Anda di halaman 1dari 6

BAGIAN I RUANG LINGKUP FARMASI

I. PENDAHULUAN

Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan
obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada
pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai
identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,
analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine).
Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang
sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan
dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan
atau menjual langsung kepada pemakai [4].

Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau elok,
yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi menjadi
obat atau bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah orang
yang paling mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena
pengetahuan keahlian mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam
mengenai semua aspek kefarmasian seperti yang tercantum pada definisi di atas.

Bagian I tulisan ini membicarakan ruang lingkup farmasi, meliputi perkembangan


orientasi farmasi; sejarah farmasi, farmasi sebagai ilmu dan profesi, karir dan pekerjaan
Farmasis, dan pendidikan farmasi. Perkembangan farmasi suatu negara tercermin
dalam kurikulum pendidikan tingginya, karena kurikulum pendidikan merupakan
gambaran kebutuhan masyarakat akan jenis kemampuan dan keterampilan dalam
bidang keahlian tertentu. Oleh karena itu sebagai perbandingan dibicarakan pula
pendidikan Farmasis pada beberapa perguruan tinggi diluar negeri.

II. PERUBAHAN ORIENTASI FARMASI

Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan penekanan pada


pengertian dan orientasi farmasi. Pada awalnya profesi farmasi itu dikatakan
merupakan seni (arts) dan pengetahuan (science). Hal ini dapat dilihat pada buku teks
yang digunakan di perguruan tinggi farmasi pada awal pertengahan abad ke-20, yang
antara lain berjudul “Scoville’s The Art of Compounding “ (Seni Meracik Obat), dan
“Recepteerkunde” (Ilmu Resep) karangan van Duin, dan van der Wielen. Definisi obat
menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1960 tentang Farmasi :
.. obat yang dibuat dari bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral,
dan obat sintetis.

Definisi ini lebih menekankan sumber atau asal diperolehnya obat. Perkembangan
farmasi setelah itu berorientasi pada teknologi seperti tergambar oleh buku teks yang
populer pada saat itu, dan masih digunakan sampai sekarang : “ Pharmaceutical
Technology” oleh Lachman. Dalam Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS, 1980) : ……
obat ialah bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Definisi obat ini lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya.

Perkembangan farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan orientasi di bidang


kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang beranggotakan negara-negara di
dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 80-an mencanangkan semboyan “Health for All
by the year 2000”, yang merupakan tujuan sekaligus proses yang melibatkan seluruh
negara untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya, suatu derajat kesehatan
yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat memperoleh kehidupan yang
produktif secara sosial maupun ekonomis. Semboyan tadi dirumuskan melalui suatu
konsep bernama “Primary Health Care” dalam konperensi internasional di Alma Atta
1978, sehingga konsep itu dikenal dengan nama Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini
merupakan kunci dalam pencapaian tujuan pengembangan sosio-ekonomi masyarakat
dengan semangat persamaan hal dan keadilan sosial. Perkembangan terakhir
pengembangan di bidang kesehatan pada milenium baru ini ialah konsep “Paradigma
Sehat”. Paradigma sehat, bukan paradigma sakit, berorientasi pada bagaimana
mempertahankan keadaan sehat, bukan menekankan pada manusia sakit yang sudah
menjadi tugas rutin bidang kesehatan. Jadi jelas perkembangan farmasi yang menjadi
bagian dari bidang kesehatan, juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi di
bidang kesehatan.

The American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) [1] mendefinisikan farmasi


sebagai ”suatu sistem pengetahuan (knowledge system) yang merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan (health service)”. Memang agak sulit untuk mendefinisikan
farmasi secara lengkap, yang bukan saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat,
atau tujuan pemakaian obat. Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh
ISFI/IDI di Jakarta bulan Maret 1986 [9] oleh suatu Tim dari Institut Teknologi
Bandung telah dikemukakan definisi Farmasi sebagai berikut :

Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi dan sosial
budaya) yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan
melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan
pengetahuan tentang obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek
dan pengaruh obat pada manusia dan hewan.

Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan seperti diuraikan di atas,


farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi, kimia,
fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini dikaji, diuji, diorganisir,
ditransformasi dan diterapkan.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan
didistribusikan secara profesional bagi yang membutuhkannya.

Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga profesional dalam


bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan
mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan
perorangan dan kesejahteraan umum masyarakat.

Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi, karena penerapannya untuk
tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara kuantitatif maupun secara
kualitatif dalam setiap upaya kesehatan.

III. SEJARAH PERKEMBANGAN FARMASI [4]

Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat
tradisional (jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu
sebenarnya dukun melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran,
(mendiagnose penyakit) dan profesi kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat
kepada yang membutuhkannya).

Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir
dan Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk
sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam yang digunakan
sebagai obat. Pengetahuan tentang obat dan pengobatan selanjutnya berkembang
lebih rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan
metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman Yunani itu dikenal pula Asklepios
atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti
ular saat ini dijadikan lambang penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau
mangkok Hygeia yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian.

Perkembangan profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara, yang
telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin
yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di
bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah terjadi dalam
zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada
abad ke-9.

Namun demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia,
Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal (menurut
undang-undang) mengatur pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah yang
kemudian dinamakan ”Magna Charta” dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan
seorang Farmasis melalui pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat
diandalkan sesuai keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan
seragam. ”Magna Charta” kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk
Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker. [4]

IV. PENGETAHUAN, ILMU DAN PROFESI

Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu.
Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu
menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau
pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang
diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara
(ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau
pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”. Ilmu atau ”Science” ialah
pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang
menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan
dengan penuh disiplin. [8]

IV.1 Farmasi Sebagai Sains

Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai


kategori atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau
disiplin ilmu, yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan Sains
(Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts) apabila ditinjau
dari segi pelayanan dalam penggunaan obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat
pula digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science).

Dalam tinjauan pengelompokan bidang ilmu atau kategori di atas digunakan


kriteria :

1. Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek ontologis dalam bidang Ekonomi ialah
hubungan manusia dan benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup;
obyek telaah pada Manajemen ialah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan
yang telah disetujui bersama; obyek ontologis pada Farmasi ialah obat dari segi
kimia dan fisis, segi terapetik, pengadaan, pengolahan sampai pada penyerahannya
kepada yang memerlukan.

2. Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang digunakan untuk
memperoleh pengetahuan tersebut. Contoh landasan Epistemologis Matematika
ialah logika deduktif; landasan epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah
pengalaman dan akal sehat; landasan epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan
logika induktif dengan pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-
hipotetiko-verifikatif.
3. Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan
tersebut. Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan farmasi sudah jelas berbeda.
Dalam hal ini nilai kegunaan atau landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu
sama karena kedua-duanya bertujuan untuk kesehatan manusia. [8]

Sebagai ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal dari alam
maupun sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode
logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan pada
bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang dapat
dikelompokkan dalam bidang Sains.

IV.2 Farmasi Sebagai Profesi

Dari kajian filsafati di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi
meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan Profesional saat ini
semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan
(job, vacation, occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian
pula istilah profesional sering digunakan sebagai lawan kata amatir.

Menurut Hughes, E.C. [4] :

…..Profesion profess to know better than other the nature of certain matters, and to
know better than their clients what ails them or their affairs.
Definisi ini menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia, sehingga tidak
semua pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai profesi.

Menurut Schein, F.H. [4] :


…The profession are a set of occupation that have developed a very special set or
norms deriving from their special role in society .
Kelompok profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria
berikut :
1. Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan dengan kepentingan sosial.
Pengetahuan khusus ini dipelajari dalam waktu yang cukup lama untuk
kepentingan masyarakat umum.
2. Sikap dan Prilaku Profesional. Seorang profesional memiliki seperangkat sikap
yang mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah mendahulukan
kepentingan orang lain (altruisme) di atas kepentingan diri sendiri. Menurut
Marshall, seorang profesional bukan bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar agar
supaya ia dapat bekerja.
3. Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk
menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak
atau lisensi (lincense) oleh negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi.
Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak
berkompetensi untuk melakukan praktek profesional.

Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat sebagai
berikut :

1. Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan dan pelatihannya.


2. Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu harus memperoleh
pengalaman sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih intensif dibanding
mahasiswa pada bidang pekerjaan lain.
3. Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui dengan pemberian
lisensi.
4. Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5. Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi dibentuk dan dirumuskan oleh
profesi itu sendiri.
6. Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan tingkat
prestise, sehingga dapat menetapkan persyaratan yang lebih tinggi bagi calon
mahasiswanya.
7. Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang awam.
8. Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih mengikat dibanding
kontrol legal.
9. Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi dengan profesinya dibanding
dengan anggota okupasi lain.
10. Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti tidak ada yang akan beralih ke
profesi lain. [7]

Anda mungkin juga menyukai