Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat

formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu obat atau sediaan

farmasi biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan memerlukan waktu yang

lama sampai ketenangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang disimpan dalam

jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan hasil urai

dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahayakan dan dampak negatif

bagi jiwa pasien. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi kestabilan suatu zat dapat sehingga dapat dipilih suatu kondisi dimana

kestabilan obat optimum.

Olah karena itu pada percobaan ini dilakukan atau dimaksudkan dalam salah

satu percobaan pada paraktikum farmasi fisika, sehingga setelah melakukan

percobaan stabilitas obat, praktikum dapat mengetahui bagaimana karateristik obat

tersebut, atau pada keadaan yang bagaimana suatu obat dapat bertahan lebih lama,

serta mampu memperkirakan kadaluarsa suatu obat. Oleh karena itu adanya uji

stabiliat sedian menurut ICH, WHO dan CPOB. CPOB secara singkat dapat

didefinisikan suatu ketentuan bagi industri farmasi yang dibuat untuk memastikan

agar mutu obat yang dihasilkan sesuai persyaratan yang ditetapkan dan tujuan

penggunaannya. Pedoman CPOB disusun sebagai petunjuk dan contoh bagi industri
farmasi dalam menerapkan cara pembuatan obat yang baik untuk seluruh aspek dan

rangkaian proses pembuatan obat. Uji stabilitas menurut ICH, CPOB dan WHO

mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Penjelasan di atas

menjelaskan kepada kita bahwa betapa pentingnya kita mengetahui pada keadaan yang

bagaimana suatu obat tersebut aman dan dapat bertahan lama, sehingga obat tersebut dapat

disimpan dalam jangka waktu yang lama tanpa menurunkan khasiat obat tersebut
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stabilitas

Stabilitas merupakan faktor penting dari kualitas, keamanan dan kemanjuran

dari produk obat. Sebuah produk obat, yang tidak kestabilan yang cukup, dapat

mengakibatkan perubahan fisik (seperti kekerasan, laju disolusi, dll fasa pemisahan)

serta karakteristik kimia (pembentukan zat dekomposisi risiko tinggi)

Stabilitas kimia obat sangat penting karena menjadi kurang efektif

mengalami degradasi.. Dekomposisi juga dapat menghasilkan obat beracun oleh

produk yang berbahaya bagi pasien. Mikrobiologi ketidakstabilan suatu produk obat

steril juga bisa berbahaya.

Penentuan kadaluarsa obat dilakukan melalui serangkaian pengujian yang

disebut uji stabilitas obat. Selama penyimpanan ataupun transportasi, obat bisa

mengalami perubahan secara fisik maupun kimia, sehingga diperlukan suatu uji

stabilitas terhadap produk yang akan dipasarkan.

Stabilitas di definisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam

batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat dan

karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat. Faktor lingkungan

seperti suhu (temperatur), radiasi, cahaya, udara (terutama oksigaen, karbondioksida

dan uap air) dan kelembaban dapat mempengaruhi stabilitas. Faktor-faktor lain yang

dapat mempengaruhi stabilitas, yaitu : ukuran partikel, pH, sifat air dan pelarut yang
di gunakan, sifat kemasan dan keberadaan bahan kimia lain yang merupakan

kontaminan atau dari pencampuran produk berbeda yang secara sadar ditambahkan,

dapat mempengaruhi satabilitas sediaan. Penyebab ketidakstabilan sediaan obat ada dua

watak, pertama kali adalah labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu sendiri. Yang

terakhir dihasilkan dari bahan kimia dan kimia fisika, untuk lainnya adalah faktor luar seperti

suhu, kelembapan, udara, dan cahaya, menginduksi atau mempercepat reaksi yang yang

berkurang nilainya. Faktor-faktor yang telah disebutkan menjadi efektif dalam skala tinggi

adalah bergantung dari jenis galenik dari sediaan dalam obat padat, seperti serbuk,bubuk,dan

tablet.

Ada lima jenis stabilitas yang umum dikenal, yaitu :

1. Stabilitas Kimia, tiap zat aktif mempertahankan keutuhan kimiawi dan potensiasi

yang tertera pada etiket dalam batas yang dinyatakan dalam spesifikasi.

2. Stabilitas Fisika, mempertahankan sifat fisika awal, termasuk penampilan,

kesesuaian, keseragaman, disolusi, dan kemampuan untuk disuspensikan.

3. Stabilitas Mikrobiologi, sterilisasi atau resistensi terhadap pertumbuhan mikroba

dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang tertera. Zat antimikroba yang ada

mempertahankan efektifitas dalam batas yang ditetapkan.

4. Stabilitas Farmakologi, efek terapi tidak berubah selama usia guna sediaan.

5. Stabilitas Toksikologi, tidak terjadi peningkatan bermakna dalam toksisitas

selama usia guna sediaan.


A. Stabilitas Fisika

Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu

produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). contoh dari perubahan fisika

antara lain : migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau, perubahan

tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi : pemeriksaan

organoleptik, homogenitas, ph, bobot jenis.

Kriteria stabilitas fisika:

 penampilan fisika meliputi; warna, bau, rasa, tekstur, bentuk sediaan

 keseragaman bobot

 keseragaman kandungan

 suhu

 disolusi

 kekentalan

 bobot jenis

 visikositas

Sifat fisik meliputi hubungan tertentu antara molekul dengan bentuk energi

yang telah ditentukan dengan baik atau pengukuran perbandingan standar luar

lainnya. Dengan menghubungkan sifat fisik tertentu dengan sifat kimia dari molekul-

molekul yang hubungannya sangat dekat, kesimpulannya adalah :

 menggambarkan susunan ruang dari molekul obat

 memberikan keterangan untuk sifat kimia atau fisik relatif dari sebuah molekul
 memberikan metode untuk analisis kualitatif dan kuantitatif untuk suatu zat

farmasi tertentu.

Ketidakstabilan Fisika

Berikut ini akan diuraikan jenis ketidakstabilan yang paling penting, tanpa

memperdulikan kesempurnaan prosesnya.

1. Perubahan struktur kristal

Banyak bahan obat menunjkkan perilaku polomorfi, yang disebabkan oleh

perubahan lingkungan, yang tidak terdeteksi secara organoleptis. Akan tetapi

umumnya menyebabkan terjadinya perubahan dalam perilaku pembebasan dan

resorpsi bahan obat.

2. Perubahan kondisi distribusi

Dengan aktifnya daya gravitasi akan terjadi fenomena pemisahan pada sistem

cairan banyak fase, namun dalam stadium lanjut dapat terlihat sebagai sedimentasi

atau pengapungan.

3. Perubahan konsisitensi atau kondisi agregat

Sediaan obat semi padat seperti salep atau pasta selama penyimpanan dapat

mengalami pengerasan.

4. Perubahan perbandingan kelarutan

Pada sistem dispersi molekular (misalnya larutan bahan obat) dapat terjadi

pemisahan bahan terlarut (kristalisasi atau pengedapan) melalui perubahan

konsentrasi akibat penguapan bahan pelarut.


5. Perubahan perbandingan hidratasi

Melalui pengambilan atau pelepasan cairan dapat mempengaruhi

perbandingan hidratasi senyawa sekaligus sifatnya secara nyata.7

B. Stabilitas Farmakologi

Aktivitas senyawa bioaktif disebabkan oleh interaksi antara molekul obat

dengan bagian molekul dari obyek biologis yaitu resptor spesifik. Untuk dapat

berinteraksi dengan reseptor spesifik dan menimbulkan aktivitas spesifik, senyawa

bioaktif harus mempunyai stuktur sterik dan distribusi muatan yang spesifi pula.

Dasar dari aktivitas bioogis adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari

saat obat diberikan sampai terjadinya respons biologis.

Fasa-fasa yang mempengaruhi aktivitas obat

1. Fasa farmasetik

Fasa ini menentukan ketersediaan farmasetik yaitu ketersediaan senyawa aktif

untuk dapat diabsorpsi oleh sistem biologis. Untuk dapat diabsorpsi senyawa obat

harus dalam bentuk molekul dan mempunyai lipofilitas yang sesuai. Bentuk molekul

senyawa dipengaruhi oleh nilai pKa dan pH lingkungan (lambung pH= 1-3 dan usus

pH = 5-8).

Pada fasa I selain sifat molekul obat, seperti kestabilan terhadap asam

lambung dan larutan dalam air, formulasi farmasetis dan bentuk sediaan yang

digunakan juga penting untuk aktivitas obat.


2. Fasa Farmakokinetik

Meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi molekul

obat yang mengahasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif dalam

cairan darah (Ph = 7,4) yang akan didistribusikan ke jaringan atau organ tubuh. Fasa

III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan ekresi obat, yang

menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat reseptor berbeda. Fasa I,

II dan III menentukan kadar obat aktif yang dapat mencapai jaringan target.

3. Fasa Farmakodinmik

Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap interaksi molekul

senyawa aktif dengan tempat aksi spesifik atau reseptor pada jaringan target, yang

dipengaruhi oleh ikatan kimia yang terlibat. Fasa V adalah induksi rangsangan,

dengan melalui proses biokimia, menyebabkan terjadinya respons biologis.

C. Stabilitas Kimia

Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk

mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada etiket

dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data merupakan

langkah menentukan baik buruknya sediaan yang dihasilkan, meskipun tidak

menutup kemungkinan adanya parameter lain yang harus diperhatikan. Data yang

harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda tidak sama, begitu juga untuk

jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain. Jadi sangat bervariasi tergantung

pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat aktif dan lain-lain.
Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia, kimiafisik, dan kerja

farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data sekunder).

Secara reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor diantaranya ialah,

oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida

(turunnya pH larutan), sesepora ion logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Jadi

jelasnya faktor luar juga mempengaruhi ketidakstabilan kimia seperti, suhu,

kelembaban udara dan cahaya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Kimia

Masing-masing bahan tambahan baik yang memiliki efek terapetik atau non

terapetik dapat mempengaruhi stabilitas senyawa aktif dan sediaan. Faktor kondisi

lingkungan yang utama yang dapat mengurangi stabilitas termasuk di dalamnya

Paparan temperatur yang ekstrim, cahaya, kelembaban dan CO2. Faktor utama dari

bentuk sediaan yang dapat mempengaruhi stabilitas obat, termasuk ukuran partikel,

pH, komposisi sistem pelarutan, kompatibilitas anion dan kation, kekuatan larutan

ionik, kemasan primer, bahan tambahan kimia yang spesifik dan ikatan kimia dan

difusi dari obat dan bahan tambahan. Dalam berbagai bentuk sediaan reaksi-reaksi ini

dapat mengakibatkan rusaknya kandungan zat aktif, antara lain adalah

1. Hidrolisis

Ikatan amida juga dpt terhidrolisa meskipun kecepatan hidrolisanya lebih

lambat disbanding ester. Sebagai contoh prokain akan terhidrolisa apabila di autoklaf,

tetapi senyawa prokainamid tidak terhidrolisa.


Gugus laktam dan azometin (imine) dalam benzodiazepine juga dapat

tehidrolisis. Faktor kimia yang dapat menjadi katalis dalam reaksi hidrolisi adalah pH

dan senyawa kimia tertentu (contohnya dextrose dan tembaga dalam kasus hidrolisa

ampisilin)

2. Epimerisasi

Senyawa tetrasiklin paling umum mengalami epimerisasi. Reaksi terjadi

dengan cepat ketika obat dilarutkan dan terpapar dg pH lebih dari 3, mengakibatkan

terjadinya perubahan sterik pd gugus dimetilamin. Bentuk epimer dari tetrasiklin

seperti epitetrasiklin tidak memiliki aktifitas anti bakteri.

3. Dekarboksilasi

Beberapa asam senyawa asam karboksilat terlarut seperti para-amini salisilic

acid dapat kehilangan CO2 dari gugus karboksil ketika dipanaskan. Produk urainya

memiliki potensi farmakologi yang rendah. Beta-keto dekarboksilasi dpt terjadi pada

beberapa antibiotik yg memiliki gugus karbonil pada beta karbon dari asam

karboksilat atau anion karboksilat. Dekarboksilasi akan terjadi pada beberapa

antibiotik : Carbenicillin sodium, Carbenicillin free acid, Ticarcillin sodium,

Ticarcillin free acid6

4. Dehidrasi

Dehidrasi yg dikatalisis oleh asam pd gol tetrasiklin menghasilkan senyawa

epianhidrotetrasiklin, senyawa yg tdk memiliki efek anti bakteri dan memiliki efek

toksisitas
5. Oksidasi

Struktur molekular yang dapat mudah teroksidasi adalah gugus hidroksil yang

terikat langsung pada cincin aromatik (contoh pd katekolamin dan morfin), gugus

dien terkonjugasi (vit A dan asam lemak tak jenuh), cicin heterosiklik aromatik,

gugus turunan nitroso dan nitrit dan aldehid (flavoring). Produk hasil oksidasi

biasanya memiliki efek terapetik lebih rendah. Identifikasi secara visual bisa terlihat

pada perubahan warna contohnya pada kasus efineprin. Oksidasi dapat dikatalisa oleh

pH ion logam contohnya tembaga dan besi, paparan terhadap oksigen, UV.7

6. Dekomposisi fotokimia

Paparan pada UV dapat menyebabkan oksidasi (foto oksidasi) dan fotolisis

pada ikatan kovalen. Nipedipin, nitroprusin, ribovlavin, dan fenotiazin sangat tidak

stabil terhadap foto oksidasi.

7. Kekuatan Ion

Efek dari jumlah elektrolit yang terlarut terhadap kecepatan hidrolisis

dipengaruhi oleh kekuatan ion pada interaksi inter ionik. Secara umum konstanta

kecepatan hidrolisis berbanding tebalik dengan kekeuatan ion dan sebaliknya dengan

muatan ion, sebagai contoh obat-obat kation yang diformulasikan dengan bahan

tambahan anion.8

8. Perubahan Nilai pH

Degradasi dari banyak senyawa obat dalam larutan dapat dipercepat atau

diperlambat secara ekponensial oleh nilai pH yg naik atau turun dari rentang pH nya.

Nilai pH yang di luar rentang dan paparan terhadap temperatur yang tinggi adalah
faktor yang mudah mengkibatkan efek klinik dari obat secara signifikan, akibat dari

reaksi hidrolisis dan oksidasi. Larutan obat atau suspensi obat dapat stabil dalam

beberapa hari, beberapa minggu, atau bertahun-tahun pada formulasi aslinya, tetapi

ketika dicampurkan dengan larutan lain yg dapat mempengaruhi nilai pH nya,

senyawa aktif dapat terdegradasi dalam hitungan menit.

Sistem pH dapar yang biasanya terdegradasi dari asam atau basa lemah dan

garamnya biasanya ditambahkan ke dalam sediaan cair ditambahkan untuk

mempertahankan pHnya pada rentang dimana terjadinya degradasi obat minimum.

Pengaruh pH pada kestabilan fisik sistem dua fase contohnya emulsi juga penting,

sebagai contoh kestabilan emulsi intravena lemak dirusak oleh pH asam.

9. Interionik

Kelarutan dari muatan ion yg berlawanan tergantung pada jumlah muatan

ionnya dan ukuran molekulnya. Secara umum ion2 polivalen dengan muatan

berlawanan bersifat inkompatibel. Jadi inkompatibilitasnya lebih mudah terjadi

dengan penambahan sejumlah besar ion dengan muatan yang berlawanan.8

10. Kestabilan bentuk padat

Reaksi pada kondisi padat relatif bersifat lambat, kecepatan degradasinya

dikarakterisasi sesuai dengan kecepatan kinetik orde 1 atau sesuai dengan kurva

signoid. Sehingga obat-obat berbentuk padat dengan titik leleh yang rendah tidak

boleh dikombinasikan dengan bahan kimia lain yang dapat membentuk campuran

uetectic.
Pada kondisi kelembaban yang tinggi, kecepatan dekomposisinya berubah

sesuai dengan kecepatan kinetik orde nol, karena kecepatan dekomposisinya diatur

secara relatif oleh fraksi kecil dari obat yang muncul pada larutan jenuh yang

letaknya pada permukaan atau atau di dalamnya.1

11. Temperatur

Secara umum kecepatan reaksi kimia meningkat secara eksponensial setiap

kenaikan 10 derajat suhu. Faktor nyata yg mengakibatkan kenaikan kecepatan reaksi

kimia ini adalah karena aktifasi energi. Waktu simpan obat pd suhu ruang biasanya

akan berkurang ¼ atau 1/25 dari waktu simpan di dalam refrigrator. Temperatur

dingin juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan. Sebagai contoh refrigerator dapat

mengkibatkan kenaikan viskositas pada sediaan cair dan menyebabkan supersaturasi

pada kasus lain, dingin atau beku dapat merubah ukuran droplet pd emulsi, dapat

mendenaturasi protein atau pada kasus tertentu dapat menyebabkan kelarutan

beberapa polimerik obat dapat berkurang.

E. Stabilitas Mikrobiologi

Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan di mana tetap sediaan

bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme hingga batas

waktu tertentu.5 Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat tambahan serta berbagai

bentuk sediaan dan cara pemberian obat. Tiap zat, cara pemberian dan bentuk sediaan

memiliki karakteristik fisika-kimia tersendiri dan umumnya rentan terhadap

kontaminasi mikroorganisme dan/atau memang sudah mengandung mikroorganisme


yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena berpotensi menyebabkan penyakit,

efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan obat dan kosmetik.

Oleh karena itu farmakope telah mengatur ketentuan mengenai kandungan

mikroorganisme pada sediaan obat maupun kosmetik dalam rangka memberikan hasil

akhir berupa obat dan kosmetika yang efektif dan aman untuk digunakan atau

dikonsumsi manusia. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasi

untuk menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan

mikroorgansme yang terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu

yang diinginkan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Mikrobiologi

Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan dapat dipengaruhi oleh beberap factor,

antara lain:

1. Faktor Sifat Fisika-Kimia Zat aktif dan Zat tambahan

Sifat fisika kimia zat aktif maupun zat tambahan dapat mempengaruhi stabilitas

mikrobiologi sediaan. Zat yang bersifat higroskopik atau hidrofilik rentan terhadap

kontaminasi mikroorganisme. Hal ini berhubungan dengan adanya air yang

merupakan media pertumbuhan bagi mikroorganisme.

2. Faktor Kontaminasi dari Bahan Baku dan Proses

Bahan baku alami dalam bantuk air yang bebas serbuk atau granula dapat

menjadi tempat tumbuhnya mikroorganisme, virus atau pun toksin mikroba. Analisa

terhadap bahan-bahan ini dapat menunjukkan keberadaan bakteri, spora Clostridium,

Staphylococci, kapang dan khusunya toksin fungi/jamur.


Kemungkinan keberadaan mereka mungkin sudah ada semenjak tahap persiapan

produksi. Bahan alami yang diekstrak, diproduksi maupun disediakan dalam bantuk

cair juga rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme. Cara pengawetan yang tidak

tepat ketiga digunakan utuk menghasilkan produk dalam bentuk larutan, disperse atau

pun emulsi dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme Gram negative seperti

Enterobacter spp., E. coli, Citrobacter spp., Pseudomonas spp dan lainnya

F. Stabilitas Toksikologi

Stabilitas toksikologi adalah ukuran yang menujukkan ketahanan suatu

senyawa/bahan akan adanya pengaruh kimia, fisika, mikrobiologi dan farmakologi

yang tidak menyebabkan peningkatan toksisitas secara signifikan. Efek toksik dapat

dibedakan, menjadi :

1. Efek toksik akut, mempunyai korelasi langsung dengan absorpsi zat toksik

2. Efek toksik kronis, zat toksik dalam jumlah kecil diabsorpsi sepanjang jangka

waktu lama, terakumulasi, mencapai konsentrasi toksik akhirnya timbul

keracunan.

Toksisitas jangka panjang, efek toksik baru muncul setelah periode waktu

laten yang lama sebagai contoh kerja karsinogenik dan mutagenik. Penggolongan

toksikologi dengan cara lain berdasarkan jenis zat dan keadaan yang mengakibatkan

kerja toksik, yaitu : kerja / efek tidak diinginkan, keracunan akut pada dosis berlebih,

pengujian terhadap toksisitas dan toleransi pada fase praklinik.


Zat kimia disebut xenobiotik (xeno = asing), dimana setiap zat kimia baru

harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya secara luas.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan toksisitas adalah :

1. Dosis

Dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun. Untuk setiap zat

kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali atau

dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian.

2. Faktor bahan penyusun

a. stabilitas bahan aktif

b. bahan pembantu

a) Dapar

Merupakan suatu campuran asam lemah dengan garamnya atau basa lemah

dengan garamnya. tujuannya adalah untuk mempetahankan ph, meningkatkan

stabilitas obat, meningkatkan kelarutan obat, efek terapetik. Kriteria pemilihan dapar,

yaitu :

(a) dapar mempunyai kapasitas yang memadai dalam kisaran pH yang dinginkan

(untuk mempertahankan stabilitas obat maka daparnya kecil)

(b) dapar harus aman secara biologis

(c) dapar tidak mempunyai efek merusak stabilitas produk

(d) memperbaiki rasa dan warna yang dapat diterima


b) Pengawet

Kemungkinan kontaminasi selama pembuatan, penyimpanan dan penggunaan.

Sumber kontaminan; berasal dari manusia, bahan obat, bahan tambahan, lingkungan,

alat-alat dan bahan pengemas. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas pengawet:

(a) Koefisien distribusi liphoid-air yang dipilih pengawet yang larut

(b) Harga pH karena pengawet yang dapat menimbulkan aktivitas adalah pengawet

yang tidak terdisosiasi atau terdapat dalam bentuk molekul yang dapat menembus

membran

(c) Konsentrasi, ada yang menghambat pertumbuhan dan juga mematikan sel

(d) Suhu, dengan kenaikan suhu berarti terjadi kenaikan aktivitas pengawet

Syarat memilih bahan pengawet, yaitu perlu dipilih bahan yang dapat

tersatukan secara fisiologis, tidak toksik, alergi dan sensibilisasi, yang kesemuanya

tergantunng dosis, dapat tercampur dengan bahan aktif dan bahan tambahan termasuk

wadah dan tutup, tidak berbau dan tidak berasa, efektif sebagai bakteriostatik atau

bakterisid, fungiostatik atau fungisid serta cukup larut dalam pembawa hingga

mencapai konsentarsi yang memadai.11

c) Antioksidan

Terjadinya oksidasi karena dipengaruhi oleh :

1) Harga pH semakin tinggi harga pH semakin rendah potensial redoks sehingga

oksidasinya semakin lancar

2) Cahaya sebab cahaya mengandung energi oton yang dapat meningkatkan atau

mempercepat proses oksidasi, maka molekul-molekul obat semakin reaktif


3) O2 atau kandungan O2 akan meningkatkan proses oksidasi

4) Ion logam berat berfungsi sebagai katalisator proses oksidasi

Pertimbangan-pertimbangan dalam memilih antioksidan antara lain adalah

harus efektif pada konsentrasi yang menurun, tidak toksik, tidak merangsang, dan

tidak menimbulkan OTT, larut dalam pembawa dan dapat bercampur dengan bahan

lainnya.

3. Faktor luar.

a. cara pembuatan

b. bahan pengemas

Terbagi atas 2, yaitu bahan pengemas primer yaitu bahan pengemas yang

langsung bersentuhan atau kontak dengan sediaan (wadahnya), dan bahan pengemas

sekunder, yaitu bahan pengemas yang tidak bersentuhan langsung dengan sediaan.

Syarat dalam pemilihan bahan pengemas antara lain adalah :

(a) melindungi preparat dari keadaan lingkungan

(b) tidak boleh bereaksi dengan produk

(c) tidak boleh memberikan rasa atau bau paa produk

(d) tidak toksik

(e) disetujui oleh lembaga kesehatan dunia

(f) harus memenuhi tuntunan tahan banting yang sesuai

(g) mudah mengeluarkan isi

(h) menarik
4. kondisi penyimpanan yang meliputi suhu, tekanan, kelembapan dan cahaya.

Suhu penyimpanan sediaan harus dijelaskan karena menyangkut aspek

stabilitas dan masa kadaluwarsa sediaan. Suhu penyimpanan menurut farmakope

indonesia terdiri dari:

(a) Dingin adalah pada suhu tidak lebih dari 8°C.

(b) Sejuk adalah penyimpanan pada suhu antara 8°C dan 15°C.

(c) Suhu Kamar adalah penyimpanan pada suhu ruang kerja. Suhu kamar terkendali

adalah suhu yang diatur antara 15°C dan 30°C.

(d) Hangat adalah penyimpanan pada suhu antara 30°C dan 40°C.

(e) Panas berlebih adalah penyimpanan pada suhu di atas 40°C.

Perlindungan dari pembekuan selain resiko kerusakan kemasan (wadah), pembekuan

suatu sediaan (artikel) dapat menyebabkan kehilangan kekuatan / potensi, atau

merusak dan mengubah sifat sediaan. Pada etiket / label kemasan harus dicantumkan

petunjuk untuk melindungi sediaan / artikel dari pembekuan. Penyimpanan di bawah

kondisi tidak khusus jika tidak ada petunjuk khusus penyimpanan atau pemabatasan

dalam monografi, maka kondisi penyimpanan termasuk perlindungan terhadap

kelembapan, pembekuan dan panas berlebihan.

Uji stabilitas sediaan di bagi menjadi beberapa cara yaitu :

1. Menurut WHO

Who ( wortd health organization ) adalah salah satu badan PBB yang

bertindak sebagai koordinator kesehatan umum

Uji stabilitas menurut WHO


 Menurut Who Q1A tidak sesuai untuk di gunakan secara universal

karena tidak memperhatikan iklim ekstrim di banyak negara

 Dokumen hanya berlaku untuk obat baru dan bentuk sediaanya,tidak

memperhatikan obat dan sediaan yang sudah beredar di negara-negara

anggota WHO (established )

1. Cara pengujian dengan tanpa memperhatikan pengaruh cahaya

 Semua zat di ekspose 30 hari pada kondisi udara suhu 50 c dan100

%RH

 Jika pada periode pengujian ini tidah terdeteksi adanya degradasi

lanjutkan denga suhu di naikkan sampai 70 C selama 3-7 hari lagi. Uji

hasil degradasi menggunakan TLC, sedangkan zat tidak terurai dengan

analisa semikuantitafif

2. Rekomendasi dokumen WHO

 Untuk produk yang dipasarkan secara global diuji menurut kondisi

zona iklim IV

 Real time dengan kondisi sedekat mungkin dengan keadaan sistem

distribusi ( minimal 12 bulan )

 Uji dipercepat 40oC+-20c/17%RH+-5%/6 bulan atau 3 bulan pada

45o-50oCdan RH75 %

 Zona iklim 2 uji dipercepat 40oC+-20C/75%RH+-5%/3bulan atau

disarankan 6 bulan jika barang aktif kurang stabil atau untuk produk di
mana jumlah data tersedia terbatas. Alternatif tidak lebih dari 150 C

diatas suhu penyimpanan jangka panjang dan kondisi lembab yang

relevan.

 Uji stabilitas sediaan cair disarankan pada suhu yang lebih rendah

misalnya > 0 -10 sampai - 20 C siklus freeze-thaw dan kondisi

pendinginan 2-8 C. Ekspose terhadap cahaya juga memungkinkan.

 Pengujian dilakukan pada 3 batch kecuali jika barang aktif digunakan

sangat stabil.batch harus representative mewakili proses manufaktur

dan dibuat dengan skalapilot atau skala produksi penuh

 Bacth produksi harus pula diuji setiap bacth selang tahun untuk skala

yang stabil ; unuk produk yang frofil stabilitasnya sudah diketahui satu

batch setiap 3-5 tahun kecuali perubahan besar dari produk misalnya

formula atau proses / metode manufaktur.

 Bacth untuk uji stabilitas harus terinci, nomor bacth, tanggal

manufaktur, ukuran bacth, kemasan dan sebagainya

3. Pengambilan sampel untuk produk baru

 Metode penentuan harus indikatif terhadap stabilitas yang digunakan

untuk mengakuantifasi hasil urai dan zat terurai harus spesifik dan

sensitifitas cukup.

 Metode aplikasi harus sesuai untuk menjamin eksifien masih efektif

dan tidah berubah selama masa simpan yang diusulkan


 Suatu produk dinyatakan stabil jika tidak menunjukkan degradasi

bersama, tidak terjadi perubahan fisika, kimia, mikrobiologi, sifat

biologi dan produk tetap dalam batas spesifikasi, release atau simpan.

 Hasil uji stabilitas di tampilkan dalam bentuk tabel

 Report studi harus termasuk informasi design studi, hasil dan

kesimpulan, evaluasi stabilitas, rekomendasi untuk kondisi

penyimpanan dan usia guna terkait dengan formulasi tertentu dan

metode produksi.

 Beberapa ekstrapolasi data real time bila ditunjang data uji dipercepat

dapat pula berguna.

2. Uji stabilitas menurut ICH

ICH ( international conference on harmonization) adalah konferensi

internasional mengenai harmonisasi.

Menurut ICH berubahan bermakna pada uji dipercepat :

 Kehilangan 5% potensi dari kadar awal 1 batch

 Bila hasil urai < dari nilai batas spesifikasi

 Produk melewati batas pH-nya

 Disolusi melewati batas spesifikasi untuk 12 kapsul/tablet

 Gagal memenuhi spesifikasi penampilan dan sifat-sifat fisika seperti

warna, pengerasan,dsb
Q1B (PHOTOSTABILITY TESTING)

 Pengujian bahan berkhasiat

 Pengujian produk formulasi di luar kemasan langsung

 Pengujian sediaan jadi dalam kemasan langsung jika ada gejala

fotostabilitas

 Pengujian sediaan jadi dalam kemasan yang akan dipanaskan.

Pengujian pada uji stabilitas sediaan menurut ICH

 Bahan aktif : 2 fase yaitu degradasi stess dan uji konfermasi

 Sediaan farmasi : produk diexpose penuh, produk dalam kemasan

primer, produk dalam kemasan di pasarkan

3. Uji stabilitas sediaan menurut CPOB

Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) menyangkut seluruh aspek

produksi dan pengendalian mutu dan bertujuan untuk menjamin bahwa produk

obat dibuat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai

dengan tujuan penggunaannya Pada pembuatan obat, pengawasan menyeluruh adalah

sangat esensial untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bemutu

tinggi.

Pembuatan secara sembarangan tidak dapat dibenarkan bagi obat

yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa atau memulihkan atau

memelihara kesehatan.Cara. .Bagian dari sistem pemastian mutu yang mengatur dan
memastikan obat diproduksi dan mutunya dikendalikan secara konsisten sehingga

produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan

1.2 Tujuan

a. Mengetahui pengertian uji stabilitas sediaan obat

b. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat.

c. Mengetahui perbedaan uji stabilitas sediaan menurut ICH, CPO dan WHO
BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa

1. Uji stabilitas sedian menurut ICH, WHO dan CPOB secara singkat dapat

didefinisikan sebagau suatu ketentuan bagi industri farmasi yang dibuat untuk

memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai persyaratan yang

ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya

2. Uji stabilitas sangat penting untuk mengetahui keadaan suatu obat tersebut aman ,

dapat bertahan lama, sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama tanpa

menurunkan khasiat obat tersebut

3. WHO adalah suatu badan PBB yang bertindak sebagai coordinator kesehatan

umum, sedangkan ICH lebih pada harmonisasi dimana pengujiannya pada

bahan berkhasiat dan sediaan farmasi, CPOB sendiri meliputi semua aspek

produksi dan pengendalian mutu serta pengawasan secara menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai