Anda di halaman 1dari 59

UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN ELIKSIR EKSTRAK ETANOL

DAUN PELAWAN (Tristaniopsis obovata [Benn.])


SEBAGAI ANTILITIASIS

RAHMAWATI JANUAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Uji Efektivitas Sediaan
Eliksir Ekstrak Etanol Daun Pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.]) sebagai
Antilitiasis adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2018

Rahmawati Januar
NIM B351150111
RINGKASAN

RAHMAWATI JANUAR. Uji Efektivitas Sediaan Eliksir Ekstrak Etanol Daun


Pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.]) sebagai Antilitiasis. Dibimbing oleh
IETJE WIENTARSIH dan SUS DERTHI WIDHYARI.

Tristaniopsis obovata [Benn.] dikenal dengan nama pelawan. Pelawan adalah


tanaman obat yang banyak digunakan oleh masyarakat dalam mengobati berbagai
penyakit, salah satunya sebagai antiurolitiasis. Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi kandungan fitokimia ekstrak etanol daun pelawan, memperoleh
formula eliksir ekstrak etanol daun pelawan terbaik yang mampu melarutkan
kalsium secara in vitro dan kristal kalsium oksalat di urin secara in vivo. Formula
eliksir diharapkan mampu meningkatkan kelarutan dan kestabilan obat.
Simplisia daun pelawan diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol
70%. Uji fitokimia menunjukkan ekstrak etanol daun pelawan mengandung
flavonoid, tanin, saponin dan steroid. Formula eliksir dibuat menjadi 3 formula
yaitu formula A (5% etanol), formula B (7,5% etanol) dan formula C (10% etanol).
Pada uji in vitro, formula B merupakan formula tercepat dalam melarutkan artifisial
kalsium oksalat dengan kadar kalsium terlarut tertinggi dibandingkan dengan
akuades, formula A dan C. Formula dianalisis dengan atomic absorption
spectroscopy (AAS). Formula B menjadi formula terbaik yang digunakan pada uji
in vivo. Pada uji in vivo, sebanyak 30 ekor tikus putih jantan Spraque dawley dibagi
dalam lima kelompok (n=6). Kelompok kontrol (KO) diberi akuades secara ad
libitum, kelompok kontrol negatif (KN) diberi inducer yaitu campuran etilen glikol
(EG) 0,75% dan amonium klorida (AC) 2%, kelompok kontrol positif (P0) diberi
inducer dan Batugin elixir 5,4 mg, kelompok perlakuan (P1 dan P2) diberi eliksir
ekstrak etanol daun pelawan (EEEDP) 100 mg dan 200 mg. Perlakuan selama 28
hari dengan pengamatan urin pada hari ke 14 dan 28. Pemeriksaan urin meliputi
kimia urin dengan strip tes dan kristal urin dengan sedimen urin.
Uji in vitro menunjukkan bahwa formula B dengan kandungan 7,5% etanol
70% memiliki stabilitas terbaik dengan daya larut terbaik. Uji in vivo menunjukkan
bahwa eliksir ekstrak etanol daun pelawan dengan dosis 100 mg/hari lebih efektif
dalam meningkatkan pH, menurunkan berat jenis (SG) urin, menekan pembentukan
kristal kalsium oksalat dalam urin dibandingkan dengan dosis 200 mg/hari secara
in vivo. Kandungan flavonoid, tanin, saponin dan steroid daun pelawan berperan
sebagai antioksidan dan antiinflamasi yang dapat melindungi ginjal dari stres
oksidatif yang disebabkan oleh EG dan AC. Formula eliksir ekstrak etanol daun
pelawan dinilai mampu melarutkan kristal kalsium oksalat berdasarkan rata-rata
kristal kalsium oksalat yang ditemukan.
Kata kunci: antilitiasis, eliksir, kalsium oksalat, pelawan, urolitiasis
SUMMARY
RAHMAWATI JANUAR. The effectivity test of elixir of the ethanol extract of
pelawan leaves (Tristaniopsis obovata [Benn.]) as antilithiasis. Supervised by
IETJE WIENTARSIH and SUS DERTHI WIDHYARI.

Tristaniopsis obovata [Benn.] known as pelawan. Pelawan is medicinal plant


to treat various diseases, one of them as antiurolithiatic. This study aimed to identify
phytochemical contents of the ethanol extract of pelawan leaves, obtain the
optimum elixir formula of the ethanol extract of pelawan leaves can dissolved
calcium in vitro and calcium oxalate crystal in urine in vivo. The formulation of
elixir is expected to increase medicine solubility and stability.
The simplicia of pelawan leaves extracted in maseration with ethanol 70%.
Phytochemical test showed that ethanol extract of pelawan leaves contain
flavonoid, tannin, saponin and steroid. The elixir formulation divided into formula
A (5% ethanol), formula B (7,5% ethanol) and formula C (10% ethanol). In vitro
study, formula B is fastest formula dissolved calcium oxalate artificial with highest
dissolved calcium levels compared with aquades, formula A and C. It was analized
with atomic absorption spectroscopy (AAS). Formula B become the optimum
formula used in vivo studies. In vivo study, thirty male rat Spraque dawley was
divided in five different groups (n=6). The control group (KO) given aquades ad
libitum, negative control group (KN) given ethylene glycol 0,75% (EG) and
ammonium chloride 2% (AC) as inducer, positive control (P0) inducer and Batugin
5,4 mg; treatments group (P1 and P2) given inducer and the elixir of the ethanol
extract of pelawan leaves (EEEDP) 100 mg (P1) and 200 mg (P2). The treatments
were done during 28 days with urines observated at day 14 and day 28. Urines were
examined consist of urine chemical by using test strip and crystal observation by
using urine sediment.
In vitro test showed that formula B with 7,5% ethanol 70% have optimum of
stability with optimum of solubility. In vivo test showed that elixir of the ethanol
extract of pelawan leaves dose of 100mg/day more effective in increase urine pH,
decrease urine specific gravity (SG), depress calcium oxalate crystal in urine
compared with dose of 200 mg/day in vivo. Flavonoid, tannin, saponin and steroid
in pelawan leaves act as antioxidants and anti inflammatory which can protect
kidney from oxidative stress caused EG and AC. Elixir of the ethanol extract of
pelawan leaves formula is considered able to dissolve calcium oxalate crystal based
on average of calcium oxalate crystal were found.
Key words: antilithiasis, calcium oxalate, elixir, pelawan, urolithiasis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN ELIKSIR EKSTRAK ETANOL
DAUN PELAWAN (Tristaniopsis obovata [Benn.])
SEBAGAI ANTILITIASIS

RAHMAWATI JANUAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh R Putratama Agus Lelana SpMP,
MSi
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
selesainya Tesis yang berjudul “Uji Efektivitas Sediaan Eliksir Ekstrak Etanol
Daun Pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.] sebagai Antilitiasis”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Dra Ietje Wientarsih Apt MSc
dan Dr Drh Sus Derthi Widhyari MSi selaku pembimbing, serta Dr Drh R Putratama
Agus Lelana SpMP MSi selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan
saran dalam penulisan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Januar Surin (Ayahanda), Yustimar (Ibunda), Muhammad Azhari Januar (Kakak),
Adibyathul Fikri Januar (Adik) yang selalu meberikan saya atas segala doa dan
kasih sayangnya, serta teman-teman sebelas, Pondok Aisyah dan rekan-rekan
pascasarjana IBH tahun 2015 yang banyak membantu saya selama menjalani
pendidikan di Program Studi Ilmu Biomedis Hewan.
Semoga isi dalam Tesis ini membawa manfaat dan dampak yang baik bagi
pembaca.

Bogor, Agustus 2018

Rahmawati Januar
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Kerangka Pemikiran 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
3 METODE PENELITIAN 10
Bahan dan Alat 10
Tempat dan Waktu Penelitian 10
Metode Penelitian 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Karakterisasi Daun Pelawan 16
Determinasi Tanaman Pelawan 16
Rendemen Ekstrak Etanol Daun Pelawan 17
Parameter Standarisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Pelawan 17
Skrining Fitokimia 18
Evaluasi Sediaan Eliksir Ekstrak Etanol Daun Pelawan 19
Uji Organoleptik 19
Bobot Jenis 21
Viskositas 22
Derajat keasaman (pH) 22
Uji Hedonik 23
Uji Kelarutan Kalsium Oksalat secara In Vitro dan In Vivo 24
Uji In Vitro 24
Uji In Vivo 25
5 SIMPULAN DAN SARAN 34
Simpulan 34
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35
LAMPIRAN 41
RIWAYAT HIDUP 48
DAFTAR TABEL
1 Formulasi sediaan eliksir ekstrak daun pelawan 13
2 Kelompok perlakuan uji in vivo 16
3 Tingkat keparahan kristalografi 16
4 Pemeriksaan standarisasi simplisia dan ekstrak etanol daun pelawan 17
5 Pengujian fitokimia ekstrak etanol daun pelawan 18
6 Uji organoleptis formula EEEDP 20
7 Nilai bobot jenis formula EEEDP 21
8 Nilai viskositas formula EEEDP 22
9 Rata-rata waktu larut artifisial kalsium oksalat 25
10 Rata rata kadar kalsium terlarut 25
11 Bobot badan sebelum dan sesudah perlakuan 26
12 Pemeriksaan pH urin 27
13 Pemeriksaan berat jenis (specific gravity) urin 27
14 Pemeriksaan leukosit, protein dan darah 28
15 Pemeriksaan urobilinogen, bilirubin, nitrit, keton dan glukosa 29
16 Pemeriksaan mikroskopis kristal urin 31
17 Tingkat keparahan kristal COD (calcium oxalate dihydrate) urin 33

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 3
2 Pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.]) 4
3 Anatomi ginjal dan nefron serta proses pembentukan urin 6
4 Fotomikrograf berbagai macam kristal urin 8
5 Sediaan eliksir ekstrak etanol daun pelawan 20
6 Pengaruh jumlah etanol dan air terhadap nilai berat jenis EEEDP 21
7 Pengaruh jumlah etanol terhadap derajat keasaman EEEDP 22
8 Diagram data uji hedonik terhadap tiga formula EEEDP 23
9 Uji kelarutan artifisial kalsium oksalat 24
10 Perubahan bobot badan (Δ bobot badan) dari hari ke 0, 14 dan 28 26
11 Gambaran sedimen kristal urin 31
12 Jumlah kristal kalsium oksalat dihidrat 33

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil determinasi tumbuhan 42
2 Hasil uji fitokimia 43
3 Komisi etik hewan 44
4 Lembar kuisioner uji hedonik 45
5 Dokumentasi penelitian 46
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ginjal merupakan organ penting bagi manusia dan hewan (Jha et al. 2016)
yang berperan dalam proses regulasi, sekresi, metabolisme dan ekskresi di dalam
tubuh (Bartges et al. 2011). Salah satu permasalahan kesehatan dalam urologi
adalah urolitiasis. Kasus urolitiasis berada pada urutan ketiga setelah infeksi
saluran kemih dan kelainan prostat (Hamid et al. 2007). Urolitiasis merupakan
kalkuli atau kristal yang terbentuk akibat proses supersaturasi urin di dalam
saluran urinari (ureter, vesica urinaria, uretra) karena adanya zat kristalogenik
yang terdiri dari satu atau lebih jenis mineral (Tion et al. 2015). Pembentukan
urolitiasis atau batu ginjal merupakan proses kompleks yang terjadi karena
ketidakseimbangan antara faktor promotor dan inhibitor di dalam ginjal. Faktor
yang mempengaruhi diantaranya output urin (konsentrasi konstituen tertentu), pH
urin, dan infeksi atau kerusakan dalam saluran kemih (Tiwari et al. 2012).
Urolitiasis atau batu ginjal adalah penyakit urologi yang diperkirakan
mempengaruhi sekitar 12% populasi di dunia dengan tingkat kekambuhan 70
hingga 81% pada pria dan 47 hingga 60% pada wanita (Soundararajan et al.
2006). Tingkat kekambuhan kumulatif alami kejadian urolitiasis yaitu sebesar
14% setelah 1 tahun, 35% setelah 5 tahun dan 52% setelah 10 tahun (Uribarri et
al. 1989; Basavaraj et al. 2007). Sekitar 80% mayoritas batu tersusun dari kalsium
oksalat (Soundararajan et al. 2006; Butterweck dan Khan 2009). Kejadian batu
pada hewan kucing sebesar 49% struvite dan 41% kalsium oksalat, sedangkan
pada anjing sebesar 41% struvite, 40% kalsium oksalat, 6% purin dan 1% sistin
(Osborne et al. 2009). Hampir setengah populasi kucing dan anjing pernah
ditemukan batu kalsium oksalat, meskipun kalsium oksalat bukan urolit yang
umum ditemukan. Namun kejadian urolitiasis pada kucing dan anjing merupakan
gangguan yang paling sering terjadi pada sistem perkemihan (Holt 1983;
Boudaroua 2000; Vedrenne et al. 2003). Zhong et al. (2012) menyampaikan
bahwa prevalensi urolitiasis di dunia lebih dari 10% meningkat setiap tahunnya.
Oleh karena itu perlu upaya yang efisien dilakukan untuk mengetahui penyebab,
obat dan penyembuhan penyakit yang tepat.
Penanganan dan pengobatan urolitiasis dapat dilakukan secara modern
menggunakan percutaneous nephrolithotomy (PCNL), extracorporeal shock wave
lithotripsy (ESWL), ureteroscopy lithotripsy dan beberapa metode fragmentasi
batu dengan endoskopi. Pengobatan secara modern mampu menangani
permasalahan urolitiasis, namun membutuhkan biaya yang mahal (Zhao et al.
2016). Beberapa informasi menunjukkan bahwa paparan gelombang kejut saat
terapi dapat menyebabkan cedera ginjal akut, penurunan fungsi ginjal dan
peningkatan kekambuhan batu. Sisa fragmen batu dapat menimbulkan masalah
selama pengobatan (Butterweck dan Khan 2009; Tiwari et al. 2012). Pencegahan
dan pengobatan alternatif yang telah lama dievaluasi dapat dilakukan melalui
pendekatan terapi agen herbal (Yuruk et al. 2016). Efek samping pengobatan
modern menyebabkan beralihnya masyarakat dari pengobatan modern ke
pengobatan tradisional dengan harapan senyawa aktif dari tanaman dapat bekerja
efektif tanpa efek samping.
2

Kekayaan hayati yang cukup besar di Indonesia membuktikan bahwa


banyak tanaman obat potensial yang perlu dikembangkan, salah satunya adalah
tanaman pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.]). Tanaman pelawan digunakan
oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai penyakit
seperti obat pembersih darah pasca melahirkan (Yusfiati dan Fitmawati 2015),
obat antiurolitiasis (Denny dan Kalima 2016). Penelitian yang dilakukan Shecilia
(2015) dan Jannah (2015) melaporkan bahwa ekstrak etanol daun pelawan dengan
dosis 100 mg/kg BB dan 150 mg/kg BB memberikan efek proteksi terhadap
kerusakan ginjal dan memperbaiki sel jaringan limpa yang rusak.
Penggunaan tanaman sebagai obat tradisional disebabkan karena khasiat
senyawa bioaktif yang terkandung. Pemanfaatan tanaman ini dalam bidang
pengobatan dan dunia medis masih belum diketahui, sehingga dibutuhkan kajian
lebih lanjut. Pada penelitian ini daun pelawan dibuat dalam bentuk sediaan eliksir
untuk mengoptimalkan manfaatnya karena bentuk sediaan obat juga dapat
mempengaruhi khasiat suatu obat. Sediaan eliksir merupakan salah satu sediaan
cair dan memiliki stabilitas yang baik dibandingkan dengan sediaan lainnya. Hal
ini disebabkan karena sifat hidroalkohol dari pelarut etanol yang dapat
mempertahankan kestabilan obat di dalam cairan, sehingga menyebabkan waktu
penyimpanan dan kestabilan sediaan dapat lebih lama (Ansel 2011).

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk melihat:


1. Efektivitas kandungan ekstrak etanol daun pelawan sebagai antilitiasis.
2. Formula eliksir ekstrak etanol daun pelawan terbaik yang memiliki stabilitas
dan efektif dalam melarutkan kristal kalsium oksalat secara in vitro.
3. Dosis efektif eliksir ekstrak etanol daun pelawan sebagai antilitiasis dalam
melarutkan kristal kalsium oksalat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Mengetahui kandungan zat aktif daun pelawan.
2. Mendapatkan formula eliksir ekstrak etanol daun pelawan terbaik dalam
melarutkan kalsium oksalat secara in vitro.
3. Mengetahui efektivitas dosis eliksir ekstrak etanol daun pelawan dalam
menekan pembentukan kristal kalsium oksalat pada tikus putih yang diinduksi
etilen glikol dan amonium klorida secara in vivo.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang


efektivitas eliksir ekstrak etanol daun pelawan sebagai antilitiasis sehingga dapat
dijadikan sebagai herbal terstandar.
3

Kerangka Pemikiran

Efek samping dari pengobatan dan penanganan urolitiasis secara modern


dapat menjadikan pengobatan tradisional sebagai pilihan alternatif. Senyawa aktif
yang dimiliki daun pelawan diharapkan dapat bekerja efektif tanpa efek samping.
Kandungan fitokimia daun pelawan yang diketahui memiliki aktivitas dalam
melarutkan kristal kalsium oksalat. Aktivitas tersebut diharapkan mampu menjadi
agen antilitiasis. Ekstrak daun pelawan dibuat dalam bentuk sediaan eliksir untuk
mengoptimalkan khasiat dari senyawa aktifnya. Sediaan tersebut bersifat
hidroalkohol yang memiliki stabilitas yang baik.

Tingkat kekambuhan urolitiasis meningkat

Pengobatan modern cepat dan efektif

Biaya mahal dan efek samping

Pengobatan alternatif (penggunaan obat herbal)

Senyawa bioaktif (potensi antilitiasis)

Formulasi sediaan eliksir


 khasiat bahan obat

Aktivitas antioksidana Aktivitas antilitiasisc


Aktivitas anti inflamasib

 stres oksidatif dan inflamasi


 kelarutan kalsium oksalat in vitro dan in vivo

Gambar 1 Kerangka pemikiran. Keterangan: a. Kissinger et al. (2012); Panche


et al. (2016), b. Dmello et al. (2011), c. Denny dan Kalima (2016).
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.])

Tristaniopsis obovata [Benn.] yang dikenal dengan nama pelawan atau


belawan putih merupakan jenis pohon penghasil kayu bangunan. Pelawan
memiliki ciri-ciri umum yaitu berupa pohon berukuran sedang dengan tinggi
mencapai 10 hingga 20 meter. Diameter batang sekitar 4 hingga 60 cm. Pelawan
memiliki kulit pohon yang berwarna kemerah-merahan hingga kecoklatan tipis
berselah yang mengelupas. Kulit pohon tidak bergetah dan buah masaknya
berwarna coklat yang berbentuk kapsul kecil berukuran 0.5 cm. Satu buah
memiliki banyak biji kecil-kecil dengan kuncup bunga yang mirip cengkeh.
Susunan daun berhadapan dan bertekstur keras (Thomas 2010).

A B C

Gambar 2 Pelawan (Tristaniopsis obovata [Benn.])


Keterangan: A. Habitus pohon pelawan, B. Duduk
daun, C. Daun.
Tanaman pelawan digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional
untuk mengobati berbagai penyakit, seperti maag, sakit perut, liver, peningkat
stamina. Bagian dari tumbuhan yang dapat dimanfaatkan yaitu daun, kulit kayu,
akar dan air dari batang atau semua bagian dapat digunakan (Kissinger et al.
2013; Kissinger et al. 2016). Bagian kulit batangnya dimanfaatkan oleh
masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah sebagai obat diare. Pengobatan
dilakukan dengan cara merebus bagian tanaman dan airnya diminum (Setyowati et
al. 2005). Pelawan digunakan sebagai pohon penawar racun yaitu bagian akar
yang digunakan dengan cara diseduh (Hilwan 2014), dan daun pelawan juga
digunakan sebagai antidiabetes. Daun pelawan diketahui mampu sebagai obat
antiurolitiasis (Denny dan Kalima 2016). Fitokimia ekstrak metanol pelawan
mengandung flavonoid, phenolhidroquinon, steroid, triterpenoid, tanin dan
saponin (Kissinger et al. 2012).

Sediaan Eliksir

Eliksir merupakan larutan hidroalkohol jernih dan manis yang digunakan


untuk penggunaan vital dan biasanya diberi rasa untuk menambah kelezatan.
Eliksir bukan obat pembawa, tetapi eliksir adalah obat yang efek terapinya
digunakan dari senyawa obat yang terkandung. Eliksir sifatnya kurang kental dan
5

manis dibandingkan sirup, karena mengandung kadar gula lebih rendah sehingga
eliksir kurang efektif menutupi rasa senyawa obat. Sifat hidroalkohol dari eliksir
lebih mampu mempertahankan komponen-komponen larutan yang larut dalam air
dan alkohol daripada sirup. Selain itu stabilitasnya yang khusus dan kemudahan
dalam pembuatannya (dengan melarutkan biasa) eliksir lebih disukai daripada
sirup (Ansel 2011).
Setiap eliksir memerlukan campuran dari alkohol dan air untuk
mempertahankan semua komponen dalam larutan dengan perbandingan alkohol
yang berbeda. Hal ini disebabkan karena masing-masing komponen eliksir
memiliki sifat kelarutan yang berbeda pula dalam air dan alkohol. Pemberian rasa
manis pada eliksir banyak menggunakan sukrosa atau sirup sukrosa dan beberapa
menggunakan sorbitol, gliserin dan/atau pemanis buatan sakarin. Eliksir yang
memiliki kadar alkohol tinggi biasanya menggunakan pemanis buatan seperti
sakarin dalam jumlah kecil daripada sukrosa yang hanya sedikit larut dalam
alkohol. Selain itu pelarut lain seperti gliserin dan propilen glikol sering
digunakan dalam eliksir sebagai pelarut pembantu. Eliksir diberi bahan pemberi
rasa untuk meningkatkan kelezatan (Ansel 2011).
Eliksir dengan kadar alkohol lebih dari 10 hingga 12%, biasanya besifat
sebagai pengawet sendiri, sehingga tidak butuh bahan pengawet tambahan. Satu
keuntungan eliksir dari obat bentuk padat yaitu kemudahan penyesuaian dan
pemberian dosis. Eliksir harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, tahan cahaya
untuk menjaga terhadap temperatur yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena
eliksir mengandung alkohol dan biasanya juga mengandung minyak mudah
menguap yang dapat rusak oleh adanya udara dan sinar (Ansel 2011).

Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan organ berbentuk kacang dengan jumlah sepasang, terletak


di bagian dorsal dalam rongga abdomen. Ginjal terletak di belakang peritoneum
yang dilapisi oleh peritoneum parietal (Bartges et al. 2011). Ginjal bersama organ
lainnya meliputi ureter, vesica urinaria dan uretra dalam sistem perkemihan
menjalankan serangkaian fungsi di dalam tubuh. Ginjal sebagai organ ekskresi
berfungsi dalam pembentukan urin yang terdiri dari beberapa proses meliputi
filtrasi plasma di glomerulus, reabsorpsi dan sekresi komponen selektif oleh
tubulus ginjal (Brunzel 2013). Ginjal berfungsi dalam mempertahankan
homeostatis cairan tubuh dengan mengatur volume cairan, keseimbangan osmotik
dan asam basa, ekskresi sisa metabolisme, sistem pengaturan hormonal dan
metabolisme (Syaifuddin 2016). Ginjal akan menentukan zat yang diperlukan dan
harus dipertahankan oleh tubuh serta zat yang harus dikeluarkan (Brunzel 2013).
Ginjal memiliki satuan fungsional yang disebut dengan nefron yang
berjumlah lebih kurang 1,3 juta nefron (Syaifuddin 2016). Ginjal menyaring
sekitar 180000 ml (125 ml/menit) plasma setiap hari dan membentuk urin sekitar
600 hingga 1800 ml. Urin sebagian besar terdiri dari air dan terdapat unsur-unsur
seperti urea, klorida, natrium, kalium, fosfat, sulfat, kreatinin dan asam urat. Zat
seperti glukosa, bikarbonat dan albumin direabsorbsi oleh tubulus sehingga urin
normal yang sehat tidak mengandung zat terlarut tersebut dalam jumlah yang
signifikan (Brunzel 2013). Arteri renalis menyuplai darah dari aorta ke ginjal.
6

Kapiler glomerulus berfungsi sebagai ultrafiltrasi darah atau plasma dalam


kapsula bowman. Glomerulus menerima darah dari arteriola aferen dan
meneruskannya ke sistem vena melalui arteriola eferen. Proses filtrasi di
glomerulus dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik kapiler glomerulus (kira-kira 50
mm Hg) yang mendorong air dan garam-garam melalui glomerulus. Hasil filtrasi
yang sebagian besar bebas protein diabsorpsi di tubulus ginjal. Kurang lebih 80%
filtrat direabsorbsi di tubulus proksimal secara selektif untuk dikembalikan ke
aliran darah, sedangkan zat lainnya sekresikan dari darah ke lumen tubulus.
Semua glukosa, asam amino, natrium, klorida dan elektrolit difiltrasi dan
diabsorpsi (Syaifuddin 2016).

Gambar 3 Anatomi ginjal dan nefron serta proses pembentukan urin (Guyton
dan Hall 2006).
Komponen penting pada reabsorbsi zat terlarut dalam lengkung henle
meliputi pompa natrium, kalium ATPase pada membran basolateral sel epitel.
Pada tubulus distal memiliki ciri reabsorbsi yang sama dengan lengkung henle
yaitu mengabsorbsi ion-ion natrium, kalium dan klorida tetapi tidak permeabel
terhadap air dan ureum. Pada duktus koligentes reabsorbsi natrium dan kalium
tergantung dari aktivitas pompa natrium dan kalium ATPase. Pompa tersebut
mepertahankan konsentrasi ion-ion rendah dalam sel untuk membuat natrium
berdifusi melalui saluran khusus (Syaifuddin 2016).

Urolitiasis

Pembentukan batu ginjal atau urolitiasis merupakan proses kompleks yang


terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor promotor dan inhibitor di ginjal.
Faktor promotor meliputi kalsium, sodium (natrium), oksalat, urat, sistin, low
urine pH dan protein Tamm-Horsfall. Faktor inhibitor meliputi inorganik,
magnesium, pirofosfat, sitrat, nefrokalin, protein Tamm-Horsfall, fragmen
protrombin urin, inhibitor protease (inter α), osteopontin (uropontin), litostatin
renal, glikosaminoglikan dan high urine pH (Basavaraj et al. 2007).
7

Urolitiasis atau nefrolitiasis diketahui sebagai salah satu gangguan sistemik


yang berkaitan dengan penyakit ginjal kronis, penyakit tulang yang disebabkan
oleh nefrolitiasis, peningkatan resiko penyakit arteri koroner, hipertensi, diabetes
melitus tipe 2, dan sindrom metabolik (Sakhaee et al. 2012). Urolitiasis
merupakan suatu proses kompleks yang dihasilkan dari suksesi beberapa proses
fisikokimia termasuk supersaturasi, nukleasi, pertumbuhan, agregasi, dan retensi
dalam ginjal (Butterweck dan Khan 2009).

Patofisiologi Urolitiasis
Mekanisme patofisiologi pembentukan batu ginjal kalsium sangat kompleks
dan beragam. Faktor resiko terbentuknya batu meliputi volume urin rendah,
hiperkalsiuria, hiperurikosuria, hipositraturia, hiperoksaluria dan kelainan pH urin
(Sakhaee et al. 2012). Gangguan metabolik tersebut dapat mengubah komposisi
atau saturasi urin sehingga dapat meningkatkan batu. Pada kondisi normal,
manusia mengeksresikan kristal di urin tanpa mengembangkan pembentukan batu
di ginjal meskipun terjadi supersaturasi sementara. Pembentukan batu akan
dimulai ketika supersaturasi urin terus dipertahankan di dalam ginjal sehingga
dapat membentuk nidus batu (Butterweck dan Khan 2009).
Pembentukan batu kalsium melibatkan berbagai fase yang meliputi nukleasi
(peningkatan akumulasi kalsium oksalat dan kalsium fosfat), pertumbuhan,
agregasi dan retensi kristal. Fase nukleasi terjadi pada saat tercapainya kondisi
supersaturasi yang diikuti terjadinya kristalisasi. Endapan kristal yang telah
terbentuk dapat membentuk endapan kristal baru dengan jenis kristal yang sama.
Kondisi ini disebut dengan nukleasi homogen. Pada kondisi nukleasi heterogen
yaitu terbentuknya kristal lain yang mendukung pembentukan kristal kalsium
oksalat seperti asam urat. Fase pertumbuhan kristal adalah fase berikutnya yang
menentukan ukuran, bentuk, sifat fisik material, kadar supersaturasi, pH dan
kerusakan yang dapat terbentuk dalam struktur kristal (Basavaraj et al. 2007).
Pada fase agregasi, kristal saling menempel dan membentuk partikel yang
lebih besar. Faktor promotor glikoprotein Tamm-Horsfall dan molekul lain dapat
bertindak sebagai pelekat antara partikel agregat. Fase agregasi kristal menjadi
faktor yang lebih penting dalam langkah pembentukan kristal, jika dibandingkan
dengan nukleasi dan pertumbuhan kristal. Hal ini dikarenakan agregasi dapat
terjadi dalam hitungan detik (Basavaraj et al. 2007).
Proses pembentukan batu kalsium dimulai dari proses pengendapan kalsium
fosfat di lengkung henle atau bagian distal dari tubulus distal. Pada kondisi
fisikokimia normal dapat terjadi perubahan fisiologis yang dapat mengekskresikan
CaP melaui urin. Pada proses nukleasi primer, kristal kalsium oksalat diinduksi
oleh kalsium fosfat. Pembubaran kalsium fosfat dalam urin asam dapat
menyebabkan supersaturasi tingkat tinggi dan nukleasi kalsium oksalat. Hal ini
memfasilitasi pembentukan kalsium oksalat dan fosfat yang menempel di dinding
sel tubular. Agregat kristal akan menempel pada sel epitel di tubulus ginjal
sehingga terjadi retensi dan akumulasi kristal. Komposisi cairan tubular
mempengaruhi pembentukan kristal dan komposisi pada permukaan sel epitel
tubular ginjal mempengaruhi retensi kristal (Basavaraj et al. 2007).
8

Hiperoksaluria
Mekanisme pembentukan batu kalsium diawali dengan proses supersaturasi
urin dari garam-garam pembentuk batu yang mengarah ke nukleasi homogen di
dalam lumen nefron. Proses tersebut kemudian diikuti oleh pertumbuhan kristal
dan obstruksi konsekuen di nefron distal. Oksalat dan kalsium berperan penting
dalam meningkatkan supersaturasi kalsium oksalat. Hiperoksaluria menjadi faktor
pembentuk batu kalsium oksalat. Hiperoksaluria dapat disebabkan karena over
produksi oksalat akibat kelainan bawaan pada metabolisme, peningkatan asupan
makanan dan bioavailabilitas, peningkatan penyerapan oksalat di usus.
Hiperoksaluria tipe I adalah kelainan bawaan dalam metabolisme karena adanya
defisiensi atau kesalahan penargetan alanin glioksilat transferase hati. Tipe II
hiperoksaluria primer adalah karena defisiensi glioksilat reduktase atau
hidroksipiruvat reduktase. Tipe III hiperoksaluria adalah hasil dari peningkatan
fungsi hati atau 4-hidroksi-2-oksoglutarat aldolase mitokondria ginjal yang jarang
terjadi karena tidak diketahui aktivitas enzim tersebut dalam menghasilkan
hiperoksaluria (Sakhaee et al. 2012).

Jenis-jenis Kristal Urin

Kristal merupakan hasil pengendapan zat terlarut yang keluar bersama urin.
Secara normal kristal tidak ditemukan di dalam urin segar, namun dapat
menunjukkan gejala klinis jika ditemukan dalam urin segar. Keberadaan kristal di
dalam nefron dapat menyebabkan kerusakan tubular yang signifikan karena
beberapa kristal dapat menunjukkan kondisi patologis. Selain penampilan
mikroskopis, pH urin memberikan informasi dalam mengidentifikasi jenis kristal.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal meliputi konsentrasi zat
terlarut dalam urin, pH urin, aliran urin melalui tubulus. Pada proses ultrafiltrasi
glomerulus, cairan mengalami peningkatan konsentrasi cairan di tubulus.
Peningkatan jumlah zat terlarut dengan asupan cairan yang kurang dapat
menyebabkan ultrafiltrat jenuh. Hal tersebut menyebabkan terjadi pengendapan
zat terlarut menjadi kristal. Suasana pH menjadi faktor dalam pengendapan kristal
sesuai kelarutan zat pada pH asam, netral atau basa. Komponen dalam urin yang
melebihi kelarutannya dapat mengendap membentuk kristal (Brunzel 2013).

Gambar 4 Fotomikrograf berbagai macam kristal urin. A. Kalsium oksalat


dihidrat, B. Kalsium oksalat monohidrat, C. Triple fosfat, D. Asam
urat, E. Kalsium karbonat, F. Sistin, G. Tirosin, H. Sulfonamid
(Latimer 2011).
9

Kristal urin dapat diklasifikasikan menjadi kristal normal dan abnormal


yang dipengaruhi oleh pH. Kristal normal meliputi asam urat, amonium urat,
monosodium urat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, magnesium fosfat, amorf
fosfat, kalsium karbonat, tripel fosfat dan amonium biurat. Kristal abnormal
meliputi bilirubin, leusin, tirosin, kolesterol, hemosiderin, sistin (kristal
metabolik) dan ampisilin, sulfonamid, indinavir sulfat (kristal iatrogenik) (Brunzel
2013).

Kalsium Oksalat
Kristal kalsium oksalat berbentuk oktahedral atau piramida, tidak berwarna
dan memiliki ukuran yang bervariasi. Kristal ini dalam bentuk monohidrat (bulat
telur) dan dihidrat (amplop) (Gambar 4A dan 4B). Kristal kalsium oksalat
merupakan kristal yang paling sering ditemukan pada urin dalam pH apapun.
Kalsium dan oksalat biasanya ditemukan dalam urin individu sehat. Ion oksalat
dan ion kalsium bersatu membentuk kalsium oksalat dan dapat membentuk kristal
pada kondisi optimal (Brunzel 2013).

Tripel Fosfat
Kristal tripel fosfat atau magnesium amonium fosfat merupakan kristal yang
berbentuk prisma segitiga hingga segienam (Gambar 4C). Kristal ini tidak
berwarna dengan ukuran yang bervariasi. Kristal tripel fosfat sering ditemukan
pada pH urin alkali dan netral. Kristal ini adalah zat terlarut normal dalam urin
dan ditemukan pada individu sehat. Kristal ini juga dapat menunjukkan kondisi
klinis yang signifikan jika dikaitkan dengan infeksi saluran kemih pada pH alkali
dan terlibat dalam pembentukan batu ginjal (Brunzel 2013).

Asam Urat
Kristal asam urat memiliki variasi bentuk, namun bentuk belah ketupat
merupakan bentuk yang paling umum ditemukan (Gambar 4D). Kristal ini
berwarna kuning hingga coklat keemasan dengan intensitas warna yang
bervariasi. Kristal ini ditemukan pada pH urin asam (sekitar 5.7), sedangkan pada
pH >5.7 asam urat ditemukan dalam bentuk terionisasi sebagai urat dan garam
urat (amorf urat, natrium urat). Kristal asam urat lebih mudah larut daripada
kristal garam urat. Asam urat adalah zat terlarut pada urin normal yang berasal
dari katabolisme nukleosida purin, sehingga asam urat dapat ditemukan pada
individu sehat (Brunzel 2013).

Kalsium Karbonat
Kristal kalsium karbonat berbentuk granular kecil dan tidak berwarna
(Gambar 4E). Ukuran kristal ini sedikit lebih besar dari amorf. Kristal ini
ditemukan pada pH urin alkali dan jarang ditemukan dalam sedimen urin. Kristal
kalsium karbonat juga dapat ditemukan sebagai massa agregat yang sulit
dibedakan dengan amorf (Brunzel 2013).

Sistin
Kristal sistin ditemukan dalam bentuk pelat heksagonal dan tidak berwarna
(Gambar 4F). Kristal ini bening dan refraktil dan cenderung menggumpal. Kristal
sistin ditemukan pada pH urin asam yang secara klinis menunjukkan penyakit
10

yaitu cystinosis atau cystinuria. Kristal ini cenderung berada dalam tubulus
sebagai batu yang mengakibatkan kerusakan ginjal. Kristal ini dapat ditemukan
pada pH urin <8,3 yaitu larut dalam pH asam hidroklorik dan alkali. Ekskresi
sistin yang berlebihan dan pembentukan kristal sistin abnormal dapat
menunjukkan proses penyakit (Brunzel 2013).

Tirosin
Kristal tirosin berbentuk seperti jarum halus dan tidak berwarna atau kuning
(Gambar 4G). Kristal ini sering muncul sebagai agregat yang membentuk
kelompok, namun juga bisa muncul secara tunggal. Tirosin terbentuk pada pH
urin asam tetapi dapat larut dalam larutan alkali (Brunzel 2013).

Sulfonamid
Sulfonamid ditemukan dalam bentuk yang bervariasi tergantung dari jenis
obat yang diberikan (Gambar 4H). Sulfonamid sangat sulit larut sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal dan terdapat pembentukan kristal di tubulus ginjal.
Saat ini obat-obatan telah dimodifikasi sehingga kristal sulfonamid jarang
ditemukan dalam sedimen urin. Kristal ini biasanya berwarna kuning hingga
coklat dengan bentuk seperti kumpulan jarum. Kristal ini ditemukan pada pH urin
asam dan memiliki kemiripan bentuk dengan kristal amonium biurat tetapi dapat
dibedakan dari pH (Brunzel 2013).

3 METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian meliputi daun pelawan (T. obovata
[Benn.]), maserasi (etanol 70%), pembuatan eliksir (propilen glikol, etanol 70%,
sorbitol cair, gliserin, nipagin, oleum menthae piperatea), akuades, uji fitokimia
(HCL 2% dan pekat, pereaksi dragendroff, pereaksi mayer, serbuk magnesium
(Mg), FeCl3, asam asetat anhidrat, H2SO4 pekat), bahan artifisial kristal kalsium
oksalat (kalsium hidroksida dan asam oksalat Bratachem), hewan coba tikus putih
jantan Spraque dawley umur 2 hingga 3 bulan dengan bobot badan 250 hingga
300 gr, inducer (ethylene glycol Merck, ammonium chlorida Merck), anthelmetik
(ivermectin ), antibiotik (oxytetracyclin long acting Limoxin-200 LA), obat
komersil batugin elixir® Kimia Farma, anestetikum (ketamine HCl 10% Ket-A-
100® Agrovet, xylazine 2% Dormi-Xyl® 2 Agrovet).
Peralatan yang digunakan pada penelitian meliputi moisture balance, kurs
porselin, rotary evaporator, timbangan, gelas ukur, pipet tetes, botol gelap, kertas
saring, tabung reaksi, oven, piknometer Pyrex 10 ml, viskometer TV-10 Toki
Sangyo Co.LTD, pH meter (pH Hanna instruments HI 2211), kandang metabolik,
syringe 1 dan 3 cc, tabung eppendorf, strip tes Urinalysis Verify® (REF U031-
102), mikroskop Olympus.
11

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fisik dan Laboratorium


Bersama FMIPA IPB, Pusat Studi Biofarmaka, Laboratorium Farmasi dan
Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi
(KRP), dan Unit Pemeliharaan Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas
Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian
dilaksanakan pada bulan Januari hingga Desember 2017.

Metode Penelitian

Komisi Etik Hewan (ethical approval)


Seluruh prosedur dalam penelitian ini telah mendapat persetujuan dari
Komisi Etik Hewan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Institut Pertanian Bogor dengan nomor: 77-2017 IPB.

Karakterisasi Daun Pelawan

Determinasi dan Pengumpulan Daun Pelawan


Determinasi daun pelawan dilakukan di Pusat Penelitian LIPI Cibinong.
Daun pelawan yang digunakan diperoleh dari Taman Hutan Raya Sutan Syarif
Hasyim (TAHURA) Riau.

Pembuatan Serbuk Simplisia Daun Pelawan


Daun pelawan yang digunakan disortasi basah, kemudian dicuci
menggunakan air mengalir hingga bersih dan ditiriskan. Simplisia daun pelawan
dikering anginkan hingga kering dan disortasi kering, kemudian dihaluskan
hingga menjadi serbuk. Serbuk simplisia daun pelawan disimpan dalam wadah
bersih dan tertutup rapat (Depkes RI 1985; Sapri et al. 2014).

Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pelawan


Daun pelawan diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut
etanol 70%. Serbuk simplisia daun pelawan direndam dengan pelarut etanol 70%
dalam wadah tertutup rapat selama 3 hari (3x24 jam). Jumlah serbuk simplisia
daun pelawan dan pelarut yang digunakan dengan perbandingan 1:10. Maserat
yang diperoleh difiltrasi menggunakan kertas saring dan dievaporasi
menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental (Sapri et al.
2014).

Standarisasi Simplisia dan Ekstrak


Standarisasi terdiri dari berbagai parameter standar umum (non spesifik) dan
standar spesifik. Standarisasi simplisia dan ekstrak yang dilakukan pada penelitian
ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam diuji pada simplisia,
sedangkan kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, organoleptik diuji pada
ekstrak. Adapun tahapan yang dilakukan antara lain sebagai berikut:
12

- Kadar air
Penetapan kadar air serbuk simplisia daun pelawan menggunakan alat
Moisture Balance pada suhu 105°C. Serbuk simplisia sebanyak ±1 gr diletakkan
pada alat Moisture balance dan dinyalakan. Alat ditunggu 10 menit hingga
terdengar tanda yang menunjukkan angka sebagai kadar air serbuk.

- Kadar abu dan abu tak larut asam


Penetapan kadar abu serbuk simplisia daun pelawan dengan menimbang ±2
gr serbuk simplisia daun pelawan dan dimasukan ke dalam krus porselin yang
telah dipijarkan dan ditera. Ratakan serbuk lalu pijarkan perlahan-lahan hingga
arang habis, kemudian didinginkan dan ditimbang (Depkes 2000). Persentase
kadar abu dihitung menggunakan rumus:

(bobot cawan+abu) - (bobot cawan)


% kadar abu= x100%
bobot sampel

- Kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol


Penetapan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol dilakukan
menggunakan metode gravimetri. Metode perhitungan kadar sari air maupun
etanol sama, namun menggunakan pelarut yang berbeda. Pada kadar sari air
menggunakan kloroform, sedangkan kadar sari etanol menggunakan etanol 95%.
Ekstrak yang dimaserasi dengan kloroform atau etanol 95% 100 ml dan
dikocok berkali-kali selama 6 jam lalu dibiarkan selama 18 jam dalam labu
bersumbat. Hasil maserasi disaring dan filtratnya diuapkan hingga kering dalam
cawan. Hitung kadar dalam persen dengan membandingkan hasil filtrat kering
dengan ekstrak sebelumnya (Depkes 2000).

Uji Fitokimia
Pengujian skrining fitokimia dilakukan secara kualitatif untuk mengetahui
jenis golongan senyawa bioaktif yang terkandung di dalam tanaman T. obovata
[Benn.]. Adapun golongan senyawa yang diuji antara lain sebagai berikut :

- Uji alkaloid
Sebanyak 10 ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.])
ditambahkan 1.5 ml HCl 2% yang dibagi menjadi tiga larutan sama banyak dalam
tabung reaksi sebagai berikut (Harborne 1996) :
 Tabung reaksi I sebagai pembanding,
 Tabung reaksi II ditetesi 2 hingga 3 tetes pereaksi Dragendroff: hasil
menunjukkan kekeruhan atau endapan berwarna jingga,
 Tabung reaksi III ditetesi 2 hingga 3 tetes pereaksi Mayer: hasil
menunjukkan kekeruhan atau endapan berwarna putih.

- Uji flavonoid
Satu ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.]) dilarutkan dalam
1 ml etanol 95%, ditambahkan 0.1 gr serbuk magnesium (Mg) dan 10 tetes HCl
pekat. Hasil positif menunjukkan terbentuknya warna jingga sampai merah ungu
(Depkes 1995).
13

- Uji fenol
Satu ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.]) ditambahkan 3
tetes larutan FeCl3 1%. Hasil positif menunjukkan terbentuknya warna hijau, ungu
biru hingga hitam (Depkes 1987).

- Uji saponin
Satu ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.]) diencerkan
dengan air 1 ml dalam tabung reaksi dan dilakukan pengocokan selama 15 menit.
Hasil positif menunjukkan adanya buih yang stabil selama 5 menit setelah
pengocokan (Depkes 1987).

- Uji tanin
Satu ml eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.]) diencerkan
dengan 2 ml air dan ditambahkan 3 tetes larutan FeCl3. Hasil positif menunjukkan
terjadi perubahan warna larutan menjadi biru kehitaman atau hijau kehitaman
(Depkes 1987).

- Uji steroid/terpenoid
Lima puluh mg eliksir ekstrak daun pelawan (T.obovata [Benn.])
ditambahkan 5 tetes asam asetat anhidrat dilakukan pengocokan lalu ditambahkan
2 tetes H2SO4 pekat dan dilakukan pengocokan. Hasil positif menunjukkan terjadi
perubahan warna menjadi hijau biru menandakan adanya steroid, sedangkan
warna merah menandakan adanya terpenoid. Uji ini menggunakan metode
Lieberman-Burchard (Harborne 1996).

Evaluasi Sediaan Eliksir Ekstrak Etanol Daun Pelawan

Eliksir ekstrak etanol daun pelawan (EEEDP) dibuat dalam tiga formula
yaitu A, B dan C dengan komposisi etanol 70% yang berbeda-beda. Komposisi
etanol 70% pada formula A sebanyak 5% (12 ml), formula B sebanyak 7.5% (18
ml) dan formula C sebanyak 10% (24 ml). Formulasi dalam pembuatan eliksir
menggunakan formulasi menurut Wientarsih et al. (2008) (Tabel 1).

Tabel 1 Formulasi sediaan eliksir ekstrak daun pelawan


Bahan-bahan Formula
A B C
Ekstrak daun pelawan 4480 mg 4480 mg 4480 mg
Propilen glikol 19.2 ml 19.2 ml 19.2 ml
Etanol 70% 12 ml 18 ml 24 ml
Sorbitol cair 144 ml 144 ml 144 ml
Gliserin 4.8 ml 4.8 ml 4.8 ml
Nipagin* 5 ml 5 ml 5 ml
Ol. Menthapip secukupnya secukupnya secukupnya
Tambahan aquades hingga+ 240 ml+ 240 ml+ 240 ml+
+
Keterangan: Perhitungan volume air dilakukan setelah seluruh jumlah formula dalam bentuk
cair dihitung.
* Konsentrasi 0.2% nipagin.
14

Ekstrak kental daun pelawan dilarutkan pada campuran (pelarut air-etanol-


propilen glikol) tersebut hingga larut, lalu ditambahkan sorbitol dan digerus
kembali hingga homogeni. Larutan nipagin ditambahkan dan diaduk selama 1
menit, kemudian ditambahkan 2 tetes oleum menthae piperatae dan diaduk
kembali hingga homogen. Larutan eliksir tersebut dimasukan ke dalam gelas ukur
yang telah ditera 240 ml dan ditambahkan air hingga tanda batasnya (Wientarsih
et al. 2008).
Pengujian stabilitas eliksir dilakukan dengan cara menyimpan eliksir pada
suhu kamar (±25°C) selama 8 minggu. Pengujian stabilitas yang dilakukan
meliputi uji organoleptik, bobot jenis, viskositas, derajat keasaman (pH) dan uji
hedonik (tinggat kesukaan).

Uji organoleptik (penampilan sediaan)


Penentuan organoleptik menggunakan pancaindera untuk mendeskripsikan
bentuk, warna, bau/aroma dan rasa. Sediaan eliksir ekstrak etanol daun pelawan
diamati bentuk, warna, bau/aroma dan rasanya. Penentuan organoleptis ini
dilakukan setiap 1 kali dalam seminggu pada rentang waktu selama 2 bulan yang
disimpan pada suhu kamar (Depkes 2000).

Bobot jenis
Bobot jenis sediaan EEEDP ditentukan menggunakan piknometer 10 ml.
Bobot piknometer kosong dan bobot piknometer isi EEEDP ditimbang hingga
konstan. Berat piknometer isi EEEDP dikurangi berat piknometer kosong
merupakan massa zat cair atau masaa EEEDP. Berat jenis didapat dengan
membagi massa zat cair dengan volume piknometer (Depkes 2000). Pengukuran
di awal (minggu ke 0) dan akhir (minggu ke 8).

Viskositas
Viskositas sediaan EEEDP ditentukan menggunakan alat viskometer TV-10
Toki Sangyo Co.LTD dengan nomor spindel M2, nomor cord 21 dan kecepatan
100 rpm pada suhu kamar. Penentuan viskositas dilakukan sebanyak 2 kali
sebagai presisi untuk reprodusibilitas pengukuran yaitu pada awal (minggu ke-0)
dan akhir (minggu ke-8) penyimpanan sediaan pada rentang waktu selama 2 bulan
yang disimpan pada suhu kamar. Viskositas dalam satuan centipoise (cp) (1
centipoise = 0.01 poise).

Derajat keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) sediaan EEEDP diukur menggunakan pH meter
Hanna instruments HI 2211. Pemeriksaan pH dilakukan setiap minggu selama
penyimpanan sediaan pada rentang waktu 2 bulan yang disimpan pada suhu
kamar.

Uji hedonik
Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen
terhadap sediaan eliksir yang telah dibuat dengan mengisi kuisoiner (lampiran 4).
Uji meliputi warna, aroma dan rasa oleh 10 orang panelis berusia 17 hingga 30
tahun, berjenis kelamin pria maupun wanita. Skala hedonik ditentukan dari nilai 6
15

(sangat suka), 5 (suka), 4 (agak suka), 3 (netral), 2 (tidak suka) dan 1 (sangat tidak
suka).

Uji Kelarutan Kalsium Oksalat secara In Vitro dan In Vivo

Uji in vitro
Pengujian secara in vitro dilakukan dengan dua uji meliputi uji kelarutan
dengan perendaman padatan artifisial kalsium oksalat dan uji kelarutan kalsium
menggunakan AAS (atomic absorption spectroscopy).

- Pembuatan artifisial kalsium oksalat


Sebanyak 100 gr kalsium hidroksida (Ca[OH]2) dilarutkan dalam 500 ml
akuades dan 200 gr asam oksalat (H2C2O4) dilarutkan dalam 500 ml akuades, lalu
diaduk. Larutan kalsium hidroksida dicampurkan dengan larutan asam oksalat
sehingga terbentuk endapan kalsium oksalat. Endapan disaring, filtrat dibuang dan
endapan kalsium oksalat dikeringkan anginkan hingga kering sehingga berbentuk
padat sebagai batu artifisial kalsium oksalat. Padatan kalsium oksalat digerus
dalam mortar porselen. Proses pembuatan artifisial kalsium oksalat menggunakan
prinsip kesetimbangan asam basa.
- Uji kelarutan dengan perendaman padatan kalsium oksalat
Sebanyak 3 gr padatan kalsium oksalat direndam dengan formula EEEDP
dalam cawan dan akuades hingga terendam. Waktu penghancuran padatan
kalsium oksalat dihitung persatuan waktu, sehingga diperoleh waktu tercepat
dalam penghancuran kalsium oksalat.

- Uji kelarutan kalsium menggunakan AAS (atomic absorption spectroscopy)


Sebanyak 100 mg serbuk artifisial kalsium oksalat diinkubasi dalam 30 ml
formula EEEDP pada suhu 37°C selama 3 jam. Larutan hasil perendaman disaring
menggunakan kertas saring hingga diperoleh filtrat. Filtrat yang diperoleh
dihitung kadar kalsiumnya menggunakan spektrofotometer serapan atom pada
panjang gelombang (λ) = 422.7 nm untuk analisis kalsium. Kadar Ca terlarut
dihitung menggunakan rumus:

Kadar Ca terlarut = kadar Ca sesudah – kadar Ca sebelum

Uji in vivo
Pengujian secara in vivo dilakukan menggunakan hewan coba tikus putih
galur Spraque dawley sehat yang berumur 2 hingga 3 bulan dengan berat 250
hingga 300 gr. Tiga puluh ekor tikus putih jantan Spraque dawley diaklimatisasi
selama 14 hari. Tikus diberi anthelmitik dan antibiotik. Anthelmitik ivermectin
(0.2 mg/kg) antibiotik oxytetracycline LA (6-10 mg/kg) diberikan secara intra
muskular (IM). Tikus diinduksi dengan larutan inducer yaitu campuran etilen
glikol 0.75% dan amonium klorida 2% sebagai pengganti air minum secara ad
libitum (Christina dan Muthumani 2013; Jagannath et al. 2015). Hewan coba yang
digunakan sebanyak 30 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok masing-masing 6
ekor tiap kelompok (Tabel 2).
16

Tabel 2 Kelompok perlakuan uji in vivo


Kelompok Perlakuan
KO Air minum ad libitum
KN Inducer ad libitum
P0 Inducer CaOx ad libitum + Batugin Elixir 5.4 mg/200 BB
P1 Inducer CaOx ad libitum + EEEDP 100 mg/kg BB
P2 Inducer CaOx ad libitum + EEEDP 200 mg/kg BB
Keterangan: KO (kontrol tanpa perlakuan), KN (kontrol negatif), P0, P1, P2 (kelompok
perlakuan eliksir).

Pemeriksaan urin
Urin tikus dikoleksi menggunakan kandang metabolik pada hari 14 dan 28.
Urinalisis menggunakan strip test mendeteksi leukosit, eritrosit, nitrit, protein,
berat jenis, pH, glukosa, bilirubin, keton, urobilinogen (Bartges et al. 2011, Turk
et al. 2015). Pengamatan kristal dalam urin menggunakan metode natif untuk
sedimentasi urin yang diamati secara mikroskopis.
Urin tikus yang telah dikoleksi, disentrifus selama 10 menit dan endapan
dengan supernatan dipisah. Jenis dan jumlah kristal diidentifikasi dan dihitung
menggunakan mikroskop cahaya Olympus. Tingkat keparahan kristalografi dinilai
berdasarkan metode yang dilakukan oleh Fan et al. (1999) dan Yousofy et al.
(2017) (Tabel 3).

Tabel 3 Tingkat keparahan kristalografi


Nilai Jumlah kristal / HPF (400X)
- Tidak ada kristal
+ 1 sampai 5 kristal
++ 6 sampai 20 kristal
+++ > 20 kristal
Keterangan : (-) tidak ada kristal, (+) ada kristal, HPF (high power field)

Analisis data

Data dianalisis dengan SPSS ver 21 meliputi kadar kalsium terlarut dan
bobot badan tikus. Analisis data urinalisis menggunakan metode deskriptif
kualitatif dengan hasil yang bersifat semikuantitatif.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Daun Pelawan

Determinasi Tanaman Pelawan


Hasil determinasi dengan nomor herbarium 2149/IPH.1.01/If.07/X/2016
menunjukkan bahwa sampel yang digunakan adalah tanaman pelawan
(Tristaniopsis obovata [Benn.]) famili Myrtaceae.
17

Rendemen Ekstrak Etanol Daun Pelawan


Rendemen ekstrak adalah perbandingan berat ekstrak yang diperoleh setelah
proses pemekatan ekstrak dengan berat simplisia awal (Depkes 2000; Isnawati et
al. 2006). Penetapan rendemen bertujuan untuk mengetahui jumlah simplisia yang
dibutuhkan dalam pembuatan sejumlah ekstrak kental tertentu, sehingga diketahui
persentase bahan aktif yang terekstraksi (Isnawati et al. 2006). Sebanyak 600 gr
serbuk simplisia daun pelawan diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol
70% menghasilkan ekstrak kental dalam bentuk serbuk sebanyak 174.8 gr
(29.13%). Tujuan dari ekstraksi adalah untuk memisahkan senyawa bioaktif yang
terkandung di dalam tanaman dengan menariknya menggunakan pelarut tertentu
(Depkes 2000).
Prosedur ekstraksi dengan metode maserasi bekerja berdasarkan
kesetimbangan antara zat aktif dengan pelarut, dimana akan berhenti ketika
distribusi zat aktif sudah konstan. Ukuran serbuk simplisia yang semakin kecil
akan memperbesar luas permukaan serbuk bersentuhan dengan cairan penyari saat
proses ekstraksi (Sapri et al. 2014).

Parameter Standarisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Pelawan


Pemeriksaan standarisasi dilakukan agar memenuhi persyaratan monografi
bahan baku (simplisia) serta beberapa parameter standar umum lainnya dalam
pengembangan obat tradisional (Depkes 1985). Standarisasi bertujuan untuk
mendapatkan bahan baku seragam sehingga dapat menjamin efek farmakologi
(kandungan zat aktif) tanaman yang akan digunakan (Isnawati et al. 2004;
Isnawati et al. 2006). Berdasarkan hasil pemeriksaan standarisasi menunjukkan
simplisia dan ekstrak etanol daun pelawan yang digunakan memenuhi persyaratan
MMI (Materia Medika Indonesia) (Tabel 4).

Tabel 4 Pemeriksaan standarisasi simplisia dan ekstrak etanol daun pelawan


No Jenis Pemeriksaan Sampel Hasil Persyaratan MMI
Standarisasi Non Spesifik
1 Kadar air Simplisia 13.11 % ≤ 10.00 *
2 Kadar abu Simplisia 3.35 % ≤ 10.00
3 Kadar abu tak larut asam Simplisia 0.54 % ≤ 2.60
Standarisasi Spesifik
1 Kadar sari larut air Ekstrak 45.48 % ≥ 18.00
2 Kadar sari larut etanol Ekstrak 32.11 % ≥ 6.30
3 Organoleptik Ekstrak Bentuk : serbuk
Bau : khas/aromatis
Rasa : pahit/kelat
Warna : coklat kehitaman
Keterangan : *Kepmenkes RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 MMI (Materia Medika Indonesia)

Nilai standarisasi simplisia daun pelawan yang dikeringkan memenuhi


persyaratan MMI, kecuali kadar air yaitu 13.11%. Hasil uji kadar air sedikit di
atas kadar air yang dipersyaratkan MMI yaitu ≤10.00%. Kadar air di bawah
10.00% bertujuan untuk menghindari terjadinya kerusakan simplisia karena
mikroba. Simplisia yang memiliki kadar air di atas standar dapat berubah secara
kimia maupun fisik jika disimpan dalam waktu lama (Manoi 2006). Simplisia
18

yang digunakan pada penelitian ini langsung diekstraksi setelah selesai proses
pengeringan, sehingga memperpendek waktu penyimpanan dan meminimalkan
terjadinya kerusakan karena mikroba. Nilai kadar abu total dan abu tidak larut
asam simplisia daun pelawan yang didapat yaitu 3.35% dan 0.54%. Hasil uji
kadar abu dan abu tidak larut asam berada di bawah batas kadar yang
dipersyaratkan MMI yaitu ≤10.00% dan ≤2.60%. Pemeriksaan ini harus
menghasilkan nilai rendah karena uji ini menunjukkan indikator adanya cemaran
anorganik (logam) yang tidak mudah hilang pada suhu tinggi (Manoi 2006). Nilai
kadar abu dan kadar abu tak larut asam di bawah standar menunjukkan proses
pengeringan dan pencucian yang dilakukan sudah cukup baik.
Parameter kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol merupakan
indikator banyaknya zat khasiat yang dapat tersari oleh pelarut air dan etanol.
Kadar sari larut air ekstrak yang didapat yaitu 45.48% dan kadar sari larut etanol
yaitu 32.11%. Kedua kadar sari tersebut sudah memenuhi standar MMI yaitu
kadar sari larut air ≥18.00% dan kadar sari larut etanol ≥6.30%. Persentase kadar
sari larut air dan kadar sari larut etanol menunjukkan persentase kandungan bahan
aktif dalam ekstrak. Kadar sari larut air lebih tinggi daripada kadar sari larut
etanol yang menunjukkan bahwa ekstrak lebih banyak larut di dalam air
dibandingkan etanol. Kadar sari air dan etanol merupakan faktor utama yang
menentukan mutu simplisia memiliki kandungan zat aktif. Semua parameter
standarisasi yang dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak bertujuan agar
diperoleh produk obat tradisional yang bermutu, aman dan bermanfaat (Isnawati
et al. 2004).

Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi golongan senyawa
kimia (secara kualitatif) menggunakan reaksi kimia berdasarkan visualisasi warna
dan pengendapan. Uji fitokimia meliputi uji flavonoid, alkaloid, tanin, saponin,
quinon, steroid dan triterpenoid (Tabel 5).

Tabel 5 Pengujian fitokimia ekstrak etanol daun pelawan


Golongan Keterangan
No. Hasil
senyawa (visualisasi warna)
1 Flavonoid Positif Terbentuk warna jingga (orange)
Negatif Tidak terbentuk endapan warna coklat
2 Alkaloid Negatif Tidak terbentuk endapan warna putih
Negatif Tidak terbentuk endapan warna jingga
3 Tanin Positif Terbentuk warna hitam
4 Saponin Positif Terbentuk busa
5 Quinon Negatif Tidak terbentuk warna merah
6 Steroid Positif Terbentuk warna hijau/biru
7 Triterpenoid Negatif Tidak terbentuk warna merah/ungu
Keterangan: Positif (+) ada kandungan, negatif (-) tidak ada kandungan

Ekstrak etanol daun pelawan mengandung flavonoid, tanin, saponin dan


steroid. Flavonoid dan tanin merupakan senyawa fenolik. Flavonoid bersifat larut
air dan memiliki sistem aromatik terkonjugasi yang umumnya berada pada
tanaman sebagai glikosida (Harborne 1973). Flavonoid diketahui memiliki
19

aktivitas antioksidan yang berperan sebagai pencegah kanker, melindungi struktur


sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi serta sebagai antibiotik.
Flavonoid juga dapat merangsang pembentukan kolagen, melindungi pembuluh
darah dan antikarsinogenik (Sabir 2003). Tanin merupakan senyawa polifenol
yang memiliki gugus hidroksil (Sangi et al. 2008). Saponin banyak ditemukan di
dalam tumbuh-tumbuhan. Saponin merupakan senyawa golongan fenolik yang
berfungsi sebagai antioksidan, sehingga mampu menghambat radikal bebas.
Saponin umumnya dalam bentuk glikosida sehingga cenderung bersifat polar
(Harbone 1987; Sangi et al. 2008). Steroid adalah senyawa yang bersifat
nonpolar. Biasanya senyawa non polar akan tertarik oleh pelarut yang bersifat
nonpolar juga yaitu like dissolved like, tetapi senyawa steroid pada uji ini positif.
Hal ini disebabkan karena pelarut etanol 70% yang digunakan bersifat polar,
dimana pelarut polar memiliki momen dipol yang besar sehingga senyawa
nonpolar dapat larut atau sedikit larut dalam pelarut polar. Steroid memiliki
manfaat sebagai antibakteri. Senyawa-senyawa yang memiliki potensi sebagai
antioksidan mampu menangkal radikal bebas adalah flavonoid, fenolik, alkaloid,
saponin, steroid dan triterpenoid (Firdiyani et al. 2015).
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil skrining fitokimia adalah
metode dan pelarut yang digunakan saat ekstraksi. Pemilihan pelarut yang tepat
menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan proses ekstraksi
(Azis et al. 2014), karena pemilihan pelarut dan metode ekstraksi tergantung pada
sifat bahan dan senyawa yang akan diisolasi (Mukhriani 2014). Etanol adalah
pelarut yang memiliki polaritas yang tinggi dengan titik didih yang rendah,
cenderung aman, tidak beracun dan tidak berbahaya (Azis et al. 2014). Pelarut
etanol memiliki dua bagian yang berbeda yaitu gugus –OH yang bersifat polar dan
gugus CH2CH3 yang bersifat nonpolar. Etanol dengan konsentrasi 70% sangat
efektif untuk menghasilkan bahan aktif yang optimal. Hal ini disebabkan karena
hanya sedikit zat pengganggu yang ikut pelarut ekstraksi (Azis et al. 2014).
Pelarut etanol dipilih karena etanol adalah pelarut universal yang diperbolehkan
untuk ekstraksi selain air atau campuran etanol-air (Depkes 2000). Fitokimia
ekstrak metanol daun pelawan yang dikoleksi dari hutan kerangas, Kalimantan
Selatan oleh Kissinger et al. (2012) mengandung flavonoid, phenolhidroquinon,
steroid, triterpenoid, tanin dan saponin. Pada penelitian ini, hasil skrining
fitokimia tidak menemukan kandungan phenolhidroquinon dan triterpenoid.
Perbedaan lokasi koleksi sampel juga dapat mempengaruhi hasil skrining
fitokimia. Hal tersebut disebabkan karena kandungan kimia tanaman yang
diperoleh dari hasil pertanian atau tumbuh liar tidak dapat dijamin selalu konstan,
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti variabel bibit, tempat tumbuh,
iklim dan kondisi (umur dan cara panen) (Depkes 1985; Isnawati et al. 2006).

Evaluasi Sediaan Eliksir Ekstrak Etanol Daun Pelawan

Uji Organoleptik
Uji organoleptik adalah uji menggunakan indera atau sensorik yang
mengamati tekstur, warna, bentuk aroma dan rasa suatu produk. Pengujian ini
berperan penting dalam pengembangan produk karena menilai adanya perubahan
atau tidak dalam produk atau bahan-bahan formulasi (Ayustaningwarno 2014).
20

Organoleptis dari ketiga formula EEEDP mulai mengalami perubahan pada


minggu ke-7 dan ke-8 pada parameter aroma dan rasa (Tabel 6).

Tabel 6 Uji organoleptis formula EEEDP


Waktu penyimpanan (minggu ke-)
Organoleptis Formula
1 2 3 4 5 6 7 8
Bentuk A - - - - - - - -
B - - - - - - - -
C - - - - - - - -
Bau/aroma A - - - - - - + +
B - - - - - - + +
C - - - - - - + +
Rasa A - - - - - - - +
B - - - - - - - +
C - - - - - - - +
Warna A - - - - - - - -
B - - - - - - - -
C - - - - - - - -
Keterangan: (+) ada perubahan, (-) tidak ada perubahan. Formula A (5% etanol 70%), Formula
B (7.5% etanol 70%), Formula C (10% etanol 70%).

Pengamatan oganoleptis selama 8 minggu penyimpanan formula EEEDP


tetap berbentuk cair/sedikit kental dan tidak ada endapan, bau khas/aromatis dan
ada aroma mint, manis sedikit kelat dan berwarna coklat kehitaman (Gambar 5).
Parameter bentuk dan warna tetap stabil selama 8 minggu penyimpanan.
Penggunaan gliserin, sorbitol, propilen glikol dalam eliksir memberikan efek
pelarut dari pembawa hidroalkohol, membantu kelarutan zat terlarut, dan
meningkatkan kestabilan sediaan (Ansel 2011). Etanol berfungsi meningkatkan
kelarutan obat (Depkes 1979) sehingga dapat meminimalkan atau memperlambat
sedimentasi.

A B C

Gambar 5 Formula sediaan eliksir ekstrak etanol daun pelawan. A. Formula A


(5% etanol 70%), B. Formula B (7.5% etanol 70%), C. Formula C
(10% etanol 70%).
Perubahan aroma pada sediaan disebabkan karena kandungan oleum
menthae piperatea yang mulai menguap. Bahan tersebut merupakan minyak yang
bersifat mudah menguap (Laksana et al. 2017). Rasa manis sediaan diperoleh dari
21

sorbitol yang berfungsi sebagai zat pemanis untuk menutupi rasa pahit dari bahan
ekstrak. Menurut Harbone (1987) senyawa metabolit sekunder yang menyebabkan
adanya rasa pahit dan sepat adalah senyawa flavonoid, alkaloid, triterpenoid, dan
tanin. Beberapa perubahan organoleptis sediaan EEEDP disebabkan karena salah
satu bahan formulasi mengandung etanol yang mudah menguap oleh adanya udara
dan sinar. Oleh karena itu dianjurkan untuk menyimpan dalam wadah tertutup
rapat dan tahan cahaya (Ansel 2011).

Bobot jenis
Penentuan bobot jenis dilakukan untuk menggambarkan besarnya massa per
satuan volume, sehingga dapat diketahui kemurnian suatu zat (Depkes 2000).
Bobot jenis dari ketiga formula EEEDP mengalami peningkatan setelah
penyimpanan selama 8 minggu (Tabel 7).

Tabel 7 Nilai bobot jenis formula EEEDP


Formula (gr/ml)
Waktu
A B C
Awal (minggu ke-0) 1.22795 1.22618 1.22543
Akhir (minggu ke-8) 1.23891 1.23379 1.23351
Nilai selisih 0.01096 0.00761 0.00808
Keterangan: Formula A (5% etanol 70%), Formula B (7.5% etanol 70%), Formula C (10%
etanol 70%).

Pengamatan awal dan akhir menunjukkan bahwa formula B lebih stabil


dibandingkan formula A dan C dengan nilai selisih yang paling rendah. Perubahan
dari ketiga formula EEEDP masih dalam rentang persyaratan bobot jenis yang
ditentukan oleh Depkes (1995) yaitu 1.21 hingga 1.23.

1,24
Bobot jenis (gr/ml)

1,235
1,23
1,225 Minggu ke-0
1,22 Minggu ke-8
1,215
Formula A Formula B Formula C
Formula EEEDP
Gambar 6 Pengaruh jumlah etanol dan air terhadap nilat berat jenis EEEDP
Pengamatan nilai bobot jenis formula EEEDP mengalami peningkatan nilai
bobot jenis. Formula yang mengandung jumlah etanol lebih banyak memiliki nilai
bobot jenis yang lebih rendah karena mengandung air yang lebih sedikit (Gambar
6). Formula A mengandung etanol lebih sedikit memiliki bobot jenis yang paling
tinggi, sedangkan formula C mengandung etanol lebih banyak memiliki bobot
jenis yang paling rendah. Nilai bobot jenis sirup pada penelitian Aryani dan
Winata (2011) menunjukkan bahwa formula yang mengandung air lebih banyak
memiliki nilai bobot jenis yang lebih besar. Nilai bobot jenis dapat dipengaruhi
oleh bobot jenis komponen, suhu dan tekanan
22

Viskositas
Penentuan viskositas atau kekentalan dilakukan untuk mengetahui
kemudahan suatu molekul bergerak karena adanya gesekan antara lapisan material
(Ningrum dan Toifur 2014). Viskositas dari ketiga formula EEEDP mengalami
peningkatan setelah penyimpanan selama 8 minggu (Tabel 8).

Tabel 8 Nilai viskositas formula EEEDP


Formula (cp)
Waktu
A B C
Awal (minggu ke 0) 20.53 20.33 21.73
Akhir (minggu ke 8) 22.20 22.47 22.43
Nilai selisih 1.67 2.14 0.70
Keterangan: Formula A (5% etanol 70%), Formula B (7.5% etanol 70%), Formula C (10%
etanol 70%).

Pengamatan nilai viskositas formula EEEDP menunjukkan terjadinya


peningkatan nilai viskositas bahwa konsistensi dari ketiga formula semakin
kental. Pengamatan awal dan akhir menunjukkan bahwa formula C lebih stabil
dibandingkan formula A dan B dengan nilai selisih yang paling rendah. Menurut
Aryani dan Winata (2011), suhu penyimpanan dapat mempengaruhi viskositas
karena terjadi pembekuan pada suhu rendah. Semakin rendah suhu, maka semakin
tinggi nilai viskositas. Viskositas air dapat sebagai pembanding bahwa suhu
memiliki pengaruh terhadap nilai viskositas yaitu pada suhu 20°C 1.0050 cp dan
suhu 30°C 0.8007 cp (Depkes 1979). Perubahan nilai viskositas dapat
mengindikasikan adanya perubahan struktur dan ikatan antar molekul.
Peningkatan viskositas disebabkan karena meningkatnya konsentrasi partikel, sifat
alir bahan dan densitas cairan (Holmberg et al. 2002).

Derajat keasaman (pH)


Pemeriksaan derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter
stabilitas yang penting karena nilai pH stabil menunjukkan bahwa proses
distribusi bahan dasar dalam sediaan merata (Depkes 1995). Nilai pH dari ketiga
formula EEEDP mengalami penurunan setelah penyimpanan selama 8 minggu
(Gambar 7).

5
4,8
4,6 Formula A
pH

4,4 Formula B
4,2 Formula C
4
1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengamatan minggu ke-
Gambar 7 Pengaruh jumlah etanol terhadap derajat keasaman (pH) EEEDP
Pengamatan pH formula EEEDP selama 8 minggu menunjukkan perubahan
yang relatif stabil, meskipun dua angka belakang koma cenderung mengalami
23

penurunan. Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa pH formula EEEDP semakin


menurun dari minggu ke-1 hingga ke-8. Lama waktu penyimpanan mempengaruhi
pH formula Pengamatan pH dari minggu ke-1 hingga ke-8 menunjukkan bahwa
formula B lebih stabil dibandingkan formula A dan B. Perubahan dari ketiga
formula EEEDP masih dalam rentang persyaratan pH yang ditentukan yaitu 3.8
hingga 6.1 (Depkes 2014). Menurut Aryani dan Winata (2011), suhu
penyimpanan mempengaruhi nilai pH.

Uji Hedonik
Penilaian konsumen pada uji hedonik menjadi faktor yang mempengaruhi
kesukaan konsumen terhadap suatu produk farmasi. Tingkat kesukaan konsumen
dapat diketahui dengan pengujian untuk warna, aroma dan rasa dari produk,
sehingga menentukan penerimaan produk. Persentase penilaian panelis terhadap
ketiga formula untuk parameter warna, aroma dan rasa (Gambar 8a, 8b, 8c).

100 70 80
Persentase

40 40
50 20 20
(%)

0 0 10 0 0 0 0 10 10 0 0 0
0
Formula A Formula B Formula C
(a) Parameter Warna

100 70 70
Persentase

40 30
50 20 20 20 20
(%)

0 0 0 0 0 10 0 0 0 0
0
Formula A Formula B Formula C
(b) Parameter Aroma

100 60
Persentase

50 50 40
50 20 30 20
(%)

0 0 0 0 0 10 10 0 0 0 10
0
Formula A Formula B Formula C
(c) Parameter Rasa

Gambar 8 Diagram data uji hedonik terhadap tiga formula EEEDP.


■ Sangat tidak suka, ■ Tidak suka, ■ Netral, ■ Agak suka, ■ Suka
dan ■ Sangat suka.
Berdasarkan gambar diagram di atas menunjukkan parameter warna formula
B memiliki persentase tertinggi dibandingkan formula A dan C yaitu 80% dengan
kategori penilaian suka. Pada parameter aroma formula B dan C memiliki
persentase tertinggi yang sama yaitu 70% dengan kategori penilaian suka.
Persentase pada parameter rasa formula B memiliki persentase tertinggi yaitu 60%
dengan kategori penilaian suka. Persentase tertinggi dari ketiga formula dengan
tiga parameter penilaian mendapati kategori penilaian agak suka dan suka.
Penilaian tersebut menggambarkan bahwa ketiga formula EEEDP sebagian besar
disukai oleh semua panelis, meskipun penilaian tersebut berbeda-beda setiap
inidividu.
24

Pengamatan organoleptik, bobot jenis, viskositas, pH dan hedonik


merupakan parameter kestabilan fisika kimia sediaan farmasi. Ketiga formula
EEEDP menunjukkan bahwa formula masih dalam kondisi stabil, terutama
formula B. Formula tersebut memberikan perubahan yang paling sedikit. Zat aktif
dapat terurai melalui reaksi kimia seperti oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu
(oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida (turunnya pH larutan), sesepora ion
logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi
penyebab atau mempercepat reaksi kimia. Stabilitas kimia obat menentukan lama
waktu obat dalam mempertahankan integritas kimia dan potensinya (Attwood dan
Florence 2011).

Uji Kelarutan Kalsium Oksalat secara In Vitro dan In Vivo

Uji in vitro
Uji kelarutan kalsium (Ca) artifisial kalsium oksalat dilakukan terhadap tiga
formula EEEDP (formula A, B dan C) dan akuades sebagai pembanding. Uji
kelarutan fisik kalsium oksalat menunjukkan bahwa perendaman kompakan
artifisial kalsium oksalat hancur secara fisik (Gambar 9).

Gambar 9 Uji kelarutan artifisial kalsium oksalat dengan akuades dan formula
EEEDP. Ketengan: Aq. Akuades, FA. Formula A (5% etanol 70%),
FB. Formula B (7.5% etanol 70%), FC. Formula C (10% etanol
70%).
Lama perendaman menunjukkan durasi waktu yang dibutuhkan eliksir
untuk menghancurkan kompakan kalsium oksalat (Tabel 9). Formula B
melarutkan kalsium oksalat lebih cepat dibandingkan formula A, C dan akuades.
Formula B mampu melarutkan artifisial kalsium oksalat selama 1 jam 13 menit
45.4 detik.
25

Tabel 9 Rata-rata waktu larut artifisial kalsium oksalat


Formula Waktu
Akuades 2:27:11.2
Formula A 1:19:18.3
Formula B 1:13:45.4
Formula C 1:18:18.6
Keterangan: Formula A (5% etanol 70%), Formula B (7.5% etanol 70%), Formula C
(10% etanol 70%).

Aktivitas kelarutan kalsium oksalat menggunakan AAS diinkubasi pada


suhu 37°C selama 3 jam agar kondisi pengujian menyesuaikan suhu tubuh.
Pengocokan dilakukan dengan tujuan agar artifisial kalsium oksalat mengalami
pergerakan seperti di dalam ginjal. Kadar Ca terlarut setelah perlakuan
(penambahan serbuk kalsium oksalat) menunjukkan nilai yang signifikan antara
blanko dengan formula A, B dan C (Tabel 10). Kadar Ca terlarut antara formula
EEEDP menunjukkan tidak ada signifikan.

Tabel 10 Rata-rata kadar kalsium terlarut dalam EEEDP


Kadar Ca sebelum Kadar Ca sesudah Kadar Ca
Formula
perlakuan (ppm) perlakuan (ppm) terlarut (ppm)
Akuades -0.621 4.978b 5.599
A 32.729 184.153a 151.425
B 31.271 200.247a 168.976
C 30.993 144.318a 113.325
Keterangan: Formula A (5% etanol 70%), Formula B (7.5% etanol 70%), Formula C (10%
etanol 70%).
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata
(p<0.05).

Kadar Ca terlarut setelah perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan


sebelum perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa formula EEEDP mampu
melarutkan kalsium. Berdasarkan nilai selisih Ca terlarut menunjukkan bahwa Ca
lebih banyak terlarut dalam formula B yaitu sebesar 168.976 ppm. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa formula yang mengandung etanol lebih mampu melarutkan
Ca lebih banyak. Formula EEEDP mampu melarutkan kalsium oksalat secara fisik
dan kimia. Kandungan flavonoid pada formula EEEDP berperan dalam kelarutan
kalsium oksalat. Gugus –OH pada senyawa flavonoid dapat berikatan dengan
kalsium sehingga membentuk senyawa komplek Ca-flavonoid yang mudah larut
air. Berdasarkan uji in vitro diperoleh formula B sebagai formula terbaik dengan
kandungan 7.5 % etanol 70%. Pada kadar tersebut etanol 70% mampu melarutkan
kandungan zat aktif paling optimal.

Uji in vivo
Hasil pengamatan terhadap bobot badan dan pemeriksaan urinalisis dapat
memberikan gambaran fisiologis dan patologis dari hewan coba tikus putih jantan
Spraque dawley. Bobot badan diamati dari H-0, H-14 dan H-28. Pemeriksaan
urinalisis dilakukan pada H-14 dan H-28.
26

Bobot Badan Tikus


Hasil pengamatan terhadap bobot badan tikus putih jantan Spraque dawley
selama masa perlakuan menunjukkan adanya perubahan baik terjadi kenaikan dan
penurunan bobot badan dari setiap kelompok tikus. Bobot badan tikus pada awal
percobaan (H-0) menunjukkan tidak signifikan antara kelompok perlakuan.
Perlakuan selama 14 hari menunjukkan bobot badan yang signifikan antara
kelompok KO dengan kelompok P2 (Tabel 11). Perlakuan selama 28 hari
menunjukkan bobot badan tidak signifikan antara kelompok KO dengan
kelompok KN, P0, P1 dan P2.

Tabel 11 Perubahan bobot badan sebelum dan setelah perlakuan


Kelompok Sebelum Hari ke 14 hari Hari ke 28 hari
Rerata ± sd (gr) Rerata ± sd (gr) Rerata ± sd (gr)
KO 293.50 ± 15.63a 319.00 ± 19.85bc 329.70 ± 23.80abc
KN 300.00 ± 9.53a 319.20 ± 17.39bc 347.70 ± 18.82c
P0 302.50 ± 16.99a 327.70 ± 8.73c 337.30 ± 10.79bc
a ab
P1 308.17 ± 10.98 297.00 ± 6.99 315.70 ± 2.31ab
P2 298.17 ± 14.66a 275.20 ± 31.98a 303.30 ± 10.02a
Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0 (inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 g),
P1 (inducer + EEEDP 100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata
(p<0.05).

Bobot badan cenderung mengalami peningkatan pada semua kelompok


perlakuan, kecuali kelompok P1 dan P2 cenderung menurun (hari ke 28) namun
tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (Gambar 10).

60 47,7
Bobot badan (gr)

36,2 34,8
40 25,5 25,2
19,2
20 7,5 5,1 H-0 ke H-14
0
H-0 ke H-28
KO KN P0 P1 P2
-20 -11,2
-40 -23
Kelompok

Gambar 10 Perubahan bobot badan (Δ bobot badan) dari hari ke 0, 14 dan 28


Pemberian EEEDP sebesar 100 mg dan 200 mg menyebabkan penurunan
BB pada hari ke-14, namun mengalami peningkatan pada hari ke-28. Fan et al.
(1999) melaporkan bahwa pemberian etilen glikol bersamaan dengan amonium
klorida menyebabkan nafsu makan hewan menurun, dehidrasi, dan kehilangan
bobot badan setelah 4 sampai 5 hari perlakuan. Pengamatan pada penelitian ini
menunjukkan kelompok yang diberi campuran etilen glikol 0.75% dan amonium
klorida 2% mengalami peningkatan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol (KO). Penelitian orientasi batu ginjal kalsium oksalat yang
dilakukan Dharma et al. (2014) menunjukkan bahwa pada hari ke-8 dan ke-15
27

penginduksian terjadi peningkatan bobot ginjal pada hari ke-8 (10-20 mg) dan
hari ke-15 (30-50 mg)

Urinalisis
Urinalisis memberikan informasi tentang sistem kemih dan sistem tubuh
lainnya. Pemeriksaan urin menggunakan strip tes dapat dilakukan untuk berbagai
penyakit yang berkaitan dengan metabolisme karbohidrat, kesehatan saluran
urinari, fungsi ginjal dan hati, keseimbangan asam basa, dan banyak kondisi
kesehatan lainnya. Informasi yang relevan secara klinis dapat diperoleh dengan
menganalisis hasil gabungan parameter strip tes urinalisis (Siemens 2011).
Keadaan saluran urin diamati melalui pemeriksaan urin pada parameter pH
(derajat keasaman) dan SG (specific gravity) (Tabel 12 dan 13). Pengamatan nilai
pH urin dapat menggambarkan formasi terjadinya kristaluria dan mengindikasikan
keadaan seperti urolitiasis, infeksi saluran kemih atas maupun bawah (Stockhom
and Scott 2002).

Tabel 12 Pemeriksaan pH urin


Kelompok Waktu pengamatan hari ke-
14 28
KO 7.75 ± 0.987 9.00 ± 0.000
KN 7.67 ± 0.816 6.00 ± 0.000
P0 6.42 ± 0.801 6.67 ± 1.155
P1 6.50 ± 1.225 7.50 ± 1.500
P2 5.67 ± 0.516 6.50 ± 0.500
Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0 (inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 g),
P1 (inducer + EEEDP 100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).

Kelompok perlakuan P0, P1 dan P2 menggambarkan kondisi pH sedikit


asam pada pengamatan hari ke 14, namun pada hari ke 28 nilai pH sedikit
meningkat. Menurut Taconic Biosciences (2004), nilai pH urin normal pada tikus
putih jantan Spraque dawley yaitu 6.75±0.35 dengan keadaan sedikit asam. Nilai
pH merupakan salah satu faktor promotor terbentuknya kristaluria. Kalsium
oksalat terbentuk pada kisaran pH 5.0 hingga 6.5 (Kishore et al. 2013), pH urin <7
(Stockhom and Scott 2002). Pemberian EEEDP diasumsikan menyebabkan
pergeseran pH urin mendekati pH urin normal.

Tabel 13 Pemeriksaan berat jenis (spesific gravity) urin


Kelompok Waktu pengamatan hari ke-
14 28
KO 1.014 ± 0.007 1.012 ± 0.003
KN 1.014 ± 0.002 1.030 ± 0.000
P0 1.027 ± 0.005 1.027 ± 0.006
P1 1.027 ± 0.005 1.025 ± 0.005
P2 1.030 ± 0.000 1.030 ± 0.000
Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0 (inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 g),
P1 (inducer + EEEDP 100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).
28

Nilai SG menggambarkan perbandingan antara kandungan air dan substansi


dalam urin. Specific gravity berkaitan dengan status hidrasi individu. Semakin
tinggi nilai SG urin menunjukkan semakin pekatnya urin dan sebaliknya
(Simerville et al. 2005). Nilai SG menggambarkan kemampuan ginjal dalam
memekatkan dan mengencerkan urin. Nilai SG urin normal pada tikus putih jantan
Spraque dawley yaitu 1.0195±0.0068 (Taconic Biosciences 2004), sedangkan
menurut Simerville et al. (2005) nilai SG urin normal dapat berkisar antara 1.003
hingga 1.030. Nilai SG yang kurang dari 1.010 menunjukkan hidrasi relatif dan
lebih besar dari 1.020 menunjukkan dehidrasi relatif. Gambaran nilai SG urin
pada kelompok yang diberi inducer dan perlakuan menunjukkan bahwa urin
pekat, baik pada pengamatan pada hari ke 14 maupun 28. Hal ini disebabkan
karena adanya perbedaan komposisi kimia urin. Nilai SG tinggi dapat dikaitkan
dengan ditemukannya protein dan darah dalam urin.

Tabel 14 Pemeriksaan leukosit, protein dan darah


Parameter Pengamatan hari ke14
KO KN P0 P1 P2
Leukosit Neg. Neg. Neg. Neg. +1
Protein Neg. +2 +1 ± +1
Darah Neg. Neg. Neg. Neg. ±
Parameter Pengamatan hari ke 28
KO KN P0 P1 P2
Leukosit Neg. Neg. Neg. Neg. ±
Protein Neg. ± ± ± +1
Darah Neg. +1 +1 Neg. +1
Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0 (inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 g),
P1 (inducer + EEEDP 100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).
Leukosit (±)15, (+)70, (++)125, (+++) 500 Leu/µL; Protein (±) 15, (+) 30, (++)
100, (+++) 300, (++++) 2000 mg/dL (g/L); Darah (±), (+), (++), (+++), 5-10, 50
Ery/µL

Gambaran protein urin terdeteksi pada kelompok yang diberi inducer (etilen
glikol dan amonium klorida) (Tabel 14). Protein yang ditemukan di urin disebut
sebagai proteinuria. Proteinuria pada kelompok perlakuan dikaitkan dengan
hemoragi akibat adanya inflamasi yang disebabkan karena etilen glikol (EG) dan
amonium klorida (AC). Jumlah protein dalam urin yang paling tinggi ditemukan
pada kelompok KN yang tanpa diberi EEEDP. Kelompok P1 dan P2 yang diberi
EEEDP menunjukkan kondisi tidak adanya perubahan protein yang terdeteksi.
Temuan protein dalam urin dikaitkan dengan ditemukannya darah pada kelompok
yang juga diberi inducer (Tabel 14). Darah yang ditemukan di urin disebut
sebagai hematuria. Darah yang ditemukan dalam urin berasal dari saluran
urogenital yang dilalui urin pada proses urinasi. Kristal yang terbentuk
menyebabkan obstruksi vesica urinaria, luka pada uretra dan ureter sehingga
mengakibatkan terjadinya hematuria. Berdasarkan pemeriksaan strip tes
keberadaan kristal yang diinduksi oleh inducer menyebabkan terjadinya
proteinuria dan hematuria. Hal ini sejalan dengan Wu et al. (2017) yang
menyatakan bahwa pemberian etilen glikol sebagai penginduksi kristal kalsium
oksalat menyebabkan proteinuria dan hematuria.
29

Pada kondisi normal, protein dan darah pada tikus jantan Spraque dawley
seharusnya tidak ditemukan (negatif) (Taconic Biosciences 2014). Normalnya
protein di glomerulus mengalami filtrasi yang terbatas dan tidak dapat melewati
filter ginjal, sehingga urin primer hasil filtrasi glomerulus hampir bebas protein
(Mutschler 1999). Glomerulus biasanya tidak menyaring protein plasma besar
seperti albumin dan globulin, tetapi secara bebas menyaring protein yang lebih
kecil. Protein yang tersaring akan diserap kembali di tubulus proksimal ginjal,
kecuali ada peningkatan jumlah protein yang signifikan atau penurunan reabsorbsi
tubulus ginjal (Rizzi 2014).
Gambaran leukosit urin pada kelompok P2 mengalami penurunan pada
hari ke14 hingga ke-28 (Tabel 14). Leukosit yang dieksresikan dalam urin yaitu
leukosit granulosit (basofil, eosinofil dan neutrofil) yang terdeteksi pada reaksi
strip tes. Keberadaan leukosit di urin dapat mengindikasikan adanya inflamasi
pada saluran kemih eferen dan ginjal (Roche 2011).
Parameter urinalisis urobilinogen, bilirubin, nitrit dan glukosa tidak
ditemukan pada pengamatan hari ke-14 dan 28, namun terdeteksi adanya keton
(Tabel 15). Keberadaan urobilinogen dan bilirubin di urin dapat mendeteksi
kelainan pada hati, penyakit hemolitik dan sistem empedu (Rizzi 2014).
Berdasarkan pemeriksaan urin, urobilinogen dan bilirubin tidak ditemukan. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada gangguan pada hati dan sistem empedu tikus.

Tabel 15 Pemeriksaan urobilinogen, bilirubin, nitrit, keton dan glukosa


Parameter Pengamatan hari ke14
KO KN P0 P1 P2
Urobilinogen Neg. Neg. Neg. Neg. Neg.
Bilirubin Neg. Neg. Neg. Neg. Neg.
Nitrit Neg. Neg. Neg. Neg. Neg.
Keton Neg. ± Neg. ± ±
Glukosa Neg. Neg. Neg. Neg. Neg.
Parameter Pengamatan hari ke 28
KO KN P0 P1 P2
Urobilinogen Neg. Neg. Neg. Neg. Neg.
Bilirubin Neg. Neg. Neg. Neg. Neg.
Nitrit Neg. Neg. Neg. Neg. Neg.
Keton ± ± ± Neg. Neg.
Glukosa Neg. Neg. Neg. Neg. Neg.
Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0 (inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 g),
P1 (inducer + EEEDP 100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).
Urobilinogen 0.2(3.5), 1(17), 2(35), 4(70), 8(140), 12(200) mg/dL (µmol/L);
Bilirubin (+)1, (++)2, (+++)4 mg/dL (µmol/L); Nitrit (+); Keton (±) 5, (+) 15,
(++) 40, (+++) 80, (++++) 160 mg/dL (mmol/L); Glukosa (±)100, (+)250,
(++)500, (+++)1000, (++++)≥2000 mg/dL (mmol/L).

Pemeriksaan nitrit juga tidak ditemukan di dalam urin. Keberadaan nitrit di


dalam urin menunjukkan adanya kelompok bakteri penghasil nitrit seperti bakteri
gram negatif (Escherichia coli), namun tidak semua bakteri dapat menghasilkan
nitrit (Barratt 2007). Hal serupa menunjukkan bahwa keberadaan glukosa untuk
semua kelompok yaitu negatif. Pengujian glukosa dilakukan untuk
mengkonfirmasi berkembangnya diabetes melitus. Glukosa merupakan senyawa
30

penting yang berfungsi sebagai sumber energi. Glukosa tidak ditemukan dalam
urin normal karena glukosa direabsorbsi seluruhnya melalui transpor aktif di
sepanjang tubulus proksimal (Guyton 1997). Keberadaan glukosa di dalam urin
disebut glikosuria, namun tidak selalu menunjukkan kondisi abnormal (Barratt
2007).
Pemeriksaan keton menunjukkan negatif pada beberapa kelompok. Namun
terdapat beberapa individu yang memiliki keton di dalam urin dengan jumlah
yang sangat sedikit. Keberadaan keton disebabkan karena urin dikoleksi dalam
keadaan tikus puasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi urin mengandung
keton yaitu kekurangan kalori atau dalam kondisi kelaparan (Barratt 2007). Keton
merupakan produk akhir dari metabolisme lemak yang diproduksi ketika tubuh
dalam kondisi kelaparan atau kehabisan karbohidrat (butuh cadangan energi).
Lemak yang berada di dalam tubuh diubah menjadi asam lemak hingga senyawa
kimia terkecil yaitu keton. Secara normal, keton tidak ditemukan di dalam urin.
Pengujian keton berkaitan dengan kekurangan kalori (anoreksia, muntah
berkepanjangan, diare, demam, kelaparan dan diet), dimana ditemukannya keton
di dalam urin dapat berkaitan dengan diabetes melitus (Barratt 2007; Simerville et
al. 2015).
Pemberian EG 0.75% selama 28 hari dalam air minum dapat meningkatkan
konsentrasi oksalat urin yang secara signifikan menyebabkan pembentukan batu
ginjal terutama kalsium oksalat (Ghelani et al. 2016). Pemberian EG secara oral
berfungsi sebagai prekursor metabolik oksalat. Pemberian EG bersamaan dengan
AC dapat menginduksi suasana asam urin yang meningkatkan terjadinya proses
asidosis sehingga menginduksi peroksidasi lipid (Touhami et al. 2007), presipitasi
garam, hiperoksaluria, mendukung terjadi adhesi dan retensi kristal kalsium
oksalat di tubulus ginjal (Sailaja et al. 2011; Manimala et al. 2014).
Hiperoksaluria menjadi faktor resiko yang lebih signifikan dalam patogenesis batu
ginjal dibandingkan dengan hiperkalsiuria. Hal ini disebabkan oleh kadar oksalat
urin memberikan efek lebih besar (15 kali lipat) dari pada kalsium (Ghelani et al.
2016).
Senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak daun pelawan memberikan
efek farmakologis pada EEEDP sebagai antioksidan dan anti inflamasi. Bentuk
sediaan eliksir yang digunakan meningkatkan kestabilan obat karena sifat
hidroalkoholnya sehingga dapat mengoptimalkan manfaat dari kandungan ekstrak
daun pelawan (Ansel 2011). Diketahui hampir setiap kelompok flavonoid
memiliki aktivitas sebagai antioksidan kuat. Mekanisme kerja flavonoid terletak
pada gugus hidroksilnya yang mampu menstabilkan reactive oxygen species
(ROS) (Panche et al. 2016). Studi yang dilakukan oleh Dmello et al. (2011),
mengeksplorasi bahwa flavonol dan flavon (kelompok kelas flavonoid) memiliki
ikatan 2,3 rangkap yang bertindak sebagai inhibitor pada siklooksigenase-2
(COX-2). COX-2 merupakan salah satu isoform enzim COX yang menstimulasi
prostaglandin untuk menginduksi inflamasi dan nyeri (Panche et al. 2016).
Kemampuan flavonoid dan polifenol yang terkandung sebagai antioksidan
dapat mencegah terjadinya deposisi kristal kalsium oksalat di ginjal dengan
mencegah kerusakan oksidatif di membran tubulus ginjal akibat hiperoksaluria.
Oleh karena itu dapat mencegah perlekatan kristal kalsium oksalat dan
perkembangan batu ginjal selanjutnya (Butterweck dan Khan 2009). Selain
flavonoid, saponin yang terkandung di dalam EEEDP juga memiliki peran dalam
31

melindungi ginjal dari stres oksidatif. Hal ini didukung oleh penelitian Xie et al.
(2009) yang melaporkan bahwa tanaman yang tinggi kandungan saponin memiliki
efek perlindungan terhadap stres oksidatif ginjal dan fibrosis interstitial ginjal
pada tikus yang disebabkan oleh obstruksi ureter. Saponin berperan dalam
mencegah litiasis yang diakibatkan oleh etilen glikol (Patel et al. 2012).

Gambaran Kristal Urin


Pemeriksaan mikroskopis sedimen urin dapat memberikan gambaran
kondisi saluran urinari. Sedimen urin dapat berupa unsur organik (epitel, leukosit,
eritrosit, silinder, bakteri, parasit, spora, hypha dan lainnya) dan anorganik (kristal
urat, kalsium oksalat, tripel fosfat kalsium karbonat, leusin, sistin, tirosin,
kolesterol, kristal bilirubin dan lainnya). Komponen kristal yang ditemukan di
urin yaitu kristal kalsium oksalat monohidrat dan dihidrat, kalsium fosfat dan
amorf fosfat (Tabel 16, Gambar 11).

Tabel 16 Pemeriksaan mikroskopis kristal urin


Waktu pengamatan hari ke-
Kelompok
14 28
KO Kalsium fosfat Kalsium fosfat
Amorf fosfat Kalsium oksalat dihidrat
KN Kalsium oksalat dihidrat Kalsium oksalat dihidrat
Kalsium oksalat monohidrat
P0 Kalsium oksalat dihidrat Kalsium oksalat dihidrat
P1 Kalsium oksalat dihidrat Kalsium oksalat dihidrat
P2 Kalsium oksalat dihidrat Kalsium oksalat dihidrat
Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0 (inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 g),
P1 (inducer + EEEDP 100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).

B
A.2

A.1

C.2

C.1

Gambar 11 Gambaran sedimen kristal urin (400x). (A.1) Kristal kalsium oksalat
monohidrat; (A.2) Kristal kalsium oksalat dihidrat; (B) Kristal amorf
fosfat; (C.1) Kristal kalsium fosfat; (C.2) Kristal dikalsium fosfat.
32

Pemeriksaan mikroskopis sedimen urin menggunakan perbesaran (100X dan


400X) untuk mendeteksi komponen-komponen yang terdapat di dalam urin. Etilen
glikol (EG) dan amonium klorida (AC) mengakibatkan adanya deposisi kristal di
ginjal. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya deposit kristal intratubular dan
intertitial dengan pemberian EG 0.75% dan AC 2% selama 10 hari (Jagannath et
al. 2015). Kristal sangat efektif terbentuk pada kondisi supersaturasi. Ekskresi
kristal dapat terjadi pada kondisi urin fisiologis maupun patologis. Morfologi
kristal dan terjadinya kristaluria dipengaruhi oleh kondisi saturasi garam, faktor
inhibitor dan promotor. Kondisi patologis kristaluria menyebabkan urolitiasis,
asam urat dan nefropati. Ukuran kristal yang <5 mm masih dapat keluar dengan
sendirinya, tetapi ukuran yang >5 mm akan terpresipitasi dan dapat menyumbat
hingga membentuk formasi kalkulus pada saluran kemih (Madhavi et al. 2012).
Faktor resiko batu kalsium oksalat meliputi hiperkalsiuria, hiperoksaluria,
hipositraturia dan hiperurikosuria. Sebagian besar komposisi kalkuli tidak
homogen, seperti kalsium oksalat (CaOx) sebagai konstituen batu utama yang
biasanya bercampur dengan sejumlah kecil kalsium fosfat (CaP) dan atau asam
urat yang membentuk nidus awal batu kalsium oksalat (Kirejczyk et al. 2014).
Kristal kalsium oksalat dihidrat (COD) berbentuk persegi petak seperti
amplop, sedangkan kristal kalsium oksalat monohidrat (COM) berbentuk seperti
kacang yang terbelah. Kristal kalsium oksalat biasanya berukuran lebih kecil atau
kira-kira berukuran sama dengan sel darah merah, terkadang berukuran raksasa
(100 µm). Secara klinis, kristal COM lebih stabil secara termodinamika
dibandingkan dengan kristal COD. Kristal kalsium fosfat berbentuk kipas dan
batang, tidak berwarna serta terbentuk pada pH sedikit asam dan sedikit basa.
Pembentukan batu kalsium melibatkan perbedaan fase yang meningkatkan
akumulasi kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Fase tersebut meliputi proses
nukleasi, pertumbuhan kristal, agregasi kristal dan retensi kristal (Basavaraj et al.
2007). Pemberian etilen glikol sebagai prekursor metabolik oksalat terhadap tikus
yang menyebabkan hipoksaluria, kristalisasi kalsium oksalat diikuti oleh
pengendapan kristal kalsium oksalat di ginjal dengan tingkat deposisi yang
berbeda-beda (Baheti dan Kadam 2013). Kristal kalsium oksalat dan kadar tinggi
oksalat di nefron dapat merusak sel epitel sehingga sel dapat menghasilkan
beberapa produk dan radikal bebas yang menginduksi nukleasi kristal heterogen
dan berakhir pada agregasi kristal (Saremi et al. 2015).
Salah satu resiko penyebab batu ginjal adalah sumber air minum. Umumnya
sumber air minum di Indonesia berasal dari air permukaan, air tanah dan air
hujan. Sumber air dari permukaan (dataran tinggi atau rendah) komposisi
mineralnya didominasi oleh unsur kalsium dan magnesium. Hal ini disebabkan
karena air yang berasal dari tanah mengalami kontak dengan batuan kapur yang
menjadi sumber kalsium (CaCO3) (Umboh dan Umboh 2016). Sumber asam
oksalat didapatkan dari sumber makanan dan termasuk ke dalam produk
metabolik menengah. Pencegahan terjadinya batu sangat dianjurkan, karena
pasien yang pernah mengalami batu ginjal akan lebih cenderung kambuh atau
membentuk batu lain (Atmani et al. 2003).
Pemeriksaan pH urin dapat dikaitkan dengan pembentukan kristal kalsium
oksalat. Sesuai dengan pendapat Verdesca et al. (2011) dan Kaleeswaran et al.
(2018) bahwa nilai pH dapat memprediksi variasi kristal yang terbentuk. Kristal
akan terbentuk pada kondisi dimana supersaturasi urin terus dipertahankan yang
33

ditandai dengan adanya retensi mikrokristal. Sel epitel ginjal yang rusak akibat
pemberian inducer menjadi media perlekatan bagi mikrokristal untuk berkembang
menjadi batu (Yamaguchi et al. 2005). Melalui pengamatan kristal dapat diketahui
tingkat keparahan kristal kalsium oksalat yang terbentuk dalam urin (Tabel 17).

Tabel 17 Tingkat keparahan kristal COD (calcium oxalate dihydrate) urin


Waktu pengamatan (hari)
Perlakuan
14 28
KO - -
KN + ++
P0 + +
P1 + +
P2 + +
Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0 (inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 g
BB), P1 (inducer + EEEDP 100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).
(-) tidak ada kristal, (+) 1-5 kristal, (++) 6-20 kristal, (+++) > 20 kristal/ HPF

Kristal kalsium oksalat biasanya diekskresikan secara bebas, namun dalam


kondisi patologis kristal kalsium oksalat dapat berkembang menjadi batu jika
terus dipertahankan di ginjal. Urolitiasis pada pH normal sulit ditemukan, namun
dapat terjadi pada pH yang terlalu asam atau terlalu alkali. Pada kelompok P0, P1
dan P2 jumlah kristal yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan KN,
baik pada pengamatan hari ke 14 maupun hari ke 28. Komponen yang ditemukan
memiliki jumlah yang berbeda-beda, salah satu komponen tersebut yaitu kristal
kalsium oksalat. Perhitungan nilai dan jumlah kristal kalsium oksalat dengan
kriteria menurut Fan et al. (1999) dan Yousofy et al. (2017) (Gambar 12).

20
Jumlah kristal

14,67
15
10 14
4 3,33 4,33
5
0 0,33 0,67 1,332,67 1,67 28
0
KO KN P1 P1 P2
Kelompok perlakuan
Gambar 12 Jumlah kristal kalsium oksalat dihidrat (COD atau calcium oxalate
dihydrate). Keterangan: KO (tanpa perlakuan), KN (inducer), P0
(inducer + Batugin elixir 5.4 mg/200 gr BB), P1 (inducer + EEEDP
100 mg/kg BB), P2 (inducer + EEEDP 200 mg/kg BB).
Berdasarkan perhitungan jumlah kristal yang ditemukan, kelompok KN
mengeksresikan kristal kalsium oksalat dalam jumlah yang paling banyak
dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok KO hampir tidak ada
ditemukan kristal kalsium oksalat. Lama waktu perlakuan menunjukkan jumlah
kristal kalsium oksalat yang semakin meningkat. Hal ini didukung oleh penelitian
Atmani et al. (2003) dan Christina dan Muthumani (2013) bahwa EG dan AC
meningkatkan ekskresi kalsium dan oksalat. Kelompok perlakuan (P0, P1 dan P2)
34

menunjukkan jumlah kristal kalsium oksalat paling sedikit. Kelompok P0 mampu


menekan jumlah kristal kalsium oksalat paling rendah pada hari ke 14. Pada hari
ke 28, kelompok P1 mampu menekan jumlah kristal kalsium oksalat paling
rendah dibandingkan kelompok lain.
Aktivitas EEEDP dalam melarutkan kristal kalsium oksalat disebabkan oleh
senyawa fitokimia yang terkandung di dalam daun pelawan. Kandungan
flavonoid, tanin dan saponin EEEDP memberikan peran dalam pelarutan kristal
yang diinduksi oleh EG dan AC. Menurut Soundararajan et al. (2006) flavonoid,
triterpen dan tanin dapat meningkatkan kelarutan deposit kristal kalsium oksalat
dan memulihkan bentuk ginjal. Hal serupa disampaikan oleh Ghelani et al. (2016)
bahwa tanaman yang mengandung flavonoid, glikosida, fenol, steroid dan tanin
memiliki aktivitas diuretik. Flavonoid mampu menghambat kristalisasi kalsium
oksalat pada urin manusia dan hewan model urolitiasis (Zhong et al. 2012).
Menurut Harbone (1987), derivat flavonoid yang efektif melarutkan kalsium
oksalat yaitu apigenin 7-glukosida dan luteolin 7-glukosida. Zat aktif juga saponin
mampu memisahkan suspensi mukoprotein yang menjadi promotor dalam proses
kristalisasi sehingga saponin memiliki sifat antikristalisasi (Gurocak dan Kupeli
2006).
Formula EEEDP yang digunakan dapat berfungsi sebagai preventif.
Fitokimia yang terkandung dalam tanaman pelawan diharapkan memberikan efek
farmakologis dalam meningkatkan ekskresi cairan melewati ginjal dan membuang
endapan yang disertai dengan manajemen diet, penggunaan obat-obatan dan
asupan nutrisi dapat mencegah pembentukan batu ginjal (Prabhu et al. 2015).

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan dari penelitian ini sebagai berikut:


1. Sediaan formula eliksir ekstrak etanol daun pelawan dengan kandungan 7.5%
etanol 70% memiliki stabilitas dan daya larut terbaik secara in vitro
dibandingkan formula dengan kandungan 5% dan 10% etanol 70%.
2. Peran ekstrak etanol daun pelawan sebagai antilitiasis karena adanya
kandungan flavonoid, tanin, saponin dan steroid.
3. Eliksir ekstrak etanol daun pelawan dengan dosis 100 mg/hari lebih efektif
dalam meningkatkan pH, menurunkan berat jenis (SG) urin, menekan
pembentukan kristal kalsium oksalat dalam urin dibandingkan dengan dosis
200 mg/hari secara in vivo.

Saran

Saran untuk penelitian ini sebagai berikut:


1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut aktivitas eliksir ekstrak etanol daun
pelawan sebagai agen antilitiasis dalam menangani kasus urolitiasis.
2. Perlu dilakukan uji toksisitas eliksir ekstrak etanol daun pelawan.
35

3. Perlu dilakukan uji preklinik pada hewan model jantan lainnya sebelum
dilakukan uji klinis pada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel HC. 2011. Pengantar bentuk sediaan farmasi edisi keempat. Jakarta (ID):
Penerbit Universitas Indonesia.
Aryani NLD, Winata SRJ. 2011. Formulasi sirup pembawa yang dipapar pada pH
5,5 untuk sediaan racikan serbuk. JST. 4(2):101-114.
Atmani F, Slimani Y, Mimouni M, Hachi B. 2003. Prophylaxis of calcium oxalate
stones by Herniaria hirsuta on experimentally induced nephrolithiasis in
rats. BJU International. 92:137-140.
Attwood D, Florence. 2011. Physicochemical principles of pharmacy Ed 5.
London (UK): Chapman and Hall.
Ayustaningwarno F. 2014. Teknologi pangan: Teori Praktis dan Aplikasi.
Yogyakarta (ID): Penerbit Graha Ilmu.
Azis T, Febrizky S, Mario AD. 2014. Pengaruh jenis pelarut terhadap persen yield
kaloid dari daun salam india (Murraya koenigii). JTK Unsri. 2(2):1-6.
Baheti DG, Kadam SS. 2013. Antiurolithiatic activity of some traditional
medicinal plants against calcium oxalate induced urolithiasis in rats.
IJPCBS. 3(4):1276-1285.
Bartges J, Polzin DJ. 2011. Nephrology and urology of small animals. Oxford
(UK): Wiley-Blackwell.
Barratt J. 2007. What to do with patients with abnormal dipstick urinalysis.
Medicine. 35(7):365-367.
Basavaraj DR, Biyani CS, Browning AJ, Caryledge JJ. 2007. The role of urinary
kidney stone inhibitors and promoters in the pathogenesis of calcium
containing renal stones. EBU-EAU. 5:126-136.
Boudaroua P. 2000. Les urolithiases canines en pratique l’action veterinaie.
1503(34):1-7.
Brunzel NA. 2013. Fundamentals of urine and body fluid analysis, third edition.
Missouri (US): Elsevier Saunders.
Butterweck V, Khan SR. 2009. Herbal medicines in the management of
urolithiasis : alternative or complementary?. Planta Medica: 75:1095-1103.
Christina AJM, Muthumani P. 2013. Phytochemical investigation and antilithiatic
activity of Ablemoschus moschatus medikus. Int J Pharm Pharm Sci.
5(1):108-113.
Denny, Kalima T. 2016. Keanekaragaman tumbuhan obat pada hutan rawa
gambut punggualas, taman nasional sebangau, kalimantan tengah. Bul
Plasma Nutfah. 22(2):137-148.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope indonesia edisi III.
Jakarta (ID): Departemen kesehatan RI.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 1985. Cara pembuatan simplisia. Jakarta
(ID): Departemen kesehatan RI.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 1987. Analisis obat tradisional. Jilid 1.
Jakarta (ID): Departemen kesehatan RI.
36

[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope indonesia edisi IV.


Jakarta (ID): Departemen kesehatan RI.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 1995. Materia medika indonesia. Jilid VI.
Jakarta (ID): Departemen kesehatan RI.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 2000. Parameter standar umum ekstrak
tumbuhan obat. Jakarta (ID): Departemen kesehatan RI.
[Kemenkes RI] Departemen Kesehatan. 2014. Farmakope indonesia edisi V.
Jakarta (ID): Departemen kesehatan RI.
Dharma S, Aria M, Syukri EF. 2014. Pengaruh ekstrak etanol daun kejibeling
(Strobilanthes crispa [L] Blume) terhadap kelarutan kalsium dan oksalat
sebagai komponen batu ginjal pada urin tikus putih jantan. Scientia. 4(1):34-
37.
Dmello P, Gadhwal MK, Joshi U, Shetgiri P. 2011. Modelling of COX-2
inhibitory activity of flavonoids. Int J Pharm Pharm Sci. 3(4):33-40.
Fan J, Glass MA, Chandoke PS. 1999. Impact of ammonium chloride
administration on a rat ethylene glycol urolithiasis model. Scanning
microscopy. 13(2-3):299-306.
Firdiyani F, Agustini TW, Ma’ruf WF. 2015. Ekstraksi senyawa bioaktif sebagai
antioksidan alami Sprirulina platensis segdar dengan pelarut yang berbeda.
JPHPI. 18(1):28-37.
Ghelani H, Chapala M, Jadav P. 2016. Diuretic and antiurolithiatic activities of an
ethanolic extract of Acorus calamus L. rhizome in experimental animal
models. JTCM. 6:431-436.
Gurocak S, Kupeli B. 2006. Consumption of historical and current
phytotherapeutic agents for urolithiasis: a critical review. JU. 176:450-455.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Fisiologi kedokteran. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of medical physiology, eleventh edition.
Pennsylvania (US): Elsevier Saunders.
Hamid M, Mohammad MN, Ghanea L. 2007. Evaluation of the Raphanus sativus
effect on urinary pH. JRMS. 12(2):58.
Harborne JB. 1973. Phytochemical methods a giude to modern techniques of plant
analysis. London (UK): Chapman and hall.
Harborne JB. 1987. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Bandung (ID): Institut Teknik Bandung.
Harborne JB. 1996. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Edisi II. Bandung (ID): Institut Teknik Bandung.
Hilwan A. 2014. Potensi tumbuhan obat di hutan Kerangas di kabupaten belitung
timur, provinsi kepualauan bangka belitung. Prosiding Seminar Nasional.
Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. hlm 129-134.
Holmberg K, Jonsson B, Kronberg B, Lindman B. 2002. Surfactants and
polymers in aqueous solution. England (UK): John Wiley dan Sons.
Holt P. 1983. Urinary incontinencia in the dogs. In practice. 5(5):167 – 173.
Isnawati A, Alegantina S, Raini M, Nikmah B. 2004. Karakterisasi simplisia dan
ekstrak daun Strobilanthus crispus. Media Litbang Kesehatan. 14(2):20-25.
Isnawati A, Raini M, Alegantina S. 2006. Standarisasi simplisia dan ekstrak
etanol daun sembung (Blumea balsamifera [L]) dari tiga tempat tumbuh.
Media Litbang Kesehatan. 16(2):1-6.
37

Jagannath N, Dass AP, Ahmed K. 2015. A study antiurolithiatic activity of


ethanolic extract of Asparagus racemosus in animal models. IJPR.
5(11):316-319.
Jannah W, Yusfiati, Fitmawati. 2015. Efek ekstrak etanol daun pelawan
(Tristaniopsis obovata R.Br) terhadap struktur limpa tikus putih (Rattus
norvegicus) yang mengalami urolithiasis. Repositori FMIPA Universitas
Riau. Riau (ID): Universitas Riau.
Jha R, Ramani PT, Patel D, Desai S, Meshram D. 2016. Phytochemical analysis
and in vitro urolithiatic activity of Peltophorum pterocarpum leaves (DC)
baker. J Med Plants Stud. 4(3):18-22.
Kaleeswaran B, Ramadevi S, Murugesan R, Srigopalram Suman T,
Balasubramanian T. 2018. Evaluation of anti-urolithiatic potential of ethyl
acetate extract of Pedalium murex L. on struvite crystal (kidney stone). J
Tradit Complement Med . Xxx:1-14.
Kirejczyk JK, Porowski T, Filonowicz, Kazberuk A, Stefanowicz M, Wasilewska
A, Debek W. 2014. An association between kidney stone composition and
urinary metabolic disturbances in children. J Pediatr Urol. 10:130-135.
Kishore DV, Moosavi F, Varma DRRK. 2013. Effect of ethanolic extract of
Portulaca oleracea (Linn.) on ethylene glycol and ammonium chloride
induced urolithiasis. Int J Pharm Pharm Sci. 5(2):134-140.
Kissinger, Thamrin GAR, Muhayah R. 2012. Konservasi keanekaragaman hayati
hutan kerangas berbasis penemuan beraktivitas tumbuhan sebagai
antidiabetes. Prosiding InSINas. Bandung (ID): Kementerian Riset dan
Teknologi. hlm 238-241.
Kissinger, Yamani A, Thamrin GA, Np RM. 2016. Bioprospecting of kerangas
forests as natural medicine material sources: screening phytochemistry
compound of kerangas forest tree species. IJWEM. 4(2):13-19.
Kissinger, Zuhud EAM, Darusman LK, Siregar IZ. 2013. Keanekaragaman jenis
tumbuhan obat dari hutan kerangas. JHT. 1(1):17-23.
Laksana KP, Oktavillariantika AAIAS, Pratiwi NLPA, Wijayanti NPAD,
Yustiantara PS. 2017. Optimasi konsentrasi HPMC terhadap mutu fisik
sediaan sabun cair menthol. J Farm Ud. 6(1):17-22.
Latimer KS. 2011. Duncan and prasses’s veterinary laboratory medicine: clinical
pathology, fifth edition. Lowa (US): Wiley-Blackwell.
Madhavi S, Prathyusha C, Rajender S. 2012. Relationship between crystalluria
and urinary calculi and associated urinary tract infection. J Microbiol
Biotech Res. 2:351-356.
Manimala M, Atlee WC, Mohamed AAS, Prabhu P. 2014. Effect of Coccinia
grandis on ammonium chloride and ethylene glycol induced urolithiasis in
rats. IJDDR. 6(3):138-146.
Manoi F. 2006. Pengaruh cara pengeringan terhadap mutu simplisia sambiloto.
Bul Littro. 17(1):1-5.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, pemisahan senyawa dan identifikasi senyawa aktif. J
Kes. 7(2):361-367.
Mutschler EM. 1999. Dinamika obat edisi 5. Penerjemah Widianto MB, Ranti AS
dari Arzeneimittel Wilckungen. Bandung (ID): Institut Teknik Bandung.
38

Ningrum SK, Toifur M. 2014. Penentuan viskositas larutan gula menggunakan


metode vessel terhubung viscometer berbasis video based laboratory dengan
software tracker. JRKPP UAD. 1(2):57-62.
Osborne CA, Lulich JP, Forrester D, Albasan H. 2008. Paradigm changes in the
role of nutrition for the management of canine and feline urolithiasis.
Vet Clin North Am Small Anim Pract. 39:127-141.
Panche AN, Diwan AD, Chandra SR. 2016. Flavonoids: an overview. J Nutr
Food Sci. 5(47):1-15.
Patel PK, Patel MA, Vyas BA, Shah DR, Gandhi TR. 2012. Antiurolithiatic
activity of saponin rich fraction from the fruits of Solanum xanthocarpum
Schrad & Wendl (Solanaceae) against ethylene glycol induced urolithiasis
in rats. J ethnopharmacol. 144:160-70.
Prabhu N, Marzuki SMM, Banthaviz SP, Sundhararajan A, Uma A, Saradaz V.
2015. Prevalence of crystalluria and its association with Escherichia coli
urinary tract infections. J Res Med Sci. 3(5):1085-1090.
Rizzi TE. 2014. Urinalysis In Companion Animals Part 2: Evaluation of Urine
Chemistry & Sediment. Today’s Technician. Oklahoma (US): Oklahoma
State University.
Roche. 2011. Compendium of urinalysis urine test strips and microscopy.
Switzerland (CH): Roche diagnostics.
Sabir, A.2003. Pemanfaatan flavonoid di bidang kedokteran gigi. Maj Ked Gigi
Dental Journal. Edisi Khusus Temu Ilmiah Nasional III.
Sailaja B, Bharathi K, Prasad KVSRG. 2011. Protective effect of Tridax
procumbens L. on calcium oxalate urolithiasis and oxidative stress. IJAPS.
2(1).
Sangi M, Runtuwene MRJ, Simbala HEI, Makang VMA. 2008. Analisis fitokimia
tumbuhan obat di kabupaten minahasa utara. Chem Prog. 1(1):47-53.
Sakhaee K, Maalouf NM, Sinnott B. 2012. Kidney stones 2012: pathogenesis,
diagnosis, and management. J Clin Endocrinol Metab. 97(6):1847-1860.
Sapri, Fitriani A, Narulita R. 2014. Pengaruh ukuran serbuk simplisia terhadap
rendemen ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.) dengan metode
maserasi. Prosiding seminar nasional kimia. HKI-Kaltim (ID).
Saremi J, Jahromi HK, Pourahmadi M. 2015. Effect of Mlva Neglecta Wallr on
ethylene glycol induced kidney stones. Endour Stone Dis. 12(6):2387-2390.
Setyowati FM, Riswan S, Susiarti S. 2005. Etnobotani masyarakat dayak ngaju di
daerah timpa Kalimantan Tengah. Jurnal Tek. Ling P3TL-BPPT. 6(3):502-
510.
Shecilia T, Yusfiati, Fitmawati. 2015. Efek ekstrak etanol daun pelawan
(Tristaniopsis obovata R.Br) terhadap struktur ginjal tikus putih (Rattus
norvegicus) yang mengalami urolithiasis. Repositori FMIPA Universitas
Riau. Riau (ID): Universitas Riau.
Siemens. 2011. Modern urine chemistry – the clinical significance of urine test
result. Germany (DE): Siemens healthcare diagnostics Inc.
Simerville JA, Maxted WC, Pahira JJ. 2005. Urinalysis: A comprehensive review.
Am Fam Physician. 71(6):1153-1162.
Soundararajan P, Mahes R, Remesh T, Begum VH. 2006. Effect of Aerva lanata
on calcium oxalate urolithiasis in rats. Indian J Exp Biol. 44:981-986.
39

Stockhom SL, Scott MA. 2002. Fundamental of Veterinary Clinical Pathology.


Lowa (US): Lowa State Press.
Syaifuddin. 2016. Ilmu biomedik dasar untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta
(ID): Penerbit Salemba Medika.
Taconic Biosciences. 2004. Spraque dawley rat. Wiaconsin (US): Spraque dawley
company..
Thomas A. 2010. Panduan lapangan identifikasi jenis pohon hutan. Kalimantan
(ID): Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP).
Tion MT, Dvorska J, Saganuwan SA. 2015. A review on urolithiasis in dogs and
cats. BJVM. 18(1):1-18.
Tiwari A, Soni V, Londhe V, Bhandarkar A, Bandawane D, Nipate S. 2012. An
overview on potent indigenous herbs for urinary tract infirmity: urolithiasis.
Asian J Pharm Clin Res. 5(1).
Touhami M, Laroubi A, Elhabazi K, Loubna F. 2007. Lemon juice has protective
activity in a rat urolithiasis model. BMC Urol 7: 1471-1490.
Turk C, Knoll T, Petrik A, Sarica K, Skolarikos A, Straub M, Seitz C. 2015.
Guidelines on urolithiasis. EAU. Tersedia pada:
http://www.uroweb.org/guidelines/online-guidelines/.
Umboh A, Umboh V. 2016. Perbandingan jenis konsumsi air minum dengan
kristaluria pada anak. J Ked Klin. 1(2):1-11.
Uribarri J, Oh MS, Carroll HJ. 1989. The first kidney stone. Ann Intern Med.
111(12):1006-1009.
Utama HI, Hutagalung EM, Laxmi IWPA, Erawan IGMK, Widyastuti SK,
Setiasih LE, Berata K. 2011. Urinalisis menggunakan dua jenis dipstick
(batang celup) pada sapi bali. J Vet. 12(1):107-112.
Vedrenne N, Cotard JP, Paragon BM. 2003. L’urolythiase feline: actualites
epidemiologi –ques. Le point vet. 232:44–48.
Verdesca S, Fogazzi GB, Garigali G, Messa P, Daudon M. 2011. Crystalluria:
prevalence, different types of crystals and the role of infrared spectroscopy.
Clin Chem Lab Med. 49(3):515-520.
Wientarsih I, Purwono RM, Prasetyo BF, Sutardi LN. 2008. Aktivitas ekstrak
etanol daun alpukat (Persea americana Mill) terhadap batu ginjal buatan
dan efek diuretiknya pada tikus putih serta pengembangannya menjadi
sediaan sirup eliksir dan tablet salut enterik. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Wu XF, Lu GY, Qi BQ, Wang R, Guo DH, Liu XL. 2017. Antifreeze poisoning: a
case report. Exp Ther Med. 13:701-704.
Xie XS, Liu HC, Zuo C, Deng Y, Fan JM. 2009. Ginsenoside Rb1, a panoxadiol
saponin against oxidative damage and renal interstitial fibrosis in rats with
unilateral ureteral obstruction. Chin J Integr Med. 15:133-40.
Yamaguchi S, Wiessner JH, Hasegawa AT, Hung LY, Mandel GS, Mandel AS.
2005. Study of a rat model for calcium oxalate crystal formation without
severe renal damage in selected conditions. Int J Urol. 12:290-298.
Yuruk E, Tuken M, Sahin C, Kaptanagasi AO, Basak K, Aykan S, Muslumanoglu
AY, Sarica K. 2016. The protective effects of an herbal agent tutukon on
ethylene glyvol and zinc disk induced urolithiasis model in a rat model.
Urolithiasis. DOI 10.1007/s00240-016-0889-2.
40

Yusfiati, Fitmawati. 2015. Efek ekstrak etanol 50 mg Tistaniopsis obovata R.Br


pada distribusi sel mukus di usus tikus jantan wistar. Prosiding semirata
bidang MIPA BKS-PTN Barat. Pontianak (ID): Universitas Tanjungpura
Pontianak. hlm 105-111.
Yousofy FA, Gumaih H, Ibrahim H, Alasbahy A. 2017. Parsley! Mechanism as
antiurolithiasis remedy. Am J Clin Exp Urol. 5(3):55-62.
Zhao C, Yang H, Tang K, Xia D, Xu H, Chen Z, Ye Z. 2016. Comparison of
laparascopic stone surgery and percutaneous nephrolithotomy in the
management of large upper urinary stones: a meta-analysis. Urolithiasis.
DOI 10.1007/s00240-016-0862-0.
Zhong YS, Yu CH, Ying HZ, Wang ZY, Cai HF. 2012. Prophylactic effects of
Orthosiphon stamineus Benth. Extracts on experimental induction of
calcium oxalatae nephrolithiasis in rats. J ethnopharmacol. 144:761-767.
41

LAMPIRAN
42

Lampiran 1 Hasil Determinasi Tumbuhan LIPI


43

Lampiran 2 Uji Fitokimia


44

Lampiran 3 Komisi Etik Hewan


45

Lampiran 4 Lembar kuisoiner uji hedonik

Uji hedonik Eliksir Ekstrak Daun Pelawan

Tgl Pengujian:

Eliksir ekstrak daun pelawan merupakan produk kesehatan alami yang digunakan
sebagai penghancur batu ginjal.

Data panelis :
Usia panelis :
Jenis kelamin : a. Pria b. Wanita
Instruksi :
1. Amatilah warna dan aroma dari setiap sampel yang ada di hadapan Anda,
kemudian tuliskan penilaian dan komentar Anda.
2. Cicipilah setiap sampel yang ada dan nyatakan penilaian dan komentar
Anda terhadap rasa dari tiap sampel. Setelah pencicipan satu sampel,
netralkan mulut dengan air sebelum mencicipi sampel lainnya.
3. Berikan penilaian secara keseluruhan.

Skala Penilaian :
1 = Sangat tidak suka
2 = Tidak suka
3 = Netral
4 = Agak suka
5 = Suka
6 = Sangat suka

Formula
Penilaian
A B C
Warna
Aroma
Rasa
46

Lampiran 5 Dokumentasi penelitian

1. Gambar proses pembuatan serbuk simplisia daun pelawan yang terdiri dari
sortasi basah, pengeringan, serbuk simplisia.

2. Gambar proses pembuatan ekstrak etanol daun pelawan yang terdiri dari
ekstraksi maserasi, penampungan filtrat, ekstrak kental etanol daun pelawan.

3. Gambar hasil visualisasi warna skrining fitokimia ekstrak etanol daun pelawan.
Ket: I. Uji flavonoid, II. Uji tanin, III. Uji saponin, IV. Uji kuinon, V. Uji
alkaloid, VI. Uji Terpenoid/steroid.

I II III IV

V VI
47

4. Proses pembuatan formula sediaan eliksir ekstrak etanol daun pelawan.

5. Pemeriksaan bobot jenis (a), viskositas (b) dan pH (c) EEEDP

a b
c

6. Pemeriksaan kimia urin menggunakan strip tes


48

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 02 Mei


1992 dari pasangan Januar Surin dan Yustimar. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dengan kakak
Muhammad Azhari Januar dan adik Adibyathul Fikri Januar.
Penulis menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Riau sejak tahun 2010 hingga 2014. Pada tahun 2015, penulis
berhasil diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor pada Program Magister program studi Ilmu Biomedis Hewan Fakultas
Kedokteran Hewan melalui jalur regular.

Anda mungkin juga menyukai