RAHMAWATI JANUAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Uji Efektivitas Sediaan
Eliksir Ekstrak Etanol Daun Pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.]) sebagai
Antilitiasis adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Rahmawati Januar
NIM B351150111
RINGKASAN
RAHMAWATI JANUAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh R Putratama Agus Lelana SpMP,
MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
selesainya Tesis yang berjudul “Uji Efektivitas Sediaan Eliksir Ekstrak Etanol
Daun Pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.] sebagai Antilitiasis”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Dra Ietje Wientarsih Apt MSc
dan Dr Drh Sus Derthi Widhyari MSi selaku pembimbing, serta Dr Drh R Putratama
Agus Lelana SpMP MSi selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan
saran dalam penulisan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Januar Surin (Ayahanda), Yustimar (Ibunda), Muhammad Azhari Januar (Kakak),
Adibyathul Fikri Januar (Adik) yang selalu meberikan saya atas segala doa dan
kasih sayangnya, serta teman-teman sebelas, Pondok Aisyah dan rekan-rekan
pascasarjana IBH tahun 2015 yang banyak membantu saya selama menjalani
pendidikan di Program Studi Ilmu Biomedis Hewan.
Semoga isi dalam Tesis ini membawa manfaat dan dampak yang baik bagi
pembaca.
Rahmawati Januar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Kerangka Pemikiran 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
3 METODE PENELITIAN 10
Bahan dan Alat 10
Tempat dan Waktu Penelitian 10
Metode Penelitian 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Karakterisasi Daun Pelawan 16
Determinasi Tanaman Pelawan 16
Rendemen Ekstrak Etanol Daun Pelawan 17
Parameter Standarisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Pelawan 17
Skrining Fitokimia 18
Evaluasi Sediaan Eliksir Ekstrak Etanol Daun Pelawan 19
Uji Organoleptik 19
Bobot Jenis 21
Viskositas 22
Derajat keasaman (pH) 22
Uji Hedonik 23
Uji Kelarutan Kalsium Oksalat secara In Vitro dan In Vivo 24
Uji In Vitro 24
Uji In Vivo 25
5 SIMPULAN DAN SARAN 34
Simpulan 34
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35
LAMPIRAN 41
RIWAYAT HIDUP 48
DAFTAR TABEL
1 Formulasi sediaan eliksir ekstrak daun pelawan 13
2 Kelompok perlakuan uji in vivo 16
3 Tingkat keparahan kristalografi 16
4 Pemeriksaan standarisasi simplisia dan ekstrak etanol daun pelawan 17
5 Pengujian fitokimia ekstrak etanol daun pelawan 18
6 Uji organoleptis formula EEEDP 20
7 Nilai bobot jenis formula EEEDP 21
8 Nilai viskositas formula EEEDP 22
9 Rata-rata waktu larut artifisial kalsium oksalat 25
10 Rata rata kadar kalsium terlarut 25
11 Bobot badan sebelum dan sesudah perlakuan 26
12 Pemeriksaan pH urin 27
13 Pemeriksaan berat jenis (specific gravity) urin 27
14 Pemeriksaan leukosit, protein dan darah 28
15 Pemeriksaan urobilinogen, bilirubin, nitrit, keton dan glukosa 29
16 Pemeriksaan mikroskopis kristal urin 31
17 Tingkat keparahan kristal COD (calcium oxalate dihydrate) urin 33
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 3
2 Pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.]) 4
3 Anatomi ginjal dan nefron serta proses pembentukan urin 6
4 Fotomikrograf berbagai macam kristal urin 8
5 Sediaan eliksir ekstrak etanol daun pelawan 20
6 Pengaruh jumlah etanol dan air terhadap nilai berat jenis EEEDP 21
7 Pengaruh jumlah etanol terhadap derajat keasaman EEEDP 22
8 Diagram data uji hedonik terhadap tiga formula EEEDP 23
9 Uji kelarutan artifisial kalsium oksalat 24
10 Perubahan bobot badan (Δ bobot badan) dari hari ke 0, 14 dan 28 26
11 Gambaran sedimen kristal urin 31
12 Jumlah kristal kalsium oksalat dihidrat 33
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil determinasi tumbuhan 42
2 Hasil uji fitokimia 43
3 Komisi etik hewan 44
4 Lembar kuisioner uji hedonik 45
5 Dokumentasi penelitian 46
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ginjal merupakan organ penting bagi manusia dan hewan (Jha et al. 2016)
yang berperan dalam proses regulasi, sekresi, metabolisme dan ekskresi di dalam
tubuh (Bartges et al. 2011). Salah satu permasalahan kesehatan dalam urologi
adalah urolitiasis. Kasus urolitiasis berada pada urutan ketiga setelah infeksi
saluran kemih dan kelainan prostat (Hamid et al. 2007). Urolitiasis merupakan
kalkuli atau kristal yang terbentuk akibat proses supersaturasi urin di dalam
saluran urinari (ureter, vesica urinaria, uretra) karena adanya zat kristalogenik
yang terdiri dari satu atau lebih jenis mineral (Tion et al. 2015). Pembentukan
urolitiasis atau batu ginjal merupakan proses kompleks yang terjadi karena
ketidakseimbangan antara faktor promotor dan inhibitor di dalam ginjal. Faktor
yang mempengaruhi diantaranya output urin (konsentrasi konstituen tertentu), pH
urin, dan infeksi atau kerusakan dalam saluran kemih (Tiwari et al. 2012).
Urolitiasis atau batu ginjal adalah penyakit urologi yang diperkirakan
mempengaruhi sekitar 12% populasi di dunia dengan tingkat kekambuhan 70
hingga 81% pada pria dan 47 hingga 60% pada wanita (Soundararajan et al.
2006). Tingkat kekambuhan kumulatif alami kejadian urolitiasis yaitu sebesar
14% setelah 1 tahun, 35% setelah 5 tahun dan 52% setelah 10 tahun (Uribarri et
al. 1989; Basavaraj et al. 2007). Sekitar 80% mayoritas batu tersusun dari kalsium
oksalat (Soundararajan et al. 2006; Butterweck dan Khan 2009). Kejadian batu
pada hewan kucing sebesar 49% struvite dan 41% kalsium oksalat, sedangkan
pada anjing sebesar 41% struvite, 40% kalsium oksalat, 6% purin dan 1% sistin
(Osborne et al. 2009). Hampir setengah populasi kucing dan anjing pernah
ditemukan batu kalsium oksalat, meskipun kalsium oksalat bukan urolit yang
umum ditemukan. Namun kejadian urolitiasis pada kucing dan anjing merupakan
gangguan yang paling sering terjadi pada sistem perkemihan (Holt 1983;
Boudaroua 2000; Vedrenne et al. 2003). Zhong et al. (2012) menyampaikan
bahwa prevalensi urolitiasis di dunia lebih dari 10% meningkat setiap tahunnya.
Oleh karena itu perlu upaya yang efisien dilakukan untuk mengetahui penyebab,
obat dan penyembuhan penyakit yang tepat.
Penanganan dan pengobatan urolitiasis dapat dilakukan secara modern
menggunakan percutaneous nephrolithotomy (PCNL), extracorporeal shock wave
lithotripsy (ESWL), ureteroscopy lithotripsy dan beberapa metode fragmentasi
batu dengan endoskopi. Pengobatan secara modern mampu menangani
permasalahan urolitiasis, namun membutuhkan biaya yang mahal (Zhao et al.
2016). Beberapa informasi menunjukkan bahwa paparan gelombang kejut saat
terapi dapat menyebabkan cedera ginjal akut, penurunan fungsi ginjal dan
peningkatan kekambuhan batu. Sisa fragmen batu dapat menimbulkan masalah
selama pengobatan (Butterweck dan Khan 2009; Tiwari et al. 2012). Pencegahan
dan pengobatan alternatif yang telah lama dievaluasi dapat dilakukan melalui
pendekatan terapi agen herbal (Yuruk et al. 2016). Efek samping pengobatan
modern menyebabkan beralihnya masyarakat dari pengobatan modern ke
pengobatan tradisional dengan harapan senyawa aktif dari tanaman dapat bekerja
efektif tanpa efek samping.
2
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
A B C
Sediaan Eliksir
manis dibandingkan sirup, karena mengandung kadar gula lebih rendah sehingga
eliksir kurang efektif menutupi rasa senyawa obat. Sifat hidroalkohol dari eliksir
lebih mampu mempertahankan komponen-komponen larutan yang larut dalam air
dan alkohol daripada sirup. Selain itu stabilitasnya yang khusus dan kemudahan
dalam pembuatannya (dengan melarutkan biasa) eliksir lebih disukai daripada
sirup (Ansel 2011).
Setiap eliksir memerlukan campuran dari alkohol dan air untuk
mempertahankan semua komponen dalam larutan dengan perbandingan alkohol
yang berbeda. Hal ini disebabkan karena masing-masing komponen eliksir
memiliki sifat kelarutan yang berbeda pula dalam air dan alkohol. Pemberian rasa
manis pada eliksir banyak menggunakan sukrosa atau sirup sukrosa dan beberapa
menggunakan sorbitol, gliserin dan/atau pemanis buatan sakarin. Eliksir yang
memiliki kadar alkohol tinggi biasanya menggunakan pemanis buatan seperti
sakarin dalam jumlah kecil daripada sukrosa yang hanya sedikit larut dalam
alkohol. Selain itu pelarut lain seperti gliserin dan propilen glikol sering
digunakan dalam eliksir sebagai pelarut pembantu. Eliksir diberi bahan pemberi
rasa untuk meningkatkan kelezatan (Ansel 2011).
Eliksir dengan kadar alkohol lebih dari 10 hingga 12%, biasanya besifat
sebagai pengawet sendiri, sehingga tidak butuh bahan pengawet tambahan. Satu
keuntungan eliksir dari obat bentuk padat yaitu kemudahan penyesuaian dan
pemberian dosis. Eliksir harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, tahan cahaya
untuk menjaga terhadap temperatur yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena
eliksir mengandung alkohol dan biasanya juga mengandung minyak mudah
menguap yang dapat rusak oleh adanya udara dan sinar (Ansel 2011).
Gambar 3 Anatomi ginjal dan nefron serta proses pembentukan urin (Guyton
dan Hall 2006).
Komponen penting pada reabsorbsi zat terlarut dalam lengkung henle
meliputi pompa natrium, kalium ATPase pada membran basolateral sel epitel.
Pada tubulus distal memiliki ciri reabsorbsi yang sama dengan lengkung henle
yaitu mengabsorbsi ion-ion natrium, kalium dan klorida tetapi tidak permeabel
terhadap air dan ureum. Pada duktus koligentes reabsorbsi natrium dan kalium
tergantung dari aktivitas pompa natrium dan kalium ATPase. Pompa tersebut
mepertahankan konsentrasi ion-ion rendah dalam sel untuk membuat natrium
berdifusi melalui saluran khusus (Syaifuddin 2016).
Urolitiasis
Patofisiologi Urolitiasis
Mekanisme patofisiologi pembentukan batu ginjal kalsium sangat kompleks
dan beragam. Faktor resiko terbentuknya batu meliputi volume urin rendah,
hiperkalsiuria, hiperurikosuria, hipositraturia, hiperoksaluria dan kelainan pH urin
(Sakhaee et al. 2012). Gangguan metabolik tersebut dapat mengubah komposisi
atau saturasi urin sehingga dapat meningkatkan batu. Pada kondisi normal,
manusia mengeksresikan kristal di urin tanpa mengembangkan pembentukan batu
di ginjal meskipun terjadi supersaturasi sementara. Pembentukan batu akan
dimulai ketika supersaturasi urin terus dipertahankan di dalam ginjal sehingga
dapat membentuk nidus batu (Butterweck dan Khan 2009).
Pembentukan batu kalsium melibatkan berbagai fase yang meliputi nukleasi
(peningkatan akumulasi kalsium oksalat dan kalsium fosfat), pertumbuhan,
agregasi dan retensi kristal. Fase nukleasi terjadi pada saat tercapainya kondisi
supersaturasi yang diikuti terjadinya kristalisasi. Endapan kristal yang telah
terbentuk dapat membentuk endapan kristal baru dengan jenis kristal yang sama.
Kondisi ini disebut dengan nukleasi homogen. Pada kondisi nukleasi heterogen
yaitu terbentuknya kristal lain yang mendukung pembentukan kristal kalsium
oksalat seperti asam urat. Fase pertumbuhan kristal adalah fase berikutnya yang
menentukan ukuran, bentuk, sifat fisik material, kadar supersaturasi, pH dan
kerusakan yang dapat terbentuk dalam struktur kristal (Basavaraj et al. 2007).
Pada fase agregasi, kristal saling menempel dan membentuk partikel yang
lebih besar. Faktor promotor glikoprotein Tamm-Horsfall dan molekul lain dapat
bertindak sebagai pelekat antara partikel agregat. Fase agregasi kristal menjadi
faktor yang lebih penting dalam langkah pembentukan kristal, jika dibandingkan
dengan nukleasi dan pertumbuhan kristal. Hal ini dikarenakan agregasi dapat
terjadi dalam hitungan detik (Basavaraj et al. 2007).
Proses pembentukan batu kalsium dimulai dari proses pengendapan kalsium
fosfat di lengkung henle atau bagian distal dari tubulus distal. Pada kondisi
fisikokimia normal dapat terjadi perubahan fisiologis yang dapat mengekskresikan
CaP melaui urin. Pada proses nukleasi primer, kristal kalsium oksalat diinduksi
oleh kalsium fosfat. Pembubaran kalsium fosfat dalam urin asam dapat
menyebabkan supersaturasi tingkat tinggi dan nukleasi kalsium oksalat. Hal ini
memfasilitasi pembentukan kalsium oksalat dan fosfat yang menempel di dinding
sel tubular. Agregat kristal akan menempel pada sel epitel di tubulus ginjal
sehingga terjadi retensi dan akumulasi kristal. Komposisi cairan tubular
mempengaruhi pembentukan kristal dan komposisi pada permukaan sel epitel
tubular ginjal mempengaruhi retensi kristal (Basavaraj et al. 2007).
8
Hiperoksaluria
Mekanisme pembentukan batu kalsium diawali dengan proses supersaturasi
urin dari garam-garam pembentuk batu yang mengarah ke nukleasi homogen di
dalam lumen nefron. Proses tersebut kemudian diikuti oleh pertumbuhan kristal
dan obstruksi konsekuen di nefron distal. Oksalat dan kalsium berperan penting
dalam meningkatkan supersaturasi kalsium oksalat. Hiperoksaluria menjadi faktor
pembentuk batu kalsium oksalat. Hiperoksaluria dapat disebabkan karena over
produksi oksalat akibat kelainan bawaan pada metabolisme, peningkatan asupan
makanan dan bioavailabilitas, peningkatan penyerapan oksalat di usus.
Hiperoksaluria tipe I adalah kelainan bawaan dalam metabolisme karena adanya
defisiensi atau kesalahan penargetan alanin glioksilat transferase hati. Tipe II
hiperoksaluria primer adalah karena defisiensi glioksilat reduktase atau
hidroksipiruvat reduktase. Tipe III hiperoksaluria adalah hasil dari peningkatan
fungsi hati atau 4-hidroksi-2-oksoglutarat aldolase mitokondria ginjal yang jarang
terjadi karena tidak diketahui aktivitas enzim tersebut dalam menghasilkan
hiperoksaluria (Sakhaee et al. 2012).
Kristal merupakan hasil pengendapan zat terlarut yang keluar bersama urin.
Secara normal kristal tidak ditemukan di dalam urin segar, namun dapat
menunjukkan gejala klinis jika ditemukan dalam urin segar. Keberadaan kristal di
dalam nefron dapat menyebabkan kerusakan tubular yang signifikan karena
beberapa kristal dapat menunjukkan kondisi patologis. Selain penampilan
mikroskopis, pH urin memberikan informasi dalam mengidentifikasi jenis kristal.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal meliputi konsentrasi zat
terlarut dalam urin, pH urin, aliran urin melalui tubulus. Pada proses ultrafiltrasi
glomerulus, cairan mengalami peningkatan konsentrasi cairan di tubulus.
Peningkatan jumlah zat terlarut dengan asupan cairan yang kurang dapat
menyebabkan ultrafiltrat jenuh. Hal tersebut menyebabkan terjadi pengendapan
zat terlarut menjadi kristal. Suasana pH menjadi faktor dalam pengendapan kristal
sesuai kelarutan zat pada pH asam, netral atau basa. Komponen dalam urin yang
melebihi kelarutannya dapat mengendap membentuk kristal (Brunzel 2013).
Kalsium Oksalat
Kristal kalsium oksalat berbentuk oktahedral atau piramida, tidak berwarna
dan memiliki ukuran yang bervariasi. Kristal ini dalam bentuk monohidrat (bulat
telur) dan dihidrat (amplop) (Gambar 4A dan 4B). Kristal kalsium oksalat
merupakan kristal yang paling sering ditemukan pada urin dalam pH apapun.
Kalsium dan oksalat biasanya ditemukan dalam urin individu sehat. Ion oksalat
dan ion kalsium bersatu membentuk kalsium oksalat dan dapat membentuk kristal
pada kondisi optimal (Brunzel 2013).
Tripel Fosfat
Kristal tripel fosfat atau magnesium amonium fosfat merupakan kristal yang
berbentuk prisma segitiga hingga segienam (Gambar 4C). Kristal ini tidak
berwarna dengan ukuran yang bervariasi. Kristal tripel fosfat sering ditemukan
pada pH urin alkali dan netral. Kristal ini adalah zat terlarut normal dalam urin
dan ditemukan pada individu sehat. Kristal ini juga dapat menunjukkan kondisi
klinis yang signifikan jika dikaitkan dengan infeksi saluran kemih pada pH alkali
dan terlibat dalam pembentukan batu ginjal (Brunzel 2013).
Asam Urat
Kristal asam urat memiliki variasi bentuk, namun bentuk belah ketupat
merupakan bentuk yang paling umum ditemukan (Gambar 4D). Kristal ini
berwarna kuning hingga coklat keemasan dengan intensitas warna yang
bervariasi. Kristal ini ditemukan pada pH urin asam (sekitar 5.7), sedangkan pada
pH >5.7 asam urat ditemukan dalam bentuk terionisasi sebagai urat dan garam
urat (amorf urat, natrium urat). Kristal asam urat lebih mudah larut daripada
kristal garam urat. Asam urat adalah zat terlarut pada urin normal yang berasal
dari katabolisme nukleosida purin, sehingga asam urat dapat ditemukan pada
individu sehat (Brunzel 2013).
Kalsium Karbonat
Kristal kalsium karbonat berbentuk granular kecil dan tidak berwarna
(Gambar 4E). Ukuran kristal ini sedikit lebih besar dari amorf. Kristal ini
ditemukan pada pH urin alkali dan jarang ditemukan dalam sedimen urin. Kristal
kalsium karbonat juga dapat ditemukan sebagai massa agregat yang sulit
dibedakan dengan amorf (Brunzel 2013).
Sistin
Kristal sistin ditemukan dalam bentuk pelat heksagonal dan tidak berwarna
(Gambar 4F). Kristal ini bening dan refraktil dan cenderung menggumpal. Kristal
sistin ditemukan pada pH urin asam yang secara klinis menunjukkan penyakit
10
yaitu cystinosis atau cystinuria. Kristal ini cenderung berada dalam tubulus
sebagai batu yang mengakibatkan kerusakan ginjal. Kristal ini dapat ditemukan
pada pH urin <8,3 yaitu larut dalam pH asam hidroklorik dan alkali. Ekskresi
sistin yang berlebihan dan pembentukan kristal sistin abnormal dapat
menunjukkan proses penyakit (Brunzel 2013).
Tirosin
Kristal tirosin berbentuk seperti jarum halus dan tidak berwarna atau kuning
(Gambar 4G). Kristal ini sering muncul sebagai agregat yang membentuk
kelompok, namun juga bisa muncul secara tunggal. Tirosin terbentuk pada pH
urin asam tetapi dapat larut dalam larutan alkali (Brunzel 2013).
Sulfonamid
Sulfonamid ditemukan dalam bentuk yang bervariasi tergantung dari jenis
obat yang diberikan (Gambar 4H). Sulfonamid sangat sulit larut sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal dan terdapat pembentukan kristal di tubulus ginjal.
Saat ini obat-obatan telah dimodifikasi sehingga kristal sulfonamid jarang
ditemukan dalam sedimen urin. Kristal ini biasanya berwarna kuning hingga
coklat dengan bentuk seperti kumpulan jarum. Kristal ini ditemukan pada pH urin
asam dan memiliki kemiripan bentuk dengan kristal amonium biurat tetapi dapat
dibedakan dari pH (Brunzel 2013).
3 METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan pada penelitian meliputi daun pelawan (T. obovata
[Benn.]), maserasi (etanol 70%), pembuatan eliksir (propilen glikol, etanol 70%,
sorbitol cair, gliserin, nipagin, oleum menthae piperatea), akuades, uji fitokimia
(HCL 2% dan pekat, pereaksi dragendroff, pereaksi mayer, serbuk magnesium
(Mg), FeCl3, asam asetat anhidrat, H2SO4 pekat), bahan artifisial kristal kalsium
oksalat (kalsium hidroksida dan asam oksalat Bratachem), hewan coba tikus putih
jantan Spraque dawley umur 2 hingga 3 bulan dengan bobot badan 250 hingga
300 gr, inducer (ethylene glycol Merck, ammonium chlorida Merck), anthelmetik
(ivermectin ), antibiotik (oxytetracyclin long acting Limoxin-200 LA), obat
komersil batugin elixir® Kimia Farma, anestetikum (ketamine HCl 10% Ket-A-
100® Agrovet, xylazine 2% Dormi-Xyl® 2 Agrovet).
Peralatan yang digunakan pada penelitian meliputi moisture balance, kurs
porselin, rotary evaporator, timbangan, gelas ukur, pipet tetes, botol gelap, kertas
saring, tabung reaksi, oven, piknometer Pyrex 10 ml, viskometer TV-10 Toki
Sangyo Co.LTD, pH meter (pH Hanna instruments HI 2211), kandang metabolik,
syringe 1 dan 3 cc, tabung eppendorf, strip tes Urinalysis Verify® (REF U031-
102), mikroskop Olympus.
11
Metode Penelitian
- Kadar air
Penetapan kadar air serbuk simplisia daun pelawan menggunakan alat
Moisture Balance pada suhu 105°C. Serbuk simplisia sebanyak ±1 gr diletakkan
pada alat Moisture balance dan dinyalakan. Alat ditunggu 10 menit hingga
terdengar tanda yang menunjukkan angka sebagai kadar air serbuk.
Uji Fitokimia
Pengujian skrining fitokimia dilakukan secara kualitatif untuk mengetahui
jenis golongan senyawa bioaktif yang terkandung di dalam tanaman T. obovata
[Benn.]. Adapun golongan senyawa yang diuji antara lain sebagai berikut :
- Uji alkaloid
Sebanyak 10 ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.])
ditambahkan 1.5 ml HCl 2% yang dibagi menjadi tiga larutan sama banyak dalam
tabung reaksi sebagai berikut (Harborne 1996) :
Tabung reaksi I sebagai pembanding,
Tabung reaksi II ditetesi 2 hingga 3 tetes pereaksi Dragendroff: hasil
menunjukkan kekeruhan atau endapan berwarna jingga,
Tabung reaksi III ditetesi 2 hingga 3 tetes pereaksi Mayer: hasil
menunjukkan kekeruhan atau endapan berwarna putih.
- Uji flavonoid
Satu ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.]) dilarutkan dalam
1 ml etanol 95%, ditambahkan 0.1 gr serbuk magnesium (Mg) dan 10 tetes HCl
pekat. Hasil positif menunjukkan terbentuknya warna jingga sampai merah ungu
(Depkes 1995).
13
- Uji fenol
Satu ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.]) ditambahkan 3
tetes larutan FeCl3 1%. Hasil positif menunjukkan terbentuknya warna hijau, ungu
biru hingga hitam (Depkes 1987).
- Uji saponin
Satu ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.]) diencerkan
dengan air 1 ml dalam tabung reaksi dan dilakukan pengocokan selama 15 menit.
Hasil positif menunjukkan adanya buih yang stabil selama 5 menit setelah
pengocokan (Depkes 1987).
- Uji tanin
Satu ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.]) diencerkan
dengan 2 ml air dan ditambahkan 3 tetes larutan FeCl3. Hasil positif menunjukkan
terjadi perubahan warna larutan menjadi biru kehitaman atau hijau kehitaman
(Depkes 1987).
- Uji steroid/terpenoid
Lima puluh mg eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.])
ditambahkan 5 tetes asam asetat anhidrat dilakukan pengocokan lalu ditambahkan
2 tetes H2SO4 pekat dan dilakukan pengocokan. Hasil positif menunjukkan terjadi
perubahan warna menjadi hijau biru menandakan adanya steroid, sedangkan
warna merah menandakan adanya terpenoid. Uji ini menggunakan metode
Lieberman-Burchard (Harborne 1996).
Eliksir ekstrak etanol daun pelawan (EEEDP) dibuat dalam tiga formula
yaitu A, B dan C dengan komposisi etanol 70% yang berbeda-beda. Komposisi
etanol 70% pada formula A sebanyak 5% (12 ml), formula B sebanyak 7.5% (18
ml) dan formula C sebanyak 10% (24 ml). Formulasi dalam pembuatan eliksir
menggunakan formulasi menurut Wientarsih et al. (2008) (Tabel 1).
Bobot jenis
Bobot jenis sediaan EEEDP ditentukan menggunakan piknometer 10 ml.
Bobot piknometer kosong dan bobot piknometer isi EEEDP ditimbang hingga
konstan. Berat piknometer isi EEEDP dikurangi berat piknometer kosong
merupakan massa zat cair atau masaa EEEDP. Berat jenis didapat dengan
membagi massa zat cair dengan volume piknometer (Depkes 2000). Pengukuran
di awal (minggu ke 0) dan akhir (minggu ke 8).
Viskositas
Viskositas sediaan EEEDP ditentukan menggunakan alat viskometer TV-10
Toki Sangyo Co.LTD dengan nomor spindel M2, nomor cord 21 dan kecepatan
100 rpm pada suhu kamar. Penentuan viskositas dilakukan sebanyak 2 kali
sebagai presisi untuk reprodusibilitas pengukuran yaitu pada awal (minggu ke-0)
dan akhir (minggu ke-8) penyimpanan sediaan pada rentang waktu selama 2 bulan
yang disimpan pada suhu kamar. Viskositas dalam satuan centipoise (cp) (1
centipoise = 0.01 poise).
Uji hedonik
Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen
terhadap sediaan eliksir yang telah dibuat dengan mengisi kuisoiner (lampiran 4).
Uji meliputi warna, aroma dan rasa oleh 10 orang panelis berusia 17 hingga 30
tahun, berjenis kelamin pria maupun wanita. Skala hedonik ditentukan dari nilai 6
15
(sangat suka), 5 (suka), 4 (agak suka), 3 (netral), 2 (tidak suka) dan 1 (sangat tidak
suka).
Uji in vitro
Pengujian secara in vitro dilakukan dengan dua uji meliputi uji kelarutan
dengan perendaman padatan artifisial kalsium oksalat dan uji kelarutan kalsium
menggunakan AAS (atomic absorption spectroscopy).
Uji in vivo
Pengujian secara in vivo dilakukan menggunakan hewan coba tikus putih
galur Spraque dawley sehat yang berumur 2 hingga 3 bulan dengan berat 250
hingga 300 gr. Tiga puluh ekor tikus putih jantan Spraque dawley diaklimatisasi
selama 14 hari. Tikus diberi anthelmitik dan antibiotik. Anthelmitik ivermectin
(0.2 mg/kg) antibiotik oxytetracycline LA (6-10 mg/kg) diberikan secara intra
muskular (IM). Tikus diinduksi dengan larutan inducer yaitu campuran etilen
glikol 0.75% dan amonium klorida 2% sebagai pengganti air minum secara ad
libitum (Christina dan Muthumani 2013; Jagannath et al. 2015). Hewan coba yang
digunakan sebanyak 30 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok masing-masing 6
ekor tiap kelompok (Tabel 2).
16
Pemeriksaan urin
Urin tikus dikoleksi menggunakan kandang metabolik pada hari 14 dan 28.
Urinalisis menggunakan strip test mendeteksi leukosit, eritrosit, nitrit, protein,
berat jenis, pH, glukosa, bilirubin, keton, urobilinogen (Bartges et al. 2011, Turk
et al. 2015). Pengamatan kristal dalam urin menggunakan metode natif untuk
sedimentasi urin yang diamati secara mikroskopis.
Urin tikus yang telah dikoleksi, disentrifus selama 10 menit dan endapan
dengan supernatan dipisah. Jenis dan jumlah kristal diidentifikasi dan dihitung
menggunakan mikroskop cahaya Olympus. Tingkat keparahan kristalografi dinilai
berdasarkan metode yang dilakukan oleh Fan et al. (1999) dan Yousofy et al.
(2017) (Tabel 3).
Analisis data
Data dianalisis dengan SPSS ver 21 meliputi kadar kalsium terlarut dan
bobot badan tikus. Analisis data urinalisis menggunakan metode deskriptif
kualitatif dengan hasil yang bersifat semikuantitatif.
yang digunakan pada penelitian ini langsung diekstraksi setelah selesai proses
pengeringan, sehingga memperpendek waktu penyimpanan dan meminimalkan
terjadinya kerusakan karena mikroba. Nilai kadar abu total dan abu tidak larut
asam simplisia daun pelawan yang didapat yaitu 3.35% dan 0.54%. Hasil uji
kadar abu dan abu tidak larut asam berada di bawah batas kadar yang
dipersyaratkan MMI yaitu ≤10.00% dan ≤2.60%. Pemeriksaan ini harus
menghasilkan nilai rendah karena uji ini menunjukkan indikator adanya cemaran
anorganik (logam) yang tidak mudah hilang pada suhu tinggi (Manoi 2006). Nilai
kadar abu dan kadar abu tak larut asam di bawah standar menunjukkan proses
pengeringan dan pencucian yang dilakukan sudah cukup baik.
Parameter kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol merupakan
indikator banyaknya zat khasiat yang dapat tersari oleh pelarut air dan etanol.
Kadar sari larut air ekstrak yang didapat yaitu 45.48% dan kadar sari larut etanol
yaitu 32.11%. Kedua kadar sari tersebut sudah memenuhi standar MMI yaitu
kadar sari larut air ≥18.00% dan kadar sari larut etanol ≥6.30%. Persentase kadar
sari larut air dan kadar sari larut etanol menunjukkan persentase kandungan bahan
aktif dalam ekstrak. Kadar sari larut air lebih tinggi daripada kadar sari larut
etanol yang menunjukkan bahwa ekstrak lebih banyak larut di dalam air
dibandingkan etanol. Kadar sari air dan etanol merupakan faktor utama yang
menentukan mutu simplisia memiliki kandungan zat aktif. Semua parameter
standarisasi yang dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak bertujuan agar
diperoleh produk obat tradisional yang bermutu, aman dan bermanfaat (Isnawati
et al. 2004).
Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi golongan senyawa
kimia (secara kualitatif) menggunakan reaksi kimia berdasarkan visualisasi warna
dan pengendapan. Uji fitokimia meliputi uji flavonoid, alkaloid, tanin, saponin,
quinon, steroid dan triterpenoid (Tabel 5).
Uji Organoleptik
Uji organoleptik adalah uji menggunakan indera atau sensorik yang
mengamati tekstur, warna, bentuk aroma dan rasa suatu produk. Pengujian ini
berperan penting dalam pengembangan produk karena menilai adanya perubahan
atau tidak dalam produk atau bahan-bahan formulasi (Ayustaningwarno 2014).
20
A B C
sorbitol yang berfungsi sebagai zat pemanis untuk menutupi rasa pahit dari bahan
ekstrak. Menurut Harbone (1987) senyawa metabolit sekunder yang menyebabkan
adanya rasa pahit dan sepat adalah senyawa flavonoid, alkaloid, triterpenoid, dan
tanin. Beberapa perubahan organoleptis sediaan EEEDP disebabkan karena salah
satu bahan formulasi mengandung etanol yang mudah menguap oleh adanya udara
dan sinar. Oleh karena itu dianjurkan untuk menyimpan dalam wadah tertutup
rapat dan tahan cahaya (Ansel 2011).
Bobot jenis
Penentuan bobot jenis dilakukan untuk menggambarkan besarnya massa per
satuan volume, sehingga dapat diketahui kemurnian suatu zat (Depkes 2000).
Bobot jenis dari ketiga formula EEEDP mengalami peningkatan setelah
penyimpanan selama 8 minggu (Tabel 7).
1,24
Bobot jenis (gr/ml)
1,235
1,23
1,225 Minggu ke-0
1,22 Minggu ke-8
1,215
Formula A Formula B Formula C
Formula EEEDP
Gambar 6 Pengaruh jumlah etanol dan air terhadap nilat berat jenis EEEDP
Pengamatan nilai bobot jenis formula EEEDP mengalami peningkatan nilai
bobot jenis. Formula yang mengandung jumlah etanol lebih banyak memiliki nilai
bobot jenis yang lebih rendah karena mengandung air yang lebih sedikit (Gambar
6). Formula A mengandung etanol lebih sedikit memiliki bobot jenis yang paling
tinggi, sedangkan formula C mengandung etanol lebih banyak memiliki bobot
jenis yang paling rendah. Nilai bobot jenis sirup pada penelitian Aryani dan
Winata (2011) menunjukkan bahwa formula yang mengandung air lebih banyak
memiliki nilai bobot jenis yang lebih besar. Nilai bobot jenis dapat dipengaruhi
oleh bobot jenis komponen, suhu dan tekanan
22
Viskositas
Penentuan viskositas atau kekentalan dilakukan untuk mengetahui
kemudahan suatu molekul bergerak karena adanya gesekan antara lapisan material
(Ningrum dan Toifur 2014). Viskositas dari ketiga formula EEEDP mengalami
peningkatan setelah penyimpanan selama 8 minggu (Tabel 8).
5
4,8
4,6 Formula A
pH
4,4 Formula B
4,2 Formula C
4
1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengamatan minggu ke-
Gambar 7 Pengaruh jumlah etanol terhadap derajat keasaman (pH) EEEDP
Pengamatan pH formula EEEDP selama 8 minggu menunjukkan perubahan
yang relatif stabil, meskipun dua angka belakang koma cenderung mengalami
23
Uji Hedonik
Penilaian konsumen pada uji hedonik menjadi faktor yang mempengaruhi
kesukaan konsumen terhadap suatu produk farmasi. Tingkat kesukaan konsumen
dapat diketahui dengan pengujian untuk warna, aroma dan rasa dari produk,
sehingga menentukan penerimaan produk. Persentase penilaian panelis terhadap
ketiga formula untuk parameter warna, aroma dan rasa (Gambar 8a, 8b, 8c).
100 70 80
Persentase
40 40
50 20 20
(%)
0 0 10 0 0 0 0 10 10 0 0 0
0
Formula A Formula B Formula C
(a) Parameter Warna
100 70 70
Persentase
40 30
50 20 20 20 20
(%)
0 0 0 0 0 10 0 0 0 0
0
Formula A Formula B Formula C
(b) Parameter Aroma
100 60
Persentase
50 50 40
50 20 30 20
(%)
0 0 0 0 0 10 10 0 0 0 10
0
Formula A Formula B Formula C
(c) Parameter Rasa
Uji in vitro
Uji kelarutan kalsium (Ca) artifisial kalsium oksalat dilakukan terhadap tiga
formula EEEDP (formula A, B dan C) dan akuades sebagai pembanding. Uji
kelarutan fisik kalsium oksalat menunjukkan bahwa perendaman kompakan
artifisial kalsium oksalat hancur secara fisik (Gambar 9).
Gambar 9 Uji kelarutan artifisial kalsium oksalat dengan akuades dan formula
EEEDP. Ketengan: Aq. Akuades, FA. Formula A (5% etanol 70%),
FB. Formula B (7.5% etanol 70%), FC. Formula C (10% etanol
70%).
Lama perendaman menunjukkan durasi waktu yang dibutuhkan eliksir
untuk menghancurkan kompakan kalsium oksalat (Tabel 9). Formula B
melarutkan kalsium oksalat lebih cepat dibandingkan formula A, C dan akuades.
Formula B mampu melarutkan artifisial kalsium oksalat selama 1 jam 13 menit
45.4 detik.
25
Uji in vivo
Hasil pengamatan terhadap bobot badan dan pemeriksaan urinalisis dapat
memberikan gambaran fisiologis dan patologis dari hewan coba tikus putih jantan
Spraque dawley. Bobot badan diamati dari H-0, H-14 dan H-28. Pemeriksaan
urinalisis dilakukan pada H-14 dan H-28.
26
60 47,7
Bobot badan (gr)
36,2 34,8
40 25,5 25,2
19,2
20 7,5 5,1 H-0 ke H-14
0
H-0 ke H-28
KO KN P0 P1 P2
-20 -11,2
-40 -23
Kelompok
penginduksian terjadi peningkatan bobot ginjal pada hari ke-8 (10-20 mg) dan
hari ke-15 (30-50 mg)
Urinalisis
Urinalisis memberikan informasi tentang sistem kemih dan sistem tubuh
lainnya. Pemeriksaan urin menggunakan strip tes dapat dilakukan untuk berbagai
penyakit yang berkaitan dengan metabolisme karbohidrat, kesehatan saluran
urinari, fungsi ginjal dan hati, keseimbangan asam basa, dan banyak kondisi
kesehatan lainnya. Informasi yang relevan secara klinis dapat diperoleh dengan
menganalisis hasil gabungan parameter strip tes urinalisis (Siemens 2011).
Keadaan saluran urin diamati melalui pemeriksaan urin pada parameter pH
(derajat keasaman) dan SG (specific gravity) (Tabel 12 dan 13). Pengamatan nilai
pH urin dapat menggambarkan formasi terjadinya kristaluria dan mengindikasikan
keadaan seperti urolitiasis, infeksi saluran kemih atas maupun bawah (Stockhom
and Scott 2002).
Gambaran protein urin terdeteksi pada kelompok yang diberi inducer (etilen
glikol dan amonium klorida) (Tabel 14). Protein yang ditemukan di urin disebut
sebagai proteinuria. Proteinuria pada kelompok perlakuan dikaitkan dengan
hemoragi akibat adanya inflamasi yang disebabkan karena etilen glikol (EG) dan
amonium klorida (AC). Jumlah protein dalam urin yang paling tinggi ditemukan
pada kelompok KN yang tanpa diberi EEEDP. Kelompok P1 dan P2 yang diberi
EEEDP menunjukkan kondisi tidak adanya perubahan protein yang terdeteksi.
Temuan protein dalam urin dikaitkan dengan ditemukannya darah pada kelompok
yang juga diberi inducer (Tabel 14). Darah yang ditemukan di urin disebut
sebagai hematuria. Darah yang ditemukan dalam urin berasal dari saluran
urogenital yang dilalui urin pada proses urinasi. Kristal yang terbentuk
menyebabkan obstruksi vesica urinaria, luka pada uretra dan ureter sehingga
mengakibatkan terjadinya hematuria. Berdasarkan pemeriksaan strip tes
keberadaan kristal yang diinduksi oleh inducer menyebabkan terjadinya
proteinuria dan hematuria. Hal ini sejalan dengan Wu et al. (2017) yang
menyatakan bahwa pemberian etilen glikol sebagai penginduksi kristal kalsium
oksalat menyebabkan proteinuria dan hematuria.
29
Pada kondisi normal, protein dan darah pada tikus jantan Spraque dawley
seharusnya tidak ditemukan (negatif) (Taconic Biosciences 2014). Normalnya
protein di glomerulus mengalami filtrasi yang terbatas dan tidak dapat melewati
filter ginjal, sehingga urin primer hasil filtrasi glomerulus hampir bebas protein
(Mutschler 1999). Glomerulus biasanya tidak menyaring protein plasma besar
seperti albumin dan globulin, tetapi secara bebas menyaring protein yang lebih
kecil. Protein yang tersaring akan diserap kembali di tubulus proksimal ginjal,
kecuali ada peningkatan jumlah protein yang signifikan atau penurunan reabsorbsi
tubulus ginjal (Rizzi 2014).
Gambaran leukosit urin pada kelompok P2 mengalami penurunan pada
hari ke14 hingga ke-28 (Tabel 14). Leukosit yang dieksresikan dalam urin yaitu
leukosit granulosit (basofil, eosinofil dan neutrofil) yang terdeteksi pada reaksi
strip tes. Keberadaan leukosit di urin dapat mengindikasikan adanya inflamasi
pada saluran kemih eferen dan ginjal (Roche 2011).
Parameter urinalisis urobilinogen, bilirubin, nitrit dan glukosa tidak
ditemukan pada pengamatan hari ke-14 dan 28, namun terdeteksi adanya keton
(Tabel 15). Keberadaan urobilinogen dan bilirubin di urin dapat mendeteksi
kelainan pada hati, penyakit hemolitik dan sistem empedu (Rizzi 2014).
Berdasarkan pemeriksaan urin, urobilinogen dan bilirubin tidak ditemukan. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada gangguan pada hati dan sistem empedu tikus.
penting yang berfungsi sebagai sumber energi. Glukosa tidak ditemukan dalam
urin normal karena glukosa direabsorbsi seluruhnya melalui transpor aktif di
sepanjang tubulus proksimal (Guyton 1997). Keberadaan glukosa di dalam urin
disebut glikosuria, namun tidak selalu menunjukkan kondisi abnormal (Barratt
2007).
Pemeriksaan keton menunjukkan negatif pada beberapa kelompok. Namun
terdapat beberapa individu yang memiliki keton di dalam urin dengan jumlah
yang sangat sedikit. Keberadaan keton disebabkan karena urin dikoleksi dalam
keadaan tikus puasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi urin mengandung
keton yaitu kekurangan kalori atau dalam kondisi kelaparan (Barratt 2007). Keton
merupakan produk akhir dari metabolisme lemak yang diproduksi ketika tubuh
dalam kondisi kelaparan atau kehabisan karbohidrat (butuh cadangan energi).
Lemak yang berada di dalam tubuh diubah menjadi asam lemak hingga senyawa
kimia terkecil yaitu keton. Secara normal, keton tidak ditemukan di dalam urin.
Pengujian keton berkaitan dengan kekurangan kalori (anoreksia, muntah
berkepanjangan, diare, demam, kelaparan dan diet), dimana ditemukannya keton
di dalam urin dapat berkaitan dengan diabetes melitus (Barratt 2007; Simerville et
al. 2015).
Pemberian EG 0.75% selama 28 hari dalam air minum dapat meningkatkan
konsentrasi oksalat urin yang secara signifikan menyebabkan pembentukan batu
ginjal terutama kalsium oksalat (Ghelani et al. 2016). Pemberian EG secara oral
berfungsi sebagai prekursor metabolik oksalat. Pemberian EG bersamaan dengan
AC dapat menginduksi suasana asam urin yang meningkatkan terjadinya proses
asidosis sehingga menginduksi peroksidasi lipid (Touhami et al. 2007), presipitasi
garam, hiperoksaluria, mendukung terjadi adhesi dan retensi kristal kalsium
oksalat di tubulus ginjal (Sailaja et al. 2011; Manimala et al. 2014).
Hiperoksaluria menjadi faktor resiko yang lebih signifikan dalam patogenesis batu
ginjal dibandingkan dengan hiperkalsiuria. Hal ini disebabkan oleh kadar oksalat
urin memberikan efek lebih besar (15 kali lipat) dari pada kalsium (Ghelani et al.
2016).
Senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak daun pelawan memberikan
efek farmakologis pada EEEDP sebagai antioksidan dan anti inflamasi. Bentuk
sediaan eliksir yang digunakan meningkatkan kestabilan obat karena sifat
hidroalkoholnya sehingga dapat mengoptimalkan manfaat dari kandungan ekstrak
daun pelawan (Ansel 2011). Diketahui hampir setiap kelompok flavonoid
memiliki aktivitas sebagai antioksidan kuat. Mekanisme kerja flavonoid terletak
pada gugus hidroksilnya yang mampu menstabilkan reactive oxygen species
(ROS) (Panche et al. 2016). Studi yang dilakukan oleh Dmello et al. (2011),
mengeksplorasi bahwa flavonol dan flavon (kelompok kelas flavonoid) memiliki
ikatan 2,3 rangkap yang bertindak sebagai inhibitor pada siklooksigenase-2
(COX-2). COX-2 merupakan salah satu isoform enzim COX yang menstimulasi
prostaglandin untuk menginduksi inflamasi dan nyeri (Panche et al. 2016).
Kemampuan flavonoid dan polifenol yang terkandung sebagai antioksidan
dapat mencegah terjadinya deposisi kristal kalsium oksalat di ginjal dengan
mencegah kerusakan oksidatif di membran tubulus ginjal akibat hiperoksaluria.
Oleh karena itu dapat mencegah perlekatan kristal kalsium oksalat dan
perkembangan batu ginjal selanjutnya (Butterweck dan Khan 2009). Selain
flavonoid, saponin yang terkandung di dalam EEEDP juga memiliki peran dalam
31
melindungi ginjal dari stres oksidatif. Hal ini didukung oleh penelitian Xie et al.
(2009) yang melaporkan bahwa tanaman yang tinggi kandungan saponin memiliki
efek perlindungan terhadap stres oksidatif ginjal dan fibrosis interstitial ginjal
pada tikus yang disebabkan oleh obstruksi ureter. Saponin berperan dalam
mencegah litiasis yang diakibatkan oleh etilen glikol (Patel et al. 2012).
B
A.2
A.1
C.2
C.1
Gambar 11 Gambaran sedimen kristal urin (400x). (A.1) Kristal kalsium oksalat
monohidrat; (A.2) Kristal kalsium oksalat dihidrat; (B) Kristal amorf
fosfat; (C.1) Kristal kalsium fosfat; (C.2) Kristal dikalsium fosfat.
32
ditandai dengan adanya retensi mikrokristal. Sel epitel ginjal yang rusak akibat
pemberian inducer menjadi media perlekatan bagi mikrokristal untuk berkembang
menjadi batu (Yamaguchi et al. 2005). Melalui pengamatan kristal dapat diketahui
tingkat keparahan kristal kalsium oksalat yang terbentuk dalam urin (Tabel 17).
20
Jumlah kristal
14,67
15
10 14
4 3,33 4,33
5
0 0,33 0,67 1,332,67 1,67 28
0
KO KN P1 P1 P2
Kelompok perlakuan
Gambar 12 Jumlah kristal kalsium oksalat dihidrat (COD atau calcium oxalate
dihydrate). Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0
(inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 gr BB), P1 (inducer + EEEDP
100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).
Berdasarkan perhitungan jumlah kristal yang ditemukan, kelompok KN
mengeksresikan kristal kalsium oksalat dalam jumlah yang paling banyak
dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok KO hampir tidak ada
ditemukan kristal kalsium oksalat. Lama waktu perlakuan menunjukkan jumlah
kristal kalsium oksalat yang semakin meningkat. Hal ini didukung oleh penelitian
Atmani et al. (2003) dan Christina dan Muthumani (2013) bahwa EG dan AC
meningkatkan ekskresi kalsium dan oksalat. Kelompok perlakuan (P0, P1 dan P2)
34
Simpulan
Saran
3. Perlu dilakukan uji preklinik pada hewan model jantan lainnya sebelum
dilakukan uji klinis pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel HC. 2011. Pengantar bentuk sediaan farmasi edisi keempat. Jakarta (ID):
Penerbit Universitas Indonesia.
Aryani NLD, Winata SRJ. 2011. Formulasi sirup pembawa yang dipapar pada pH
5,5 untuk sediaan racikan serbuk. JST. 4(2):101-114.
Atmani F, Slimani Y, Mimouni M, Hachi B. 2003. Prophylaxis of calcium oxalate
stones by Herniaria hirsuta on experimentally induced nephrolithiasis in
rats. BJU International. 92:137-140.
Attwood D, Florence. 2011. Physicochemical principles of pharmacy Ed 5.
London (UK): Chapman and Hall.
Ayustaningwarno F. 2014. Teknologi pangan: Teori Praktis dan Aplikasi.
Yogyakarta (ID): Penerbit Graha Ilmu.
Azis T, Febrizky S, Mario AD. 2014. Pengaruh jenis pelarut terhadap persen yield
kaloid dari daun salam india (Murraya koenigii). JTK Unsri. 2(2):1-6.
Baheti DG, Kadam SS. 2013. Antiurolithiatic activity of some traditional
medicinal plants against calcium oxalate induced urolithiasis in rats.
IJPCBS. 3(4):1276-1285.
Bartges J, Polzin DJ. 2011. Nephrology and urology of small animals. Oxford
(UK): Wiley-Blackwell.
Barratt J. 2007. What to do with patients with abnormal dipstick urinalysis.
Medicine. 35(7):365-367.
Basavaraj DR, Biyani CS, Browning AJ, Caryledge JJ. 2007. The role of urinary
kidney stone inhibitors and promoters in the pathogenesis of calcium
containing renal stones. EBU-EAU. 5:126-136.
Boudaroua P. 2000. Les urolithiases canines en pratique l’action veterinaie.
1503(34):1-7.
Brunzel NA. 2013. Fundamentals of urine and body fluid analysis, third edition.
Missouri (US): Elsevier Saunders.
Butterweck V, Khan SR. 2009. Herbal medicines in the management of
urolithiasis : alternative or complementary?. Planta Medica: 75:1095-1103.
Christina AJM, Muthumani P. 2013. Phytochemical investigation and antilithiatic
activity of Ablemoschus moschatus medikus. Int J Pharm Pharm Sci.
5(1):108-113.
Denny, Kalima T. 2016. Keanekaragaman tumbuhan obat pada hutan rawa
gambut punggualas, taman nasional sebangau, kalimantan tengah. Bul
Plasma Nutfah. 22(2):137-148.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope indonesia edisi III.
Jakarta (ID): Departemen kesehatan RI.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 1985. Cara pembuatan simplisia. Jakarta
(ID): Departemen kesehatan RI.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 1987. Analisis obat tradisional. Jilid 1.
Jakarta (ID): Departemen kesehatan RI.
36
LAMPIRAN
42
Tgl Pengujian:
Eliksir ekstrak daun pelawan merupakan produk kesehatan alami yang digunakan
sebagai penghancur batu ginjal.
Data panelis :
Usia panelis :
Jenis kelamin : a. Pria b. Wanita
Instruksi :
1. Amatilah warna dan aroma dari setiap sampel yang ada di hadapan Anda,
kemudian tuliskan penilaian dan komentar Anda.
2. Cicipilah setiap sampel yang ada dan nyatakan penilaian dan komentar
Anda terhadap rasa dari tiap sampel. Setelah pencicipan satu sampel,
netralkan mulut dengan air sebelum mencicipi sampel lainnya.
3. Berikan penilaian secara keseluruhan.
Skala Penilaian :
1 = Sangat tidak suka
2 = Tidak suka
3 = Netral
4 = Agak suka
5 = Suka
6 = Sangat suka
Formula
Penilaian
A B C
Warna
Aroma
Rasa
46
1. Gambar proses pembuatan serbuk simplisia daun pelawan yang terdiri dari
sortasi basah, pengeringan, serbuk simplisia.
2. Gambar proses pembuatan ekstrak etanol daun pelawan yang terdiri dari
ekstraksi maserasi, penampungan filtrat, ekstrak kental etanol daun pelawan.
3. Gambar hasil visualisasi warna skrining fitokimia ekstrak etanol daun pelawan.
Ket: I. Uji flavonoid, II. Uji tanin, III. Uji saponin, IV. Uji kuinon, V. Uji
alkaloid, VI. Uji Terpenoid/steroid.
I II III IV
V VI
47
a b
c
RIWAYAT HIDUP