Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

Biofarmasetika

Kelompok : 1

Nama : Muhammad fadhil


kamil
Nim:SF21149

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS BORNEO LESTARI

BANJARBARU

2023

PERCOBAAN IV
ABSORPSI PERKUTAN OBAT SECARA IN VIVO

Bab 1 Pendahuluan

Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan kali ini adalah untuk mengetahui proses absorpsi perkutan dan
fungsi stratum korneum sebagai penghalang fisik dalam absorpsi obat secara
perkutan.

Pendahuluan
Obat akan masuk badan bila penggunaan obat secara enteral atau parenteral. Yang
dimaksud penggunaan obat secara enteral adalah penggunaan obat melalui mulut, di
bawah lidah dan melalui dubur. Sedang penggunaan obat secara parenteral adalah
secara intravena,
intramuskular dan subkutan, selain itu penggunaan obat secara inhalasi, penggunaan
secara topical (pada kulit) dan mata. Penggunaaan obat untuk kulit dimaksudkan
untuk efek lokal tidak untuk sistemik. Bentuk sediaan yang digunakan untuk kulit
adalah salep, krim, pasta dengan basis yang bermacam-macam dan mempunyai sifat
yang bermacam-macam seperti hidrofil (suka air) atau hidrofob

Tiap obat menghendaki basis yang cocok dan tidak ada basis yang bersifat umum
karena ini berhubungan dengan sifat fisika kimia obat dengan basis.
Basis harus mudah melepaskan obatnya bila salep digunakan pada kulit agar obat
dapat diserap melalui kulit. Sediaan farmasi yang digunakan pada kulit adalah untuk
memberi aksi lokal dan aksinya dapat lama pada tempat yang sakit sedikit mungkin
diabsorpsi. Oleh karena itu sediaan untuk kulit biasanya pemakaian pada kulit
digunakan sebagai antiseptik, antifungi, antiinflamasi, anestetik lokal, emolien,
pelindung terhadap sinar matahari, udara dan iritasi zat kimia
Kulit manusia terdiri dari 3 lapisan yang berbeda yaitu epidermis, dermis, dan
jaringan subkutan yang berlemak. Epidermis merupakan lapisan luar, dengan tebal
0,16 mm pada pelupuk mata sampai 0,8 mm pada telapak kaki dan tangan. Fungsi
epidermis adalah sebagai sawar pelindung terhadap bakteri, iritasi kimia, alergi dan
lain-lain. Epidermis dapat dibagi menjadi 5 lapisan (stratum) yaitu korneum, lusidum,
granulosum, spinosum, dan germinativum. Stratum korneum terdiri dari sel mati
berkeratin berbentuk dan tersusun berlapis-lapis. Stratum korneum
diduga merupakan sawar kulit pokok terhadap kehilangan air. Beberapa lapis sel mati
berkeratin sangat hidrofil dan bila tercelup dalam air akan mengembang, hal ini
menjaga permukaan kulit tetap halus dan lentur. Lapisan film permukaan lipid
teremulsi pada permukaan kulit, membantu
menahan air tetap dalam kulit, walaupun bukan merupakan mantel penutup Dermis
atau corium tebalnya 3-5 mm, merupakan anyaman serabut kolagen dan elastis yang
bertamggung jawab untuk sifat-sifat penting dari kulit. Dermis mengandung
pembuluh darah,

pembuluh limfe, gelembung rambut, kelenjar lemak (sebasea), kelenjar keringat, otot
dan serabut saraf dan korpus pacini. Daerah atas dari korium terdapat papil. Lapisan
papil mengandung akhir saraf yang dipengaruhi oleh perubahan suhu dan aplikasi
anastetika lokal dan iritasi. Sedangkan jaringan subkutan berlemak bekerja sebagai
bantalan dan isolator panas

Absorpsi perkutan termasuk penetrasi perkutan yakni perjalanan melalui kulit


meliputi disolusi suatu obat dalam pembawanya, difusi obat terlarut (solute) dari
pembawa ke permukaan kulit, dan penetrasi obat melalui lapisan-lapisan kulit,
terutama lapisan stratum korneum. Tahap
yang paling lambat dalam proses tersebut biasanya meliputi perjalanan melalui
stratum korneum. Oleh karena itu, ini merupakan laju yang membatasi atau
mengontrol permeasi
Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses transmembran bagi umumnya
obat-obatan.Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi
obat pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum difusi Fick, molekul obat
berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah dengan konsentrasi
obat rendah

Absorpsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi langsung
obat melalui stratum korneum 10-15 μm, tebal lapisan datar mengeringkan sebagian
demi sebagian jaringan mati yang membentuk permukaan kulit paling luar. Stratum
korneum terdiri kurang lebih
40% protein (pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa
perimbangannya terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan
fosfat lemak. Komponen lemak dipandang
sebagai faktor utama yang secara langsung bertanggung jawab terhadap rendahnya
penetrasi obat melalui stratum korneum. Sekali molekul obat melalui stratum
korneum kemudian dapat terus melalui jaringan epidermis yang lebih dalam dan
masuk ke dermis apabila obat mencapai lapisan pembuluh kulit maka obat tersebut
siap untuk diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum. Walaupun kulit telah dibagi secara
histologi ke dalam stratum korneum, epidermis yang hidup, dan dermis secara
bersama-sama dapat dianggap merupakan lapisan penghalang. Penetrasi lapisan ini
dapat terjadi
dengan cara difusi melalui :
(1) penetrasi transeluler (menyeberangi sel); (
2) penetrasi interseluler(antarsel);
(3) penetrasi transappendageal (melalui folikel rambut, keringat, kelenjar lemak dan
perlengkapan pilo sebaceaus)

Faktor-faktor penting yang mempengaruhi penetrasi dari suatu obat ke dalam kulit
adalah:
(1) konsentrasi obat terlarut Cs , karena laju penetrasi sebanding dengan konsentrasi;
(2) koefisien partisi K antara kulit dan pembawa, yang merupakan ukuran afinitas
relatif dari obat tersebut untuk
kulit dan pembawa; dan
(3) koefisien difusi, yang menggambarkan tahanan pergerakan molekul
obat melalui barier pembawa Dv dan pembatas kulit Ds. Besaran relatif dari kedua
koefisien difusi tersebut menentukan apakah pelepasan dari pembawa atau perjalanan
melalui kulit merupakan
tahap yang menentukan laju

Dasar-dasar absorpsi perkutan belum sepenuhnya dapat dipahami. Dari segi factor
fisiologi, yang mempengaruhi kecepatan atau besarnya absorpsi perkutan adalah
keadaan kulit, luas daerah pemakaian, dan banyaknya pemakaian. Pada kulit yang
sakit atau lecet, sering terjadi
kenaikan kecepatan dan besarnya absorpsi kecil. Bila sawar kulit rusak pengaruh
dasar salep pada absorpsi kecil. Pada daerah kulit yang tebal seperti telapak kaki dan
telapak tangan penetrasi berjalan lambat dan penetrasi berjalan cepat pada aerah yang
lapisan keratinnya tipis misalnya pada muka dan pelupuk mata

Pemberian transdermal memberi pelepasan obat ke sistem tubuh melalui kulit.


Contoh dari suatu obat yang dilepas secara transdermal adalah Transderma-V. Untuk
masuk pejalanan Transderma-V melepaskan skopolamin melalui kulit telinga. Rute
pemberian ini dapat melepaskan
obat selama beberapa jam tanpa efek samping saluran cerna yang tidak
menyenangkan. Obat yang diberikan secara transdermal tidak dipengaruhi oleh ‘first-
pass effects
Bab 2 metologi percobaan
CARA PERCOBAAN
a. Alat yang dipergunakan dalam percobaan:
1. aluminium foil
2. kapas
3. kain kasa
4. lakban
5. labu ukur 100, 250 mL
6. pipet volume
7. pipet tetes
8. sentrifuge
9. spektrofotometer UV
10. spuit injeksi (1 mL)
11. stopwatch
12. tabung reaks
13. timbangan analitik.

b. Bahan yang dipergunakan dalam percobaan:


1. Aquades
2. asam salisilat
3. EDTA
4. Etanol
5. FeCl3 1%
6. HNO3
7. salep asam salisilat
8. TCA 1%.
c. Hewan percobaan yang digunakan adalah kelinci

Cara Kerja
perlakuan pada kelinci
a. Kelinci dicukur daerah punggung seluas 20 cm2 ( 5 x 4 cm), kemudian di wax dan
diolesi
3 gram asam salisilat.
b. Kemudian ditutup dengan aluminium foil dan dibalut dengan kain kasa
c. Kemudian dilakukan pengambilan darah pada menit ke – 15, 30, 60, 90.
d. Kemudian darah diambil sebanyak 1 ml dari vena marginalis di bagian telinga
kelinci menggunakan spuit yang telah berisi EDTA 0,1 mL. Kemudian ditampung
dalam tabung dan disentrifuge selama 10 menit dan dipisahkan bagian serum dan
plasma.
e. Plasma darah dimasukkan kedalam tabung dan ditambahkan 2 mL larutan TCA 1
% dan disentrifuge selama 10 menit dan diambil sebanyak 1ml bagian bening dan
ditambahkan 3 ml aquades dan kemudian ditambahkan FeCl3 1 % sebanyak 2 tetes
dan ditentukan
absorbansinya dengan menggunakan spekrtofotometer UV
f. Dicatat hasilnya.

Penentuan panjang gelombang maksimal asam salisilat


a. Ditimbang asam salisilat sebanyak 150 mg dan dilarutkan kedalam etanol 10 ml
b. Dimasukkan kedalam labu ukur 250 mL dan ditambahkan aquadest ad batas dan
dikocok sampai homogen.
c. Diambil 10 mL larutan b dan dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan
ditambahkan aquadest ada 100 ml
d. Kemudian diambil 10 ml larutan c dan ditambahkan FeCl3 1 % dan HNO3
masing-masing sebanyak 2 tetes.
e. Ditentukan panjang gelombang maksimal menggunakan spektrofotometer UV.
f. Dicatat hasilnya.
penentuan kurva baku asam salisilat secara in vivo
a. Ditimbang 150 mg asam salisilat dan dilarutkan kedalam etanol 10 mL.
b. Kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 250 mL dan ditambahkan aquadest ad
250 mL dikocok ad homogen.
c. Kemudian diambil dari larutan b sebanyak 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, 25 ml dan
dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL dan di ad sampai tanda batas.
d. Kemudian dari masing masing larutan diambil 10 mL dan ditambahkan FeCl3 1 %
dan HNO3 sebanyak 2 tetes dan diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.
e. Dicatat hasilnya.

pengambilan sampel darah ( Blanko)


a. Diambil darah dari vena marginalis di bagian telinga kelinci dan ditampung dalam
tabung yang sudah berisi EDTA kemudian disentrifuge selama 10 menit, dipisahkan
plasma darah dan serum.
b. Kemudian plasma darah ditambahkan 2 mL larutan TCA 1 % dan disentrifuge
selama 10 menit dan diambil sebanyak 1 ml bagian bening.
c. Kemudian larutan pada poin b, ditambahkan 3 mL aquadest dan ditambahkan
FeCL3 1 % sebanyak 2 tetes dan diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer UV
d. Dicatat hasilnya. penentuan Recovey asam salisilat dalam darah

a. Diambil darah sebanyak 1 ml dari vena marginalis dibagian telinga kelinci dengan
menggunakan spuit yang telah berisi EDTA 0,1 mL, kemudian ditampung kedalam
tabung.
b. Ditambahkan 0,2 mL asam salisilat dan disentrifuge selama 10 menit dan
dipisahkan antara plasma dan serum.
c. Kemudian plasma darah dimasukkan kedalam tabung dan ditambahkan 2 mL
larutan TCA 1% dan disentrifuge selama 10 menit dan diambil 1 ml bagian yang
bening.
d. Kemudian larutan pada poin c, ditambahkan 3 mL aquades dan FeCl3 1 %
sebanyak 2 tetes
e. Diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV.
f. Dicatat hasilnya.
Gambar Penjelasan

-------------------------------------------------------------- --------------------------------------------
- -------------------

Subjek percobaan

Penimbangan subjek
Pengambilan sample darah subjek
T0

Pemberian salep asam salisilat

Subjek setelah di berikan asam


salisilat
Pengambilan T1

Pengambilan T30

Pengambilan T45

Pengambilan T60

Pengambilan T90
Pengambilan T120

Pengambilan T140

Darah sample

Pembuatan larutan asam salisilat


Pencampuran darah sample dengan
larutan asam salisilat

Sample di masukan ke mesin sentri

Mesin sentri berputar


Hasil spektrometri

Bab 4 pembahasan

Pembahsan

Praktikum kali ini bertujuan agar mahasiswa mampu menentukan kadar asam
salisilat yang larut dalam darah hewan uji kelinci megunakan mesin sentri dan
mesin spektrofotometri dalam darah setelah pemberian obat secara topikal. Pada
praktikum kali ini dilakukan pengambilan sampel darah pada hewan uji yaitu pada
bagian vena telingan. Dalam praktikum kali ini digunakan hewan uji kelinci atau
nama lain Oryctolagus cuniculus karena memiliki ketersediaan hayati yang mirip
dengan manusia. Namun kondisi pada hewan uji tidk selalu menggambakan
kondisi pada manusia yaitu pada absorbsi,distribusi,metabolism, serta ekskresi.

Pada praktikum kali ini digunakan bagian punggung untuk pengaplikasian senyawa
aktif dan di telingan untuk mengambil sample darah . Sebelumnya diberikan obat
secara topikal. kelinci dipegang dengan benar da diposisikan lurus, kemudia ambil
arah T0 sebagai belangko, kemudian segera berikan salep uji. Pengambilan sampel
dilakukan dengan cara hewan di pengang dengan erat dan sample darah di ambil
melalui vena telinga.
Pertama-tama dibersihkan dahulu bulu-bulu disekitar bagian yang akan dioles
menggunakan alat cukur dengan tujuan agar dapat dengan mudang
mengaplikasikan zat aktif. Kemudian dioleskaan alkohol lalu dilap, berguna untuk
aseptis yaitu membersihkan ekor tersebut serta mencegah terjadinya infeksi,
pengolesan di lakukan di bagian punggung karena merupakan area dengan
permukaan terbesar dan dapat dengan mudah di amati.
Pengolesan di lakukan secara merata dan kemudian di bungkus menggunakan kerta
alumuniaum untuk menghindari kontak dengan apapun yang dapat mengganggu.
Sampel darah yang keluar dimasukkan dalam tabung effendorf yang telah diberi
antikoagulan berupa Na-EDTA(Etilena Diamin Tetra Asetat). Antikoagulan
berguna untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat
pembentukan fibrin serta agar saat darah dimasukkan dalam effendorf tidak
menggumpal. Contoh lain antikoagulan yaitu warfarin, heparin, griserifulvin
barbiturat, dan sebagainya. Waktu penngambilan sampel dilakukan sebanyak 7 kali
15,30,45,60,90,120,140 menit. Tujuan dari pengambilan sampel untuk melihat
konsentrasi asam salisilat pada darah kelinci. Minimal pengambilan titik sampling
di 3 titik absorbsi, 3 fase puncak, 3 fase eliminasi, diambil minimam 3 biar ga
linear misla kurang dari maka tidak membentuk grafik. Sampel ke hewan uji atau
manusia frekuensi jika terlalu cepat dapat mengiritasi. Dilakuka pengambilan
sampel pada waktu 0,15,30,45,60,75,90,105, dan 120 menit setelah pengolesan.
Kemdian diambil blank sebagai pembanding. Penentuan waktu sampling
berdasarkan waktu paruh lebih tepatnya yaitu waktu paruh tiap fase, juga waktu
maksimal. Fase eliminasi digunakan t1/2 eliminasi, penentuan pakai biasanya 7x
waktu paruh.

Dilakukan pembatan kurva baku yang bertujuan untuk menentukan kadar asam
salisilat dari darah. Kurva baku menentukan persamaan regresi linear. Blanko sebagai
pembanding sebagai peng-0 di spektro untuk tau kadar aspirin murni itu berapa

Dalam praktikum ini asam salisilat dalam Sampel darah dalam effendorf divortex
yang kemudian ditambahkan TCA dan divortex kembali. Fungsi TCA yaitu untuk
mengendapkan protein pada plasma darah dan berfungsi sebagai mendenaturasi
protein mengubah jadi sturktur sekunder, dan tersier pembentukan disulfide serta
memberi suasana asam. Vortex bertujuan untuk menghomogenkan campuran.
Setelah itu disentrifugasi yang bertujuan untuk memisahkan campuran berdasarkan
berat jenis molekul, dan mengendapkan sel. Prinsip kerja sentrifugasi yaitu dengan
gaya sentrifugal sehingga diperoleh pemisahan berdasarkan berat jenis molekul dan
pembentukan endapan. Dalam praktikum ini dilakukan sentrifugasi 5000 rpm
selama 10 menit, dihasilakan berat jenis ringan berada di fase diatas (bening=
supernatan) yaitu plasma, dan berat jenis yang lebih besar di bawah berupa protein
terdenaturasi (serum) yang akan mengendap. Bagian plasma kemudian
ditambahkan etil asetat. Fungsi etil asetat yaitu untuk melarutkan asam salisilat,
menarik asam salisilat terpisah dari blanko darah, dan memisahkan asam salisilat
akan berada pada fase etil salisilat agaf membentuk fraksi etil asetat. Penguapan
untuk menghasilkan residu asam salisilat, dan dianalisis agar didapat asam salisilat
murni biar bisa dianalisis. Residu kering (berwarna putih) kemudian ditambahkan
larutan 3 mL aquades dan FeCl3 1 % sebanyak 2 tetes untuk menghidrolisis.
Campuran kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang maksimum
302 nm .
Parameter farmakokinetika yaitu ada tetapan kecepatan absorpsi (Ka). Tetapan
kecepatan absorpsi menggambarkan kecepatan absorpsi, yakni masuknya obat ke
dalam sirkulasi sistemik dari absorpsinya (saluran cerna pada pemberian oral,
jaringan otot pada pemberian intramuskuler). Waktu mencapai kadar puncak (Tmax)
menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak. Di
samping Ka, Tmax ini juga digunakan sebagai parameter untuk menunjukkan
kecepatan absorpsi, dan parameter ini lebih mudah diamati/dikalkulasi dari pada Ka.
Kadar puncak (Cmax) kadar tertinggi yang terukur dalam darah/serum/plasma. Dosis
dikatakan aman apabila kadar puncak obat tidak melebihi kadar toksik minimal
(KTM). Satuan parameter ini adalah berat/volume (ug/ml atau ng/ml) dalam
darah/serum/plasma. Tetapan kecepatan eliminasi (Kel) menunjukkan laju penurunan
kadar obat setelah proses-proses kinetik mencapai keseimbangan. Tetapan ini dapat
ditentukan dengan rumus: Kel= 0,693/ T ½. Waktu paro eliminasi (T1/2) adalah
waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam

sirkulasi sistemik berkurang menjadi separonya. Nilai parameter ini merupakan


terjemahan praktis dari nilai Kel. Luas daerah di bawah kurva (AUC) Kadar obat
dalam sirkulasi sistemik (darah/serum/ plasma) vs. waktu (AUC) Nilai AUC (Area
Under Curve) dapat dihitung pada berbagai periode pengamatan, sesuai kebutuhan,
misalnya AUC0-12, AUC0-24 atau AUC0-~. AUC menggambarkan derajat yakni
kemampuan tubuh untuk membersihkan darah dari obat yang termuat di dalam
tubuh (= Vd).

Dari hasil percobaan, didapatkan masing-masing sembilan parameter untuk setiap


tikus. Dari keempat tikus, didapatkan rata-rata tiap parameternya yaitu K sebesar
0.03745; t1/2 eliminasi sebesar 18.56 menit; AUC Total sebesar 556.2; VD sebesar
322.665 mL; Klirens sebesar 12.06 mL/menit; Ka sebesar 0.0385; t1/2 absoebsi
sebesar 17.5 menit; tmax sebesar 26.5 menit; dan cmax sebesar 7.4 µg/ml. Nilai
tetapan absorbsi yang lebih besar dari tetapan eliminasi menggambarkan bahwa
dalam proses absorbs tidak ada hambatan apapun, sehingga diperoleh Ka yang
lebih besar dari K. Dapat disimpulkan bahwa hasil validasi metode analisis yang
dilakukan semua memenuhi persyaratan parameter akurasi dan presisi. Didapatkan
hasil percobaan memenuhi syarat untuk parameter akurasi dimana hasilnya masuk
dalam rentang 95%-105%, serta memenuhi syarat kesalahan sistematik dan
kesalahan acak yang pada tiap seri kadar kurang dari 10%.

Bab 5 kesimpulan

Kesimpulan

Praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa dari hasil percobaan, didapatkan
masing-masing sembilan parameter untuk kelinci.Didapatkan rata-rata tiap
parameternya yaitu K sebesar 0.0201; t1/2 eliminasi sebesar 34,4776 jam ;
konsentrasi tertinggi asam salisilat terjadi di menit ke 60 dan menurun secara
bertahap tmax sebesar 6 menit; dan cmax sebesar 4,7345 μg/ml. Hasil validasi
metode analisis yang dilakukan semua memenuhi persyaratan parameter akurasi dan
presisi. Didapatkan hasil percobaan memenuhi syarat

untuk parameter akurasi dimana hasilnya masuk dalam rentang 95%-105%, serta
memenuhi syarat kesalahan sistematik dan kesalahan acak yang pada tiap seri kadar
kurang dari 10%.

Bab 6 lampiran

Lampran
Daftar pustaka

Cairns, Donald. 2008. “Intisari Kimia Farmasi (edisi II)”. Penerbit Buku
Kedokteran,
EGC : Jakarta
Ganiswarna, Sulistia G. 2009. ”Farmakologi dan Terapi (Edisi V)”. Bagian
Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Kusuma, I.Y., Iqbal, M. and Agustin, I.M., 2019, December. Pengaruh Pemberian
Vitamin C Terhadap Perubahan Profil Farmakokinetika Natrium Diklofenak
pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus L.). In Prosiding Seminar Nasional
INAHCO 2019 (Vol. 1).Syukri Y., 2002. Biofarmasetika, UII Press,
Yogyakarta.

Anief, M. 1994. Farmasetika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Ansel, Howard C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. UI-
Press. Jakarta.
Martin, A. 1993. Farmasi Fisik : Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalam Bidang Ilmu
Farmasetik
Jilid 2 Edisi Ketiga. UI-Press. Jakarta.
Shargel, L & Andrew. B.C Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan
Edisi
Kedua. Airlangga University Press. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai