Anda di halaman 1dari 20

Tujuan

1. Melakukan uji disolusi terhadap tablet glycerol guaiacolat

II. Prinsip
1. Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat
penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap
ke dalam tubuh.

III. Teori Dasar


Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh
sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif
biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk
sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan
oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang
menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan
menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum
adalah:
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial (Amir, 2007).
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu
bentuk sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan
itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari
sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit
waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi
media yang dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi
tentang profil proses pelarutan persatuan waktu. Hukum yang
mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897
dan diformulasikan secara matematik sebagai berikut :

dc / dt = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan


waktu )
Cs = kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )
Ct = konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t
K = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan
jenuh dan tebal lapisan difusi (Shargel, 1988)
Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan
dan konstannya suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari
gradien konsentasi antara konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada
waktu (Shargel, 1988).
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk
lapisan tipis larutan jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke
dalam bagian sisa dari larutan di sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di
bawah pengamatan kelambatan difusi ini dapat menjadi persamaan dengan
menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan hukum difusi
pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat
memberikan kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara konkret.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan


bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya
konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik
dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat
sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan.
Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan
melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak
bergerak oleh adanya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini
juga dikenal sebagai lapisan yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal
lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun umumnya 0,005
cm (50 mikron) atau kurang (Tjay, 2002).
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi
kecepatan melarut:
Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :
Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D
Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH
akan menaikkan nilai Cs (Ansel, 1989)

UJI DISOLUSI OBAT


Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa,
tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah
permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan
dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji
hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di
bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa
partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-
obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran
pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Voigt,
1995).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka
kecepatan obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu,
laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan
perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya
evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya
atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli
farmasi (Voigt, 1995).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula
tablet diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai
alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya
waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan
mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian
pada manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan
pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian manusia sebagai
obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan menganggap
adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak
sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in
vitrodipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung
dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan
pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda pembuatan
yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap
uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes
bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji
disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan
laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif
secara klinis (Shargel, 1988).
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa
kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan.
Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan
informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch”
lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan
melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan
ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon
klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat
sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu,
dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat
aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat.
Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan
system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid
(salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis
kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt,
1995).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap
pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat
ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap
pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
Zat aktif mula-mula harus larut
Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna (Voigt, 1995).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan
analisis yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan
obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USP untuk
persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah
berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun,
disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi
lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi
berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk
mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan
:
a) Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada
dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo
apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya
dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
c) Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur
pengendalian mutu untuk produk akhir.
d) Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari
bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan
hayati telah ditetapkan.
e) Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi
dan manufaktur.
f) Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang baru.
g) Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara
dekat sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai.
Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat
diberikan dengan penggunaan sistem (Ansel, 1989).
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-
granul bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus
bilamana granul-granul telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi,
kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun
demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat
menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau
disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel, 1989).

IV. Alat dan Bahan


a. Alat
1. Alat Spektrofotometri
2. Alat Uji disolusi
3. Beaker glass
4. Botol vial
5. Kuvet
6. Pipet tetes
7. Syringe

b. Bahan
1. Aquadest
2. Baku pembanding Glycerol Guaiakolat
3. Tablet Glycerol Guaiakolat

V. Prosedur
Pembuatan larutan baku
Baku glycerol guaiacolat sebanyak 222 mg ditimbang dan dilarutkan
dalam 100 ml air. Kemudian dibuat pengenceran bertingkat yaitu
70ppm, 60ppm, 50ppm, 40ppm, dan 30ppm. Setelah itu diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang maksimum. Lalu dibuat kurva baku dari hasil pengukuran.

Uji Disolusi
Perlakuan pertama adalah dicari panjang gelombang serapan
maksimum untuk baku pembanding Glyceril Gualakoat. Langkah
selanjutnya adalah tablet dicelupkan ke dalam medium aquadest sampai ke
dasar yang terdapat dalam labu sebanyak 900mL, suhu dipertahankan
pada 37.5oC, motor diatur pada kecepatan konstan 50 rpm. Kemudian
cairan sample diambil pada selang waktu menit ke 5, menit ke 15 , menit ke
25, menit ke 35, dan menit ke 45 untuk menentukan jumlah obat dalam
cairan itu. Kemudian diencerkan 1 mL dari setiap cuplikan menjadi 10 mL
dengan medium dan tentukan absorbansinya pada panjang gelombang
maksimum yang didapat pada percobaan. Untuk menentukan kadar obat
maka digunakan alat spektrophotometri dengan mengukur tingkat
absorbansi-nya.

VI. Data Pengamatan


1. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Tabel 1. Hasil pengukuran absorbansi larutan baku
No Konsentrasi

1 30 ppm

2 40 ppm

3 50 ppm

4 60 ppm

5 70 ppm

Kurva Kalibrasi

a = 0.008993
b = 0.04126
r = 0.999
persamaan garis linear y = 0.008993x + 0.04126

2. Pengukuran absorbansi 3 tablet hasil disolusi dengan interval


waktu 5, 15, 25, 35, 45 menit
Tabel 2.1 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-1
Menit ke- A1

5 0.277 0.2764

15 0.5118 0.5122

25 0.4875 0.4875
35 0.51 0.5076

45 0.4592 0.4593

Tabel 2.2 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-2


Menit ke- A1

5 0.3893 0.3897

15 0.4657 0.4653

25 0.4729 0.4723

35 0.4498 0.4497

45 0.4779 0.4768

Tabel 2.3 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-3


Menit ke- A1

5 0.3475 0.3479

15 0.4392 0.44

25 0.4994 0.5001

35 0.5189 0.5184

45 0.4934 0.4931

3. Konsentrasi 3 tablet yang larut dalam interval waktu tertentu


Tabel 3. Hasil perhitungan konsentrasi obat yang terdisolusi (dalam
mg/ml)
Menit ke- Tablet ke-1

5 0.026167

15 0.052356
25 0.049632

35 0.051889

45 0.046485

4. Persentase disolusi 3 tablet dalam interval waktu tertentu


Tabel 4. Hasil perhitungan % disolusi tablet
Menit ke- Tablet ke-1

5 9.42 %

15 18.85 %

25 17.87 %

35 18.68 %

45 16.73 %

Kurva laju disolusi tablet glycerol guaiacolat

VII. Perhitungan
Pembuatan Kurva Kalibrasi
a. Pembuatan larutan stok
Baku yang digunakan : 222 mg dalam 100 ml

b. Pengenceran larutan baku dengan variasi konsentrasi

Konsentrasi 30 ppm
Konsentrasi 40 ppm

Konsentrasi 50 ppm

Konsentrasi 60 ppm

Konsentrasi 70 ppm
Perhitungan konsentrasi dan %disolusi

VIII. Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan
terlepasnya zat-zat aktif dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran
pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan tubuh.
Pada percobaan kali ini dilakukan uji laju disolusi terhadap
tablet gliseril guaiakolat. Tujuan dilakukannya uji laju disolusi yaitu untuk
mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu tablet ketika kontak dengan
cairan tubuh, sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan obat
yang diberikan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat
yaitu temperatur, viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel,
polimorfisa, dan sifat permukaan zat.
Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet
yaitu tablet yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam
lambung akan dipecah, mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang
kecil yang terdiri dari zat-zat aktif dan zat-zat tambahan yang lain. Granul
selanjutnya dipecah menjadi serbuk dan zat-zat aktifnya akan larut dalam
cairan lambung atau usus, tergantung di mana tablet tersebut harus
bekerja.
Sebelum melakukan uji disolusi, terlebih dahulu dilakukan
pembuatan kurva baku sampel gliseril guaiakolat. Prosedur pembuatan
kurva baku sampel gliseril guaiakolat dimulai dengan menimbang sampel,
kemudian sampel dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml, dan
ditambahkan aquadest hingga mencapai tanda batas, dan dikocok hingga
homogen. Larutan tersebut merupakan larutan sampel standar.
Selanjutnya adalah dibuat pengenceran menjadi lima konsentrasi yang
berbeda, yaitu 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, dan 70 ppm.
Selanjutnya spektrofotometer UV-Vis disetting pada panjang gelombang
dimana gliseril guaiakolat memberikan absorbansi, yaitu pada panjang
gelombang 274 nm. Masing-masing sampel kemudian dianalisis dengan
spektrofotometer UV-Vis, diukur absorbansi nya terlebih dahulu.
Absorbansi yang terbaca haruslah berada pada rentang 0.2 hingga 0.8,
sesuai hukum lambert-beer. Kemudian setelah absorbansinya berada pada
rentang tersebut, kelima sampel dianalisis. Hasil analisis masing-masing
sampel dapat dilihat dibawah ini :
Konsentrasi 30 ppm = 0,311233
Konsentrasi 40 ppm = 0,39670
Konsentrasi 50 ppm = 0,495567
Konsentrasi 60 ppm = 0,583667
Konsentrasi 70 ppm = 0,66740
Setelah diketahui hasilnya, dibuat kurva baku yang berisi
perbandingan antara konsentrasi dengan absorbansi. Kemudian dibuat
persamaan garis nya dengan menggunakan metode regresi linier, dan
didapat persamaan nya adalah sebagai berikut : y = 0,008993x+0,04126.
Dengan nilai r adalah 0,999. Nilai r yang didapat sangat baik, karena nilai
nya mendekati 1. Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya akan
digunakan untuk menghitung kadar sampel gliseril guaiakolat pada uji
disolusi.
Selanjutnya dilakukan uji disolusi. Mula-mula 1000 ml aquadest
dipanaskan hingga mencapai suhu 40oC dan sebelum digunakan suhu air
harus dipertahankan pada suhu ± 37oC sesuai suhu tubuh. Selanjutnya 900
ml dari air tersebut dimasukkan ke dalam wadah gelas yang terdapat di
dalam alat disolusi. Alat disolusi yang digunakan diisi dengan aquadest
sebanyak ¾ bagian saja. Hal ini dilakukan untuk menganalogkannya
dengan jumlah cairan tubuh. Selanjutnya sampel tablet dimasukkan ke
dalam keranjang saringan yang kecil yang ada di dalam alat disolusi.
Sampel tablet yang diuji adalah sebanyak 3 tablet. Sampel yang digunakan
di sini yaitu tablet gliseril guaiakolat. Setelah itu, keranjang dicelupkan ke
dalam pelarut. Alat disolusi lalu dinyalakan dan kecepatan diatur pada 100
rpm dan suhu 37oC. Suhu 37oC digunakan agar sama dengan suhu tubuh
manusia.
Pada saat tablet dimasukkan ke dalam alat disolusi, stopwatch mulai
dijalankan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada
menit ke-5, 15, 25, dan 35. Setelah 5 menit sampel diambil sebanyak 5 ml
menggunakan syringe yang berselang, dan dimasukkan kedalam botol vial,
kemudian kedalam alat disolusi yang berisi tablet gliseril guaiakolat yang
telah diambil sampel larutannya sebanyak 5 ml, ditambahkan aquadest
sebanyak 5 ml juga. Tujuannya untuk mengembalikan jumlah pelarut
seperti semula karena pelarut dianalogikan sebagai cairan tubuh. Diulangi
prosedur tersebut pada menit ke 15, 25, dan 35. Pengambilan pelarut
diambil sekitar 1 cm keranjang tempat tablet. Hal ini dilakukan karena
pada bagian tersebut dianggap merupakan bagian yang diabsorpsi oleh
darah.
Setelah dilakukan pengambilan sampel, dilakukan analisis dengan
menggunakan instrument. Instrument yang digunakan dalam analisis
tersebut adalah spektrofotometer UV-Vis double beam. Analisis dilakukan
secara bertahap dimulai dari tablet 1 hingga tablet 3 (masing-masing menit
ke-5, 15, 25, dan 35). Sehingga total sampel yang dianalisis adalah
sebanyak 12 sampel yang berada pada 12 botol vial yang berbeda. Pertama,
dilakukan analisis terhadap blanko sampel (aquadest). Selanjutnya diikuti
analisis 12 sampel tersebut. Kemudian dibuat rata-rata berdasarkan nilai
absorbansi yang terbaca pada alat. Hal yang perlu diperhatikan dalam
analisis dengan menggunakan instrument spektrofotometer UV-Vis double
beam adalah saat pengisian sampel kedalam kuvet, jari tangan jangan
sampai menyentuh bagian licin dari kuvet, karena jika jari tangan
menyentuh bagian tersebut, maka protein akan menempel pada bagian
licin daripada kuvet, yang mengakibatkan hasil analisis menjadi tidak
akurat lagi. Selain itu, alat juga perlu disetting pada panjang gelombang
tertentu sesuai dengan sampel yang akan dianalisis.
Uji disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi
ketersediaan obat dalam sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini
berhubungan dengan bio-availabilitas yang dapat menjadi parameter
efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu produk obat. Disolusi obat adalah
suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam
media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus
memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-
senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan
absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan
respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari
senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak
turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti
mikronisasi obat atau kompleksasi.
Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu menjamin keseragaman satu
batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang
diinginkan, dan Uji disolusi diperlukan dalam rangka pengembangan suatu
obat baru. Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman bobot,
kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat
belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu
uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet.
Tahapan yang dilakukan setelah pengujian disolusi adalah
pengukuran absorbansi melalui alat spektrofotometer uv-vis di panjang
gelombang maksimumnya yaitu 274 nm. Hasil yang didapatkan adalah :

1. Tablet 1
- Menit ke 5 = 0,2766
- Menit ke 15 = 0,5121
- Menit ke 25 = 0,4876
- Menit ke 35 = 0,5079
- Menit ke 45 = 0,4593
2. Tablet 2
- Menit ke 5 = 0,3894
- Menit ke 15 = 0,4655
- Menit ke 25 = 0,4727
- Menit ke 35 = 0,4498
- Menit ke 45 = 0,4769
3. Tablet 3
- Menit ke 5 = 0,3479
- Menit ke 15 = 0,4397
- Menit ke 25 = 0,5
- Menit ke 35 = 0,5187
- Menit ke 45 = 0,4931

Dari hasil percobaan tersebut terlihat bahwa absorbansi yang


dihasilkan kurang tepat karena seiring peningkatan waktu seharusnya
absorbansinya meningkat tetapi dari data terlihat bahwa absorbansinya
naik dan kemudian di menit selanjutnya turun kembali. Hal ini dapat
disebabkan karena pada saat uji disolusi dilakukan terdapat pengotor atau
kontaminan pada aquadest yang digunakan sebagai medium disolusi dan
saat pemasukkan aquadest setiap 10 menit sekali sebagai pengganti
larutan yang diambil. Hal ini menyebabkan kontaminan tersebut terserap
juga absorbansinya pada alat sehingga hasil absorbansi menjadi kurang
akurat. Tetapi hasil absorbansi yang dihasilkan pada uji ini baik karena
memenuhi hukum lambert-beer yaitu 0,2-0,8.
Persyaratan uji disolusi dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut
dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian
dilakukan sampai tiga tahap. Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada
tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap
berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi.
Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap
3 (S3 ). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi. Kriteria penerimaan
hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah ini.

Tabel. 2.1. Penerimaan Hasil Uji Disolusi


Tahap Jumlah Sediaan yang diuji

S1 6 Ti

S2 6 Ra
se

Q
S3 12 Ra
2u

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari
jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah
persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama
dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,
persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi
75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm
atau alat 2 pada 50 rpm.
Perhitungan hasil dari uji disolusi dilakukan menggunakan rumus :
% disolusi =
Pengujian dilakukan terhadap tiga tablet untuk membandingkan
hasil pada satu tablet dengan tablet yang lainnya dan meminimalisir
terjadinya kesalahan sehingga pengukuran dilakukan berulang. Hasil yang
didapatkan melalui perhitungan adalah :

1. Tablet 1
Menit ke 5 = 9,16075%
Menit ke 15 = 18,32776%
Menit ke 25 = 17,37406%
Menit ke 35 = 18,16425%
Menit ke 45 = 16,27248%
2. Tablet 2
Menit ke 5 = 13,53578%
Menit ke 15 = 16,49457%
Menit ke 25 = 16,77451%
Menit ke 35 = 15,88415%
Menit ke 45 = 16,93780%
3. Tablet 3
Menit ke 5 = 11,90375%
Menit ke 15 = 15,46742%
Menit ke 25 = 17,80827%
Menit ke 35 = 18,5342%
Menit ke 45 = 17,54041%

Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa nilai % disolusi


ada yang naik kemudian turun kembali di selang 10 menit setelahnya.
Seharusnya % disolusi meningkat seiring bertambahnya waktu dan
mencapai 75% di menit 45 sesuai persyaratan uji disolusi. Hal ini dapat
terjadi disebabkan karena faktor pengikat dan disintegran. Dimana bahan
pengikat dan disintegran mempengaruhi kuat tidaknya ikatan partikel-
partikel dalam tablet tersebut sehingga mempengaruhi pula kemudahan
cairan untuk masuk berpenetrasi ke dalam lapisan difusi tablet menembus
ikatan-ikatan dalam tablet tersebut. Dalam hal ini pemilihan bahan
pengikat dan disintegran dan bobot dari penggunaan bahan pengikat dan
disintegran sangat berpengaruh terhadap laju disolusi. Selain itu penyebab
lain yang mungkin adalah formulasi dari sediaan tablet yang kurang baik.
Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya
kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan)
dan kekerasan. Faktor lain yang menyebabkan hasil percobaan tidak
akurat adalah kecepatan pengadukan saat uji. Pengadukan mempengaruhi
penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas
permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Semakin lama kecepatan
pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi. Pada percobaan ini
kecepatan pengadukannya rendah sehingga % disolusi yang dihasilkan pun
rendah.
Selain itu Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi
hasil yang diperoleh antara lain :
o Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
o Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.
o Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel
menggunakan pipet volume.
o Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.
o Suhu yang dipakai tidak tepat.

IX. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh %disolusi tablet glycerol
guaikolat setelah 45 menit yaitu antara 16 – 18 %. Hal ini menunjukkan
bahwa %disolusi glycerol guaikolat tidak memenuhi syarat pada
Farmakope Indonesia yang menyebutkan bahwa ‘dalam waktu 45 menit
harus larut tidak kurang dari 75 %’ sehingga bisa dikatakan %disolusi
tabletglycerolguaikolat pada percobaan tidak bagus.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya Baru.
Jakarta.
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat.
Penerjemah Farida Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti
Sjamsiah, Apt. Airlangga University Press. Surabaya.
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. PT.
Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta:
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada
Press. Yogyakarta.

Depkes RI, 1979, Farmakope edisi III, Jakarta

Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, Jakarta

Firmansyah, 1989, Formula tablet, Universitas Andalas press

Bagian Farmakologi FK UI, 1995, Farmakologi dan Terapi edisi IV, Jakarta, UI
press

Shargel, L, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Surabaya ;


Airlangga university press

Read
more: http://laporanakhirpraktikum.blogspot.com/2013/06/g.html#ixzz4
wTUrQvMm

3.1 MONOGRAFI
3.1.1 Zat khasiat Paracetamol (Acethaminophen)
Rumus bangun
Rumus molekul = C8H9NO2

Berat molekul = 151,16

Pemerian
Serbuk halus, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

Kelarutan
Larut dalam air mendidih dan dalam Natrium Hidroksida 1 N, mudah larut
dalam etanol.

Identifikasi
A. Spektrum serapan IR zat yang telah dikeringkan diatas pengering yang
cocok dan didipersikan di dalam Kalium Bromida (p) menunjukkan hanya
max pada λ yang sama seperti pada Paracetamol BPFI.
B. Spektrum serapan UV larutan (1 dalam 200.000) dalam campuran asam
chloride 0,1 N dalam methanol P (1 dalam 100) menunjukkan max dan min
pada λ yang sama seperti Paracetamol BPFI.
C. Memenuhi uji identifikasi secara kromatografi lapis tipis, gunakan laritan 1
mg/ml dalam methanol P dalam fase gerak Diklorometana P metanhol P.

Jarak lebur = Antara 168 dan 172


Sisa pemijaran = Tidak lebih dari 0,1%

Penetapan kadar
Larutan baku timbang seksama sejumlah Paracetamol BPFI, larutkan dalam
air hingga kadar lebih kurang 12 μg/ml.
Larutan uji timbang seksama lebih kurang 120 mg, masukkan kedalam labu
ukur 500 ml, larutkan dalam 10 ml methanol P, encerkan dengan air
sampai tanda batas dan campur.

(AU)

Ukur serapan larutan uji dan larutan baku pada λ serapan max ± 200 nm
terhadap air sebagai blanko, hitung jumlah dalam mg C8H9NO2 dengan
rumus :

AU

10oC =

Wadah dan penyimpanan


Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.

Khasiat = Analgetik dan Antipiretik

3.1. Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel

partikel yang lebih kecil,dan Disolusi adalah melarutnya partikel



partikel yang lebih kecil itu kedalam cairangastrointestinal untuk diabsorbsi.
Rute oral dari pemberian obat merupakan rute penerimaanyang luas yaitu
hingga 50-60 % dari keseluruhan bentuk sediaan. Bentuk sedian padat
popular karena mudahnya pemberian, dosis yang akurat, dapat digunakan
sendiri, tanpa rasa sakit dan penerimaan pasien yang baik.

Tablet merupakan sediaan padat yang kompak, mengandung satu atau lebih
zat aktif,mempunyai bentuk tertentu, biasanya pipih bundar, yang dibuat
melalui proses pengempaan
atau pencetakan. Kaplet merupakan modifikasi bentuk dari tablet yaitu tablet y
ang berbentuk kapsular. Tablet juga salah satu sediaan padat yang cepat
melarut atau terdisintegrasi padarongga mulut. Selain itu, tablet merupakan
sediaan padat yang mudah ditelan dan sangat cocok untuk orang-orang yang
aktif (Parmar, Baria, Tank, Faldus, 2009)

Menurut mekanisme disintegrasi (penghancuran) sediaan/pelepasan zat aktif,


maka tabletdapat dibedakan menjadi:

Menurut mekanisme disintegrasi (penghancuran) sediaan/pelepasan zat aktif,


maka tabletdapat dibedakan menjadi:

1. Fast disintegrating tablet (Tablet orodispersibel)

Tablet jenis ini mengalami disintegrasi dan pelepasan zat aktif yang sangat
cepat
saat bersentuhan dengan cairan (saliva, jika diletakkan di atas lidah). Tablet
ini didesain untuk mengakomodasi pasien-pasien geriatric yang mengalami
kesulitan dalam menelan tablet biasa(immediate released tablet).Biasa
didesain dalam ukuran yang cukup kecil..

Menurut farmakope Erope, tablet orodispersibel harus terdispersi atau


terdisintegrasidalam waktu kurang dari tiga menit. Pendekatan dasar dalam
pengembangan tabletterdisintegrasi cepat adalah dengan menggunakan
superdisintegran seperti karbosil metil selulosatertaut silang. Bioavaibilitas
dari beberapa obat dapat meningkat terkait absorpsi pregastrik darisaliva
yang mengandung obat yang terlarut. Teknologi yang digunakan dalam
memproduksitablet yang melarut cepat adalah kering beku, semprot kering,
tablet molding (pencetakan),sublimasi dan tablet kompresi (Debjit,
Krishnakanth, Pankaj, dan Margret, 2009)

2. Chewable tablet (tablet kunyah)

Tablet ini dimaksudkan untuk dikunyah terlebih dulu sebelum ditelan, untuk
membantumempercepat proses disintegrasi dalam lambung. Biasanya
tablet ini mengandung zat aktif danatau eksipien dalam jumlah besar
sehingga tablet ini bervolume besar, sehingga tidak memungkinkan untuk
ditelan langsung tanpa dikunyah terlebih dulu. Tablet dipastikan
tidak memiliki kekerasan yang terlalu tinggi untuk memfasilitasi proses
penguyahan dengan mudah.Contoh : tablet antasida
3. Troches/Lozenges (tablet hisap)Tablet ini dimaksudkan untuk
terdisintegrasi pelan-pelan sehingga bertahan lama dalamrongga mulut,
sebagaimana halnya gula-gula. Contoh: tablet hisap Vitamin C
4. Immediate released tabletTablet ini dimaksudkan untuk langsung ditelan
dengan bantuan cairan atau makanan.Tablet ini akan terdisintegrasi
dalam lambung selama kurang dari 15 menit untuk dapat
segeramelepaskan zat aktifnya.
5. Sustained released tabletTablet ini juga dimaksudkan untuk lansung
ditelan, namun diforumulasikan sedemikianrupa sehingga dapat
terdisintegrasi secara perlahan pada lambung dan usus, sehingga
dapatmelepaskan zat aktif secara bertahap dalam waktu yang cukup
lama. Tablet ini dimaksudkanuntuk memfasilitasi pengurangan frekuensi
minum obat dari pasien. Hal ini akan sangatmembantu treutama bagi
pasien geriatric.
6. Delayed release tabletTablet ini juga langsung ditelan, namun didesain
untuk memberikan pelepasan zat aktif yang tertunda, contoh: enteric
coated tablet dan pulsatile released tablet
7. Dispersed tabletsTablet ini dimaksudkan untuk didispersikan terlebih
dulu dalam sejumlah cairan, sebelumditelan. Maksud didispersikan
terlebih dulu adalah untuk lebih memfasilitasi proses disintegrasidan
distribusi zat aktif terlarut dalam cairan lambung maupun usus.
8. Effervescent tabletsDisintegrasi tablet ini difasilitasi oleh reaksi saturasi
(pendesakan oleh gas CO2 yangterjadi dari reaksi asam lemah (asam
sitrat/asam tartrat/asam fumarat) dan garam
berkarbonat(NaHCO3/Na2CO3) yang ada dalam tablet, saat bersentuhan
dengan air). Untuk itu, effervescenttablet tidak boleh langsung ditelan,
namun harus di larutkan dulu dalam segelas air dingin. GasCO2 yang
masih ada dalam larutan tersebut dapat berfungsi sebagai penyegar
(sebagaimana CO2dalam soft drink) dan dapat menyamarkan rasa pahit,
sehingga effervescent tablet ini biasadigunakan untuk minuman tonik
yang mengandung vitamin atau suplemen makanan yang larutair

Debijt Bhowmik, Chiranjib, B, Krisnakanth, Pankaj, dan R.Margret


Chandira.’2009. Fast
Dissolving Tablet:
an overview Journal of Chemical and Pharmaceutical Research
, 1, 163-177
Parmar R.B, Baria A.H, Tank H.M, dan Faldus.D.2009.
Formulation and evaluation of Domperidone Fast Dissolving
Tablets.International Journal of PharmTech Research
, 1 483-487

Anda mungkin juga menyukai