Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENGANTAR ILMU FARMASI

DEFINISI FILSAFAT ILMU FARMASI DAN


SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FARMASI

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

Anggota:

1. DESTI MIRDHA LEZA (P05150219052)


2. FERA AFRILLIA (P05150219060)
3. FERA SANTRI MAIYORA (P05150219061)
4. RINDI CANTIKA (P0515021905)
5. SALSABILA QAIRUNISA (P05150219077)
6. SANTY YULIANA BR.S (P05150219078)

DOSEN PEMBIMBING: RESVA MEINISASTI, M.farm. Apt

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Definisi Falsafat Ilmu Farmasi dan Sejarah
Perkembangan Ilmu Farmasi” tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas, selain itu untuk mengetahui dan memahami
“ Definisi Falsafat Ilmu Farmasi dan Sejarah Perkembangan Ilmu Farmasi”
Penyusun mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu setiap pihak
diharapkan dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun.

Bengkulu , 16 Agustus 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang .......................................................................................... 4


1.2. Rumusan masalah .................................................................................... 5
1.3. Tujuan ...................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Farmasi Dalam Konteks Filsafat Ilmu Pengetahuan ................................ 6-7


2.2.Sejarah Perkembangan Farmasi ................................................................ 7-8
2.3.Pengantar Ilmu Dan Profesi ...................................................................... 8-11

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan .............................................................................................. 12-13

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan
obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk di salurkan dan digunakan pada pengobatan
dan pencegahan penyakit Farmasi mencakup pengetahuan mengnai identifikasi, pemilahan
(selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungann, anallis, dan pembekuan bahan obat
(drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan
penggunaan obat yang sesuai dan aman, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsunng kepada pemakai.
Kata farmasi di turunkan dari bahasa yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau elok,
yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi menjadi obat atau
bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (pharmacist) ialah orang yang paling mengetahui
hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena pengetahuan keahlian mengenai obat
memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai semua aspek kefarmasian seperti yang
tercantum pada definisi diatas.
1.2. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat farmasi?
2. Apa hubungan filsafat farmasi dengan ilmu pengetahuan?
3. Apa saja aspek dari filsafat ilmu farmasi?
4. Apa saja etika yang perlu diterapkan dalam farmasi?
5. Mengetahui sejarah farmasi
6. Mengetahui bagaimana farmasi masa kini
7. Mengetahui bagaimana farmasi masa depan

1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami filsafat farmasi
2. Untuk mengetahui hubungan filsafat farmasi dengan ilmu pengetahuan.
3. Untuk mengetahui aspek apa saja yang terdapat didalam filsafat farmasi
4 Untuk mengetahui apasaja etika yang perlu di terapkan dalam farmasi
5 Untuk mengetahui sejarah farmasi
6 Untuk mengetahui bagaimana farmasi masa kini
7 Untuk mengtahui bagaimana farmasi masa depan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. FARMASI DALAM KONTEKS FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN


Hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat
menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh
pemikiran teoretis. Ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan
dengan pemikiran Van Peursen, yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari
filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dalam
perkembangan lebih lanjut, filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi
dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang
secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri
dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan
munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru
bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu
pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang berkataitan dan taat pada asas konsisten dari
ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji
dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau
hakikat yaitu inti atau hal yang pokok atau intisari atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu
tersebut. Contohnya Membangun Filsafat Ilmu Farmasi perlu menelusuri dari aspek :
1. Ontologi yaitu eksistensi (keberadaan) dan essensi (keberartian) ilmu-ilmu kefarmasian.
Di sini ditinjau objek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut.
Objek ontologis pada farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi terapetik, pengadan,
pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang memerlukan.
2. Epistemologi yaitu metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran ilmu-ilmu
kefarmasian. Landasan epistemologis kebiasan sehari-hari ialah pengalaman dan akal
sehat; landasan epistemologis farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan
pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
3. Aksiologi yaitu manfaat dari ilmu-ilmu kefarmasian. Di sini mempertanyakan apa nilai
kegunaan pengetahuan tersebut. Kegunaan atau landasan aksiologis farmasi adalah
bertujuan untuk kesehatan manusia.
Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai
kategori atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu
yang berakar dari kajian filsafat, yaitu seni (Arts), etika (Ethics), dan Sains (Science). Disatu pihak,
farmasi tergolong seni teknis (Technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam
penggunaan obat (medicine); di lain pihak farmasi dapat pula dogolongkan dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural science). Sebagai ilmu , farmasi menelaah obat sebagai materi, baik
yang berasal dari alam maupun sintesis dan menggunakan metode logiko-hipotetiko-verifikatif
sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan pada bidang ilmu pengetahuan alam. Oleh
karena itu farmasi merupakan ilmu yang dapat dikelompokkan dalam bidang sains. Farmasi pada
dasarnya merupakan sistem pengetahuan yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa
kesehatan dengan melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan
mengembangkan pengetahuan tentang obat dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan
pengaruh obat pada manusia dan hewan. Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem
pengetahuan, farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi, kimia,
fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini dikaji, diuji, diorganisir,
ditransformasi dan diterapkan.
Farmasi sebagai ilmu juga meliputi pelayanan obat secara professional. Istilah professional
saat ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job,
vacation, occupation) dan keahliah (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah
professional sering digunakan sebagai lawan kata amatir. Kelompok profesi dapat dibedakan dari
yang bukan profesional menurut kriteria berikut:
1. Memilih pengetahuan khusus, yang berhubungan dengan kepentingan
sosial. Pengetahuan khusus ini dipeajari dalam waktu yang cukup lama
untuk kepentingan masyarakat umum.
2. Sikap dan perilaku professional. Seorang professional memiliki seperangkat
sikap yang mempengaruhi perilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah
mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme) di atas kepentingan diri
sendiri. Menurut Marshall, seorang professional bukan bekerja untuk
dibayar, tetapi ia dibayar supaya ia dapat bekerja.
3. Sanksi sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat
untuk menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan
pemberian hak atau lisensi oleh Negara untuk melaksanakan praktek suatu
profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat dari
oknum yang tidak berkompetensi untuk melakukan praktek professional.

Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan
obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan
dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan, aksi
farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat dan sediaan obat.
Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman,
baik melalui resep dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang
sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai. Sebagian besar
kompetensi farmasi ini telah menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara professional
bagi yang membutuhkannya. Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga
professional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar
pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan
perorangan dan kesejahteraan umum masyarakat.

2.2 SEJARAH PERKEMBANGAN FARMASI


Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat tradisional
(jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu pada dasarnya dukun
melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi
kefarmasian yaitu meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya. Penggunaan
obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan Babilonia telah
dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk sediaan obat lain seperti ramuan
atau jamu. Pengetahuan tentang obat dan pengobatan selanjutnya berkembang lebih rasional pada
zaman Yunani. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang
penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti ular dijadikan
lambang kefarmasian.

Selanjutnya perkembangan profesi kefarmasian dilakukan dalam biara, yang telah


menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin. Sampai saat ini
dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang
pesat pula telah terjadi dalam zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama
al-Saidalani pada abad ke-9. Namun tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240
di Sisilia, Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal yakni menurut
undang-undang. Surat perintah yang dinamakan ”Magna Charta” mewajibkan seorang Farmasis
mengucapkan sumpah, supaya bisa menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai keterampilan
dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan seragam. ”Magna Charta” kefarmasian
dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker.

2.3. PENGETAHUAN, ILMU DAN PROFESI


Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu.
Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu menangkap
gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan; misalnya
kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang diperoleh dalam proses mengetahui itu
dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara (ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini
dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”. Ilmu
atau ”Science” ialah pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang
menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh
disiplin.

1.Farmasi Sebagai Sains


Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai
kategori atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu,
yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan Sains (Science). Di satu
pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam
penggunaan obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural science).
Dalam tinjauan pengelompokan bidang ilmu atau kategori di atas digunakan kriteria

 Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek ontologis dalam bidang Ekonomi ialah
hubungan manusia dan benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup; obyek
telah pada Manajemen ialah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah
disetujui bersama; obyek ontologis pada Farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi
terapetik, pengadaan, pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang memerlukan.

 Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan tersebut. Contoh landasan Epistemologis Matematika ialah logika deduktif;
landasan epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal sehat; landasan
epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan
hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.

 Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut.


Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan farmasi sudah jelas berbeda. Dalam hal ini
nilai kegunaan atau landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama karena kedua-
duanya bertujuan untuk kesehatan manusia.

Sebagai ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal dari alam maupun
sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode logiko-hipotetiko-
verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan pada bidang Ilmu Pengetahuan
Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang dapat dikelompokkan dalam bidang Sains.
2. Farmasi Sebagai Profesi

Dari kajian filsafat di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi
meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan Profesional saat ini semakin
dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation,
occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional
sering digunakan sebagai lawan kata amatir.
Kelompok profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria berikut :

 Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan dengan kepentingan sosial.


Pengetahuan khusus ini dipelajari dalam waktu yang cukup lama untuk kepentingan
masyarakat umum.
 Sikap dan Prilaku Profesional. Seorang profesional memiliki seperangkat sikap yang
mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah mendahulukan kepentingan
orang lain (altruisme) di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall, seorang
profesional bukan bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
 Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk
menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak atau
lisensi (lincense) oleh negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini
dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi
untuk melakukan praktek profesional.

Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat sebagai berikut :

1. Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan dan pelatihannya.


2. Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu harus memperoleh pengalaman
sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih intensif dibanding mahasiswa pada bidang
pekerjaan lain.
3. Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui dengan pemberian lisensi.
4. Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5. Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi dibentuk dan dirumuskan oleh profesi
itu sendiri.
6. Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan tingkat prestise,
sehingga dapat menetapkan persyaratan yang lebih tinggi bagi calon mahasiswanya.
7. Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang awam.
8. Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih mengikat dibanding kontrol
legal.
9. Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi dengan profesinya dibanding dengan
anggota okupasi lain.
10. Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti tidak ada yang akan beralih ke
profesi lain.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
Farmasi sebagai ilmu juga meliputi pelayanan obat secara professional. Istilah professional saat
ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job,
vacation, occupation) dan keahliah (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah
professional sering digunakan sebagai lawan kata amatir. Farmasi didefinisikan sebagai profesi
yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang
sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi
mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan, aksi farmakologis, pengawetan,
penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat dan sediaan obat. Pengetahuan kefarmasian
mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep dokter
berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai.
Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang penyembuhan
(kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti ular dijadikan lambang
kefarmasian. Selanjutnya perkembangan profesi kefarmasian dilakukan dalam biara, yang telah
menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin. Menurut undang-
undang. Surat perintah yang dinamakan ”Magna Charta” mewajibkan seorang Farmasis
mengucapkan sumpah, supaya bisa menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai keterampilan
dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan seragam. ”Magna Charta” kefarmasian
dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker.
Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu. Ilmu ialah
pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang menggunakan syarat-
syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin. Dalam
tinjauan pengelompokan bidang ilmu atau kategori di atas digunakan kriteria : objek ontologis,
landasan epistemologis, landasan aksiologis. Dari kajian filsafat di atas terlihat bahwa di samping
sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Kelompok
profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria berikut : memiliki
pengetahuan khusus, sikap dan prilaku professional,dan sanksi social.
DAFTAR PUSTAKA
http://farmasi-dalam-konteks-filsafat-ilmu.html
http://sejarah-perkembangan-farmasi.html
https://www.academia.edu/9895014

Anda mungkin juga menyukai