacotherapy
Handbook. 9th Editio. Vol. 7. Mcgraw-Hill Companies; 2017. 31–42 p.
8. NIDDK. Chronic Kidney Disease. National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Disease. 2022.
9. DiPiro JT, Yee GC, Posey LM, Haines ST, Noiln TD, Ellingrod V.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 11th Ed. Mcgraw-Hill
Companies; 2021.
58

10. Charles R, Tomson M, Alfred K, Cheung M, Johannes F E, Mann M.


Management of Blood Pressure in Patients With Chronic Kidney Disease
Not Receiving Dialysis: Synopsis of the 2021 KDIGO Clinical Practice
Guideline. Ann Intern Med. 2021;
11. Oh SW, Han SY. Loop Diuretics in Clinical Practice. Korean Soc
Electrolyte Metab. 2015;5997:17–21.
12. BPOM. PIONAS: Furosemide. 2022.
13. WHO. Hypertension. WHO. 2022.
14. Kemenkes RI. InfoDATIN: Hipertensi. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2017.
15. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology, Fourteenth Edition. Basic
and Clinical Pharmacology. 2018. 1497–1509 p.
16. Zeind CS, Michael GC. Applied Therapeutics, The Clinical Use of Drugs.
Wolters Kluwer; 2018.
17. Jameson P, Fauci A, Kasper D, Hauser S. Principles of Internal Medicine.
United Kingdom: Mcgraw-Hill Companies; 2018.
18. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman W, Handler J. 2014 Evidence-
Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults
Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National
Committee (JNC 8). Am Med Assoc. 2014;1097(5):507–20.
19. Boden WE, Padala SK, Cabral KP, Buschmann IR, Sidhu MS. Role of
short-acting nitroglycerin in the management of ischemic heart disease.
Drug Des Devel Ther [Internet]. 2015;9:4793–805. Available from:
https://www.dovepress.com/getfile.php?fileID=26587
20. Kimble MAK. Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics: The
Clinical Use of Drugs. 10th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2013. 1949–1982 p.
21. MIMS. MIMS [Internet]. 2022. Available from: www.MIMS.com
22. Brayfield A, editor. Martindale: The Complete Drug Reference. 38th ed.
London: Pharmaceutical Press; 2014.
23. Barzegari H, Khavanin A, Delirrooyfard A, Shaabani S. Intravenous
59

furosemide vs nebulized furosemide in patients with pulmonary edema: A


randomized controlled trial. Heal Sci Reports [Internet]. 2021;4(1):4–9.
Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7808786/pdf/HSR2-4-
e235.pdf
24. Joint National Committee. JNC 8 Hypertension Guideline Algorithm.
2014;311(5). Available from:
https://thepafp.org/website/wp-content/uploads/2017/05/2014-JNC-8-
Hypertension.pdf
25. Parham WA, Mehdirad AA, Biermann KM, Fredman CS. Hyperkalemia
revisited. Texas Hear Inst J [Internet]. 2006;33(1):40–7. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1413606/pdf/20060300s00
010p40.pdf
26. DiPiro JT, Wells BG, Schwinghammer TL, DiPiro C V. Pharmacotherapy
Handbook. 9th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc.; 2012.
27. Sweetman SC, editor. Martindale The Complete Drug Reference. 36th ed.
London: Pharmaceutical Press; 2009.
28. Zec SL, Selmanovic K, Andrijic NL, Kadic A, Zecevic L, Zunic L.
Evaluation of Drug Treatment of Bronchopneumonia at the Pediatric Clinic
in Sarajevo. Med Arch (Sarajevo, Bosnia Herzegovina) [Internet].
2016;70(3):177–81. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5010066/pdf/MA-70-
177.pdf
29. Yu MY, Yeo JH, Park JS, Lee CH, Kim GH. Long-term efficacy of oral
calcium polystyrene sulfonate for hyperkalemia in CKD patients. PLoS
One [Internet]. 2017;12(3):1–11. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5362098/pdf/pone.017354
2.pdf
30. National Kidney Foundation. Treatment of Hyperkalemia in Ckd
References. Natl Kidney Found [Internet]. 2016; Available from:
http://www.accessdata.fda.gov/
60

31. McMurray JJV, Parfrey PS, Adamson JW, Aljama P, Berns JS, Bohlius J,
et al. Kidney disease: Improving global outcomes (KDIGO) anemia work
group. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney
disease. Kidney Int Suppl [Internet]. 2012;2(4):279–335. Available from:
https://kdigo.org/wp-content/uploads/2016/10/KDIGO-2012-Anemia-
Guideline-English.pdf
32. MIMS. Carbazochrome @ www.mims.com [Internet]. 2022 [cited 2022
Sep 25]. Available from:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/carbazochrome?mtype=generic
33. Kemenkes RI. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementrian Kesehat RI.
2011;(January):1–83.
61

LAMPIRAN

Hasil dari pemeriksaan darah yang menunjukkan tidak normal serta indikasi
kemungkinan gangguan yang terjadi antara lain:
 WBC (+) Infeksi, kanker (33)
 RBC (-) Jumlah sel darah merah menurun pada pasien anemia leukemia,
penurunan fungsi ginjal, talasemin, hemolisis dan lupus eritematosus
sistemik. Dapat juga terjadi karena obat (drug induced anemia). Misalnya:
sitostatika, antiretroviral.
 HGB (-) Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia
karena kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan,
peningkatan asupan cairan dan kehamilan.

 HCT (-) Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena


berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak
darah dan hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien
mengalami anemia sedang hingga parah
 MCHC (-) MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia
mikrositik, anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik.
 PLT (-) Trombositopenia berhubungan dengan idiopatik trombositopenia
purpura (ITP), anemia hemolitik, aplastik, dan pernisiosa. Leukimia,
multiple myeloma dan multipledysplasia syndrome.
 RWD (+), menunjukkan distribusi ukuran sel darah merah yang homogen
 P-LCC (-)
 PCT (-) PCT yang menurun menunjukkan adanya infeksi atau kerusakan
jaringan sel yang terjadi
62

 Neutrofil (+) = Infeksi bakteri atau parasit, gangguan metabolisme,


pendarahan (33)
 Limfosit (-) = Penyakit Hodgkin, luka bakar, trauma (33)
 LIC (+) Konsentrasi LIC yang lebih besar dari kisaran referensi dikaitkan
dengan hemosiderosis, talasemia, dan anemia sideroblastik.
 SGPT/ALT (+) Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada penyakit
hepatoseluler, sirosis aktif, obstruksi bilier dan hepatitis
 SGOT/AST (+) Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI, penyakit
hati, pankreatitis akut, trauma, anemia hemolitik akut, penyakit ginjal akut,
luka bakar parah dan penggunaan berbagai obat, misalnya: isoniazid,
eritromisin, kontrasepsi oral
 Ureum (+) peningkatan Ureum atau BUN menunjukkan adanya kerusakan
pada ginjal
 Kreatinin (+) Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan
fungsi ginjal baik karena gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis,
penyumbatan saluran urin, penyakit otot atau dehidrasi akut.
 Kalium (+) Faktor yang mempengaruhi penurunan ekskresi kalium yaitu:
gagal ginjal, kerusakan sel (luka bakar, operasi), asidosis, penyakit
Addison, diabetes yang tidak terkontrol dan transfusi sel darah merah.

Anda mungkin juga menyukai