Anda di halaman 1dari 138

BAB I

PENDAHULUAN

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM :


Setelah selesai membahas & mendiskusikan pokok bahasan ini, mahasiswa semester II
Jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menjelaskan prinsip dasar dan syarat-syarat dasar
dalam pembuatan sediaan farmasi dengan benar ( C2 ).
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah dan perkembangan ilmu meracik ( C2 )
2. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai ketentuan umum dan monografi dalam
Farmakope Indonesia dengan benar ( C2 )
3. Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai jenis besaran dan ketentuan ukuran dalam
sediaan Farmasi sesuai dengan ketentuan dalam Farmakope Indonesia( C2 )
4. Mahasiswa dapat menjelaskan jenis-jenis wadah dan cara penyimpanan sediaan
Farmasi yang benar ( C2 )
5. Mahasiswa dapat menjelaskan gambaran umum prinsip dasar pembuatan sediaan
Farmasi di Apotek sesuai dengan standar pelayanan profesi Farmasi ( C2 )

I.1. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FARMASI DI DUNIA


Ilmu farmasi telah ada sejak awal peradaban manusia, karena pada saat itu pun
penyakit sudah ada. Karena naluri manusia purba untuk mempertahankan kehidupannya,
mulailah mereka mencoba-coba untuk menggunakan segala macam sesuatu dari alam untuk
mengobati penyakitnya, antara lain dengan cara berendam dalam air dingin, menutup rasa
sakit pada luka dengan lumpur, menempelkan daun segar untuk mengurangi rasa sakit, dan
lain-lain. Meskipun cara yang mereka lakukan sangat sederhana tetapi banyak obat-obatan
yang saat ini kita pakai merupakan warisan dari jaman tersebut.
Orang-orang primitif mulai belajar dari pengalaman bahwa cara pengobatan yang satu
lebih efektif dari yang lain, dan dari dasar inilah pekerjaan terapi dengan obat dimulai. Pada
saat itu asumsi yang berkembang adalah: roh jahat masuk kedalam tubuh manusia dan
menimbulkan penyakit. Oleh karena itu, roh tersebut harus diusir dari tubuh manusia dengan
jalan memberikan pengobatan melalui mantera-mantera, bunyi-bunyian, dan tumbuh-
tumbuhan. Dalam perkembangan selanjutnya, orang yang dituakan dari suatu suku (kepala
suku), dianggap mempunyai ilmu mengobati yang diperoleh dari pengalaman atau secara
turun temurun, sering dipanggil untuk mengobati orang sakit dan melakukan pengobatan. Saat
itu ilmu pengobatan selalu dihubungkan dengan hal-hal gaib. Bekerjanya suatu obat, tidak

1
berdasarkan pada sifat alamiahnya tetapi dianggap karena adanya rasa kasihan Dewa, tidak
ada lagi roh jahat, kesungguhan keinginan untuk mengobati dan kehadiran pada saat upacara.
Pada saat itu pekerjaan kefarmasian atau perapotekan tidak dapat dibedakan dengan
kedokteran karena pekerjaan tersebut merupakan fungsi pimpinan suku.
Dalam perkembangan selanjutnya yang lebih maju dapat kita perhatikan sejarah
kefarmasian di Babylonia, Cina dan Mesir. Pada sekitar tahun 2600 SM di Babylonia, pelaku
pengobatan adalah seorang pendeta yang berperan sebagai apoteker sekaligus dokter. Pendeta
mencatat semua gejala penyakit pasien, kemudian membuat resep dengan bentuk sediaan
tablet dan cara meraciknya. Metode pengobatan kuno di Babylonia ini merupakan akar dari
ilmu farmasi dan kedokteran saat ini. Perkembangan farmasi di Cina, menurut legenda
dimulai sejak pemerintahan Kaisar Shen Nung sekitar 2000 SM. Shen Nung banyak meneliti
kegunaan tumbuh-tumbuhan bagi pengobatan yang kemudian dituangkan dalam catatan ”Pen
T-Sao” yang menguraikan 365 jenis obat dari tumbuhan. Catatan yang paling terkenal dalam
dunia farmasi adalah Papyrus Ebers (1500 SM) dari sistem pengobatan mesir Kuno. Papyrus
Ebers merupakan kertas sepanjang 60 kaki dan lebar 1 kaki yang memuat 800 resep dan 700
macam obat.
Beberapa tokoh pengantar pandangan ilmiah dalam dunia farmasi dan kedokteran
sepanjang sejarah, antara lain:
1. Hippokrates (460-370 SM)
 Hippokrates adalah seorang dokter Yunani, yang dijuluki Bapak dari Ilmu
Kedokteran.
 Beliau memperkenalkan farmasi dan kedokteran secara ilmiah serta
menerapkan obat secara rasional.
2. Dioscorides (abad I Masehi)
 Seorang dokter Yunani sekaligus ahli Botani
 Menggunakan ilmu tumbuhan secara terpadu sebagai ilmu Farmasi terapan
 Hasil karyanya adalah ”De Materia Medica” yang dianggap sebagai awal dari
perkembangan Botani Farmasi dan dalam penyelidikan bahan obat yang diperoleh
secara alami.
3. Galen (130-200 Masehi)
 Seorang dokter sekaligus ahli farmasi bangsa Yunani
 Beliau memulai pembuatan obat-obatan dari tumbuhan dengan mencampurkan
atau meleburkan masing-masing bahan sehingga saat ini bidang penyediaan farmasi
dikaitkan dengan farmasi Galenik

2
4. Raja Frederick II
 Farmasi tetap merupakan fungsi dari Kedokteran, sampai meningkatnya jenis obat-
obatan dan cara pembuatan yang semakin rumit, sehingga diperlukan seorang ahli
farmasi
 Farmasi terpisah dari Kedokteran pada tahun 1240 Masehi karena ada perintah/dekrit
dari Raja Frederick II yang dikenal dengan ”Magna Charta Farmasi” yaitu:
Membagi 2 profesi tersebut dan mengakui bahwa farmasi memerlukan ilmu,
keterampilan, inisiatif dan tanggung jawab yang khusus jika diinginkan terjaminnya
pengaturan yang memadai terhadap obat untuk manusia. Ahli farmasi terikat sumpah
untuk :
- Menyediakan obat-obatan yang bisa diandalkan dan punya kualitas
yang uniform sesuai dengan keahliannya
- Bentuk eksploitasi apapun terhadap penderita melalui hubungan
antara ahli farmasi dan dokter benar-benar dilarang.”
 Tahun 1821 Masehi, sekolah Farmasi pertama kali didirikan di Philadelphia

I.2. PERKEMBANGAN FARMASI DI INDONESIA DAN PENGARUH BARAT


Farmasi merupakan profesi yang berkaitan dengan bidang-bidang penemuan,
pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan, penyerahan dan distribusi obat-obatan.
Sebelum masuknya kebudayaan barat, di Indonesia pekerjaan ini dilakukan oleh ”Dukun”
yang berperan sebagai dokter sekaligus apoteker. Dukun memperoleh pengetahuan mengenai
obat dan pengobatan berdasarkan pengalaman sendiri dan warisan turun temurun serta
seringkali dihubungkan dengan hal-hal gaib.
Cara dukun memperoleh obat antara lain berdasarkan warna dan bentuk tanaman,
misalnya temulawak digunakan untuk menyembuhkan penyakit kuning karena warnanya
kuning, kayu secang digunakan untuk menyembuhkan desentri (berak darah) karena
warnanya merah. Hasil pengobatan oleh dukun ini bisa memuaskan tapi bisa pula tidak
memuaskan. Keberhasilan pengobatan antara lain disebabkan karena obat yang sesuai untuk
penyakit tersebut berdasarkan pengalaman, terapi yang benar secara kebetulan, atau adanya
efek plasebo yaitu: keberhasilan pengobatan karena pengaruh psikologi dan tidak karena efek
terapi. Sedangkan kegagalan pengobatan antara lain disebabkan karena obat tidak sesuai atau
dosis yang tidak sesuai (dosis terlalu rendah atau dosis terlalu tinggi). Sampai saat ini obat-
obat tersebut masih digunakan oleh penduduk Indonesia.
Dahulu obat-obat asli Indonesia dijual dalam bentuk bahan-bahan menjadi obat siap
minum dan didistribusikan dari rumah ke rumah. Dalam perkembangan selanjutnya, obat-obat

3
tersebut dijual dalam bentuk racikan yang terbungkus disertai keterangan mengenai khasiat,
cara penyajian dan takaran pemakaian. Selanjutnya, obat-obat juga dijual dalam bentuk
sediaan tablet, kapsul dan cairan yang diawetkan. Setelah masuknya pengaruh budaya barat,
masyarakat Indonesia mulai mengenal obat-obat modern dan akibat adanya perubahan yang
mengajarkan mengenai ilmu farmasi dan ilmu yang berhubungan dengan farmasi, maka
mulailah isolasi zat berkhasiat dari tanaman atau hewan yang disusul dengan sintesis obat.

I.3. FARMAKOPE INDONESIA


Istilah Pharmacopea (dalam bahasa Indonesia : farmakope) mulai dipakai pada tahun
1580. Pharmacopea berasal dari bahasa Jerman yaitu dari kata: Pharmacon = obat dan Poein =
buat. Pharmacopea merupakan resep atau formula atau standar yang dibutuhkan untuk
menyiapkan suatu obat. Pharmacopea awalnya diterbitkan oleh masyarakat farmasi di Eropa,
namun setelah beberapa waktu dirasa perlu adanya keseragaman standar dalam suatu bangsa,
misalnya di Inggris diterbitkan British Pharmacopea (BP), di Amerika diterbitkan United
State Pharmacopea (USP) dan di Indonesia diterbitkan Farmakope Indonesia. Sampai saat ini
telah diterbitkan Farmakope Indonesia sampai Edisi keempat.
Farmakope Indonesia memuat:
1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum memuat azas, batasan dan penjelasan yang dapat dijadikan petunjuk
dasar untuk menafsirkan persyaratan prosedur pembakuan, cara pengujian dan persyaratan
lain yang sering dijumpai dalam paparan, terutama paparan monografi. Dihimpun
demikian dengan maksud agar tidak perlu berulang kali menyebutkan uraian tersebut
dalam paparan monografi dan lampiran. Kadang-kadang dikehendaki ketentuan dalam
paparan yang uraiannya agak berbeda dengan apa yang disebutkan dalam Ketentuan
umum. Untuk menyatakan adanya perbedaan tersebut, uraian ketentuan yang
bersangkutan diawali atau disisipi kalimat : ”kecuali dinyatakan lain”. Ketentuan umum
antara lain memuat:
 Tatanama
Untuk tata nama obat, jika nama ini berupa judul monografi, huruf awal
namanya ditulis dengan huruf besar, begitu juga jika namanya terdiri daridua
kata atau lebih, tiap huruf awal katanya ditulis dengan huruf besar, kecuali jika
kata kedua atau berikutnya merupakan kata sifat atau keterangan.
 Kelarutan
Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada
suhu 20ºC dan kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa, 1 bagian bobot zat

4
padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut.
Pernyataan kelarutan yang tidak disertai angka adalah kelarutan pada suhu
kamar. Pernyataan bagian dalam kelarutan berarti bahwa 1 gram zat padat atau
1 ml zat cair dalam sejumlah ml pelarut. Jika kelarutan suatu zat tidak
diketahui dengan pasti, kelarutannya dapat ditunjukkan dengan istilah berikut:
Istilah kelarutan Jumlah bagian pelarut diperlukan untuk
melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 – 10
Larut 10 – 30
Agak sukar larut 30 – 100
Sukar larut 100 – 1000
Sangat sukar larut 1000 – 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

 Persen
Persen dinyatakan dengan salah satu dari empat cara berikut:
1. Persen bobot per bobot (%b/b), menyatakan jumlah gram zat dalam
100 gram bahan atau hasil akhir
2. Persen bobot per volume (%b/v), menyatakan jumlah gram zat dalam
100 ml bahan atau hasil akhir
3. Persen volume per volume (%v/v), menyatakan jumlah ml zat dalam
100 ml bahan atau hasil akhir
4. Persen volume per bobot (%v/b), menyatakan jumlah ml zat dalam
100 gram bahan atau hasil akhir
Kecuali dinyatakan lain, dimaksud dengan persen (%) tanpa penjelasan
selanjutnya, adalah persen bobot per bobot.

 Wadah
Wadah dan sumbatnya tidak boleh mempengaruhi bahan yang disimpan
didalmnya baik secara kimia maupun secara fisika, yang dapat mengakibatkan
perubahan khasiat, mutu atau kemurniannya. Jika perubahan itu tidak dapat
dihindarkan, maka perubahanyang terjadi tidak boleh sedemikian besar
sehingga menyebabkan bahan yang disimpan tidak memenuhi syarat baku.
1. Wadah tertutup baik : harus melindungi isinya terhadap masuknya
bahan padat dari luar dan mencegah kehilangan waktu pengurusan,

5
pengangkutan, penyimpanan dan penjualan dalam keadaan dan dengan cara
biasa.
2. Wadah tertutup rapat : harus melindungi isinya terhadap masuknya
bahan padat atau lengas dari luar dan mencegah kehilangan, pelapukan,
pencairan dan penguapan pada waktu pengurusan, pengangkutan,
penyimpanan dan penjualan dalam keadaan dan dengan cara biasa. Jika
disyaratkan wadah tertutup rapat, dapat diganti dengan wadah tertutup
kedap.
3. Wadah tertutup kedap : harus dapat mencegah menembusnya udara
atau gas pada waktu pengurusan, pengangkutan, penyimpanan dan
penjualan dalam keadaan dan dengan cara biasa.
4. Wadah satuan tunggal : wadah tertutup sedemikian rupa sehingga isi
wadah tidak dapat dipindahkan tanpa merusak tutupnya.
5. Wadah dosis tunggal : wadah satuan tunggal zat yang digunakan hanya
untuk injeksi.
6. Wadah dosis satuan : wadah satuan tunggal zat yang digunakan dalam
dosis tunggal, langsung dari wadah.
7. Wadah satuan ganda : wadah yang memungkinkan dapat diambil
sebagian isinya tanpa mengakibatkan perubahan potensi, mutu atau
kemurnian sisa zat dalam wadah tersebut.
8. Wadah dosis ganda : wadah satuan ganda untuk zat yang hanya
digunakan untuk injeksi

 Penyimpanan
Obat harus disimpan untuk mencegah cemaran dan peruraian, terhindar dari
pengaruh udara, kelembaban, panas dan cahaya. Beberapa kriteria
penyimpanan obat, antara lain:
1. Obat yang mudah menguap atau terurai dan bahan obat yang
mengandung bagian yang mudah menguap atau terurai, harus disimpan
dalam wadah tertutup rapat.
2. Obat yang mudah menyerap lembab harus disimpan dalam wadah
tertutup rapat berisi kapur tohor
3. Obat yang menyerap karbondioksida harus disimpan dengan
pertolongan kapur tohor atau zat lain yang cocok.

6
4. Disimpan terlindung dari cahaya berarti harus disimpan dalam wadah
inaktinik
5. Disimpan sangat terlindung dari cahaya berarti harus disimpan
terlindung dari cahaya dan wadahnya masih harus dibungkus dengan kertas
hitam atau kertas lain yang tidak tembus cahaya.
6. Disimpan pada suhu kamar adalah disimpan pada suhu 15ºC - 30ºC
7. Disimpan di tempat sejuk adalah disimpan pada suhu 5ºC - 15ºC
8. Disimpan di tempat dingin adalah disimpan pada suhu 0ºC - 5ºC
9. Disimpan di tempat lewat dingin adalah disimpan pada suhu -15ºC -
0ºC

 Daluwarsa
Waktu daluwarsa (Expiry Date) adalah waktu yang menunjukkan batas
terakhir obat masih memenuhi syarat baku. Waktu daluwarsa dinyatakan
dalam bulan dan tahun dan harus dicantumkan pada etiket.

 Timbangan
Timbangan obat ada 3 jenis, yaitu timbangan gram kasar, timbangan gram
halus dan timbangan miligram.
Timbangan gram kasar : daya beban 250 g – 1000 g, kepekaan 200 mg
Timbangan gram halus : daya beban 100 g – 200 g, kepekaan 50 mg
Timbangan miligram : daya beban 10 g – 50 g, kepekaan 5 mg
Daya beban adalah bobot maksimum yang boleh ditimbang
Kepekaan adalah tambahan bobot maksimum yang diperlukan pada salah satu
pinggan timbangan, setelah keduanya diisi muatan maksimum, menyebabkan
ayunan jarum timbangan tidak kurang dari 2 mm tiap dm panjang jarum.

 Penetes baku
Penetes baku adalah penetes yang pada suhu 20ºC memeberikan tetesan air
suling yang bobotnya antara 47,5 mg dan 52,5 mg.

 Volume sendok
Menurut FI, sendok kecil mempunyai volume 5 ml dan sendok besar
mempunyai volume 15 ml. Sedangkan menurut Netherland Pharmacopea,
sendok teh (Cochlear theae/Cth) mempunyai volume 3 ml, sendok bubur

7
(Cochlear pultis/Cp) mempunyai volume 8 ml dan sendok makan
(Cochlear/C) mempunyai volume 15 ml.

2. Monografi Umum
Monografi umum memuat gambaran umum mengenai bentuk-bentuk sediaan farmasi,
misalnya : aerosol, pil, tablet, kapsul, vaksin, simplisia nabati, dan lain-lain.
3. Monografi
Monografi memuat spesifikasi bahan-bahan obat yang banyak dipakai dalam bidang
farmasi.
4. Lampiran
Bagian penting dari lampiran yang sering dipakai dalam ilmu meracik obat adalah
daftar mengenai dosis lazim dan dosis maksimum. Dosis lazim yang tertera dalam
Farmakope adalah dosis lazim untuk bayi, anak-anak dan dewasa, sedangakan dosis
maksimum yang tertera hanya untuk dosis maksimum orang dewasa.

Bahan diskusi : Bagaimana hubungan ilmu farmasi dengan ilmu meracik?

I.4. GAMBARAN UMUM PEMBUATAN SEDIAAN FARMASI DI APOTEK


Resep obat yang ditulis oleh dokter dan dibawa oleh pasien ke Apotek, terlebih dahulu
harus dicek kelengkapan, keabsahan dan dosis obatnya. Apabila ternyata resep tersebut tidak
lengkap atau tidak sah atau dosis obatnya lebih kecil atau lebih besar daripada seharusnya,
maka hal tersebut harus segera dikomunikasikan dengan dokter penulis resep. Setelah semua
permasalahan dalam resep tersebut selesai, barulah sediaan dalam resep tersebut dikerjakan.
DOKTER RESEP

APOTEK

OK RESEP DICEK LEGALITAS & DOSIS

DIRACIK DIKOMUNIKASIKAN KE DOKTER


OK

DIRACIK

DISERAHKAN KEPADA PASIEN

8
BAB II
RESEP
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM :
Setelah selesai membahas & mendiskusikan pokok bahasan ini, mahasiswa semester II
Jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat mengaplikasikan keabsahan, menggunakan
istilah-istilah lazim yang digunakan dalam resep dan copie resep, dan menghitung dosis
dengan benar (C3)
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan persyaratan keabsahan suatu resep dan copie resep
serta istilah-istilah lazim yang digunakan dalam resep dan copie resep dengan benar
( C2 )
2. Mahasiswa dapat menerapkan perhitungan dosis lazim, dosis maksimum dan dosis
kombinasi baik pada anak-anak maupun dewasa dengan benar ( C3 )

II.1. RESEP DAN COPIE RESEP


Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi dan dokter hewan kepada
apoteker untuk membuat dan menyerahkan obat kepada pasien dengan disertai informasi
mengenai petunjuk pengugunaannya. Istilah-istilah yang dipakai dalam resep menggunakan
bahasa Latin, beberapa keuntungannya antara lain:
1. Bahasa Latin merupakan bahasa mati, yang tidak bersifat subjektif dan tidak akan
menimbulkan banyak interpretasi.
2. Bahasa Latin merupakan bahasa yang digunakan dalam ilmu kesehatan di seluruh
dunia, jadi resep yang ditulis oleh dokter di Indonesia dapat dibaca dan dibuat oleh
apoteker di negara manapun.
Pada saat resep diterima oleh apoteker, pertama-tama resep tersebut harus dicek
kelengkapan dan keabsahannya. Resep dikatakan lengkap dan sah apabila telah memenuhi
semua unsur-unsur dalam resep. Unsur-unsur dalam suatu resep adalah:
1. Nama, alamat dan nomor ijin praktek dokter penulis resep
2. Tanggal penulisan resep
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep, diikuti nama obat atau komposisi
obat (superscriptio/invocatio). Tanda R/ sudah dipahami secara umum yang merupakan
bahasa Latin ”Recipe” yang artinya ambillah.
4. Nama obat atau komposisi obat
5. Permintaan dokter penulis resep kepada apoteker mengenai bentuk sediaan yang
dibuat beserta jumlahnya

9
6. Aturan pemakaian obat yang tertulis dalam resep (signature)
7. Tanda tangan dokter penulis resep
8. Nama, umur dan alamat pasien. Untuk resep dokter hewan, harus dicantumkan
jenis hewan, nama dan alamat pemiliknya.
Disamping itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam resep yaitu:
1. Resep dokter hewan hanya ditujukan untuk penggunaan pada hewan
2. Resep dokter gigi terbatas pada pengobatan gigi dan mulut
3. Resep yang mengandung narkotika tidak boleh ada iterasi atau ulangan, nama pasien,
alamat pasien dan aturan pakai (signa) harus ditulis yang jelas, tidak boleh ditulis ”aturan
pemakaian sudah tahu” = signa usus cognitus (suc), ditulis nama pasien dan tidak boleh
m.i. = mihi ipsi artinya untuk dipakai sendiri.
4. Untuk penderita yang segera memerlukan obatnya, dokter menulis pada bagian kanan
resep : Cito, statim, atau urgent = segera, atau PIM = periculum in mora = berbahaya bila
ditunda.
5. Bila dokter ingin resepnya yang mengandung obat keras diulang, dokter akan menulis
iter = diulang, pada bagian kiri atas resep.
6. Bila dokter tidak ingin resepnya yang mengandung obat keras diulang tanpa
sepengetahuan, dokter akan menulis NI = ne iteratur = tidak boleh diulang.
Yang berhak meracik atau membuat resep adalah apoteker dan asisten apoteker. Apabila resep
tidak dapat dibaca dengan jelas atau resep tidak lengkap, maka apoteker harus menanyakan
kepada dokter penulis resep untuk menghindari adanya kesalahan. Resep yang sudah dibuat
harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dalam jangka waktu tiga tahun.
Dibawah ini adalah beberapa istilah Latin yang sering digunakan dalam penulisan
resep.
SINGKATAN KEPANJANGAN ARTI
a, aa ana Tiap-tiap
add. adde Tambahkan
ad 2 vic. ad duas vices Dalam dua kali
ad libit. Ad libitum Sesukanya
Agit. agitatio gojog
Alt.hor. Alternis horis Tiap jam
Aq. bidest. Aqua bidestillata Air suling dua kali
Aq. bull. Aqua bulliens Air mendidih
Aq. coct. Aqua cocta Air direbus
Aq. comm. Aqua communis Air biasa
Aq. dest. Aqua destillata Air suling
Aq. ferv. Aqua fervida Air panas (85ºC-95ºC)
Aq. glycer. Aqua glycerinata Air gliserin
c Cum dengan
C Cochlear Sendok makan

10
cp Cochlear pultis Sendok bubur
cth Cochlear theae Sendok teh
d.d De die sehari
d.t.d Da tales doses Berilah sekian takaran
d.i.d Da in dimidio Berikan separonya
gtt Gutta Tetes
h Hora jam
h.m. Hora matutina Pagi-pagi
h.s. Hora somni Pada waktu mau pergi tidur
h.v. Hora vespertina Malam
Haust. Haustus Diminum sekaligus
Iter Iteretur, Iteratio Diulang, ulangan
i.m.m. In manus madici Diserahkan dokter
l.a. Lege artis Menurut aturan seni
Liq. Liqiudus cair
m.f. Misce fac Campur, buat
m.i. Mihi ipsi Untuk diri sendiri
Ne iter, N.I Ne iteretur Tidak diulang
o.h. Omni hora Setiap jam
o.m. Omni mane Setiap pagi
o.n. Omni nocte Setiap malam
o.1/4 .h Omni quarta hora Setiap ¼ jam
P.I.M. Periculum in mora Berbahaya bila ditunda
q.s. Quantum sufficit, satis Secukupnya
Rec. par. Recenter paratus Dibuat baru
s. Signa Tanda
s.u.c. Signa usus cognitus Tandailah aturan pakai sudah
tahu
s.u.e. Signa usus externus Tandailah untuk pemakaian
luar
s.u.i. Signa usus internus Tandailah untuk pemakaian
dalam
s.u.n. Signa usus notus Tandailah aturan pakai sudah
tahu
s.u.v. Signa usus veterinarius Tandailah pemakaian utnuk
hewan
S.p.r.n Signa pro renata Tandailah jika perlu
s.s.d.d.c.I Signa semel de die cochlear I Tandailah 1 kali sehari 1
sendok makan
s.b.d.d.cth.II.a.c. Signa bis de die cochlear theae II Tandailah 2 kali sehari 2
ante coenam sendok teh sebelum makan
s.t.d.d.cp.I.p.c. Signa ter de die cochlear pultis I post Tandailah 3 kali sehari 1
coenam sendok bubur setelah makan
S.t.d.d.caps. I Signa ter de die capsul I Tandailah 3 kali sehari 1
kapsul
m.f.pulv.d.t.d.X Misce fac pulveres da tales doses Campur dan buatlah pulveres

11
numero X sekian takaran sebanyak 10
bungkus
Contoh resep
Dr. Luliana, Sp.A
SIP No. 300/K/90
Jln. Melati No. 15 Denpasar
Telp: 213344

Denpasar, 20 – 2 - 2006
R/ Aminophyllin mg. 200
CTM mg. 3
Belladone Extract mg. 10
Lactosum q.s
m.f.pulv. d.t.d. No. X
s.b.d.d pulv I

Pro : Anak Anna


Umur : 1 thn (12 kg, tinggi 100 cm)
Alamat: Jln. Batukaru 25 Denpasar
Dr. Luliana, Sp.A
SIP No. 300/K/90
Jln. Melati No. 15 Denpasar
Telp: 213344

Denpasar, 20 – 2 – 2006

Iter 2x R/ Aminophyllin mg. 200


CTM mg. 3
Lactosum q.s
m.f.pulv. No. X
s.b.d.d pulv I

Pro : Anak Anna


Umur : 10 thn
Alamat: Jln. Batukaru 25 Denpasar

Bahan diskusi : apa perbedaan dari kedua resep tersebut?

Dr. Windi, Sp.A


SIP No.503/K/90
Jln. Kepundung No. 10 Denpasar
Telp: 222255

Denpasar, 12 – 2 – 2007

R/ Paracetamol syrup I
s.t.d.d.p.r.n.cth.I

12
Pro : Anak Hendra
Umur : 1 thn (12 kg)
Alamat: Jln. Padma 10 Denpasar
COPIE RESEP (APOGRAPH =AFSCHRIFT)
Copie resep merupakan salinan tertulis dari suatu resep. Selain memuat semua
keterangan dalam resep asli, copie resep juga harus memuat:
1. Nama dan alamat apotek
2. Nama dan nomor SP APA
3. Tanda tangan atau paraf Apoteker Pengelola Apotek
4. Nomor resep dan tanggal pembuatan resep
5. Tanda “det” (detur) untuk obat yang sudah diserahkan dan “ne det” (ne detur) untuk
obat yang belum diserahkan
Penyerahan obat berdasarkan resep harus disertai dengan etiket yaitu: etiket berwarna
putih untuk obat dalam dan etiket berwarna biru untuk obat luar. Etiket harus memuat:
1. Nama dan alamat apotek
2. Nama dan nomor Surat Penugasan (SP) APA
3. Nomor resep dan tanggal pembuatan
4. Nama pasien
5. Aturan pemakaian
Resep yang telah dibuat, disimpan menurut urutan tanggal dan nomor
pembuatan/penerimaan resep sampai waktu tiga tahun. Resep yang disimpan lebih dari tiga
tahun dapat dimusnahkan. Resep yang mengandung narkotika, harus dipisahkan dari resep
lainnya, ditandai dengan garis merah dibawah nama obat yang mengandung narkotika.
Contoh Copie Resep
APOTIK GATSU
Jl. Gatsu timur No. 99 Denpasar
Telp. (0361) 223225
APA : Ni Putu Ariantari, S.Farm., Apt.
SP : KP.01.01.1.3.00579

Salinan resep
Resep Untuk : Anak Anna
Resep Dari : Dr. Luliana, Sp.A
Tanggal resep : 20 – 2 - 2006
Nomor resep : 20
Tanggal pembuatan : 21 – 2 – 2006

13
R/ Aminophyllin mg. 200
CTM mg. 3
Lactosum q.s
m.f.pulv. No. X
s.b.d.d pulv I

pcc
cap apotek
paraf / tanda tangan APA

II.2. DOSIS DAN PERHITUNGAN DOSIS


Obat digunakan untuk menyembuhkan atau terapi penyakit. Untuk dapat memberikan
efek terapi yang diinginkan, obat harus berada dalam konsentrasi tertentu di dalam darah.

Dari grafik hubungan antara waktu pemberian obat dengan konsentrasi obat dalam serum
diatas, dapat kita ambil gambaran bahwa untuk dapat memberikan efek terapi, obat harus
berada diantara MEC (Minimum Effective Concentration) dan MTC (Minimum Toxic
Concentration). Apabila dosis obat terlalu kecil sehingga kadar obat dalam darah dibawah
MEC, maka obat tidak akan memberikan efek terapetik. Sebaliknya apabila dosis obat yang
diberikan kepada pasien terlalu besar sehingga kadar obat di dalam darah mencapai MTC
maka obat akan memberikan efek toksik (beracun). Untuk itu, diperlukan perhitungan dosis
obat yang harus diberikan kepada pasien.
Dosis maksimum (DM) merupakan dosis maksimum untuk dewasa untuk pemakaian
obat melalui mulut, injeksi subkutan dan rektal. Ada beberapa hal yang digunakan sebagai
dasar untuk menghitung dosis obat, antara lain: umur, berat badan dan luas permukaan
tubuh.
Berikut ini adalah beberapa metode untuk perhitungan dosis obat yaitu:
1. Rumus Young
n
n  12
n = umur (tahun)

14
Rumus ini biasanya digunakan untuk anak umur 1 – 8 tahun. Sedangkan untuk anak
dengan umur lebih dari 8 tahun digunakan rumus:

n
20
Umur merupakan salah satu pertimbangan dalam penentuan dosis obat terutama untuk
pasien neonatus (bayi baru lahir), pediatrik (anak-anak) dan pasien geriatrik (orang tua).
Pada bayi baru lahir (neonatus), apalagi pada bayi yang lahir prematur, status hati dan
ginjal belum sempurna sehingga sistem metabolisme obat di tubuh bayi juga belum
sempurna. Demikian pula pada pasien geriatrik (orang tua), fungsi organ-organ yang
berperan dalam metabolisme obat juga sudah tidak berfungsi secara normal sehingga
diperlukan penyesuaian dosis obat.

2. Rumus Fried and Clark


n
xDosisMaksimum /Dosis lazim
150

n = berat (pound) 1 Kg = 2,2 pound


Dosis lazim obat secara umum dianggap cocok untuk orang dengan berat badan 70 kg
(150 pound). Perbandingan antara dosis obat yang digunakan dengan ukuran tubuh
mempengaruhi konsentrasi obat di tempat kerjanya dalam tubuh. Misalnya, dosis obat
yang diberikan untuk pasien gemuk dan pasien kurus akan berbeda karena ukuran
tubuhnya berbeda. Demikian pula untuk pasien anak-anak dan dewasa mempunyai ukuran
tubuh yang berbeda. Oleh sebab itu, penentuan dosis obat berdasarkan berat badan lebih
dapat diandalkan daripada penentuan dosis yang sepenuhnya berdasarkan umur.

3. Metode BSA (Body Surface Area = Luas Permukaan Tubuh)


LuasPermuakaanTubuhAnak
xDosisLazim / DosisMaksimumDewasa
LuasPermukaanTubuhOrangDewasa

Metode ini berdasarkan pengetahuan bahwa ada hubungan antara proses fisiologi
dengan luas permukaan tubuh. Luas permukaan tubuh dapat ditentukan dari monogram
(terlampir) yang memuat skala tinggi, berat dan luas permukaan tubuh dengan cara
menarik garis lurus yang menghubungkan tinggi dengan berat dan garis tersebut akan
memotong pada skala luas permukaan tubuh. Angka yang ditunjukkan oleh titik potong
itulah yang merupakan luas permukaan tubuh pasien. Penggunaan seluruh dosis dewasa

15
dianggap tepat apabila luas permukaan tubuh mencapai 1,7 m2. Beberapa dosis obat
mungkin dinyatakan dalam satuan mg/m2.
Contoh:
Dosis lazim sehari pediatrik berdasarkan BSA = 4,5mg/m 2. Hitunglah dosis klorambusil
seorang anak dengan berat 15 kg dan tinggi 100 cm.
Penyelesaian:
Dengan menggunakan monogram dapat dihitung BSA anak tersebut = 0,64 m2. Sehingga
dosis klorambusil untuk anak tersebut = 0,64 m2 x 4,5 mg/m2 = 2,88 mg sehari
Tugas : Hitunglah dosis maksimum dan dosis lazim dari obat-obat dalam resep diatas
dengan ketiga metode diatas!

Kasus :
Seorang ibu datang tergopoh-gopoh ke apotik Kenyeri Farma, sebut saja namanya ibu
Susi. Ibu Susi menyampaikan kepada apoteker apotek Kenyeri Farma bahwa bayinya sakit
panas. Lalu ibu Susi meminta saran apoteker mengenai obat apa yang harus diberikan
kepada anaknya. Sang apoteker menyarankan untuk menggunakan obat Mamol drops
yang bahan aktifnya adalah paracetamol. Apabila bayi ibu Susi tersebut baru berumur 3
bulan dengan berat badan 7 kg, berapa dosis yang harus direkomendasikan oleh apoteker
untuk Ibu Susi tersebut. (Mamol: Tiap 0,6 mL mengandung 60 mg paracetamol)
Perhitungan Dosis Rangkap (Dosis Kombinasi)
Bila dalam suatu resep terdapat dua atau lebih obat yang mempunyai khasiat sama, maka
dosis obat-obat tersebut dihitung dengan cara:
DosisObatA DosisObatB
 1
DMObatA DM ObatB

Dosis rangkap yang dihintung adalah dosis rangkap sehari dan dosis rangkap sekali.
Contoh Resep:
R/ Atropin sulfas 0,6 mg
Belladona extract 10 mg
m.f.pulv.d.t.d. No.X
S.4.d.d.pulv.I
Pro : Ny. Indah (38 thn)
Alamat : Denpasar
Penyelesaian:
1. Dosis rangkap sekali

16
Dosis maksimum sekali atropin sulfas = 1 mg
Dosis maksimum sekali Belladona extract = 20 mg
Dosis sekali atropin sulfas = 0,6 mg/1mg = 0,6
Dosis sekali Belladona extract = 10 mg/20 mg = 0,5
Dosis rangkap sekali = 0,6 + 0,5 = 1,1 >1 (dosis berlebihan)
2. Dosis rangkap sehari
Dosis maksimum sehari atropin sulfas = 3 mg
Dosis maksimum sehari Belladona extract = 80 mg
Dosis sehari atropin sulfas = 2,4 mg/3 mg = 0,8
Dosis sehari Belladona extract = 40 mg/80 mg = 0,5
Dosis rangkap sehari = 0,8 + 0,5 = 1,3 >1 (dosis berlebihan)

Bila dosis rangkap sehari dan sekali adalah berlebihan atau overdosis, maka resep
tidak dapat dibuat sebelum dikomunikasikan dulu dengan dokter penulis resep.
Penyerahan obat yang melebihi dosis maksimum harus diberi tanda seru atau paraf dokter
penulis resep dibelakang obat yang jumlahnya melebihi dosis maksimum tersebut.

BAB III
PERALATAN FARMASETIKA

Tujuan Instruksional Umum:


Setelah selesai membahas dan mendiskusikan pokok bahasan ini, mahasiswa semester II
Jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menggunakan perlengkapan farmasetika dalam
pelayanan resep dan pembuatan sediaan di apotek sesuai dengan standar pelayanan profesi
farmasi (C3).

Tujuan Instruksional Khusus:


1. Mahasiswa dapat menjelaskan penggunaan dan kegunaan perlengkapan farmasetika
dalam pelayanan resep dan pembuatan sediaan di apotek sesuai dengan standar
pelayanan profesi farmasi (C2).
2. Mahasiswa dapat menggunakan perlengkapan farmasetika dalam pelayanan resep dan
pembuatan sediaan di apotek sesuai dengan standar pelayanan profesi farmasi (C3).

I. Timbangan Resep dan Penimbangan

17
Pada penimbangan bahan-bahan, pemilihan alat yang akan dipergunakan didasarkan
pada jumlah bahan yang bersangkutan dan ketelitian yang dibutuhkan. Pada pembuatan
skala besar di industri farmasi besar digunakan timbangan dengan berbagai ukuran dan
kepekaan, dan kemudian, digunakan timbangan analitis dengan sensitivitas yang tinggi di
pengontrolan kualitas dan pekerjaan analisis.

Di rumah sakit dan apotek hampir semua penimbangan dilakukan dengan


timbangan resep. Timbangan resep dibagi dalam timbangan resep kelas A dan kelas B, yang
memenuhi standar yang ditentukan oleh National Bureau Standards (Kantor Standar
Nasional). Setiap bagian peracikan, menurut hukum, harus mempunyai timbangan peracikan
kelas A, yang lebih sensitif dari yang kedua. Sensitivitas timbangan biasanya ditunjukkan
dengan istilah "persyaratan kepekaan" (sensitivity requirement = SR) yang
didefinisikan sebagai perubahan maksimum beban yang akan menimbulkan perubahan
yang ditetapkan, satu subbagian pada piringan skala, pada posisi istirahat dari elemen
penunjuk timbangan. Kelas A mempunyai SR 6 mg dengan tanpa beban atau dengan 10 g
beban pada tiap piring. Ini berarti bahwa dengan kondisi seperti di atas, penambahan beban 6
mg pada satu piring timbangan akan mengganggu keseimbangan dan penunjuk timbangan
akan bergerak satu tanda bagian pada skala
USP mengatur bahwa untuk menghindari kesalahan penimbangan sebesar 5% atau
lebih besar, yang mungkin disebabkan oleh batas ketepatan timbangan peracikan kelas A,
seseorang harus menimbang paling sedikit 120 mg (lebih kurang 2 grain) bahan pada setiap
penimbangan (5% dari 120 mg menjadi 6 mg SR atau kesalahan yang berasal dari timbangan
itu sendiri). Bila dibutuhkan menimbang bahan dalam jumlah yang lebih kecil, ahli farmasi
diharuskan mencampur sehingga lebih banyak, berat bahan (120 mg atau lebih), encerkan
bahan yang telah diketahui beratnya dengan pengencer kering yang inert (seperti
laktosa),campur keduanya sampai merata, dan timbang sebagian campuran (juga 120 mg atau
lebih) diperhitungkan terhadap kandungan zat yang dibutuhkan.
Timbangan kelas A yang mempunyai kapasitas 120 g dapat digunakan untuk
menimbang semua yang dibutuhkan dalam bahan campuran resep.
Timbangan resep kelas B mempunyai SR 30 mg dan kapasitas 121 g. Tidak boleh
digunakan untuk menimbang beban kurang dari 600 mg. Keduanya timbangan kelas A dan B
harus ditandai dengan jelas sesuai dengan kelasnya pada timbangan itu sendiri. Timbangan
kelas B jarang ditemui dan digunakan di farmasi.
Akan tetapi aturan ini berbeda dengan yang biasa digunakan di Indonesia. Di
Indonesia timbangan milligram tidak boleh digunakan untuk menimbang bahan yang

18
kurang dari 50 mg. Jika bahan yang hendak ditimbang kurang dari 50 mg maka harus
dilakukan pengenceran.
Menurut Farmakope Indonesia III, timbangan obat ada 3 jenis yaitu timbangan
kasar, timbangan gram halus dan timbangan miligram.
Timbangan kasar memiliki daya beban/bobot maksimum yang boleh ditimbang
sebesar 250 g hingga 1000 g dengan kepekaan 200 mg. Timbangan gram halus memiliki
daya beban/bobot maksimum yang boleh ditimbang sebesar 100 g hingga 200 g dengan
kepekaan 50 mg. Timbangan miligram memiliki daya beban/bobot maksimum yang
boleh ditimbang sebesar 10 g hingga 50 g dengan kepekaan 5 mg.

Anak Timbangan
Anak timbangan resep harus memenuhi persyaratan Kantor Standar Nasional untuk
anak timbangan analisis. Anak timbangan metrik 1 g atau lebih besar umumnya berbentuk
kerucut dengan leher yang pendek dan kepala yang membuatnya menjadi mudah dipegang
dan diangkat dengan penjepit kecil. Sebagian besar anak timbangan ini dibuat dari kuningan
yang digosok, beberapa dengan dilapisi oleh nikel atau kromium atau bahan-bahan lain
yang tidak berkarat. Anak timbangan pecahan dibuat dari aluminium dan biasanya
berbentuk empat segi dan pipih dengan tepi atau ujung yang melipat ke atas untuk
pengambilan dengan penjepit

Untuk mencegah penumpukan uap air dan minyak dari ujung-ujung jari yang
tertumpuk di anak timbangan, semua anak timbangan harus dipindahkan dengan penjepit
yang diberikan pada setiap set anak timbangan

Pemeliharaan dan Penggunaan Timbangan


Pertama dan yang terpenting, timbangan resep harus diletakkan di tempat yang baik
pencahayaannya, pada tempat yang kokoh, kurang lebih setinggi pinggang penimbang.
Sedapat mungkin harus bebas dari debu dan di daerah yang bebas dari aliran udara. Tidak
boleh ada uap yang merusak dan tidak boleh ada kelembapan yang tinggi dan getaran. Bila
tidak digunakan, timbangan harus bersih dan ditutupi dengan penutup timbangan. Setiap zat
yang tumpah pada timbangan selama penggunaan harus diseka segera dengan sikat halus atau
train. Bila tidak dipergunakan, timbangan harus selalu dipertahankan tanpa anak timbangan
dan posisi penunjuk tetap atau terkunci (tertahan).
Sebelum penimbangan zat, timbangan harus dibuat rata. Ini dilakukan dengan
memutar sekrup pada dasar timbangan, sesuai dengan petunjuk yang disertakan pada
timbangan. Timbangan harus rata, dari depan ke belakang, dan dari satu sisi ke sisi lain,

19
sesuai dengan yang ditunjukkan oleh gelembung penunjuk kerataan timbangan.
Pada penggunaan timbangan resep, anak timbangan atau bahan yang akan ditimbang
tidak boleh ditempatkan pada timbangan bila berada pada posisi tidak ditahan dan bebas dari
goyangan. Sebelum penimbangan, kertas puyer dengan ukuran lama harus ditempatkan pada
kedua piring timbangan dan keseimbangan timbangan dicoba dengan melepas knop penahan.
Bila timbangan tidak seimbang karena perbedaan berat kedua kertas bubuk, tambahan beban
dapat ditambahkan "ke piring yang ringan" dengan menambah sobekan kertas puyer. Bila
seimbang, timbangan di tempatkan pada posisi tertahan dan anak timbangan yang diinginkan
diletakkan di piring sebelah kiri. Kemudian sejumlah bahan, yang diperkirakan kurang lebih
sama dengan berat yang dibutuhkan, dengan hati-hati ditempatkan pada piring sebelah kanan,
dengan bantuan spatel. Batang timbangan harus dengan pelan-pelan dilepaskan dengan
memakai atas pengunci yang terletak di bagian depan timbangan. Bila bahan berlebihan,
batang timbangan ditahan kembali dan sedikit bahan diambil dengan spatel. Proses ini
diteruskan sampai didapat keseimbangan antara dua piring timbangan, sesuai dengan yang
ditunjukkan oleh penunjuk timbangan pada posisi di tangan. Bila jumlah anak timbangan
pada timbangan mula-mula terlaiu kecil, maka dilakukan proses yang sebaliknya. Kertas
puyer yang digunakan pada piring sebelah kanan dimaksudkan untuk tempat bahan yang
akan ditimbang, biasanya dilipat secara diagonal atau bagian tepi dilipat ke atas untuk
menahan bahan yang akan ditimbang.
Pada pemindahan bahan dengan spatel, bahan dapat diketuk dengan ringan dari
spatel bila beratnya bahan mendekati berat yang akan ditimbang. Biasanya ini dilakukan
dengan menahan spatel dengan sejumlah kecil bahan pada spatel dengan tangan kanan dan
mengetuk spatel dengan telunjuk. Ketika bahan dijatuhkan dari spatel, tangan kiri menahan
alat penahan timbangan, dan keadaan penimbangan diamati bergantian dengan pengetukan
spatel. Sebagian besar timbangan mempunyai suatu mekanisme penahan yang
memperlambat goyangan timbangan dan memungkinkan penentuan posisi piring seimbang
atau tidak berlangsung dengan lebih cepat.
Bila bahan telah ditimbang, batang timbangan dikembalikan ke posisi tertahan dan
kertas yang berisi bahan yang ditimbang diangkat hati-hati. Bila dilakukan penimbangan
lebih dari satu kali, kertas biasanya ditandai dengan nama bahan yang menempati. Sesudah
penimbangan terakhir, semua anak timbangan diambil dengan penjepit dan timbangan
dibersihkan, dan penutup timbangan ditutupkan pada timbangan.
Hampir semua timbangan resep mempunyai peralatan yang terpasang tetap pada
timbangan, yang dengan itu anak timbangan luar tidak dibutuhkan untuk menimbang
kurang dari 1 gram. Beberapa timbangan menggunakan penggeser, yang dapat dipindahkan

20
dari posisi nol ke arah sisi kanan timbangan untuk menambah pertambahan berat yang
ditandai pada skala dalam unit 10 mg, sampai 1 gram. Jenis timbangan lain menggunakan
pemutar yang diletakkan di tengah, dikalibrasi dalam unit 10 mg, untuk menambah berat
sampai 1 gram. Kedua jenis alat ini menambah berat ke piring sebelah kanan dari bagian
dalam. Pada tiap keadaan, ahli farmasi dapat menggunakan gabungan anak timbangan
dalam dan luar dalam penimbangan. Sebagai contoh, bila akan ditimbang 1,2 g, ahli farmasi
dapat menempatkan anak timbangan 1 g pada piring sebelah kanan dan menempatkan
penggeser atau mengatur pemutar untuk menambah tambahan 0,2 g. Harus selalu
diperhatikan untuk memindahkan penggeser atau pemutar ke nol di antara penimbangan
untuk menghindari penimbangan yang tidak teliti akibat penggeser atau pemutar pada penim-
bangan berikutnya.
Hampir semua penimbangan pada timbangan resep melibatkan penimbangan serbuk
atau bahan semisolid seperti salep. Akan tetapi, cairan juga dapat ditimbang lewat
penggunaan bejana penarik (ditimbang) yang sesuai ukurannya, dengan menempatkan cairan
di dalam bejana. Ahli farmasi harus selalu memastikan bahwa dia mempunyai catatan berat
bejana untuk perhitungan berat cairan yang ditimbang.
Bahan-bahan tidak boleh "tertimbang turun;" yaitu, bahan tidak boleh ditempatkan
di piring pada waktu timbangan berada pada posisi tidak tertahan, menyebabkan piring
jatuh tiba-tiba dan dengan kuat ketika bahan berlebihan ditempatkan ke piring. Bantingan
piring ke bawah secara mendadak dapat menyebabkan timbangan rusak berat,
mempengaruhi kepekaan dan ketepatan penimbangan berikut.
Dua jenis timbangan resep yang paling terkenal adalah timbangan pengungkit
gabungan dan timbangan putar. Jenis yang pertama dijalankan lewat satu rangkaian ujung
pisau menahan hubungan yang peka dan gantungan. Jenis putar bekerja atas dasar
tegangan kawat-kawat yang teregang, yang bila diputar lewat penambahan berat, cenderung
untuk memutar kembali ke posisi awal timbangan. Prinsip pengungkit gabungan adalah dasar
untuk timbangan Troemner dan prinsip putaran, digunakan pada Timbangan Putar.
Zat yang banyaknya kurang dari 1 g ditimbang pada timbangan miligram. Obat
yang berkhasiat keras sebaiknya ditimbang pada timbangan miligram meskipun banyaknya
lebih dari 1 g.

Suatu zat yang banyaknya kurang dari 50 mg tidak boleh ditimbang, karena hasil
timbangannya tidak tepat. Maka harus diencerkan dulu zat tersebut dan sebagai pengencer
biasanya digunakan Saccharum Lactis atau zat yang berkhasiat netral dan bersifat inert.
Contoh pengenceran zat adalah sebagai berikut: misalkan hendak menimbang

21
Atropini Sulfas 5 mg.
Timbang Atropini Sulfas 50 mg, zat warna 50 mg dan Saccharum Lactis 2,900 g.
Sebagai zat warna digunakan Carmyn.
Dalam mortir gerus Saccharum Lactis sebagian, kira-kira 0,25 g, tambahkan
Sulfas Atropin dan zat warna tersebut, gerus dan aduk hingga homogen, lalu tambahkan
sisa Saccharum Lactis sedikit demi sedikit sambil digerus dan diaduk
Dari campuran ini ditimbang 300 mg, maka akan didapat serbuk yang mengandung 5
mg Sulfas Atropin.
Pengambilan zat padat dari wadah persediaan digunakan sendok porselin.
Sendok dan spatel setelah dipakai supaya segera dibersihkan dengan kain serbet
untuk sendok sedang spatel dibersihkan dengan kertas.
Ekstrak kental ditimbang pada kertas paraffin dan dengan spatel/batang pengaduk
dimasukkan dalam mortir.
Zat cair ditimbang dalam botol atau gelas beker yang telah ditara. Cara menara botol
dilakukan pada pinggan timbangan, sebelah kiri diletakkan kotak berisi butir-butir besi atau
gelas (gotri).
Mengukur obat cair yang hanya beberapa ml digunakan gelas ukur yang ditera.
Dalam menuang cairan dari botol, maka letak etiket pada botol adalah di atas, hal ini
untuk menghindari pengotoran etiket.

II. Pengukur Volume


Dua jenis pengukur digunakan di farmasi yaitu bentuk kerucut dan silinder. Pengukur
silinder umumnya dikalibrasi dalam unit metrik, sedangkan pengukur kerucut dapat
dikalibrasi dengan unit metrik dan apoteker (skala rangkap dua) atau dengan skala tunggal
salah satu sistem. Dua jenis pengukur tersedia dengan kapasitas yang sangat berbeda-beda,
berkisar antara 5 sampai 1000 mL atau lebih. Pengukur yang paling banyak dipakai adalah
yang dibuat dari gelas tahan panas yang berkualitas tinggi, walaupun pengukur dari
polipropilen juga tersedia. Pada pengukuran cairan bervolume kecil, misalnya kurang dari
1,5 mL ahli farmasi sebaiknya menggunakan pipet ukur. Untuk menarik larutan-larutan asam
dan beracun ke dalam pipet digunakan alat seperti bola yang disebut pengisi pipet,. Alat
tersebut, tanpa dilepaskan dari pipet, juga dipakai untuk pemberian cairan secara tepat.
Pada pengukuran volume cairan, ahli farmasi harus memilih alat yang paling tepat untuk
volume cairan yang akan diukur dan tingkat kepekaan yang dibutuhkan. Ini harus diketahui
bahwa dalam pengukuran cairan, makin sempit kolom cairan, makin akurat kemungkinan
untuk pengukuran. Kesalahan pembacaan dari dimensi yang sama akan menghasilkan

22
kesalahan volume yang kecil bila mempergunakan pipet, kesalahan volume lebih besar bila
digunakan pengukur silinder, dan kesalahan volume terbesar dihasilkan pada pemakaian
pengukuran kerucut. Makin besar pengamatan pada bentuk pengukur kerucut, makin besar
kesalahan volume karena kesalahan dalam membaca.

Pada pembacaan batas cairan di skala ukuran, penting untuk mengetahui kesalahan yang
mungkin terjadi akibat dari kesalahan melihat (parralax error). Cairan dalam pengukur
cenderung tertarik ke permukaan bagian tengah (pusat) pengukur, dan sedikit menaik
terhadap permukaan tadi, yang tersebut di atas adalah meniskus yang sebenarnya. Bila
seseorang yang mengukur melihat dari atas (pandangan menurun) ini akan nampak seolah-
olah meniskus cairan pada batas yang lebih atas ini, sedangkan sebenarnya sedikit lebih
rendah, pada batas sebenarnya dari cairan yang di tengah pengukur. Dengan demikian,
pengukuran cairan di dalam pengukur harus dilakukan dengan pandangan mata setinggi
cairan di pengukur.
Bila ahli farmasi melakukan kesalahan dalam pembacaan perngukur, persentase kesalahan
pengukurannya akan dipengaruhi oleh volume cairan yang diukur. Menurut USP, silinder
pengukur 10 mL yang dapat diterima dengan diameter dalam 1,18 cm mengandung 0,109 mL
dalam dalam setiap 1 mm kolom. Kesalahan pembacaan sebesar 1 mm akan menyebabkan
persentase kesalahan pengukuran hanya 1,09% bila volume yang diukur I0 mL, 2,18% bila 5
mL, 4,36% bila 2,5 mL, dan 7,26% bila volume yang diukur 1,5 mL. Nampak di sini bahwa
persentase kesalahan terbesar terjadi pada pengukuran volume yang terkecil. Dengan
demikian, peraturan yang sangat penting untuk pengukuran cairan dengan pengukur ialah harus
digunakan pengukur yang mempunyai kapasitas sebanding atau sedikit melewati volume
yang akan diukur.

Menurut Coldstein dan Mattocks, berdasarkan simpangan 1 mm dari tanda tersebut dan
kesalahan yang diperbolehkan adalah 2,5%, jumlah terkecil yang sebaiknya diukur dalam
pengukur silinder dengan ukuran berikut mempunyai diameter dalam yang ditentukan sebagai berikut:
Ukuran
pengukur Simpangan volume Volume Minimal yang
silinder Diameter dalam sebenarnya dapat diukur
5 mL 0,98 cm 0,075 mL 3,00 mL
10 mL 1,18 cm 0,109 mL 4,36 mL
25 mL 1,94 cm 0,296 mL 11,84 mL
50 mL 2,24 cm 0,394 mL 15,76 mL
100 mL 2,58 cm 0,522 mL 20,88 mL

23
Untuk kesalahan 5%, volume minimum dapat diukur akan separuh dari yang
dinyatakan di atas. Tampak bahwa untuk ketepatan, seseorang tidak harus memilih pengukur
bila pengukuran hanya melibatkan penggunaan bagian dasar skala.
Pada penggunaan pengukur, ahli farmasi menuang cairan ke dalam pengukur dengan
perlahan, amati permukaan sambil menuang. Pada pengukuran cairan-cairan kental, harus
dibiarkan dalam waktu yang cukup agar cairan menetap di pengukur, karena mungkin
beberapa turun ke bawah pada bagian dalam pengukur dengan lambat. Yang paling baik
adalah mencoba menuang cairan seperti itu pada tengah pengukur, menghindari kontak
dengan permukaan sisi dalam pengukur. Pada pengosongan pengukur, dari isi yang diukur,
harus diberi waktu penuangan yang cukup.
Waktu menuang cairan dari botol, ingat teknik farmasi yang baik untuk memegang
botol dengan posisi etiket pada botol menghadap ke atas, ini menghindari kemungkinan tetesan
cairan mengalir turun ke label ketika botol ditegakkan sesudah penggunaan. Tentu saja,
mulut botol harus diseka bersih setiap habis digunakan.

III. Mortir dan Stamper


Salah satu cara pencampuran yang paling sering digunakan dalam bidang farmasi
adalah dengan menggunakan metode triturasi. Triturasi merupakan metode pencampuran
menggunakan alat yang disebut mortar dan stamper. Triturasi dapat digunakan untuk
mencampur serbuk, pulverisasi dan pencampuran lainnya.
Terdapat 4 macam mortar:
a. Mortar porselain dangkal
b. Mortar porcelain dalam
c. Mortar wedgwood
d. Mortar kaca

Untuk pulverisasi dan menghaluskan bahan, mortar yang paling baik digunakan
adalah mortar Wedgwood karena permukaannya yang kasar sehingga memungkinkan banyak
friksi. Untuk pencampuran serbuk yang sederhana dapat digunakan mortar kaca karena serbuk
tidak akan terlihat seperti padatan. Mortar kaca juga bagus digunakan untuk zat warna seperti
dye atau zat warna berkekuatan tinggi karena tidak berpori sehingga warna tidak akan
berbekas. Pada mortar porcelain zat warna seperti dye akan masuk ke pori-pori mortar dan
meninggalkan warna. Permukaan mortar porcelain cepat menjadi halus jika sering digunakan
sehingga serbuk menjadi tidak tercampur dengan baik.

24
IV. Spatel, sendok porselin, dan sendok tanduk
Spatel logam digunakan untuk mengambil zat berbentuk serbuk yang tidak korosif.
Sedangkan zat yang bersifat korosif dapat diambil dengan menggunakan sendok porselin.
Sendok tanduk digunakan untuk mengambil sediaan semisolid seperti adesps lanae. Sendok
tanduk tidak tahan terhadap zat yang bersifat asam kuat maupun basa kuat.

V. Alat yang digunakan untuk melarutkan zat


1. Untuk zat-zat yang mudah larut dapat dilarutkan di dalam botol
2. Zat yang agak sukar larut harus dilarutkan dengan pemanasan . Proses pelarutannya
dapat dilakukan di dalam erlenmeyer dengan cara zat padat dimasukkan dalam
erlenmeyer lalu zat pelarut ditambahkan kemudian panaskan diatas tangas air atau api
bebas dengan digoyang-goyangkan sampai larut. Zat padat dimasukkan lebih dulu
dalam erlenmeyer untuk mencegah agar tidak ada yang menempel pada bagian leher.
Pemanasan dengan api bebas sambil digoyang-goyangkan bertujuan untuk menjaga
pemerataan pemanasan.

VI. Pengayak

Pengayak digunakan untuk memisahkan serbuk dengan ukuran yang berbeda.


Pengayak ada berbagai macam ukuran. Tiap nomor pengayak menunjukkan jumlah-jumlah
lubang tiap 2,54 cm dihitung searah dengan panjang kawat. Contoh: pengayak no.10 berarti
memiliki 10 lubang tiap 2,54 cm dihitung searah dengan panjang kawat. Jadi semakin besar
nomor pengayak akan semakin halus serbuk yang bisa melewatinya.

VII. Alat Ukur Umum di Rumah

Obat cair dan bubuk yang tidak dikemas dalam sistem unit dosis biasanya diukur di
rumah oleh pasien dengan alat takaran umun di rumah seperti sendok teh, sendok makan, dan
berbagai alat pengukur masakan. Walaupun sendok teh rumah mungkin kapasitas
volumenya berbeda antara 3 - 8 mL, tetapi American Standard Teaspoon (Sendok Teh
Standar Amerika) telah ditetapkan mempunyai volume 4,93 ± 0,24 ml. oleh American
National Standard Institute. Untuk tujuan praktis, hampir semua pelaksana farmasi dan
rujukan farmasi memakai 5 ml sebagai kapasitas sendok teh. Sendok makan dianggap
mempunyai kapasitas I5 mL, sama dengan 3 sendok teh .

25
BAB IV
PERACIKAN SEDIAAN SERBUK

Tujuan instruksional umum : setelah selesai membahas dan mendiskusikan pokok


bahasan ini, mahasiswa semester II jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menerapkan cara
pembuatan sediaan serbuk sesuai dengan standar pelayanan profesi Farmasi (C3).

Tujuan instruksional khusus:


1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian serta tujuan pembuatan sediaan serbuk
(C2).
2. Mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik sediaan serbuk yang baik (C2).
3. Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam sedian serbuk dan cara
pembuatannya (C2).
4. Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan sediaan serbuk sesuai dengan standar
pelayanan profesi Farmasi (C3).

1. Pengertian Umum
Serbuk secara umum digambarkan sebagai partikel-partikel halus yang merupakan hasil
suatu proses pengecilan ukuran partikel dari suatu bahan kering. Secara kimia fisika, yang
dimaksud dengan serbuk adalah partikel bahan padat yang mempunyai ukuran antara 0,1-
10.000µm. Sedangkan dalam farmasi, umumnya partikel sediaan serbuk berukuran antara 0,1-
10µm.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, sediaan serbuk adalah campuran kering bahan
obat atau zat kimia yang dihaluskan. Ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian
luar.

26
2. Tujuan Pembuatan Sediaan
Sediaan serbuk dibuat karena memiliki kelebehian dibandingkan bentuk sediaan lainnya.
2.1. Keuntungan serbuk
Sediaan serbuk memiliki beberapa keuntungan yaitu :
- Dapat diberikan campuran obat yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan individu.
- Dapat diberikan dalam dosis yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien.
- Bentuk sediaan lebih stabil secara kimia dibandingkan bentuk sediaan cair.
- Sediaan serbuk mempunyai ukuran partikel kecil sehingga memberikan disolusi yang
lebih cepat dalam cairan tubuh dibandingkan engan sediaan padat lainnya (pil dan
tablet).
- Serbuk dengan dosis atau volume besar yang tidak praktis atau sulit diberikan dalam
bentuk sediaan lain, dapat lebih mudah ditelan/diminum oleh pasien karena dapat
dicampur dengan makanan atau minuman sesuai dengan selera pasien.
2.2. Kerugian serbuk
Selain memiliki kelebihan, sediaan serbuk juga memiliki kekurangan diantaranya :
- Kurang nyaman untuk dibawa bepergian dibandingkan sediaan tablet atau kapsul.
- Kurang baik untuk bahan obat yang mudah rusak atau terurai dengan adanya kontak
udara.
- Tidak sesuai untuk bahan obat yang mudah rusak atau terurai dalam asam lambung,
atau bisa mengiritasi lambung.
- Bahan yang mempunyai rasa pahit, menyebabkan mual atau muntah dan bahan obat
yang korosif sullit diatasi bila diberikan dalam bentuk serbuk.
- Diperlukan waktu yang relatif lama untuk peracikannya dibandingkan bentuk sediaan
jadi.

3. Karakteristik Serbuk yang Baik


Sediaan serbuk yang baik harus mempunyai karakteristik homogen, kering dan
mempunyai derajat kehalusan tertentu.
3.1. Homogen
Yang dimaksud dengan homogen adalah pada setiap bagian campuran serbuk harus
mengandung bahan-bahan yang sama dan dalam perbandingan yang sama pula. Homogenitas
suatu serbuk dipengaruhi oleh :
a. Ukuran partikel

27
Jika suatu bahan halus dicampur dengan bahan lain yang kasar (ukuran partikel lebih
besar), maka akan dihasilkan campuran yang berlapis-lapis. Untuk mengatasinya,
sebelum dicampur ukuran partikel masing-masing bahan harus dibuat sama terlebih
dahulu.

b. Densitas/berat jenis
Jika suatu bahan ringan dicampur dengan bahan lain yang memiliki densitas/berat
jenis yang lebih besar, maka akan dihasilkan campuran yang berlapis-lapis. Partikel
bahan yang memiliki berat jenis besar, akan cenderung turun kebawah, dan yang berat
jenis kecil akan ada diatas. Untuk mengatasinya, bahan dengan berat jenis besar
dimasukkan terlebih dahulu. Untuk skala industri, dapat diatasi dengan mencampur
dalam alat Mixing tumbler.

3.2. Kering
Yang dimaksud kering adalah sediaan serbuk tidak boleh menggumpal atau mengandung
air, disebabkan oleh adanya bahan yang higroskopis atau air kristal yang keluar karena
penggerusan (efflirescent) ataupun campuran bahan yang eutektik serta bahan yang bersifat
deliquescent.

3.3. Mempunyai derajat kehalusan tertentu


Bila sediaan serbuk mempunyai partikel yang sangat halus, maka sediaan akan lebih
homogen, disolusi semakin cepat sehingga kadar obat yang tinggi dalam darah dapat dicapai
lebih cepat, permukaan serbuk lebih luas dan mempunyai daya adsorpsi yang lebih besar. Hal
ini penting untuk sediaan serbuk anti diare dan antidotum.
Untuk mendapatkan sediaan serbuk yang mempunyai derajat kehalusan tertentu, maka
bahan-bahan atau sediaan diayak dengan ayakan yang sesuai. Ayakan dalam farmakope ada
bermacam-macam jenis seperti yang tercantum dalam farmakope. Jenis pengayak dinyatakan
dengan nomor yang menunjukkan jumlah lubang tiap 2,54 cm dihitung searah dengan
panjang kawat. Derajat kehalusan serbuk dapat dinyatakan dengan nomor pengayak baik yang
dinyatakan dengan satu nomor ataupun dua nomor.
- Jika dinyatakan dengan satu nomor, artinya semua serbuk dapat melalui pengayak
dengan nomor tersebut.
Misal : pengayak nomor 60

28
- Jika dinyatakan dengan dua nomor, artinya semua serbuk dapat melewati pengayak
dengan nomor terendah, dan tidak lebih dari 40% serbuk dapat melewati pengayak
dengan nomor tertinggi.
Misal : pengayak nomor 44/85

4. Macam Sediaan Serbuk


4.1. Serbuk terbagi/Pulveres
Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama, masing-masing
bagian serbuk dibungkus dengan menggunakan bahan pembungkus yang cocok dan
digunakan untuk sekali minum.

4.2. Serbuk tidak terbagi/Pulvis


Merupakan serbuk yang diberikan dalam jumlah relatif besar dan digunakan untuk
multiple dosis/dosis ganda tanpa dibagi-bagi kedalam dosis tunggal.
Pada umumnya pulvis dibuat untuk bahan obat yang relatif aman, sehingga pasien dapat
mengukur sendiridalam takaran tertentu, misalnya dengan mengunakan sendok kecil. Pulvis
dapat digunakan untuk pemakaian dalam maupun pemakaian luar.
Beberapa sediaan serbuk yang dapat digunakan untuk :
- Pemakaian luar : serbuk tabur, serbuk gigi, serbuk hisap
- Pemakaian dalam : serbuk antasida, serbuk efervescent, serbuk antidiare.

5. Formula Umum
Secara umum, sediaan serbuk diformulasikan dalam komposisi :
R/ Bahan obat x
Bahan pembantu y
m.f.pulv........

5.1. Bahan obat


Bahan obat yang digunakan dapat berupa :
- Bahan padat, misalnya parasetamol, asetosal.
- Bahan setengah padat, misalnya ekstrak kental, adeps lanae.
- Bahan cair, misalnya ekstrak cair.

5.2. Bahan pembantu

29
Bahan pembantu/tambahan umumnya digunakan untuk menambah bobot sediaan atau
juga untuk memperbaiki rasa. Bahan pembantu yang dapat digunakan diantaranya glukosa,
saccharum lactis (untuk pemakaian dalam) atau bahan lainnya yang bersifat inert (misalnya
talk untuk pemakaian luar).
6. Cara Pembuatan
Tahapan pembuatan sediaan serbuk terdiri dari :
- Memperkecil ukuran partikel bahan
- Mencampur bahan-bahan
- Membagi serbuk
- Membungkus serbuk

6.1. Memperkecil ukuran partikel bahan


Untuk memperoleh sediaan yang homogen, maka sebelum bahan dicampur harus
dihaluskan/diperkecil ukuran partikelnya terlebuh dahulu. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan cara penggerusan, penggilingan atau dengan bantuan pelarut organik yang
mudah menguap.
a. Cara penggerusan/trituration
Merupakan cara pengecilan ukuran partikel dengan cara menggerus bahan tersebut
dalam mortir dengan bantuan stamper. Dengan penekanan dan pengadukan, akan
dihasilkan proses pengecilan ukuran partikel sekaligus pencampuran menjadi sediaan
yang homogen.
b. Cara penggilingan/levigation
Merupakan cara pengecilan ukuran partikel suatu bahan dengan pertolongan bahan
kedua yang tidak mudah dipisahkan setelah proses berakhir. Bahan yang umum
digunakan adalah pelarut organik yang tidak mudah menguap dan tidak melarutkan
bahan tersebut. Misalnya minyak mineral, gliserin, parafin liquid.
Hal ini jarang dilakukan untuk pembuatan serbuk, umumnya dilakukan dalam
pembuatan salep atau suspensi.
c. Cara pulverization by intervention
Merupakan proses pengecilan ukuran partikel suatu bahan dengan pertolongan bahan
kedua yang mudah dipisahkan setelah proses berakhir. Bahan yang umum digunakan
adalah pelarut organuk yang mudah menguap, misalnya alkohol dan aseton. Syarat
pelarut yang boleh digunakan adalah tidak mempengaruhi serbuk, yaitu tidak toksik dan
tidak berkhasiat. Bahan yang perlu dihaluskan dengan cara ini antara lain kamfer,
mentol, asam salisilat, asam benzoat.

30
Cara penghalusan : bahan ditambahkan pelarut organik sambil digerus sampai tepat larut,
kemudian ditambahkan bahan inert misalnya sacharum lactis, talk, atau amilum, dan
digerus sampai kering dan homogen.
6.2. Mencampur bahan-bahan
Bahan yang sudah dalam keadaan halus kemudiaan dicampur satu per satu. Pencampuran
dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari sifat bahan dan jumlahnya.
a. Cara spatulasi
Cara ini digunakan untuk mencampur bahan yang dalam proses pencampurannya tidak
boleh ada penekanan, bahan dalam jumlah kecil, ukuran partikel dan berat jenis hampir
sama, serta bahan tidak berkhasiat keras karena homogenitasnya kurang terjamin.
Pencampuran dilakukan dengan menggunakan spatel/sudip di atas kertas atau papan pil.
b. Cara penggerusan
Cara ini dilakukan dengan mencampur bahan dan digerus dalam mortir untuk
mendapatkan ukuran partikel yang kecil dan campuran yang homogen. Bahan obat
dicampur satu per satu, sedikit demi sedikit (dalam jumlah sama banyak) dan dimulai
dari bahan obat yang jumlahnya sedikit, yang dikenal dengan metode pengenceran
geometris (geometric dilution)
c. Cara pengayakan
Cara ini digunakan untuk bahan yang ringan dan mudah mengalir, dilakukan dengan
meletakkan bahan obat diatas pengayak, kemudian diayak.
d. Cara penggulingan/tumbling
Cara ini digunakan untuk mencampur bahan serbuk yang sangat ringan, pencampuran
serbuk yang tidak dikehendaki adanya penekanan, atau pencampuran serbuk-serbuk
dengan perbedaan bobot jenis yang besar. Dalam hal ini tidak terjadi pengecilan ukuran
partikel yang berarti. Cara ini dilakukan dengan mengguling-gulingkan serbuk/bahan-
bahan yang akan dicampur dalam satu wadah yang bermulut lebar dan tertutup rapat.

6.3. Membagi serbuk


Bila dalam resep dikehendaki sediaan dalam dosis yang sudah terbagi-bagi (pulveres),
maka setelah seluruh bahan dicampur, sediaan dibagi sesuai dengan jumlah yang diminta.
Pembagian serbuk dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu cara penimbangan, blocking
and dividing, visual dan cara mengukur dengan menggunakan alat pengukur.

a. Cara penimbangan

31
Merupakan cara yang paling tepat dan akurat, karena serbuk dibagi dengan cara
menimbang satu per satu. Cara ini memiliki kesulitan karena selama pencampuran ada
kemungkinan kehilangan bahan sehingga bobot keseluruhan serbuk berkurang, maka
bila ditimbang satu per satu, bagian yang terakhir bobotnya akan berkurang. Oleh
karena itu untuk mengatasinya, setelah semua bahan dicampur homogen keseluruhan
serbuk ditimbang lagi, baru ditimbang satu per satu.
b. Cara blocking and dividing
Campuran yang telah homogen dicetakkan pada papan/kertas yang bersih, diratakan
dan dibentuk menjadi segi empat panjang, kemudian dibagi dalam bagian yang sama
dengan menggunakan spatel sesuai dengan jumlah yang ditulis dalam resep. Masing-
masing bagian dipindahkan secara hati-hati ke kertas dengan pertolongan spatula. Cara
ini tidak tepat/tidak teliti.
c. Cara visual
Dengan cara ini, campuran serbuk dibagi langsung pada masing-masing kertas
pembungkus dalam bagian yang sama. Untuk memudahkan pengamatan, masing-
masing bagian dibentuk kerucut dengan diameter dan tinggi yang sama. Cara ini
sangat praktis dan sering dilakukan. Untuk menjamin keseragaman pembagian, dalam
sekali pembagian maksimal sebanyak 10-20 bagian. Bila pembagian lebih dari 20
bungkus, maka serbuk dibagi dua terlebih dahulu dengan cara penimbangan,
kemudian masing-masing dibagi secara visualmenjadi maksimal 10-20 bagian.

Gambar 1. Cara membagi serbuk dengan cara visual

d. Cara mengukur dengan alat pengukur


Dengan cara ini, campuran serbuk dibagi dengan menakar satu dosis menggunakan
alat pengukur antara lain sendok atau gelas pengukur. Cara ini kurang teliti karena
bervariasinya alat pengukur yang ada dan kurang telitinya si pengukur.
Umumnya cara yang biasa digunakan adalah cara visuak, kecuali jika bahan obat yang
digunakan melebihi 80% takaran maksimumnya. Untuk serbuk ini, pembagian harus
dilakukan dengan cara penimbangan satu per satu.

32
6.4. Membungkus serbuk
Beberapa bahan dapat digunakan untuk membungkus serbuk dalam dunia farmasi.
Bahan yang umum digunakan adalah kertas perkamen. Selain itu juga dapat digunakan kertas
lilin atau kertas perak. Bahan pembungkus harus mempunyai sifat mudah dilipat dan tidak
menyerap air.

Gambar 2. Cara melipat kertas untuk membungkus serbuk

7. Wadah
Sediaan serbuk diserahkan dalam wadah yang sesuai yaitu wadah yang tertutup baik, bila
perlu harus dapat melindungi serbuk terhadap pengaruh udara, cahaya, harus dapat mencegah
keluarnya/menguapnya bahan yang terkandung dalam serbuk, serta sediaan harus mudah
terambil dari wadahnya. Oleh sebab itu, wadah yang digunakan disesuaikan dengan
kebutuhan. Wadah yang umum digunakan adalah dos serbuk, pot atau botol mulut lebar, serta
saat ini telah digunakan plastik berperekat.

33
8. Pembuatan Sediaan dengan Bahan Bersifat Khusus
8.1. Bahan obat padat
a. Obat berkhasiat keras dalam jumlah kecil
Bahan obat yang jumlahnya kurang dari 50 mg, dapat disiapkan dengan cara
pengenceran. Jika bahan obat dan bahan pengencer mempunyai warna yang sama-
sama putih, untuk melihat homogenitasnya dapat ditambahkan sedikit zat warna.
Untuk mencegah bahan obat masuk kedalam pori-pori dinding mortir, maka
digunakan mortir yang mempunyai permukaan halus.
b. Bahan higroskopis dan deliquescent
Bahan dengan sifat ini dapat menjadi lengket atau menjadi pasta jika dibiarkan kontak
dengan udara terbuka. Untuk mengatasi hal tersebut, bahan yang bersifat higroskopis
dapat diatasi dengan cara :
- Digerus dalam mortir hangat
- Ditambahkan bahan inert sebagai adsorbent misalnya MgO, MgCO3
- Dibungkus dengan baik dan rapat
Untuk bahan yang bersifat deliquescent, sebaiknya tidak dibuat dalam bentuk sediaan
serbuk.
c. Bahan eflorescent
Bahan ini mengandung air kristal dalam jumlah besar, bila digerus akan mengeluarkan
air kristalnya sehingga serbuk menjadi lembab. Untuk mengatasinya, dalam
pembuatan sediaan serbuk dilakukan dengan cara :
- Diganti dengan bentuk anhidrat/kering dalam jumlah yang sesuai
- Dipanaskan pada suhu tertentu sampai berat konstan
d. Terbentuk campuran eutektik
Bahan-bahan tertentu, apabila dicampur pada suhu kamar dengan perbandingan
tertentu dapat menjadi basah. Misalnya campuran mentol dan kamfer dengan
perbandingan 53-74% mentol. Untuk mengatasi permasalahan ini dapat dilakukan cara
:
- Ditambah adsorbent, masing-masing bahan ditambahkan bahan inert (misalnya
MgO, amilum dll), kemudian baru kedua bahan dicampur.
- Diberikan dalam sediaan yang terpisah, tetapi diberikan keterangan bahwa
keduanya harus digunakan bersama-sama.
- Dibiarkan terbentuk campuran eutektik, kemudian dikeringkan dengan bahan inert.
Campuran ini akan menjadi cair tetapi tidak merubah khasiatnya. Hal ini dalam

34
beberapa hal menguntungkan karena tidak perlu ditambahkan pelarut organik
untuk menghaluskan seperti pada cara penghalusan dengan pulverization by
intervention.
e. Bahan obat dalam bentuk tablet
Pembuatan sediaan serbuk yang salah satu bahannya dalam bentuk tablet dapat
dilakukan dengan menggerus terlebih dahulu tabletnya, kemudian dicampur dengan
bahan lainnya. Bila diperlukan tablet dalam jumlah pecahan, misalnya 4,5 tablet, maka
ditimbang 5 buah tablet kemudian digerus. Untuk mengambil 4,5 tablet, timbang 4,5/5
bagian atau 0,9 bagian.
f. Bahan obat dalam bentuk kapsul
Pembuatan sediaan serbuk yang salah satu bahannya berbentuk kapsul dapat dilakukan
dengan mengeluarkan isi kapsul, kemudian digerus hingga homogen baru dicampur
dengan bahan lainnya. Bila diperlukan kapsul dalam jumlah pecahan, misalnya 4,5
kapsul, maka ambil 5 buah kapsul kemudian keluarkan isinya. Setelah diketahui bobot
seluruhnya, serbuk digerus hingga homogen. Untuk mengambil 4,5 kapsul, timbang
4,5/5 bagian atau 0,9 bagian.

8.2. Bahan obat setengah padat


a. Ektrak kental
Pembuatan sediaan serbuk dengan bahan obat ini dapat dilakukan dengan cara : bahan
obat dalam mortir hangat dilarutkan dengan pelarut yang sesuai, kemudian
ditambahkan pengering yang inert, kemudian digerus hingga kering dan homogen.
Untuk ekstrak belladon dan hyoscyami, sebagai pelarut dapat digunakan alkohol70%,
sedangkan untuk ekstrak cannabis indicae digunakan alkohol 90%. Sebagai pengering
dapat digunakan saccharum lactis, amilum dan lainnya.
b. Adeps lanae, vaselin
Pembuatan serbuk dengan bahan ini dapat dilakukan dengan cara :
- Bila bahan dalam jumlah kecil, dapat dilakukan dengan menambahkan pelarut
hingga tepat larut kemudian ditambahkan bahan pengering.
- Bila bahan dalam jumlah besar, bahan dilebur diatas penangas air kemudian
ditambah bahan pengering yang sesuai.

8.3. Bahan obat cair


a. Tingtura

35
Bahan berkhasiat dalam tingtura dapat bersifat tahan pemanasan atau tidak tahan
pemanasan.
- Bahan berkhasiat tahan pemanasan
Bila tingtura dalam jumlah kecil, dapat dilakukan dengan menggunakan mortir
panas, kemudian ditambahkan bahan pengering yang sesuai. Bila dalam jumlah
besar, diuapkan terlebih dahulu diatas penangas air sampai kental, kemudian
ditambahkan bahan pengering yang sesuai.
- Bahan berkhasiat tidak tahan pemanasan
Bila bahan berkhasiat dapat diganti dengan komponen-komponennya, maka
diambil komponennya saja tanpa bahan cairnya. Misalnya tingtura opii benzoica
dan tingtura jodii. Apabila bahan tidak dapat diganti dengan komponennya maka :
 Jika dalam jumlah kecil dapat langsung ditambahkan.
 Jika dalam jumlah besar, diuapkan pada suhu serendah mungkin sampai kental,
kemudian ditambahkan bahan pengering yang sesuai.
 Misalnya : tingtura opii crocata dan tingtura valerianae.
b. Ekstrak cair
Pembuatan serbuk dengan bahan ini dilakukan sama seperti pada tingtura. Juka
diketahui bobot sisa keringnya, maka bahan dapat diganti dengan ekstrak/bentuk
keringnya.
c. Bahan cair non alkoholis
Pembuatan sediaan serbuk dengan bahan ini dapat dilakukan dengan :
- Jika bahan dalam jumlah kecil maka dapat langsung ditambahkan.
- Jika bahan dalam jumlah basar, bahan diuapkan terlebih dulu diatas penangas air
sampai sepertiganya, kemudian ditambahkan pengering yang sesuai.

9. Macam Bentuk Sediaan Serbuk Tidak Terbagi (Pulvis)


9.1. Serbuk tabur/pulvis adspersorius
Menurut Farmakope Indonesia IV, yang dimaksud serbuk tabur adalah serbuk ringan
untuk penggunaan topikal. Serbuk tabur tidak boleh digunakan pada luka terbuka. Sediaan ini
harus memenuhi persyaratan khusus sesuai dengan pemakaiannya yaitu :
- Homogen dan bebas dari sifat fisika yang dapat menyebabkan rangsangan/iritasi.
- Mudah mengalir, dapat tersebar merata dan dapat melekat pada kulit.
- Sesuai dengn tujuannya, terkadang diperlukan sediaan yang dapat menyerap cairan.
Agar didapatkan serbuk yang bebas dari butiran kasar, maka sediaan serbuk tabur harus
diayak. Untuk serbuk tabur yang mengandung lemak (misalnya adeps lanae), setelah semua

36
bahan dicampur, serbuk diayak dengan pengayak nomor 44. sedangkan serbuk tabuir tanpa
lemak, diayak dengan pengayak nomor 60.
Contoh sediaan serbuk tabur :
- Pulvis acidi salicylici cum talco
- Bedak purol

9.2. Serbuk Efervescent


Serbuk efervescent adalah sediaan padat berbentuk serbuk yang digunakan untuk
pemakaian dalam, terdiri dari campuran asam dan basa. Sebelum diminum, serbuk dilarutkan
dulu dalam air. Pada saat dilarutkan dalam air, terjadi reaksi antara asam dan basa yang
dikandungnya, sehingga melepaskan gas CO2 sebagai hasil reaksinya. Asam yang dapat
digunakan diantaranya asam tartrat dan asam sitrat, sedangkan basanya adalah natrium
bikarbonat.
Sediaan serbuk efervescent memiliki keuntungan :
- Larutan menghasilkan gas CO2 sehingga dapat menutupi rasa pahit/tidak enak.
- Adanya gas CO2 dapat mempercepat penyerapan, merangsang aliran asam lambung,
juga berkhasiat sebagai karminatif.
- Dalam bentuk serbuk (kering) relatif lebih stabil dibandingkan dengan bentuk sediaan
potio efervescent (cair).
- Adanya gas CO2 dapat menimbulkan efek menyegarkan.
Serbuk efervescent akan bereaksi dengan cepat jika ada air. Untuk mengurangi
kecepatan reaksi karena kontak dengan udara, sediaan lebih baik dibuat dalam bentuk granul.
Kecepatan reaksi tergantung dari ukuran partikelnya. Oleh karena itu, ukuran partikel granul
yang lebih besar dari serbuk akan menjadikan sediaan lebih stabil. Bahan yang digunakan
untuk pembuatan sediaan ini harus sekering mungkin. Jumlah asam maupun basa yang
digunakan juga harus dalam perbandingan yang ekivalen. Umumnya, untuk menambah rasa,
jumlah asam dilebihkan sedikit. Perbandingan masing-masing bahan sangat bervariasi
tergantung sedian yang dikehendaki. Umumnya formula yang digunakan adalah :
Asam sitrat 19%
Asam tartrat 28%
Na bicarbonat 53%
Untuk pemanis dapat ditambahkan gula. Namun gula akan menyebabkan perubahan
warna produk bila digranulasi kering (dengan pemanasan), serta produk dapat berubah warna

37
selama penyimpanan. Untuk mengatasi hal ini, maka gula dapat diganti dengan sakarin atau
pemanis lainnya.
Pembuatan sediaan ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
- Cara kering
Serbuk dikeringkan dan dihaluskan kecuali asam sitrat. Kemudian dicampur dengan
asam sitrat dan dipanaskan 100oC dalam oven. Asam sitrat akan melepaskan air
kristalnya sehingga serbuk menjadi lembab serta membentuk massa seperti pasta.
Massa digranulasi melalui pengayak nomor 6, kemudian dikeringkan pada suhu 50 oC.
Setelah kering, granul dilewatkan kembali pada pengayak nomor 6.
- Cara basah
Sebagai pembasah dapat digunakan alkohol 95%. Semua serbuk dicampur kemudian
ditambahkan alkohol 95% sedikitdemi sedihit hingga terbentuk massa granul. Massa
digranulasi melalui pengayak nomor 6, kemudian dikeringkan pada suhu 50oC. Setelah
kering, granul dilewatkan kembali pada pengayak nomor 6.
Serbuk efervescent harus dimasukkan dalam wadah yang tertutup rapat dan terlindung
dari uap air, karena kelembaban udara yang terserap dapat menyebabkan timbulnya reaksi
kimia sebelum waktunya, sehingga ketika serbuk digunakan tidak akan menimbulkan reaksi
yang diinginkan. Pada umumnya digunakan wadah botol mulut lebar sehingga sendok dapat
masuk. Dewasa ini sudah digunakan kemasan sachet untuk takaran sekali minum.

10. Soal Latihan


Uraikan pembuatan resep dibawah ini, sertakan pula perhitungan bobot bahan obatnya.
a. R/ Salicyl talk 2% 100
m.f.d.s.pulvis adspersorius

b. R/ Menthol 7
Camphor 3
Zinc. Oxyd. 10
Calamin 10
Talk ad 100
m.f. pulvis

c. R/ Antalgin 0,250
Ephedrin HCl 0,010
Ext. Belladon 0,010

38
Coffein 0,050
Teophylin 0,100
m.f.l.a.pulv.dtd.No. XV.
d. R/ Tinct. Opii Benzoica 1
Sacch. Lactis q.s.
m.f.pulv.dtd No. X.

BAB V
PERACIKAN SEDIAAN KAPSUL

Tujuan instruksional umum : setelah selesai membahas dan mendiskusikan pokok


bahasan ini, mahasiswa semester II jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menerapkan cara
pembuatan sediaan kapsul sesuai dengan standar pelayanan profesi Farmasi (C3).

Tujuan instruksional khusus:


1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian, persyaratan serta tujuan pemberian
sediaan kapsul (C2).
2. Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam sedian kapsul (C2).
3. Mahasiswa dapat menjelaskan cara pembuatan sediaan kapsul yang baik (C2).
4. Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan sediaan kapsul sesuai dengan
standar pelayanan profesi Farmasi (C3).

1. Batasan, Persyaratan dan Macam Sediaan


Batasan
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV tahun 1995, kapsul adalah sediaan padat yang
terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya
terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati dan bahan lain yang sesuai.

Gambar 1. Kapsul lunak

39
Gambar 2. Kapsul keras.

Persyaratan
Farmakope Indonesia edisi IV tahun 1995 mempersyaratkan sediaan kapsul harus
memenuhi kriteria :
a. Keseragaman sediaan
Keseragaman sediaan dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode
berikut ini :
- Keseragaman bobot
 Kapsul keras
Prosedur pengujian lihat di FI ed. IV
 Kapsul lunak
Prosedur pengujian lihat di FI ed. IV
- Keseragaman kandungan
Prosedur pengujian lihat di FI ed. IV
b. Disolusi
Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali dinyatakan lain
dalam masing-masing monografi. Jenis dan alat yang digunakan untuk pengujian sesuai
dengan yang tertera dalam masing-masing monografi.
Lihat contoh disolusi kapsul amoxicillin

Macam sediaan kapsul


Sediaan kapsul dapat digolongkan berdasarkan berbagai aspek, karena cangkang kapsul
yang diproduksi saat ini sangat beragam. Penggolongan tersebut dapat berdasarkan
konsistensi cangkang kapsul, cara pemakaian, ukuran dan kapasitas cangkang kapsul, serta
bentuknya.
a. Berdasarkan konsistensi cangkang kapsul
Berdasarkan konsistensi cangkang kapsul, kapsul dibedakan menjadi dua macam yaitu :
 Kapsul keras

40
Kapsul ini umumnya terbuat dari gelatin berkekuatan gel relatif tinggi. Kapsul ini dapat
pula dibuat dari pati atau bahan lain yang sesuai.
Kapsul cangkang keras dapat juga terdiri dari :
- Zat warna yang diijinkan atau zat warna dari berbagai macam oksida besi.
- Bahan opak/pemburan seperti titanium dioksida.
- Bahan pendispersi.
- Bahan pengeras seperti sukrosa.
- Pengawet
Cangkang kapsul ini umumnya mengandung air antara 10-15%.

 Kapsul lunak
Kapsul cangkang lunak terbuat dari gelatin (terkadang disebut gel lunak) atau bahan
lain yang sesuai, serta membutuhkan metode produksi skala besar. Cangkang ini relatif
lebih tebal dibandingkan dengan kapsul keras serta dapat diplastisasi dengan bantuan
senyawa poliol, misalnya sorbitol atau gliserin (20-30%). Selain bahan pelunak seperti
pada cangkang keras, cangkang juga dapat mengandung :
- Pigmen atau pewarna yang diijinkan.
- Bahan opak/pemburam.
- Pengawet
- Bahan pengharum
- Sukrosa sampai 5% sebagai pemanis.
- Penyalut enterik.
Cangkang ini umumnya mengandung air antara 6-13 %.

b. Berdasarkan cara pemakaian kapsul


Berdasarkan cara pemakaiannya, pemakaian sediaan kapsul ditujukan untuk :
- per oral
- per rektal
- per vaginal
- topikal

c. Berdasarkan ukuran dan kapasitas cangkang kapsul


 Kapsul cangkang keras saat ini diproduksi dalam sebelas ukuran yaitu :

41
- Untuk manusia : 000, 00, 0, 1, 2, 3, 4, 5.
- Untuk hewan : 10, 11, 12.
 Kapsul cangkang lunak mempunyai kapasitas 0,05-30 ml.

Tabel 1. Kapasitas kapsul gelatin keras (dalam mg)

Tabel 2. Kapasitas rata-rata kapsul gelatin keras (dalam ml)


Tujuan pemakaian Nomor cangkang Kapasitas (ml)
Untuk manusia 5 0,12
4 0,21
3 0,30
2 0,37
1 0,50
0 0,67
00 0,95
000 1,36
Untuk hewan 10 30
11 15
12 7,5

d. Berdasarkan bentuk cangkang kapsul

42
Cangkang kapsul diproduksi dalam berbagai bentuk baik untuk memperindah
penampilannya ataupun sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Berbagai bentuk kapsul
cangkang keras dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3. Kapsul keras untuk manusia

Gambar 4. Kapsul keras untuk hewan

Gambar 5. Kapsul untuk pemakaian per rektal

Gambar 6. Kapsul dengan tutup terkunci

43
Dalam praktek pelayanan di apotek, kapsul cangkang keras dapat diisi dengan tangan.
Cara ini memberikan kebebasan bagi penulis resep untuk memilih bahan obat tungal atau
campuran dengan dosis yang lebih tepat bagi pasien. Hai ini merupakan kelebihan
cangkang keras dibandingkan cangkang lunak.

Kapsul cangkang lunak tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran yaitu :
- Bulat, dengan kapasitas 0,05-6 ml.
- Oval, dengan kapasitas 0,05-6,5 ml
- Oblong, dengan kapasitas 0,15-25 ml
- Tube, dengan kapasitas 0,15-30 ml
- Miscelar, dengan kapasitas 0,3-5 ml

Gambar 7. Berbagai bentung cangkang kapsul lunak.

Kapsul cangkang lunak ini, dibentuk, diisi serta dilekatkan dengan menggunakan mesin
yang sama (1 mesin), khususnya dengan proses berputar, meskipun dapat juga digunakan
suatu proses lempeng atau proses turun naik. Kapsul ini dapat juga diproduksi melalui
proses gelembung yang membentuk kapsul sferik tanpa lekukan. Dengan peralatan yang
sesuai, serbuk dan zat padat kering lain dapat diisikan kedalam kapsul.
Umumnya kapsul ini diisi dengan cairan, khususnya bahan aktif dilarutkan atau
disuspensikan dalam bahan pembawa cair. Dulu bahan yang digunakan sebagai
pembawa adalah minyak seperti minyak nabati, tetapi sekarang lebih umum digunakan
bahan pembawa cair bukan air yang dapat bercampur dengan air, seperti polietilenglikol

44
berbobot molekul lebih rendah, karena memiliki lebih sedikit masalah ketersediaan
hayati.
Kapsul lunak dapat digunakan untuk :
- obat
- kosmetika
- bahan makanan
- sabun dan sebagainya
Adapun isinya bisa beragam bentuk sediaan, meliputi cairan, pasta, serbuk, granul dan
pelet.

2. Tujuan Pemberian Sediaan


Suatu bahan obat atau campuran bahan obat dapat diberikan dalam bentuk kapsul karena :
- Bisa menutupi rasa dan bau bahan obatyang kurang enak
- Dapat mempermudah penggunaannya dibandingkan sediaan serbuk.
- Dapat mempercepat penyerapan dibandingkan sediaan pi dan tablet.
- Kapsul cangkang keras sangat tepat untuk peracikan extemperaneous, karena
dosis dan kombinasi obat bisa bervariasi sesuai dengan kebutuhan pasien.
- Dapat dibuat sediaan cair bila diinginkan sediaan dengan konsentrasi tertentu.
- Dapat digunakan untuk obat lepas lambat dan untuk tujuan pengobatan di usus
halus (enteric coated capsule).
Disamping itu, sediaan kapsul juga memiliki kekurangan-kekurangan diantaranya :
- Tidak sesuai untuk bahan obat yang sangat mudah larut. Jika sebagian kapsul
yang larut menyentuh dinding lambung, maka larutan pekat yang terjadi dapat
menyebabkan iritasi lokal atau terjadi penegangan lambung.
- Tidak dapat dugunakan utnutk bahan yang terlalu eflorescent dan deliquescent.
Bahan eflorescent bila digerus akan melepaskan bahan air kristalnya sehingga
serbuk menjadi lembab. Jika bahan ini dibuat sediaan kapsul, akan
menyebabkan kapsul menjadi lunak dan melekat sati dengan lainnya selama
penyimpanan.
Bahan deliquescent merupakan bahan yang dapat menyerap air hingga menjadi
larutan, sehingga bahan ini akan menarik air dari cangkang kapsul, yang bila
berlangsung lama akan menyebabkan kapsul menjadi rapuh dan mudah pecah.
3. Formula dan Cara Pembuatan
Formula dan cara pembuatan yang akan dibahas adalah untuk kapsul cangkang keras,
karena hanya kapsul inilah yang digunakan dalam produksi skala kecil di apotek.

45
Formula umum
Formula yang umum untuk kapsul cangkang keras diapotek adalah ;
R/ Bahan obat x
Bahan pembantu y
m.f.da in caps.........
Bahan yang dapat diformulasikan dalam kapsul in i adalah bahan padat, setengah padat
maupun bahan obat cair.
Cara pembuatan
Pada prinsipnya cara peracikan kapsul cangkang keras, khususnya di apotek, terdiri dari
6 tahap yaitu :
- Pengecilan ukuran partikel
- Pencampuran bahan
- Pemilihan ukuran kapsul
- Pengisian kapsul
- Pembersihan kapsul
- Pengemasan dan pemberian etiket serta label

a. Pengecilan ukuran partikel


Pengecilan ukuran partikel dalam peracikan kapsul dilakukan dengan cara yang sama
dengan peracikan sediaan serbuk.
b. Pencampuran bahan
Proses pencampuran bahan obat dan bahan tambahan, baik bahan padat, setengah padat
maupun bahan cair, dilakukan dengan cara yang sama dengan peracikan sediaan serbuk.
c. Pemilihan ukuran kapsul
Pada umumnya, kapsul gelatin keras digunakan untuk bahan obat atau campuran bahan
obet berbentuk serbuk dengan bobot antara 65 mg -1 g. bila bobot bahan obat terlalu kecil,
dapat ditambahkan bahan pengisi yang inert.
Pengisian kapsul yang benar, sebaiknya bagian induknya terisi penuh dengan campuran
obat, sedangkan bagian tutup masuk sepenuhnya ke bagian induk untuk memastikan
bahan obat tertutup rapatdalam kapsul. Bagian tutup tidak digunakan untuk wadah
campuran obat, melainkan untuk menahannya agar tetap berada didalam kapsul. Ukuran
kapsul harus dipilih sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan.
Jika bobot bahan obat terlalu besar untuk dimasukkan kedalam satu kapsul, maka dapat
dipakai dua atau lebih kapsul dengan ukuran yang lebih kecil untuk tiap takaran dosis
dengan menyesuaikan aturan pemakaiannya.

46
Untuk menentukan ukuran kapsul yang digunakan, ada beberapa tahap yang harus
dilakukan yaitu :
- Hitung bobot bahan atau campuran bahan obat tiap kapsul, misalnya x gram.
- Pilih cangkang kapsul dengan kapasitas yang setara atau paling mendekati bobot
bahan obat (lihat tabel 1). Dalam memilih, pilihlah bahan obat yang memiliki berat
jenis yang paling mendekati dengan berat jenis bahan obat yang akan dibuat.
- Tara isi cangkang kapsul dengan menggunakan bahan inert. Misalkan dihasilkan
berat y gram.
Jika x = y, maka bahan obat langsung dimasukkan dalam cangkang.
ika x < y, maka bahan obat ditambahkan pengisi sampai beratnya = y.
Jika x > y, maka bahan obat diracik dalam dua atau lebih kapsul dengan ukuran
yang lebih kecil.
d. Pengisian kapsul
Terdapat perbedaan cara pengisian kapsul antara bahan obat padat/serbuk dengan cair.
Umumnya pegisian dapat dilakukan dengan tangan (tanpa alat) ataupun dengan bantuan alat
pengisian kapsul sederhana.
 Bahan obat padat/serbuk
Pengisian kapsul cangkang keras dalam skala kecil di apotek dapat dilakukan dengan
ataupun tanpa bantuan alat.
- Cara blocking and dividing
Cara ini sama dengan pada pembagian sediaan serbuk, yang kemudian dilanjutkan
dengan pengisian kedalam kapsul dengan bantuan spatel.
- Metode punching
Dengan cara ini, serbuk diletakkan diatas selembar kertas, kemudian dibuat datar
dengan ketinggian sekitar 1/3 panjang badan kapsul. Induk kapsul diisi dengan
cara menekan ujung yang terbuka berulang-ulang pada serbuk. Rasa sentuhan
digunakan untuk menentukan apakah kapsul sudah terisi penuh, karena isi kapsul
bervariasi tergantung kemampatannya. Untuk menjamin keseragaman bobot isi
kapsul, sebaiknya dilakukan pengecekan dengan penimbangan.
Cara yang sering dipraktekkan dala peracikan di apotek adalah mula-mula
dilakukan pembagian serbuk secara visual, selanjutnya serbuk dimasukkan
kedalam kapsul. Tahapan yang dilakukan :
 Campuran bahan obat dibagi sesuai dengan jumlah yang diinginkan secara
visual (prinsip pembagian sama dengan pada peracikan sediaan serbuk
terbagi).

47
 Masukkan setiap bagian serbuk kedalam induk kapsul ± 2/3 volumenya dengan
cara mendorong bagian mulut induk kapsul dalam posisi miring ke arah
campuran serbuk.
 Induk kapsul yang telah terisi selanjutnya dibalik dan ditekan-tekan pada sisa
serbuk sampai seluruh serbuk masuk kedalam kapsul.
 Tutup kapsul dengan sempurna. Umumnya tutup kapsul menutup sebagian
indukl kapsul.

Gambar 8. Cara mengisi kapsul tanpa alat.

- Dengan alat
Cara pengisian kapsul dengan alat :
 Induk kapsul diletakkan berjajar pada alat.
 Tuangkan campuran bahan obat ke permukaan alat dan ratakan dengan
menggunakan spatel sampai seluruh serbuk masuk ke dalam kapsul.
 Tutup kapsul dengan sempurna.

48
Gambar 9. Alat pengisian kapsul gelatin keras.

 Bahan obat cair


Pengisian kapsul cangkang keras dalam skala kecil di apotek untuk bahan obat yang
berupa cairan dapat dilakukan dengan cara :
- Induk kapsul kosong ditara dengan cara meletakkan induk kapsul tersebut di atas
kotak yang telah dilubangi sebagai pijakan/tempat berdiri kapsul.
- Teteskan bahan obat cair (penetes dalam posisi tegak lurus) ke dalam satu induk
kapsul sampai diperoleh bobot yang diinginkan (misalnya n tetes).
- Pengisian kapsul selanjutnya dilakukan langsung dengan meneteskan sejumlah n
tetes ke dalam setiap induk kapsul lainnya.
- Kapsul ditutup rapat dengan cara mengoleskan sedikit mucilago gom arab di
bagian atas induk kapsul, dan tutup dipasang dengan cara memutar-mutarkannya.
(Mucilago gom arab adalah larutan 2 bagian gom arab dalam 3 bagian air).

Gambar 10. Cara pengisisan kapsul dengan bahan obat cair.

e. Pembersihan kapsul
Tujuan membersihkan kapsul adalah untuk menghilangkan sisa bahan obat di luar dinding
kapsul, untuk mencegah rasa dan atau bau yang tidak enak serta rusaknya dinding kapsul.
Hal ini perlu dilakukan karena pada saat pengisian kapsul kemungkinan ada bahan obat
yang melekat pada dinding kapsul bagian luar. Bila bahan obat berasa pahit atau berbau
tidak enak, pada saat diminum akan mengganggu pasien, sehingga tujuan penggunaan
sediaan kapsul tidak tercapai. Sedangkan, jika bahan obat bersifat merusak cangkang
49
kapsul, misalnya bersifat higroskopis dan deliquescent, bila sisa bahan tidak dibersihkan,
maka dapat menimbulkan kerusakan pada kapsul tersebut.
Kapsul dapat dibersihkan dengan menggunakan :
- kain kasa atau tissue kering
- kain kasa atau tissue yang dibasahi alkohol
- NaCl granuler

4. Pembuatan Kapsul dengan Bahan Obat Bersifat Khusus


Beberapa bahan obat dapat menimbulkan permasalahan tertentu jika diracik dalam bentuk
sediaan kapsul, sehingga diperlukan formula serta cara pembuatan yang khusus.
Bahan bersifat higroskopis dan deliquescent
Bahan obat ini dapat menyebabkan kapsul menjadi lembab atau basah dan lengket satu
dengan lainnya selama penyimpanan. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan cara :
- Bahan obat disekat dengan MgCO3 atau MgO (± 1 grain per kapsul) sebelum
dimasukkan ke dalam kapsul.
- Digunakan wadah yang tertutup rapat untuk penyimpanan kapsulnya.
Bahan obat campuran eutektik
Campuran ini juga dapat menyebabkan kapsul menjadi basah atau lembek, sehingga
lengket satu dengan lainnya selama penyimpanan. Untuk mengatasinya dapat dilakukan cara :
- Terjadinya eutektik dicegah dengan cara menyekat masing-masing bahan obat
dengan bahan inert, misalnya dengan MgCO3, MgO, kaolin (120mg/kapsul).
- Dibiarkan terjadi eutektik, selanjutnya dikeringkan dengan bahan inert.
Bahan obat merusak cangkang kapsul
 Bahan obat cair yang mengandung air dan larutan-larutan yang sangat pekat (misal
ichtyol) dapat merusak cangkang kapsul. Hal ini dapat diatasi dengan membuat bahan
obat tersebut menjadi massa pil terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam
cangkang kapsul.
 Bahan obat cair yang mengandung etanol < 90% juga dapat merusak cangkang kapsul
karena kandungan air yang cukup tinggi. Hal ini juga diatasi dengan membuat bahan
obat menjadi massa pil terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cangkang
kapsul.
 Bahan obat dengan kadar fenol tinggi (misalnya kreosot) juga dapat merusak
cangkang kapsul. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara :
- Bahan obat dibuat menjadi massa pil sebelum dimasukkan ke dalam cangkang
kapsul.

50
- Bahan obat diencerkan dengan minyak lemak (ol. Sesami, Ricini, Olivarum, Anisi
dll) sampai kadarnya < 40% sebelum dimasukkan ke dalam cangakang kapsul.

Bahan obat tak tercampurkan


Bahan obat tertentu jika dicampur satu dengan lainnya dapat menimbulkan masalah
ketidakcampuran (inkompatibilitas) secara kimia, sehingga efek yang diinginkan tidak
tercapai atau bahkan menjadi toksik. Untuk mengatasi hal ini dapat diatasi dengan cara :
- Masing-masing bahan obat disekat dengan bahan inert sebelum dimasukkan ke
dalam kapsul.
- Bahan obat dibuat bentuk pil dalam kapsul.
- Bahan obat dibuat bentuk kapsul dalam kapsul.

Gambar 11. Pil dalam kapsul.

Gambar 12. Kapsul dalam kapsul.

5. Wadah, Etiket dan Label


Wadah dan penyimpanan
Kapsul sebaiknya dikemas dalam wadah gelas atau plastik. Wadah ini memiliki
kelebihan dibandingkan kemasan karton (dos) karena mudah dibawa dan bisa melindungi
kapsul dari lembab udara dan debu karena tertutup rapat. Penyimpanan kapsul yang baik
adalah pada tempat yang sejuk dengan kelembaban sedang, karena kapsul cenderung
kehilangan air dan menjadi rapuh jika disimpan terlalu lama di tempat yang hangat dan

51
kering. Sedangkan tempat yang terlalu lembab cenderung melunakkan gelatin, sehingga dapat
menyebabkan terlepasnya tutup dari induk kapsul.
Dalam Farmakope Indonesia edisi III, disebutkan wadah dan tempat penyimpanan yang
baik untuk sediaan kapsul adalah pada tempat sejuk, dalam wadah tertutup rapat serta
sebaiknya ditambah zat pengering
Sedangkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV menentukan wadah dan penyimpanan
sediaan kapsul adalah dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya serta disimpan pada
suhu kamar yang terkendali.
Etiket dan label
Seperti halnya sediaan yang lain, sedaan kapsul yang disiapkan dalam skala kecil di
apotek berdasarkan atas resep dokter harus diserahkan lengkap dengan etiket dan labelnya
jika ada. Ukuran etiket disesuaikan dengan besarnya wadah yang digunakan. Jika perlu
ditambahkan label, diusahakan meletakkan dibawah etiket, jangan dibagian belakang wadah,
sehingga pasien dapat membaca etiket dan label sekaligus tanpa barus membalik wadahnya.
Jika label diletakkan di bagian belakang wadah, dikhawatirkan informasi yang perlu diketahui
pasien tidak terbaca.

6. Soal latihan
Uraikan cara pembuatan resep dibawah ini, sertakan perhitungan bobot bahan obat dan
bahan pembantu yang ditambahkan sebagai dasar pemilihan ukuran kapsul (tersedia kapsul
No 0,1,2,3,dan 4 dengan kapasitas masing-masing 8,5,4,3 dan 2,5 grain).
e. R/ Vitamin C 25 mg
Thiamin 2 mg
Nicotinic acid 25 mg
m.f.da in caps.dtd.No.XXV

f. R/ Luminal-Na 0,015
Potassium iodide 0,100
Aminophylline 0,200
m.f.da in caps.dtd.No.XXX

g. R/ Camphor gr. i
Menthol grs iii
Aspirin grs. ii
Coffein gr. i

52
m.f.da in caps.dtd.No.XII

h. R/ Kreosot 0,500
m.f.l.a.da in caps. No.X

BAB VI
PERACIKAN SEDIAAN PIL

Tujuan instruksional umum : setelah selesai membahas dan mendiskusikan pokok bahasan ini,
mahasiswa semester II jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menerapkan cara pembuatan
sediaan pil sesuai dengan standar pelayanan profesi Farmasi (C3)
.
Tujuan instruksional khusus:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian, tujuan pembuatan serta syarat sediaan pil
(C2).
2. Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam sedian pil dan cara pembuatannya (C2).
3. Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan sediaan pil sesuai dengan standar
pelayanan profesi Farmasi (C3).

7. Pengertian, Tujuan Pembuatan dan Syarat Sediaan Pil


Pengertian
Istilah “pil” berasal dari bahasa latin “pila” yang berarti bola. Berdasarkan Farmakope
Indonesia edisi III, yang dimaksud dengan pil adalah suatu sediaan berupa massa bulat,
mengandung satu atau lebih bahan obat.

Tujuan pembuatan
Sediaan pil dibuat karena memiliki beberapa keuntungan dibandingkan bentuk sediaan
lain, yaitu :
- Mudah digunakan/ditelan
- Dapat menutupi rasa obat yang tidak enak.
- Relatif lebih stabil dibandingkan dengan bentuk sediaan lain yang lebih mudah
kontak dengan udara dan cahaya, seperti sediaan serbuk dan larutan.
- Sangat baik untuk sediaan yang dikehendaki dengan penyerapan secara lambat,
misalnya sediaan laksansia.
Selain memiliki keuntungan, sediaan ini juga memiliki beberapa kerugian, yaitu tidak sesuai
untuk :
- Obat yang dikehendaki memberikan reaksi yang cepat.
- Obat yang dalam keadaan larutan pekat dapat mengiritasi lambung.

53
- Bahan obat padat/serbuk yang voluminous dan bahan obat cair dalam jumlah besar.

Syarat sediaan pil


Sediaan pil yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Homogen, baik ukuran, bentuk, warna maupun dosisnya.
- Mempunyai kekenyalan, daya rekat dan kekerasan tertentu.
- Mempunyai waktu hancur tertentu, yaitu dapat larut atau pecah dalam lambung atau
usus (untuk pil salut enterik) dalam waktu tertentu.
Farmakope Indonesia edisi II,menyatakan bahwa sediaan pil harus memenuhi
persyaratan : (Lihat keterangan dalam FI III)
- Keseragaman bobot
- Waktu hancur

8. Macam Sediaan Pil


Berdasarkan bobotnya, sediaan pil dapat digolongkan menjadi :
- Bolus, bila bobotnya > 300 mg
- Pil, bila bobotnya 60-300 mg
- Granul, bila bobotnya 1/3-1 grain
- Parvul, bila bobotnya < 20 mg

9. Formula dan Cara Pembuatan


Formula umum
Secara umum, formula sediaan pil terdiri ata bahan obat dan bahan tambahan.
a. Bahan obat
Bahan obat dapat berupa :
- bahan padat, misalnya kinin sulfat
- bahan setengah padat, misalnya ekstrak belladon
- bahan cair, misalnya tinctura opii.
Selain bahan obat tersebut, formula pil juga mengandung bahan tambahan yang dapat
berupa bahan pengisi, pengikat, pembasah, penabur, pemecah serta penyalut. Bahan ini
tidak selalu seluruhnya digunakan, tergantung dari sifat dan jumlah bahan obatnya.
b. Bahan pengisi
Bahan pengisi diperlukan, terutama jika bobot bahan obat terlalu kecil untuk dibuat
sediaan pil. Jadi fungsinya hanyalah untuk memperbesar massa pil.

54
Pengisi yang umum digunakan adalah Liquiritae Radix. Untuk pil yang berwarna putih
dapat digunakan Saccharum album, sedangkan untuk bahan obat yang bersifat oksidator
dapat digunakan Bolus Alba.
Jumlah pengisi yang umum digunakan adalah :
- Untuk bahan obat jumlah kecil, bobot Radix yang digunakan minimal dua kali
jumlah Succus.
- Untuk bahan obat jumlah besar, digunakan pulvis pro pillulae (campuran Radix dan
Succus sama banyak).
- Bahan obat golongan oksidator atau senyawa garam timbal (Pb), digunakan Bolus
Alba 100 mg/pil.
c. Bahan pengikat
Bahan obat umunya bersifat non kohesif, sehingga dalam pembuatan pil diperlukan
bahan pengikat untuk mendapatkan massa pil yang baik. Bahan pengikat yang umum
digunakan dalam pembuatan pil adalah :
- Succus Liquiritae, 2 gram untuk 60 pil.
- Pulvis Gummosus, 500 mg untuk 60 pil
Untuk bahan obat yang voluminous, 1-1,5 gram untul 60 pil.
- Succus dan Saccharum album sama banyak , 75 gram untuk 1000 pil (berfungsi
sekaligus sebagai pengisi dan pengikat).
- Glicerinum cum tragacantha (larutan 10% tragakan dalam gliserin) secukupnya.
- Adeps lanae atau vaselin album secukupnya, digunakan untuk pil yang bahan
obatnya bersifat saling bereaksi dengan adanya air, dapat terurai dengan adanya
air, oksidator dan merupakan garam-garam timbal (Pb).
d. Bahan pembasah
Untuk membuat massa pil yang baik, umumnya diperlukan bahan pembasah yang
umumnya dapat digunakan :
- Air
- Aqua glyserinata (air dan gliserin sama banyak)
- Sirupus simpleks
- Madu
- Adeps lanae atau vaselin album (sebagai pengikat sekaligus pembasah)
e. Bahan pemecah
Sediaan pil yang diracik dengan menggunakan bahan pengikat adeps lanae atau vaselin
album yang bersifat hidrofob menjadi sukar larut/pecah di lambung. Untuk mengatasi hal
tersebut, perlu ditambahkan bahan pemecah. Bahan pemecah yang dapat digunakan

55
adalah natrium bikarbionat. Saat pil masuk ke dalam lambung, akan terjadi reaksi antara
natrium bikarbonat dengan HCl yang ada pada asam lambung dan mengkasilkan gas
CO2. gas inilah yang dapat menyebabkan pil menjadi pecah.
NaHCO3 + HCL NaCl + H2CO3 CO2
H2O

f. Bahan penabur
Bahan penabur dalam sediaan pil, digunakan agar pil tidak lengket pada alat saat
pembuatannya, dan tidang lengket satu dan lainnya dalam wadah selama penyimpanan.
Jenis bahan penabur yang dapat digunakan diantaranya :
- Likopodium, untuk pil yang berwarna
- Talk, untuk bahan pil yang mengandung bahan bersifat oksidator atau
mengandung garam Pb, pil yang berwarna putih atau pil yang akan disalut.
- Amilum Oryzae
- Magnesium karbonat
- Radix liquiritae pulv.
g. Bahan panyalut
Dalam hal tertentu, perlu dilakukan penyalutan pada sediaan pil yang berfungsi untuk :
- menjaga stabilitas bahan obat
- menutupi rasa dan bau bahan obat yang tidak enak
- memperbaiki penampilan pil
- mencegah pecahnya pil dalam lambung
Berdasarkan sifat kimia fisikanya, bahan penyalut pil dapat dibedakan menjadi tiga
yaitu:
- Penyalut gula : Saccharum album
- Penyalut selaput : CMC-Na, Balsamum Tolutanum, Carbowax 6000
- Penyalut enterik : Salol, Schelac, Cellulose Acetate Phtalat

Cara pembuatan
a. Tahapan pembuatan sedian pil
Pembuatan sediaan pil terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
 Pembuatan massa pil
- Tentukan bobot bahan obat untuk satu pil

56
- Tentukan macam dan jumlah bahan tambahan yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah
dan sifat bahan obat.
- Lakukan pencampuran bahan sesuai dengan aturan yang berlaku.
- Tambahkan bahan pembasah sedikit demi sedikit ke dalam campuran dambil digilas
kuat sampai terbentuk massa pil yang baik (elastis, tidak lengket di motir dan tidak
pecah saat digulung).

 Pemotongan pil
- Massa pil yang telah jadi, dibentuk silender dengan panjang yang sesuai dengan
jumlah pil yang akan dibuat, menggunakan pemotong pil dengan ukuran yang
sesuai dan ditambahkan bahan penabur.
- Massa pil yang sudah berbentuk silinder dipotong dengan pemotong pil. Bila perlu
dapat ditambahkan penabur.

Gambar 1. Alat pemotong pil.

 Pembulatan pil
- Potongan massa pil dipindahkan ke alat pembulat pil yang sudah diberi bahan
penabur selanjutnya dibulatkan.
- Masukkan pil yang sudah bulat ke dalam wadah melalui lubangyang ada pada alat
pembulat pil dan hitung jumlahnya.

57
Gambar 2. Alat pembulat pil.

 Penyalutan pil
Bila pil memerlukan penyalutan, lakukan penyalutan sesuai dengan jenis bahan yang
digunakan.

b. Cara pembuatan berdasarkan macam bahan obat


 Bahan obat padat
Bahan obat padat yang tidak memiliki sifat khusus dapat langsung diracik sesuai
tahapan peracikan pil dengan ketentuan :
- Bobot bahan obat 2 g untuk 30 pil, digunakan bahan tambahan :
Succus 1g
Radix 1-2 g
Aqua glycerinata q.s.
- Bobot bahan obat 2-4 g untuk 30 pil,digunakan bahan tambahan :
Succus 1g
Radix 0,5 g
P.G.S. 0,25 g
Aqua glycerinata q.s.
- Bobot bahan obat > 4 g untuk 30 pil,digunakan bahan tambahan :
Succus 0,5 g
Radix 0,5 g
Glycerin cum tragacanth 0,25-0,5 g
Aqua glycerinata q.s.
 Bahan obat setengah padat
Bahan obat setengah padat umumnya adalah ekstrak kental..
- Jika jumlah bahan obat kecil (berkhasiat keras)

58
Bahan obat ditambahkan pelarut yang sesuai sampai tepat larut kemudian
ditambahkan pengisi yang warnanya kontras, bahan pengikat dan pembasah.
Bahan obat, Radix, Succus dan Aqua glycerinata dengan jumlah yang sama seperti
pada bahan obat jumlah kecil.
- Jika jumlah bahan obat besar
Bahan obat langsung ditambahkan radix q.s.
 Bahan obat cair
Untuk bahan berupa ekstrak cair :
- Jika jumlahnya kecil ( 0,5 g untuk 30 pil)
Ditambahkan Succus dan Radix dengan perbandingan 1 : 0,5 g tanpa aqua
glycerinata.
- Jika jumlah besar ( > 0,5 g untuk 30 pil)
Bahan obat diuapkan sampai 1/3 bobotnya (kental), kemudian ditambahkan radix
sampai terbentuk massa pil. Cara lain yang dapat dilakukan adalah mengganti
dengan bentuk keringnya kemudian ditambahkan Radix, Succus dan Aqua
lycerinata seperti pada bahan obat tanpa sifat khusus.
Untuk bahan berair :
- Jika jumlahnya kecil ( 0,5 g untuk 30 pil)
Langsung dibuat pil tanpa bahan pembasah.
- Jika jumlah besar ( > 0,5 g untuk 30 pil)
Cara pembuatan pil sama dengan pada ekstrak cair.

Peracikan untuk bahan obat bersifat khusus


a. Bahan obat bersifat higroskopis dan deliquescent
- Penambahan aqua glycerinata dilakukan sedikit demi sedikit dan hati-hati.
- Bila banyak menyerap air, tidak perlu penambahan aqua glycerinata.
- Untuk kalium asetat, CaCl2 dan FeCl3 ditambahkan Succus dan Radix.
- Untuk Na salisilat, KBr dan KI :
Dikerjakan dalam mortir hangat
Ditambahkan Succus 1,5 g untuk 7 g bahan
Radix 0,5 g untuk 7 g bahan
Aqua q.s.
b. Bahan obat mengandung air kristal
Bahan obat ini dapat diganti dengan bentuk kering/anhidratnya. Untuk FeCl3 tidak
dapat diganti, sehingga perlu penambahan Bolus alba 100mg/pil

59
c. Bahan obat oksidator.
Jika bahan ini diracik menjadi pil, dengan adanya air, bahan ini tidak akan
tercampurkan dengan Radix dan Succus. Untuk itu perlu ditambahkan :
- bahan pengisi Bolus Alba 100mg/pil
- bahan pembasah dan pengikat adeps lanae atau vaselin album q.s.
- bahan pemecah NaHCO3 sama banyak dengan bahan obat.
d. Bahan obat ekstrak kering
- Untuk ekstrak kering berkhasiat keras, karena pemakaiannya dalam jumlah kecil,
maka pengerjaannya sama seperti pada bahan obat tanpa sifat khusus.
- Untuk ekstrak yang tidak berkhasiat keras, karena pemakaian dalam jumlah besar,
hanya perlu penambahan Radix dan Aqua glycerinata.
e. Bahan obat tidak tahan air
- Untuk bahan obat yang terurai dengan adanya air, perlu ditambahkan bahan pengisi
Radix, pengikat adeps lanae, dan bahan pemecah NaHCO3.
- Untuk bahan yang bereaksi dengan bahan pembantu dengan adanya air, misalnya
garam Pb, digunakan bahan pengisi Bolus alba, pengikat adeps lanae, dan bahan
pemecah NaHCO3.
- Untuk bahan obat yang saling bereaksi dengan adanya air, dihindari pemakaian air,
sehingga bahan pengikat yang digunakan adalah adeps lanae atau vaselin album,
dengan bahan pengisi Radix atau Bolus alba untuk bahan oksidator. Bahan yang
seperti ini juga dapat disiapkan dalan dua pil, dengan menyesuaikan aturan
pemakaiannya.

10. Penyalutan Sediaan Pil


Tujuan penyalutan
Penyalutan sediaan pil memiliki tujuan :
a. Melindungi bahan obat dari pengaruh lingkungan (cahaya, oksigen dan kelembaban) :
salut selaput. Misalnya untuk garam ferro yang terdapat dalam tolubalsem.
b. Menutupi rasa bahan obat yang tidak enak : salut gula. Misalnya kloramfenikol.
c. Memperbaiki penampilan pil : salut selaput.
d. Mencegah pelepasan bahan obat di lambung : salut enterik. Hal ini dilakukan karena
bahan obatnya :
- Dapat mengiritasi mukosa lambung.
- Dapat rusak atau menjadi inaktif karena kontak dengan asam lambung.
- Dapat menyebabkan rasa mual dan muntah.

60
- Diinginkan mencapai usus halus dalam jumlah besar.
- Diinginkan aksi obat yang ditunda atau diperpanjang.

Cara penyalutan
Proses penyalutan sediaan pil dilakukan dengan cara yang berbeda-beda tergantung dari
bahan penyalut yang digunakan.
a. Gula
Pil digulingkan ke dalam sedikit sirupus simpleks, kemudian dikeringkan dengan cara
menggulingkan dalam campuran saccharum pilv., amilum tritici dan gom arab dengan
perbandingan 1:2:1,5.

b. Gelatin
Pil ditusuk dengan jarum, dicelupkan ke dalam larutan gelatin panas (20% gelatin
dalam air). Setelah dingin, lubang bekas tusukan ditutup dengan cara menotolkan
batang pengaduk panas pada lubang tersebut.
c. Tolubalsem
Pil diletakkan dalam cawan yang berisi larutan tolubalsem dalam kloroform (10%),
digoyang-goyang sampai seluruh kloroform menguap, kemudian pil dipindahkan ke
wadah lain dan dibiarkan sampai kering. Pil yang dihasilkan harus mengkilap.
d. Salol
Pil dimasukkan dalam cawan yang berisi lelehan salol (20 g salol/60 pil) sampai
seluruh permukaannya terbasahi secara merata, kemudian dipindahkan ke wadah yang
lain dan dibiarkan sampai salol memadat kembali.
e. Schellak
Pil disalut dengan larutan 10% schellak dalam spiritus, setelah kering disalut lagi
dengan campuran schellak, asam stearat dan aether cum spiritus dengan perbandingan
5:2,5:50.

11. Latihan Soal


a. R/ Kalii permanganas 0,050
m.f.l.a.pil. dtd.No. XXX
s.t.d.d.pil I

61
b. R/ Ekstract Belladon 0,250
m.f.l.a.pil. dtd.No. XXV
s.q.d.d.pil I

BAB VII
SEDIAAN SEMISOLID
SALEP, KRIM, PASTA, GEL DAN LINIMENTA

Tujuan Instruksional Umum :


Setelah selesai membahas dan mendiskusikan pokok bahasan ini, mahasiswa semester II
Jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menerapkan cara pembuatan sediaan semisolid :
unguenta, krim, pasta, gel, linimenta dan suppositoria, sesuai dengan standar pelayanan
profesi Farmasi

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan unguenta yang baik dan benar
sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope Indonesia
2. Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan krim, pasta, gel dan linimenta yang
baik dan benar sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope Indonesia
3. Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan suppositoria yang baik dan benar
sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope Indonesia

7.1. PENDAHULUAN

62
Pada bab ini akan dibahas mengenai berbagai bentuk sediaan semisolid yang
umumnya digunakan sebagai sediaan dermatologi diantaranya yang umum digunakan berupa
salep, krim, pasta, gel dan linimenta.
Preparat yang digunakan pada kulit bertujuan untuk memberikan efek fisik yaitu
sebagai pelindung kulit, pelicin, pelembut, zat pengering atau efek khusus dari bahan obat
yang terkandung di dalamnya. Preparat ini umumnya dijual bebas dan sering mengandung
campuran dari bahan obat yang digunakan dalam pengobatan kondisi tertentu seperti infeksi
kulit ringan, gatal, luka bakar, gigitan serangga, penebalan kulit, jerawat, psoriasis dan eksim.
Walaupun pada umumnya digunakan secara topikal, ada beberapa sediaan yang
mengandung bahan obat dapat memberikan efek sistemik. Hal ini disebabkan karena bahan
obat tersebut dapat diabsorpsi melalui epidermis kulit kemudian masuk melalui pembuluh
darah kapiler dan akhirnya mengisi jaringan subkutan. Penetrasi obat semacam ini disebut
sebagai absorpsi perkutan. Kenyataan ini dibuktikan dengan deteksi kadar obat dalam darah
dan ekskresi obat atau hasil metabolitnya pada urin. Pada umumnya untuk pemakaian topikal
jumlah obat yang diabsorpsi pada umumnya tidak menimbulkan efek toksik sehingga
pengaruh absorpsi tidak diketahui oleh pasien.
Pada umumnya absorpsi perkutan bahan obat yang terkandung dalam bentuk sediaan
gel, salep, krim dan pasta tergantung pada beberapa faktor antara lain :
1. Sifat fisika dan kimia bahan obat
2. Jenis basis atau pembawa yang digunakan untuk membuat sediaan farmasetika
3. Kondisi kulit
4. Adanya uap air

7.2. SALEP (UNGUENTA)


7.2.1. DEFINISI (FI IV)
Salep (unguenta) adalah sediaan setengah padat mengandung bahan obat yang mudah
dioleskan dan ditujukan untuk pemakaian luar pada kulit atau selaput lendir. Bahan obat harus
larut atau terdispersi homogen dalam dasar (basis) salep yang sesuai.

7.2.2. SYARAT-SYARAT SALEP


Terdapat beberapa persyaratan sifat-sifat tertentu yang harus dipenuhi oleh sediaan salep
diantaranya :
a. Stabil secara fisika maupun kimia
b. Halus
c. Mudah digunakan dan meleleh atau melunak pada suhu tubuh

63
d. Dasar (basis) salep yang digunakan tidak bersifat iritatif dan tidak memiliki efek
terapetik
e. Bahan obat yang terkandung di dalamnya dapat terdistribusi merata

7.2.3 PENGGOLONGAN SALEP


Salep digolongkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan :
a. Efek terapetik yang dihasilkan
b. Komposisi bahan yang digunakan untuk membuat salep
7.2.3.1. Penggolongan Salep Berdasarkan Efek Terapetik yang Dihasilkan (Sco)
a. Salep epidermik : daya serapnya hanya terbatas pada permukaan kulit dan memberikan
efek lokal saja dimana salep jenis ini tidak diabsorpsi dan hanya berfungsi sebagai
pelindung, antiseptik, astringent, mencegah iritasi (counterirritans) dan aniparasit.
Salep jenis ini menggunakan basis vaselin
b. Salep endodermik : dapat melakukan penetrasi ke dalam kulit dimana sebagian obat
dapat diabsopsi dan salep jenis ini berfungsi sebagai pelembab (emollient), stimulant
dan local irritans. Dasar salep yang digunakan terdiri dari lanolin, adeps lanae atau
minyak tumbuh-tumbuhan
c. Salep diadermik : salep jenis ini dapat menembus kulit dan memberikan efek absorpsi
sistemik dimana basis yang digunakan adalah basis yang larut dalam air atau basis
yang mempunyai tipe emulsi
7.2.3.2. Berdasarkan komposisinya, dasar salep dapat digolongkan sebagai berikut (Scoville,
Ansel, FI IV)
a. Dasar salep hidrokarbon
b. Dasar salep absorpsi
c. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air
d. Dasar salep yang larut dalam air
a. Dasar Salep Hidrokarbon
Dasar salep hidrokarbon (dasar bersifat lemak) dapat bercampur dengan preparat yang
berair dalam jumlah yang terbatas. Dasar salep ini pada umumnya digunakan sebagai
pelembab (emollient). Hal ini disebabkan karena dasar salep ini dapat bertahan lama pada
kulit dan tidak memungkinkan menguapnya air dari kulit ke udara serta sukar dicuci.
Beberapa basis salep yang termasuk dalam golongan ini antara lain :
Petrolatum
Petrolatum (petrolatum kuning/petrolatum jelly) USP adalah campuran dari
hidrokarbon setengah padat diperoleh dari minyak bumi. Petrolatum ini memiliki warna yang

64
bervariasi dari kekuning-kuningan sampai kuning gading yang muda. Melebur pada
temperatur 380C dan 600C. Dapat digunakan dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan
zat lain sebagai dasar salep. Dalam perdagangan dikenal sebagai vaselin.
Petrolatum Putih
Petrolatum putih USP adalah petrolatum yang dihilangkan warnanya. Hanya berbeda
dalam hal warna dengan petrolatum tetapi digunakan untuk tujuan yang sama. Dalam
perdagangan dikenal sebagai vaselin putih.
Sifat dari kedua vaselin di atas antara lain :
a. Tidak mengandung air
b. Tidak dapat menyerap air dengan segera
c. Tidak larut di dalam air
d. Tidak tercucikan dengan air
Vaselin merupakan basis yang paling umum digunakan untuk membuat sediaan salep
dimana hal ini didasari oleh beberapa keuntungan dari vaselin dimana basis ini memiliki
stabilitas yang tinggi, tidak cepat tengik dan jarang menimbulkan sensitivitas pada kulit.
Disamping memiliki beberapa keuntungan, vaselin juga memiliki kelemahan diantaranya
adalah tidak dapat dikombinasikan dengan larutan berair, lengket dan sangat sulit dihilangkan
dari kulit.
Salep Kuning
Salep kuning (yellow ointment) USP mengandung 5 g lilin kuning dan 95 g vaselin.
Lilin kuning adalah lilin yang dimurnikan dari sarang tawon (Apis mellifera)
Salep Putih
Salep putih (white ointment) USP mengandung 5% lilin putih (lilin lebah murni yang
diputihkan) dan 95% vaselin putih.
Parafin
Parafin merupakan campuran hidrokarbon padat yang dimurnikan diperoleh dari
minyak bumi. Tidak berwarna atau putih, merupakan massa yang tembus cahaya yang dapat
digunakan untuk menambah kekerasan dasar salep setengah padat yang berlemak.
Minyak Mineral
Minyak mineral (vaselin cair) adalah campuran hidrokarbon cair yang diperoleh dari
minyak bumi. Dasar salep ini bermamfaat untuk melarutkan bahan yang tidak larut pada
preparat salep dengan dasar (basis) salep yang berlemak.

b. Dasar Salep Absorpsi

65
Dasar salep ini dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu (1) basis yang tidak mengandung
air (anhidrat) yang akan menyerap air untuk membentuk emulsi air dalam minyak (misalnya
petrolatum hidrofilik dan lanolin anhidrat) dan (2) basis yang memang sudah mengandung air
dan dalam bentuk emulsi air dalam minyak dimana masih memiliki kemampuan menyerap
air (misalnya lanolin dan cold cream). Dasar salep ini juga berfungsi sebagai emollient
walaupun tidak menyediakan derajat penutupan seperti dasar salep hidrokarbon. Dasar salep
ini juga tidak mudah dihilangkan dari kulit oleh pencucian dengan air. Dasar salep ini
bermamfaat untuk mencampurkan larutan berair ke dalam larutan berlemak. Agar dapat
melakukan hal ini sejumlah ekivalen basis salep berlemak diganti dengan dasar lemak
absopsi. Beberapa contoh basis salep absorpsi ;
Petrolatum Hidrofilik
Petrolatum hidrofilik diperoleh dari kolesterol, asam stearat, lilin putih dan vaselin
putih. Dasar salep ini memiliki kemampuan mengabsorpsi air dengan membentuk emulsi air
dalam minyak.
Lanolin Anhidrat/Adeps Lanae
Lanolin Anhidrat (refined wool fat) dapat mengandung tidak lebih 0,25% air, tidak
larut dalam air tapi dapat bercampur dan tidak terpisah dengan air dua kali lipat bobotnya.
Pencampuran ini menghasilkan emulsi air dalam minyak.
Lanolin
Lanolin (hydrous wool fat) merupakan bahan setengah padat, diperoleh dari lemak
bulu domba (Ovis aries), merupan emulsi air dalam minyak yang mengandung air 25 dan
30%. Penambahan air ke dalam dasar salep ini dapat dilakukan dengan pengadukan.
Cold Cream
Cold Cream (krim pendingin) merupakan emulsi air dalam minyak, setengah padat,
putih, dibuat dengan lilin setil ester, lilin putih, minyak mineral, natrium borat dan air murni.
Krim pendingin digunakan sebagai emollient dan dasar salep.

c. Dasar Salep yang Dapat Dibersihkan Dengan Air


Dasar salep ini disebut juga basis emulsi dimana dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu
(1) kelompok yang membentuk emulsi minyak dalam air dan (2) kelompok yang membentuk
emulsi air dalam minyak. Tipe pertama seperti yang dijelaskan pada dasar salep absorpsi tidak
dapat tercuci dengan air dan bersifat hidrofobik. Tipe kedua yang merupakan emulsi minyak
dalam air mudah dicuci dengan air contoh yang paling sederhana adalah krim pencukur
dimana sangat mudah dibersihkan dengan air. Dasar salep ini tampak seperti krim yang dapat
diencerkan dengan air atau larutan berair. Bahan obat tertentu dapat diabsopsi lebih baik oleh

66
kulit jika sediaan yang dibuat mengandung dasar salep tipe ini dibandingkan dengan dasar
salep yang lain. Contoh dasar salep ini adalah
Salep Hidrofilik
Salep hidrofilik mengandung natrium lauril sulfat sebagai bahan pengemulsi dengan
alkohol stearat dan vaselin putih mewakili fase lemak sedangkan polietilenglikol dan air
mewakili fase air. Sebagai bahan pengawet digunakan metil paraben dan propil paraben.

d. Dasar Salep yang larut Dalam Air


Dasar salep yang larut dalam air ini hanya mengandung komponen yang larut dalam
air. Dasar (basis) salep yang larut dalam air biasanya disebut sebagai greaseless karena tidak
mengandung bahan berlemak. Karena dasar salep ini sangat mudah melunak dengan
penambahan air, maka larutan air tidak efektif dicapurkan ke dalam dasar salep ini. Contoh
dasar salep yang larut air adalah :
Polietilen Glikol
Polietilen glikol adalah polimer dari etilenoksida dan air . Formula resmi basis ini
memerlukan kombinasi 400 g polietilen glikol 3350 (padat) dan 600 g polietilen glikol 400
(cair) untuk membuat 1000 g dasar salep. Kombinasi polietilen glikol disesuaikan dengan
konsistensi sediaan salep yang ingin dicapai misalnya salep polietilen glikol USP
mengandung 40% PEG 4000 dan 60% PEG 400. Dalam perdagangan dikenal dengan nama
carbowax.
Polietilen glikol memiliki beberapa karakteristik yang membuatnya sangat cocok
menjadi basis salep. Basis ini dapat bercampur dengan berbagai bahan obat misalnya
belerang, fenol, merkuri, ammonium kuartener, asam borat, balsam peruvianum, resorsinol,
asam salisilat, gentian violet, calamine, sulfonamide, penisilin, hormone, steroid dan lain
sebagainya. PEG juga tidak mudah dihidrolisis, tidak mudah rusak dan menjadi tengik, dan
bukan merupakan media tempat tumbuhnya jamur. Jika salep menggunakan basis ini maka
salep ini akan menyebar merata pada kulit, tidak timbul iritasi, dan mudah dibersihkan dari
kulit.
Namun terdapat kelemahan dari PEG dimana basis ini mudah sekali berubah warna
dengan pencampuran beberapa obat misalnya sulfonamide dan kombinasi antara asam
salisilat dan merkuri. Namun perubahan warna ini tidak akan mempengaruhi efek terapetik
dari salep tersebut.

7.2.4. PEMILIHAN DASAR SALEP YANG TEPAT

67
Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung pada
pertimbangan yang cermat atas sejumlah faktor antara lain :
a. Laju pelepasan bahan obat dari dasar salep yang diinginkan
b. Peningkatan absorpsi perkutan dari bahan obat
c. Kemampuan dasar salep sebagai emollient kulit
d. Kestabilan bahan obat di dalam dasar salep
e. Pengaruh dasar salep terhadap bahan obat
Harus dipahami bahwa tidak ada satu dasar salep yang paling ideal karena masing-asing dasar
salep tersebut tidak memiliki semua sifat yang diinginkan.

7.2.5. METODE PEMBUATAN SALEP


Peraturan-peraturan pembuatan salep menurut Farmakope : (Van Duin)
a. Peraturan Salep I : zat-zat yang larut dalam campuran lemak yang tersedia, dilarutkan
di dalamnya dan jika perlu dilakukan dengan penghangatan
b. Peraturan Salep II : zat-zat yang larut dalam air, jika tidak diberikan petunjuk lain,
lebih dahulu dilarutkan dalam air, dengan syarat air yang dibutuhkan untuk
melarutkannya dapat diserap oleh jumlah campuran lemak yang ditentukan ;
banyaknya air yang dipakai dikurangkan dari jumlah campuran lemak yang telah
ditentukan
c. Peraturan salep III : zat-zat yag tidak cukup melarut dalam lemak-lemak dan air, mula-
mula diserbuk dan diayak dengan ayakan B40. Pada pembuatan salep-salep ini, zat
padat dicampur dengan setengah atau sama dengan bobot lemak, yang jika perlu
dicairkan terlebih dahulu, kemudian sisa lemak yang telah cair atau tidak dicairkan,
ditambahkan sedikit demi sedikit
d. Peraturan salep IV : jika salep-salep dibuat dengan peleburan maka campuran harus
diaduk sampai dingin.

Salep dapat dibuat dengan tiga metode antara lain : (1). Pencampuran, (2) peleburan
dan (3) dengan reaksi kimia. Metode pertama digunakan jika basis yang digunakan
merupakan lemak dan minyak, metode kedua digunakan ketika lemak dan bahan yang
memiliki titik lebur yang lebih tinggi akan ditambahkan ke dalam salep sedangkan metode
ketiga digunakan khusus untuk salep-salep tertentu.
7.2.5.1. Metode Pencampuran

68
7.2.5.1.1. Pencampuran Bahan Padat
Pada umumnya komponen serbuk dihaluskan terlebih dahulu kemudian sebagian dari
serbuk dicampur dengan dasar salep sampai homogen, dan proses ini diulang sampai semua
bagian dari serbuk dan dasar salep bercampur.
7.2. 5.1.2. Pencampuran Cairan (Ansel)
Bahan cairan atau larutan obat dapat ditambahkan setelah dipertimbangkan sifat-sifat
dasar salepnya. Dasar salep yang dapat menyerap air (hidrofilik) akan lebih mudah jika
ditambahkan dengan larutan berair. Sedangkan jika larutan berair ini akan dicampur dengan
dasar salep berlemak (hidrofobik) maka sebaiknya sebagian dasar salep diganti dengan dasar
salep hidrofilik, kemudian setelah homogen baru ditambahkan ke dalam dasar salep yang
hidrofobik tersebut. Namun perlu diingat bahwa dasar salep hidrofilik memiliki batas
kemampuan dimana penambahan sejumlah bahan cairan atau larutan obat menjadikan sediaan
yang dibuat menjadi lebih lunak atau setengah cair. Untuk menghindari hal ini maka kita bisa
menggunakan obat yang dipekatkan atau obat dalam bentuk padat.
Larutan beralkohol dalam volume yang larut biasanya dapat ditambahkan dengan
mudah ke dalam dasar salep yang berlemak atau dalam bentuk emulsi.
Bahan cair yang lain misalnya balsam-balsam alam dalam hal ini balsam peruvianum
sulit ditambahkan ke dalam dasar salep. Untuk mengatasi hal ini maka balsam peruvianum ini
ditambah dengan minyak jarak (oleum ricini) dengan volume yang sama terlebih dahulu
kemudian setelah homogen baru dicampur dengan dasar salep. Dalam hal ini minyak jarak
berfungsi sebagai penurun tegangan permukaan dari balsam peruvianum dan memudahkan
balsam terdispersi ke dalam dasar salep.
7.2.5.1.3. Teknik Khusus
Beberapa bahan obat memerlukan teknik khusus jika ditambahkan ke dalam basis
salep. Bahan obat yang termasuk dalam hal ini antara lain : alkaloid-alkaloid, cairan alkoholis,
balsam peruvianum, antibiotika dan lain-lain.
a. Antibiotika (Scoville)
Pemilihan dasar salep untuk antibiotika-antibiotika harus dilakukan dengan sangat
hati-hati. Sejumlah laporan menyatakan bahwaa berkurangnya potensi antibiotika disebabkan
bereaksi dengan dasar salepnya. Banyak antibiotika menjadi rusak dalam larutan air, terutama
jika tidak didapar. Antibiotika yang tidak stabil dalam larutan air antara lain : penisilin dan
derivatnya, tetrasiklin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, kloramfenikol dan basitrasin.
Sedangkan neomisin, tirotrisin dan polimiksin B relative stabil dalam dasar salep yang
mengandung air. Sebagai pedoman umum karena banyak antibiotika yang relative tidak stabil
dalam larutan air maka untuk pembuatan salep-salep ini digunakan dasar salep anhydrous atau

69
bersifat hidrofobik. Caranya antibiotika tersebut digerus dengan parafin cair kemudian
ditambahkan ke dalam dasar salep anhydrous
b. Pix Lithanthracis (Coal Tar)
Pix Lithanthracis sering dituliskan dalam suatu resep salep bersama-sama dengan pati,
seng oksida dan vaselin. Terdapat beberapa teknik untuk membuat salep dengan komposisi
tersebut yaitu :
- cara pertama pix lithanthracis dicampur dahulu dengan vaselin sebelum
dicampur dengan bahan-bahan lainnya.
- Cara kedua : pix lithanthracis ditambahkan ke dalam pasta yang dibuat dari pati,
seng oksida dan vaselin. Dengan cara ini dihasilkan salep yang berwarna abu-
abu
- Cara ketiga : seng oksida digerus dengan sebagian vaselin dan kemudian
tambahkan beruerutan sisa vaselin, pati dan akhirnya pix lithanthracis.
Pix lithanthracis dapat langsung ditambahkan ke dalam hydrophilic ointment dan
menghasilan salep yang baik dengan konsistensi yang uniform. Agar pix lithanthracis lebih
mudah didispersikan dalam dasar salep dan supaya salep tersebut mudah dicuci dari kulit
maka dapat ditambahkan suatu surfaktan misalnya polisorbat-80. Bahan-bahan lain yang
digunakan untuk memudahkan pengerjaan pix lithanthracis ke dalam dasar salep ialah minyak
jarak, adeps lanae dan hidroksi stearin.
c. Balsam Peruvianum
Balsam peruvianum sering dituliskan dalam resep salep. Dengan dasar salep
hidrokarbon misalnya vaselin, balsam peruvianum tidak larut sehingga tidak membentuk
salep yang homogen. Untuk mencegah hal ini balsam peruvianum ditambahkan minyak jarak
(olium ricini) dalam jumlah yang sama kemudian baru ditambahkan dengan dasar salep.
Penagmbahan minyak jarak disini berfungsi untuk mengurangi sifat adhesive dari balsam
d. Ichtyolum
Penambahan ichtyolum ke dalam sediaan salep pada prinsipnya dikerjakan sama
dengan balsam peruvianum yaitu ditambah minyak jarak atau solid petroxolin sama banyak
dengan ichtyolum
e. Alkaloida-alkaloida
Ada beberapa teknik untuk menambahkan alkaloida-alkaloida dalam sediaan salep
- Garam-garam alkaloida dilarutkan dalam sedikit mungkin air dan dimasukkan
ke dalam dasar salep. Jika dasar salep tersebut mengandung adeps lanae maka
akan terbentuk suatu emulsi air dalam minyak, namun bila airnya menguap

70
garam alkaloida tersebut akan memisah atau mengkristal kembali. Penguapan
air dapat dicegah dengan menyerahkan salep tersebut di dalam kemasan tube.
- Alkaloida basa dilarutkan dalam dasar salep lemak dengan pertolongan
pemanasan lemah. Namun dengan pemanasan alkaloida mungkin akan terurai
atau membentuk suatu larutan jenuh yang pada pendinginan dapat mengkristal
- Garam alkaloida yang telah diserbuk halus ditambahkan ke dalam dasar salep
dengan menggerusnya dalam mortir. Tetapi dengan cara ini tidak selalu
didapat sediaan salep yang bebas dari partikel-partikel kasar.
f. Larutan-larutan Alkohol
Sebagian besar dasar salep sukar menyerap larutan beralkohol. Jika jumlah larutan
beralkohol terlalu besar, maka cara pencampurannya dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu :
- Bahan aktifnya tahan pemanasan dan tidak mudah menguap di atas penangas
air. Dalam hal ini, larutan tersebut diuapkan di atas penangas air sambil diaduk
sampai ½-¼ kali beratnya dan kemudian dicampur dengan dasar salep. Cairan
yang menguap diganti dengan dasr salep dalam jumlah yang sama. Contoh
bahan obat dalam jenis ini adalah tinct. Opii dan Tinct. Ratanhiae.
- Bahan aktif akan terurai oleh pemanasan atau mudah menguap. Dalam hal ini
dapat dibagi dalam 2 kelompok :
a. Komposisi larutan alcohol tersebut diketahui secara kuantitatif dan
kualitatif, maka diambil bahan aktifnya saja dan dicampurkan dengan
dasar salep. Cairan yang tidak digunakan diganti dengan dasar salep.
Contoh : Solutio Camphorae Spirituosa, solution Iodii Spirituosa
b. Komposisi larutan tidak diketahui sehingga tidak dapat diganti
dengan komponen-komponennya. Caranya adalah larutan alkohol
ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam dasar salep dan diaduk
sampai homogen. Jika jumlah larutan alkohol tersebut terlalu banyak
sehingga dapat diserap oleh dasar salep, maka terpaksa harus
diuapkan sebagian. Penguapan hendaknya dilakukan pada suhu
serendah mungkin. Contoh ; Tinct. Opii Crocata, Tinct. Myrrhae,
Tinct. Benzoas, Liquor Carbonis detergens.
g. Iodium
Iodium tidak larut dalam air tetapi mudah larut dalam eter. Jika iodium dilarutkan
dalam eter dan ditambahkan ke dalam dasar salep, pada penyimpanan iodium dapat
mengkristal kembali. Selain itu iodium cepat berikatan dengan lemak. Cara penambahan

71
iodium sebaiknya dilakukan dengan melarutkan iodium dalam larutan kalium iodide pekat,
sesuai dengan unguentum iodii Ned Farmakopeia V. Dengan cara ini, iodium lebih lambat
berikatan dengan lemak daripada jika dilarutkan atau digerus halus dengan eter. Iodium dapat
bereaksi dengan logam-logan dan senyawa-senyawa organic.
h. Argentum proteinatum (Protargol)
Protargol dilarutkan terlebih dahulu dengan cara ditaburkan di atas penangas air
dengan jumlah yang sama dan dibiarkan selama 15 menit di tempat gelap. Kemudian digerus
dengan dasar salep. Jika salep mengandung gliserin maka protargol dapat digerus dengan
sedikit gliserin.

7.2.5.2. Metode Peleburan


Metode ini biasanya digunakan untuk :
1. membuat salep yang terdiri dari beberapa dasar salep dengan berat molekul besar
misalnya parafin, alkohol stearat dan polietilen glikol. Campuran dasar salep ini
dilelehkan bersama-sama, didinginkan dan diaduk sampai membeku.
2. Salep yang terdiri dari dasar (basis) salep yang memiliki perbedaan titik lebur yang
besar. Dimana basis dengan titik lebur yang tinggi dilelehkan terlebih dahulu
kemudian basis yang memiliki titik lebur yang rendah ditambahkan ke dalam lelehan
tersebut. Jika kedua basis ini dilelehkan pada waktu yang bersamaan maka akan
memerlukan waktu yang lama.
3. Salep yang dibuat dengan basis salep yang berbentuk emulsi misalnya cold cream.
Pada salep jenis ini dilakukan proses pelelehan terlebih dahulu kemudian dilanjutkan
dengan proses emulsifikasi
4. Salep dengan basis salep yang tidak dapat campur dengan air. Pada salep jenis ini
dasar salep dicairkan bersama di atas penangas air pada suhu 70-750C.
5. Salep dengan basis yang larut dalam air. Basis salep yang larut dalam air ini dicampur
dengan air yang tercantum di dalam resep kemudian dipanaskan di atas penangas air
sesuai dengan suhu komponen berlemak. Kemudian lelehan komponen yang yang
larut air ini ditambahkan secara perlahan dengan pengadukan yang konstan ke dalam
lelehan komponen berlemak dan temperatur dipertahankan selama 5-10 menit untuk
menghindari kristalisasi setempat dan kemudian campuran perlahan-lahan didinginkan
dengan pengadukan secara terus menerus sampai campuran membeku.

72
7.2.5.3. Metode Reaksi Kimia
Pembuatan salep dengan metode ini juga melibatkan baik pencampuran secara
mekanik maupun peleburan. Pada metode ini dihasilkan senyawa baru yang merupakan hasil
reaksi dari bahan-bahan yang digunakan untuk membuat salep. Contoh salep yang dihasilkan
melalui metode ini adalah salep air bunga mawar dan salep merkuri nitrat.

7.2.6. PENGAWETAN SALEP


Sediaan farmasi setengah padat menggunakan dasar salep yang mengandung atau
menahan air, dimana air ini merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Oleh
sebab itu dalam formulasinya, sediaan salep memerlukan tambahan bahan pengawet sebagai
antimikroba. Pengawet yang pada umumnya dipakai adalah hidroksibenzoat, fenol-fenol,
asam bensoat, asam sorbat, garam ammonium kuartener dan campuran lainnya.
7.2.7. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SALEP
a. Dapat dikemas dalam botol gelas yang tidak berwarna, warna hijau, amber atau
biru atau buram, botol plastik, tube dan porselin putih.
b. Wadah dari gelas dan berwarna berguna untuk salep yang mengandung obat yang
peka cahaya.
c. Tube dibuat dari kaleng atu plastik, sering dilengkapi dengan alat bantu khusus
untuk pemakaian pada rektum, vagina, mata, telinga atau hidung. Tube untuk
pemakaian topikal berukuran 5-30 g.
d. Salep disimpan pada temperatur di bawah 30 0C untuk mencegah melembeknya
salep apabila basis yang digunakan dapat menyerap air.

7.3. KRIM (CREAM)


Krim (cream) didefinisikan sebagai sediaan setengah padat mengandung satu atau
lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuia, berupa emulsi kental
mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada
dua yaitu tipe air dalam minyak (A/M) dan krim minyak dalam air (M/A). Krim biasanya
digunakan sebagai emollient atau pemakaian obat pada kulit.
Krim memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan salep dimana krim mudah
menyebar secara merata karena memiliki kosistensi lebih rendah. Disamping itu krim tipe
emulsi minyak dalam air lebih mudah dibersihkan dibandingkan dengan sediaan salep.
Krim dikemas dan diawetkan dengan cara yang sama seperti pengemasan dan
pengawetan sediaan salep.

73
7.4. PASTA
Pasta adalah sediaan semipadat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang
ditujukan untuk pemakaian topikal. Secara umum persentase bahan padat lebih besar
dibandingkan dengan salep sehingga pasta lebih kental dan kaku jika dibandingkan dengan
salep.
Sifat pasta keras dan absorptif, maka setelah pemakaian akan meninggalkan bekas
atau kotoran di tempat aplikasi. Pasta lebih cocok digunakan untuk luka akut yang cenderung
mengeras, menggelembung dan mengeluarkan darah. Akan tetapi karena sifatnya yang kaku
dan sukar ditembus maka pasta pada umumnya tidak sesuai untuk pemakaian pada bagian
tubuh yang berbulu.
Contoh pasta yang sering digunakan sekarang ini adalah pasta gigi triamsinolon
asetonid yaitu preparat antiinflamasi yang dipakai secara topical pada mukosa di selaput
mulut dan pasta zink oksida.
Pasta Zink Oksida
Pasta zink oksida merupakan sediaan yang padat, kaku yang tidak meleleh pada suhu
tubuh. Pasta ini dibuat dengan cara menggerus dan kemudian mencampurkan zink oksida dan
amilum masing-masing 25% dengan vaselin putih. Pasta ini mampu mengabsorpsi uap air
lebih banyak dibandingkan dengan salep zink oksida dan digunakan sebagai astringen dan
pelindung.
Pasta Gigi Triamsinolon Asetonida
Pasta ini digunakan untuk pelekatan pada selaput lendir untuk memperoleh efek lokal.

7.5. GEL
Gel, kadang-kadang disebut Jeli, merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi
yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi
oleh suatu cairan. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau
dimasukkan ke dalam lubang tubuh.
Gel dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu :
1. Gel fase tunggal : terdiri dari makromolekul organic yang tersebar merata dalam suatu
cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang
terdispersi dalam cairan tersebut. Makromolekul yang sering digunakan untuk
membuat gel jenis ini adalah makromolekul sintetik (karbomer) atau gom alam
(tragakan). Sebagai fase pembawa dapat digunakan etanol atau minyak.
2. Gel dua fase : membentuk semipadat jika dibiarkan dan menjadi cair pada
pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu sebelum digunakan untuk menjamin

74
homogenitas. Jika ukuran partikel dari fase disperse relative besar, massa gel kadang-
kadang dinyatakan sebagai magma
Contoh-contoh Gel dan Magma
1. Magma Bentonit, NF
Merupakan suatu preparat yang terdiri dari 5% bentonit. Magma bentonit ini
dapat dibuat dengan cara mekanik dalam suatu blender dengan menambahkan bentonit
ke dalam air murni dimana mesin blender tetap berjalan. Disamping itu dapat dibuat
juga dengan cara menaburkan bentonit sedikit demi sedikit ke dalam air murni yang
panas, dan membiarkan tiap-tiap bagian menjadi basah dan merata tanpa pengadukan,
sebelum bagian lain ditambahkan. Dengan metode yang kedua ini, campuran harus
didiamkan selama 24 jam sebelum diaduk untuk memastikan hidrasi da
pengembangan dari bentonit telah sempurna. Magma bentonit digunakan sebagai
pensuspensi.
2. Gel Aluminium Hidroksida, USP
Merupakan suatu suspensi berair dari endapan seperti gelatin yang terdiri dari
aluminium hidroksida yang tidak larut dan aluminium oksida hidrat. Sebagai sumber
aluminium dari reaksi tersebut berasal dari aluminium klorida atau tawas alumina
yang menghasilkan endapan aluminium oksida dan aluminium hidroksida yang tidak
larut. Sediaan antasida ini kental, berwarna putih, yang efektif untuk menetralkan
jumlah tertentu dari asam lambung. Preparat ini harus disimpan dalam wadah tertutup
dan harus dihindari pembekuannya.

7.6. LINIMENTA
Linimenta umumnya adalah sediaan cair atau kental, mengandung analgetikum dan zat
yang mempunyai sifat melemaskan otot atau menghangatkan, digunakan sebagai obat luar.
Linimenta analgetik dan yang melemaskan otot digunakan dengan cara mengoleskan pada
kulit dengan menggunakan kain flannel panas, dan linimenta yang menghangatkan digunakan
pada kulit dengan cara mengoleskan sambil memijat dan mengurut.
Mamfaat linimenta antara lain :
1. Sebagai antipruritik (mengurangi gatal-gatal)
Obat yang digunakan misalnya mentol 0,25%, fenol 0,5%, dan champor 2,0%.
2. Sebagai keratoplastik (mempertebal lapisan tanduk kulit)
Obat yang digunakan misalnya asam salisilat 1-2%
3. Sebagai keratolitik (melunakkan lapisan tanduk kulit)
Obat yang digunakan misalnya asam salisilat 4-10%, resorsinol 2-4%, sulfur 4-10%

75
4. Sebagai anti eksim
Obat yang digunkan misalnya larutan asam borat 2%, hidrokortison asetat 0,5-1%
5. Sebagai antiparasit
Obat yang digunakan misalnya sulfur, benzilalkohol 10-30%
6. Sebagai antibakteri dan antifungi
Obat yang digunakan misalnya basitrasin 500U/g, tetrasiklin HCl 3%, kloramfenikol
2-3%, nistatin 100.000 U/g
7. Sebagai antiseborrheic (mengurangi pelepasan sebum yang berlebihan)
Obat yang digunakan resorsinol, asam salisilat dan sulfur
Beberapa Contoh Sediaan Linimenta Beserta Cara Pembuatannya
1. Linimentum Ammoniae
Linimenta ini terbuat dari oleum sesami (minyak wijen), asam oleat gubal dan
ammonia cair. Minyak wijen mengandung asam lemak bebas yang terbatas dimana dengan
penambahan ammonia cair tidak cukup untuk membentuk emulsi sehingga perlu penambahan
asam oleat gubal. Jika pada linimenta ini ditambahkan zat tertentu maka zat-zat ini dilarutkan
terlebih dahulu ke dalam minyak wijen. Sedangkan jika asam salisilat atau asam bensoat
ditambahkan dalam formula maka asam-asam ini dilarutkan ke dalam ammonia tetapi perlu
diingat bahwa sisa ammonia harus cukup untuk membentuk emulsi, jika tidak maka asam-
asam ini harus diganti dengan bentuk garam amoniumnya.
2. Linimentum Calcis
Dibuat dengan mengemulsikan oleum olivarum (minyak zaitun) dan air kapur dalam
jumlah yang sama melalui penggojogan. Jika bahan obat yang akan ditambahkan larut dalam
minyak maka obat-obat ini harus dilarutkan atau digerus terlebih dahulu di dalam minyak.
Jika ditambahkan seng oksida, cara di atas dapat dilakukan tetapi setelah seng oksida
digerus dengan minyak zaitun maka penambahan air kapur harus dilakukan secepatnya agar
tidak terjadi pemisahan. Cara terbaik untuk menyiapkan sediaan ini adalah dengan melarutkan
seng oksida dengan air kapur dan ke dalamnya langsung ditambahkan minyak zaitun. Pada
waktu pengadukan, dengan cepat akan terbentuk massa yang konsistennya mirip dengan
salep, tetapi pengdukan ini tidak boleh berlebihan karena akan terjadi pemisahan. Cara kerja
ini dapat pula digunakan pada oleum lini (minyak cat)
3. Lotio Kummerfeldi
Langkah pertama adalah menghaluskan kamfer dengan bantuan eter. Setelah itu di
dalam mortir disiapkan musilago gummi arabicum sesuai yang tertera di dalam resep. Ke
dalam musilago ini ditambahkan aqua rosa kemudian sulfur praesipitum, setelah homogen
baru ditambahkan kamfer dan zat-zat tambahan lain yang terdapat di dalam resep. Untuk

76
memudahkan memasukkan lotio kummerfeldi ini ke dalam botol maka dilakukan
penambahan sisa aqua rosa. Setelah lotio dikemas di dalam botol maka dilakukan
penambahan aqua calcis dimana aqua ini tidak ditambahkan sebelum sediaan dikemas di
dalam botol karena dikhawatirkan dapat mengikat karbondioksida dari udara.

BAB VIII
SEDIAAN SEMISOLID
SUPOSITORIA

Tujuan Instruksional Umum :


Setelah selesai membahas dan mendiskusikan pokok bahasan ini, mahasiswa semester II
Jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menerapkan cara pembuatan sediaan semisolid :
suppositoria, sesuai dengan standar pelayanan profesi Farmasi

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan suppositoria yang baik dan benar
sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope Indonesia

8.1. PENDAHULUAN
Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara
memasukkannya melalaui lubang atau celah pada tubuh, dimana sediaan ini akan melebur,
melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik. Supositoria umumnya
dimasukkan melalui rectum, vagina kadang-kadang melalui saluran urin dan jarang melalui
telinga dan hidung. Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan
mudah dimasukkan ke dalam lubang tanpa menimbulkan kejangalan dan penggelembungan
begitu masuk, harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu. Supositoria untuk rectum
umumnya dimasukkan dengan jari tangan, tetapi untuk vagina khususnya vaginal insert dapat
dimasukkan dengan bantuan alat khusus.

77
Pada umumnya supositoria rektum panjangnya ±32 mm, berbentuk silinder dan kedua
ujungnya tajam. Beberapa supositoria untuk rektum diantaranya ada yang berbentuk seperti
peluru, torpedo, atau jari-jari kecil tergantung pada bobot jenis bahan obat dan basis yang
digunakan. USP menetapkan berat untuk orang dewasa adalah 2 g jika basis yang digunakan
adalah oleum cacao. Sedangkan supositoria untuk bayi dan anak-anak ukuran dan beratnya ½
dari ukuran dan berat supositoria untuk orang dewasa. Supositoria untuk vagina (pessarium)
biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, dan bobotnya 5 g apabila basis yang
digunakan adalah oleum cacao. Supositoria untuk saluran urin (bougie) bentuknya ramping
seperti pensil. Supositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ±140
mm. Apabila basis yang digunakan adalah oleum cacao maka beratnya ± 4 g. Supositoria
untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria. Supositoria untuk
hidung dan telinga (kerucut telinga), keduanya berbentuk sama dengan supositoria saluran
urin hanya ukurannya panjangnya lebih kecil, biasanya ± 32 mm. Supositoria telinga baisanya
menggunakan basis gelatin yang mengandung gliserin.

8.2. ALASAN PEMBERIAN SUPPOSITORIA


a. Penderita tidak dapat menggunakan obat secara oral misalnya karena mengalami
gangguan pada saluran gastro intestinal, kondisi pasca operasi, mual-mual dan lain
sebagainya.
b. Kondisi penderita terlalu tua, terlalu muda atau mengalami kelainan mental
c. Menghindari penagruh enzim dalam saluran gastro intestinal untuk obat-obatan yang
peka terhadap enzim misalnya Na atau K bensil penisilinat
d. Obat-obatan yang tidak cukup stabil oleh pengaruh pH saluran gastro intestinal
e. Obat-oabatan yang mengalami “first pass metabolism”
f. Untuk obat-obat yang dapat mengiritasi lambung, dapat diberikan bahkan dalam
bentuk konsentrasi tinggi misalnya sulfamid, aspirin dan fenil butason
g. Obat dengan rasa atau bau tidak enak misalnya kreosot
h. Obat yang ditujukan untuk terapi lokal misalnya anestesi lokal

8.3. KEKURANGAN PEMAKAIAN SUPOSITORIA


a. Timbulnya rasa kurang enak saat digunakan, menimbulkan keengganan untuk
menggunakannya
b. Obat-obat tertentu absorpsinya lambat atau tidak sempurna
c. Saat diproduksi dalam skala besar timbul problema stabilitas

78
8.4. SASARAN TERAPI SUPOSITORIA
1. Efek Lokal
Begitu diamasukkan basis supositoria akan meleleh, melunak atau melarut
menyebarkan bahan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut.
Supostoria rectal dimaksudkan untuk kerja local dan paling sering digunakan untuk
menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal, dan radang sehubungan
dengan wasir atau kondisi anorektal lainnya. Supositoria vaginal yang dimaksudkan
untuk efek local digunakan terutama sebagai antiseptic pada hygiene wanita dan
sebagai zat khusus untuk mengatasi bakteri pathogen. Supositoria uretra bisa
digunakan sebagai antibakteri dan sebagai anestesi lokal untuk pengujian uretral.
2. Efek Sistemik
Bahan obat yang diabsorpsi melalui system rectal dan memberikan efek sistemik
misalnya sulfonamide, obat diuretic (merkuri), golongan sedative (berbiturat dan
kloral hidrat), analgesic (opium dan dihidromorfin), antispalsmodik (aminofilin), dan
penisilin. Cara pemberian obat dalam bentuk supositoria dengan efek sistemik ini
sangat cocok untuk obat-obatan yang tidak bisa digunakan secara oral baik karena
pasien merasa mual dan ingin muntah maupun karena obat tersebut ditujukan untuk
memberikan efek bertahap dalam jangka waktu yang panjang.

8.5. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT


A. Faktor Fisiologi
1. Kandungan kolon
2. Jalur sirkulasi
3. pH dan tidak adanya kemapuan mendapar dari cairan rectum
B. Faktor Fisika Kimia dari Obat dan Basis Supositoria
1. Kelarutan lemak-air
2. Ukuran partikel
3. Sifat basis

8.6. DASAR (BASIS) SUPOSITORIA


Secara ideal basis supositoria memiliki sifat :
1. Selalu padat dalam suhu ruangan tetapi akan melunak, melebur atau melarut dengan
mudah pada suhu tubuh.
2. Secara fisiologis inert (tidak memberikan efek) kecuali bila dimaksudkan untuk laxatif

79
3. Tidak toksik dan tidak mengiritasi
4. Stabil dalam penyimpanan
5. Dapat bercampur dengan bahan obatnya
6. Pada pembuatan dengan metode pelelehan ataupun cetak tekan dapat menghasilkan
bentuk yang baik dan tidak menempel pada dinding cetakan
7. Untuk efek lokal harus dapat membebaskan obatnya dengan cepat dan sebanyak
mungkin untuk keperluan absorpsi obat
8. Untu efek sistemik, basis harus dapat membebaskan obat secara lambat agar dapat
memberikan efek dalam jangka waktu yang panjang
Golongan basis ada 3 :
1. Basis berupa lemak (fatty/oleaginous bases)
2. Basis yang larut dalam air (water soluble bases)
3. Basis yang dapat membentuk emulsi (emulsifying bases)
1. Basis berupa lemak (fatty/oleaginous bases)
a. Memenuhi sebagian syarat basis yang ideal
b. Kejelekannya memiliki bentuk polimorphi
c. Contohnya : oleum cacao, glyceryl ester dari asam sterat, asam oleat, asam palmitat dan
asam-asam lainnya
Oleum Cacao
Oleum cacao merupakan bahan lemak campuran asam lemak jenuh dan tidak jenuh
hasil penekanan panas Theobroma cacao. Kandungan utamanya adalah asam lemak tak jenuh
terutama asam oleat. Oleum cacao merupakan basis yang paling banyak digunakan untuk
supositoria rektum sampai saat ini meskipun beberapa toleransi masalah saat diformulasikan
misalnya :
a. Oleum cacao mudah mencair saat digunakan dimana titik leburnya 300 -350 C
b. Suhu peleburan sangat dipengaruhi oleh macam bahan aktif
c. Kecepatan kristalisasinya lamabat, maka menyulitkan untuk penyesuaian dengan
formula selanjutnya
Beberapa keuntungan oleum cacao :
a. Mempunyai karakter pelelehan yang baik dan dapat membebaskan dengan mudah
zat aktif di dalam rectum
b. Tidak mengiritasi dan dapat dipakai untuk pengobatan iritasi lokal misalnya anti
hemoroid
c. Dapat melepaskan obat secara cepat dengan cara meleleh
Beberapa kerugian oleum cacao adalah :

80
a. Tidak dapat bercampur dengan cairan tubuh sehingga pelepasan obat yang bersifat
lipofilik menjadi terhambat
b. Relatif mudah teroksidasi karena 30% kandungannya berupa asam lemah tak jenuh
c. Mempunyai waktu pemadatan yang lama sehingga bahan obat cenderung mengalami
pengendapan. Oleum cacao tidak dapat dipakai sebagai basis untuk pembuatan
supositoria yang dibutuhkan cepat
d. Untuk bahan yang tidak larut, supositoria yang dihasilkan mungkin tidak homogen
e. Oleum cacao memiliki sifat polimorfi yang berbeda dengan suhu lebur yang berbeda.
Hal ini disebabkan karena oleum cacao terdiri dari trigliserida asam lemak tak jenuh
f. Adanya trigleserida juga menyebabkan oleum cacao memiliki kemampuan menyerap
air yang rendah. Untuk memperbaiki penyerapan air maka ditambah dengan sejumlah
tertentu cera

2. Basis yang larut dalam air (water soluble bases)


a. Gelatin gliserin
- sering digunakan untuk membuat pesarium dan bougie
- kemampuan melunak lebih rendah jika dibandingkan dengan oleum cacao sehingga
waktu pelepasan obatnya lebih lama
- sifat gelatin yang higroskopis menyebabkan basis ini cenderung menyerap uap air
sehingga harus dilindungi dari udara lembab, disamping itu sifat higroskopis ini
akan menibulkan dehidrasi dan iritasi terhadap jaringan pada waktu penggunaannya
- dapat bercampur dengan penambahan ekstrak kental misalnya ekstrak beladone dan
opium
- digunakan untuk membuat supositoria yang mengandung asam borat, kloral hidrat,
iodoform dan bromida
b. Polietilen glikol
- merupakan polimer dari etilen oksida dan air
- Terdiri dari kelompok polietilen glikol dengan berat molekul antara 200-20.000
dengan suhu lebur 450 – 500 C
- polietilen glikol yang memiliki berat molekul rata-rata 200-700 berupa cairan bening
tidak berwarna
- polietilen glikol dengan berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih,
padat dan kepadatannya bertambah seiring dengan bertambahnya berat molekul rata-
rata

81
- basis ini tidak melebur ketika terkena suhu tubuh, tetapi perlahan-lahan melarut
dalam caitan tubuh.
- Banyak digunakan untuk supositoria dengan efek sistemik kecuali untuk obat-obatan
yang tidak stabil dengan adanya air
3. Basis yang dapat membentuk emulsi (emulsifying bases)
- pada umumnya berupa emulsi tipe air dalam minyak
- basis ini mempunyai kemampuan menahan air atau larutan berair dan kadang-kadang
digolongkan sebagai basis supositoria yang hidrofilik
- contohnya polioksil 40 stearat

8.7. PEMBUATAN SUPOSITORIA


Supositoria dibuat dengan 3 metode antara lain :
d. mencetak hasil leburan
e. kompresi
f. digulung dan dibentuk dengan tangan
a. Pembuatan dengan Cara Mencetak
Langkah-langkah dalam metode pencetakan :
1. Melebur basis
2. mencampurkan bahan obat ke dalam basis
3. menuang hasil leburan ke dalam cetakan
4. membiarkan leburan menjadi dingin dan memadat
5. melepaskan supositoria dari cetakan
6. menimbang supositoria yang dibuat
Cetakan Supositoria
Cetakan suposioria bahannya dari plastik, stainless steel, Aluminium. Volume atau
ukuran cetakan supositoria bermacam-macam. Cetakan dengan ukuran tertentu akan
memberikan berat supositoria yang berbeda tergantung basis yang digunakan hal ini
disebabkan karena perbedaan berat jenis bahan-bahan tersebut. Cetakan perlu dikalibrasi
dengan cara menggunakan basis yang umum dipakai misalnya PEG atau oleum cacao.
Cara melakukan kalibrasi cetakan :
- cetakan diisi dengan massa lelehan PEG atau oleum cacao
- didinginkan
- supositoria yang hanya terbuat dari basis ini dikeluarkan dari dalam cetakan
- supositoria kemudian dilebur dengan hati-hati di dalam gelas ukur dan akhirnya
diketahui volume cetakan.

82
Penetapan Jumlah Basis yang Diperlukan
Setelah melakukan kalibrasi cetakan supositoria seperti cara yang telah dikemukan di
atas maka volume total cetakan dapat diketahui. Dari sini volume basis yang dibutuhkan
dapat dihitung dengan mengurangi volume cetakan dengan volume bahan obat yang
digunakan. Jika penambahan bahan obat dalam jumlah yang kecil maka pengurangan ini
dapat diabaikan sebaliknya jika bahan obat yang ditambahkan dalam jumlah yang besar maka
jumlah ini harus diperhatikan dan digunakan untuk menghitung jumlah basis yang benar-
banar diperlukan untuk mengisi penuh cetakan. Pada umumnya basis yang digunakan
berwujud padat dalam suhu kamar maka untuk mengetahui jumlah basis yang harus
ditimbang maka perlu mengalikan volume basis yang diperlukan dengan berat jenisnya
sehingga berat basis dapat diketahui. Sebagai contoh 12 mL oleum cacao diperlukan untuk
mengisi penuh cetakan sedangkan volume bahan obat yang digunakan adalah 2,8 mL
sehingga volume oleum cacao yang diperlukan adalah 9,2 mL. Dengan mengalikan 9,2 mL
oleum cacao dengan berat jenisnya sebesar 086 g/mL maka didapat hasil 7,9 g oleum cacao.
Jumlah oleum cacao yang digunakan untuk membuat supositoria dapat dilihat dari
kesetaraannya dengan obat yang akan digunakan. Yang dimaksud dengan kesetaraan disini
adalah sejumlah obat yang menggantikan 1 bagian oleum cacao misalnya :
1. Aminophylin 1,5
2. Iodoform 4,0
3. Morfin HCl 1,5
Contoh ; buat 12 supositoria mengandung iodoform @ 0,750 g dimana satu buah supositoria
beratnya 3 g.
Penyelesain :
Jumlah iodoform untuk 12 buah supositoria = 12 x 0,750 g = 9 g
Kesetaraan oleum cacao dengan iodoform = 1 bagian oleum cacao digantikan oleh 4 bagian
iodoform sehingga jumlah oleum cacao yang digantikan oleh iodoform adalah ; ¼ x 9 g =
2,25 g
Jadi jumlah oleum cacao yang digunakan untuk membuat 12 supositoria adalah :
= (12 x 3 g) – 2,25 g = 33,75 g

Pembuatan supositoria yang mengandung zat-zat yang tidak larut dengan oleum cacao :
1. Lelehkan oleum cacao dalam cawan porselin di atas penangas air sampai 1/3-nya
meleleh
2. Cawan diangkat kemudian diaduk sampai oleum cacao meleleh semuanya

83
3. Obat atau serbuk yang akan ditambahkan digerus terlebih dahulu
4. Tuangkan lelehan basis ke dalam obat atau serbuk yang telah digerus kemudian
diaduk sampai didapat massa yang dapat dituang
5. Tuang campuran ke dalam cetakan dimana cetakan sudah diolesi dengan paraffin cair
terlebih dahulu
6. Diamkan sebenar kemudian masukkan ke dalam lemari es sampai membeku
7. Keluarkan supositoria dari dalam cetakan kemudian ditimbang
8. Jika kelebihan berat maka lakukan pemotongan pada bagian yang tumpul
Sebagai catatan semua bahan ditimbang sebanyak 1,5-2 kali dari jumlah bahan yang diminta.
Pembuatan supositoria yang mengandung zat-zat semisolid dengan basis oleum cacao
misalnya ekstrak-ekstrak kental dan Ichtyol. Pada dasarnya sama dengan cara di atas hanya
saja yang perlu diperhatikan :
1. Zat semisolid dilarutkan dengan air secukupnya
2. Ditambah dengan lelehan basisnya, diaduk sampai homogen sampai didapat massa
yang dapat dituang

Pembuatan supositoria yang mengandung zat cair dengan basis oleum cacao.
Penambahan minyak-minyak (cair) dapat menurunkan titik lebur oleum cacao. Batas
maksimal penambahan minyak-minyak ini adalah 10-15%. Jika penambahan diatas batas
maksimal ini maka untuk mengatasi melunaknya supositoria maka dalam pembuatannya
ditambahkan cera flava sebanyak 4-6%. Sedangkan penambahan zat-zat berair dan zat-zat cair
berspiritus sampai 20% ke dalam basis oleum cacao akan menyebabkan timbulnya emulsi.
Untuk mencegah hal ini maka sebaiknya zat-zat cait ini diuapkan terlebih dahulu. Cara
pembuatannya sama dengan cara yang sudah diutarakan di atas.
Pembuatan supositoria dengan basis gliserin gelatin
Contoh supositoria yang terdiri dari bahan obat, gliserin dan gelatin maka cara
pembuatannya dimulai dengan mengocok gliserin dan aquadest di dalam botol kemudian
ditambah dengan gelatin dan kocok kembali, setelah itu didiamkan 20 menit dan panaskan di
atas penangas air. Jika sudah meleleh maka campuran basis yang terdapat di dalam botol
dikocok kuat dan botol dibiarkan di penangas air sampai udaranya keluar. Bahan obat yang
telah dilarutkan di dalam air ditambahkan ke dalam botol, dikocok kembali sampai homogen
kemudian ditimbang sesuai dengan berat yang diinginkan dan dilakukan pencetakan.
Basis gliserin gelatin ini incompatible dengan asam tanat, asam galat dan FeCl 3.
Disamping itu perlu diingat bahwa basis yang digunakan untuk membuat supositoria ini
memiliki spesific gravity yang berbeda-beda dimana hal ini akan mempengaruhi jumlah basis

84
yang harus ditimbang untuk membuat supositoria. Telah ditetapkan bahwa specific gravity
untuk oleum cacao dan gliserin gelatin masing-masing 1,00 dan 1,5. Untuk mengetahui
berapa jumlah gliserin gelatin yang diperlukan untuk membentuk supositoria dapat dihitung
dengan cara mengalikan faktor 1,5 dengan kesetaraan obat-obat terhadap oleum cacao.

b. Pembuatan Dengan Cara Kompresi


Proses kompresi khusus untuk pembuatan supositoria yang mengandung bahan obat
yang tidak tahan pemanasan dan untuk supositoria yang mengandung sebagian besar bahan
yang tidak dapat larut dalam basis. Kelemahan cara ini adalah bahwa dibutuhkan mesin
khusus disamping itu bentuk supositoria terbatas pada cetakan yang dimiliki oleh mesin
tersebut.

8.6. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SUPOSITORIA


Supositoria dengan basis oleum cacao :
a. Dibungkus terpisah-pisah atau dipisahkan satu sama lain pada celah-celah dalam
suatu kotak tertentu untuk mencegah perekatan antar suposioria
b. Disimpan pada suhu dibawah 300 C dan akan lebih baik disimpan dalam lemari es
Supositoria dengan basis gliserin gelatin :
a. Dikemas dalam wadah gelas ditutup rapat untuk mencegah terjadinya perubahan
kelembaban supositoria
b. Disimpan pada suhu di bawah 350 C
c. Jika supositoria disimpan untuk jangka waktu yang lama dapat ditambahkan
kombinasi pengawet 0,1% metal paraben dan 0,03% propel paraben
Supositoria dengan kandungan obat yang tinggi biasanya dikemas satu per satu dalam
bahan yang tidak tembus cahaya misalnya dalam lembaran metal (alufoil). Di perdagangan
ada juga supositoria yang dikemas dalam strip kontinu berisi supositoria yang dipisahkan
dengan merobek lubang-lubang yang terdapat di antara supositoria tersebut. Khusus untuk
supositoria dengan basis polietilen glikol dapat disimpan dalam suhu ruangan biasa tanpa
pendinginan.

85
BAB IX
SEDIAAN CAIR

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM :


Setelah selesai membahas & mendiskusikan pokok bahasan ini, mahasiswa semester II
Jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menerapkan cara pembuatan sediaan Cair :
larutan, emulsi, suspensi, obat tetes, dan eliksir, sesuai dengan standard pelayanan
profesi Farmasi ( C3 )
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
1. Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan sediaan larutan, sirup, eliksir, saturasi
dan netralisasi yang baik dan benar sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope
Indonesia ( C3 )
2. Mahasiswa dapat menerapkan cara pembuatan suspensi, emulsi, dan obat tetes yang
baik dan benar sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope Indonesia ( C3 )

VI.1. LARUTAN
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, larutan merupakan sediaan cair yang
mengandung satu atau lebih zat kimia terlarut, kecuali dinyatakan lain, pelarut yang
digunakan adalah air suling. Dari definisi tersebut diperoleh gambaran bahwa, larutan
merupakan campuran homogen dari zat-zat kimia terlarut yang dilarutkan dalam pelarut.
Berdasarkan prinsip tersebut, ada beberapa jenis produk yang dapat digolongkan dalam
larutan misalnya: larutan obat-obat yang larut dalam air dan mengandung gula digolongkan
sebagai sirup, larutan yang mengandung hidroalkohol (kombinasi air dan etil alkohol) dan
gula digolongkan sebagai eliksir, larutan yang mengandung bahan-bahan berbau harum

86
dengan pelarut alkohol digolongkan sebagai spirit dan larutan yang mengandung bahan-bahan
berbau harum dengan pelarut air digolongkan sebagai air aromatik. Mixtura juga merupakan
larutan. Tidak ada perbedaan prinsip antara larutan dan mixtura. Sediaan yang mengandung 1
(satu) macam zat terlarut (solute) disebut larutan dan sediaan ynag mengandung lebih dari 1
(satu) macam zat terlarut (solute) disebut mixtura.
Selain itu, berdasarkan tempat penggunaannya, larutan dibedakan menjadi larutan
topikal, larutan oral dan larutan parenteral. Larutan topikal merupakan sediaan cair yang
berupa campuran homogen dengan pelarut air dan sering kali juga menggunakan kosolvent
seperti alkohol dan pelarut organik. Beberapa contoh larutan topikal yang sering digunakan
adalah Larutan topikal aluminium sulfat (Liquor Burowi) dan Larutan topikal kapur tohor
(Liquor Calcis). Larutan oral merupakan sediaan cair yang berupa campuran homogen dan
digunakan sebagai obat dalam. Larutan parenteral merupakan larutan yang dibuat dalam
kondisi steril dan bebas pirogen yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral. Jenis
larutan yang dibahas pada bab ini adalah larutan oral.
CONTOH LARUTAN ORAL :
LARUTAN (SOLUTIONES)
Bentuk sediaan larutan memberikan beberapa keuntungan, antara lain:
1. Larutan merupakan campuran homogen sehingga memberikan jaminan keseragaman
dosis
2. Aksinya cepat
3. Pemakaiannya mudah terutama pada anak-anak
4. Dosis mudah diubah-ubah / Penyesuaian dosis mudah
5. Mudah diberi pemanis (corringen saporis), pewarna (corringen coloris) dan bau-
bauan (corringen odoris) sehingga cocok untuk anak-anak yang sukar menelan kapsul
atau tablet.
Disamping beberapa keuntungan tersebut, sediaan larutan juga memiliki kelemahan, antara
lain:
1. Banyak obat yang tidak stabil dalam bentuk larutan
2. Bentuk larutan, volumenya lebih besar
3. Beberapa obat yang memiliki rasa tidak enak, sukar ditutupi dalam bentuk sediaan
larutan.
Untuk mengatasi kelemahan yang pertama, ada beberapa obat misalnya antibiotika dibuat
dalam bentuk campuran bubuk kering untuk larutan. Campuran kering untuk larutan
merupakan bahan-bahan obat yang mempunyai stabilitas kurang baik apabila dibuat dalam
larutan berair terutama untuk antibiotika tertentu sehingga industri farmasi mengemas sebagai

87
campuran kering bahan obat yang nantinya akan diracik oleh Farmasis segera sebelum
diserahkan kapada pasien. Campuran kering bahan obat sudah mengandung obat, penambah
rasa, penambah warna, dapar dan lain-lain, kecuali pelarut. Setelah diracik oleh Farmasis,
biasanya larutan yang dihasilkan akan stabil selama 7-14 hari. Periode waktu ini biasanya
sudah cukup bagi pasien untuk menghabiskan obatnya. Seandainya masih ada sisa obat
setelah 14 hari, pasien dianjurkan untuk membuang sisa obat tersebut. Beberapa campuran
kering bahan obat yang dimaksudkan untuk dijadikan larutan oral antara lain, Penisilin G
untuk larutan oral, Penisilin V untuk larutan oral dan Oxacillin Sodium untuk larutan oral.
Larutan memiliki 2 (dua) komponen pokok yaitu pelarut (solvent) dan zat terlarut
(solute). Pelarut yang umum digunakan adalah air, selain itu pelarut dapat berupa gliserol,
alkohol, dan propilenglikol. Gliserol merupakan cairan kental dan manis dapat bercampur
dengan air dan alkohol, dapat digunakan sebagai stabilizer dan preservative (pengawet).
Kadang-kadang pelarut yang digunakan adalah kombinasi pelarut, misalnya propilen glikol -
air, dan gliserol – alkohol - air. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih
pelarut adalah:
1. Tidak toksik atau toksisitas rendah
2. Viskositas. Untuk membuat sediaan tertentu, viskositas perlu dipertimbangkan,
misalnya pada sediaan obat tetes telinga, jika viskositas larutan obat tetes tersebut sama
dengan air maka larutan akan cepat keluar sehingga perlu digunakan pelarut yang agak
kental seperti gliserol untuk mempertahankan kontak dengan bagian yang diobati dan
menyerap air yang menyebabkan infeksi telinga.
3. Ekonomis
4. Kompatibilitas (kecocokan dengan bahan-bahan obat yang lain)
5. Rasa, bau dan warna.
Dalam pembuatan larutan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pelarutan,
antara lain:
1. Suhu
Sebagian besar bahan obat, kelarutannya dalam pelarut akan meningkat pada suhu
yang lebih besar. Hanya sebagian kecil bahan obat yang kelarutannya dalam pelarut
menurun dengan meningkatnya suhu.
2. pH
Obat-obat yang berupa basa lemah seperti: codein, procain, atropin, tidak begitu larut
dalam air tetapi dapat larut dalam asam encer.
3. Ukuran partikel

88
Semakin halus partikel obat, semakin luas permukaan partikel obat tersebut sehingga
kesempatan untuk kontak dengan pelarut semakin besar dan hasilnya proses pelarutan
semakin cepat.
4. Pangadukan
Dengan pengadukan yang semakin kuat maka semakin banyak pelarut tidak jenuh
yang bersentuhan dengan bahan obat sehingga proses pelarutan lebih cepat.
Sehingga dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa: proses pelarutan solute di dalam
solvent dapat dipercepat dengan cara:
1. Pemanasan, tetapi pemanasan dihindari untuk senyawa-senyawa obat yang mudah
terurai oleh panas atau kelarutannya menurun dengan adanya pemanasan. Senyawa-
senyawa obat yang mudah terurai oleh panas, antara lain: Luminal Na, Veronal Na,
Hexamin, dan Chloralhidras. Luminal Na meskipun tidak dipanaskan, juga mudah
terurai dalam larutan sehingga yang dipakai biasanya bukan bentuk garam tetapi
bentuk basanya.
2. Pengurangan ukuran partikel solute, dimana serbuk bahan obat dihaluskan atau
digerus sehingga luas permukaan solute yang berhadapan dengan solvent lebih besar.
3. Menggunakan pengadukan yang kuat selama mempersiapkan larutan sehingga terjadi
sirkulasi kontinu dari pelarut segar ke permukaan serbuk obat.
Beberapa pedoman dalam melarutkan zat adalah:
1. Zat yang mudah larut, langsung dilarutkan dalam botol
2. Zat yang agak sukar larut, dilarutkan dengan pemanasan
3. Untuk zat yang dapat membentuk hidrat misalnya Na bromidum, maka air atau pelarut
lain dimasukkan terlebih dahulu kedalam erlenmeyer agar tidak terbentuk senyawa hidrat
yang lebih sukar larut
4. Zat yang mudah terurai oleh panas misalnya hexamine, dilarutkan dengan secara
dingin
5. Zat yang mudah menguap bila dipanaskan misalnya champora, asam salisilat, asam
benzoat, dilarutkan dalam botol tertutup dengan pemanasan serendah-rendahnya sambil
digoyang-goyangkan
6. Obat-obat keras harus dilarutkan tersendiri sampai benar-benar semua obat dapat larut.
Contoh resep larutan (solutio)
Solutio Lugoli
R/ Iodium 1
Kalii Iodidum 2
Aqua ad 50

89
Cara pembuatan:
Kalii Iodidum (KI) dilarutkan dengan sedikit air, ditambahkan Iodium. Setelah larut
kemudian diencerkan dengan sisa air. Iodidum sukar larut dalam air, dan dalam resep ini KI
berfungsi untuk memudahkan kelarutan Iodidum dalam air.

SIRUP
Sirup adalah sediaan cair berupa larutan yang mengandung sakarosa, dengan atau
tanpa penambahan bahan pewangi dan bahan obat. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III,
kecuali dinyatakan lain, kadar sakarosa (C12H22O11) tidak kurang dari 64.0% dan tidak lebih
dari 66,0%. Sirup merupakan sediaan yang sesuai untuk menutupi rasa obat yang pahit,
terutama untuk mengatasi keengganan minum obat pada anak-anak. Ada 2 (dua) jenis sirup
yaitu sirup bukan obat atau sirup pembawa dan sirup obat. Sirup pembawa atau sirup bukan
obat merupakan sediaan sirup yang mengandung zat tambahan seperti pewangi, pewarna,
penambah rasa tetapi tidak mengandung bahan obat. Sirup pembawa ini dimaksudkan sebagai
pembawa untuk menutupi rasa pahit dari bahan obat yang ditambahkan dalam peracikan resep
sediaan sirup atau dalam pembuatan formulasi standar untuk sirup obat. Beberapa contoh
sirup pembawa adalah sirup akasia, sirup coklat, sirup cerry, sirup simpleks, dan sirup jeruk.
Sirup obat (medicated syrup) merupakan sirup yang mengandung bahan obat, misalnya Pamol
syrup yang mengandung parasetamol, Sudafed syrup yang mengandung Pseudoefedrin HCl
dan sirup Piperazin sitrat.
Selain mengandung air murni dan obat, komponen yang sering ditambahkan dalam
sediaan sirup adalah:
1. Penambah rasa (corrigen saporis), menggunakan pemberi rasa buatan atau bahan-
bahan yang berasal dari alam seperti minyak jeruk, vanilin, mint dan cerry. Karena sirup
merupakan sediaan cair, pemberi rasa harus memiliki kelarutan yang cukup baik dalam
air.
2. Pemberi aroma (corrigen odoris), biasanya menggunakan bahan-bahan alam seperti
minyak menguap (minyak jeruk).
3. Pemberi warna (corrigen coloris). Umumnya zat warna yang digunakan berhubungan
dengan pemberi rasa yang digunakan, misalnya warna hijau untuk rasa mint/permen,
kuning untuk rasa jeruk, dan merah untuk rasa cerry. Pewarna yang digunakan harus larut
dalam air, tidak bereaksi dengan komponen lain dalam sirup dan stabil pada kisaran pH
sediaan sirup.
4. Pengawet antimikroba (preservatives). Jumlah pengawet yang dibutuhkan untuk
sediaan sirup berbeda-beda tergantung pada banyaknya air yang digunakan dalam sediaan,

90
sifat dan aktivitas sebagai pengawet dari pemberi aroma dan pemberi rasa yang digunakan
dalam sediaan serta kemampuan dari pengawet yang digunakan. Alkohol mempunyai
aktivitas sebagai preservatives pada kadar 15-20%. Pengawet yang biasa digunakan dalam
sediaan sirup adalah asam benzoat 0,1-0,2%, Natrium benzoat 0,1-0,2% dan campuran
metil-propil-butil paraben dengan kadar total 0,1%.
Berdasarkan sifat fisika dan kimia bahan-bahan obat, ada 4 (empat) macam cara
pembuatan sirup yaitu:
1. Melarutkan bahan-bahan dengan bantuan panas
Metode ini digunakan apabila diinginkan untuk membuat sediaan sirup dalam waktu
singkat atau cepat dan apabila komponen-komponen sirup tidak rusak oleh pemanasan.
Pada cara ini, gula ditambahkan dalam aquadest dan panas digunakan sampai terbentuk
larutan gula. Apabila komponen-komponen sirup lainnya tidak tahan panas, seperti
minyak menguap penambah rasa dan alkohol, maka komponen tersebut harus
ditambahkan pada larutan gula setelah larutan tersebut didinginkan sampai temperatur
ruang.
Perlu diperhatikan juga bahwa untuk membuat larutan dengan bantuan pemanasan,
panas yang digunakan tidak boleh berlebihan. Dengan pemanasan berlebihan, sukrosa
yang merupakan suatu disakarida akan terurai menjadi monosakarida yaitu glukosa
(dekstrosa) dan fruktosa (levulosa). Kombinasi kedua komponen monosakarida ini disebut
gula invert. Reaksi hidrolisis disakarida menjadi monosakarida disebut inversi. Kecepatan
inversi meningkat apabila terdapat katalisator reaksi seperti asam dan ion hidrogen.
Apabila terjadi peristiwa inversi, maka kemanisan sirup berubah, karena gula invert lebih
manis daripada sukrosa dan warna sirup akan bertambah gelap karena efek panas pada
bagian levulosa dari gula invert. Apabila larutan gula dipanaskan sangat berlebihan, maka
sirup akan berwarna kuning coklat karena terbentuknya karamel dari sukrosa. Oleh karena
itu, sirup tidak dapat disterilkan dengan autoklaf karena kemungkinan terjadi peruraian
oleh panas. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan air murni yang sudah
dididihkan dan penambahan zat pengawet.
Beberapa sediaan sirup yang dibuat dengan bantuan pemanasan adalah sirup akasia
dan sirup coklat. Sirup akasia mengandung serbuk akasia 10%, sukrosa 80%, asam
benzoat 0,1%, tingtur vanili 0,5% dan aquadest. Serbuk akasia dibuat dengan
memanaskan campuran akasia, sukrosa dan asam benzoat sampai terbentuk larutan,
kemudian didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan tingtur vanili. Sirup coklat
merupakan suspensi bubuk coklat dengan pembawa air dan dimaniskan dengan
penambahan sukrosa, glukosa cair dan gliserin serta diberi penambah rasa dengan vanili.

91
Bubuk coklat tidak larut dalam air sehingga sirup yang dihasilkan tidak jernih tetapi mirip
seperti suspensi. Viskositas yang dihasilkan dengan penambahan sukrosa, glukosa cair
dan gliserin mencegah pengendapan cepat partikel-partikel tersuspensi.

2. Melarutkan bahan-bahan dengan pengadukan tanpa bantuan panas


Metode ini digunakan untuk menghindari penggunaan panas yang dapat menyebabkan
inversi sukrosa dan juga digunakan apabila komponen-komponen tidak tahan terhadap
pemanasan, tetapi pembuatan sediaan sirup dengan cara ini memerlukan waktu yang lebih
lama daripada dengan pemanasan. Pada metode ini, sukrosa dan komponen sirup yang
lain dapat dilarutkan dalam pembawa dengan menempatkan campuran tersebut dalam
botol yang kapasitas atau volumenya lebih besar dari volume sirup yang akan dibuat
sehingga memungkinkan proses pengadukan lebih optimal. Apabila terdapat zat padat
yang ingin ditambahkan kedalam sirup, sebaiknya zat padat tersebut dibuat dalam bentuk
larutan terlebih dahulu. Contoh sirup yang dibuat dengan pengadukan adalah sirup Ferro
Sulfat.

3. Penambahan sukrosa pada cairan obat yang dibuat


Seringkali cairan obat seperti tingtur dan ekstrak cair digunakan sebagai sumber bahan
obat dalam pembuatan sirup. Untuk menutupi rasa yang tidak enak dari larutan bahan obat
tersebut, biasanya ditambahkan sukrosa, misalnya pada sirup senna yang memberikan
efek katartikum.

4. Dengan perkolasi dari sumber bahan-bahan obat


Sukrosa dapat diperkolasi untuk membuat sirup atau sumber bahan obat dapat
diperkolasi untuk menjadi ekstrak, dimana ekstrak tersebut nantinya akan ditambah
dengan sukrosa. Cara kedua ini melibatkan 2 (dua) prosedur yaitu pembuatan ekstrak obat
dan pembuatan sirup. Dalam pembuatan sirup dengan perkolasi sukrosa, aquadest atau
larutan air dari bahan obat dan cairan pemberi rasa dibiarkan melewati kolom kristal
sukrosa dengan lambat untuk melarutkan kolom sukrosa. Perkolat (hasil perkolasi)
ditampung dan dimasukkan kembali ke perkolator untuk melarutkan sukrosa. Proses ini
dilakukan berulang-ulang sampai semua sukrosa terlarutkan. Contoh sirup yang dibuat
dengan cara perkolasi adalah sirup tolu balsam dan sirup ipekak. Sirup ipekak dibuat
dengan melakukan ekstraksi ipekak terlebih dahulu dari serbuk akar kering Cephaelis
ipecacuanhae menggunakan pelarut hidroalkohol. Kemudian ekstrak ipekak dicampur

92
dengan gliserin sehingga diperoleh sirup ipekak. Sirup ipekak mempunyai aktivitas
emetikum dan umumnya digunakan untuk penanganan keracunan pada anak-anak.

ELIXIR
Eliksir adalah sediaan berupa larutan yang mempunyai rasa dan bau sedap, selain
mengandung bahan obat, juga mengandung zat tambahan seperti gula atau pemanis lain, zat
warna, zat pewangi dan zat pengawet serta digunakan untuk obat dalam. Pelarut utama yang
digunakan untuk sediaan eliksir adalah etanol dengan tujuan untuk mempertinggi kelarutan
bahan obat. Eliksir lebih disukai daripada sirup karena kemudahan dalam pembuatannya yaitu
hanya dengan melarutkan dan mempunyai stabilitas baik dimana eliksir lebih mampu
mempertahankan komponen-komponen yang larut dalam air dan alkohol daripada sirup.
Jumlah alkohol yang digunakan untuk membuat sediaan eliksir berbeda-beda tergantung dari
sifat kelarutan masing-masing komponen obat baik dalam air maupun alkohol. Bahan obat
yang kelarutannya dalam air baik memerlukan jumlah alkohol yang lebih sedikit, sebaliknya
untuk bahan obat yang tidak atau kurang larut dalam air, jumlah alkohol yang diperlukan
tentu lebih besar. Selain menggunakan air dan alkohol, dapat pula ditambahkan gliserol,
sorbitol, dan propilenglikol yang berperan sebagai pelarut pembantu.
Eliksir ada 2 (dua) macam yaitu eliksir obat dan eliksir bukan obat (eliksir pembawa).
Eliksir obat mengandung bahan obat yang diperlukan untuk pengobatan. Pada eliksir yang
mengandung obat tunggal, dosis lebih mudah diatur dengan mengatur volume eliksir yang
diminum pasien. Tetapi, apabila eliksir mengandung lebih dari 1 (satu) macam obat, dosis
tidak bisa diatur karena mempengaruhi dosis obat yang lain. Oleh karena itu, biasanya dokter
memilih untuk memberikan sediaan terpisah dari tiap-tiap obat apabila pasien memerlukan
untuk meminum lebih dari satu macam obat. Contoh eliksir obat adalah eliksir asetaminofen
yang memberikan efek analgesik/antipiretik. Eliksir pembawa merupakan eliksir yang tidak
mengandung bahan obat, dimaksudkan sebagai pembawa yang memberikan rasa enak dan
sebagai pengencer eliksir obat yang ada, misalnya eliksir aromatik.

SATURATIONES
Saturasi merupakan obat minum hasil reaksi suatu asam dengan garam karbonatnya,
dan larutan tersebut jenuh dengan CO2. Pembuatan larutan saturasi harus dilakukan dalam
keadaan dingin dan tidak boleh digojok sehingga:
 Zat-zat netral dilarutkan dalam larutan asam
 Tinctura, zat-zat yang mudah menguap, ekstrak dalam jumlah sedikit dan
garam alkaloid dilarutkan dalam bagian asam

93
 Senyawa yang bereaksi alkalis dilarutkan dalam bagian basa

NEUTRALITIONES
Neutralitiones merupakan larutan garam yang dibuat dengan cara mereaksikan asam
dengan basa. Jika digunakan karbonat maka gas CO 2 yang terjadi dihilangkan dari larutan.
Pada pembuatan larutan netralisasi dapat dilakukan penggojokan atau pemanasan.
Untuk menentukan jumlah asam atau basa yang digunakan dalam membuat sediaan
saturasi atau netralisasi, kita dapat menggunakan tabel penjenuhan yang tertera dalam
Farmakope Belanda Edisi V halaman 446.

Tabel IX.1. Tabel Penjenuhan


Asam Asetat Asam sitrat Asam Salisilat Asam Tartrat
encer
Untuk 10 bagian
Amonia 58,8 4,1 8,1 4,41
Kalium karbonat 144,7 10,1 20,0 10,9
Natrium karbonat 69,9 4,9 9,7 5,2
Natrium bikarbonat 119 8,3 16,4 8,9
Amonia Kalium Natrium Natrium
karbonat karbonat bikarbonat
Untuk 10 bagian
Asam Asetat encer 1,7 0,7 1,43 0,84
Asam sitrat 24,0 9,9 20,4 12,0
Asam Salisilat 12,3 5,0 10,4 6,1
Asam Tartrat 22,7 9,2 19,1 11,2

Tugas: berdasarkan teori yang anda pelajari, bagaimana cara pembuatan resep-resep
dibawah ini!
R/ CTM mg. 400
Gliserin mL. 25
Sirupus simpleks. mL. 83
Alkohol. mL. 60
Larutan sorbitol mL. 282
Sodium benzoat 1
Pewarna/Perasa q.s

94
Aqua ad mL. 1000
M.f.syr.
S.1.d.d.C

R/ Acid citric 5
Natrii bicarb. q.s
Opii tinct. 5
Aqua ad 200
M.f.potio
S.4.d.d.C
R/ Fenobarbital 4
Minyak jeruk mL. 0,25
Propilen glikol mL. 100
Alkohol. mL. 200
Larutan sorbitol mL. 600
Pewarna q.s
Aqua ad mL. 1000
M.f.elixir.
S.2.d.d.Cth.

R/ Acid tartric 5
Natrii bicarb. qs
Calcii bromid 2
Bellad. extract 0,2
Aq. menth pip. ad 200
M.f.pot.neutral.

R/ Acid citric 5
Aquae 50
Spiritus citrum 5
Natrii subcarbonat 6
Sirupus simplex 25
Aquae 110
f.pot.eff.

95
VI. 2. OBAT TETES (GUTTAE)
Menurut Farmakope Edisi III, obat tetes adalah sediaan cair berupa larutan, emulsi,
suspensi, yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara
meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang
dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope Indonesia. Sediaan obat tetes
dapat berupa:
1. Guttae (Obat tetes), apabila tidak ada penjelasan lain, merupakan obat dalam yang
digunakan dengan cara meneteskan ke dalam makanan atau minuman.
Resep Guttae Bleekeri
R/ Tinctura Opii 3
Oleum menth pip. 1
Eter cum spiritus 6
Spir. Dil. 15

2. Guttae oris (Tetes mulut), merupakan obat tetes yang digunakan untuk pengobatan
pada mulut, dengan cara mengencerkan dengan air kemudian dikumur-kumur tetapi tidak
boleh ditelan.

3. Guttae auriculares (Tetes telinga). Dalam Farmakope Indonesia Edisi IV disebut


sebagai Larutan Otik. Tetes telinga merupakan obat tetes yang digunakan untuk
pengobatan pada telinga dengan cara meneteskan ke telinga. Kecuali dinyatakan lain,
cairan pembawa yang digunakan bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus
mempunyai kekentalan atau viskositas tertentu yang sesuai untuk sediaan tetes mata,
misalnya gliserol, propilenglikol, etanol, heksilen glikol dan minyak nabati. Jika tidak
dinyatakan lain, cairan pembawa memiliki pH 5,0 – 6,0.

96
4. Guttae nasales (Tetes hidung), merupakan sediaan obat tetes yang digunakan untuk
pengobatan pada hidung dengan cara meneteskan ke dalam hidung. Selain mengandung
bahan obat dan cairan pembawa, sediaan tetes hidung dapat pula mengandung zat
pensuspensi seperti sorbitan, dan polisorbat dengan kadar tidak lebih dari 0,01% (b/v),
dapar dan pengawet. Zat pengawet yang biasanya digunakan adalah benzalkonium
klorida 0,01% (b/v) – 0,1% (b/v). Cairan pembawa yang umum digunakan adalah air.
Minyak lemak atau minyak nabati tidak dapat digunakan sebagai cairan pembawa untuk
sediaan tetes hidung. Bila tidak dinyatakan lain, pH cairan pembawa berkisar antara 5,5 –
7,5, dengan kapasitas dapar sedang dan sedapat mungkin cairan pembawa harus isotonis.
Kondisi isotonis merupakan suatu kondisi dimana tekanan osmosis larutan hampir sama
dengan tekanan osmosis cairan tubuh.
Resep Guttae Nasales Protargoli
R/ Ephedrin HCl 0,1
Protargol 0,1
Glucose 0,45
Aquadest ad 10
S. guttae nasales

5. Guttae ophtalmicae (Tetes mata). Tetes mata merupakan sediaan cair berupa larutan
atau suspensi, digunakan untuk pengobatan pada mata dengan cara meneteskan obat pada
selaput lendir mata disekitar kelopak mata dan bulu mata. Persyaratan yang harus
dipenuhi sediaan tetes mata adalah:
 Harus steril
 Isotonis yaitu tekanan osmose sediaan tetes mata harus sama dengan tekanan
osmose cairan mata
 Isohidris, yaitu pH sediaan tetes mata harus sama dengan pH cairan mata
 Berupa cairan jernih, bebas partikel asing, serat-serat dan benang
 Volume maksimal 15 mL
Isotonis dan isohidris dapat diperoleh dengan menggunakan pelarut yang cocok.
Pelarut yang sering digunakan adalah Larutan NaCl 0,9%, aqua destilata, larutan 2% asam
borat (pH = 5), larutan boraks-asam borat (pH = 6,5) dan larutan basa lemah boraks-asam
borat (pH = 8). Zat pengawet untuk sediaan tetes mata adalah Fenilraksa nitrat dan
Fenilraksa asetat 0,002% (b/v) serta benzalkonium klorida 0,01% (b/v). Pemilihan
pengawet berdasarkan kompatibilitas pengawet tersebut dengan bahan obat lain dalam

97
sediaan tetes mata, misalnya benzalkonium klorida tidak dapat bercampur dengan
anestetik lokal.
Resep Tetes mata:
R/ Sulfas Zinci 0,05
Aquadest 10
S. Guttae ophtalmic.

Kecuali dinyatakan lain, sediaan tetes dapat dibuat dengan beberapa cara, antara lain:
1. Obat dilarutkan dalam campuran antara cairan pembawa dan
pengawet, disaring kemudian dimasukkan dalam wadah dan disterilkan dengan cara
sterilisasi A yaitu sterilisasi menggunakan autoklaf suhu 115°C-116°C selama 30 menit.
2. Obat dilarutkan dalam campuran antara cairan pembawa dan
pengawet, kemudian disterilkan dengan cara sterilisasi C yaitu: sterilisasi dengan
penyaringan melalui penyaring bakteri steril, kemudian dimasukkan ke dalam wadah
secara aseptik dan ditutup rapat.
3. Obat dilarutkan ke dalam campuran antara cairan pembawa dan
pengawet, disaring, kemudian dimasukkan ke dalam wadah, ditutup rapat dan disterilkan
dengan cara sterilisasi B yaitu sterilisasi dengan suhu 98°C - 100°C selama 30 menit. Jika
volume sediaan yang akan disterilkan lebih dari 30 mL, maka waktu sterilisasi harus
diperpanjang sampai seluruh isi tiap wadah mencapai suhu 98°C - 100°C.

Menurut Farmakope Indonesia Edisi II, ada 5 (lima) cara sterilisasi, yaitu:
 Sterilisasi cara A : Pemanasan dalam autoklaf
Sediaan yang akan disterilkan, diisikan ke dalam wadah yang cocok, kemudian ditutup
kedap. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 100 mL, sterilisasi dilakukan
dengan uap air jenuh pada suhu 115°C – 116°C selama 30 menit. Jika volume dalam tiap
wadah lebih dari 100 mL, waktu sterilisasi diperpanjang hingga seluruh isi tiap wadah
berada pada suhu 115°C – 116°C selama 30 menit.
 Sterilisasi cara B : Pemanasan dengan bakterisida
Sediaan dibuat dengan melarutkan atau mensuspensikan bahan obat dalam larutan
klorokresol P 0,2% b/v dalam air untuk injeksi atau dalam larutan bakterisida lain yang
cocok dalam air untuk injeksi. Isikan ke dalam wadah, kemudian ditutup kedap. Jika

98
volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 30 mL, panaskan pada suhu 98°C - 100°C
selama 30 menit. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 30 mL, waktu sterilisasi
diperpanjang hingga seluruh isi tiap wadah berada pada suhu 98°C – 100°C selama 30
menit. Jika dosis tunggal obat suntik yang digunakan secara intravena lebih dari 15 mL,
pembuatan tidak dilakukan dengan cara ini.
 Sterilisasi cara C : Penyaringan
Larutan disaring melalui penyaring bakteri steril. Kemudian ditutup kedap, diperiksa
sterilitasnya, dan larutan harus memenuhi syarat percobaan terhadap sterilitas.

 Sterilisasi cara D : Pemanasan kering


Larutan, emulsi, dan suspensi dalam minyak atau dalam pembawa lain bukan air
dimasukkan ke dalam wadah kemudian ditutup kedap atau penutupan ini dapat bersifat
sementara untuk mencegah cemaran. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 30
mL, panaskan pada suhu 150°C selama 2 jam. Jika volume dalam tiap wadah lebih dari 30
mL, waktu sterilisasi diperpanjang hingga seluruh isi tiap wadah berada pada suhu 150°C
selama 2 jam. Wadah yang ditutup sementara kemudian ditutup kedap.
 Sterilisasi cara E : Aseptik
Jika larutan, emulsi, atau suspensi tidak tahan pemanasan pada suhu 150°C , pembuatan
dilakukan secara aseptik. Pembawa disterilkan dengan pemanasan kering pada suhu
150°C selama 1 jam. Isikan segera larutan, emulsi atau suspensi ke dalam wadah steril
kemudian ditutup kedap.
Sediaan obat tetes dikemas dalam wadah kaca atau plastik yang tertutup kedap dan ditambah
penetes. Pada etiket harus diberi penandaan ”Tidak boleh digunakan lebih dari 1 (satu) bulan
setelah tutup dibuka”

VI.3. SUSPENSI
Suspensi atau sering disebut mikstur gojog (Mixtura agitandae) adalah sediaan cair
yang mengandung bahan obat dalam bentuk serbuk atau partikel padat tidak larut, yang
terdispersi dalam fase cair (cairan pembawa). Apabila tidak terdapat penjelasan lain, sediaan
suspensi tersebut digunakan secara oral untuk obat dalam. Ada beberapa jenis penggolongan
sediaan suspensi yaitu:
1. Susu
Istilah susu digunakan untuk sediaan suspensi dalam pembawa yang mengandung air yang
ditujukan untuk pemakaian oral, misalnya Susu Magnesia.

99
2. Magma
Istilah magma digunakan untuk menyatakan sediaan suspensi zat padat anorganik dalam
air seperti lumpur atau krim, jika zat padatnya mempunyai kecenderungan terhidrasi dan
teragregasi kuat yang menghasilkan konsistensi seperti gel dan sifat rheologi tiksotropik,
misalnya Magma Bentonit. Magma biasanya lebih kental daripada suspensi dan
kecenderungan pemisahannya rendah. Sebagian besar digunakan sebagai obat dalam
kecuali magma Bentonit yang digunakan sebagai obat luar.
3. Lotio
Merupakan sediaan suspensi topikal dan emulsi untuk pemakaian pada kulit, misalnya
Lotio Calamin dan Lotio Kumerfeldi.
Suspensi dapat digunakan dengan beberapa cara antara lain:
1. Per Oral
Suspensi oral adalah sediaan cair mengandung partikel padat yang terdispersi dalam
pembawa cair dengan bahan pengaroma yang sesuai, dan ditujukan untuk penggunaan
oral. Sediaan suspensi yang termasuk golongan ini adalah suspensi, susu dan magma.
Obat yang biasanya diberikan dalam bentuk suspensi oral adalah antibiotik golongan
sulfa, misalnya suspensi Trisulfapiridin. Obat golongan sulfa bersifat asam lemah, tidak
larut dalam air tetapi larut dalam basa. Akan tetapi apabila dibuat larutan dengan basa,
maka larutan menjadi alkali sehingga biasanya dibuat dalam bentuk sediaan suspensi.
2. Topikal
Suspensi topikal adalah sediaan cair mengandung partikel padat yang terdispersi dalam
pembawa cair yang ditujukan untuk pengobatan topikal pada kulit. Sediaan suspensi yang
termasuk golongan ini adalah lotio.
3. Rektal, misalnya suspensi Para nitro sulfathiazol
4. Intramuskular injeksi. Suspensi yang diberikan dengan cara injeksi intramuskular
biasanya dimaksudkan sebagai depot obat untuk memperoleh efek terapi dalam jangka
waktu tertentu (prolong released medication), misalnya injeksi Prokain, injeksi Penisilin
G dan injeksi Depoprogestin. Sediaan suspensi ini harus steril, mengandung partikel
sangat halus dan tidak boleh menyumbat jarum suntik.
5. Tetes mata, misalnya suspensi Kortison asetat
6. Tetes telinga
Suspensi tetes telinga adalah sediaan cair mengandung partikel-partikel halus yang
ditujukan untuk diteteskan pada telinga bagian luar.
Suspensi dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu sediaan suspensi yang siap digunakan dan serbuk
yang dicampur dengan sejumlah air untuk injeksi (aqua pro injection / aqua p.i.) atau pelarut

100
lain yang sesuai sebelum digunakan. Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena dan
intratekal.
Sediaan suspensi mempunyai 2 (dua) komponen utama yaitu fase dispersi dan medium
dispersi. Fase dispersi merupakan bahan atau partikel padat tidak larut yang didistribusikan
sedangkan medium dispersi merupakan cairan pembawa yang digunakan untuk membuat
sediaan suspensi. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap untuk
menjamin keseragaman dosis. Apabila dikocok perlahan, endapan harus mudah terdispersi
kembali. Ada beberapa alasan mengapa dibuat sediaan suspensi yaitu:
 Obat-obat tertentu tidak stabil dalam bentuk larutan tetapi stabil dalam bentuk
suspensi
 Bentuk cair lebih disukai daripada bentuk padat, karena lebih mudah ditelan
 Penyesuaian dosis untuk anak-anak lebih mudah
 Rasa obat yang tidak enak, kurang terasa dibanding dalam bentuk larutan
Sifat-sifat yang diinginkan dalam sediaan suspensi farmasi adalah:
 Sediaan suspensi mengendap secara lambat dan harus terdispersi kembali dengan
penggojokan ringan
 Suspensi harus bisa dituang dari wadah dengan cepat dan homogen
 Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga ukuran partikel yang
terdispersi mendekati konstan terutama untuk suspensi yang dapat disimpan dalam jangka
waktu panjang.
Suspensi dapat mengandung zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi yang dikenal
sebagai suspending agent. Sebagai suspending agent dapat digunakan:
1. Pulvis Gummi Arabicum (PGA) atau Gom Arab/Gom Akasia, diperoleh dari batang
kering Acasia senegal. PGA bersifat mudah larut dalam air.
2. Tragacanth, tidak larut dalam air tetapi mengembang dalam air membentuk larutan
yang viskus atau kental. Sebagai suspending agent biasanya digunakan dengan kadar 1%.
3. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dan Methyl Cellulose
4. Bentonit, merupakan tanah liat, tidak larut dalam air, tetapi menyerap air dan
mengembang dalam air membentuk larutan kental.
5. Sterculia Gum (Gom Karaya), mempunyai sifat yang hampir sama dengan tragacanth.
Digunakan sebagai suspending agent dengan kadar sama dengan atau sedikit lebih besar
dari konsentrasi tragacanth. Gom karaya sangat baik digunakan sebagai suspending agent
sediaan topikal karena menghasilkan sediaan yang halus.

101
6. Sodium alginat, diperoleh dari alga terutama alga coklat dan beberapa alga merah.
Pertama kali diperoleh dari jenis alga coklat (Brown algae). Sebagai suspending agent
biasanya digunakan dengan kadar 1 – 2%.
Suspending agent berfungsi untuk memperlambat pengendapan sehingga keseragaman dosis
terjamin, mencegah pengenapan menjadi enapan yang sukar diresuspensi (cake) dan
mencegah koagulasi dari bahan-bahan berlemak dan resin. Dengan demikian, ada beberapa
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih suspending agent, antara lain; cara
pemakaian sediaan yang diinginkan, apakah secara oral, topikal atau rektal, komposisi kimia
dari suspending agent tersebut, stabilitas dari medium dispers (cairan pembawa) dan fase
dispers, Expired date dari produk dan ketercampuran (inkompatibilitas) dari suspending agent
dengan bahan-bahan obat lain dalam sediaan. Jumlah suspending agent yang diperlukan
tergantung dari besarnya volume cairan. Suspending agent bekerja dengan meningkatkan
viskositas medium dispers sehingga mencegah pengenapan sesuai dengan persamaan dalam
Hukum Stokes.
Hukum Stokes:

gd 2(1  2)
V 
18

Keterangan:
V = Kecepatan pengendapan partikel
g = Konstanta gravitasi
d = Diameter partikel
ℓ1 = Kerapatan partikel
ℓ2 = Kerapatan cairan
η = Viskositas medium dispersi
Kecepatan pengendapan partikel berbanding lurus dengan diameter partikel dan berbanding
terbalik dengan viskositas medium dispersi. Dengan menurunkan ukuran partikel atau
pengecilan ukuran partikel, misalnya dengan penggerusan, maka kecepatan pengendapan akan
turun. Sebaliknya dengan meningkatkan viskositas medium dispersi, maka kecepatan
pengendapan partikel juga akan turun.
Disamping suspending agent, dalam pembuatan sediaan suspensi kadang-kadang
diperlukan bahan pembasah (wetting agent), terutama untuk bahan-bahan yang sukar larut dan
sukar dibasahi (serbuk hidrofobik). Ada 2 (dua) jenis serbuk yaitu serbuk yang sukar dibasahi
(serbuk hidrofobik) dan serbuk yang mudah dibasahi (serbuk hidrofil). Contoh serbuk

102
hidrofobik adalah sulfur, carboadsorbens, dan Magnesium stearat. Contoh serbuk hidrofil
adalah Zinc oksida dan Magnesium oksida. Mudah atau sukarnya serbuk untuk dibasahi,
dapat dilihat dari sudut kontak yang dibentuk serbuk dengan permukaan cairan. Serbuk
dengan sudut kontak ± 90º, akan menghasilkan serbuk yang sukar dibasahi dan mengapung
pada permukaan cairan. Serbuk yang mengambang didalam cairan mempunyai sudut kontak
lebih kecil, sedangkan serbuk yang tenggelam, tidak membentuk sudut kontak dengan
permukaan cairan. Wetting agent bekerja dengan menurunkan tegangan antarmuka sehingga
akan menurunkan sudut kontak dan serbuk mudah dibasahi. Wetting agent yang sering
digunakan adalah gliserin, sirup, propilen glikol dan PEG.
Selain itu, pada sediaan suspensi dapat pula ditambahkan zat tambahan, seperti
penambah rasa misalnya sirup atau larutan gula lainnya, pemberi aroma, dan pengawet
misalnya asam benzoat 0,1%, natrium benzoat 0,1%, kombinasi metil paraben (nipagin)
0,05% dan propil paraben (nipasol) 0,03%.
Terdapat dua sistem dalam suspensi yaitu flokulasi dan deflokulasi. Sistem yang
diinginkan adalah flokulasi. Pada flokulasi, partikel bergabung membentuk agregat longgar
dengan afinitas (gaya kohesi) antar partikel yang lemah, partikel cenderung lebih cepat
mengendap tetapi tidak membentuk endapan yang sukar diresuspensi (cake). Kelemahannya,
wujud suspensi yang dibuat tidak menyenangkan karena terlihat pemisahan antara 2 fase yaitu
fase dispers dan medium dispers akibat tingginya kecepatan pengendapan fase dispers.
Sedangkan pada sistem deflokulasi, partikel-partikel kecil fase dispers terpisah satu dengan
yang lain dengan kecepatan pengendapan lebih lambat, tetapi terbentuk cake yang sukar
disuspensikan kembali. Keuntungan dari sistem deflokulasi ini, wujud suspensi yang dibuat
menyenangkan, tidak terlihat adanya pemisahan antara fase dispers dan medium dispers dan
supernatan tetap berkabut walaupun sudah terbentuk endapan.
Metode pembuatan suspensi ada 2 (dua) yaitu:
1. Metode Dispersi
Pada metode dispersi, serbuk obat dibasahi dengan wetting agent kemudian didispersikan
dalam cairan pembawa.
2. Metode Presipitasi
Pada metode presipitasi, serbuk obat yang hendak didispersikan, dilarutkan dalam pelarut
organik yang bisa campur dengan air. Setelah larut dalam pelarut organik tersebut,
kemudian ditambahkan larutan pensuspensi dalam air.

Contoh resep suspensi:


R/ ZnO 2

103
Champora 3
Liq. Plumbi Subasetat q.s
Gliserin
Aqua
Cara peracikan: ZnO diayak terlebih dahulu kemudian dibasahi dengan gliserin. Champora
ditetesi dengan spiritus fortior, lalu dicampurkan dengan ZnO yang telah dibasahi dengan
gliserin. Setelah itu ditambah Liq. Plumbi Subasetat dan aqua.

R/ Phenacetin 6
Metil selulosa 3% 30
Alkohol 20
Gliserin 3
Tween 60 1
Eliksir thiamin ad 100
Cara peracikan: Phenacetin dibasahi dengan gliserin, kemudian dicampur dengan Tween 60
dan mucilago metil selulosa 3%. Kemudian dicampur dengan campuran alkohol dan eliksir
thiamin.

VI.4. EMULSI
Emulsi merupakan sediaan cair, mengandung bahan obat cair yang terdispersi dalam
cairan pembawa, distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi / emulgator / emulsifying
agent. Jadi ada 3 komposisi utama dalam emulsi yaitu fase dispersi/fase internal/fase
diskontinu, medium dispersi/fase eksternal/fase kontinu, dan emulgator. Emulgator berfungsi
untuk menstabilkan emulsi dengan mencegah koagulasi atau penyatuan partikel-partikel kecil
menjadi tetesan besar dan akhirnya memisah, sehingga dihasilkan emulsi yang stabil.
Ada 2 (dua) tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (emulsi O/W atau emulsi M/A)
dan emulsi air dalam minyak (emulsi W/O atau emulsi A/M). Pada emulsi tipe O/W (M/A),
fase dispersinya adalah minyak dan medium dispersinya adalah air, sedangkan pada emulsi
tipe W/O (A/M), fase dispersinya adalah air dan medium dispersinya adalah minyak. Tipe
emulsi tergantung pada emulgatornya. Emulgator yang larut dalam air akan membentuk

104
emulsi tipe M/A, sedangkan emulgator yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam minyak,
akan membentuk emulsi dengan tipe A/M.
Linimentum amoniae
R/ Ol. Sesami
Acid oleinic crud
Amoniae
Pada resep Linimentum amoniae, yang berperan sebagai emulgator adalah sabun ammonium.
Sabun ammonium dapat larut dalam air sehingga emulsi yang terbentuk adalah emulsi tipe
O/W atau M/A.

Linimentum calcis
R/ Ol. Lini
Aq. Calcis
Pada resep Linimentum calcis, yang berperan sebagai emulgator adalah sabun kalsium. Sabun
kalsium larut dalam minyak sehingga emulsi yang terbentuk adalah emulsi tipe W/O atau
A/M.

Ada beberapa cara membedakan kedua tipe emulsi tersebut, antara lain:
1. Dengan pengenceran
Emulsi tipe M/A, dapat diencerkan dengan air tetapi tidak dapat diencerkan dengan
minyak. Sedangkan emulsi tipe A/M, dapat diencerkan dengan minyak tetapi tidak dapat
diencerkan dengan air.
2. Dengan zat warna
Dengan zat warna Sudan III yang dapat larut dalam minyak, emulsi tipe M/A tidak
berwarna sedangkan emulsi tipe A/M akan membentuk warna merah. Dengan
menggunakan zat warna metilen blue yang dapat larut dalam air, emulsi tipe M/A akan
membentuk warna biru sedangkan emulsi tipe A/M tidak berwarna.
3. Metode konduktivitas listrik
Dengan menggunakan metode ini, apabila elektrode yang dihubungkan dengan lampu
indikator, dicelupkan kedalam emulsi maka emulsi tipe M/A akan menyebabkan lampu
indikator menyala sedangkan emulsi tipe A/M tidak menyebabkan lampu indikator
menyala (lampu mati). Hal ini disebabkan karena air merupakan konduktor atau

105
penghantar listrik yang baik sedangkan minyak bukan merupakan penghantar listrik yang
baik.

Tipe emulsi yang akan kita pilih dalam membuat sediaan emulsi farmasi tergantung
dari cara penggunaan sediaan yang kita inginkan. Emulsi tipe O/W (M/A), biasanya lebih
disukai untuk penggunaan secara oral, karena rasa tidak enak dan bau tidak sedap dari minyak
lebih dapat ditutupi dan fase dispersi yang berupa minyak lebih mudah disesuaikan oleh
sistem emulsi. Sedangkan emulsi tipe W/O (A/M) biasanya digunakan untuk penggunaan obat
secara eksternal, misalnya untuk sediaan lotion atau krim. Dengan memilih tipe emulsi yang
sesuai dengan cara penggunaan obat ynag kita inginkan, absorpsi dan penetrasi obat dapat
dipercepat atau diperlambat sesuai kebutuhan. Misalnya, antiseptik dan beberapa obat lainnya
lebih efektif jika diberikan dalam bentuk emulsi tipe O/W (M/A). Emulsi tipe W/O (A/M)
yang digunakan secara eksternal, memberikan efek emollient lebih besar, lebih lembut dan
memberikan aksi terapetik lebih panjang.
Emulsi dikatakan tidak stabil jika:
1. Fase dispers membentuk agregat pada pendiaman
2. Agregat membentuk lapisan pekat fase dispers
3. Semua/sebagian fase dispers tidak teremulsi dan membentuk lapisan
Faktor-faktor yang dapat memecah emulsi sehingga emulsi tidak stabil adalah:
• Kimia : penambahan bahan yang dapat menarik air (CaO, CaCl 2), penambahan garam
dan alkohol yang menyebabkan perubahan viskositas
• Fisika : Pemanasan, pendinginan, penyaringan, pemutaran dengan sentrifuge
Pemanasan mengakibatkan viskositas medium dispersi menurun, pendinginan
mengakibatkan air cenderung memisah, penyaringan mengakibatkan butir-butir fase
intern/fase dispers menjadi satu sehingga emulsi tidak stabil.

Bentuk-bentuk ketidakstabilan emulsi antara lain:


• Creaming
Merupakan suatu kondisi dimana emulsi terpisah menjadi 2 lapisan, lapisan yang satu
mengandung butir fase dispers lebih banyak daripada lapisan yang lain. Proses ini
bersifat reversible (dapat terbalikkan) dengan penggojogan ringan.
• Cracking dan Breaking
Merupakan suatu kondisi dimana emulsi retak dan pecah, memisah menjadi 2 lapisan
yang tidak saling campur. Keadaan ini bersifat irreversible (tidak dapat terbalikkan).

106
Cracking terutama disebabkan karena kesalahan pada teknik preparasi, selain itu dapat
pula disebabkan karean adanya perubahan viskositas akibat penambahan garam,
alkohol, dan bahan-bahan yang dapat menarik air, perubahan pH yang ekstrem,
perubahan temperatur dan pengadukan kuat yang berlebihan.

Emulgator untuk sediaan emulsi farmasi, harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
1. Tidak toksik
2. Stabil, tidak terurai
3. Dapat campur dengan bahan-bahan lain
4. Tidak mempengaruhi terapi obat

Beberapa emulgator yang sering digunakan dalam pembuatan emulsi farmasi, antara lain:
Karbohidrat:
1. Pulvis Gummi Arabicum (PGA), yang dapat larut dalam air dan menghasilkan emulsi
tipe M/A. Untuk membuat emulsi dari minyak-minyak, diperlukan 1 bagian gom arab
untuk mengemulsikan 4 bagian minyak. Untuk minyak menguap, diperlukan 1 bagian
gom untuk mengemulsikan 2 bagian minyak menguap, kadangkala untuk minyak
menguap dengan viskositas rendah, diperlukan 1 bagian gom untuk mengemulsikan 1
bagian minyak menguap. Gom arab sebagai emulgator menghasilkan emulsi dengan
viskositas rendah dan cenderung mengalami creaming. Oleh karena itu, biasanya gom
arab dikombinasikan dengan emulgator lain yang lebih viscous/kental, seperti
tragacanth, agar-agar atau pektin.
2. Tragacanth, tidak larut dalam air tetapi mengembang dan menghasilkan larutan yang
viscous/kental, sehingga tidak stabil dan kurang halus. Tragacanth sering digunakan
sebagai emulgator bersama dengan gom arab sehingga dihasilkan emulsi yang lebih
kental dan untuk mencegah creaming. Untuk tujuan tersebut, biasanya digunakan 0,1
gram tragacanth per 1 gram gom arab.
3. Pulvis Gummosus
4. Agar-agar (1,5-2%)
5. CMC 0,5-1%
Protein
Emulgator protein akan membentuk emulsi tipe M/A
1. Kuning telur

107
Emulsi yang dihasilkan dengan emulgator kuning telur, tergantung pada kondisi dan
umur telur. Telur yang masih baru, akan menghasilkan emulsi seperti krim dan
kecenderungan pemisahannya rendah. Sedangkan emulsi dengan emulgator telur yang
berumur tua, lebih kasar dan warna kuning yang terjadi lebih tajam. Biasanya
digunakan 10-15 gram kuning telur untuk mengemulsikan 120 ml minyak atau 60 ml
minyak menguap.
2. Kasein
3. Gelatin
Gelatin dengan konsentrasi rendah sekitar 1%, sudah dapat menghasilkan emulsi yang
baik. Tetapi pembuatan emulsi dengan emulgator gelatin tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan mortir dan stamper, tetapi harus menggunakan hand homogenizer.

Alkohol
1. Alkohol dengan bobot molekul tinggi, misalnya setil alkohol, stearil alcohol dan
gliseril monostearat
Sabun
1. Trietanolamin
Bentonit (tanah liat)
Tween
Span
Emulgator bekerja dengan menaikkan viskositas medium dispersi. PGA, Tragacanth, Pulvis
Gummosus, agar-agar, CMC, kuning telur, alkohol dengan bobot molekul tinggi, bentonit,
Tween dan Span, biasanya digunakan sebagai emulgator dalam kombinasi dengan emulgator
yang lain untuk mendapatkan stabilitas yang diinginkan.

Ada 3 (tiga) metode yang umum digunakan untuk pembuatan emulsi, yaitu:
1. Metode Gom kering (Metode Kontinental)
Metode gom kering sering juga disebut metode 4:2:1. Pada metode ini, digunakan
perbandingan tersebut untuk membuat corpus emulsi atau emulsi awal atau emulsi utama.
1 bagian gom dicampur dengan 4 bagian minyak, diaduk sampai homogen, kemudian
ditambahkan 2 bagian air sekaligus, diaduk cepat dan kuat sampai terbentuk corpus
emulsi. Terbentuknya corpus emulsi ditandai dengan terbentuknya massa putih, kental
seperti krim, dan mengeluarkan bunyi khas bila bersentuhan dengan dinding mortir.
2. Metode Gom Basah (Metode Inggris)

108
Pada metode gom basah perbandingan jumlah minyak, air dan gom yang digunakan juga
sama dengan metode gom kering, yaitu 4 bagian minyak, 2 bagian air, dan 1 bagian gom.
Tetapi pada metode gom basah ini, 1 bagian gom dicampur dahulu dengan 2 bagian air,
diaduk sampai homogen, kemudian ditambahkan 4 bagian minyak, diaduk kuat dan cepat
hingga terbentuk corpus emulsi.
3. Metode Botol (Metode Botol Forbes)
Metode Botol Forbes biasanya digunakan hanya untuk pembuatan emulsi dari minyak-
minyak menguap yang memiliki viskositas rendah. Pada metode ini, jumlah gom yang
diperlukan lebih besar karena viskositas minyak yang rendah. Satu bagian gom dicampur
dengan 2 bagian minyak menguap, dikocok kuat sampai campuran homogen, kemudian
ditambahkan 2 bagian air sekaligus dan dikocok kuat sampai terbentuk emulsi.

Ada beberapa perlakuan khusus yang diperlukan untuk membuat sediaan emulsi dari
bahan-bahan obat tertentu, misalnya:
• Oleum Ricini, merupakan minyak kental sehingga jumlah gom yang dibutuhkan
sebgai emulgator lebih kecil. Biasanya jumlah gom yang digunakan adalah 1/3 kali bobot
oleum Ricini
• Parafin Liquidum, berupa cairan, jumlah gom yang dibutuhkan sebagai emulgator
biasanya sama dengan bobot Parafin Liq.
• Cera/lemak padat
Emulsi dari Cera atau lemak padat, dibuat dengan melelehkan terlebih dahulu cera atau
lemak padat diatas tangas air. Setelah meleleh, dicampurkan dengan gom dengan jumlah
sama dengan bobot cera atau lemak padat.
• Balsam
Untuk membuat emulsi dari balsam-balsam alam, seperti balsam peru dan balsam copaiba,
jumlah gom yang diperlukan sebagai emulgator adalah 2 kali bobot balsam-balsam
tersebut.
 Sirup dan gliserin ditambahkan diawal, diaduk bersama gom, air dan minyak
sampai terbentuk corpus emulsi. Sedangkan tinctura, dan larutan yang mengandung
alkohol lainnya ditambahkan setelah terbentuk corpus emulsi.

Pada pembuatan emulsi kadang-kadang diperlukan penambahan pengawet. Aktivitas


pengawet akan lebih efektif apabila pengawet dapat larut dalam air. Beberapa pengawet yang
sering digunakan adalah alkohol 7-12%, asam benzoat 0,2% tetapi aktivitasnya sebagai

109
pengawet kurang efektif dan parahidroksi benzoat 0,1-0,2%, tetapi penggunaannya terbatas
karena pengawet ini cenderung lebih mudah larut dalam minyak.
Ada beberapa teori yang menjelaskan bagaimana emulgator bekerja untuk
menstabilkan emulsi dan menghasilkan emulsi yang stabil, antara lain:
1. Teori tegangan permukaan
Menurut teori tegangan permukaan, penggunaan surfaktan/zat pembasah dan emulgator
sebagai zat penstabil dan pengemulsi menghasilkan penurunan tegangan antarmuka dari
kedua cairan yang tidak saling bercampur, mengurangi gaya tolak antara cairan-cairan
tersebut dan mengurangi gaya tarik menarik antar molekul dari masing-masing cairan.
Tegangan antarmuka merupakan kekuatan yang menyebabkan masing-masing cairan
menahan pecahnya menjadi partikel-partikel kecil, apabila cairan kontak dengan cairan
kedua yang tidak larut dan tidak saling campur. Jadi, surfaktan dan emulgator membantu
memecahkan tetesan-tetesan besar menjadi partikel-partikel kecil yang mempunyai
kecenderungan menyatu lebih rendah daripada tanpa penambahan surfaktan dan
emulgator.

2. Oriented Wedge Theory (Teori Orientasi bentuk baji atau Teori Susunan bentuk
baji)
Menurut teori ini, molekul emulgator mempunyai 2 (dua) sisi yaitu bagian hidrofilik
(bagian yang suka air) dan bagian hidrofobik (bagian yang benci air) yang biasanya
lipofilik (suka minyak). Molekul-molekul emulgator akan mengarahkan dirinya ke
masing-masing fase, membentuk lapisan monomolekuler yang mengelilingi tetesan dari
fase dispersi pada emulsi. Emulgator yang memiliki karakteristik hidrofilik lebih besar
daripada karakteristik hidrofobik, akan membentuk emulsi tipe M/A. Demikian pula
sebaliknya, emulgator yang memiliki karakteristik hidrofobik lebih besar daripada
karakteristik hidrofilik, akan membentuk emulsi tipe A/M.

3. Teori lapisan antarmuka atau Teori film plastik


Menurut teori ini, emulgator berada pada antarmuka minyak dan air, mengelilingi tetesan
fase dispersi sebagai suatu lapisan film. Lapisan tersebut mencegah kontak dan bersatunya
fase dispersi. Semakin kuat dan semkain lunak lapisan film yang mengelilingi fase
dispersi, semakin stabil emulsi yang terbentuk. Tipe emulsi yang dihasilkan tergantung
pada kelarutan emulgator yang digunakan. Emulgator yang larut dalam air, akan
menghasilkan emulsi tipe M/A, sedangkan emulgator yang larut dalam minyak, akan
menghasilkan emulsi tipe A/M.

110
Dalam kenyataannya, emulsifikasi tidak bisa hanya diterangkan dengan satu teori saja,
tetapi melibatkan beberapa teori untuk menjelaskan bagaimana emulsifikasi terjadi. Misalnya,
tegangan antarmuka penting dalam menjelaskan pembentukan emulsi awal, tetapi
pembentukan baji pelindung atau lapisan film plastik penting untuk menjelaskan bagaimana
stabilitas emulsi selanjutnya.

Tugas
Berdasarkan teori yang telah Anda pelajari, jelaskan bagaimana cara peracikan dari resep-
resep emulsi dibawah ini:
Resep Emulsum Iecoris Aselli Compositum (Scott’s Emulsion Loco)
R/ Oleum Iecoris Aselli 40
Oleum Ciaoi 0,1
Pulv. Gummi Arab. 15
Na Hipofosfit 0,5
Ca Hipofosfit 0,5
Gliserin 10
Aqua 34

Resep Emulsum Petrolagar


R/ Paraff. Liq. 70
Larutan agar-agar 1,5% 20
Air 30
Span 20
Tween 20
Nipagin q.s

111
BAB X

GALENICA
SEDIAAN GALENIK

Tujuan Instruksional Umum:


Setelah selesai membahas dan mendiskusikan pokok bahasan ini, mahasiswa semester II
Jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menerapkan cara pembuatan sediaan galenika dengan
benar (C3).

Tujuan Instruksional Khusus:


1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian, prinsip dan teknik dasar pembuatan sediaan
galenika sesuai dengan Farmakope Indonesia (C2).
2. Mahasiswa dapat menerapkan prinsip dan teknik dasar pembuatan sediaan galenika
sesuai dengan Farmakope Indonesia (C3).
Sediaan galenik adalah sediaan yang dibuat dari bahan baku dari hewan atau tumbuh-
tumbuhan yang disari. Zat-zat yang tersari terdapat dalam sel-sel bagian tumbuh-tumbuhan
yang umumnya dalam keadaaan kering. Cairan penyari masuk dalam sel-sel dari
bahan-bahan dan zat yang tersari larut dalam cairan penyari, setelah itu larutan
yang mengandung zat tersari dipisahkan dari simplisia yang disari.

112
Penyarian akan lebih cepat terjadi bila bahan dasar dalam keadaan halus. Dalam
Farmakope, disebutkan cara pembuatan dari macam-macam sediaan dan juga disebutkan,
derajat halus dan simplisia yang akan digunakan. Biji yang berlemak, seperti Strychnini Semen
dan Strophanthi Semen, serbuk biji tersebut dihilangkan lemaknya dengan menggunakan
petroleum eter. Adakalanya digunakan bagian tanaman yang masih segar, seperti pada
pembuatan Spiritus Cochleariae dan Spiritus Citri.
Sediaan galenik dapat digolongkan berdasarkan cara pembuatannya sebagai berikut:
1. Infusa
2. Extracta
3. Tincturae
4. Sirupi
5. Spiritus Aromatic

6. Vinum

7. Aqua aromatica

Ada juga yang menggolongkan berdasarkan cara penyarian sehingga yang termasuk
dalam sediaan galenik adalah infusa, ekstrak dan tingtur.
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang
baik harus memenuhi kriteria bcrikut ini:
1. Murah dan mudah diperoleh
2. Stabil secara fisika dan kimia
3. Bereaksi netral
4. Tidak mudah menguap dan tidak rmudah terbakar
5. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki
6. Tidak mempengaruhi zat bekhasiat
7. Dperbolehkan oleh peraturan
Pelarut organik kurang digunakan dalam penyarian, kecuali dalam proses
penyarian tertentu. Salah satu contoh eter minyak tanah digunakan untuk menarik lemak dari
serbuk simplisia sebelum dilakukan proses penyarian.
Penyarian pada perusahaan obat tradisional masih terbatas pada penggunaan cairan
penyari air, etanol atau etanol air..
Air dipertimbangkan sebagai penyari karena:
1. Murah dan mudah diperoleh
2. Stabil.
3. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar

113
4. Tidak beracun
5. Alamiah

Kerugian penggunaan air sebagai penyari

1. Tidak selektif
2. Sari dapat ditumbuhi kapang dan kuman sehingga hasil penyarian cepat rusak
3. Untuk pengeringan diperlukan waktu lama.
Air disamping melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida, tanin dan
gula, juga melarutkan gom, pati, protein, lendir, enzim, lilin, lemak, pektin, zat warna dan
asam organik. Dengan demikian penggunaan air sebagai cairan penyari kurang mengun-
tungkan. Disamping zat aktif ikut tersari juga zat lain yang tidak dipisahkan, malah
mengganggu proses pembuatan sari
Air merupakan tempat tumbuh bagi kuman, kapang dan kharnir, sehingga pada
pembuatan sari dengan air harus ditambah zat pengawet. Pada beberapa sediaan sering
ditambahkan etanol, gliserin, gula atau kloroform.
Air dapat melarutkan enzim. Enzim yang terlarut dengan adanya air akan
menyebabkan reaksi enzimatis, yang mengakibatkan penurunan mutu. Disamping itu
adanya air akan mempercepat proses hidrolisa.
Untuk memekatkan sari air dibutuhkan waktu dan bahan bakar lebih banyak bila
dibandingkan dengan etanol.
Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena
1. Lebih selektif
2. Kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas.
3. Tidak beracun
4. Netral
5. Absorbsinya baik
6. Etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan

7. Panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit.

Sedangkan kerugiannya adalah bahwa etanol mahal harganya.

Sediaan galenik yang menggunakan metoda khusus adalah seperti: Infusum


Hyoscyami Oleosum, Solutio Carbonis detergens atau Liquor Carbonatis detergens (Licadet).

1. INFUSA

114
Menurut Farmakope Indonesia II yang dimaksud dengan infusa adalah sediaan
cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90 o C
selama 15 menit.
Ada pula yang dikenal dengan dekoktum. Menurut Farmakope Belanda,
o
dekoktum adalah sari dari bahan baku alam pada suhu 90-98 C selama 30 menit. Jadi
infusa dan dekoktum dibuat dengan cara yang sama hanya berbeda pada lama penyarian.
Hasil infusa maupun dekok biasanya tidak stabil, sukar distandarisasi dan mudah
ditumbuhi bakteri. Sediaan ini hanya dapat bertahan selama 12 jam. Oleh karena itu cara
ini hanya digunakan secara tradisional.

2. EXTRACTA (EKSTRAK)

Ekstrak adalah sediaan yang dapat berupa kering, kental dan cair, dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai, yaitu maserasi, perkolasi atau
penyeduhan dengan air mendidih. Sebagai cairan penyari digunakan air, eter atau campuran
etanol dan air. Penyarian dilakukan diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Penyarian
dengan campuran etanol dan air dilakukan dengan cara maserasi atau perkolasi. Penyarian
dengan eter dilakukan dengan cara perkolasi. Penyarian dengan air dilakukan dengan cara
maserasi, perkolasi atau disiram dengan air mendidih.
Pembuatan sediaan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat simplisia terdapat dalam
bentuk kadar yang tinggi dan hal ini memudahkan agar zat berkhasiat dapat diatur dosisnya.
Dalam sediaan, ekstrak dapat distandardisasi kadar zat berkhasiatnya sedangkan kadar zat
berkhasiat dalam simplisia sukar didapat dalam kadar yang soma. Beda penyarian pada ekstrak
dengan tingtur ialah pada ekstrak disari sampai zat berkhasiat dalam simplisia habis
sedangkan pada tingtur hanya sebagian zat berkhasiat tersari.
Extractum dibedakan berdasarkan konsistensi menjadi:
1. Extractum liquidum (ekstrak cair)
2. Extractum spissum (ekstrak kental)
3. Extractum siccum (ekstrak kering)
Farmakope menghendaki agar ekstrak kering mudah digerus menjadi serbuk dan ekstrak
kering pada umumnya higroskopis, maka itu harus disimpan dalam botol dengan tutup kapur
tohor (CaO). Sering ekstrak ditambahkan dalam larutan atau diencerkan, maka perlu
diketahui kelarutan ekstrak dalam larutan atau pelarut. Bila ekstrak dibuat dengan cairan etanol,
maka digunakan pelarut etanol dalam melarutkan atau mengencerkan.Bila ekstrak dibuat dengan
cairan penyari air, maka dapat larut atau diencerkan dengan air.

115
Misalkan Belladannae Extractum dan Hyoscyami Extractum, karena pada Pembuatan
ekstrak tersebut dilakukan dengan pengenceran dengan air. Dan nama cairan penyari sering
dicantumkan, hingga diketahui zat cair apa yang digunakan seperti: Ratanhiae Extractum
aquosum siccum.

a. MASERASI
Kecuali dinyatakan lain, maserasi dilakukan sebagai berikut: sepuluh bagian simplisia
atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam sebuah
bejana, lalu dituangi 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya sambil sering diaduk. Setelah 5 hari campuran tersebut disaring, diperas, dicuci
ampasnya dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Lalu maserat
dipindah dalam bejana tertutup dan dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2
hari, maserat diendaptuangkan atau disaring.
Kemudian maserat disuling atau diuapkan pada tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari
50° hingga konsistensi yang dikehendaki.
Maserat yang dibuat dimaserasi dengan air segera dipanasi pada suhu 90°, tujuannya
untuk mengendapkan albumin sehingga sediaan dapat tahan lama.

b. PERKOLASI
Kecuali dinyatakan lain, perkolasi dilakukan sebagai berikut: Sepuluh bagian simplisia
atau campuran simplisia dengan derajat harus yang cocok dibasahi dengan 2,5 bagian
sampai 5 bagian cairan penyari, lalu dimasukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-
kurangnya selama 3 jam. Masa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil
tiap kali ditekan hati-hati, dituangi dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai
menetes den di alas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari. Lalu perkolator
ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Kemudian kran dibuka dan dibiarkan cairan penyari
menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, cairan penyari berulang-ulang ditambahkan
secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari secukupnya di atas simplisia.
Perkolasi diteruskan sampai 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan, tidak
meninggalkan sisa.

Perkolat kemudian disuling atau diuapkan dengan tekanan rendah pada suhu tidak lebih
50° hingga konsentrasi yang dikehendaki. Pada pembuatan ekstrak cair, 0,8 bagian perkolat
pertama dipisahkan, perkolat selanjutnya diuapkan hingga 0,2 bagian dan selanjutnya
dicampur dengan perkolat pertama. Pembuatan ekstrak cair dengan etanol dapat
dilakukan dengan cara reperkolasi tanpa penggunaan panas.

116
Ekstrak yang diperoleh dengan penyari air dihangatkan segera pada suhu lebih kurang
90°,diendapkan dan disaring, filtrat diuapkan pada tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari
50°. Diendapkan di tempat yang sejuk selama 24 jam, disaring, diuapkan pada tekanan
rendah pada suhu tidak lebih dari 50° hingga konsistensi yang dikehendaki.
Pemanasan 90° dimaksudkan agar zat albumin mengendap dan disaring dengan
demikian ekstrak tidak lekas busuk.
Hasil akhir ekstrak cair dengan penyari etanol harus dibiarkan,di tempat sejuk selama 1
bulan, kemudian disaring sambil mencegah penguapan.

HAL-HAL YANG KHUSUS


1. Belladannae Extractum dan Hyoscyami Extractum banyak dipakai dalam
sediaan obat yang kering, maka dibuat serbuk dengan dicampur Amylum atau
Saccharum Lactis. Dikenal Belladannae Extractum cum Amylo, dibuat dengan
mencampurkan 1 bagian ekstrak dengan 2 bagian Amylum Solani (pati kentang),
dikeringkan pada suhu paling tinggi 80° dan,disimpan dalam botol dengan tutup yang
terisi CaO (kapur tohor).
2. Opii Extractum nengandung 20% Morfin. Dalam Farmakope Belagda ada Opium
concetratum yang dibuat dari Opium ditambah Morfin sampai kadar 50%.

Ekstrak- ekstrak yang ada dalam Farmakope Indanesia dan ekstra Farmakope Indanesia
adalah:
a. Ekstrak cair:

1. Cinchonae Extractum F.I.ed.III, ekstrak cair dibuat secara perkolasi dengan cairan
penyari campuran gliserin, air dan asam klorida encer.
2. Colae Extractum, F.I. ed.1II, ekstrak cair dibuat secara perkolasi dengan cairan penyari
campuran etanol dan air.
3. Glycyrhizae Extractum, Ekstra F.I. 1974, ekstrak cair, dibuat secara perkolasi, dengan
cairan penyari air kloroform.
4. Hepatis Extractum, F.I ed.II, ekstrak cair, dibuat secara maserasi, dengan cairan
penyari art dan asam khlorida.
5. Secale Cornuti Extractum, F.I. Ed. III, ekstrak cair dibuat secara perkolasi, dengan
cairan penyari campuran etanol encer dan asam klorida 4 N.
6. Stramonii Extractum, Ekstra F.I. 1974, ekstrak cair, dibuat secara perkolasi, dengan
cairan penyari etanol (45%).

117
b. Ekstrak kental:
1. Belladannae Extractum, F.I Ed. III, ekstrak kental. dibuat secara perkolasi dengan
cairan penyari etanol encer dan asam cuka.
2. Hycoscyami Extractum, F.I Ed. III, ekstrak kental, dibuat 'wcaro perkolasi dengan
cairan penyari etanol encer dan asam cuka.
c. Ekstrak kering:
1. Aloe Extractum, Ekstra F.I. 1974, ekstrak kering, dibuat dengan menuangkan air
mendidh, diperas, dituangkan lagi air.
2. Franguale Extractum, Ekstra F.I. 1974, ekstrak kering, dibuat dengan menuangkan air
mendidh, diperas, dituangi lagi air
3. Opii Extractum, F.I ed. III, ekstrak kering, dibuat secara maserasi dengan cairan
penyari air.
4. Rauwolfiae Extractum, F.I. ed. II, ekstrak kering, dibuat secara perkolasi, dengan
cairan penyari etanol (90%).
5. Rhei Extractum, F.I Ed. II, ekstrak kering, dibuai secara perkolasi. dengan cairan
penyari etanol (90%) dan air.
6. Strychni Extractum, F.I Ed. II, ekstrak kering, dibuat secara perkolasi, dengan cairan
penyari etanol 70% "Iv.

c. REPERKOLASI
Reperkolasi adalah perkolasi berulang, yaitu perkolat yang diperoleh dari perkolasi
simplisia pertama digunakan lagi sebagai cairan penyari simplisia yang kedua, simplisia
yang digunakan adalah sama. Sebagai contoh adalah Pembuatan Extractum Thymi liquidum
yang terdapat dalam CMN (Codex Medicamentorum Nederlandicus).
Serbuk Herba Thymi sebanyak 1 kg dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian pertama 500
g, bagian kedua 325 g dan bagian ketiga 175 g. Bagian pertama dimasukkan dalam
perkolator dan dengan cairan penyari diperkolasi sampai memperoleh perkolat 175 g, dan
disisihkan disebut perkolat I. Selanjutnya perkolasi diteruskan sampai diperoleh cairan 1500
g dan disebut cairan lanjutan I.
Bagian kedua diperkolasi dengan cairan lanjutan I sampai memperoleh perkolat 325
g disisihkan dan disebut perkolat II.
Selanjutnya perkolasi dilanjurkan, dan cairan yang keluar berikutnya disebut cairan
lanjutan H.
Bagian ketiga diperkolasi dengan cairan lanjutan II sampai diperoleh 500 g perkolat dan

118
disebut perkolat III.
Selanjutnya campur perkolat I, II, dan III.

3. TINCTURAE (TINGTUR)

Tingtur adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara maserasi atau perkolasi
simplisia nabati atau hewani atau dengan cara melarutkan senyawa kimia dalam pelarut.
Kecuali dinyatakan lain, tingtur dibuat menggunakan 20% simplisia untuk zat khasiat
10% simplisia untuk zat khasiat keras.

a. MASERASI
Kecuali dinyatakan lain maserasi dilakukan sebagai berikut: Dimasukkan 10 bagian
simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dalam bejana, dituangi
dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 had terlindung dari cahaya
sambil sering diaduk, lalu disaring, diperas, ampas dicuci dengan cairan penyari secukupnya
hingga diperoleh 100 bagian, maserat dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di
tempat yang sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari, lalu diendaptuangkan atau disaring.

b. PERKOLASI
Kecuali dinyatakan lain, dilakukan sebagai berikut: Sepuluh bagian simplisia atau
campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dibasahi dengan 2,5 bagian 5 bagian
cairan penyari, dimasukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam.
Masa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalama perkolator sambil tiap kali ditekan
dengan hati-hati dituangi cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas
simplisia masih terdapat cairan penyari, perkolator ditutup, dan dibiarkan selama 2 jam.
Cairan dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, cairan penyari ditambahkan
berulang-ulang secukupnya sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari secukupnya di
atas simplisia, hingga diperoleh 80 bagian perkolat. Masa diperas, campurkan cairan
perasan ke dalam perkolat, cairan penyari ditambahkan secukupnya hingga diperoleh
perkolat 100 bagian. Perkolat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2
hari di tempat sejuk dan terlindung cahaya. Diendaptuangkan atau disaring.
Tingtur harus jernih dan ditempatkan dalam botol tertutp baik, di luar pengaruh cahaya
dan disimpan di tempat yang sejuk. Secara ekonomis bahan dasar yang disari dapat diperas
sekuat mungkin dengan perasaan hidrolik.
TINGTUR YANG TERDAPAT DALAM FARMAKOPE INDANESIA EDISI III
1. Belladannae Tinctura dibuat secara perkolasi 10 bagian serbuk dengan etanol encer,

119
hingga diperoleh 100 bagian tingtur
2. Cinnamomi Tinctura, dibuat secara perkolasi 20 bagian serbuk dengan etanol encer,
hingga diperoleh 100 bagian tingtur.
3. Digitalis Tinctura, dibuat secara perkolasi 10 bagian serbuk dengan etanol 70% hingga
diperoleh 100 bagian tingtur.
4. lodii Tinctura dibuat dengan melarutkan Iodum dan Natrii Iodidum dalam air, Natrii
lodidum digunakan untuk melarutkan lodum karena terbentuk senyawa komplek.
5. Opii Tinctura, dibuat secara maserasi 10 bagian serbuk dengan etano170% v/v, hinga
diperoleh 100 bagian tingtur.
6. Opii Aromatica Tinctura, dibuat secara maserasi I bagian serbuk Cinnamomi
Cortex, Caryophylli dan 12 bagian Opium dengan etanol 70% v/v dan air sama
banyak, hingga dieperoleh 100 bagian tingtur.
7. Secalis Cornuti Tinctura, dibuat dengan mengencerkan 1 bagian ekstrak Sekale dengan
9 bagian etanol encer.
8. Valerianae Tinctura,dibuat secara maserasi 20 bagian serbuk Valerianae Cortex
dengan etano1 70%a, hingga diperoleh 100 bagian tingtur.
TINGTUR YANG TERDAPAT DI F.I ED.II
1. Capsici Tinctura, dibuat secara maserasi 10 bagian serbuk dengan 9 bagian volume
etanol (95%) dan 1 bagian volume air selama 3 jam, perkolasi cepat hingga diperleh
100 ml tingtur.
2. Lobeliae Tinctura: dibuat secara perkolasi 10 bagian serbuk menjadi 100 bagian
tingtur dengan etanol 70%.
3. Myrrhae Tinctura, dibuat secara maserasi 20 bagian serbuk dengan etanol 90% v/v
menjadi 100 bagian tingtur.
4. Stramonii Tinctura, dibuat secara maserasi 20 bagian serbuk dengan etanol 70% v/v
hingga diperoleh 100 bagian tingtur.
5. Strychnine Tinctura, dibuat secara perkolasi 10 bagian serbuk biji yang dihilangkan
lemaknya, dengan etanol 70% v/v hingga diperoleh 100 bagian tingtur.

TINGTUR YANG TERDAPAT DALAM EKSTRA F.I. 1974 ADALAH

1. Cardamoms Tinctura Composita, dibuat maserasi 20 g serbuk Cardamoms Semen, 25 g


serbuk Cinnamomi Cortex dan 12 g serbuk Carci Fructus dengan 7500 ml campuran 50
ml gliserin dan 950 ml etanol encer selama 3 hari hingga diperoleh 1000 ml tingtur.

120
2. Catechu Tinctura, dibuat secara maserasi selama 7 hare, campuran 200 g Catechu
yang telah diremukkan dan 50 g Cinnamomi Cortex yang telah dimemarkan dengan 1000
ml etanol 45%, diaduk, disaring dan disaring.
3. Ipecacuanhae Tinctura, dibuat secara perkolasi 10 bagian serbuk Ipecacuanhae Radix
dengan etanol encer hingga diperoleh 100 bagian tingtur.
4. Opii Tinctura Benzoica, dibuat secara maserasi selama 5 hari campuran 4,3 g serbuk
Camphora dalam campuran 38 ml gliserol dan 900 ml etanol 50%. Disaring dicuci
sampai diperoleh fitrat 950 ml dan ditentukan kadarnya sesuai dengan persyaratan kadar
morfin anhidrat 0,040% b/v.
5. Polvgalae Tinctura, dibuat secara maserasi 20 bagian irisan Polygalae Herba dengan
etanol 60% hingga diperoleh 100 bagian tingtur.
6. Ratanhiae Tinctura, dibuat secara maserasi 20 bagian serbuk Ratanhiae Radix dengan
etanol 60% hingga diperoleh 100 bagian tingtur.
7. Rhei Tinctura Composita, dibuat dengan cara campuran 100 g serbuk Rhei Radix, 12,5 g
serbuk Cardamomi Semen dan 12, 5 g serbuk Coriandri Fructus dibasahi dan diperkolasi
dengan etanol 60% hingga diperoleh 850 ml perkolat. Kemudian perkolat ditambah 100
ml gliserin dan etanol sampai diperoleh 1000 ml tingtur.
TINGTUR BERDASAR CARA PEMBUATAN:
1. Tingtur yang dibuat dengan maserasi:
a. Opii Tinctura, F.I. edisi II (!0% bahan dasar)
b. Opii Tinctura Aromatics, F.I. Ed. III (12% bahan dasar).
c. Digunakan 12% Opium untuk mengimbangi Morphinum yang diendapkan oleh tanin
dare Cinnamomi Cortex.
d. Valerianae Tinctura, F.I. ed. II (20% bahan dasar)
e. Myrrhae Tincutura, F.I. Ed. II (20% bahan dasar)
f. Capsici Tinctura. F.I. Ed.11 (10% bahan dasar)
g. Polygalae Tinctura. Ekstra F.I. 1974 (20% bahan dasar)
2. Tingtur yang dibuat dengan cara modifikasi maserasi:
a. Cardamomi Tinctura Composita, Ekstra F.I. 1974.
b. Catechu Tinctura, ekstra F.I. 1974 (20% bahan dasar).
c. Opii Tinctura Benzoica, Ekstra F.I. 1971.
3. Tingtur yang dibuat dengan cara perkolasi:
a. Belladannae Tinctura, F.I. Ed.III (10% bahan dasar)
b. Cinnamomi Tinctura, F.I. Ed.III (20%) bahan dasar)
c. Digitalis Tinctura, F.I. Ed,III. (10% bahan dasar)

121
d. Lobeliae Tinctura, F.I. Ed.II (10% bahan dasar)
e. Stramonii Tinctura. F.LEd.II (10% bahan dasar)
f. Strychnine Tinctura, F.I. Ed.II (10% bahan dasar)
g. Ipecacuanhae Tincutra. Ekstra F.I. 1974 (1090 bahan dasar)
4. Tingtur yang dibuat dengan cara modifikasi perkolasi:
Rhei 'Tinctura Composita, Ekstra F.I. 1974 (10% bahan dasar pokok).
5. Tingtur yang dibuat dengan cara melarutkan:
a. Iodii Tinctura, melarutkan lodium.
b. Secale Cornuti Tinctura, dengan melarutkan Ekstrak Sekale.

3. SIRUPI (SIROP)
Sirop adalah sediaan cair berupa larutan yang mengandung sakarosa. Kadar sakarosa
adalah tidak kurang dari 64,0% dan tidak lebih dari 66,9% kecuali dinyatakan lain.
Sirop dibuat sebagai berikut, dibuat cairan untuk sirop, dipanaskan dan ditambah gula,
jika perlu dididihkan hingga larut. Ditambahkan air mendidih secukupnya hingga diperoleh
bobot yang dikehendaki, bila terjadi busa, hilangkan busanya dan disaring. Pembuatan
sirop dari simplisia yang mengandung glikosida antrakinon, ditambahkan natrium karbonat
sejumlah 10% bobot simplisia. Pada pembuatan sirop simplisia untuk persediaan
ditambahkan nipagin 0,25% b/v atau pengawet yang cocok. Sirop disimpan dalam wadah
tertutup rapat dan ditempat yang sejuk. Kadar gula dalam sirop pada suhu kamar maksimum
66% sakarosa, bila lebih tinggi akan terjadi pengkristalan, tetapi bila lebih rendah dari 62%
sirop akan membusuk. Berat jenis sirop ialah kira-kira 1,3. Pada penyimpanan dapat terjadi
pemecahan sakarosa menjadi glukosa dan fruktosa. Bila sirop yang bereaksi asam, pemecahan
sakarosa dapat terjadi lebih cepat.
Dalam larutan berair, mengandung 62% atau lebih, sakarosa tidak dapat ditumbuhi
jamur, meskipun jamur tidak terbunuh.
Bila kadar sakarosa turun karena pemecahan struktur, maka jamur dapat tumbuh.
Bila dalam resep sirop diencerkan dengan air, dapat pula ditumbuhi jamur. Untuk mencegah
sirop tidak menjadi busuk ditambahkan nipagin sebagai pengawet.
Bila cairan hasil penyarian mengandung zat yang mudah menguap maka sakarosa
dilarutkan dengan pemanasan rendah dan dalam botol yang tertutup, hal ini dilakukan dalam
membuat Aurantii Corticis Sirupus, Balsami Tolutani Sirupus, Colae composites Sirupus,
Senegae Sirupus, Thymi Sirupus dan Thymi composites Sirupus. Pada pembuatan
Cinnamomi Sirupus sakarosa dilarutkan tanpa penggunaan panas.

Untuk pembuatan sirop diperlukan dulu pembuatan cairan, yang dilakukan sebagai

122
berikut:
1. Althaeae Sirupus, akar Althaeae dipotong tipis-tipis, dicuci bersih dandimaserasi
dengan larutan Nipagin (1 =400) dalam air.

2. Aurantii Corticis Sirupus (F.LEd.II), kulit jeruk dipotong kecil-kecil dan diperkolasi
dengan air yang mengandung Nipagin.

3. Colae Composites Sirupus, Cairan untuk sirop, merupakan larutan Fern Citras,
Qiiininum, Strychnini Nitras, Natrii Glycerophosphas dan Acidum Citricum ditambah
Colae Extractum liquidum, Spiritus fortior dan Oleum Aurantii Corticis. Dalam
wadah tertutup dilarutkan sakarosa dengan pemananasan rendah. Mengandung kadar
sakarosa 47% dan etanol 18%.
4. Ferrosi lodidi Sirupus
Ferrum pulveratum dicampur dengan air. Iodum ditambahkan sedikit-sedikit sambil
digerus. Setelah warns coklat hilang maka larutan disaring dimasukkan ke dalam
larutan 0,5 bagian Acidum citricum dan 600 bagian sakarosa dalam 200 bagian air
papas. Untuk mencegah terjadinya oksidasi dari ferro-iodida maka ujung corong
masuk dalam larutan sakarosa. Sisi serbuk besi pada kerta Baring dicuci dengan air
sampai diperoleh 1000 bagian sirop. Guna Acidum citricum adalah untuk
mempercepat inversi sakarosa, pecah menjadi glukosa dan fruktosa merupakan
reduktor kuat berguna untuk menvegah oksidasi Ferro lodidum. Ferro Iodidum selalu
dibuat baru.
5. lpecacuanhae Sirupus
Sirop ini dibuat dengan mencampur 10 bagian Ipecacuanhae Tinctura dengan 90
bagian Sirupus simplex.
6. Kreosoti composites Sirupus
Sirop ini dibuat dengan melarutkan Ephedrinun dalam campuran Kreosotum, Aconiti
Tinctura dan Etanol. Dalam cairan ini ditambahkan Balsami Tolutani Sirupus dan
Calcii Lactophosphatis Sirupus dan disaring. Kadar sakarosa kira-kira 55%.
7. Rhamni Frangulae Sirupus
Cairan sirop diperleh dengan cara infusa Frangula Cortex dengan penambahan Natrii
Carbonas.
8. Rhei Sirupus
Cairan sirop diperoleh dan mascrasi Rhei Radix yang dipotong tipis-tipis dengan
berulang-ulang diaduk selama 24 jam dengan penambahan Natrii Carbonas untuk
memudahkan larut anthraglikosida.
9. Rhoeados Sirupus
123
Cairan sirop diperoleh dengan cara infusa Rhoeados Petalum selama setengah
jam dengan air yang mengandung Nipagin.
10. Senegae Sfrupus
Cairan sirop dibuat dengan cara perkolasi Senegae Radix dengan cairan penyari etanol
dan air dengan penambahan Nipagin. Dengan pemanasan rendah dilarutkan gulanya.
11. Sennae Sirupus
Cairan sirup dibuat dengan cara infus Sennae Folium dengan tambahan Natrii
Carbonas selama 15 menit dengan air.
12. Sirupus simplex
Sirop yang mengandung sakarosa 65% dalam larutan Nipagin.
13. Thymi Sirupus
Cairan sirop dibuat dengan cara perkolasi Thymi Herba dengan air di mana terlarut
Nipagin. Sakarosa dilarutkan dalam cairan sirop tersebut dengan pemanasan rendah.
14. Thymi compositus Sirupus
Cairan sirup dibuat dengan perkolasi Thymi Herba dan Thymi Serpylli Herba dengan
larutan Nipagin dalam air. Sakarosa dilarutkan dalam cairan sirop dengan pemanasan
yang rendah. Perlu diketahui bahwa Sirupus umumnya adalah netral atau asam
lemah, kecuali Rhamni Frangulae Sfrupus dan Sennae Sirupus bereaksi alkali.
5. SPIRITUS AROMATICI
Spiritus Aromatics dibuat dengan maserasi sejumlah simplisia dengan campuran
sejumlah etanol dan air selama 24 jam. Maserat lalu didestilasi sampai diperoleh 1000 bagian.
Kadar etanol Spiritus Aromatics adalah 65% v/v.
Spiritus Aromatics harus jernih, tidak berwarna, cairan berbau aroma dan berasa, yang
mengandung hanya bagian yang mudah menguap tidak mengandung tanin dan harsa
Pengenceran Spiritus Aromatics dengan air akan menjadi keruh, karena minyak menguap
yang dikandung kurang larut dalam air.
Dalam Farmakope Belanda terdapat sediaan:
1. Spiritus Aromaticus
Maserasi selama 24 jam, Majoranae Herba, Cinnamomi Corterx. Myristicae Semen,
Caryophyllum dan Coriandri Fructus dengan campuranetanol dan air. Dari cairan tersebut
lalu didestilasi hingga diperoleh 1000 bagian.
2. Spiritus Cinnamomi
Maserasi selama 24 jam serbuk Cinnamomi Cortex dengan campuran etanol dan air. Dari
cairan ins lalu didestilir hingga diperoleh 1000 bagian.
3. Spiritus Citri

124
Maserasi selama 24 jam Citri Fructus Cortex segar dengan etanol. Lalu didestilasi dan
akhirnya didestilasi dengan uap hingga diperoleh 1000 bagian.
4. Spiritus Cochleariae
Maserasi selama 24 jam Cochleariae Herba dan Armoraciae Radix dengan campuran air
dan etanol. Lalu didestilir hingga diperoleh 1000 bagian.
5. Spiritus Lavandulae
Larutkan 1 bagian Oleum Lavandulae dalam 150 bagian etanol
90% v/v dan 49 bagian ari.
6. VINUM (ANGGUR OBAT)
Menurut Farmakope Belanda Vinum adalah anggur dari Spanyol yang dalam
perdagangan dikenal dengan anggur Sherry (Xereswijn) mengandung etanol tidak
kurang dare 18%, v/v; boleh pula diberikan jenis lain asal memenuhi syarat Farmakope.
Cinchonae Vinum, dibuat dengan maserasi 2 bagian serbuk kina dan buat 80 bagian
anggur, larutkan ke dalamnya 20 bagian sakarosa, biarkan 6 hari pada tempat sejuk lalu
disaring.Condurango Vinum, dibuat dengan maserasi 10 bagian serbuk Condurango Cortex
dan dibuat 100 bagian anggur.

7. AQUA AROMATICA (AIR AROMATIK)

Air aromatik menurut Farmakope Indanesia Edisi II adalah larutan jenuh minyak atsiri
dalam air.
Air aromatik merupakan cairan jernih atau agak keruh, mempunyai bau dan rasa yang
tidak menyimpang dari bau dan rasa minyak atsiri asal. Air aromatik disimpan dalam wadah
tertutup rapat, terlindung dari cahaya dan di tempat yang sejuk.
Pembuatan air aromatik dilakukan dengan melarutkan sejumlah minyak atsiri sesuai yang
tertera dalam 60 ml etanol (95%), lalu ditambah air sedikit demi sedikit sambil dikocok
kuat-kuat hingga 100 ml. Ditambah 500 mg talcum sambil dikocok sekali-kali, dibiarkan
selama beberapa jam dan disaring. Dan 1 bagian volume filtrat diencerkan dengan 39 bagian
volume air.
Sebagai contoh komposisi minyak atsiri yang digunakan dalam membuat aqua aromatik
adalah sebagai berikut: untuk Aqua Foeniculi digunakan 4 g Oleum Foeniculi sedangkan untuk
aqua Menthae Piperitae digunakan 2 g Oleum Menthae Piperitae.
Untuk pembuatan Aqua Rosae dilakukan sebagai berikut: larutkan 1 g Oleum Rosae
dalam 20 ml etanol. Pada filtrat ditambahkan air secukupnya hingga 5000 ml dan
disaring.

125
Bila air aromatik dalam penyimpanan terjadi kekeruhan maka sebelum digunakan harus
dikocok kuat-kuat.
7. SEDIAAN GALENIK LAIN
Hyoscyami lnfusum Oleosum, dibuat dengan:
Mencampur 25 bagian serbuk Hyoscyami Herba dengan 50 bagian etanol 90% vlv dan
l bagian Ammonia. Panasi selama 10 jam pada suhu 50 0 dijaga agar sedikit mungkin etanol
menguap. Tambahkan 250 bagian Oleum Sesami dan panasi hingga kira-kira 80°, diaduk
sampai etanol menguap. Diperas, dan biarkan cairan mengendap dan disaring.

Solutio Carbonis Detergens. dibuat dengan:


Mencampur 100 bagian Pix Lithanthracis dengan 500 bagian pasir dan 10 bagian
Saponinum crudum, ditambahkan 500 bagian campuran 99,5 bagian etanol 70% v/v fsn 0,5
bagian aseton dan memaserasi selama 5 hari sambil berkali-kali digojok. Disaring dan
dibiarkan filtrat 2 hari, setclah itu disaring lagi.
BAB XI
AEROSOL, INHALASI DAN OBAT SEMPROT

Tujuan Instruksional Umum:


Setelah selesai membahas dan mendiskusikan pokok bahasan ini, mahasiswa semester II
Jurusan Farmasi FMIPA UNUD dapat menjelaskan cara pembuatan dan pemakaian sediaan
aerosol dan inhalasi dengan benar (C2).

Tujuan Instruksional Khusus:


1. Mahasiswa dapat menjelaskan cara pembuatan dan pemakaian sediaan
aerosol dengan benar (C2).
2. Mahasiswa dapat menjelaskan cara pembuatan dan pemakaian sediaan
inhalasi dengan benar (C2).

Aerosol Farmasi

Aerosol farmasi adalah "bentuk sediaan yang diberi tekanan, mengandung satu atau
lebih bahan aktif yang bila diaktifkan memancarkan butiran-butiran cairan dan/atau
bahan-bahan padat dalam media gas." Aerosol farmasi sama dengan bentuk-bentuk sediaan
lain, memerlukan pertimbangan yang sama mengenai formulasi, kestabilan produk dan
efektivitas pengobatan. Akan tetapi aerosol berbeda dari kebanyakan bentuk-bentuk
pemberian lain dalam hal: ketergantungannya pada fungsi wadah, pada katup yang

126
dipasang, komponen tambahan propelan (pendorong). Hal ini untuk pemberian obat
dalam bentuk yang tepat secara fisik.
Istilah kemasan yang bertekanan umumnya digunakan bila dihubungkan dengan wadah
aerosol atau produk lengkap. Tekanan dipakai pada sistem aerosol lewat penggunaan satu
atau lebih bahan pendorong (propelan) berbentuk cair atau gas. Pada pengaktifan katup
yang dipasang pada aerosol, bahan pendorong menimbulkan desakan tekanan yang men-
dorong isi wadah keluar lewat lubang katup. Bentuk fisik dimana isi dipancarkan tergantung
pada formulasi produk dan jenis katup yang digunakan. Produk aerosol dapat dirancang
untuk mendorong keluar isinya dalam bentuk kabut halus, kasar, semprotan basah atau
kering, aliran yang mantap (terus-menerus) atau busa yang stabil atau busa yang cepat
pecah. Pemilihan bentuk fisik untuk diberikan sebagai aerosol tergantung pada tujuan
penggunaan produk tersebut. Misalnya, aerosol ditujukan untuk inhalasi, seperti pada
pengobatan asma atau emfisema, partikel yang ada harus dalam bentuk kabut cairan halus
atau seperti partikel-partikel padat yang terbagi-bagi halus agar produk menjadi efektif.
Secara umum telah diterima bahwa part kel-partikel yang besarnya kurang dari 6 mikron
akan mencapai bronkiolus respiratorius, dan yang besarnya kurang dari 2 mikron akan
mencapai duktus ilveolus dan alveoli. Akan tetapi bila diinginkan me nempatkanya
ditrakea dan bronkiolus primer atau sekunder untuk mendapatkan efek setempat, maka
dibutuhkan partikel yang besarnya 20 - 60 µm. sebaliknya ukuran partikel semprotan kulit
yang ditujukan untuk ditempatkan pada kulit akan lebih kasar dan umumnya kurang tajam
untuk kemanjuran pengobatan produk. Beberapa aerosol untuk kulit yang diberikan pada
pengobatan, berbentuk bubuk, semprotan basah, aliran cairan (bius lokal anestesi), atau
produk yang mirip salep. Aerosol farmasi lain termasuk busa vagina dan rektal.
Aerosol yang digunakan untuk menghasilkan kabut yang berterbangan, dinamakan
semprotan ruang. Zat pembasmi hama (disinfektan) ruang, pewangi ruang dan insektisida
ruang digolongkan dalam kelompok aerosol. Ukuran partikel produk yang dilepaskan
umumnya benar-benar kecil, batasnya di bawah 50 mikron, dan harus diawasi dengan teliti,
supaya butiran yang tersebar atau partikel-partikel tetap melayang/beterbangan unluk
periode waktu yang panjang. Satu detik "pancaran" dari aerosol /jenis semprotan ruang,
akan menghasilkan 120 juta partikel, sejumlah besar di antaranya akan tetap tersuspensi
dalam edam untuk 1 jam.
Aerosol yang dimaksudkan untuk membawa bahan aktif ke permukaan disebut
semprotan permukaan atau pelapis permukaan. Aerosol untuk kulit dapat dimasukkan dalam
kelompok ini. Juga termasuk di dalamnya sejumlah besar produk aerosol bahan farmasi,
seperti penyemprot pewangi perorangan/pribadi, penyemprot kosmetik rambut dan pela-

127
pis/pelicin kosmetik rambut, parfum dan penyemprot cologne, busa pencukur, pasta gigi,
penyemprot-pestisida permukaan, penyemprot cat dan berbagai produk alat rumah tangga
seperti tepung penyemprot, lilin, penggosok, pembersih, dan pelincir: Sejumlah produk
peternakan dan hewan peliharaan telah dibuat dalam bentuk aerosol seperti yang telah
dilakukan pada produk makanan seperti lapisan/olesan di kue-kue dan pengoles makanan.

Keuntungan Bentuk Sediaan Aerosol


Beberapa keistimewaan aerosol farmasi yang dianggap menguntungkan dibandingkan
bentuk sediaan lain adalah sebagai berikut:

1. Sebagian obat dapat dengan mudah diambil dari wadah tanpa sisanya menjadi tercemar
atau terpapar.
2. Berdasarkan pada wadah aerosol yang kedap udara, maka zat obat terlindung dari
pengaruh yang tidak diinginkan akibat 02 dan kelembapan. Karena tidak tembus
cahaya, wadah aerosol yang umum juga melindungi obat dari pengaruh yang tidak
diinginkan akibat cahaya. Penjagaan ini tetap berlangsung selama penggunaan dan
masa pakai produk. Bila produk dikemas dalam kondisi steril, sterilitas juga dapat
dipertahankan.

3. Pengobatan topikal dapot diberikan secara merata, melapisi kulil tanpa


menyentuh daerah yang diobati. Penggunaan cara ini mungkin mengurangi iritasi
yang kadang-kadang berkaitan dengan pcmberian sediaan topikal dengan cara
mekanik (dengan ujung-ujung jari). Penguapan cepat zat pendorong juga
memberikan efek pendinginan dan penyegaran.
4. Dengan formula yang tepat dan pengontrolan katup, bentuk fisik dan ukuran
partikel produk yang dipancarkan dapat diatur yang mungkin mempunyai andil
dalam efektivitas obat; contohnya, kabut halus yang terkendali dari aerosol inhalasi.
Lewat penggunaan katup pengukur, dosis dapat diatur.
5. Penggunaan aerosol merupakan proses yang "bersih," tidak memerlukan
"pencucian" oleh pemakainya.

Prinsip Aerosol
Formulasi aerosol terdiri dari dua bagian komponen, cairan pekat produk dan
pendorong (propelan). Cairan pekat produk adalah bahan aktif aerosol dicampur
dengan bahan-bahan pembantu/penolong yang dibutuhkan, seperti antioksidan, zat

128
yang aktif pada permukaan dan pelarut, untuk kestabilan dan efektivitas produk.
Pendorong biasanya adalah gas cair atau campuran gas cair yang seringkali berperan
ganda, sebagai pendorong dan pelarut atau pembawa cairan pekat produk. Yang
digunakan sebagai propelan pada sistem aerosol tertentu ialah gas yang tidak dicairkan
yang diberi tekanan seperti karbondioksida (C0 2), nitrogen dan NO.
Selama beberapa tahun, pendorong gas cair yang terbanyak digunakan dalam
sediaan aerosol adalah hidrokarbon terfluorinasi. Akan tetapi, tahun 1977 FDA
bersama dengan Consumer Product Safety Commission memprakarsai persyaratan
pemberian etiket yang memperingatkan bahwa propelan hidrokarbon terfluorinasi dapat
membahayakan kesehatan ma syarakat dan lingkungan karena mengurangi ozon di
atas atmosfer. Persyaratan pemberian etiket disusul dengan larangan pcnggunaan
propelan ini pada hampir semua produk aerosol di tahun 1978. Sebagian besar pro duk
diformulasikan kembali dengan kandungan propelan yang berbeda. Akan tetapi,
beberapa produk farmasi seperti aerosol inhalasi, dibebaskan dari peraturan ini karena
propelan pengganti yang tepat belum ada. Klorofluorokarbon yang digunakan sebagai
pendorong di farmasi di antaranya adalah diklorodifluorometan, diklorotetrafluoroetan,
dan trikloromonofluorometan.
Hidrokarbon terfluorinasi berbentuk gas pada temperatur kamar, mencair pada
pendinginan di bawah titik didihnya atau pada penekanan gas pada temperatur ruang.
Sebagai contoh, gas diklorodifluorometan ("Freon 12") akan berbentuk cair bila
didinginkan sampai -22 F atau bila ditekan dengan tekan 70 psi pada 70 F.

Sistem aerosol
Tekanan pada aerosol adalah hal yang penting terhadap daya gunanya. Hal ini dapat
dikontrol dengan (1) jenis dan jumlah zat pendorong; (2) sifat dan jumlah bahan yang
mengandung cairan pekat produk. Dengan demikian, setiap formula khusus untuk dirinya
sendiri dan jumlah tertentu zat pendorong yang akan digunakan dalam produk aerosol tidak
dapat ditetapkan dengan pasti. Akan tetapi, beberapa perumusan umum dapat dibuat dalam
hubungannya dengan pembicaraan ini. Penyemprot ruang umumnya mengandung bahan
pendorong lebih banyak daripada aerosol yang dimaksudkan untuk pelapis permukaan,
dan berarti dilepaskan dengan tekanan yang lebih besar dan partikel yang dihasilkan dipancarkan
dengan lebih keras dari katup. Aerosol ruang biasanya dijalankan pada tekanan antara 30
- 40 psig pada 70°F dengan kemungkinan mengandung pendorong sebanyak 85%. Aerosol
permukaan umumnya mengandung 10% pendorong dengan tekanan antara 25 - 55 psig
pada 70°F. Aerosol permukaan biasanya dijalankan antara 35 - 55 psig pada 70°F dengan

129
kemungkinan mengandung pendorong hanya sebanyak 6 - 10%.
Aerosol busa dapat ditanggap sebagai emulsi, dimana pendorong cair sebagian
cenderung diemulsikan dengan cairan pekat produk dari yang larut dalam cairan pekat
produk. Karena hidrokarbon terfluorinasi adalah pearut organik nonpolar maka tidak
mempunyai daya tarik-menarik dengan air, pendorong cair tidak larut dalam formula berair.
Penggunaan surfaktan atau zat pengemulsi dalam formula mendorong percampuran dua
komponen untuk meningkatkan pembentukan emulsi. Pengocokan wadah sebelum digunakan
memperkuat pencampuran pendorong ke seluruh cairan pekat produk. Bila katup aerosol
diaktifkan, campuran dikeluarkan ke udara luar dimana butir-butir pendorong akan
menguap dengan cepat, meninggalkan bahan aktif dalam bentuk busa.
Pencampuran berbagai pendorong dalam bentuk gas cair, umumnya digunakan
dalam aerosol farmasi, untuk mencapai tekanan uap yang diinginkan dan untuk memberi ciri
pelarut yang tepat untuk produk yang diberikan. Beberapa pendorong dihapuskan dari produk-
produk tertentu karena reaktivitasnya dengan bahan-bahan formula lainnya atau dengan wadah
yang diusulkan, atau dengan komponen katup. Sebagai contoh, trikloromonofluorometan
cenderung untuk membentuk asam klorida bebas blla diformulasikan dengan sistem yang
mengandung air atau etil alcohol. Yang terakhir disebut umumnya dipakai sebagai pelarut
penyerta dalam sistem aerosol. Asam klorida bebas tidak hanya mempengaruhi efektivitas
produk, tetapi juga menimbulkan kerja yang merusak beberapa komponen wadah.

Efek fisiologis propelan juga harus dipertimbangkan dalam formulasi suati aerosol,
untuk menjamin keamanan produk pada penggunaan yang diharapkan. Walaupun propelan
secara tersendiri atau dalam campuran dengan bahan aktif formula tidak toksik bila
dicobakan pada orang, karena penggunaan bentuk aerosol mempunyai segi-segi yang tidak
diharapkan. Sebagai contoh, bila bahan aktif yang busa digunakan dalam penyemprot
hidung atau mulut ditempatkan dalam kabut aerosol yang halus mungkin akan mencapai
saluran napas yang lebih dalam daripada yang diharapkan dan mungkin menyebabkan iritasi.
Contoh lain, seperti pada produk-produk baru aerosol untuk kulit, vagina dan rektal,
pengaruh bentuk aerosol obat pada membran jaringan penerima obat harus dievaluasi
terhadap efek iritasi dan perubahan-perubahan dalam absorpsi obat dari tempat yang
terkena obat. Pola absorpsi obat mungkin berubah karena peningkatan kecepatan kelarutan
partikel-partikel halus yang biasanya dihasilkan pada produk aerosol.
Walaupun hidrokarbon terfluorinasi mempunyai tingkat toksisitas yang relatif rendah
dan umumnya tidak mengiritasi, tetapi individu-individu tertentu yang mungkin sensitif
terhadap bahan propelan dan yang menggunakan aerosol inhalasi, mungkin

130
memperlihatkan efek kardiotoksik sesudah penggunaan yang cepat dan berulang-ulang.
SISTEM DUA FASE.
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, system aerosol dua fase terdiri dari fase cair yang
mengandung propelan cair dan cairan pekat produk, serta fase gas.
SISTEM TIGA FASE.
Sistem ini: terdiri dari lapisan air-cairan propelan yang tidak bercampur, lapisan cairan
pekat produk yang sangat berair dan fase gas. Karena propelan cair biasanya mempunyai
kerapatan (dansitas) yang lebih besar dari lapisan air, maka umumnya propelan berada di begian
wadah dengan fase air yang mengambang diatasnya. Seperti pada sistem dua fase, pada waktu
katup diaktifkan tekanan fase gas menyebabkan fase cair naik ke dalam pipa tercelup dan
dikeluarkan dari wadah. Untuk menghindari penglepasan yang tidak diinginkan darl simpanan
propelan cair, maka pipa tercelup harus dijulurkan hanya ke dalam fase air (cairan pekat produk)
dan tidak diturunkan ke lapisan propelan cair. Produk air dipisahkan masuk ke dalam
penyemprot dengan kerja mekanik katup, jika wadah dikocok, segera sebelum digunakan,
beberapa propelan cair dapat bercampur dengan fase air dan dikeluarkan dari katup untuk
memudahkan penyebaran produk yang dikeluarkan atau pembentukan busa, tergantung pada
formulasi. Fase gas dalam wadah diisi dari fase propelan cair.
SISTEM GAS BERTEKANAN.
Gas yang diberi tekanan lebih disukai dari yang cair dalam penggunaan untuk pembuatan
aerosol. Tekanan dari gas bertekanan yang terdapat dalam ruang depan/atas wadah aerosol
mendorong cairan pekat produk ke atas tabung tercelup dan ke luar dari katup. Penggunaan gas
yang tidak larut dalam cairan pekat produk, seperti nitrogen, akan menghasilkan pemancaran
produk dalam bentuk, yang pada dasarnya sama dengan yang ditempatkan dalam wadah,
karena bukan gas yang akan dipancarkan dari katup untuk menyebabkan penyebaran partikel
atau busa. Berarti, penurunan ukuran partikel pada pemancaran produk merupakan
fungsi dari jenis katup yang digunakan. Keuntungan Nitrogen sebagai propelan adalah
sifat inertnya terhadap komponen lain formula dan pengaruh proteksinya terhadap oksi-
dasi. Lebih jauh lagi, nitrogen adalah gas yang tidak berbau dan berasa dan karena itu
tidak ikut andil dalam ketidakcocokan rasa atau bau produk.
Gas-gas lain, seperti karbondioksida dan nitrogen oksida, yang sedikit larut dalam fase
cair produk aerosol, dapat digunakan pada keadaan dimana pengeluarannya bersama cairan
pekat produk dibutuhkan untuk mencapai pembentukan busa atau semprotan.
Berbeda dengan aerosol-aerosol yang dibuat dengan propelan gas cair, disini tidak ada
simpanan propelan cair dalam aerosol-aerosol yang diisi gas bertekanan. Dengan demikian
tekanan gas yang lebih besar umumnya dibutuhkan pada sistem ini, dan tekanan pada

131
aerosol ini akan berkurang secara cepat sewaktu produk digunakan.

Wadah Aerosol dan Pemasangan Katup


Keefektifan aerosol farmasi tergantung pada penemuan/pencapaian kombinasi yang
tepat dari formula, wadah dan pemasangan katup. Formulasi harus tidak berinteraksi secara
kimia dengan wadah atau komponen katup yang dapat mengganggu kestabilan formula atau
keutuhan pengoperaasian wadah dan pemasangan katup. Wadah dan katup harus mampu
menahan tekanan yang diinginkan produk, harus tahan terhadap kerusakan, dan katup harus
berperan dalam pembentukan produk yang dipancarkan.
WADAH.
Berbagai bahan yang telah digunakan dalam pembuatan wadah aerosol, termasuk (1)
gelas, dilapisi atau tidak dilapisi plastik; (2) logam, termasuk kaleng yang disepuh
dengan baja, aluminium dan baja tidak berkarat (stainless steel); dan (3) plastik.
Pemilihan wadah untuk produk aerosol berdasarkan pada kemampuan penyesuaiannya
terhadap cara pembuatan, ketercampurannya dengan komponen formula, kemampuannya
untuk menahan tekanan yang diharapkan produk, kepentingannya dalam model dan daya
tarik estetik pada bagian pembuatan pembiayaan.
Meskipun rapuh dan bahaya pecah, wadah gelas lebih dipilih untuk sebagian besar aerosol.
Gelas mencegah lebih banyak persoalan yang disebabkan oleh ketidakcampuran secara
kimia dengan formulasi daripada yang terjadi dengan wadah logam dan tidak men jadi
sasaran karat. Gelas juga lebih dapat disesuaikan dengan kreativitas model. Segi negatifnya,
wadah gelas harus direncanakan tepat untuk menghasilkan tekanan maksimum yang aman dari
daya tahan tekan yang kuat. Lapisan plastik umum dipakai di permukaan luar wadah gelas
untuk membuatnya lebih tahan terhadap pecah yang tidak disengaja. Dan bila pecah, lapisan
plastik mencegah penyebaran pecahan-pecahan gelas. Bila tekanan total sistem aerosol di
bawah 25 psig dan tidak lebih darl 50% propelan digunakan, wadah gelas diperhitungkan
cukup aman. Bila diperlukan, lapisan dalam wadah gelas dapat dilapisi, untuk membuatnya lebih
tahan terhadap zat-zat kimia dari bahan-bahan formulasi.
Pada saat sekarang, wadah kaleng yang disepuh dengan baja yang paling banyak
digunakan dari wadah logam untuk aerosol. Karena bahan awal yang digunakan dalam
bentuk lapisan-lapisan, tabung aerosol yang lengkap dilipat dan dipatri untuk
mendapatkan unit yang tertutup. Bila dikehendaki, lapisan penjaga khusus digunakan dalam
wadah untuk mencegah berkarat dan interaksi antara wadah dan formula. Wadah harus
dicoba hati-hati sebelum diisi. Untuk menjamin bahwa tidak ada kebo coran pada lipatan
atau pada lapisan penjaga, yang akan membuat wadah lemah atau menjadi sasaran karat.

132
Wadah aluminium terbanyak dibuat dengan penjuluran atau dengan cara lain yang
membuatnya tanpa lipatan. Wadah ini mempunyai keuntungan melebihi jenis wadah yang
dilipat dalam hal ketahanan terhadap kebocoran, ketidakcampuran, dan karat. Baja tidak
berkarat digunakan untuk mendapatkan wadah aerosol volume kecil tertentu dimana
dibutuhkan daya tahan yang besar terhadap zat-zat kimia. Keterbatasan pemakaian baja
tidak berkarat ini adalah biayanya yang tinggi.
Wadah plastik tidak selalu berhasil baik sebagai pengemas aerosol karena sifatnya yang dapat
ditembus oleh uap dalam wadah. Juga, interaksi tertentu obat-plastik telah terjadi yang
mempengaruhi pelepasan obat dari wadah dan menurunkan efektivitas produk.

KATUP TERPASANG
Fungsi katup terpasang adalah untuk memungkinkan penglepasan isi wadah dari tabung
dalam bentuk yang diinginkan dengan kecepatan yang diinginkan dan dengan adanya katup
yang berukuran, dalam jumlah/dosis yang tepat. Bahan yang digunakan dalam pembuatan katup
harus disetujui oleh FDA. Di antara bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan
berbagai katup ialah plastik, karet, alumunium dan baja tidak berkarat.
Katup aerosol terpasang biasanya terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
1. Aktuator
Aktuator adalah kenop yang ditekan oleh pemakai untuk mengaktifkan katup
terpasang untuk pemancaran produk. Aktuator memungkinkan pembukaan dan
penutupan katup dengan mudah. lni terjadi lewat lubang pada aktuator di mana pro duk
dilepaskan. Modal ruang dalam dan ukuran lubang pemancar di aktuator berperan pada
bentuk fisik produk yang dilepas (kabut, somprotan halus, aliran zat padat, atau busa).
Campuran jenis dan jumlah propelan yang digunakan, model aktuator dan ukuran
mengontrol besarnya partikel produk yang dipancarkan. Lebih besar lubang (dan lebih
sedikit propelan) yang digunakan untuk memanrarkan produk dalam bentuk busa atau
aliran padat dibandingkan memancarkan produk dalam bentuk semprotan atau kabut.
2. Tangkai
Tangkai membantu aktuator dan pengeluaran produk dalam bentuk yang tepat ke
ruangan aktuator.
3. Pengikat
Pengikat ditempatkan dengan tepat (pas) terhadap tangkal, untuk mencegah
kebocoran formula bila katup pada posisi tertutup.
4. Pegas
Pegas memegang pengikat pada tempatnya dan juga merupakan mekanisme

133
yang menarik kembali aktuator ketika tekanan dilepaskan, kemudian mengembalikan
katup ke posisi semula.
5.Lengkungan bantalan
Lengkungan bantalan terikat pada tabung aerosol atau wadah, berperan dalam
pemegangan katup ditempatnya. Karena bagian bawah lengkung bantalan ini terkena
formula, maka ia harus diperhitungkan dengan baik agar criteria ketercampuran
terpenuhi.

Pelaksanaan Pengisian
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, gas hidrokarbon terfluorinasi dapat dicairkan
dengan pendingin di bawah titik didihnya atau dengan penekanan gas pada temperatur ruang. Dua
cara ini digunakan pada pengisian wadah aerosol dengan propelan.

Pengisian dingin
Pada cara dingin, keduanya, cairan pekat produk dan propelan harus didinginkan sampai
temperatur -30° sampai -40°F. Temperatur ini dibutuhkan untuk mencairkan gas propelan.
Sistem pendingin dapat berupa campuran es kering dan aseton atau sistem pendingin lain yang
lebih rumit. Sesudah didinginkan cairan pekat produk yang telah diukur secara kuantitatif
dimasukkan ke dalam wadah aerosol yang sama dinginnya, gas yang dicairkan kemudian
ditambahkan. Uap berat dari propelan cair dingin umumnya diletakkan di udara yang ada di
dalam wadah. Akan tetapi dalam proses, beberapa uap propelan hilang. Bila sejumlah cukup
propelan telah ditambahkan, katup terpasang disisipkan dan dilengkungkan ke tempatnya.
Karena dibutuhkan temperatur rendah, sistem air tidak dapat diisi dengan cara ini, karena air
berubah menjadi es. Untuk sistem bukan air, beberapa uap air terlihat pada produk akhir akibat
dari kondensasi uap air udara dalam wadah dingin.

Pengisian Tekanan
Dengan cara tekanan cairan pekat produk diisikan secaraa kuantitatif ke dalam wadah
aerosol, katup terpasang disisipkan dan dilengkungkan ke tempatnya, dan gas yang dicairkan
dengan tekanan diukur dimasukkan ke dalam tangkai katup dari buret bertekanan. Propelan
dalarn jumlah yang diinginkan dimasukkan ke dalam wadah dibawah tekanan uapnya. Bila
tekanan di dalam wadah sama dengan tekanan dalam buret, propelan akan berhenti mengalir.
Penambahan propelan dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan di dalam alat pengisi
lewat pompa udara atau gas nitrogen. Udara yang terperangkap dalam wadah dapat diabaikan

134
jika tidak mengganggu kualitas dan kestabilan produk, atau dapat dikosongkan sebelum diisi
atau selama pengisian, dengan menggunakan alat khusus. Sesudah pengisian wadah dengan
propelan secukupnya, aktuator katup dicoba untuk kete patan fungsinya. Penyemprot ini juga
dicoba dengan mengosongkan pipa tercelup dari propelan sebelum digunakan oleh
konsumen.
Pengisian dengan tekanan, digunakan untuk hampir semua aerosol farmari. Cara ini
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan cara dingin, dlmana bahaya pengotoran uap air
pada produk lebih kecil dan juga pada proses ini propelan yang hilang lebih sedikit.
Bila digunakan gas bertekanan pada sistem aerosol, gas dipindahkan dari silinder baja yang
besar ke dalam wadah aerosol. Sebelum pengisian, cairann pekat produk ditempatkan
secara kuantitatif ke dalam wadah, katup terpasang disisipkan ke tempatnya dan udara
dikeluarkan dari wadah dengan pompa vakum. Gas bertekanan kemudian dimasukkan ke
dalam wadah lewat katup pengurang tekanan yang ditempelkan ke tabung gas. bila tekanan di
dalam wadah aerosol lama dengan tekanan yang telah ditentukan sebelumnya dan dengan
tekanan pengisian yang diatur, gas akan berhenti mengalir, dan katup aerosol dikembalikan
ke kedudukan semula. Untuk gas-gas seperti CO, dan NO, yang sedikit larut dalam cairan
pekat produk, wadah dikocok, secara manual atau mekanik selama pengisian untuk mencapai
tekanan yang dibutuhkan dalam ruang atass wadah aerosol.

Pemeriksaan Wadah-wadah Terisi


Sesudah pengisian, baik dengan cara dingin maupun dengan cara tekanan, wadah aerosol
diperiksa dalam kondisi lingkungan yang berbeda-beda, terhadap kebocoran, kelemahan katup
terpasang atau wadah.
Wadah-wadah aerosol yang telah terisi juga diperiksa ketepatan fungsi katupnya.
Kecepatan penglepasan katup ditentukan dengan mengeluarkan bagian-bagian isi sebelum
aerosol ditimbang selama periode waktu tertentu, dan dihitung terhadap perbedaan berat,
banyaknya gram isi yang dilepaskan per unit waktu. Bila dianggap dibutuhkan, aerosol juga
dapat diperiksa pola semprotannya, distribusi ukuran partikel semprotan dan ketelitian dari
dosis yang dipancarkan kembali bila digunakan katup pengukur.

Pengemasan, Pemberian Etiket clan Penyimpanan


Segi unik dari aerosol farmasi dibandingkan dengan bentuk-bentuk sediaan lain adalah
produk tersebut dikemas sebagai bagian dari proses pembuatan. Bersama dengan sebagian
besar bentuk-bentuk sediaan lain, produk dibuat lengkap dan ditempatkan dalam wadah yang
sesuai

135
Etiket aerosol harus memuat informasi peringatan sebagai berikut:

Peringatan: Isi bertekanan, wadah jangan ditusuk atau dibakar. Jangan dipaparkan terhadap
panas atau disimpan pada temperatur di atas 120°F (49°C).Jauhkan dari jangkauan anak-
anak.

Peringatan: Hindari pengisapan, jauhkan dari mata atau membran mukosa lain (Catatan:
Peringatan tidak diharuskan untut aerosol inhalasi dan yang akan diberikan pada
membran mukosa).

Untuk aerosol yang berisi propelan halokarbon atau hidrokarbon:


Peringatan: Pergunakan hanya sebagaimana diperintahkan: kesalahan pemakaianyang
disengaja, dengan sengaja meningkatkan kadar dan menghisap isinya dapat berbahaya atau
fatal.

Aerosol harus dijaga dengan tutup pengaman yang diletakkan pada tempatnya untuk
mencegah pengaktifan yang tidak sengaja atau pengotoran oleh debu dan bahan-bahan
asing lainnya. Contoh aerosol farmasi:
1. Aerosol topical : Betametason propionate
2. Aerosol inhalasi : Deksametason natrium fosfat

Inhalasi
Inhalasi adalah obat atau larutan obat yang diberikan lewat nasal atau lewat alat pernapasan
mulut. Obat harus diberikan untuk kerja setempat pada cabang-cabang bronkus atau untuk efek
sistemik lewat absorpsi paru-paru. Gas-gas tertentu, seperti oksigen dan eter, diberikan dengan
inhalasi sebagai bubuk halus bahan obat dan larutan obat yang diberikan sebagai kabut halus.
Air Steril untuk Inhalasi, USP dan Natrium Klorida Inhalasi, USP dapat digunakan sebagai
pembawa untuk larutan inhalasi.
Seperti dinyatakan sebelumnya, sejumlah senyawa obat diberikan lewat wadah bertekanan
aerosol inhalasi. Untuk senyawa obat yang diinhalasi (dihisap) atau larutan untuk mencapai
cabang bronkus, partikel yang dihisap harus berukuran hanya beberapa mikron.
Bentuk khas bubuk yang diberikan berkaitan dengan inhalasi bubuk mikronized langsung ke
dalam paru-paru menggunakan alat napas aktif spesial. Obat yang ada dalam bentuk bubuk
yang diinhalasikan adalah natrium kromolin, suatu bahan yang digunakan pada penanganan
pasien yang menderita asma perenial berat. Obat diberikan ke pasien dalam kapsul gelatin keras
sebagai campuran bubuk dengan laktosa sebagai senyawa inert. Partikel laktosa dirancang

136
menjadi lebih besar 30- 60µ daripada ukuran partikel bubuk natrium kromolin, di mana
partikel laktosa ditahan dalam saluran atas udara. Bubuk dalam kapsul dibuat untuk inhalasi
dengan menempatkannya dalam alat inhalasi khusus. Bila siap untuk pengobatan pasien
membuat dua lubang dikapsul dengan penusuk mekanik yang ada dalam inhaler. Bila mulut
ditempatkan pada masker dan diisap, maka bubuk obat akan tersebar dalam udara yang
dihisap.

Contoh-contoh Inhalasi yang Mengandung Obat

Inhalan

Inhalan adalah obat atau kombinasi obat yang berdasarkan pada tekanan uapnya yang
tinggi dapat terbawa oleh aliran udara masuk ke dalam lubang hidung, tempat dimana efek obat
terjadi. Alat dimana obat tersebut dikemas dan darinya obat diberikan disebut sebagai inhaler

Contoh-contoh Inhalan Obat


1. Inhalan amil nitrit untuk nyeri angina
2. Inhalan propilheksidrin sebagai vasokonstriktor untuk meringankan sumbatan
hidung karena flu.

Penyemprot

Penyemprot (spray) dapat didefinisikan sebagai larutan air atau minyak dalam bentuk tetesan
kasar atau sebagai zat padat yang terbagi-bagi halus. Untuk digunakan secara topikal,
biasanya untuk saluran hidung-faring atau untuk kulit. Banyak spray yang ada di
perdagangan, digunakan untuk dimasukkan ke dalam hidung untuk mengobati sumbatan
hidung dan peradangan serta untuk memberantas infeksi dan mengandung obat
antihistamin, simpatomimetik dan senyawa antibiotik. Jenis spray lain digunakan untuk
melawan keadaan terbakar matahari dan mengandung anestesi lokal antiseptik, pelindung kulit
dan antipruritus (antigatal). Spray kerongkongan mengandung antiseptik, pengharum dan
pemberi rasa, dapat efektif digunakan untuk mengobati kondisi mulut/napas bau (halitosis),
sakit kerongkongan, atau laryngitis, dapat digunakan untuk pengobatan kaki karena kutu air
atau jamur lainnya. Sejumlah besar obat-obat lain dan kosmetik menggunakan spray yang
umum terdapat di farmasi.
Contoh obat semprot:
1. Larutan untuk Hidung Nafazoliria Hidroklorida

137
2. Larutan untuk Hidung Oksimetrazolina Hidroklorida
3. Larutan untuk Hidung Fenilefrina Hidroklorida

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1972, Farmakope Indonesia, Edisi II, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Anief, Moh., 1990, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sedíaan Farmasi, Edisi IV, UI-Press, Jakarta
Jenkins, G.L., Francke, D.E., Brecht, E.A., Sperandio, G.J., 1957, Scoville’Art of
Compounding, Ninth Edition, McGraw-Hill Book Company, Inc., New York
Duin, C.F.V., 1947, Buku Penuntun Ilmu Resep dalam Praktek dan Teori, Soeroengan,
Jakarta

138

Anda mungkin juga menyukai