Anda di halaman 1dari 91

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN (KKL)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI

(PERIODE 16 DESEMBER 2022 – 22 DESEMBER 2022)

”PEMANTAUAN TERAPI OBAT PASIEN NSTE ACUTE


CORONARY SYNDROME KOMPLIKASI HFmEF”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III
PUTRI MEGA WIJAYANTI N012221003
REZKI NURUL AZIZAH N012221017
YASMIN GHALLYAH HASAN N012221019

Disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat untuk menyelesaikan Mata
Kuliah Dosis Regimen Obat

PASCA SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI


UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN (KKL) FARMASI RUMAH SAKIT


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI

”PEMANTAUAN TERAPI OBAT TERHADAP PASIEN NSTE ACUTE


CORONARY SYNDROME KOMPLIKASI HFmEF "
PERIODE 16 DESEMBER 2022 – 22 JANUARI 2022
KELOMPOK III
Mengetahui :

Pembimbing KKL Farmasi Rumah sakit


Pasca Sarjana Farmasi
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Apt. Yulia Yusrini Djabir, M.Si., M.Biomed.Sc.Ph.D


NIP. 0028077803

Pembimbing Kuliah Kerja Lapangan (KKL)


Kepala Instalansi Farmasi
RS Umum Daerah Labuang Baji
RS Umum Daerah Labuang Baji

apt. Samsuriadi, S.Si., M.H


apt. Andi Selvi Kartini Wonsu, S.Si.
NIP. 19781226 199903 1 002
NIP. 19830427 200901 2 003

` ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan Rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan Kuliah Kerja Lapangan
(KKL) di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan Mata Kuliah Dosis Regimen Obat di Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua Orang Tua dan Saudara yang telah memberikan dukungan dan doa
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan kegiatan dan laporan Kuliah Kerja
Lapangan (KKL) Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji.
2. Prof. Dr. apt. Elly Wahyudin, DEA. selaku Koordinator Mata Kuliah Dosis
Regimen Obat sekaligus sebagai pembimbing selama Kuliah Kerja Lapanngan
di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji atas arahan selama penyusunan
laporan Rumah Sakit.
3. apt. Yulia Yusrini Djabir, M.Si., M.Biomed., Sc.Ph.D., selaku pembimbing
selama Kuliah Kerja Lapangan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
atas arahan selama penyusunan laporan Rumah Sakit.
4. Prof. apt. Dr.rer.nat.Marianti.A. Manggau. selaku Dekan dan jajarannya. Dosen-
dosen Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin atas dukungan selama proses
KKL.
5. apt. Andi Selvi Kartini Wonsu, S.Si. selaku Kepala Instalasi Farmasi di Rumah
Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar yang telah memberikan arahan dan
bimbingan selama Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di rumah sakit.
6. apt. Samsuriadi, S.Si., M.H., selaku pembimbing selama Kuliah Kerja Lapangan
di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji atas arahan selama penyusunan
laporan Rumah Sakit
7. Seluruh karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji yang telah

` iii
membantu dan bekerja sama selama pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan,
8. Seluruh staff Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin yang telah membantu
dan bekerja sama selama pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan.
9. Teman-teman Kuliah Kerja Lapangan Rumah Sakit Umum Daerah Labuang
Baji, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.
Untuk semua bantuan, bimbingan dan pengarahan yang telah diberikan kepada
penulis selama melakukan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) hingga menyusun
laporan ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan,
namun penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat
Makassar, 23 Desember 2022

Kelompok III

` iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar Belakang 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
II.1 Definisi Acute Coronary Syndrome (ACS) 4
II.2 Patofisiologi Acute Coronary Syndrome (ACS) 4
II.3 Tanda dan Gejala Acute Coronary Syndrome (ACS) 6
II.4 Diagnosis Acute Coronary Syndrome (ACS) 7
II.5 Penatalaksanaan Acute Coronary Syndrome (ACS) 8
II.6 Definisi Penyakit Jantung Koroner 15
II.7 Epidemiologi Gagal Jantung 15
II.8 Faktor Resiko Gagal Jantung 16
II.9 Etiologi Gagal Jantung 16
II.10 Patofisiologi Gagal Jantung 20
II.11 Klasifikasi Gagal Jantung 22
II.12 Manifestasi Klinik Gagal Jantung 25
II.13 Diagnosis Gagal Jantung 26
II.14 Pentalaksanaan Gagal Jantung 32
II.15 Pharmcetical Care 39
II.16 Drug Related Problems 39
BAB III STUDI KASUS 43
III.1 Profil Pasien 43
III.2 Profil penyakit 43

` v
III.3 Data Klinik 44
III.4 Data Penunjang 48
III.5 Profil Pengobatan 48
III.6 Analisis Rasionalitas 50
III.7 Uraian Obat 51
III.8 Assesment and Plan 73
BAB IV PEMBAHASAN 75
BAB V PENUTUP 79
V.1 Kesimpulan 79
V.2 Saran 79
DAFTAR PUSTAKA 80
LAMPIRAN DOKUMENTASI 82

` vi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

II.1 Penyebab Gagal Jantung 17

II.2 Klasifikasi Gagal Jantung 23

II.3 Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan NYHA 24

II.4 Tanda dan Gejala Gagal Jantung 25

II.5 Abnormalitas Foto Toraks Umum Pada Gagal Jantung 29

II.6 Abnormalitas Nilai Laboratorium Umum Pada Gagal Jantung 30

II.7 Klasifikasi DRPS 40

III.1 Data Hasil Pemeriksaan Klinik Pasien 44

III.2 Data Pemeriksaan Hematologi 45

III.3 Data Pemeriksaan Kadar Gula Darah, Fungsi, Ginjal dan Elektrolit 46

III.4 Data Pemeriksaan Imunologi 47

III.5 Data Pemeriksaan Echocardigraphy 47

III.6 Data Profil Pengobatan Pasien 48

III.7 Data Analisa Rasionalitas Penggunaan Obat 50

III.8 Data Assesment & Plan Pengobatan Pasien 73

` vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

II.1 Bagan patofisiologi Congestife Heart Failure 22

II.2 Algoritma Diagnostik Gagal Jantung 27

II.3 Rekomendasi Pengobatan Pasien dengan HF dan Komorbiditas 37

II.4 Pedoman Terapi Medis Langsung Pasien Gagal Jantung 38

` viii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Sindroma Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS), adalah
suatu terminologi yang menunjukkan sekumpulan gejala nyeri dada iskhemik yang
akut dan perlu penanganan segera. SKA merupakan sindroma klinis akibat adanya
penyumbatan pembuluh darah koroner, baik bersifat intermitten maupun menetap
akibat rupturnya plak atherosklerosis. Hal tersebut menimbulkan ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard. SKA sendiri merupakan bagian dari penyakit
jantung koroner (PJK). Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut
dibagi menjadi Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI: ST segment
Elevation Myocardial Infarction), Infark Miokard dengan Non Elevasi Segmen ST
(NSTEMI: NonST segment Elevation Myocardial Infarction), Angina Pektoris Tidak
Stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris) (Dipiro, 2021).
Gagal jantung (HF) adalah sindrom klinis progresif yang dapat terjadi akibat
kelainan struktur atau fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk
mengisi atau mengeluarkan darah. HF dapat disebabkan oleh kelainan pada fungsi
sistolik, fungsi diastolik, atau keduanya. Pengobatan gagal jantung mungkin sangat
berbeda tergantung pada mekanisme gangguan yang dominan seperti disfungsi sistolik
atau diastolik. HF penyebab umum untuk banyak gangguan jantung termasuk yang
mempengaruhi perikardium, katup jantung, dan miokardium. Penyakit yang gangguan
diastole ventrikel (pengisian), sistol ventrikel (kontraksi), atau keduanya dapat
mengarah ke HF (Dipiro, 2021).
Menurut Riskesdas 2018, penyakit jantung memiliki kasus sebesar 1,5% di
Indonesia dengan persentase 1,3% diderita oleh laki-laki dan 1,6% oleh perempuan.
Sedangkan data WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa 70% kematian di dunia
disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (39,5 juta dari 56,4 kematian). Dari seluruh
kematian akibat penyakit tidak menular tersebut, 45% disebabkan oleh penyakit
jantung dan pembuluh darah, yaitu 17,7 juta dari 39,5 juta kematian. Kematian akibat
penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung adalah 27 %. Sekitar 3 - 20 per 1000
orang mengalami gagal jantung, angka kejadian gagal jantung meningkat seiring
pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 60 tahun. Dari hasil penelitian
Framingham pada tahun 2000 menunjukkan angka kematian dalam 5 tahun terakhir
sebesar 62% pada pria dan 42% wanita, berdasarkan data dari di Amerika terdapat 3
juta penderita gagal jantung dan setiap tahunnya bertambah dengan 400.000 orang,
sedangkan untuk di Indonesia angka kejadian gagal jantung menyebab kematian nomor
satu, padahal sebelumnya menduduki peringkat ketiga. Gagal jantung dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yang dapat dihindari dan yang tidak dapat dihindari.
Penyebab utama perkembangan CHF adalah hipertensi arteri (AH) – 95,5%,
penyakit arteri koroner - 69,7%, infark miokard (MI) atau sindrom koroner akut -
15,3%, diabetes melitus (DM) – 15,9%. Kombinasi penyakit jantung koroner dan
hipertensi terjadi pada sebagian besar pasien dengan CHF. Perbedaan jenis kelamin
dalam penyebab dekompensasi jantung ditemukan pada populasi pasien CHF. Bagi
laki-laki sebagai penyebab perkembangan CHF ternyata menjadi prioritas. Penyakit
jantung koroner, gangguan peredaran darah otak akut, dan untuk wanita - adanya
hipertensi, diabetes, kelainan jantung, dan miokarditis. Jadi, menurut penelitian
Framingham, CHF terdeteksi pada 13% wanita dengan defek katup dan hanya pada
10% pria dengan patologi serupa. Diketahui bahwa hipertensi adalah penyebab paling
umum perkembangan CHF pada wanita. Dalam studi Framingham, hipertensi
dikaitkan dengan peningkatan dua kali lipat risiko CHF pada pria dan peningkatan tiga
kali lipat pada wanita. Dalam penelitian lain, tercatat bahwa wanita dengan penyakit
jantung koroner memiliki risiko 2,7 kali lipat lebih tinggi terkena CHF dibandingkan
pria. Meskipun prevalensi infark miokard pada wanita lebih rendah daripada pria, pada
periode pasca-infark, gagal jantung lebih sering berkembang secara signifikan pada
mereka (Alisherovna, 2022).

` 2
Prevalensi gagal jantung pada penelitian epidemiologi,ditemukan terdapat lebih
dari 20 juta kasus terdiagnosis gagal jantung diseluruh dunia dan sebesar 2% pada
negara berkembang. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% meningkat
pada usia yanglebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Menurut American Heart
Association terdapat 5,3 juta orang meninggal di Amerika, 660.000 kasus baru
terdiagnosis setiap tahunnya pada populasi usia lebih dari 65 tahun. Sedangkan
tingkat kejadian di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar
229.696 orang.Tahun 2010 di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
tercatat telah merawat pasien gagal jangung sebanyak 504 dimana 230 pasien atau
46,4% mengalami gagal jantung akibat hipertensi. Di Hermina Depok sendiri pada
tahun 2020 tercatat 967 pasien rawat inap menderita hipertensi dan rawat jalan
sebanyak 519 pasien sedangkan jumlah pasien gagal jantung rawat inap mencapai
571 dan rawat jalan 415 (Puji,2022).
Penyakit gagal jantung kronik merupakan salah satu penyakit paling mematikan
di dunia. Penyakit ini mempunyai tingkat prevalensi yang cukup tinggi. Pasien dengan
gagal jantung kronik dapat menimbulkan penyakit lain sehingga obat-obat yang
diresepkan pun akan bervariasi. Oleh karena itu pasien dengan penyakit ini akan
mengkonsumsi obat yang lebih bervariasi pula sehingga dibuhkan peran seorang
farmasis yang berorientasi pada pelayanan pasien sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien dan membantu meminimalisir efek obat yang tidak diinginkan.
Pemberian obat-obat ini diharapkan dapat memberikan kesembuhan dan pemulihan
terhadap kesehatan pasien. Peran farmasis sangat penting dalam hal ini, ditunjang
dengan pemantauan kepatuhan pasien terhadap obat yang diberikan, monitoring efek
samping obat, pelayanan informasi obat yang cukup kepada pasien, serta mencegah
terjadinya Drug Related Problems (DRPs).

` 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Defenisi Acute Coronary Syndrome (ACS)


Acute Coronary Syndrome (ACS) melibatkan iskemia miokard akut akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokard. Klasifikasi
berdasarkan perubahan elektrokardiografi (EKG) meliputi: (1) miokard elevasi segmen
ST infark (STEMI) atau (2) ACS non-ST-segmen-elevasi (NSTE-ACS), yang
termasuk non-ST-segmen-elevasi MI (NSTEMI) dan angina tidak stabil (UA)
(Dipiro,2021).

II.2 Patofisiologi Acute Coronary Syndrome (ACS)


1. Disfungsi endotel, peradangan, dan pembentukan lapisan lemak berkontribusi
pada perkembangan plak arteri koroner aterosklerotik. Selanjutnya secara tiba-
tiba terjadi ruptur plak dan pembentukan trombus sehingga menurunkan aliran
darah dan suplai oksigen miokardial, menyebabkan iskemia dan berpotensi
infark.
2. Plak aterosklerotik yang ruptur biasanya memiliki fibrous cap yang tipis dan
cenderung nonobstruktif, menutupi <70% diameter luminal; dengan demikian,
pasien mungkin tidak mengalami angina sebelum ruptur plak karena
autoregulasi yang memadai yang mempertahankan aliran darah dan suplai
oksigen selama peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Peningkatan
pelepasan katekolamin selama stres fisik atau emosional dapat meningkatkan
kemungkinan pecahnya fibrous cap yang menipis.
b. Ruptur plak menembus penghalang antara inti plak nekrotik dan komponen
darah; trombosit yang bersirkulasi tertarik dan menempel pada area cedera.
Adhesi platelet terjadi melalui reseptor platelet glycoprotein (GP) VI yang
mengikat kolagen di dalam fibrous cap yang rusak, serta reseptor platelet GP

` 4
Ib-IX dan Faktor Von Wil Lebrand. Trombosit kemudian diaktifkan oleh
kolagen, trombin, tromboksan A2, adenosin difosfat (ADP), epinefrin, dan
serotonin. Pengikatan aktivator ini ke reseptor spesifiknya pada permukaan
trombosit (misal, reseptor P2Y12 untuk ADP, reseptor teraktivasi protease
[PAR]-1 untuk trombin) menghasilkan peningkatan permukaan trombosit area
dan pelepasan aktivator trombosit lebih lanjut dari butiran dalam trombosit.
Kumpulan kompleks tenase dan protrombinase dalam trombosit teraktivasi
menghasilkan aktivasi faktor Xa dan IIa (trombin) dalam kaskade koagulasi.
Perubahan konformasi reseptor permukaan GP IIb/IIIa dari platelet cross-links
platelet satu sama lain melalui fibrinogen bridges, menghasilkan agregasi
platelet dan pembentukan sumbat platelet di area ruptur plak.
c. Aktivasi kaskade pembekuan darah membentuk jalinan fibrin (trombus) di
sekitar sumbat trombosit yang menangkap komponen seluler seperti sel darah
merah dan menyebabkan penurunan aliran darah miokard dan pasokan oksigen.
Jika iskemia tidak diobati, nekrosis miosit dan kematian sel dapat terjadi.
d. Subtipe infark miokard didasarkan pada etiologi: (1) ruptur, fisura, atau erosi
plak aterosklerotik (90% kasus); (2) penurunan pasokan oksigen miokard atau
peningkatan kebutuhan tanpa adanya proses arteri koroner; (3) infark miokard
mengakibatkan kematian tanpa kemungkinan mengukur biomarker; (4) infark
miokard terkait dengan intervensi perkutan koroner (PCI; Tipe 4a) atau
trombosis stent (Tipe 4b); dan (5) infark miokard terkait dengan operasi
cangkok bypass arteri koroner (CABG).
e. Setelah infark miokard, terjadi adaptasi akut dan kronis untuk mencegah kegagalan
hemodinamik tetapi juga dapat menyebabkan remodeling ventrikel dan komplikasi
pasca infark miokard. Stimulasi sistem saraf simpatis (SNS) dan sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS) mengimbangi penurunan curah jantung. Namun,
hiperaktivasi kronis dari sistem ini dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel dan
penurunan lebih lanjut kontraktilitas dan curah jantung. Pelepasan mediator inflamasi
dan deposisi kolagen berkontribusi pada fibrosis miokard atau jaringan parut, yang

` 5
dapat menyebabkan penipisan dinding ventrikel kiri (LV) dan akhirnya berkembang
menjadi kardiomiopati dilatasi.
f. Komplikasi infark miokard termasuk aritmia ventrikel, bradiaritmia, blok
jantung, gagal jantung (HF), syok kardiogenik, dinding bebas LV atau ruptur
septum, tromboemboli (termasuk stroke sekunder akibat embolisasi trombus
LV), pembentukan aneurisma, dan perikarditis. Banyak pasien dengan ACS
mengalami depresi selama masa pemulihan (Dipiro,2021).
II.3 Tanda dan Gejala Acute Coronary Syndrome (ACS)
1. Pasien biasanya mengalami distres akut dan dapat muncul dengan atau
berkembang menjadi hipertensi krisis, gagal jantung akut, syok kardiogenik,
atau henti jantung.
2. Gejala klasik ACS adalah nyeri dada substernal atau rasa tidak nyaman yang
muncul tiba-tiba yang sering digambarkan sebagai tekanan, berat, atau sesak
yang berlangsung selama 10 menit atau lebih. Gejala dapat menyebar ke
lengan dan bahu (terutama di sisi kiri), punggung, perut, atau rahang. Mual,
muntah, diaforesis, atau sesak napas juga dapat terjadi.
3. Banyak pasien memiliki gejala atipikal tanpa nyeri dada, seperti nyeri
epigastrium, gangguan pencernaan, nyeri dada pleuritik, dan peningkatan
dispnea saat aktivitas. Orang dewasa yang lebih tua, wanita, dan pasien dengan
diabetes melitus (DM), gangguan fungsi ginjal, dan demensia lebih cenderung
menunjukkan gambaran atipikal.
a. Tidak ada temuan pemeriksaan fisik yang spesifik untuk ACS. Temuan
nonspesifik termasuk S4 atau pemisahan paradoks suara jantung S2 pada
auskultasi. Tanda HF dekompensasi akut meliputi distensi vena jugularis,
edema paru, dan S3 pada auskultasi. Pasien juga dapat datang dengan aritmia,
blok jantung, hipertensi (HTN), hipotensi, atau syok (Dipiro,2021).

` 6
II.4. Diagnosis Acute Coronary Syndrome (ACS)
1. Dapatkan 12-lead ECG dalam waktu 10 menit setelah munculnya gejala.
Perubahan sugestif iskemia akut meliputi STE, depresi segmen ST, dan inversi
gelombang T. Adanya blok left bundle-branch block/LBBB baru pada pasien
dengan dugaan ACS menunjukkan bukti kuat terjadi infark akut. Beberapa
pasien dengan ACS tidak memiliki perubahan EKG, jadi evaluasi yang tepat
dan stratifikasi risiko harus hati-hati untuk menilai riwayat medis, gejala yang
muncul, dan biomarker jantung.
2. Troponin jantung (baik T atau I) diukur pada saat munculnya gejala dan
diulang 3-6 jam kemudian untuk mendeteksi cedera miokard; peningkatan
kadarnya dalam darah terjadi dalam 2-4 jam setelah cedera miosit atau
nekrosis dan dapat tetap meningkat selama 2 minggu. Cedera miokard
dianggap akut jika ada kenaikan dan/atau penurunan dinamis sebesar 20% atau
lebih dalam nilai troponin. Peningkatan kadar troponin pada pasien dengan
gejala ACS, perubahan iskemik pada EKG, atau bukti iskemia lainnya
mengkonfirmasi diagnosis infark miokard. Tingkat peningkatan troponin
tambahan seharusnya diperoleh setelah lebih dari 6 jam setelah onset gejala
pada pasien dengan risiko ACS menengah hingga tinggi meskipun kadar
troponin normal selama pengukuran.
3. Peningkatan dinamis kadar troponin jantung dengan elevasi segmen ST
minimal 1 mm pada dua sandapan yang berdekatan atau LBBB baru pada EKG
yang muncul memastikan diagnosis STEMI. Sebaliknya, diagnosis NSTEMI
tepat untuk pasien dengan gejala SKA dan peningkatan kadar troponin tanpa
segmen ST minimal 1 mm. elevasi pada EKG saat presentasi. Pasien dengan
gejala yang konsisten dengan ACS tetapi troponinnya tidak meningkat
mungkin memiliki UA atau diagnosis alternatif (Dipiro,2021).

` 7
II.5. Penatalaksanaan Acute Coronary Syndrome (ACS)
1. Terapi Antitrombolitik untuk ACS
Terapi antiplatelet dan antikoagulan diperlukan pada fase pengobatan akut ACS
karena trombosit mendominasi proses patofisiologis pada trombosis arteri, dan
trombin baik dalam aktivasi maupun koagulasi trombosit.
• Terapi Antiplatelet
Aspirin: Dosis 81 mg per hari dilanjutkan tanpa batas waktu (setelah
dosis awal 162-325 mg) pada pasien dengan STEMI atau NSTE-ACS.
Pasien yang menjalani PCI untuk STEMI atau NSTE-ACS yang telah
menerima aspirin kronis 81 mg setiap hari harus diberikan dosis tambahan
81-325 mg sebelum prosedur. • Inhibitor P2Y12 : Agen oral (clopidogrel,
prasugrel, ticagrelor) biasanya diberikan dengan aspirin sebagai terapi
antiplatelet ganda (DAPT) untuk mencegah trombosis stent dan kejadian
CV trombotik. Cangrelor adalah obat IV yang diindikasikan sebagai
tambahan untuk PCI untuk mengurangi MI periprosedural, pengulangan
revaskularisasi, dan trombosis stent pada pasien yang tidak menerima
inhibitor P2Y12 oral atau inhibitor GP IIb/IIIa yang direncanakan. Salah
satu dari empat agen dapat diberikan dengan PCI primer, tetapi hanya
clopidogrel yang telah dievaluasi dalam uji klinis besar pada pasien dengan
STEMI yang menerima reperfusi dengan fibrinolisis.
Dosis yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
- Clopidogrel: dosis pemuatan oral 600 mg sebelum PCI primer untuk
STEMI atau NSTE ACS. Berikan dosis pemuatan oral 300 mg
kepada pasien yang menerima fibrinolitik atau yang tidak menerima
terapi reperfusi. Hindari dosis loading pada pasien usia ÿ75 tahun.
Dosis pemeliharaan adalah 75 mg setiap hari.
- Prasugrel: dosis pemuatan oral 60 mg pada pasien yang menjalani
PCI, diikuti dengan 10 mg oral sekali sehari untuk pasien dengan

` 8
berat 60 kg; gunakan 5 mg sekali sehari untuk pasien dengan berat
<60 kg.
- Ticagrelor: dosis pemuatan oral 180 mg pada pasien yang menjalani
PCI, diikuti oleh 90 mg secara oral dua kali sehari.
- Cangrelor: 30 mcg/kg IV bolus sebelum PCI diikuti infus 4
mcg/kg/menit selama PCI atau 2 jam, mana yang lebih lama.
• Hentikan penggunaan clopidogrel dan ticagrelor setidaknya selama 5
hari dan prasugrel selama 7 hari sebelum operasi elektif (misalnya
operasi CABG). Cangrelor dapat dilanjutkan hingga beberapa jam
sebelum operasi karena durasi kerjanya yang singkat.
• Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitors (GPIs)
- GPI menghambat reseptor GP IIb/IIIa pada trombosit, memblokir
pengikatan fibrinogen ke reseptor GP IIb/IIIa yang teraktivasi, yang
merupakan langkah terakhir dalam agregasi trombosit.
- Agen ini harus diberikan dengan unfractionated heparin (UFH) atau
lowmolecularweight heparin (LMWH) yang harus dihentikan
segera setelah PCI untuk mengurangi risiko perdarahan mayor.
- Penggunaan GPI telah menurun dalam beberapa tahun terakhir;
pasien yang paling mungkin mendapat manfaat adalah mereka yang
menerima PCI untuk NSTE-ACS dengan kadar troponin tinggi dan
pasien dengan STEMI yang belum dimuat dengan inhibitor P2Y dan
tidak diobati dengan bivalirudin. Dosis yang dianjurkan adalah
sebagai berikut:
a) Abciximab:0,25 mg/kg IV bolus diberikan 10-60 menit
sebelum dimulainya PCI, diikuti dengan 0,125
mcg/kg/menit (maksimum 10 mcg/menit) selama 12 jam;
sebagai alternatif, hanya 0,25 mg/kg bolus intrakoroner
b) Eptifibatida:180 mcg/kg IV bolus, diulang dalam 10 menit,

` 9
diikuti dengan infus IV 2 mcg/kg/menit selama 18-24 jam
setelah PCI; kurangi dosis infus hingga 50% jika klirens
kreatinin (CrCl)
c) Tirofiban:25 mcg/kg IV bolus, lalu 0,15 mcg/kg/menit
hingga 18-24 jam setelah PCI; kurangi dosis infus hingga
50% jika CrCl adalah≤60 mL/menit (1,0 mL/detik).
- GPI tidak bermanfaat dan tidak boleh digunakan pada pasien dengan
NSTE-ACS yang menjalani pendekatan berbasis iskemia. GPI juga
harus dihindari pada pasien dengan STEMI yang menerima
reperfusi dengan fibrinolitik karena peningkatan yang signifikan
pada perdarahan mayor dan ICH.
- Selain perdarahan, GPI menyebabkan trombositopenia yang
signifikan pada sekitar 1% pasien yang menerima abciximab dan
0,5% dengan eptifibatide dan tirofiban. Karena GPI diberikan
dengan heparin, penting untuk membedakan trombositopenia yang
diinduksi GPI dari trombositopenia yang diinduksi heparin (HIT).
• Antikoagulan
- Meskipun pasien dengan ACS biasanya menggunakan setidaknya
dua agen antiplatelet selama satu tahun atau lebih, antikoagulan
tunggal biasanya diberikan untuk waktu yang singkat
- Unfractionated heparin (UFH) telah banyak digunakan dalam
manajemen ACS selama beberapa dekade. Berdasarkan
pengalaman, UFH dapat digunakan di seluruh spektrum ACS dan
terlepas dari strategi pengelolaannya. Karena variabilitas
antarpasien yang signifikan dalam respon antikoagulan, terapi harus
dipantau dengan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (aPTT)
setiap 6 jam sampai dua pembacaan berturutturut berada dalam
kisaran terapeutik institusi (1,5-2 kali nilai kontrol), kemudian

` 10
setiap 24 jam untuk durasi terapi UFH. Waktu pembekuan aktif
(ACT) dipantau selama PCI karena dapat diukur di samping tempat
tidur dengan hasil yang cepat. Jumlah trombosit juga harus dipantau
setiap hari atau setiap hari untuk mendeteksi HIT. Jika diduga HIT,
hentikan UFH dan berikan antikoagulan dengan penghambat
trombin langsung IV.
- Low-molecular-weight heparins (LMWHs) memberikan respons
dosis antikoagulan yang dapat diprediksi tanpa perlu pemantauan
terapi rutin. Pemantauan kadar anti-Xa dapat membantu pada pasien
obesitas (>190 kg) dan pasien dengan insufisiensi ginjal berat
(misalnya, CrCl <30 mL/menit (0,5 mL/detik). Level puncak anti-
Xa target terbatas karena pasien dengan ACS biasanya menerima
terapi antikoagulan hanya untuk beberapa hari. Meskipun kejadian
HIT lebih rendah dengan LMWH <2% dibandingkan dengan UFH
(2% -5 %), pemantauan jumlah trombosit masih diperlukan karena
90% reaksi silang antara antibody HIT dan LMWH dan UFH,
LMWH bukanlah alternatif yang aman pada pasien yang
mengembangkan HOT dari UFH dan sebaliknya.
▪ Enoxaparin adalah agen yang paling banyak dipelajari di ACS
dan merupakan satu-satunya LMWH yang direkomendasikan
dalam pedoman saat ini. Data mendukung kemanjurannya pada
pasien dengan STEMI dan NSTE-ACS, terlepas dari perfusi
atau strategi manajemen yang digunakan. Namun, dosis
enoxaparin bervariasi pada situasi yang berbeda, Pada pasien
dengan STEMI menerima reperfusi dengan fibrinolitik.
enoxaparin menunjukkan penurunan kematian dan MI yang
signifikan sebesar 17% dibandingkan dengan UFH.
Berdasarkan data uji klinis, UFH atau enoxaparin
direkomendasikan pada pasien dengan NSTE-ACS.

` 11
▪ Fondaparinux memberikan respons dosis antikoagulan yang
dapat diprediksi tanpa perlu pemantauan terapeutik (mirip
dengan LMWH). Sebuah uji klinis pada pasien NSTE-ACS
yang menerima strategi penanganan iskemia atau invasif
menunjukkan kemanjuran yang sama antara fondaparinux dan
enoxaparin, dengan perdarahan mayor yang jauh lebih sedikit
pada pasien yang menerima fondaparinux. Meskipun faktor
perancu dapat menjelaskan perbedaan perdarahan, fondaparinux
dapat dipertimbangkan pada pasien yang menjalani pendekatan
berbasis iskemia yang berisiko tinggi mengalami perdarahan.
Fondaparinux tidak direkomendasikan pada pasien yang
menerima PCI primer untuk STEMI karena hasil uji klinis
menunjukkan tingkat trombosis terkait kateter yang lebih tinggi
dibandingkan dengan UFH. Pada pasien dengan STEMI yang
menerima fibrinolitik, fondaparinux memiliki efikasi dan
keamanan yang serupa dengan UFH.
▪ Bivalirudinadalah penghambat trombin langsung yang hanya
digunakan pada pasien ACS yang menerima PCI dan dapat
dipantau dengan ACT di laboratorium kateterisasi. Meskipun
pedoman saat ini merekomendasikan penggunaan bivalirudin,
UFH sering digunakan sebagai gantinya karena uji coba terbaru
menunjukkan bahwa bivalirudin tidak menawarkan manfaat
efikasi atau keamanan dibandingkan UFH saja dalam
pengaturan PCI primer untuk STEMI. Bivalirudin belum
dievaluasi pada pasien dengan STEMI yang menerima reperfusi
dengan fibrinolitik atau pada pasien dengan NSTE-ACS yang
menjalani pendekatan berbasis iskemia.

` 12
II.11 Pencegahan Sekunder Kejadian Iskemik
• Rekonsiliasi obat saat pulang harus mencakup penilaian untuk kelas obat
yang tercantum di bawah ini yang sesuai kecuali ada kontraindikasi; contoh
rejimen obat dalam kelas obat yang tercantum yaitu :
a) Aspirin : Obati dengan aspirin 81 mg sekali sehari tanpa batas waktu.
b) P2Y12 inhibitor : Karena risiko iskemik setelah ACS tinggi, DAPT
dengan aspirin ditambah penghambat reseptor P2Y diindikasikan
untuk sebagian besar pasien selama minimal 12 bulan terlepas dari
strategi manajemen yang digunakan. Kelanjutan DAPT melebihi 12
bulan mungkin masuk akal untuk pasien dengan risiko iskemik yang
lebih tinggi jika mereka juga memiliki risiko perdarahan yang rendah.
Untuk pasien dengan STEMI yang diobati dengan fibrinolisis, durasi
DAPT yang direkomendasikan minimum adalah 14 hari.
- Clopidogrel: 75 mg sekali sehari
- Prasugrel: 10 mg sekali sehari (5 mg setiap hari jika berat badan <60
kg)
- Ticaglor : 90 mg dua kali sehari
c) β-Blocker:
- Karvedilol: 6,25 mg dua kali sehari; dosis target (pada pasien
dengan HF dengan pengurangan fraksi ejeksi [HFrEF]) 25 mg dua
kali sehari sesuai toleransi
- Metoprolol: 25–50 mg setiap 6–12 jam selama 2–3 hari, kemudian
sekali sehari (metoprolol suksinat) atau dua kali sehari (metoprolol
tartrat) dosis target (pada pasien dengan HFrEF) 200 mg setiap hari.
β-blocker lain dapat dipertimbangkan; pada pasien dengan HFrEF,
gunakan metoprolol suksinat, carvedilol, atau bisoprolol. Lanjutkan
terapi selama minimal 3 tahun dan tanpa batas waktu pada pasien
dengan HFrEF bersamaan.

` 13
d) Statin : Mulai terapi statin intensitas tinggi selama rawat inap indeks
setelah pasien stabil dan lanjutkan pengobatan tanpa batas waktu.
Semua pasien harus menerima dosis tertinggi statin yang dapat
ditoleransi secara maksimal:
- Atorvastatin: 80 mg setiap hari
- Rosuvastatin: 20–40 mg setiap hari
Statin intensitas sedang atau dosis rendah statin intensitas tinggi dapat
dipertimbangkan untuk pasien ACS dengan riwayat intoleransi statin
atau mereka yang berisiko tinggi untuk efek samping terkait statin.
Pasien di atas usia 75 tahun dapat diresepkan statin intensitas sedang
sebagai terapi awal. Nilai kembali panel lipid 4-6 minggu setelah
memulai terapi dengan tujuan penurunan 50% LDL-C dari awal.
e) Obat penurun kolesterol non statin : Untuk pasien dengan ASCVD
risiko sangat tinggi (misalnya pasca-ACS) dan LDL-C >70 mg/dL
(1,81 mmol/L) dengan terapi statin yang dapat ditoleransi secara
maksimal.
- Ezetimibe: 10 mg setiap hari
- Simvastatin: 40 mg/ezetimibe 10 mg setiap hari
- Alirocumab: 75 mg SC setiap 2 minggu.
f) Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor : Pemberian awal
(dalam waktu 48 jam setelah presentasi) dikaitkan dengan kematian
yang lebih rendah dalam bulan pertama terapi dengan manfaat
tambahan yang diamati selama durasi pengobatan yang lebih lama.
- Lisinopril: 2,5–5 mg setiap hari; dosis target 10-40 mg setiap hari
- Captopril: 6,25–12,5 mg tiga kali sehari; dosis target 25-50 mg tiga
kali sehari
- Ramipril: 2,5 mg dua kali sehari; dosis target 5 mg dua kali sehari
- Trandolapril: 0,5–1 mg setiap hari; dosis target 4 mg sehari
g) Angiotensin receptor blocker (ARB) : Pasien yang tidak toleran

` 14
terhadap penghambat ACE:
- Valsartan: 20 mg dua kali sehari; dosis target 160 mg dua kali sehari.
h) Aldosterone antagonist : Untuk mengurangi mortalitas, pertimbangkan
pemberian dalam 14 hari pertama setelah MI pada pasien yang diobati
dengan ACE inhibitor (atau ARB) dan β-blocker dengan disfungsi LV
(LVEF≤40% [0,40]) dan gejala HF atau DM.
- Eplerenone: 25 mg setiap hari; dosis target 50 mg setiap hari
- Spironolakton: 12,5–25 mg setiap hari; dosis target 25-50 mg setiap
hari
i) Nitrogliserin : Semua pasien yang tidak menggunakan penghambat
PDE-5 harus diresepkan dan diinstruksikan tentang penggunaan NTG
kerja pendek yang tepat, baik tablet SL (0,3-0,4 mg SL setiap 5 menit,
hingga 3 dosis) atau semprotan lingual untuk meredakan gejala angina
akut pada dasar sesuai kebutuhan.

II.6 Definisi Penyakit Jantung Koroner


Gagal jantung (HF) adalah sindrom progresif yang dapat terjadi akibat
perubahan struktur atau fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk
mengisi atau mengeluarkan darah. HF dapat disebabkan oleh kelainan pada fungsi
sistolik, fungsi diastolik, atau keduanya. HF dengan fungsi sistolik yang berkurang
(yaitu, reduksi fraksi ejeksi ventrikel kiri, LVEF) dirujuk sebagai HF With Reduced
Left Ventricular Ejection Fraction (HFrEF). Fungsi sistolik ventrikel kiri normal
(yaitu, LVEF normal) dengan dugaan disfungsi diastolik disebut HF dengan Preserved
Left Ventricular Ejection Fraction (HFpEF) (Dipiro, 2021).

II.7 Epidemiologi Gagal Jantung


Di negara maju, insiden gagal jantung berdasarkan usia mengalami penurunan,
yang menunjukkan manajemen penyakit kardiovaskuler yang lebih baik, namun karena
penuaan, insiden secara keseluruhan meningkat. Saat ini, kejadian gagal jantung di

` 15
Eropa adalah sekitar 3/1000 orang tiap tahun (untuk semua kelompok umur) atau
sekitar 5/1000 orang tiap tahun pada orang dewasa. Prevalensi gagal jantung 1-2% pada
orang dewasa. Karena penelitian biasanya hanya mencakup kasus gagal jantung yang
terdiagnosis, sehingga kemungkinan prevalensi sebenarnya lebih tinggi. Prevalensi
meningkat 1% pada mereka yang berusia <55 tahun hingga >10% pada mereka yang
berusia 70 tahun atau lebih. Secara umum diyakini bahwa, dari mereka yang menderita
gagal jantung, sekitar 50% menderita HFrEF dan 50% menderita HFpEF/HFmrEF,
terutama berdasarkan penelitian pada pasien rawat inap. Registri Jangka Panjang ESC,
dalam pengaturan rawat jalan, melaporkan bahwa 60% memiliki HFrEF, 24% memiliki
HFmrEF, dan 16% memiliki HFpEF. Lebih dari 50% pasien HF adalah perempuan
(McDonagh, 2022).

II.8 Faktor Resiko Gagal Jantung


a. Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi pada LV,
infark miokard, obesitas, diabetes.
b. Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal ginjal kronik,
albuminuria, anemia, stress, lifestyle yang buruk.
c. Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.
d. Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.
e. Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi (antrasiklin,
siklofosfamid, 5 FU), terapi target kanker (transtuzumab, tyrosine kinase
inhibitor), NSAID, kokain, alkohol.
f. Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga. (Ford et al., 2015)

II.9 Etiologi Gagal Jantung


Penyebab paling umum gagal jantung (serta beberapa investigasi utama)
ditunjukkan pada Tabel II.1. Etiologi gagal jantung bervariasi berdasarkan geografis.
Di negara-negara Barat dan maju, penyakit arteri koroner (CAD) dan hipertensi
merupakan faktor dominan. Sehubungan dengan etiologi iskemik, HFmrEF mirip

` 16
dengan HFrEF, dengan frekuensi CAD yang lebih tinggi mendasari dibandingkan
dengan mereka dengan HFpEF (McDonagh, 2022).

Tabel II.1 Penyebab Gagal Jantung, contoh penyebab dan pemeriksaan khusus

Penyebab Contoh Penyebab Pemeriksaan Khusus

Infark miokard, Angina Angiografi koroner invasif


atau "setara angina" CT angiografi koroner
Coronary
Aritmia Imaging stress tests (echo,
artery disease
nuclear, cardiac magnetic
resonance)
Heart failure with preserved Tekanan darah rawat jalan 24 jam
systolic function
Hipertensi Hipertensi maligna/edema paru Metanefrin plasma, pencitraan
akut arteri ginjal
Renin dan aldosteron
Penyakit katup primer misalnya Echo transoesophageal/stress
stenosis aorta,
Penyakit Katup Penyakit katup sekunder, mis.
regurgitasi fungsional,
Penyakit katup bawaan
Takiaritmia atrium Rekaman EKG rawat jalan
Aritmia Aritmia ventrikel Studi elektrofisiologi, jika
diindikasikan
Semua jenis Kardiomiopati CMR, pengujian genetic
Melebar
Kardiomiopati Hipertrofik
Retrictive Kateterisasi jantung kanan dan
ARVC kiri

` 17
Peripartum
Sindrom Takotsubo
Toksin: alkohol, kokain, besi,
tembaga CMR, angiografi
Elemen jejak, toksikologi, LFT,
GGT
Transposisi arteri besar yang CMR
dikoreksi/diperbaiki secara
Penyakit kongenital
jantung bawaan Lesi shunt
Perbaikan tetralogi Fallot
anomali Ebstein

Infeksi Penyakit chagas CMR, EMB


Miokarditis HIV Serologi
akibat virus Penyakit Lyme

Antrasiklin
Trastuzumab
penghambat VEGF
Induksi obat Penghambat pos pemeriksaan
kekebalan
Penghambat proteasom
penghambat RAF+MEK
Amiloid Serum electrophoresis and serum
Infiltratif free light chains, Bence Jones
protein, Bone scintigraphy,
CMR, CT-PET, EMB

` 18
Sarkoidosis
Neoplastik Serum ACE, CMR, FDG-PET,
CT dada, EMB CMR, EMB
Haemochromatosis Studi besi, genetika, CMR (T2*
Gangguan
penyakit Fabri imaging), EMB a-galactosidase
penyimpanan
Penyakit penyimpanan glikogen A, genetika, CMR (pemetaan
T1)
Radioterapi CMR
Penyakit Fibrosis penyelenggara pemilu
Endomiokard endomiokard/eosinofilia urin 24 jam 5-HIAA
Karsinoid
penyakit Kalsifikasi CT Dada, CMR, Kateterisasi
perikardial Infiltratif Jantung Kanan dan Kiri

Penyakit Endokrin TFT, metanefrin plasma, renin


Defisiensi gizi (defisiensi dan aldosteron, kortisol
Metabolik tiamin, vitamin B1 dan Nutrisi plasma spesifik
selenium)
Penyakit autoimun ANA, ANCA, tinjauan
reumatologi
Penyakit neuromuskular ataksia Studi konduksi saraf,
Penyakit
Friedreich elektromiogram, genetika
neuromuskular
Distrofi otot
x
CK, elektromiogram, genetika
Ket : 5-HIAA = 5-hydroxyindoleacetic acid; ACE = angiotensin-converting enzyme;
ANA = anti-nuclear antibody; ANCA = anti-nuclear cytoplasmic antibody; ARVC =
arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy; CMR = cardiac magnetic
resonance; CK = creatinine kinase; CT= computed tomography; ECG =

` 19
electrocardiogram; Echo = echocardiography; EMB = endomyocardial biopsy; FDG =
fluorodeoxyglucose; GGT = gamma-glutamyl transferase; HIV = human
immunodeficiency virus; LFT = liver function test; LGE = late gadolinium
enhancement; MEK = mitogen-activated protein kinase; PET = positron emission
tomography; TFT = thyroid function test; VEGF = vascular endothelial growth factor

II.10 Patofisiologi Gagal Jantung


Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
A. Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure)
1. Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)
Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan baik sehingga
keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung sebelah kiri keseluruh
tubuh. Akibatnya, darah akan mengalir balik ke dalam vaskulator pulmonal
(Berkowitz, 2013). Pada saat terjadinya aliran balik darah kembali menuju
ventrikular pulmonaris, tekanan kapiler paru akan meningkat (>10 mmHg)
melebihi tekanan kapiler osmotik (>25 mmHg). Keadaan ini akan
menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke dalam interstitium paru dan
menginisiasi edema (Porth, 2007).
2. Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)
Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan disfungsi
ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita
oleh kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau
tertundanya komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada
bagian jantung sebelah kiri. Pada gagal jantung kanan dapat terjadi
penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di ekstermitas bawah
(Acton, 2013).
B. Mekanisme Neurohormonal
Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon pada
gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh neuroendokrin.

` 20
Renin merupakan salah satu neurohormonal yang diproduksi atau dihasilkan
sebagai respon dari penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi sistem
syaraf simpatik (Mann, 2012).

C. Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)

Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan mengaktivasi RAAS.


Angiotensinogen yang diproduksi oleh hati dirubah menjadi angiotensin I dan
angiotensinogen II.Angiotensin II berikatan dengan dinding pembuluh darah
ventrikel dan menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen vasokontriktor.
Selain itu, angiotensin II juga dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk
mensekresi hormon aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi
garam dan air di ginjal, akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah
yang mendasari timbulnya edema cairan pada gagal jantung kongestif (Mann,
2012).

D. Cardiac Remodeling

Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara klinis


sebagai perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya stimulasi
stress ataupun cedera yang melibatkan molekuler, seluler serta interstitial (Kehat
dan Molkentin, 2010).

` 21
Gambar II.1. Bagan patofisiologi congestive heart failure

II.11 Klasifikasi Gagal Jantung


Klasifikasi gagal jantung yang paling banyak digunakan adalah klasifikasi
menurut New York Heart Association (NYHA) dan American Heart Association
(AHA). Klasifikasi NYHA berdasarkan gejala pasien yang didapat dari anamnesis dan
bukan berdasarkan pengukuran objektif. Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA dan
AHA dapat dilihat pada Tabe II.2 (Heidenreich,2022).

` 22
Tabel II.2 Klasifikasi Gagal Jantung
Tahap ACC/AHA
Stage Deskripsi Dan Kriteria
Berisiko untuk gagal jantung tetapi tanpa gejala, penyakit
jantung struktural, atau biomarker jantung dari regangan atau
cedera (misalnya, pasien dengan
A (Resiko Gagal Jantung ) hipertensi, penyakit kardiovaskuler, aterosklerotik, diabetes,
sindrom metabolik dan obesitas, paparan agen kardiotoksik,
genetic varian kardiomiopati, atau riwayat keluarga positif
kardiomiopati).

Tidak ada gejala atau tanda gagal jantung dan bukti 1 dari
berikut ini:
• Penyakit jantung struktural
Penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri atau kanan
Mengurangi fraksi ejeksi, mengurangi ketegangan
Hipertrofi ventrikel
Pembesaran bilik
Kelainan gerak dinding
B (Pre-HF)
Penyakit katup jantung
• Bukti peningkatan tekanan pengisian*
Dengan pengukuran hemodinamik invasif
Dengan pencitraan noninvasif yang menunjukkan
peningkatan tekanan pengisian (misalnya, ekokardiografi
Doppler)
• Pasien dengan faktor risiko dan
• Peningkatan kadar BNP ( B-Type Natriuretic Peptide) atau
• Troponin jantung yang terus meningkat dengan tidak

` 23
adanya diagnosis yang bersaing yang menghasilkan
peningkatan biomarker seperti sindrom koroner akut,
CKD, emboli paru, atau myopericarditis
Pasien yang memiliki atau sebelumnya pernah memiliki
C (Gagal Jantung
gejala-gejala gagal jantung, yang disebabkan penyakit
Simptomatik)
jantung structural
Ditandai gejala gagal jantung yang mengganggu kehidupan
sehari-hari dan rawat inap berulang meskipun ada upaya
D (Gagal Jantung Lanjut)
untuk mengoptimalkan GDMT (Guideline-Directed Medical
Therapy)

Tabel II.3 Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA
2019)
Kelas Deskripsi
I Tidak ada batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan sesak napas, kelelahan, atau palpitasi yang tidak
semestinya
II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tetapi
aktivitas fisik biasa menyebabkan sesak napas, kelelahan, atau
jantung berdebar yang tidak semestinya.
III Pembatasan aktivitas fisik tertentu. Nyaman saat istirahat, tetapi
aktivitas yang kurang dari biasanya menyebabkan sesak napas,
kelelahan, atau jantung berdebar yang tidak semestinya.
IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik apa pun tanpa rasa tidak
nyaman. Gejala saat istirahat dapat muncul. Jika ada aktivitas fisik
yang dilakukan, ketidaknyamanan meningkat

` 24
II.12 Manifestasi Klinik Gagal Jantung
Beberapa tanda dan gejala yang dapat muncul pada penderita gagal jantung dapat
dilihat pada tabel II.4 (McDonagh, 2022).
Tabel II.4. Tanda Dan Gejala Gagal Jantung
Gejala Tanda
Tipikal Lebih Spesifik

• Sesak napas • Peningkatan tekanan vena jugularis


• Orthopnoea • refluks hepatojugular
• Dispnea nokturnal paroksismal • Bunyi jantung ketiga (ritme gallop)
• Mengurangi toleransi olahraga • Impuls apikal yang tergeser secara
• Kelelahan, kelelahan, meningkat lateral
• waktu untuk pulih setelah
berolahraga
• Pembengkakan pergelangan kaki
Kurang Tipikal Kurang Spesifik
• Batuk di malam hari • Pertambahan berat badan (>2
• Mengi kg/minggu)
• Perasaan kembung • Penurunan berat badan (dalam HF
• Kehilangan selera makan lanjut)
• Kebingungan (terutama pada orang • Pengecilan jaringan (cachexia)
tua) • Murmur jantung
• Depresi • Edema perifer (pergelangan kaki,
• Berdebar • sakral, skrotum)
• Pusing • Krepitasi paru
• Sinkop • Efusi pleura
• Bendopnea • Takikardia
• Denyut nadi tidak teratur
• Takipnea

` 25
• Respirasi Cheyne-Stokes
• Hepatomegali
• Asites
• Ekstremitas dingin
• Oliguria
• Tekanan nadi sempit

II.13 Diagnosis Gagal Jantung


Diagnosis Gagal Jantung Kronik memerlukan adanya gejala dan/atau tanda-
tanda Gagal Jantung dan bukti objektif disfungsi jantung (Gambar 2). Gejala khas
termasuk sesak napas, kelelahan, dan pembengkakan pergelangan kaki (Tabel II.4).
Gejala dan tanda kurang spesifik digunakan untuk menegakkan diagnosis Gagagl
Jantung.
Diagnosis Gagal Jantung Kronik dibuat lebih mungkin pada pasien dengan
riwayat MI, hipertensi arteri, CAD, diabetes melitus, penyalahgunaan alkohol,
penyakit ginjal kronis (CKD), kemoterapi kardiotoksik, dan pada pasien yang memiliki
riwayat keluargaKardiomiopati atau kematian mendadak (McDonagh, 2022).
Tes diagnostik berikut direkomendasikan untuk penilaian pasien dengan
dugaan gagal jantung kronis:
1. Elektrokardiogram (EKG). EKG normal membuat tidak terdiagnosis Gagal
Jantung. EKG dapat mengungkapkan kelainan seperti AF, Q gelombang,
hipertrofi LV (LVH), dan kompleks QRS yang melebar yang meningkatkan
kemungkinan diagnosis Gagal Jantung dan juga dapat memandu terapi
2. Pengukuran NP (Natriuretic peptides) direkomendasikan, jika tersedia.
Konsentrasi plasma normal B-type natriuretic peptide (BNP) <35 pg/mL, N-
terminal pro-B-type natriuretic peptide (NT-proBNP) <125 pg/mL, atau r mid-
regional pro-atrial natriuretic peptide (MR-proANP) <40 pmol/L.
3. Pemeriksaan penunjang dasar seperti serum urea dan elektrolit, kreatinin,
hitung darah lengkap, tes fungsi hati dan tiroid dianjurkan untuk membedakan

` 26
gagal jantung dari kondisi lain, untuk memberikan prognostik informasi, dan
untuk memandu terapi potensial.
4. Ekokardiografi direkomendasikan sebagai pemeriksaan utama untuk penilaian
fungsi jantung. Serta penentuan dari LVEF, ekokardiografi juga memberikan
informasi tentang parameter lain seperti ukuran ruang, LVH eksentrik atau
konsentris, regional kelainan gerakan dinding (yang mungkin menunjukkan
CAD yang mendasari, sindrom Takotsubo, atau miokarditis), fungsi
ventrikuler kanan, paru hipertensi, fungsi katup, dan penanda diastolik fungsi.
5. Rontgen dada direkomendasikan untuk menyelidiki penyebab potensial
lainnya sesak napas (misalnya penyakit paru). Ini juga dapat memberikan bukti
pendukung gagal jantung (misalnya kongesti paru atau kardiomegali).

Gambar II.2 Algoritma Diagnostik Gagal Jantung (McDonagh, 2022)

` 27
Lanjutan Gambar II.2 Algoritma Diagnostik Gagal Jantung (McDonagh, 2022)
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak
nafas. Berikut abnormalitas foto toraks yang umum ditemukan pada pasien gagal
jantung dapat dilihat pada tabel II.5 (Acton, 2013):

` 28
Tabel II.5 Abnormalitas foto toraks yang umum pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel Ekokardiograf, doppler
kanan, atria, efusi perikard
Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekokardiograf, doppler
kardiomiopati hipertrofi
Tampak paru normal Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian Mendukung diagnosis gagal
ventrikel kiri jantung kiri
Edema intersital Peningkatan tekanan pengisian Mendukung diagnosis gagal
ventrikel kiri jantung kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan Pikirkan etologi non-kardiak
tekanan pengisian jika efusi bilateral (jika efusi banyak)
Infeksi paru, pasca bedah/
keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis/gagal jantung
kronik
Area paru hiperlusen Emboli paru atau emfsema Pemeriksaan CT, Spirometri,
ekokardiografi
Infeksi paru Pneumonia sekunder akibat kongesti Tatalaksana kedua penyakit;
paru gagal jantung dan infeksi paru
Infiltrat paru Penyebab sistemik Pemeriksaan diagnostik lanjutan

Pemeriksaaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Berikut abnormalitas
pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai pada penderita gagal jantung dapat
dilihat pada tabel II.4 (Acton,2013):

` 29
Tabel II.6 Abnormalitas nilai laboratorium yang umum pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Peningkatan Penyakit ginjal, ACEI, ARB, Hitung GFR, pertimbangkan
kreatinin serum antagonis aldosteron mengurangi dosis
(>150 µmol/L) ACEI/ARB/antagonis
aldosteron, periksa kadar kalium
dan BUN
Anemia (Hb <13 Gagal jantung kronik, gagal ginjal, Telusuri penyebab,
g/dL pada laki-laki, hemodilusi, kehilangan zat besi atau pertimbangkan terapi
<12 g/dL pada penggunaan zat besi terganggu,
perempuan) penyakit kronik
Hiponatremia (<135 Gagal jantung kronik, hemodilusi, Pertimbangkan restriksi cairan,
mmol/L) pelepasan AVP (Arginine kurangi dosis diuretik,
Vasopressin), diuretik ultrafiltrasi, antagonis vasopresin
Hipernatremia (>150 Hiperglikemia, dehidrasi Nilai asupan cairan, telusuri
mmol/L) penyebab
Hipokalemia (<3,5 Diuretik, hiperaldosteronisme Resiko aritmia, pertimbangkan
mmol/L) sekunder suplemen kalium, ACEI/ARB,
antagonis aldosteron
Hiperkalemia (>5,5 Gagal ginjal, suplemen kalium, Stop obat-obat hemat kalium
mmol/L) penyekat sistem renin-angiotensin- (ACEI/ARB, antagonis
aldosteron aldosterone), nilai fungsi ginjal
dan pH, resiko bradikardia
Hiperglikemia (>200 Diabetes, resistensi insulin Evaluasi hidrasi, terapi
mg/dL) intoleransi glukosa
Hiperurisemia (>500 Terapi diuretik, gout, keganasan Allopurinol, kurangi dosis
µmol/L) diuretic

` 30
BNP <100 pg/mL, Tekanan dinding ventrikel normal Evaluasi ulang diagnosis, bukan
NT proBNP <400 gagal jantung jika terapi tidak
pg/mL berhasil
BNP >400 pg/mL, Tekanan dinding ventrikel Sangat mungkin gagal jantung
NT proBNP >2000 meningkat
pg/mL
Kadar albumin Dehidrasi, mieloma Rehidrasi
tinggi (>45 g/L)
Kadar albumin Nutrisi buruk, kehilangan albumin Cari penyebab
rendah (<30 g/L) melalui ginjal
Peningkatan Disfungsi hati, gagal jantung kanan, Cari penyebab, kongesti liver,
transminase toksisitas obat pertimbangkan kembali terapi
Peningkatan Nekrosis miosit, iskemia Evaluasi pola peningkatan
troponin berkepanjangan, gagal jantung (peningkatan ringan sering terjadi
berat, miokarditis, sepsis, gagal pada gagal jantung berat),
ginjal, emboli paru angiografi koroner, evaluasi
kemungkinan revaskularisasi
Tes tiroid abnormal Hiper/hipotiroidisme, amiodaron Terapi abnormalitas tiroid
Urinalisis Proteinuria, glikosuria, bakterinuria Singkirkan kemungkinan infeksi
INR > 2,5 Overdosis antikoagulan, kongesti Evaluasi dosis antikoagulan
hati
CRP >10 mg/L, Infeksi, inflamasi Cari penyebab
lekositosis
neutrofilik

` 31
II.14 Penatalaksanaan Gagal Jantung
1. Tujuan Terapi
Meningkatkan kualitas hidup, meredakan atau mengurangi gejala, mencegah atau
meminimalkan rawat inap, memperlambat perkembangan penyakit, dan
memperpanjang kelangsungan hidup (Dipiro,2021).
2. Terapi Non Farmakologi
a. Intervensi meliputi rehabilitasi jantung dan pembatasan asupan cairan dan
asupan natrium diet (<2-3 g natrium/hari) dengan pengukuran berat badan
harian.
b. Pada pasien dengan hiponatremia (natrium serum <130 mEq/L [mmol/L]) atau
retensi volume persisten meskipun dosis diuretik tinggi dan pembatasan
natrium, batasi asupan cairan harian hingga 2 L/hari dari semua sumber.
c. Revaskularisasi atau terapi anti-iskemik pada pasien dengan penyakit koroner
dapat mengurangi gejala gagal jantung.
d. Obat-obatan yang dapat memperburuk HF harus dihentikan jika
memungkinkan (Dipiro,2021)..
3. Algoritma Terapi
a. Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung yaitu dengan cara
merangsang retensi natrium dan air yang berlebihan dan sering menyebabkan
kongesti sistemik dan paru. Akibatnya, terapi diuretik (selain pembatasan
natrium) direkomendasikan untuk semua pasien dengan bukti klinis retensi
cairan. Namun, karena tidak mengubah perkembangan penyakit atau
memperpanjang kelangsungan hidup, diuretik tidak diperlukan untuk pasien
tanpa retensi cairan
Diuretik tiazid (misalnya hidroklorotiazid) relatif lemah dan jarang
digunakan tunggal pada gagal jantung. Namun, tiazid atau metolazone dapat
digunakan dalam kombinasi dengan diuretik loop untuk meningkatkan
diuresis yang efektif. Tiazid lebih disukai daripada diuretik loop pada pasien

` 32
dengan retensi cairan ringan dan peningkatan tekanan darah karena efek
antihipertensinya yang lebih persisten.
Diuretik loop (furosemide, bumetanide, dan torsemide) biasanya
diperlukan untuk memperbaiki dan mempertahankan euvolemia pada gagal
jantung. Selain bekerja lengkung henle , mereka menginduksi peningkatan
aliran darah ginjal yang dimediasi prostaglandin yang berkontribusi pada efek
natriuretiknya. Tidak seperti tiazid, diuretik loop mempertahankan
efektivitasnya dengan adanya gangguan fungsi ginjal, meskipun dosis yang
lebih tinggi mungkin diperlukan. Efek samping diuretik meliputi hipovolemia,
hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipomagnesemia, hiperurisemia, dan
disfungsi ginjal (Dipiro,2021).
b. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
Obat-obat yang termasuk dalam golongan ACEI mempunyai mekanisme kerja
menurunkan sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim
yang dapat mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II serta dapat mengurangi
efek buruknya yang dapat memicu inisiasi dan progresi gagal jantung. Penghambat
ACEI juga dapat menghambat pemecahan bradikinin, yang meningkatkan vasodilatasi
dan juga menyebabkan batuk. Penghambat ACEI memperbaiki gejala, memperlambat
perkembangan penyakit, dan menurunkan angka kematian pada pasien dengan HFrEF.
Pedoman saat ini merekomendasikan bahwa semua pasien dengan HFrEF, terlepas dari
ada atau tidaknya gejala, harus menerima inhibitor ACE untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas, kecuali ada kontraindikasi. Uji klinis telah mendokumentasikan efek
menguntungkan dari ACEI pada gejala, perkembangan HF, rawat inap, dan kualitas
hidup. Contoh obat ACEI inhibitor yaitu captopril dan lisinopril (Dipiro,2021)..
c. Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Adapun mekanisme kerja obat golongan ARB yaitu dengan memblokir
subtipe reseptor angiotensin II AT1, mencegah efek buruk angiotensin II pada
remodeling ventrikel. ARB sekarang menjadi alternatif yang direkomendasikan
oleh pedoman pada pasien yang tidak dapat mentolerir ACE inhibitor karena
batuk atau angioedema. Adapun contoh obat golongan ARB yaitu candesartan,

` 33
valsartan, dan losartan. Seperti halnya penghambat ACE, penggunaan obat
ARB dapat diawali terapi dengan dosis rendah dan kemudian titrasi ke dosis
target. Food and Drug Approval (FDA) menyetujui penggunaan candesartan
dan valsartan baik secara tunggal maupun kombinasi dengan ACE I sebagai
pilihan terapi pada pasien gagal jantung kongestif (Dipiro,2021)..
d. Beta Bloker
Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu dengan menghambat
adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer sehingga
efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi dari sel
jantung dan juga mampu meningkatkan periode refractory. Beta blocker dapat
mengantagonis efek merugikan dari sistem saraf simpatis pada HF dan
memperlambat progresi penyakit. Bukti uji klinis menunjukkan bahwa beta
blocker tertentu mengurangi angka kematian akibat gagal jantung. Pedoman
ACC/AHA merekomendasikan penggunaan beta blocker pada semua pasien
stabil dengan HFrEF tanpa adanya kontraindikasi atau riwayat intoleransi beta
blocker yang jelas. Pasien harus menerima beta blocker bahkan jika gejalanya
ringan atau terkontrol dengan baik dengan ACE inhibitor dan terapi diuretik.
Adapun contoh obat dari obat golongan beta bloker yaitu Karvedilol,
metoprolol suksinat (CR/XL), dan bisoprolol (Dipiro,2021).
Adapun efek samping obat golongan ini yaitu bradikardia atau blok
jantung, hipotensi, kelelahan, gangguan kontrol glikemik pada pasien diabetes,
bronkospasme pada pasien asma, dan gagal jantung yang memburuk.
Kontraindikasi absolut meliputi penyakit bronkospastik yang tidak terkontrol,
bradikardia simtomatik, blok jantung lanjut tanpa alat pacu jantung, dan HF
dekompensasi akut (Dipiro,2021).
e. Antagonis Aldosteron
Di ginjal antagonis aldosteron dapat menghambat reabsorpsi natrium
dan ekskresi kalium. Di jantung, antagonis aldosterone dapat menghambat
matriks ekstraseluler jantung dan deposisi kolagen, sehingga dapat

` 34
melemahkan fibrosis jantung dan remodeling ventrikel. Antagonis aldosteron
juga melemahkan keadaan proinflamasi sistemik, aterogenesis, dan stres
oksidatif yang disebabkan oleh aldosterone. Pedoman saat ini
merekomendasikan penambahan antagonis aldosteron dosis rendah pada terapi
standar untuk memperbaiki gejala, mengurangi risiko gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien tertentu asalkan kalium serum
dan fungsi ginjal dapat dipantau secara hati-hati.
Berdasarkan data uji klinis pada HFrEF, aldosteron dosis rendah
antagonis dapat sesuai pada pasien dengan HFrEF ringan hingga sedang
(NYHA kelas II-IV) yang menerima terapi standar serta pada pasien dengan
disfungsi ventricular kiri dan gagal jantung akut atau diabetes dini setelah
Infark Miokard. Adapun contoh obat dari golongan ini yaitu Spironolakton
merupakan obat golongan antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg
perhari dan 25 mg perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor. Spironolakton
juga berinteraksi dengan reseptor androgen dan progesteron, yang dapat
menyebabkan ginekomastia , impotensi, dan ketidakteraturan menstruasi pada
beberapa pasien (Dipiro,2021).
f. Digoxin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat
inotropik positif. Obat in dapat melemahkan aktivasi sistem saraf simpatis yang
berlebihan pada HF dan meningkatkan aktivitas parasimpatis, sehingga
menurunkan denyut jantung dan meningkatkan pengisian diastolik. Digoksin
juga dapat dipertimbangkan untuk membantu mengontrol laju ven tricular pada
pasien dengan HFrEF dan aritmia supraventrikular, meskipun beta blocker
umumnya merupakan agen pengontrol laju yang lebih efektif, terutama selama
latihan. Konsentrasi serum digoksin target untuk sebagian besar pasien adalah
0,5–0,9 ng/mL (0,6–1,2 nmol/L). Sebagian besar pasien dengan fungsi ginjal
normal dapat mencapai level ini dengan dosis 0,125 mg/hari. Pasien dengan
penurunan fungsi ginjal, berat badan rendah, usia lanjut, atau obat yang

` 35
berinteraksi (misalnya amiodaron) harus menerima 0,125 mg setiap hari
(Dipiro,2021).
g. Nitrat dan Hidralazin
Adapun contoh obat golongan nitrat yaitu Isosorbide dinitrate (ISDN)
yang merupakan venodilator yang dapat mengurangi preload (menurunkan
beban awal jantung) sedangkan hydralazine adalah vasodilator arteri langsung
yang dapat mengurangi resistensi vaskular sistemik (SVR) dan meningkatkan
stroke volume dan CO2. Efek menguntungkan dari kombinasi nitrat dengan
hydralazine dapat melampaui tindakan hemodinamik komplementer dan
kemungkinan terkait dengan pelemahan proses biokimia yang mendorong
perkembangan HF. Kombinasi ini juga berguna pada pasien yang tidak dapat
mentolerir ACE inhibitor atau ARB karena insufisiensi ginjal, hiperkalemia,
atau hipotensi (Dipiro,2021).
h. Ivabradine
Ivabradine dapat menghambat arus If di nodus sinoatrial yang
bertanggung jawab untuk mengendalikan Heart Rate (HR) sehingga dapat
memperlambat depolarisasi spontan nodus sinus dan mengakibatkan
perlambatan HR yang bergantung pada dosis. Peningkatan denyut jantung
istirahat (HR) (>70– 80 bpm) merupakan faktor risiko independen untuk hasil
HFrEF yang merugikan. Ivabradine diindikasikan untuk mengurangi risiko
perburukan HF pada pasien dengan LVEF 35% yang berada dalam irama sinus
dengan HR istirahat 70 bpm dan berada pada dosis maksimal beta blocker yang
dapat ditoleransi atau memiliki kontraindikasi terhadap penggunaan pemblokir.
Dosis awal yang biasa adalah 5 mg dua kali sehari dengan makanan.
Setelah 2 minggu pengobatan, jika HR istirahat antara 50 dan 60 bpm, dosis
harus dilanjutkan. Jika HR >60 bpm maka dosis dapat ditingkatkan hingga
maksimum 7,5 mg dua kali sehari. Jika denyut jantung <50 bpm atau pasien
mengalami bradikardia simtomatik, dosis harus dikurangi 2,5 mg dua kali
sehari, jika pasien hanya menerima 2,5 mg dua kali sehari, ivabradine harus

` 36
dihentikan. Adapun efek samping yang paling umum yaitu bradikardia, fibrilasi
atrium dan gangguan penglihatan (Dipiro,2021).

Gambar II.3 Rekomendasi untuk Pengobatan Pasien dengan HF dan Komorbiditas

` 37
Gambar II.4 Pedoman Terapi Medis Langsung Pasien Gagal Jantung

` 38
II.15 Pharmaceutical Care
Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian dapat didefinisikan sebagai
gabungan dari berbagai kegiatan, dimana seorang farmasis dapat berinteraksi
langsung dengan pasien. Pharmaceutical care dapat digunakan untuk menyusun
formularium atau daftar obat, mengembangkan dan mengawasi kebijakan farmasi,
mengembangkan dan mengelola jaringan apotek, mempersiapkan dan menganalisis
laporan pemanfaatan obat atau biaya, serta melakukan tinjauan pemanfaatan obat
(WHO, 2006).
Dapat dikatakan bahwa Pharmaceutical care mempunyai unsur-unsur utama
yaitu pelayanan langsung kepada pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat,
kualitas hidup pasien yang berkaitan dengan keberhasilan terapi (outcome yang
diinginkan), dan untuk memenuhi tanggung jawab sebagai seorang farmasis.

II.16 Drug Related Problems


Drug related problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa atau keadaan yang
melibatkan terapi obat baik secara aktual maupun potensial yang dapat
mengganggu serta mempengaruhi pada hasil terapi yang diinginkan (PCNE, 2006).
DRPs dapat terjadi secara aktual maupun potensial. Aktual sebagai problem yang
sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien.
Potensial sebagai problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan
terapi obat yang sedang diberikan pada pasien.
Ada beberapa klasifikasi DRPs yang dapat dianalisisa tau diperhatikan selama
terapi pasien gagal jantung kongestif berdasarkan PCNE (Pharmaceutical Care
Network Europe)

` 39
Tabel II.7 Klasifikasi DRPs (PCNE).
Klasifikasi Uraian
Adverse drug reaction (ADR) atau Efek samping yang dialamai dan tida diinginkan
reaksi yang tidak diharapkan (alergi atau non alergi)
Efek toksik yang dialami
Drug choice problem atau masalah Obat yang tidak sesuai dengan indikasi
dalam pemilihan obat Sediaan obat yang tidak sesuai
Adanya duplikasi pada kelompok terapi atau
bahan aktif
Obat yang dikontraindikasikan (pada ibu hamil
dan menyusui)
Indikasi tidak diterapi
Dosing problem atau masalah dala Dosis obat kurang atau tidak sesuai dengan
pemberian dosis regimen dosis
Dosis obat terlalu tinggi atau pemberian obat
sering
Durasi pengobatan dapat berjalan lambat atau
cepat
Drug use problem atau masalah Kesalahan dalam pemberian obat
dalam penggunaan obat
Drug interaction atau interaksi obat Interaksi potensial maupun aktual

A. ADR (reaksi yang tidak diharapkan)


Kejadian obat baik efek samping ataupun efek toksik selama terapi obat pada
pasien yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan dapat mempengaruhi
outcome terapi pasien. Mekanisme ADR dibedakan dalam dua kategori
(Rohilla dan Yadav, 2013) yaitu :

` 40
1. Direct toxicity
Toksisitas secara langsung (direct toxicity) berhubungan dengan efek toksik
dari suatu senyawa (zat aktif) atau senyawa metabolit yang dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan reaksi kimia berbahaya dalam
tubuh, disfungsi fisiologis, kerusakan DNA, serta menimbulkan cedera
jaringan atau seluler.
2. Reaksi hipersensitifitas
Reaksi hipersensitifitas dapat ditentukan setelah sistem imun
seseorang menunjukkan respon yang berlebihan terhadap suatu obat
atau metabolitnya yang dapat berupa reaksi alergi atau bahkan reaksi
anafilaksis.
B. Drug choice problem
Masalah dalam pemilihan obat yang meliputi obat yang tidak sesuai indikasi,
adanya duplikasi pada kelompok terapi (polifarmasi), obat yang
dikontraindikasikan terutama pada ibu hamil ataupun menyusui, bahkan adanya
indikasi tapi tidak diterapi.
C. Dosing problem
Pemberian dosis tidak sesuai dengan regimen (low dose ataupun over dose),
durasi pengobatan bisa berjalan terlalu lambat ataupun terlalu cepat.
D. Drug interaction
Berdasarkan Stockley’s drug interactions edisi 8, interaksi obat dapat dikatakan
sebagai berubahnya efek suatu obat yang dapat dipengaruhi oleh adanya obat
lain dalam suatu terapi (Baxter, 2008). Magro et al. (2007) mengemukakan
bahwa interaksi obat terjadi sebagai respon dari suatu pengunaan obat yang
berbeda maupun kombinasi yang dapat menurunkan efektifitas bahkan dapat
meningkatkan toksisitas. Interaksi obat dapat dibedakan menjadi interaksi obat
secara farmakokinetik dan interaksi obat secara farmakodinamik (EMEA,
2010).

` 41
Berdasarkan signifikansinya, interaksi obat dikategorikan kedalam tiga kelas
(Srikanth et al., 2014) yaitu sebagai berikut :
B. Interaksi obat minor
Interaksi obat dikatakan minor apabila secara klinik interaksi yang terjadi
signifikansinya adalah rendah (minor) dan tidak memerlukan perhatian khusus
dalam penanganannya
C. Interaksi obat moderate
Interaksi obat dikatakan moderate apabila secara klinik interaksi yang terjadi
memiliki signifikan dengan rentang sedang (moderate) dibandingkan dengan
interaksi obat mayor.
D. Interaksi obat mayor
Interaksi obat dikatakan berat (mayor)apabila obat yang berinteraksi mempunyai
efek yang dapat membahayakan pasien dan biasanya terjadi pada obat yang
mempunyai indeks terapi sempit (narrow teraupetic).

` 42
BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Pasien
Nama : Ny. SS
Tanggal Lahir : 11 Desember 1943
Umur : 79 Tahun
BB/TB : 46,69 kg / 148 cm
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kompleks Taman Bunga Sudiang
Cara Bayar : BPJS
No. RM : 0856xx
Masuk RS : 10 Desember 2022
Keluar RS : 17 Desember 2022
Dokter PJP : dr. B

III.2 Profil Penyakit


Keluhan Utama : Muntah 5x/hari sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Anamnesis terpimpin : Sesak 1 hari sebelum masuk rumah sakit disertai nyeri
dada, muntah, lemas, mual serta nafus makan menurun.
Riwayat Penyakit :Hipertensi, Diabetes Mellitus, Penyakit Jantung Koroner
(PJK)
Riwayat Pengobatan : Ramipril 2,5 mg (1x1), ISDN 10 mg (3x1), metformin
500 mg (2x1), betahistin 6 mg (3x1), miniaspi 80 mg
(1x1), Atorvastatin 20 mg (1x1)
Diagnosa awal : NSTE-ACS
Diagnosa utama : NSTE-ACS + HFmEF
Riwayat alergi : Tidak ada

` 43
III.3 Data Klinik
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinik pasien, maka diperoleh data hasil pemeriksaan klinik sebagai berikut :
Tabel III.1 Data Hasil Pemeriksaan Klinik Pasien pada Tanggal 10-17 Desember 2022
Tanggal Pengamatan (Desember 2022)
Data Klinik Nilai Normal
10 11 12 13 14 15 16 17
Suhu 36,6-37,2 oC 36 36 36 36 36 36 36 36
Denyut Nadi 70-80 x/m 84 85 99 79 80 76 94 63
Pernapasan 16-20 x/m 22 20 30 20 22 20 21 20
Tekanan Darah 120/80 mmHg 116/69 92/48 149/115 127/74 160/80 121/58 145/71 102/66
Sesak Nafas - + + + + + - - -
Lemas - + + + + + + - -
Muntah - + - - - - - - -
Nyeri Ulu hati - + - + - - - - -
Nafsu Makan - - - - - - - - -
Nyeri Dada - - - + + + + - -
Sp02 93 98 96 98 99 97 98 96
Keterangan : ( + ) : Ada gejala,
( - ) : Tidak ada gejala
: di bawah normal
: di atas normal
III.4. Data Penunjang

Tabel III.2 Data Pemeriksaan Hematologik

Hasil Pemeriksaan
NO Parameter Nilai Normal
10/12/22
1 WBC 4,11 – 11,30 103/uL 8,50
2 RBC 4,10 – 5,10 106/uL 4,04
3 HGB 12,3 – 15,3 g/dL 11,7
.4 HCT 35,9 – 44,6 % 32,7
5 MCV 80,0 – 96,1 fL 80,9
6 MCH 27,5 – 33,2 pg 29,0
7 PLT 172-450. 10 3 Ul 263
8 MCHC 33,4 – 35,5 g/dL 35,8
9 RDW/SD 37,0 – 54,0 fL 39,3
10 RDW/CV 11,6 – 14,6 % 13,1
11 PDW 9,0 – 17,0 fL 10,5
12 MPV 9,0 – 13,0 fL 9,6
13 P/LCL 13,0 – 43,0 % 21,1
14 PCT 0,17 – 0,35 % 0,25
15 NEUT 1,80 – 7,70 % 5,94
16 LYMPH 1,00 – 4,80 % 1,91
17 MONO 0,00 – 0,80 % 0,63
18 EO 0,00 – 0,60 % 0,01
19 BASO 0,00 – 0,20 % 0,01
20 IG 0,00 – 7,00 % 0,03

` 45
Tabel III.3 Data Pemeriksaan Kadar Gula Darah, Fungsi Hati, Ginjal dan Elektrolit

Hasil Pemeriksaan
NO Parameter Nilai Normal
10/12/22 11/12/22 14/12/22 17/12/22
6 - 30 IU/dL
1 SGOT - 24 IU/dL -
7-32 IU/dL
2 SGPT - 19 IU/dL -
<50 mg/dL
3 Ureum - 52 mg/dL -
L=0,7 – 1,1 mg/dL ;
4 Kreatinin - 1,26 mg/dL -
P=0,6 – 0,9 mg/dL
Glukosa
5 < 200 mg/dL 197 mg/dL - - 224 mg/dl
Sewaktu
133-145 mmol/L
6 Na 119 mmol/L - 131 mmol/L
3,5-5,0 mmol/L
7 K 3,5 mmol/L - 4,0 mmol/L
96-107 mmol/L
8 Cl 78 mmol/L - 100 mmol/L

` 46
Tabel III.4 Data Pemeriksaan Imunologi

Hasil Pemeriksaan
NO Parameter Nilai Normal
13/14/22
1 Troponin < 0,03 ng/L 0,059 ng/L
Keterangan : ( + ) : Ada gejala,
( - ) : Tidak ada gejala
: di bawah normal
: di atas normal

Tabel III.5 Data Pemeriksaan Echocardiography

No. Pemeriksaan Echocardiography

1. Mildly Abnormal Lv Systolic Function

2. EF : 48%

3. Normal Rv Sistolic Function

4. Normal Cardiac Valve

5. Normal Cardiac Chamber

6. LUV Concebtric, Grade III Diastolic Disfunction

` 47
III.5 Profil Pengobatan
Berdasarkan hasil pengamatan profil pengobatan pasien, maka diperoleh data profil pasien seperti pada tabel VI
Tabel.III.6 Data Profil Pengobatan Pasien pada Tanggal 10 sampai 17 Desember 2022
Tanggal Pemberian Obat (Desember 2022)
No. Obat Kekuatan Obat Rute Pemberian Obat Aturan Pakai
10/12/22 11/12/22 12/12/22 13/12/22 14/12/22 15/12/22 16/12/22 17/12/22
1 Ondansentron Inj 4 mg/2ml IV 4 mg/2ml S - - - - - - -
2 NaCl 0,9 % 16 tpm IV 16 tetes/menit - - M - M M M -
3 NaCl 3 % 3% IV 16 tetes/menit M S S - - - - -
4 RL 16tpm IV 16 tetes/menit S - - M S - - -
5 Cedocard Inj 2mg IV 1 x 24 jam - - M M M M - -
6 Atorvastatin 20 mg Oral 1 x 24 jam M M M - - - - -
7 Atorvastatin 40 mg Oral 1 x 24 jam - - - M M M M P
8 Ramipril 5 mg Oral 1 x 24 jam - - M M M M M P
9 Bisoprolol 2,5 mg Oral 1 x 24 jam - - - M M M M P
10 Diviti 2,5 mg/0,5mL SC 1 x 24 jam - - M M M M M -
11 Nitrocaf 2,5 mg Oral 1 x 24 jam - - - - - - M P
12 Pantoprazole Inj 40 mg IV 1 x 24 jam - P P P M M M -
13 Aspilet 80 mg Oral 1x 24 jam - - M M M M M P
14 CPG 75 mg Oral 1 x 24 jam - - - M M M M P
15 Metoclopramid 1A/ 8,5 IV 1 x 24 jam M PSM - - - - - -
16 Inpepsa Suspensi 500mg/ 5ml Oral 3 x 8 jam M PSM PSM PSM PSM PSM PSM PSM
17 O2 Nasal 2 liter/menit S P P - - - - -
18 Omeprazole Inj 40 mg IV 1 x 24 jam S - - - - - - -
19 Omeprazole 20 mg Oral 2 x 24 jam - - - - - - - P
20 Cedocard 5 mg Oral 3 x 8 jam - - - - - - - P

` 48
III.7 Analisa Rasionalitas
Berdasarkan data profil pengobatan pasien, dibuat analisis rasionali-tas
tentang pemakaian obat pasien, seperti yang tertera pada Tabel VI.
Tabel III.7 Data Analisa Rasionalitas Penggunaan Obat
Rasionalitas
Nama Obat Aturan Cara Lama
Indikasi Obat Dosis Penderita
Pakai Pemberian Pemberian
Ondansentron Inj R R R R R R R
NaCl 0,9 % R R R R R R IR
NaCl 3 % R R R R R R R
RL R R R R R R R
Cedocard R R R R R R R
Atorvastatin 20 mg R R R R R R R
Atorvastatin 40 mg R R R R R R R
Ramipril R R R R R R IR
Bisoprolol R R R R R R R
Diviti R R R R R R R
Nitrocaf R R R R R R R
Pantoprazole Inj R R R R R R R
Aspilet R R R R R R IR
CPG R R R R R R R
Metoclopramid R R R R R R R
Inpepsa Suspensi R R IR R R R R
O2 R R R R R R R
Keterangan : R = Rasional, IR = Irrasional
III.8 Uraian Obat
1. Atorvastatin (MIMS, 2022)
a. Dosis dan Indikasi :
Oral :
Hiperkolesterolemia familial heterozigot :
Anak: Dosis individual sesuai dengan kadar LDL-C awal, tujuan terapi,
dan respons pasien. Sebagai tambahan diet: 10-17 tahun Awalnya, 10
mg setiap hari; dapat disesuaikan menurut respon pada interval minimal
4 minggu. Kisaran biasa: 10-20 mg sekali sehari.
Oral :
Dislipidemia campuran, Hiperkolesterolemia primer:
Dewasa: Dosis individual sesuai dengan kadar kolesterol LDL awal
(LDL-C), tujuan terapi, dan respons pasien. Sebagai tambahan untuk
diet: Dosis awal biasa: 10 mg atau 20 mg sekali sehari; pasien yang
membutuhkan >45% penurunan LDL-C dapat dimulai dengan 40 mg
sekali sehari. Kisaran biasa: 10-80 mg sekali sehari. Maks: 80 mg sekali
sehari. Evaluasi kadar lipid dalam 2-4 minggu setelah inisiasi dan/atau
setelah titrasi, kemudian sesuaikan dosisnya.
Oral :
Hiperkolesterolemia familial homozigot
Dewasa: Dosis individual sesuai dengan kadar LDL-C awal, tujuan
terapi, dan respons pasien. Sebagai tambahan untuk perawatan penurun
lipid lainnya (mis. Apheresis LDL): 10-80 mg setiap hari.
Oral :
Profilaksis kejadian kardiovaskular pada pasien berisiko tinggi
Dewasa: Dosis individual sesuai dengan kadar LDL-C awal, tujuan
terapi, dan respons pasien. Pencegahan primer: Awalnya, 10 mg setiap
hari. Dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan untuk mencapai kadar
LDL-C menurut pedoman saat ini.
500 ml tiap 12 jam dalam hal ini dosis tergantung pada usia, berat badan
dan keadaan klinis penderita.

` 51
b. Efek samping
Mialgia, miositis, miopati; peningkatan serum transaminase, serum
creatine kinase, HbA1c dan kadar gula darah puasa. Jarang, miopati
nekrosis yang dimediasi imun (IMNM), penyakit paru interstisial,
memperburuk atau memicu miastenia gravis.
- Gangguan gastrointestinal: Diare, konstipasi, perut kembung,
dispepsia, mual.
- Gangguan umum dan kondisi tempat pemberian: Malaise, astenia,
kelelahan, pireksia.
- Gangguan hepatobilier: Hepatitis.
- Gangguan sistem kekebalan tubuh: Reaksi alergi.
- Investigasi: LFT abnormal.
- Gangguan muskuloskeletal dan jaringan ikat: Arthralgia, kejang
otot, nyeri punggung, pembengkakan sendi, nyeri pada ekstremitas.
- Gangguan sistem saraf: Sakit kepala, pusing, parestesia, hipoestesia,
amnesia.
- Gangguan kejiwaan: Insomnia, mimpi buruk.
- Gangguan pernapasan, toraks dan mediastinum: Nasofaringitis,
nyeri faringolaringeal, epistaksis.
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan: Ruam, pruritus, urtikaria,
alopecia.
- Berpotensi Fatal: Rhabdomyolysis (dengan atau tanpa gagal ginjal
akut akibat mioglobinuria), gagal hati.
c. Interaksi
Meningkatkan risiko miopati dan rhabdomyolisis dengan
penghambat CYP3A4 sedang atau kuat (misalnya klaritromisin,
eritromisin, ketokonazol, vorikonazol, itrakonazol, posakonazol,
diltiazem, verapamil, antivirus tertentu untuk hepatitis C, penghambat
protease HIV), penghambat protein transpor (misalnya letermovir) ,
gemfibrozil atau turunan asam fibrik lainnya, niacin, ezetimibe, dan
colchicine. Penurunan konsentrasi plasma dengan penginduksi

` 52
CYP3A4 (misalnya efavirenz, rifampicin), antasida yang mengandung
Al dan Mg, colestipol. Dapat meningkatkan konsentrasi plasma digoxin,
norethisterone dan ethinylestradiol.
Berpotensi Fatal: Penggunaan bersamaan dengan asam fusidic
sistemik dapat secara signifikan meningkatkan risiko toksisitas otot,
termasuk rhabdomyolysis. Peningkatan konsentrasi plasma dengan
glecaprevir/pibrentasvir, telaprevir, ciclosporin, dan
tipranavir/ritonavir, yang dapat meningkatkan risiko miopati atau
rhabdomyolysis.Kontraindikasi Hypernatremia
2. Ramipril (MIMS, 2022)
a. Dosis dan Indikasi :
Oral
Hipertensi
- Dewasa: Dosis bersifat individual berdasarkan respons klinis,
tolerabilitas, dan tekanan darah target pasien. Sebagai monoterapi
atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain: Awalnya, 2,5 mg
sekali sehari, dosis pertama sebaiknya diberikan sebelum tidur;
dapat digandakan dengan interval 2-4 minggu jika diperlukan.
Pemeliharaan: 2,5-5 mg sekali sehari. Maks: 10 mg setiap hari
diberikan sebagai dosis tunggal atau dalam 2 dosis terbagi. Pada
pasien dengan risiko hipotensi berat atau diuretik: Awalnya, 1,25 mg
setiap hari kemudian sesuaikan dengan respons; jika
memungkinkan, dapat juga menghentikan diuretik 2-3 hari sebelum
memulai terapi ramipril.
- Lansia: Mulai dengan dosis yang lebih rendah kemudian sesuaikan
secara bertahap sesuai respons.
Oral
Nefropati diabetik, Nefropati nondiabetes
- Dewasa: Awalnya, 1,25 mg sekali sehari; dapat digandakan dengan
interval 2 minggu. Pemeliharaan: 5 mg sekali sehari. Sesuaikan
dosis berdasarkan respons klinis dan tolerabilitas pasien.

` 53
- Lansia: Mulai dengan dosis yang lebih rendah kemudian sesuaikan
secara bertahap sesuai respons.
Oral
Profilaksis kejadian kardiovaskular pada pasien berisiko tinggi
- Dewasa: Pada pasien ≥55 tahun yang memiliki penyakit KV, stroke
atau penyakit pembuluh darah perifer atau dengan diabetes melitus
dan setidaknya 1 risiko KV: Awalnya, 2,5 mg sekali sehari selama
1-2 minggu, dapat meningkat menjadi 5 mg sekali sehari untuk
selanjutnya 2-3 minggu. Pemeliharaan: 10 mg sekali sehari.
Sesuaikan dosis berdasarkan respons klinis dan tolerabilitas pasien.
- Lansia: Mulai dengan dosis yang lebih rendah kemudian sesuaikan
secara bertahap sesuai respons.
Oral
Gagal jantung kongestif
- Dewasa: Pasien yang menggunakan diuretik: Awalnya, 1,25 mg
sekali sehari; dapat digandakan setiap 1-2 minggu. Pemeliharaan: 10
mg setiap hari dalam 2 dosis terbagi. Sesuaikan dosis berdasarkan
respons klinis dan tolerabilitas pasien.
- Lansia: Mulai dengan dosis yang lebih rendah kemudian sesuaikan
secara bertahap sesuai respons.
Oral
Gagal jantung pasca infark miokard
- Dewasa: Pada pasien yang stabil secara klinis dan hemodinamik
(dalam 24-48 jam pasca MI): Awalnya 2,5 mg dua kali sehari selama
3 hari; jika tidak dapat ditoleransi, mulailah dengan 1,25 mg bid
selama 2 hari, kemudian tingkatkan menjadi 2,5 mg bid. Dapat
menggandakan dosis dengan interval 1-3 hari. Dosis pemeliharaan:
5 mg tawaran. Sesuaikan dosis berdasarkan respons klinis dan
tolerabilitas pasien.
- Lansia: Mulai dengan dosis yang lebih rendah kemudian sesuaikan
secara bertahap sesuai respons.

` 54
b. Efek samping
Angioedema (misalnya angioedema kepala dan leher, angioedema
usus), hiperkalemia, hipotensi (dengan atau tanpa sinkop, ortostatik),
ikterus kolestatik, sindrom hormon antidiuretik yang tidak sesuai
(SIADH), hiponatremia; jarang, efek hematologis (misalnya
neutropenia atau agranulositosis, trombositopenia, anemia); batuk,
gangguan ginjal dan/atau peningkatan kreatinin serum, reaksi
anafilaktoid/anafilaksis.
- Gangguan jantung: Nyeri dada, aritmia.
- Gangguan gastrointestinal: Mual, muntah, diare, mulut kering,
radang gastrointestinal, gangguan pencernaan, ketidaknyamanan
perut, dispepsia, konstipasi, dysgeusia.
- Gangguan umum dan kondisi tempat pemberian: Astenia, kelelahan.
- Gangguan muskuloskeletal dan jaringan ikat: Mialgia, kejang otot.
- Gangguan sistem saraf: Sakit kepala, pusing, parestesia, vertigo.
- Gangguan pernapasan, toraks, dan mediastinum: Bronkitis, sinusitis,
sesak napas.
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan: Ruam makulopapular,
alopesia.
- Berpotensi Fatal: Jarang, pankreatitis, obstruksi jalan napas (karena
angioedema lidah, glotis atau laring), nekrosis hati fulminan,
sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik.
- Efek samping yang mungkin akan terjadi adalah mual dan muntah,
lemas, sakit kepala, batuk, insomnia, perut kembung, konstipasi, dan
peningkatan enzim hati.
c. Kontra Indikasi
Riwayat angioedema (misalnya herediter, idiopatik, akibat
angioedema sebelumnya dengan penghambat ACE atau antagonis
reseptor angiotensin II [AIIRA]); perawatan ekstrakorporeal yang
mengakibatkan kontak darah dengan permukaan bermuatan negatif

` 55
(misalnya dialisis atau hemofiltrasi dengan membran high-flux tertentu
[misalnya membran poliakrilonitril] dan aferesis lipoprotein densitas
rendah dengan dekstran); stenosis arteri ginjal bilateral yang relevan
secara hemodinamik atau unilateral pada ginjal tunggal; keadaan
hipotensi atau hemodinamik tidak stabil. Penggunaan bersamaan
dengan aliskiren pada pasien dengan diabetes melitus atau gangguan
ginjal sedang sampai berat (GFR <60 mL/min/1,73 m2); penggunaan
bersamaan atau dalam 36 jam setelah beralih ke atau dari
sacubitril/valsartan.
Kehamilan dan laktasi.
d. Interaksi Obat
Dapat meningkatkan risiko angioedema dengan inhibitor
rapamycin (mTOR) target mamalia (misalnya everolimus, sirolimus,
temsirolimus), penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) (misalnya
vildagliptin), inhibitor endopeptidase netral (NEP) (misalnya
racecadotril). Dapat meningkatkan risiko hiperkalemia dengan garam K,
diuretik K-sparring, obat lain yang meningkatkan kadar K (misalnya
heparin, trimethoprim/sulfamethoxazole, tacrolimus, ciclosporin).
Dapat meningkatkan risiko hipotensi dengan obat antihipertensi lain
(misalnya diuretik), obat lain yang menurunkan tekanan darah
(misalnya anestesi, alfuzosin, baclofen, doxazosin, nitrat, prazosin,
TCA, tamsulosin, terazosin). Mungkin menurunkan efek antihipertensi
dengan simpatomimetik vasopresor dan obat lain (misalnya dobutamin,
dopamin, epinefrin, isoproterenol). Dapat meningkatkan risiko reaksi
hematologi dengan allopurinol, sitostatika, kortikosteroid,
imunosupresan, procainamide, obat lain yang mengubah jumlah sel
darah. Dapat meningkatkan kadar serum dan toksisitas litium. Dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia dengan obat antidiabetes (misalnya
insulin). Mengurangi efek antihipertensi, meningkatkan risiko
memburuknya fungsi ginjal dan meningkatkan kadar K serum dengan
NSAID.

` 56
Berpotensi Fatal: Peningkatan risiko hipotensi, hiperkalemia, dan
gangguan fungsi ginjal (misalnya gagal ginjal akut) dengan aliskiren.
Peningkatan risiko angioedema dengan terapi sacubitril/valsartan
bersamaan. Dapat menyebabkan reaksi anafilaksis parah dengan
dekstran sulfat pada apheresis LDL. Peningkatan risiko toksisitas
dengan penghambat reseptor angiotensin II pada pasien dengan
nefropati diabetik.aktivitas terapeutiknya (moderate)
3. Bisoprolol (MIMS, 2022)
a. Dosis dan Indikasi :
Oral :
Gagal jantung kronis
- Dewasa: Pada gagal jantung kronis yang stabil dengan penurunan
fungsi ventrikel kiri sistolik sebagai tambahan untuk penghambat
ACE, diuretik, dan glikosida jantung opsional: Awalnya, 1,25 mg
sekali sehari selama 1 minggu. Jika dapat ditoleransi, tingkatkan
secara bertahap sebagai berikut: 2,5 mg sekali sehari selama
seminggu berikutnya, 3,75 mg sekali sehari selama seminggu
berikutnya, 5 mg sekali sehari selama 4 minggu berikutnya, 7,5 mg
sekali sehari selama 4 minggu berikutnya, kemudian 10 mg sekali
setiap hari untuk pemeliharaan. Maks: 10 mg sekali sehari.
Pengurangan dosis secara bertahap dapat dipertimbangkan jika dosis
Max yang direkomendasikan tidak dapat ditoleransi dengan baik.
Rekomendasi perawatan dapat bervariasi di antara negara dan
masing-masing produk (lihat pedoman produk tertentu).
Oral :
Angina pektoris, Hipertensi
- Dewasa: Awalnya, 5 mg sekali sehari. Dosis pemeliharaan biasa: 10
mg sekali sehari. Maks: 20 mg setiap hari. Sesuaikan dosis sesuai
dengan kebutuhan individu.Efek samping
- Efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu menyebabkan
hipokalemia, hipokalemia sendiri dapat menyebabkan aritmia

` 57
jantung. Penurunan kalium drastis dapat memicu koma (gunakan
diuretik hemat kalium untuk mencegah hal ini).
Hipertensi
- Pasien dengan penyakit bronkospastik: Awalnya, 2,5 mg sekali
sehari.
Gangguan ginjal pada Kejang jantung; Hipertensi:
- Dosis CrCl (mL/menit) <40 Awalnya, 2,5 mg sekali sehari. Maks:
10 mg sekali sehari.
Kerusakan hati
Kejang jantung; Hipertensi:
- Awalnya, 2,5 mg sekali sehari. Maks: 10 mg sekali sehari.
b. Interaksi
Penggunaan bersamaan dengan Ca antagonis (misalnya
verapamil, diltiazem) dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas otot
jantung dan penundaan konduksi impuls atrioventrikular. Penggunaan
bersamaan dengan obat antihipertensi yang bekerja secara sentral
(misalnya clonidine, methyldopa, moxonidine, rilmenidine) selanjutnya
dapat menurunkan tonus simpatis sentral (penurunan denyut jantung dan
curah jantung, vasodilatasi). Efek pada waktu konduksi atrioventrikular
dapat diperkuat dengan agen antidisritmia Kelas I (misalnya
disopyramide, quinidine) dan Kelas III (misalnya amiodarone). Dapat
meningkatkan waktu konduksi atrioventrikular dan risiko bradikardia
dengan obat parasimpatomimetik. Dapat mengintensifkan efek penurun
gula darah dari insulin dan agen antidiabetes oral. Mengurangi denyut
jantung dan meningkatkan waktu konduksi atrioventrikular dengan
glikosida digitalis. Dapat melemahkan refleks takikardia dan
meningkatkan risiko hipotensi dengan obat anestesi. NSAID dapat
mengurangi efek hipotensi bisoprolol. Penggunaan bersama agen β-
simpatomimetik (misalnya isoprenalin, dobutamin) dan bisoprolol dapat
mengurangi efek kedua agen tersebut. Dapat membuka kedok efek
vasokonstriktor yang dimediasi α-adrenoseptor dari simpatomimetik

` 58
yang mengaktifkan adrenoseptor β- dan α (misalnya norepinefrin,
epinefrin) yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
memperburuk klaudikasio intermiten. Meningkatkan risiko hipotensi
dengan agen antihipertensi lain (misalnya antagonis Ca dihidropiridin)
dan obat lain dengan potensi penurun tekanan darah (misalnya TCA,
barbiturat, fenotiazin). Peningkatan risiko bradikardia dengan
meflokuin. Peningkatan efek hipotensi dan risiko krisis hipertensi
dengan MAOI (kecuali inhibitor MAO-B). Mengurangi waktu paruh
eliminasi dengan rifampisin. Dapat menyebabkan penurunan aktivitas
simpatik yang berlebihan dengan obat-obatan yang menguras
katekolamin (misalnya reserpin, guanethidine). β-blocker topikal
(misalnya tetes mata untuk pengobatan glaukoma) dapat menambah
efek sistemik bisoprolol. Penggunaan bersamaan dengan moxisylyte
dapat menyebabkan hipotensi postural yang parah.
c. Efek samping
- Gangguan jantung: Bradikardia, memburuknya gagal jantung yang
sudah ada sebelumnya (pada pasien dengan gagal jantung kronis).
- Gangguan gastrointestinal: Mual, muntah, konstipasi, diare.
- Gangguan umum dan kondisi tempat administrasi: Kelelahan,
asthenia.
- Gangguan sistem saraf: Sakit kepala, pusing.
- Gangguan pembuluh darah: Perasaan dingin atau mati rasa di
ekstremitas, hipotensi.
d. Kontraindikasi
Gagal jantung akut atau selama episode dekompensasi gagal
jantung yang membutuhkan terapi inotropik IV; bradikardia
simtomatik; syok kardiogenik, blok atrioventrikular derajat 2 dan 3
(tanpa alat pacu jantung), blok sinoatrial, asma bronkial berat atau
COPD; sindrom sinus sakit, hipotensi simtomatik; penyakit oklusi arteri
perifer yang parah, sindrom Raynaud yang parah; asidosis metabolik,
feokromositoma yang tidak diobati.

` 59
Anuria, hipersensitif terhadap furosemid atau sulfonamid
e. Mekanisme kerja
Furosemid menghambat reabsorpsi dari natrium dan klorida secara
utama di bagian lengkung henle. Eksresi dari kalium dan amonia juga
meningkat sementara eksresi asam urat menurun. Furosemid
meningkatkan aktivitas konsentrasi plasma renin, plasma norepinefrin,
dan plasma arginin vasopressin
4. Diviti (MIMS, 2022)
a. Kandungan obat :
Fondaparinux Na
b. Indikasi
Pencegahan kejadian tromboemboli vena (VTE) pada pasien yang
menjalani operasi ortopedi besar pada tungkai bawah seperti patah
tulang pinggul termasuk profilaksis yang diperpanjang, operasi
penggantian lutut, operasi penggantian pinggul.
Pencegahan kejadian tromboemboli vena (VTE) pada pasien yang
menjalani operasi perut yang berisiko mengalami komplikasi
tromboemboli.
Pencegahan kejadian tromboemboli vena (VTE) pada pasien
medis yang berisiko mengalami VTE dan komplikasi tromboemboli
karena keterbatasan mobilitas akibat penyakit akut.Dosis dan aturan
pakai. Injeksi 50 mg tiap 6-8 jam.Dosis dewasa oral 150 mg dua kali
sehari.
c. Dosis
- Bedah ortopedi dan perut: Dosis natrium fondaparinux yang
dianjurkan adalah 2,5 mg sekali sehari, diberikan pasca operasi
dengan injeksi subkutan. Waktu pemberian dosis pertama tidak
boleh lebih awal dari 6 jam setelah penutupan bedah, dan hanya
setelah hemostasis ditetapkan (lihat Tindakan Pencegahan).
- Perawatan harus dilanjutkan sampai risiko tromboemboli vena
berkurang, biasanya sampai pasien dapat berjalan setidaknya 5

` 60
sampai 9 hari setelah operasi. Pengalaman menunjukkan bahwa
pada pasien yang menjalani operasi patah tulang pinggul, risiko
VTE berlanjut setelah 9 hari setelah operasi. Pada pasien ini,
penggunaan profilaksis berkepanjangan dengan natrium
fondaparinux harus dipertimbangkan hingga 24 hari tambahan.
- Pasien medis dengan risiko komplikasi tromboemboli: Dosis
natrium fondaparinux yang dianjurkan adalah 2,5 mg sekali sehari
diberikan melalui injeksi subkutan. Durasi pengobatan sekitar 6
sampai 14 hari.
- Populasi khusus: Anak-anak: Keamanan dan kemanjuran natrium
fondaparinux pada pasien di bawah usia 17 tahun belum ditetapkan.
- Lansia (dari 75 tahun): Natrium Fondaparinux harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien lanjut usia sebagai pasien ginjal karena
fungsi ginjal menurun seiring bertambahnya usia (lihat Kerusakan
Ginjal di bawah Tindakan Pencegahan). Pada pasien yang menjalani
operasi, waktu pemberian dosis pertama natrium fondaparinux
membutuhkan kepatuhan yang ketat (lihat Tindakan Pencegahan).
- Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg: Pasien dengan berat
badan di bawah 50 kg berisiko tinggi mengalami perdarahan (lihat
Tindakan Pencegahan). Pada pasien yang menjalani pembedahan,
waktu pemberian dosis pertama natrium Fondaparinux
membutuhkan kepatuhan yang ketat (lihat Tindakan Pencegahan).
- Gangguan Ginjal: Natrium Fondaparinux tidak boleh digunakan
pada pasien dengan gangguan ginjal berat (bersihan kreatinin kurang
dari 30 ml/menit) (lihat Tindakan Pencegahan). Tidak diperlukan
pengurangan dosis untuk pasien dengan gangguan ginjal ringan atau
sedang. Pada pasien yang menjalani operasi, waktu pemberian dosis
pertama natrium fondaparinux membutuhkan kepatuhan yang ketat.
- Gangguan hati: Penyesuaian dosis natrium fondaparinux tidak
diperlukan (lihat Farmakologi: Farmakokinetik dalam Tindakan)
pada pasien dengan gangguan hati berat, natrium fondaparinux

` 61
harus digunakan dengan hati-hati
d. Efek samping
- Efek samping terdaftar sebagai berikut berdasarkan kelas organ
sistem dan frekuensi serta indikasi. Frekuensi didefinisikan sebagai:
sangat umum (≥1/10), umum (≥1/100, <1/10), jarang (≥1/1.000,
<1/100), jarang (≥1/10.000, <1/ 1.000), sangat jarang (≥1/10.000).
Reaksi yang merugikan ini harus ditafsirkan dalam konteks indikasi
bedah atau medis.
- Efek yang tidak diinginkan pada pasien yang menjalani operasi
ortopedi besar pada tungkai bawah dan/atau operasi perut: Infeksi
dan infestasi: Jarang: infeksi luka pasca operasi.
- Gangguan darah dan sistem limfatik: Umum: anemia, perdarahan
(berbagai tempat, termasuk kasus perdarahan
intrakranial/intraserebral dan retroperitoneal yang jarang terjadi),
purpura.
- Jarang: trombositopenia, trombositemia, trombosit abnormal,
gangguan koagulasi.
- Gangguan sistem kekebalan tubuh: Jarang: reaksi alergi.
- Gangguan metabolisme dan nutrisi: Jarang: hipokalemia.
- Gangguan sistem saraf: Jarang: sakit kepala.
- Jarang: kecemasan, kebingungan, pusing, somnolen, vertigo.
- Gangguan pembuluh darah: Jarang: hipotensi.
- Gangguan pernapasan, toraks, dan mediastinum: Jarang: sesak
napas, batuk.
- Gangguan gastrointestinal: Jarang: mual, muntah.
- Jarang: sakit perut, dispepsia, gastritis, sembelit, diare.
- Gangguan hepatobilier: Jarang: tes fungsi hati abnormal, enzim hati
meningkat.
- Jarang: bilirubinemia.
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan: Jarang: ruam, pruritus,
sekresi luka.

` 62
- Gangguan umum dan kondisi tempat pemberian: Umum: edema.
- Jarang: demam, sekresi luka, edema perifer.
- Jarang: reaksi di tempat suntikan, nyeri dada, nyeri kaki, kelelahan,
edema genital, pembilasan, sinkop.
- Efek yang tidak diinginkan pada pasien medis: Gangguan darah dan
sistem limfatik: Umum: perdarahan (hematoma, hematuria,
hemoptisis, perdarahan gingiva).
- Jarang: anemia.
- Gangguan pernapasan, toraks, dan mediastinum: Jarang: dispnea.
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan: Jarang: ruam, pruritus.
- Gangguan umum dan kondisi tempat pemberian: Jarang: nyeri dada.
e. Interaksi
- Fondparinux tidak nyata menghambat CYP450s (CYP1A2,
CYP2A6, CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1 atau CYP3A4)
in vitro. Dengan demikian, natrium fondaparinux diharapkan tidak
berinteraksi dengan produk obat lain secara in vivo dengan
menghambat metabolisme yang dimediasi CYP.
- Karena fondaparinux tidak mengikat secara signifikan pada protein
plasma selain AT III, diharapkan tidak ada interaksi dengan produk
obat lain dengan perpindahan pengikatan protein.
- Risiko perdarahan meningkat dengan pemberian fondaparinux
secara bersamaan dan agen yang dapat meningkatkan risiko
perdarahan
- Penggunaan bersamaan warfarin (antikoagulan oral), asam
asetilsalisilat (penghambat trombosit), piroksikam (antiinflamasi
nonsteroid), dan digoksin (glikosida jantung) tidak secara signifikan
mempengaruhi farmakokinetik atau farmakodinamik fondaparinux.
Selain itu, fondaparinux tidak mempengaruhi aktivitas INR
warfarin, maupun waktu perdarahan di bawah pengobatan asam
asetilsalisilat atau piroksikam, maupun farmakokinetik atau
farmakodinamik digoksin pada kondisi stabil.

` 63
- Terapi lanjutan dengan produk obat antikoagulan lain: Jika
pengobatan lanjutan akan dimulai dengan heparin atau LMWH,
injeksi pertama harus, sebagai aturan umum, diberikan satu hari
setelah injeksi fondaparinux terakhir. Jika pengobatan lanjutan
dengan antagonis vitamin K diperlukan, pengobatan dengan
fondaparinux harus dilanjutkan sampai nilai target INR tercapai.
f. Kontraindikasi
- Pasien dengan hipersensitivitas yang diketahui terhadap natrium
fondaparinux atau salah satu eksipien obat ini.
- Pendarahan aktif yang signifikan secara klinis.
- Endokarditis bakteri akut.
- Gangguan ginjal berat didefinisikan dengan kreatinin <20 ml/menit.
g. Mekanisme kerja
Ranitidine menduduki reseptor H2 yang berfungsi menstimulasi
sekresi asam lambung sehingga histamin yang diproduksi oleh sel ECL
gaster dapat dihambat dan apabila reseptor H2 dihambat maka gastrin
dan asetikolin yang menyebaban sekresi asam lambung akan berkurang
efektifitasnya.
5. Nitrokaf (MIMS, 2022)
a. Kandungan Obat :
Gliseril trinitrat (nitrogliserin)
b. Indikasi
Pencegahan & pengobatan jangka panjang angina pektoris. Adapun
dosis dan aturan pakai yaitu untuk dosis pemeliharaan rutin digoxin
adalah 125 hingga 250 mikrogram per hari, tetapi dapar berkisar 62,5-
500 mikrogram setiap hari
c. Dosis
Cap 2.5 mg 1 cap 2 atau 3 kali sehari. Kasus yang parah: 2 caps 2 atau
3 kali sehari. Retard Forte cap 1 cap dua kali sehari.
d. Interaksi

` 64
Vasodilator, antihipertensi, β-blocker, antagonis Ca, neuroleptik atau
TCA, sildenafil dan alkohol; dihidroergotamin; heparin.Efek Samping
Hipotensi ortostatik, refleks takikardia, kolaps, penurunan tekanan
darah berhubungan dengan gejala angina, sakit kepala, mengantuk,
kemerahan.
e. Kontraindikasi
Anemia berat. Trauma kepala, peningkatan tekanan intrakranial,
perdarahan otak. Glaukoma yang baru mulai. Kegagalan peredaran
darah akut (syok, kolaps peredaran darah). Hipotensi. Serangan jantung.
Asupan sildenafil secara bersamaan.Mekanisme kerja
Glikosida jantung meningkatkan masuknya kalsium dari
sitoplasma ekstraseluler ke intraseluler. Efek terapinya mempotensiasi
aktivitas serat otot jantung kontraktil dan meningkatkan kekuatan
kontraksi miokard. Memperlambat denyut jantung dengan mnegurangi
konduksi melalui SA dan AV node.
6. Pantoprazole (MIMS, 2022)
a. Dosis dan Indikasi
- Intravena (Sindrom Zollinger-Ellison)
Dewasa: 80 mg sekali atau dua kali sehari sebagai injeksi lambat
atau infus jangka pendek selama 2-15 menit. Beralih ke terapi oral
sesegera mungkin.
- Intravena (Penyakit refluks gastro-esofagus, Ulkus peptikum)
Dewasa: 40 mg setiap hari sebagai injeksi lambat atau infus jangka
pendek selama 2-15 menit. Beralih ke terapi oral sesegera
mungkin.Dosis dan aturan pakai
PO dewasa, lansia : 5-49 mg 4 kali sehari
b. Kontraindikasi
Penggunaan bersamaan dengan rilpivirine dan atazanavir.
c. Efek Samping
- Hipomagnesaemia, cutaneous lupus erythematosus, SLE, patah
tulang terkait osteoporosis, polip kelenjar fundus, karsinoma, diare

` 65
terkait Clostridium difficile, nefritis interstisial, defisiensi Vitamin
B12 (terapi jangka panjang), infeksi gastrointestinal (misalnya
salmonella, Campylobacter).
- Gangguan gastrointestinal: Mual, muntah, diare, konstipasi, perut
kembung, sakit perut, dispepsia, mulut kering.
- Gangguan umum dan kondisi tempat pemberian: Asthenia,
kelelahan, malaise.
- Gangguan hepatobilier: Peningkatan enzim hati.
- Gangguan sistem kekebalan: Urtikaria.
- Gangguan metabolisme dan nutrisi: Edema perifer.
- Gangguan muskuloskeletal dan jaringan ikat: Artralgia, mialgia.
- Gangguan sistem saraf: Sakit kepala, pusing, vertigo.
- Gangguan kejiwaan: Insomnia.
- Gangguan sistem reproduksi dan payudara: Ginekomastia.
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan: Ruam, pruritus.
d. Interaksi
Dapat menurunkan konsentrasi plasma rilpivirine dan atazanavir.
Peningkatan risiko hipomagnesemia dengan diuretik. Peningkatan
risiko efek kardiotoksik yang diinduksi digoksin. Dapat meningkatkan
INR dan waktu protrombin warfarin. Dapat meningkatkan konsentrasi
plasma metotreksat. Dapat menurunkan penyerapan itraconazole,
ketoconazole, posaconazole, erlotinib. Dapat mengurangi efek terapi
clopidogrel.
7. Aspilet (MIMS, 2022)
a. Isi
ASA (Acetylsalicylic Acid)
b. Indikasi
Pencegahan trombosis intravaskular seperti infark miokard akut, angina
tidak stabil & stroke iskemik serebral transien.
c. Dosis dan aturan pakai
1 tablet sehari

` 66
d. Efek Samping
Iritasi GI, mual, muntah. Penggunaan jangka panjang: perdarahan GI,
ulkus peptikum.
e. Interaksi
Alkohol, antikoagulan, probenesid, sulfonilurea.
8. CPG (MIMS, 2022)
a. Dosis dan Indikasi
Oral
Sindrom koroner akut
- Dewasa: Dalam pengelolaan ST-elevasi akut MI: Dalam kombinasi
dengan aspirin (dengan atau tanpa trombolitik): ≤75 tahun dosis
muatan 300 mg, diikuti dengan 75 mg sekali sehari. Mulailah
pengobatan kombinasi sedini mungkin setelah gejala muncul dan
lanjutkan setidaknya selama 4 minggu. Dalam pengelolaan MI non-
ST-elevasi atau angina tidak stabil, termasuk yang menjalani
pemasangan stent setelah intervensi koroner perkutan (PCI): Dalam
kombinasi dengan aspirin: dosis pemuatan 300 mg, diikuti dengan
75 mg sekali sehari.
- Lansia: Dalam pengelolaan elevasi ST akut MI: Dalam kombinasi
dengan aspirin (dengan atau tanpa trombolitik): ≤75 tahun Sama
dengan dosis dewasa; >75 tahun 75 mg sekali sehari (tanpa dosis
muatan). Mulailah pengobatan kombinasi sedini mungkin setelah
gejala muncul dan lanjutkan setidaknya selama 4 minggu.
Oral
Profilaksis gangguan tromboemboli
- Dewasa: Untuk pasien dengan MI baru-baru ini, stroke iskemik
baru-baru ini, atau penyakit arteri perifer: 75 mg sekali sehari. Untuk
pasien dengan fibrilasi atrium yang memiliki setidaknya 1 faktor
risiko kejadian vaskular, tidak cocok untuk pengobatan antagonis
vitamin K, dan memiliki risiko perdarahan rendah: Dikombinasikan
dengan aspirin: 75 mg sekali sehari.Tiap tablet mengandung

` 67
ondansentrin HCL dehydrate 4 mg atau 8 mg
b. Kontraindikasi
Perdarahan patologis aktif (misalnya ulkus peptikum atau perdarahan
intrakranial). Gangguan hati yang parah.
c. Efek Samping
- Hipersensitivitas obat lintas-reaktif (misalnya ruam, angioedema,
reaksi hematologis) di antara thienopyridines; waktu perdarahan
memanjang. Jarang, didapat hemofilia.
- Gangguan sistem darah dan limfatik: Trombositopenia, leukopenia,
eosinofilia, neutropenia.
- Gangguan pencernaan: Diare, sakit perut, dispepsia, tukak lambung,
tukak duodenum, gastritis, muntah, mual, sembelit, perut kembung.
- Gangguan umum dan kondisi tempat pemberian: Pendarahan di
tempat tusukan.
- Pemeriksaan penunjang: Penurunan jumlah neutrofil dan trombosit.
- Gangguan sistem saraf: Sakit kepala, parestesia, pusing.
- Gangguan ginjal dan saluran kemih: Hematuria.
- Gangguan pernapasan, toraks dan mediastinum: Epistaksis.
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan: Memar, gatal-gatal.
- Gangguan pembuluh darah: Hematoma.
- Berpotensi Fatal: purpura trombositopenik trombotik, perdarahan
intrakranial, perdarahan gastrointestinal dan retroperitoneal.
d. Interaksi Obat
Peningkatan risiko perdarahan dengan aspirin, antikoagulan,
antiplatelet, NSAID termasuk penghambat siklooksigenase 2 (COX-2),
trombolitik, penghambat glikoprotein IIb/IIIa, SSRI, penghambat
reuptake serotonin norepinefrin. Efek antiplatelet dapat dikurangi bila
diberikan dengan inhibitor CYP2C19 sedang atau kuat (misalnya
esomeprazole, omeprazole, fluvoxamine, moclobemide, voriconazole,
ticlopidine, carbamazepine, efavirenz). Dapat meningkatkan
konsentrasi plasma substrat CYP2C8 (misalnya repaglinide, paclitaxel).

` 68
Penyerapan mungkin tertunda dan dikurangi oleh agonis opioid
(misalnya morfin).
9. Metoclopramid (MIMS, 2022)
a. Dosis dan Indikasi
- Intravena
Profilaksis mual dan muntah akibat kemoterapi
Dewasa: Dosis pemuatan: 2-4 mg/kg melalui infus terus menerus
selama 15-20 menit. Pemeliharaan: 3-5 mg/kg diinfus selama 8-12
jam. Sebagai alternatif, dosis awal hingga 2 mg/kg melalui infus
intermiten selama minimal 15 menit, dapat diberikan sebelum terapi
kanker dan diulangi dengan interval 2 jam. Total maksimum: 10
mg/kg dalam 24 jam.
Anak: Sebagai opsi lini ke-2: Dosis biasa: 1-18 tahun 0,1-0,15
mg/kg hingga 3x. 1-<3 tahun 10-14 kg: 1 mg; 3-<5 tahun 15-19 kg:
2 mg; 5-<9 tahun 20-29 kg: 2,5 mg; 9-18 tahun 30 kg-60 kg : 5 mg;
15-18 tahun >60 kg: Sama dengan dosis dewasa. Semua dosis harus
diberikan sampai tid. Maks: 0,5 mg/kg dalam 24 jam. Durasi maks:
5 hari.
Lansia: Pengurangan dosis mungkin diperlukan.
- Intravena
Mual dan muntah, Profilaksis mual dan muntah yang berhubungan
dengan terapi radiasi
Dewasa: 10 mg hingga 3x. Maks: 30 mg atau 0,5 mg/kg setiap hari.
Anak: Sebagai opsi lini ke-2: Dosis biasa: 1-18 tahun 0,1-0,15
mg/kg hingga 3x. 1-<3 tahun 10-14 kg: 1 mg; 3-<5 tahun 15-19 kg:
2 mg; 5-<9 tahun 20-29 kg: 2,5 mg; 9-18 tahun 30 kg-60 kg : 5 mg;
15-18 tahun >60 kg: Sama dengan dosis dewasa. Semua dosis harus
diberikan sampai tid. Maks: 0,5 mg/kg dalam 24 jam. Durasi maks:
5 hari.
Lansia: Pengurangan dosis mungkin diperlukan.

` 69
- Intravena
Profilaksis mual dan muntah pasca operasi
Dewasa: 10 mg sebagai dosis tunggal.
Anak: Sebagai opsi lini ke-2: Dosis biasa: 1-18 tahun 0,1-0,15
mg/kg hingga 3x. 1-<3 tahun
10-14 kg: 1 mg; 3-<5 tahun 15-19 kg: 2 mg; 5-<9 tahun 20-29 kg:
2,5 mg; 9-18 tahun 30 kg-60 kg : 5 mg; 15-18 tahun >60 kg: Sama
dengan dosis dewasa. Dosis yang diberikan setelah penghentian
operasi. Durasi perawatan maks: 48 jam.
Lansia: Pengurangan dosis mungkin diperlukan.
- Intravena
Intubasi usus halus, Premedikasi untuk pemeriksaan radiologi
saluran cerna bagian atas
Dewasa: 10 mg sebagai dosis tunggal, diberikan selama 1-2 menit.
Anak: <6 tahun 0,1 mg/kg; 6-14 tahun 2,5-5 mg; >14 tahun Sama
dengan dosis dewasa. Semua dosis diberikan sebagai dosis tunggal.
b. Kontraindikasi
Pasien dengan perforasi gastrointestinal, perdarahan atau obstruksi
mekanis, diduga atau diketahui pheochromocytoma atau paraganglioma
pelepas katekolamin lainnya, riwayat neuroleptik atau tardive
dyskinesia yang diinduksi obat, gangguan kejang (misalnya epilepsi),
penyakit Parkinson, riwayat methaemoglobinaemia yang diketahui
dengan metoclopramide atau nicotinamide adenine defisiensi
dinukleotida-sitokrom b5 reduktase (NADH-Cyb5R). Penggunaan
bersamaan dengan obat yang dapat menyebabkan reaksi ekstrapiramidal
(misalnya antipsikotik, levodopa). Anak-anak <1 tahun.
c. Efek Samping
- Signifikan: Reaksi distonik, akatisia, gejala parkinsonian, tardive
dyskinesia, methaemoglobinaemia, kolaps sirkulasi, bradikardia
berat, henti jantung, perpanjangan QT, henti sinus, torsades de
pointes. depresi, ide bunuh diri; ginekomastia, galaktorea, amenorea

` 70
dan impotensi sekunder akibat hiperprolaktinemia,
- Gangguan darah dan sistem limfatik: Jarang, agranulositosis,
leukopenia, neutropenia, sulfhaemoglobinaemia.
- Gangguan jantung: Takikardia supraventrikular, CHF akut, blok
AV.
- Gangguan mata: Gangguan penglihatan.
- Gangguan gastrointestinal: Diare, mual, muntah, gangguan buang
air besar.
- Gangguan umum dan kondisi situs admin: Asthenia, kelelahan.
- Gangguan hepatobilier: Jarang, hepatotoksisitas.
- Gangguan sistem kekebalan: Hipersensitivitas, jarang, angioedema.
- Pemeriksaan penunjang: Peningkatan kadar aldosteron plasma.
- Gangguan metabolisme dan nutrisi: Retensi cairan, porfiria.
- Gangguan sistem saraf: Somnolen, gelisah, sakit kepala, pusing,
kejang, jarang, tremor.
- Gangguan kejiwaan: Insomnia. Jarang, kecemasan, agitasi,
kebingungan, halusinasi.
- Gangguan ginjal dan saluran kemih: Inkontinensia urin atau urgensi.
- Sistem reproduksi dan gangguan payudara: Priapisme.
- Gangguan pernapasan, toraks, dan mediastinum: Bronkospasme,
jarang, laringospasme, edema laring.
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan: Jarang, ruam, urtikaria.
- Gangguan pembuluh darah: Hipotensi (IV), hipertensi, pembilasan.
- Berpotensi Fatal: Jarang, sindrom ganas neuroleptik yang ditandai
dengan kekakuan otot, hipertermia, perubahan kesadaran,
ketidakstabilan otonom.
d. Interaksi Obat
Efek sedatif aditif dengan depresan SSP (misalnya turunan
morfin, ansiolitik, penghambat reseptor H1, antidepresan sedatif,
barbiturat, klonidin). Peningkatan risiko gangguan ekstrapiramidal
dengan agen neuroleptik lain atau obat yang bekerja sentral (misalnya

` 71
fenotiazin, tetrabenazin). Dapat meningkatkan risiko sindrom serotonin
terkait dengan obat serotonergik (misalnya SSRI). Dapat menurunkan
bioavailabilitas digoksin. Dapat meningkatkan penyerapan siklosporin,
aspirin dan parasetamol. Dapat memperpanjang durasi aksi agen
penghambat neuromuskuler (misalnya mivacurium, suxamethonium).
Peningkatan konsentrasi serum dengan inhibitor CYP2D6 yang kuat
(misalnya fluoxetine, paroxetine). Konsentrasi plasma atovaquone
dapat dikurangi dengan metoclopramide. Peningkatan risiko
perpanjangan QT dengan agen lain yang diketahui memperpanjang
interval QT (misalnya antiaritmia kelas IA dan III, TCA, makrolida,
antipsikotik). Dapat mengubah efek stimulan sentral (misalnya
simpatomimetik. Peningkatan risiko hipertensi dengan inhibitor MAO.
Dapat mengurangi efek agen antidiabetes.
Berpotensi Fatal: Pemberian bersamaan dengan agonis
levodopa atau dopamin (misalnya bromokriprin) dapat menyebabkan
antagonisme timbal balik.
10. Inpepsa Suspensi (MIMS, 2022)
a. Kandungan Obat :
Sucralfat
b. Indikasi
Ulkus duodenum dan lambung, gastritis kronis.
c. Dosis dan aturan pakai
Dua kali sehari 4 sendok makan.
d. Efek Samping
Konstipasi dan mulut kering
e. Interaksi
Dapat mengurangi penyerapan cimetidine, ciprofloxacin, digoxin,
ketoconazole, norfloxacin, fenitoin, ranitidin, tetrasiklin & teofilin.

` 72
III.8 Assesment and Plan
Berdasarkan analisis rasionalitas pengobatan pasien, m aka diperoleh data
rekomendasi pengobatan (assesment and plan) yang dapat dilihat pada tabel III.8
Tabel III.8 Data Assesment And Plan Pengobatan Pasien Dari Tanggal 10-17 Desember 2022
Permasalahan
Terapi DRPs Rekomendasi Monitoring
Medis
Sesak Nafas O2 - - Kondisi Pasien
Dispepsia dan
Pantoprazole,
Profilaksis Dosis Inpepsa Sebaiknya diubah
Omeprazole, Kondisi Pasien
Perdarahan Suspensi Lebih menjadi 3×10 ml
Inpepsa Suspensi
Lambung
Berhati-hati dengan
Kondisi pasien
Ondansetron efek samping Cardiac
Mual muntah - terutama denyut
Metoclopramide dysrhythmias dari
nadi
kedua obat
Tekanan darah dan
detak jantung;
pantau setiap 5–15
menit setelah
penyesuaian dosis
Berhati-hati dengan
IV Nitrogliserin
Cedocard, efek samping
Nyeri dada - kemudian setiap 1–
Nitrocaf takikardia dari kedua
2 jam;
obat
pantau setiap 5
menit setelah
pemberian
Nitrogliserin kerja
singkat

` 73
Tanda klinis
perdarahan; aPTT,
INR; Hgb, Hct,
Berhati-hati dengan
jumlah trombosit
efek samping
Diviti,Atorvastat Interaksi pada awal, lalu
perdarahan dan cegah
NSTE ACS in, Clopidogrel, Omeprazole dan setiap hari; status
interaksi dengan
Aspirin Clopidogrel mental
memberikan jarak
setiap 2 jam untuk
waktu pemberian obat
tanda-tanda
intracranial
hemorrhage (ICH)
Interaksi Monitoring tekanan
Bisoprolol, Memberikan jarak
HFmEF Ramipril darah dan fungsi
Ramipril, waktu pemberian obat
dengan Aspirin ginjal
Tidak diberikan
Ramipril dan Tekanan darah dan
Tekanan Darah 2 hari pertama Sebaiknya dilanjutkan
Aspirin resiko iskemia
perawatan

` 74
BAB IV

PEMBAHASAN

Coronary artery disease (CAD) adalah proses patologis yang ditandai


dengan akumulasi plak aterosklerotik di arteri epikardial, baik obstruktif atau non-
obstruktif. CAD dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu Acute Coronary
Syndromes (ACS) dan Chronic Coronary Syndromes (CCS). Acute Coronary
Syndrome (ACS) melibatkan iskemia miokard akut akibat ketidakseimbangan
antara kebutuhan dan suplai oksigen miokard.
Pasien Ny. SS berusia 79 tahun dirawat di rumah sakit mulai tanggal 10
Desember–17 Desember 2022. Pasien pertama kali masuk rumah sakit melalui IGD
dengan keluhan sesak nafas selama beberapa hari, mual, muntah, lemas, dan nafsu
makan menurun. Studi kasus pasien diperoleh dari medical record pasien mulai dari
unit pelayanan IGD hingga perawatan Cardiovascular Care Unit (CVCU) di Rumah
Sakit Umum Daerah Labuang Baji. Dilakukan pemantauan terhadap pasien dan
selanjutnya dilakukan analisis rasionalitas terhadap terapi yang diberikan pada
pasien serta pemberian rekomendasi atau solusi dari permasalahan yang telah
didapatkan.
Pada tanggal 10/12/22 dilakukan penanganan awal pada pasien di ruang
IGD Rumah Sakit Labuang Baji. Pada saat diruang IGD, pasien mengeluhkan sesak
nafas sehingga diberikan O2 nasal kanula. Selanjutnya pasien juga diberikan infus
Ringer Laktat sebagai terapi cairan, sumber elektrolit dan air untuk hidrasi. Infus
Ringer Laktat diberikan juga untuk koreksi hipovolemia akibat mual muntah yang
terjadi pada pasien. Selain itu pasien juga diberikan injeksi Ondansetron 4 mg/2ml
untuk mengatasi mual muntahnya. Pasien juga diberikan injeksi Omeprazole untuk
pencegahan perdarahan lambung yang diakibatkan karena adanya riwayat
pengobatan antiplatelet pada pasien. Secara keseluruhan terapi di IGD sudah sesuai
dengan kondisi pasien. Setelah dilakukan observasi lebih lanjut di IGD pasien
mengalami kondisi hiponatremia dan hipoklorida sehingga disarankan untuk rawat
inap dan di transfer ke ruangan Baji Ateka.

` 75
Pada saat di ruangan Baji Ateka pasien diberikan terapi NaCl 3% untuk
mengoreksi kadar natrium (119 mmol/L) dan klorida pasien (78mmol/L). Terapi ini
sudah sesuai dimana diikuti oleh pemeriksaan kadar Natrium dan Klorida setelah
terapi pada tanggal 14/12/22 dan didapatkan hasil yaitu kadar natrium pasien
meningkat menjadi 131 mmol/L dan klorida menjadi 100mmol/L. Terapi lain yang
diberikan yaitu berupa obat oral Atorvastatin 20 mg untuk pencegahan iskemia
Acute Coronary Sydrome, Pantoprazole injeksi dan Inpepsa Suspensi untuk terapi
pencegahan efek samping penggunaan antiplatelet serta adanya keluhan dispepsia
pada pasien. Dosis Inpepsa yang diberikan berupa 3×15 ml yang sebaiknya
digunakan 3×10 ml. Terapi lanjutan antiemetik berupa pemberian Metoclopramide.
Berdasarkan beberapa laporan kasus, Ondansetron dan Metoclopramide dikaitkan
dengan adanya efek samping cardiac dysrytmia. Meskipun masih jarang namun
disarankan pemantauan kondisi pasien terkait hal tersebut. Penggantian
Ondansetron ke Metoclopramide dikaitkan dengan stok dan tanggungan BPJS.
Pemberian Metoclopramide dihentikan bila tidak terdapat keluhan mual muntah.
Pada tanggal 11/12/12, terapi yang diberikan kepada pasien masih
dipertahankan, namun ketika di pagi hari digunakan NaCl 0,9% dan pada malam
hari digantikan dengan NaCl 3%. Pada tanggal 12/12 malam, pasien mengeluhkan
nyeri dada hebat, tekanan darah naik 135/79 mmHg, nadi naik menjadi 106
kali/menit, saturasi menurun menjadi 96%. Pasien diberikan cedocard 2 mg/iv
untuk mengatasi nyeri hebat akibat angina, Ramipril dan Bisoprolol untuk tekanan
darah dan menurunkan denyut jantung pasien. Diviti, Atorvastatin 40 mg dan
Aspilet diberikan sebagai terapi pencegahan iskemia. Pada pasien ACS, disarankan
penggunaan kombinasi antiplatelet (aspirin+clopidogrel) dan antikoagulan dosis
rendah untuk beberapa hari selama dirawat di rumah sakit (McDonagh, 2022). Perlu
dilakukan monitoring tanda klinis perdarahan; aPTT, INR; Hgb, Hct, jumlah
trombosit, setiap 2 jam untuk tanda-tanda intracranial hemorrhage (ICH).
Pemberian Pantoprazole iv dan Inpepsa Suspensi untuk pencegahan efek samping
perdarahan obat pencegah iskemia pasien.
Pada tanggal 13/12/12 dilakukan prosedur EKG dan diperoleh hasil ST
depresi dan dipindahkan ke CVCU dengan diagnosis NSTE ACS infark miokard

` 76
Unstable Angina komplikasi HFmEF (Ejeksi Fraksi 48%). Infus NaCl 0.9% diganti
menjadi Infus RL dan begitu sebaliknya di hari selanjutnya. Terapi pencegahan
iskemia dan antihipertensi pada pasien dilanjutkan seperti sebelumnya sampai
pulang kecuali penambahan dosis pada Atorvastatin menjadi 40 mg dan
penggantian Cedocard iv menjadi Nitrokaf Oral pada tanggal 16-17 Desember
2022. Penggunaan statin dimulai dengan dosis tinggi selama rawat inap hingga
stabil dan dapat dilanjutkan tanpa batas waktu. Semua pasien harus menerima dosis
tertinggi statin yang dapat ditoleransi secara maksimal (contoh atorvastatin 80 mg).
Statin dosis sedang atau dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pasien ACS
dengan riwayat intoleransi statin atau mereka yang berisiko tinggi terhadap efek
samping statin. Pasien di atas usia 75 tahun dapat diresepkan dosis sedang statin
sebagai terapi awal (Dipiro, 2021).
Pasien direkomendasikan penghambat ACE (atau ARB) jika pasien
memiliki kondisi lain (misalnya gagal jantung, hipertensi, atau diabetes). Beta-
blocker direkomendasikan dalam meredakan angina, mengontrol denyut jantung,
mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien gagal jantung dengan sindrom
koronari. Terapi penghambat ACE direkomendasikan pada pasien dengan gagal
jantung simtomatik atau disfungsi ventrikel kiri asimtomatik setelah infark
miokard, untuk memperbaiki gejala dan mengurangi morbiditas dan mortalitas
(McDonagh, 2022).
Aspirin dan Clopidogrel digunakan sebagai antiplatelet untuk terapi
pencegahan iskemia pada pasien. Aspirin memiliki efek vasokontriksi sehingga
memiliki interaksi obat dengan ramipril. Kombinasi keduannya dapat menginduksi
peningkatan fungsi ginjal. Dalam kondisi fisiologis normal, filtrasi glomerulus
adalah proses pasif yang terutama dipengaruhi oleh aliran darah melalui arteriol
aferen dan eferen. Aliran darah arteriol diatur oleh berbagai mediator neurokimia
termasuk prostaglandin dan angiotensin II, dan karenanya dapat dipengaruhi oleh
penggunaan NSAID dan penghambat ACE. Ketika digunakan dalam kombinasi,
vasokonstriksi arteriol aferen (dimediasi oleh NSAID) dan vasodilatasi efferent
arterial (dimediasi oleh penghambat ACE) dapat menghasilkan penurunan tekanan
intraglomerular yang substansial, menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus

` 77
(GFR) dan potensi cedera ginjal akut (Danelich, 2015). Dengan adanya interaksi ini
maka perlu dilakukan monitoring terhadap fungsi ginjal.
Penggunaan penghambat pompa proton secara bersamaan
direkomendasikan pada pasien yang menerima monoterapi aspirin, terapi dual
antiplatelet (DAPT), atau oral antikoagulan (OAC) yang berisiko tinggi
menyebabkan perdarahan gastrointestinal. Penghambat pompa proton mengurangi
risiko perdarahan gastrointestinal pasien guna meningkatkan keamanan
pengobatan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pompa proton
inhibitor lebih efektif dalam mengurangi resiko perdarahan dibandingkan dengan
antagonis reseptor H2 (Ye Z, 2020). Pompa proton inhibitor juga lebih efektif dalam
profilaksis stress ulserasi pada pasien ICU dibandingkan dengan antagonis H2
reseptor dan sukralfat (Alhazzani,2018). Pada kasus Ny. SS disarankan penggunaan
PPI saja lebih dahulu tanpa kombinasi dengan sukralfat suspense.
Penghambat pompa proton itu menghambat CYP2C19, terutama
omeprazole dan esomeprazole, sehingga mengurangi respon farmakodinamik
terhadap clopidogrel. Clopidogrel merupakan prodrug thionopyridine,
dimetabolisme menjadi metabolit aktif oleh enzim CYP2C19, sehingga pemberian
bersamaan dengan penghambat pompa proton dapat mempengaruhi efektifitasnya.
Meskipun belum terbukti mempengaruhi risiko kejadian iskemik atau stent
trombosis, pemberian bersama omeprazole atau esomeprazole dengan clopidogrel
umumnya tidak dianjurkan (McDonagh, 2022).
Selain permasalahan diatas, kami juga menyarankan dilakukannya
rekonsiliasi yang ketat di IGD. Dalam kasus ini, pasien Ny.SS adalah pasien ACS
berulang dengan riwayat pengobatan penyakit jantung koroner dan hipertensi,
dimana pengobatan tersebut harusnya dilakukan rutin dan berkelanjutan.
Berdasarkan data profil pengobatan pasien, pengobatan tersebut terjedah selama 2
hari dan baru dilanjutkan pada hari ke 3 dirawat di rumah sakit.
Penggunaan Aspirin dan Ramipril sebaiknya dilanjutkan saat pasien
berada di Rumah Sakit karena merupakan pengobatan yang sudah digunakan
sebelumnya oleh pasien. Penggunaan cairan NaCl 0,9% Irasional karena dari data
laboratorium pada tanggal 14 Desember bahwa kadar Natrium pasien sudah normal

` 78
yaitu 133mmol/L, sehingga pasien disarankan untuk minum banyak air karena jika
diberikan NaCl terus-menerus maka kadar Natrium akan meningkat. Lalu pasien
disarankan untuk diberikan pengobatan Diabetes Mellitus yaitu metformin dengan
dosis 500 mg 2 kali sehari karena terjadi peningkatan glukosa darah sewaktu
menjadi 224 mg/dL pada tanggal 17 Desember.

BAB V
PENUTUP

` 79
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan KKL di Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji dapat disimpulkan bahwa Pasien atas nama Ny. SS dengan diagnosis
akhir NSTE-ACS komplikasi HFmEF secara umum pengobatannya sudah sesuai
dengan kondisi pasien, namun terdapat dosis obat inpepsa yang perlu dikurangi
beberapa interaksi obat dan efek samping obat yang perlu perlu diawasi dan
dimonitoring efeknya.
V.2 Saran
Sebaiknya pasien tetap melakukan check up ke dokter secara rutin untuk
mencegah kekambuhan penyakit serta untuk mengoptimalkan proses penyembuhan
penyakit pasien.

DAFTAR PUSTAKA

` 80
Acton, A ed. (2013). Congestive Heart Failure: New Insights for the Healthcare
Professional. Scholarly Editions.

Alhazzani, W., Alshamsi, F., Belley-Cote, E., Heels-Ansdell, D., Brignardello-


Petersen, R., Alquraini, M., … Guyatt, G. (2018, January 1). Efficacy and
safety of stress ulcer prophylaxis in critically ill patients: a network meta-
analysis of randomized trials. Intensive Care Medicine. Springer Verlag.

Baxter, Karen.BSc, MSc, MRPharmS (ed.). 2008. Stockley’s Drug Interactions


(8th eds) :A source book of interactions, their mechanisms, clinicalimportance
and management. Great Britain: Pharmaceutical Press of Great Britain.

Berkowitz, A., 2013, Patofisiologi Klinik Disertai Contoh Kasus Klinik,


Diterjemahkan oleh Andry Hartono, Halaman 108, Tangerang, Binarupa
Aksara

Caraballo C, Desai NR, Mulder H, Alhanti B, Wilson FP, Fiuzat M, Felker GM,
Pina IL, O’Connor CM, Lindenfeld J, Januzzi JL, Cohen LS, Ahmad T.
Clinical implications of the New York Heart Association classification. J Am
Heart Assoc 2019;8:e014240
Chua, Ignaszweski, Schwenger. Angiotensin-convertingenzyme inhibitors: An
ACE in the hole for everyone. Biomedical Journal. 2011; vol 53(5):220-223

Danelich, I. M., Wright, S. S., Lose, J. M., Tefft, B. J., Cicci, J. D., & Reed, B. N.
(2015). Safety of nonsteroidal antiinflammatory drugs in patients with
cardiovascular disease. Pharmacotherapy, 35(5), 520–535.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V. 2015).


Pharmacotherapy Handbook. Ninth Edit. McGraw-Hill Education
Companies. Inggris.
European Medicine Agency, 2010. Science Medicine
Health.CPMP/EWP/560/95/Rev.1
Ford, I., Robertson, M., Komadja, M., Bohm, M., Borer, J.S., Tavazzi, L.,
Swedberg, K. (2015). Top ten risk factors for morbidity and mortality in
patients with chronicsystolic heart failure and elevated heart rate: The
SHIFT Risk Model. IJC. 184. 163-169.

Heidenreich, Paul A., et all. 2022 AHA/ACC/HFSA Guideline for the


Management of Heart Failure: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Joint Committee on Clinical
Practice Guidelines. Circulation. 2022;145:e895–e1032. DOI:
10.1161/CIR.0000000000001063

` 81
Kehat, I.Molkentin, J.D. (2010). Molecular Pathways Underlying Cardiac
Remodeling During Pathophysiological Stimulation, AHA Circulation, 122,
2727-2735.

Magro, L., Conforti, A., Delzotti, F., Leone, R., Lorio, M.L., Meneghelli, I., et al.,
2007, Identification of Severe Potential Drug-drug Interactions using an
Italian General-Practitioner database, Eur J Clin Pharmacol, Springer
Verlag.

Mann, D.L., (2012) Braunwalds Heart Disease a textbook of Cardiovascular


Medicine (9theds), 487-489

McDonagh, Theresa A., et al. 2021 ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure. European Journal of Heart
Failure (2022) 24, 4–131. doi:10.1002/ejhf.2333
Porth, M.C.. (2007). Pathophysiology Concepts of Altered Health States., Chap 20:
429.

Rahayu, Puji, Susaldi, Jumari.2022. Mekanisme Peningkatan Tekanan Darah dan


Kontrol Hipertensi Dapat Mempengaruhi Nilai Ejeksi Fraksi Pada Pasien
Gagal Jantung Kronik.OAJJHS: Vol. 01, No. 05, May 2022.

Rohilla, A. & Yadav, S., 2013, Adverse Drug Reactions : An overview, IJPR, 3,
2277-3312.

Srikanth, B.A., Berhanie, A., Tigistu, H., Abraham, Y., Getachew, Y., Khan, M.T.,
Unakal, C., 2014, Prevalence of Potential Drug-drug Interactions among
Internal Medicine Ward in University of Gondar Teaching Hospital, APJTB,
4, S204-S208.

Ye, Z., Reintam Blaser, A., Lytvyn, L., Wang, Y., Guyatt, G. H., Mikita, J. S., …
Siemieniuk, R. A. C. (2020). Gastrointestinal bleeding prophylaxis for
critically ill patients: A clinical practice guideline. The BMJ, 368.

` 82
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Lampiran I. Diskusi Dengan Dokter Penanggung Jawab Pasien

` 83
Lampiran II. Visite Mandiri ke Ruangan Pasien

` 84

Anda mungkin juga menyukai