Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PERILAKU PELAYANAN FARMASI

KELOMPOK: 2
KELAS: C
1. Afina Naufal (201410410311020) 16. Rika Yunita
2. Rahmat Hidayat (201410410311020) 17. Nur Fitria D
3. Pingky Kusuma W(201410410311020) 18. Octaviana P
4. Astriniar Nisrina U (201410410311020) 19. Nejella
5. Ardhiyanti K.F Rachim (201410410311020) 20. Septiana T P
6. Raffita Yuniananda (201410410311020) 21. Yeni Yesica
7. Alfira Aryanti (201410410311020) 22. Diah Dwi W
8. Rahmat Akbar (201410410311020) 23. Dwi Agus H
9. Selfi Triana P (201410410311020) 24. Onelia I S
10. Rima Dwi C (201410410311020) 25. Fitriana A H
11. Chenchen Puspitasari (201410410311020) 26.
12. Wardatun Nafisah (201410410311020)
13. Dian Karasvita L (201410410311020)
14. 14. Rika Rahim
15. 15. Ratih K
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Preskripsi dengan judul
Asma.
Dalam penyelesaian makalah ini kami banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup
baik.Karena itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membimbing dan membantu kami dalam pengerjaan makalah ini.
Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran,
penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang
lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Harapan kami semoga makalah ini, dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi
para pembacanya tentang penyakit asma.

Malang, 5 Mei 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dokter merupakan profesi mulia karena menyembuhkan orang-orang yang sakit.
Orang (pasien) yang datang ke dokter berharap mendapatkan diagnosa penyakit apa yang
sedang diderita dan mendapatkan resep obat apa yang harus dibeli pasien. Pasien
mempercayai dokter saat memberikan rekomendasi obat dalam resep demi
kesembuhannya. Sedangkan Medical Representative (MedRep) atau yang lebih dikenal
dengan sebutan detiler, merupakan sebuah pekerjaan yang bergerak di departemen
marketing perusahaan Farmasi. Tugasnya sebagaimana suatu tim promosi yang
mempromosikan obat-obatan ethical, yaitu obat yang diresepkan dokter dan tidak dijual
bebas.

Pada kenyataan, banyak dokter yang memanfaatkan hal tersebut untuk mengadakan
kerjasama dengan perusahaan obat (farmasi), dimana dokter diberikan imbalan berupa
uang atau barang (yang sifatnya nikmat) oleh perusahaan farmasi dan oknum dokter
tersebut memberikan resep obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi tersebut. Hal
ini juga disebabkan kepentingan finansial dari perusahaan farmasi agar obat yang
diproduksi laku terjual dipasaran. Dampak dari adanya praktik tersebut utamanya
mengakibatkan mahalnya harga obat yang harus dibeli pasien dan muncul keraguan
kualitas obat demi kesembuhan pasien karena adanya kepentingan pribadi dokter saat
memberikan resep.

Tindakan yang dilakukan dokter tersebut dapat diduga merupakan tindak pidana suap
atau tindak pidana gratifikasi yang dianggap suap. Kedua delik pidana ini tentu berbeda
dan sifatnya kontekstual. Dikatakan tindak pidana suap ketika memenuhi unsur-unsur
sebagaimana dimaksud Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Kemudian dikatakan
tindak pidana gratifikasi yang dianggap suap ketika memenuhi unsur-unsur sebagaimana
dimaksud Pasal 12B beserta pejelasan UU Tipikor. Sedangkan dalam kode etik usaha
farmasi Indonesia dan telah disetujui oleh gabungan perusahaan farmasi Indonesia.
Dalam pasal 3 mengenai medical representative disebutkan bahwa :

1
1. Para medical representative harus dilatih secara memadai dan mempunyai
pengetahuan medis dan teknis secukupnya untuk dapat menyajikan informasi
tentang produk produk perusahaan mereka secara akurat, berimbang dan etis.
Mereka berkewajiban pula memberikan umpan balik kepada perusahaan masing
masing tentang penggunaan produk produk yang bersangkutan dan terutama
sekali laporan laporan tentang efek samping.

2. Perusahan bertanggung jawab atas akibat dari pelanggaran pelanggaran yang


dilakukan oleh medical representative terhadap pedoman ini.

3. Para medical representative hendaknya memelihara perilaku mereka pada standar


etis yang tinggi dalam menunaikan tugas dan kewajiban mereka.

4. Para medical representative hendaknya tidak menggunakan alasan yang dicari


cari untuk memperoleh kesempatan bertemu dengan profesi kesehatan, sehingga
kunjungan tidak mengganggu atau menghambat profesi kesehatan dalam
menjalankan tugasnya dan ketentuan ketentuan mengenai kunjungan di masing-
masing instansi hendaknya diperhatikan dan ditaati.

Berdasarkan bunyi pasal tiga tersebut maka dicoba mencari hubungan antara
pengetahuan mengenai produk dan frekuensi kunjungan ke dokter oleh medical
representative terhadap peresepan dokter. Berbeda dengan promosi obat bebas, obat
resep atau obat ethical tidak boleh langsung dipromosikan kepada konsumen, tetapi
dipromosikan secara tidak langsung yaitu melalui dokter yang akan meresepkan
(prescriber) yang mengetahui kondisi penyakit dan obat yang tepat untuk diberikan
kepada pasiennya yang dalam hal ini sebagai konsumen akhir dari produk ethical. Iklan
obat ethical hanya dapat dilakukan di media terbatas untuk profesi kesehatan, misalnya
medical journal dan event tertentu yang dihadiri oleh dokter dan profesi kesehatan
lainnya. Secara legal biasanya dokter akan memberikan resep kepada pasien dan pasien
membeli obat berdasarkan resep tersebut di apotek. Kemudian pasien akan menerima
obat beserta aturan pakainya selama periode tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja sumpah, kode etik dan hukum dokter dan apoteker terkait kasus tersebut?
2. Apakah kerjasama dokter dengan MedRep terkait kasus tersebut melanggar sumpah,
kode etik dan hukum?
3. Mengapa kejadian seperti kasus tersebut terjadi?

2
4. Apa dampak kejadian tersebut bagi dokter, medrep, apoteker maupun masyarakat?
5. Bagaimana solusi terkait masalah tersebut?
6. Bagaimanakah seharusnya hubungan antara dokter dan medrep yang baik?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kode etik dan hokum terkait hubungan dokter dengan medrep
2. Untuk mengetahui penyebab pelanggaran yang terjadi terkait hubungan dokter dengan
medrep
3. Untuk mengetahui dampak akibat dari pelanggaran yang terjadi terkait hubungan
dokter dengan medrep
4. Untuk mengetahui solusi terkain masalah yang terjadi terkait hubungan dokter dengan
medrep
5. Untuk mengetahui hubungan yang seharusnya antara dokter dengan medrep

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker,
baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan
obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. ( permenkes nomor 35 tahun 2014
pasal 1 )

Terdapat problematika yang telah lama terjadi dan secara terus menerus
berlangsung, berupa penulisan resep dokter yang sulit dibaca dan ketidaklengkapan
administrasi resep sebagai informasi pengobatan pasien (legalitas). Ini merupakan
salah satu faktor yang dapat mengakibatkan medication error dari sebuah pelayanan
kesehatan. Didasarkan hal itu, maka perlu dikaji bagaimana pertanggungjawaban
dokter dan apoteker dalam pelayanan resep yang menyebabkan medication error. (
Media Farmasi Vol. 13 hal 6 )

Medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat
selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah (Anonim1
, 2004)

Berdasarkan tahap kejadiannya, medication error dapat dibagi menjadi prescrbing


error (kesalahan peresepan), transcribing error (error terjadi pada saat pembacaan
resep), dispensing error (kesalahan distribusi), administration error (kesalahan
pemberian obat), dan patient compliance error (kesalahan kepatuhan penggunaan obat
oleh pasien) (Cahyono, 2012).

Kesalahan dalam tahap prescrebing menentukan tahapan-tahapan yang lain,


sehingga pentingnya penulisan resep harus jelas dan lengkap (Anonim, 1981).

2.1 Pertanggungjawaban Hukum Dokter dalam Pelayanan Resep


1. Aspek Hukum Hubungan Apoteker dan Dokter dalam Pelayanan Resep
Secara yuridis hubungan dokter dan apoteker dikonstruksikan sebagai pemberian
kuasa dari dokter pada apoteker untuk melakukan tugas dan keterampilannya. (Ajusar,
2004). Ketentuan mengenai pemberiaan kuasa ini secara umum sesuai dengan yang
ditentukan dalam Buku III KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1792 KHUPerdata disebutkan bahwa Pemberian kuasa adalah
suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang orang

4
lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Umumnya setiap perbuatan hukum dapat dikuasakan pada pihak lain, akan tetapi ada
perbuatan hukum yang sangat erat dengan kemampuan dan kewenangan yang tidak
dapat dikuasakan pada pihak lain. Dihubungkan dengan pemberian obat melalui resep
oleh dokter, maka pihak yang memiliki wewenang dan kemampuan untuk
melaksanakannya ialah apoteker
Ketentuan hubungan hukum dokter dan apoteker dalam pelayanan resep diatur
juga dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011 tentang
Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Disebutkan hubungan hukum antara
dokter dengan tenaga kesehatan lainnya berupa pendelegasiaan pekerjaan. Dokter
dapat mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang memiliki
kompetensi dan sesuai ruang lingkup keterampilan mereka untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut. Dokter tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasien yang
bersangkutan.
Ketentuan tersebut memberikan batas tanggungjawab baik bagi dokter
maupun apoteker, apabila di dalam pelayanannya menimbulkan kerugian pada pasien.
Tanggungjawab dokter menyangkut segala sesuatu yang tertulis dalam resep,
sehingga apabila dalam resep tersebut terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam hal
penulisan resep, maka dokter ikut bertanggungjawab terhadap pelayanan resep yang
dilakukan apoteker. Apoteker bertanggungjawab untuk menyiapkan dan menyerahkan
obat sesuai permintaan tertulis oleh dokter.
2. Pertanggungjawaban Etik dan Yuridis Dokter
Peraturan yang mengatur tanggungjawab etis seorang dokter adalah Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan lafal sumpah dokter. Kode etik kedokteran merupakan
pedoman perilaku etik yang mengikat para dokter maupun dokter gigi baik dalam
rangka menjalankan profesinya yang berhubungan dengan pasien, maupun hubungan
sesama rekan sejawat atau rekan sekerja, dan sekaligus terhadap diri sendiri. Menurut
Safitri (2012) bahwa pelanggaran terhadap butirbutir Kode etik ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata, dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan
sekaligus pelanggaran hukum yang dikenal dengan istilah pelanggaran etikolegal.

5
Keterkaitan pelanggaran dokter dalam menuliskan resep dilihat dari segi etik dapat
dilihat dari beberapa hal:
a. Penulisan resep dokter yang sulit dibaca (Hubungan Dokter-Apoteker)
Terhadap penulisan resep oleh dokter yang kurang dipahami dan tidak dapat
terbaca termasuk pelanggaran etik murni pada sesama sejawat tenaga kesehatan,
selama tidak menimbulkan efek berbahaya pada pasien. Dokter secara tidak
langsung membahayakan profesi apoteker yang mendapatkan intruksi permintaan
tertulis (resep) untuk menyiapkan dan menyerahkan kepada pasien. Apoteker
merupakan profesi dalam tenaga kesehatan, tetapi secara independen belum
diberikan wewenang yang lebih, sehingga melaksanakan sesuai dari permintaan
resep tersebut. Pasal 7c Kode Etik Kedokteran menyatakan: Seorang dokter harus
menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan
lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Dokter harus menjalankan sesuai profesi dengan mengamalkan dan
menjalankan kode etik yang berlaku dengan menuliskan resep dengan lengkap dan
jelas. Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang meneruskan kuasa dokter atas
pekerjaan untuk menyiapkan dan menyerahkan obat akan terkendala terhadap
intruksi yang diberikan, bukan pada apoteker kurang berpengalaman atau kurang
berpengetahuan tetapi lebih pada penulisan resep yang tidak dapat terbaca.
b. Pelanggaran etik independensi dokter dalam penulisan resep
Kasus yang sering terjadi dokter telah bekerja sama dengan Marketing
Representatif (MR) dari distributor Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan apotek
yang menyediakan obat merek dagang yang diperjanjikan. Kerjasama dokter dan
PBF yang begitu lama bukan saja pada tulisan resep dokter yang sulit dibaca, tetapi
membuat harga obat pun menjadi meningkat. Efeknya harga obat di Indonesia
untuk obat merek dagang sangat tinggi, karena perusahan Farmasi membebankan
biaya insentif dokter sebesar 20 % dari harga obat. (Ichsan, 2007).
Sesuai Surat Keputusan kepala BPOM No. HK.00.05.3.02706 Tahun 2002
tentang Promosi Obat, Pasal 9 memuat sejumlah larangan bagi Industri Farmasi
dan/atau PBF. Melarang beberapa hal:(a) Melakukan kerja sama dengan apotek
dan penulis resep; (b) Kerja sama dalam pengresepan obat dengan apotek dan/atau
penulis resep dalam suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat
tertentu; dan (c) Memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft,
pinjaman, voucher, tiket) dan/atau barang kepada penulis resep yang meresepkan

6
obat produksinya dan/atau yang didistribusikannya. Pengawasan terhadap kegiatan
promosi obat oleh perusahan farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan
membentuk komisi independen. Pelanggaran tehadap hal tersebut dapat dikenakan
sanksi mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga
pencabutan izin edar obat bersangkutan.
Surat Keputusan BPOM mengalami kemunduran dengan ditandai keluarnya
Kesepakatan Bersama Etika Promosi Obat yang disepakati Gabungan Perusahan
(GP) Farmasi bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sehingga promosi obat
kepada dokter dapat dilakukan dengan batasan-batasan yang telah disepakati. Poin-
poin etika promosi obat dan kesepahaman tersebut, yaitu:
(a) Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang
menjerumuskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang
bersangkutan telah menerima komisi dari perusahan farmasi tertentu;
(b) Dukungan apapun yang diberikan perusahan farmasi kepada seorang dokter
untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh diisyaratkan/dikaitkan dengan
kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk
(c) Perusahan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara
individual dalam rangka pendidikan berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya
registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan
kedokteran berkelanjutan
(d) Perusahan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku
kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan,
kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi
moderator;
(e) Dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahan farmasi
tidak boleh menawarkan hadiah/penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam
bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran
penggunaan obat/produk perusahan tertentu
(f) pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahan farmasi hanya diperbolehkan
untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara
individual;

7
(g) Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/spesialis dan organisasi
lain di lingkungan IDI) harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan
resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau
pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi
dengan GP Farmasi Indonesia untuk tindak lanjutnya.

Peraturan Konsil Kedokteran No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional


Dokter dan Dokter Gigi pada Pasal 3 ayat (2) huruf w menyatakan menerima imbalan
sebagai hasil dari memberikan resep obat/alat kesehatan merupakan pelanggaran
disiplin profesional dari dokter. Pembuatan resep yang dilakukan oleh dokter hanya
dibenarkan bekerja untuk kepentingan pasien. Tidak dibenarkan meminta atau
menerima imbalan jasa atau membuat kesepakatan dengan pihak lain diluar ketentuan
etika profesi (kick back atau fee soliting) yang dapat mempengaruhi independensi
dokter.

3. Tanggungjawab Hukum Perdata


Sebagaimana substansi perkara secara umum, dalam proses perdata gugatan
pasien terhadap dokter yang menanganinya dapat dikatakan hampir semua
menyangkut tuntutan ganti rugi.
Dasar gugatan ganti rugi, termasuk dalam pertanggungjawaban medis adalah:
a. Wanprestasi, yang diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Pengertian
wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi
kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Menurut
hukum perdata, seseorang dapat dianggap melakukan wanprestasi apabila: tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melakukan apa yang dijanjikan
tetapi terlambat dan melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan serta melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan.Wanprestasi yang dimaksud dalam tanggungjawab perdata
seorang dokter adalah tidak memenuhi syarat-syarat yang tertera dalam suatu
perjanjian yang telah dibuat dengan pasiennya.
b. Perbuatan Melawan Hukum (PMH), atau onrechmatgedaad PMH didasarkan
pada pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi karena
didasarkan kewajiban hukum dokter. Hal yang terpenting untuk menentukan
adanya perbuatan melawan hukum ataupun wanprestasi adalah kriteria untuk
menjawab sejauh mana dokter atau dokter gigi telah melakukan upaya atau

8
ikhtiar secara optimal atau yang terbaik dalam upaya melakukan pelayanan
kesehatan terhadap pasien.
Tanggungjawab karena kesalahan, yang dalam praktek selama ini didasarkan atas 3
(tiga) masalah mendasar, yaitu:
(1) Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain
menyebabkan orang yang melakukan harus membayar kompensasi sebagai
pertanggungjawab kerugian (Pasal 1365 KUHPerdata).
Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas berdasarkan Arrest Hoge
Raad 31 Januari 1919 mengenai Arrest Lindeboum melawan Cohen (Endang
K, 2009) adalah mencakup pengertian:
(a) Bertentangan hak orang lain,
(b) Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri,
(c) Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat), dan
(d) Tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan
tentang diri dan benda orang seorang dalam pergaulan hidup.

Berdasarakan pengertian perbuatan melawan hukum sesuai rumusan Pasal 1365


BW maka ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya
perbuatan melawan hukum. Syarat tersebut adalah sebagai berikut:

(a) Adanya perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan


hukum.

(b) Adanya kesalahan (doleus maupun culpoos) si pembuat.

(c) Adanya akibat kerugian (schade).

(d) Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian (oorzakelijk


verband atau causal verband) orang lain.

Sesuai Permenkes No. 26/Menkes/Per/1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan


Apotek Pasal 10 ayat (1), dokter mempunyai keharusan menuliskan resep dengan
jelas dan lengkap. Ketidakjelasan dalam menulis resep menyebabkan kerugian
terhadap pasien dan apoteker, tetapi apoteker ikut serta dalam suatu pelayanan resep
dokter. Dilihat dari segi kerugian pasien, harga obat yang ditebus menjadi mahal,
pemilihan obat tidak melibatkan pasien (hak informasi dan persetujuan penggunaan
obat tidak dilaksanakan dokter). Sesama tenaga kesehatan, khususnya apoteker

9
mengalami kesulitan dalam hal melayani resep. Hubungan hukum antara dokter dan
apoteker berupa hubungan kuasa dalam pemberian kuasa untuk apoteker menyiapkan
dan menyerahkan pada pasien. Adanya kewajiban dokter menuliskan resep dengan
jelas dan lengkap, dan apoteker mempunyai kewajiban jika resep tersebut tidak jelas
dan lengkap untuk mengkonfirmasi kembali kepada dokter penulis resep. Dari resep
yang ada beberapa masalah yang didapatkan berupa:

(a) Meresepkan obat, dosis, atau rute bukan yang sebenarnya dimaksudkan.

(b) Menulis dengan tidak jelas/tidak terbaca.

(c) Menulis nama obat menggunakan singkatan atau nomenclature yang


tidak terstandarisasi.

(d) Menuliskan instruksi obat yang ambigu.

(e) Meresepkan suatu tablet yang tersedia lebih dari satu kekuatan obat
tersebut.

(f) Tidak menuliskan rute pemberian untuk obat yang dapat diberikan
dengan lebih dari satu rute.

(g) Tidak mencantumkan tanda tangan penulis resep.

(h) Tidak mencantumkan berat badan pasien pada anak-anak. Dalam


bahasa medis, ini dikatakan berupa medication error dalam penulisan
resep pada tahap prescribing error

Didasarkan dengan Pasal 54 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka


apabila dokter dalam melaksanakan tugas profesinya melakukan kesalahan, dapat
dikenakan sanksi tindakan disiplin. Bagi pasien yang menderita kerugian dapat
menuntut ganti rugi baik berdasarkan Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata
maupun Pasal 58 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang
menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap sesesorang,
tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2)
Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian yang dilakukan
dengan sengaja; tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hati (Pasal 1366
KUHPerdata). (3) Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya atas kerugian yang

10
dilakukannya sendiri; tetapi juga karena tindakan orang lain yang berada di bawah
pengawasannya (Pasal 1367 KUHPerdata)

2.2 Pertanggungjawaban Hukum Apoteker dalam Pelayanan Resep


Sesuai Permenkes No. 244 Tahun 1990 tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian
Izin Apotik dan Kepmenkes No. 1332 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Permenkes
No. 922 Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, konfirmasi
yang dilakukan berupa:
1) Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis didalam resep,
Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih
tepat (Pasal 16 ayat 3) dan (Pasal 15 ayat 3).
2) Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau
penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukannya kepada
dokter penulis resep (Pasal 17 ayat 1) dan (Pasal 16 ayat 1).
Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis
resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan (Anonim1 , 2004).
Dengan pertimbangan klinis, maka jika dokter tetap menginstruksikan apa yang
dituliskan maka dokter wajib membubuhkan tanda tangan di atas resep tersebut, sehingga
pertanggungjawaban ada pada dokter penulis resep (Anonim, 1993).
Semua keputusan terhadap resep tersebut atas persetujuan dari dokter penulis resep.
Permenkes No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek lebih
tegas menyatakan jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian
(administrasi, farmasetik, dan klinis) maka apoteker harus menghubungi dokter penulis
resep.
Apoteker bekerja dengan Dokter dan Pedagang Besar Farmasi (PBF)/distributor
Sesuai Kode Etik Apoteker Pasal 5 menyebutkan: Di dalam menjalankan tugasnya
Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata
yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Apoteker dalam melakukan praktek tidak dapat mencari keuntungan semata, upaya
semaksimal mungkin harus dilakukan sesuai dengan keilmuan dan semata-mata untuk
kebutuhan pasien. Apoteker dilarang melakukan kerjasama dengan dokter penulis resep
untuk mengadakan obat yang dibutuhkan khususnya pada obat-obat paten, sehingga
apotek lain yang hanya menyiapkan obat-obat generik atau obat-obat yang pada

11
umumnya digunakan, tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk memberikan
layanan yang serupa dengan apotek yang telah bekerjasama dengan dokter atau PBF.
Komunikasi antara apoteker dan MR, PBF harus sesuai dengan kualitas produk,
bukan semata-mata ada bonus atau bentuk kerjasama lainnya, sehingga pasien
memperoleh obat yang berkualitas. Apoteker harus mengutamakan kepentingan
masyarakat di atas kepentingan pribadi.

2.3 Industri Farmasi


Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang
memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau
bahan obat. Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan
tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar
(registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunaanya karena
tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 245/MenKes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi, Industri Farmasi adalah
Industri Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu sediaan
atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelediki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Sedangkan yang dimaksud dengan bahan baku obat adalah bahan baik yang berkhasiat
maupun yang tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar
mutu sebagai bahan farmasi.
1. Peran, Fungsi, dan Tugas Apoteker di Industri Farmasi
Peran apoteker di industri farmasi seperti yang disarankan oleh World Health
Organization (WHO), yaitu Eight Star of Pharmacist yang meliputi :
(a) Care Giver, apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk informasi obat,
efek samping obat dan lain-lain kepada profesi kesehatan. Perlu ada interaksi
dengan individu/kelompok di dalam industri (regulatory, QA/QC, produksi
dll) dan individu/kelompok di luar industri.
(b) Decision maker, apoteker sebagai pengambil keputusan yang tepat untuk
mengefisienkan dan mengefektifkan sumber daya yang ada di industri.

12
(c) Communicator, apoteker harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi
dengan baik secara lisan maupun tulisan.
(d) Leader, apoteker sebagai pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam
mengatasi berbagai permasalahan di industri dan memberikan bimbingan ke
bawahannya dalam mencapai sasaran industri.
(e) Manager, apoteker sebagai pengelola seluruh sumber daya yang ada di
industri farmasi dan mampu mengakumulasikannya untuk meningkatkan
kinerja industri dari waktu ke waktu.
(f) Long-life learner, apoteker belajar terus menerus untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan.
(g) Teacher, bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan dan pelatihan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dunia industri kepada sejawat
apoteker atau lainnya.
(h) Researcher, apoteker sebagai peneliti yang harus selalu melakukan riset dan
mengetahui perkembangan obat baru yang lebih baik dan bermanfaat untuk
kesehatan masyarakat.

Peran tersebut diterapkan di dalam fungsi-fungsi industrial yang diperlukan, yaitu


manajemen produksi, pemastian/manajemen mutu (Quality Assurance), registrasi
produk, pemasaran produk (Product Manager), dan pengembangan produk (Research
and Development).
Peran tersebut diterapkan di dalam semua aspek CPOB. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian Pasal 9, dimana Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker
sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi,
dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi. Kepala bagian Produksi dan
kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) atau kepala bagian Pengawasan
Mutu harus independen satu terhadap yang lain.
2. Apoteker sebagai Tenaga Pemasaran
Dalam pelaksanaan peran apoteker sebagai tenaga pemasaran / ritel perlu
diakukan studi kelayakan terlebih dahulu. Studi kelayakan merupakan suatu kajian
sebagai bagian dari perencanaan yang dilakukan menyeluruh mengenai suatu usaha
dalam proses pengambilan keputusan investasi yang mengawali resiko yang belum

13
jelas. Melalui studi kelayakan berbagai hal yang diperkirakan dapat menyebabkan
kegagalan, dapat diantisipasi lebih awal.
Ritel adalah keseluruhan aktivitas bisnis yang terkait dengan penjualan dan
pemberian layanan kepada konsumen untuk penggunaan yang sifatnya individu
sebagai pribadi maupun keluarga. Agar sukses di dunia ritel maka ritel harus dapat
menawarkan produk yang tepat, dengan harga yang tepat, di tempat yang tepat, dan
waktu yang tepat. Fungsi Ritel adalah sebagai berikut :
(a) Menyediakan berbagai jenis produk dan jasa
Konsumen selalu mempunyai pilihan sendiri terhadap bebagai jenis produk
dan jasa. Untuk itu, dalam fungsinya sebagai peritel, mereka menyediakan
beraneka ragam produk dan jasa yang dibutuhkan konsumen.
(b) Memecah
Memecah beberapa ukuran produk menjadi lebih kecil, yang akhirnya
menguntungkan produsen dan konsumen. Jika produsen memproduksi
barang dan jasa dalam ukuran besar, maka harga barang dan jasa tersebut
menjadi tinggi. Sementara konsumen juga membutuhkan barang dan jasa
tersebut dalam ukuran yang lebih kecil dan harga yang lebih rendah.
Kemudian peritel menawarkan produk-produk tersebut dalam jumlah kecil
yang disesuaikan dengan pola konsumsi para konsumen secara individual.
(c) Penyimpanan Persediaan
Peritel juga dapat berposisi sebagai perusahaan yang menyimpan persediaan
dengan ukuran yang lebih kecil. Dalam hal ini, pelanggan akan diuntungkan
karena terdapat jaminan ketersediaan barang dan jasa yang disimpan peritel.
(d) Penyedia Jasa
Dengan adanya ritel, maka konsumen akan mendapatkan kemudahan dalam
mengonsumsi produk-produk yang dihasilkan produsen. Selain itu, ritel juga
dapat mengantar hingga dekat ke tempat konsumen, menyediakan jasa yang
memudahkan konsumen dalam membeli dan menggunakan produk dengan
segera dan membayar belakangan.
(e) Meningkatkan Nilai Produk dan Jasa
Dengan adanya beberapa jenis produk dan jasa, maka untuk suatu aktivitas
pelanggan mungkin memerlukan beberapa barang. Dengan
menjalankanfungsifungsi tersebut, peritel dapat berinteraksi dengan
konsumen akhir dengan memberikan nilai tambah bagi produk atau barang.

14
Kemajuan industri farmasi sangat ditentukan oleh strategi dan tenaga
pemasaran yang dimiliki perusahaan. Apoteker sebagai seorang yang
kompeten di bidang obat dapat berperan sebagai Product Manager. Apoteker
sangat potensial dalam memperkenalkan produk industri pada masyarakat
(obat bebas/OTC) atau pada para dokter (obat ethical) karena ilmu
kefarmasian dan managemen yang dikuasainya.
3. Persyaratan Industri Farmasi
Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh industri
farmasi. Setiap pendirian industri farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari
Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah Direktur Jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan
kefarmasian dan alat kesehatan. Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi
sebagaimana yang tercantum dalam Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010
adalah sebagai berikut:
(a) Berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
(b) Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
(c) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
(d) Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker Warga Negara
Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu,
produksi, dan pengawasan mutu; dan
(e) Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
kefarmasian.
Dikecualikan dari persyaratan di atas poin 1 dan 2, bagi pemohon izin industri
farmasi milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4. Izin Usaha Industri Farmasi


Berdasarkan Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010, untuk
memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Permohonan
persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Badan POM.
Persetujuan prinsip tersebut diberikan oleh Dirjend BPOM setelah pemohon
memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan
POM. Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat
langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, dan instalasi

15
peralatan, termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Persetujuan prinsip ini berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diubah berdasarkan permohonan dari pemohon Izin Indusrti Farmasi yang
bersangkutan.
5. Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.
245/MenKes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian
Izin Usaha Industri Farmasi pada Bab viii tentang Pencabutan Izin Usaha Industri
Farmasi dalam pasal 18 menyebutkan bahwa Izin Usaha Industri Farmasi dapat
dicabut dalam hal:
(a) Pemindahtanganan hak milik Izin Usaha Industri Farmasi dan perluasan tanpa
memiliki izin sesuai dengan ketentuan dalam surat keputusan ini;dan atau
(b) Tidak menyampaikan informasi industri secara berturut-turut 3 (tiga) kali atau
dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar;dan atau
(c) Pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari Menteri;dan atau
(d) Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak
memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku, obat palsu;dan atau
(e) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam izin usaha industri farmasi yang
ditetapkan dalam surat keputusan ini.

Selanjutnya disebutkan dalam pasal 20 bahwa:


1) Pelaksanaan pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 18, dilakukan setelah dikeluarkan:
(a) Peringatan secara tertulis kepada perusahaan industri farmasi sebanyak
tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 bulan
dengan mempergunakan contoh Formulir Model POM-10
(b) Pembekuan izin usaha industri farmasi untuk jangka waktu 6 bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan usaha industri farmasi
dengan mempergunakan contoh Formulir Model POM-11
(c) Pejabat yang berwenang untuk mencabut Izin Usaha Industri Farmasi
adalah Direktur Jenderal.
(d) Pembekuan Izin Usaha Industri Farmasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat dicairkan kembali apabila perusahaan industri farmasi telah

16
memenuhi seluruh persyaratan yang disyaratkan sesuai ketentuan dalam
Surat Keputusan ini.
6. CPOB dan Penerapannya dalam Industri Farmasi
Tujuan Penerapan CPOB di Industri Farmasi:
(a) CPOB bertujuan untuk menjamin bahwa obat dibuat secara
konsisten,memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan
penggunaannya.
(b) Memberikan perlindungan kepada konsumen agar selalu memperoleh obat
yang terjamin mutunya.
Industri farmasi sebagai industri penghasil obat, dituntut untuk dapat
menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan khasiat, keamanan dan mutu dalam
dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Karena menyangkut soal nyawa
manusia, industri farmasi dan produknya diatur secara ketat. Industri farmasi di
Indonesia diberlakukan persyaratan yang diatur dalam CPOB (Manajemen Industri
Farmasi, 2007).
Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon yang telah siap
berproduksi sesuai persyaratan CPOB. Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan
CPOB sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan
No.43/Menkes/SK/II/1998. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan
kefarmasian, pada pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa Industri farmasi harus memiliki 3
(tiga) orang apoteker sebagai penanggungjawab masing-masing pada bidang pemastian
mutu, produksi dan pengawasan mutu setiap produksi sediaan farmasi. Industri
farmasi yang telah memenuhi persyaratan CPOB diberikan sertifikat CPOB.
Aspek dalam CPOB 2012 meliputi:
1. Manajemen mutu
2. Personalia
3. Bangunan dan fasilitas
4. Peralatan
5. Sanitasi dan higiene
6. Produksi
7. Pengawasan mutu
8. Inspeksi diri, audit mutu dan audit & persetujuan pemasok
9. Penanganan keluhan terhadap produk dan penarikan kembali produk
10. Dokumentasi

17
11. Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak
12. Kualifikasi dan validasi
7. Peraturan yang Berkaitan dengan Industri Farmasi
Peraturan Perundangan-undangan terkait Industri Farmasi yang berlaku di
Indonesia, antara lain:
1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang industri farmasi.
2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2013
tentang perubahan atas peraturan menteri kesehatan nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang industri farmasi.
Alasan Diterbitkan Permenkes Baru (Permenkes No. 16 Tahun 2013) bahwa
dalam rangka menjamin keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu obat dan/atau
bahan obat serta ketersediaannya bagi masyarakat, perlu memberikan landasan hukum
yang memacu percepatan pembaharuan izin industri farmasi sesuai ketentuan yang
berlaku, dan industri farmasi masih banyak yang belum melakukan pembaharuan izin
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/Menkes/Per/ XII/2010 tentang
Industri Farmasi. Sementara izin industri ini harus selalu diperbarui sebagai salah satu
cara untuk mengontrol industri farmasi agar selalu memenuhi aspek CPOB. Apabila
hal ini dapat dijamin maka obat yang diproduksi oleh industri yang bersangkutan
tentu akan terjamin pula mutunya.
Persyaratan pengurusan izin industri farmasi dalam Permenkes ini sama dengan
syarat pada Permenkes sebelumnya, hanya saja waktu penerbitan surat izinnya lebih
cepat dikeluarkan, yakni paling lama dalam waktu empat belas hari kerja sejak
diterimanya permohonan pembaharuan izin industri farmasi dan dinyatakan lengkap,
tidak seperti permenkes lama (Permenkes No. 1799 tahun 2010) yang membutuhkan
proses yang lama dan berbelit.

1) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik


Indonesia No. Hk.03.1.3.12.11.10693 Tahun 2011 tentang pengawasan
pemasukan bahan baku obat.
Peraturan ini diperlukan karena obat yang digunakan untuk kepentingan
produksi industri farmasi juga kemungkinan dapat disalahgunakan untuk
produksi obat secara ilegal.

18
2) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. Hk.04.1.33.02.12.0883 tahun 2012 tentang dokumen induk
industri farmasi dan industri obat tradisional.
Menurut Peraturan ini, Industri Farmasi dan Industri Obat Tradisional wajib
membuat dan menyerahkan DI-IF/IOT kepada Kepala Badan. Penyerahan
wajib ditembuskan kepada Kepala Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut akan dikenakan
sanksi administratif berupa:
Peringatan tertulis
Pembekuan Sertifikat CPOB/CPOTB, atau
Penghentian sementara kegiatan.
3) Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor: Hk.00.05.23.3874 tentang Pelaksanaan Pelaporan
Informasi Industri Farmasi.
Untuk menunjang pengembangan industri farmasi diperlukan informasi
kegiatan industri farmasi yang jelas dan memadai, dan data informasi kegiatan
industri farmasi harus terkumpul dan lengkap serta berkesinambungan.
4) Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 5143/A/SK/73 tentang Status
Badan Hukum Pabrik Farmasi.
Menurut peraturan ini, Pabrik Farmasi harus berbentuk badan hukum berupa
Perseroan Terbatas (PT). Apabila pabrik Farmasi tersebut tidak memenuhi
status sebagai PT, maka izin pabriknya batal dengan sendirinya.
5) Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor: HK.00.05.3.02706 Tahun 2002 tentang Promosi Obat.
Pada dasarnya aturan tersebut menyatakan industri farmasi ataupun pedagang
besar farmasi dilarang memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai,bank-
draft, pinjaman, voucher atau tiket) dan atau barang kepada penulis resep yang
meresepkan obat produksinya dan atau obat yang didistribusikannya

19
BAB III

ANALISIS KASUS

Pengakuan Mantan Medrep: Banyak Apoteker Tertawa Melihat Resep si Dokter

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Ketika dokter sudah berada di genggaman perusahaan


farmasi, yang terjadi adalah kekonyolan. Pasien akan menerima resep "tak masuk akal".
Namun, pasien tak berdaya karena ketidaktahuannya. Kerja sama atau KS antara
perusahaan obat dan dokter itu seperti ijon. Dokter menerima uang atau hadiah di depan yang
harus dikembalikan hingga empat kali lipatnya. Pengembalian dilakukan lewat
kewenangan dokter dalam menulis resep.
Apabila seorang dokter telah diberi uang Rp 200 juta oleh sebuah perusahaan farmasi, maka ia
harus meresepkan obat dari perusahaan farmasi itu senilai Rp 800 juta.
Jangka waktunya tidak terbatas, bisa dua bulan, tiga bulan, enam bulan, ataupun setahun.
Saat seorang dokter menjalin kerja sama dengan perusahaan farmasi yang diwakili oleh medical
representative atau medrep, dokter itu akan diawasi. Medrep mengunci apotik-apotik rujukan
sang dokter sehingga perusahaan obat bisa memantau progres kerja sama.
Menurut seorang mantan medrep, pola kerja sama perusahaan farmasi dan dokter ataupun rumah
sakit, sudah berlangsung lama di semua daerah di Indonesia.
Mantan medrep tersebut menceritakan, sekitar tahun 2008, ia menjalin kerja sama dengan
seorang dokter spesilasi paru-paru di sebuah rumah sakit pemerintah di pinggiran Jakarta.
Kesepakatan kerja sama yang disampaikan secara lisan, tanpa perjanjian tertulis, itu menyatakan
bahwa si dokter akan meresepkan antibiotik cair buatan perusahaan farmasi tertentu.
Si dokter kemudian menerima uang Rp 20 juta untuk biaya berlibur ke Bali bersama
keluarganya. Sepulang dari Bali, si dokter jadi rajin meresepkan antibiotik cair kepada pasiennya
yang mayoritas adalah orang dewasa.
Dia ditarget meresepkan antibiotik itu senilai Rp 100 juta. "Akhirnya, untuk pasien dewasa pun
dia kasih resep antibiotik cair. Kan jadi konyol, pasien dewasa dikasih antibiotik cair," ujar
mantan medrep itu ketika ditemui di sebuah gerai fastfood di Alam Sutera, Tangerang Selatan,
Banten.

20
"Mestinya pasien dewasa diberi antibiotik tablet. Cuma gara-gara terima uang akhirnya
muncul resep tak masuk akal," tambahnya.
Dalam enam bulan dokter itu sudah melunasi "kewajibannya" ke perusahaan farmasi. Tapi
banyak apoteker tertawa melihat resep si dokter. "Antibiotik cair kan untuk anak-anak," katanya.

Beberapa medrep maupun mantan medrep yang menjadi narasumber yakin masyarakat banyak
yang tak sadar soal ini.
"Banyak orang jadi resisten terhadap antibiotik golongan terendah gara-gara dokter mengadakan
kerja sama untuk meresepkan antibiotik golongan yang lebih tinggi," kata salah satu medrep.
Seorang medrep berkepala plontos mengaku, suatu ketika, anaknya demam dan ia pun
membawanya ke sebuah klinik di Jakarta Selatan. Dokter kemudian memberi resep antibiotik
golongan dua.
Lantaran paham, medrep tersebut menolak resep dokter. "Saya minta amoxicilin saja.
Amoxicilin kan termasuk antibiotik golongan rendah. Saya tahu kalau demam biasa, pakai
amoxicilin saja cukup," ungkapnya.
"Tak perlu golongan dua yang seperti yang sempat diresepkan dokter. Kasihan anak saya, nanti
jadi resisten. Lagipula antibiotik golongan dua itu jauh lebih mahal," katanya lagi.
Pria berkepala plontos itu pun buka kartu bahwa dia berprofesi sebagai medrep. "Dokter itu
kemudian mengganti resepnya," katanya.
Dalam pembicaraan singkat tersebut, si dokter mengaku punya kerja sama dengan sebuah
perusahaan obat yang memproduksi antibiotik golongan dua.
Pilihan amoxicilin untuk mengatasi demam si anak tidak keliru. "Ternyata benar, dalam dua hari,
anak saya sembuh," imbuh medrep tersebut.
Mengaku sebagai "orang farmasi" memang jadi password bagi para medrep untuk tidak menjadi
korban resep tidak masuk akal.
"Kalau ada keluarga yang sakit ataupun opname, sejak awal saya katakan kepada dokternya,
'dok... saya orang farmasi lho'. Kalau sudah gitu, pasien gak akan diberi resep yang aneh-aneh,"
ujar seorang mantan medrep. (Tribunnews/ote)

21
BAB IV

PEMBAHASAN
Manusia pasti pernah mengalami sakit atau butuh perawatan medis. Mereka akan
memeriksakan diri ke dokter untuk mendapatkan pengobatan agar kembali sehat dan dapat
beraktivitas sebagaimana mestinya. Biasanya setelah berobat ke dokter pasien akan mendapatkan
obat yang diperoleh di bagian farmasi atau apotek. Ada pasien yang sembuh setelah
mendapatkan obat namun ada juga kondisi pasien yang mengalami kejadian yang lebih parah.

Banyak pasien yang tidak menyadari begitu datang ke dokter ada kepentingan di luar
hubungan pasien dan dokter. Perusahaan-perusahaan farmasi hanya memperdulikan bagaimana
agar dokter yang memeriksa pasien meresepkan obat-obatan produksi mereka meskipun obat
yang diresepkan tidak sesuai dengan penyakit yang di derita oleh pasien tersebut. Dokter bisa
saja meresepkan obat yang lebih mahal daripada obat yang seharusnya. Meskipun terdapat obat
lain yang lebih murah atau lebih sesuai untuk terapi penyakit pasien mereka cenderung
meresepkan obat yang tidak seharusnya demi mempromosikan produk dari suatu perusahaan.

Obat resep yang mahal ini disebabkan karena obat berasal dari perusahaan farmasi yang
punya kepentingan finansial terhadap resep yang ditulis dokter. Dengan kata lain, sakitnya pasien
dan penulisan resep dokter menjadi kolusi dan marketing bisnis perusahaan farmasi. Namun, ada
kalanya kemauan atau gagasan untuk berkolusi bukan hanya datang dari perusahaan farmasi
melainkan juga permintaan dari dokter. Perusahaan farmasi memproduksi obat bermerek (paten)
untuk dijual, sedangkan dokter punya kewenangan untuk menentukan obat. Dengan cara itu
perusahaan farmasi berkepentingan obatnya laku terjual dan dokter harus menjual obatnya
dengan lebih mahal meskipun ada obat yang seharusnya lebih murah dan lebih dibutuhkan oleh
pasien.

Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi, karena seorang dokter dan suatu perusahaan
farmasi memili kode etiknya masing-masing. Seharusnya kode etik itu dijadikan sebagai acuan
untuk prakteknya untuk meningkatkan kualitas kesehatan pasien.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah lama mencium dugaan gratifikasi dari
perusahaan farmasi kepada dokter. Tapi, sampai saat ini KPK belum pernah menangani perkara
korupsi terkait dengan kongkalikong antara farmasi dan dokter mengenai peresepan obat

22
tersebut. Meski demikian, uang yang diterima dokter dari perusahaan farmasi dapat
dikategorikan sebagai gratifikasi. Namun, dengan catatan memenuhi beberapa unsur di
antaranya, pertama, dokter yang menerima uang dari perusahaan farmasi tersebut berstatus
sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. "Arti pegawai negeri di sini sudah diperluas
yakni seseorang yang menerima gaji dari uang negara," dari berbagai sumber. Kedua,
perusahaan farmasi memberikan uang kepada pribadi, bukan kepada institusi. Serta ketiga, uang
atau barang yang diterima dokter tersebut minimal senilai Rp 500 ribu. "Ini sudah diatur dalam
peraturan.
Di dunia distribusi obat, penyaluran obat di atur oleh peraturan terbaru dari menteri
kesehatan NOMOR 34 TAHUN 2014 sebagai perubahan dari NOMOR
1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi, akan tetapi disini hanya
membahas izin dan sistem alur distribusi dengan tujuan melindungi masyarakat dari peredaran
obat dan bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/manfaat.
Pasal 21 (1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan bahan obat kepada industri farmasi,
PBF dan PBF Cabang lain, apotek, instalasi farmasi rumah sakit dan lembaga ilmu pengetahuan.
(2) Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan surat pesanan yang
ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab. (3) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat pesanan untuk lembaga ilmu
pengetahuan ditandatangani oleh pimpinan lembaga.

Dalam hal ini tidak dapat menyalahkan profesi kesehatan tertentu, hanya memang
membenarkan pada umumnya tenaga kesehatan atau praktisi yang terlibat dalam pengadaan obat
tahu tentang hal ini. Tidak akan menjadi masalah apabila Dokter meresepkan yang rasional,
menjadi masalah besar apabila dokter meresepkan yang tidak rasional seperti obat-obatan bonus
tambahan atau memasukan merk tertentu sesuai kontrak di resepnya dengan alasan menutupi
omzet yang bonus nya telah diterimanya. Tenaga kesehatan yang berhak melakukan dispensing
obat sebenarnya hanya apoketer saja. Seperti kita ketahui satu macam kandungan obat bisa
memiliki beberapa merk dari beberapa perusahaan Farmasi. Persaingan ketat ini membuat komisi
yang diluar akal sehat bisa terjadi. Semakin tinggi komisi yang didapat semakin besarlah omset
atau obat yang harus diresepkan dalam jangka waktu tertentu.

23
Walaupun dalam berita tersebut menyudutkan profesi Dokter tapi kami yakin TIDAK
SEMUA dokter tergoda oleh perusahaan farmasi. Dalam hal ini profesi apoteker atau pekerjaan
kefrmasian juga terlibat akan tindakan ini, dikarenakan melakukan berbagai cara untuk
kepentingan peusahaan atau PBF nya. Sebagai tenaga kesehatan yang telah disumpah atas
profesinya seharusnya kesehatan serta nyawa seseorang harus bekerja semestinya.

24
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

5.2 SARAN

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai