Anda di halaman 1dari 10

MATERI

FARMAKOEPIDEMIOLOGI

DOSEN:
Dr. RETNO WAHYUNINGRUM, S.Farm.,
M.Sc.,Apt

DIAN SATYA LESTARI


182532049

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SEMBILANBELAS
NOVEMBER KOLAKA

FARMAKOEPIDEMIOLOGI

A. SEJARAH
Pada awalnya regulasi obat bertujuan menjamin hanya obat yg
efektif dan aman yg tersedia dipasaran tetapi pada Tahun 1937 lebih
dari 100 orang meninggal karena gagal ginjal akibat eliksir sulfonilamid
yg dilarutkan dalam etilenglikol sehingga memicu diwajibkannya uji
toksisitas praklinis untuk pertama kali. Industri diwajibkan melaporkan
data klinis tentang keamanan obat sebelum dipasarkan. Kemudian
pada tahun 1950-an ditemukan kloramfenikol yang dapat
menyebabkan anemia aplastis, lalu pada tahun 1952 pertama kali
diterbitkan buku tentang efek samping obat sehingga pada tahun
1960 dimulailah program MESO (monitoring efek samping obat). Pada
tahun 1961 bencana thalidomid, hipnotik lemah tanpa efek samping
dibandingkan golongannya, namun ternyata menyebabkan cacat janin.
Studi epidemiologi In utero memastikan penyebabnya adalah
thalidomid, sehingga dinyatakan Thalidomide ditarik dari peredaran
karena bersifat teratogen . Setelah Thalidomide ditarik dari peredaran
sehingga pada tahun 1962, diperketat harus dilakukannya uji toksisitas
sebelum diuji pada manusia. Maka pada tahun 1970-an hingga 1990-
an mulai banyak dilaporkan kasus/kejadian efek samping Obat yg
sudah lama beredar. Pada tahun 1970-an klioquinol dilaporkan
menyebabkan neuropati subakut mielo-optik. Efek samping ini baru
diketahui setelah 40 tahun digunakan. Dietilstilbestrol diketahui
menyebabkan adenocarcinoma serviks dan vagina (setelah 20 tahun
digunakan secara luas) maka pada tahun 1990-an dimulailah
penggunaan farmakoepidemiologi untuk mempelajari efek obat yang
menguntungkan, aplikasi ekonomi kesehatan untuk studi efek obat,
studi kualitas hidup dan lain-lain. Sehingga pada tahun 1996
dikeluarkan Guidelines for Good Epidemiology Practices for Drug,
Divice And Vaccine Research di USA.

B. DEFINISI
Menurut Strom B.L Farmakoepidemiologi adalah Ilmu yang
mempelajari tentang penggunaan obat dan efeknya pada sejumlah
besar manusia. Adapun menurut Porta dan Hartzema
Farmakoepidemiologi adalah sebagai aplikasi latar belakang, metode
dan pengetahuan epidemiologik untuk mempelajari penggunaan dan
efek obat dalam populasi manusia.
1. Perbedaan Farmakoepidemiologi dan Farmakologi yaitu :
 Farmakologi : ilmu yang mempelajari efek obat pada tubuh
manusia
 Farmakoepidemiologi : menjembatani antara ilmu farmakologi
dan farmakologi klinik
2. Perbedaan Farmakoepidemiologi dan farmakologi klinik yaitu :
 Tujuan utama farmakologi klinik : Mengoptimalkan penggunaan
obat karena terapi secara individual membutuhkan rasio
keuntungan/resiko yg spesifik untuk tiap pasien. Diantisipasi
bahwa status klinis pasien dapat mempengaruhi hasil terapi
 Tujuan utama Farmakoepidemiologi : Memberikan informasi
tentang efek merugikan dan menguntungkan dari Obat, sehingga
memungkinkan penilaian yg lebih baik tentang Keseimbangan
rasio resiko/keuntungan dari penggunaan obat pada pasien
tertentu
3. Perbedaan Farmakoepidemiologi dan Epidemiologi yaitu :
 Epidemiologi : studi tentang distribusi dan faktor penentu
penyakit dalam populasi
 Farmakoepidemiologi : mempelajari penggunaan dan efek obat
pada sejumlah besar manusia, sehingga dapat dikatakan
farmakoepidemiologi adalah cabang ilmu epidemiologi
 Farmakoepidemiologi menjembatani antara farmakologi klinik
dengan epidemiologi
 Farmakoepidemiologi mengaplikasi metode epidemiologi dalam
area farmakologi klinis

Farmakopidemiologi juga berarti aplikasi dari ilmu epidemiologi;


metode dan alasan untuk mengetahui kemanfaatan (benefit) dan juga
adverse (kejadian yang tak dikehendaki) dari suatu obat pada populasi
manusia. Adapun tujuan dari farmakoepidemiologi yaitu untuk
mengawasi, mengontrol, dan memprediksi obat-obat yg digunakan
pada treatment Farmakologi pada waktu, tempat dan populasi tertentu
sehingga diperoleh info mengenai efikasi, savety dan ekonomi suatu
obat.

C. UJI KLINIK
Uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek
samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu
obat. Uji klinik ada beberapa fase, yakni :
1. Uji klinik fase I : dilakukan pada manusia sehat, bertujuan untuk
menentukan dosis tunggal yang dapat diterima
2. Uji klinik fase II : dilakukan pada 100-200 orang penderita untuk
melihat apakah efek farmakologi yang tampak pada fase I berguna
atau tidak untuk pengobatan
3. Uji klinik fase III : dilakukan pada sekitar 500 penderita yang
bertujuan untuk memastikan bahwa suatu obat baru benar-benar
berkhasiat
4. Uji klinik fase IV : merupakan pengamatan terhadap obat yang
telah dipasarkan . Fase ini bertujuan untuk menentukan pola
penggunaan obat dimasyarakat serta pola efektifitas dan
keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya .

D. UJI PRAKLINIK
Uji praklinik dilakukan dengan menggunakan hewan coba seperti
monyet, kelinci, mencit, tikus dan lainnya. Uji praklinik harus
menggunakan metode atau teknik sebagai berikut :
1. Teknik in silico
In silico adalah penggunaan ekspresi yang berarti dilakukan pada
computer atau melalui simulasi. Ungkapan in silico pertama kali
pada tahun 1989 di Los Alamos, New Mexico.
Pedro Miramontes, matematikawan National Autonomous
Universityof Mexico, menyajikan laporan “DNA and RNA
Physicochemical Constraints, Cellular Automata and Molecular
Evolution” dalam ceramahnya.
In silico merupakan pendekatan relative baru dalam penelitian,
tapi mulai digunakan secara luas dalam studi untuk memprediksi
bagaimana obat berinteraksi dalam tubuh dan pathogen. Sebuah
studi pada tahun 2009 menggunakan emulasi software untuk
mempredikasi bagaimana obat tertentu dipasar bias mengobati
strain resisten antibiotic tuberculosis.
2. In vitro
In vitro (dalam kaca) mengacu prosedur perlakuan yang
diberikan dalam lingkungan terkendali diluar organisme hidup.
Banyak studi eksperimen biologi seluler melakukan treatment
diluar organisme atau sel.
Teknik in vitro mudah dilakukan kadang-kadang penelitian
memiliki keterbatasan dalam mengakses organisme hidup dan
pendekatan vitro menjadi solusi dalam hal ini. Salah satu
kelemahan in vitro adalah kegagalan meniru kondisi selular secara
tepat terutama mikroba. Penelitian in vitro dapat menghasilkan
kesimpulan yang tidak sesuai dengan keadaan organisme hidup.
Stefan Tunev mengatakan bahwa pertanyaan rumit tentang
ekspresi protein spirochetes tidak sepenuhnya menyerupai Borrelia
dalam host yaitu kegunaan lisat protein bakteri terbatas ketika
menganalisis sumber antigen.
Sampai beberapa tahun terakhir upaya untuk mendeteksi dan
mengindentifikasi mikroorganisme dalam tubuh manusia telah
bergantung hamper secara eksklusif menggunakan penelitian in
vitro. Akibatnya banyak pemahaman pathogen pada penyakit
sering mewakili bakteri minioritas dalam tubuh manusia. Spesies-
spesies mikrobiota manusia luput diketahui melalui teknik in vitro.
3. In vivo
In vivo (dalam hidup) mengacu pada eksperimen menggunakan
keseluruhan organisme hidup. In vivo berusaha menghindari
penggunaan organisme secara parsial atau organisme mati.
Penelitian pada hewan dan uji klinik adalah salah satu penerapan
in vivo. Pendekatan ini biasanya dilakukan untuk menguji hasil
temuan in vitro karena lebih cocok untuk mengamati efek
keseluruhan pada subjek hidup.
In vivo menawarkan wawasan konklusif tentang sifat obat dan
penyakit. Tapi pendekatan ini tak luput dari sesaat kesimpulan,
misalnya, terapi hanya menawarkan manfaat jangka pendek dan
bahaya dalam jangka panjang.

E. RUANG LINGKUP FARMAKOEPIDEMIOLOGI


Ruang lingkup Farmakoepidemiologi, yakni :
a. Long term effect. Farmakoepid dapat meninjau obat-obat yg
efeknya jangka panjang, contohnya kaitan antara estrogen dengan
kanker endometrium
b. Low Frequency effect. Farmakoepid dapat meninjau obat-obat yg
angka kejadiannya sangat jarang, bisa ditemui pada populasi yg
sangat besar, contoh : fenilbutazon dan kaitannya dengan anemia
aplastik, klindamisin dengan colitis dan halotan dengan jaundice
c. Effectiveness in Costumary Practice. Farmakoepid dapat meninjau
bagaimana penggunaan obat pada pasien anak-anak , pasien ibu
hamil, rawat jalan, pasien emergency. Perlu tidaknya upgrading
tenaga kesehatan
d. Efficecy in new Indication. Pada studi farmakoepid dapat ditemukan
indikasi baru dari indikasi yg diapprove. Baru ketahuan ternyata
obat tersebut efektif juga untuk indikasi lain. Contohnya propanolol
untuk antihipertensi, captopril untuk reumatik athritis, amantadin
untuk mabok jalanan yg sebelumnya untuk parkinson, gabapentin
untuk neuropati
e. Secondary effect. Farmakoepid dapat meninjau bagaimana efek
kedua obat bagi pasien
f. Modifier of Efficacy. Farmakoepid dapat meninjau bagaimana jika
satu obat dikombinasi dengan obat lain, apakah akan menimbulkan
sinergsi atau tidak.

F. PENGETAHUAN FARMAKOEPIDEMIOLOGI
Pharmacoepidemiologist harus memiliki pengetahuan :

a. Farmasi : karena penekanan pada pengetahuan rinci tentang obat-


obatan

b. Obat klinik : karena penekanan pada klasifikasi dan diagnosis


penyakit

c. Patofisiologi : karena kebutuhan untuk memahami mekanisme


biologis dasar pada penyakit (sejarah alam)

d. Biostatistik : karena kebutuhan untuk mengukur frekuensi penyakit


dan hubungannya dengan pendahulunya (penyebut, pengujian, dan
hipotesis)

e. Ilmu Sosial : karena kebutuhan untuk memahami konteks social di


mana penyakit terjadi dan ada (penentu sosial dari fenomena
kesehatan)

G. MANFAAT STUDI FARMAKOEPIDEMIOLOGI


Manfaat studi Farmakoepidemiologi diklasifikasikan dalam
konsep :

a. Peraturan dan Kebijakan


Sebuah rancangan untuk studi farmakoepidemiologi post
marketing dibutuhkan sebelum obat disetujui untuk dipasarkan.
Sebagian besar studi yang dibutuhkan berupa uji klinik acak, yang
dirancang untuk klarifikasi efikasi obat dan toksisitas obat. Studi
post marketing dilakukan untuk merespon laporan efek samping
obat. Studi ini akan menyelidiki apakah efek samping ini terjadi
lebih sering pada subjek terpapar obat dari pada yang tidak
menggunakan, serta berapa besar resiko peningkatan efek
samping.
b. Pemasaran
 Untuk membantu perluasan pemasaran dengan dokumentasi
keamanan obat karena keterbatasan informasi yang tersedia
tentang efek suatu obat baru, umumnya dokter ragu-ragu
untuk meresepkan obat baru, hingga mulai banyak
dilaporkan tentang efikasi dan keamanan obat tersebut. Studi
post marketing formal yang melaporkan keuntungan dan
kerugian obat ini dibanding kompetitornya dapat mempercepat
meluasnya pemasaran suatu obat.
 Untuk meningkatkan pengakuan merk
 Untuk membantu penetapan kriteria baru terhadap obat meliputi
membuka pasar baru, alternatif penggunaan (misal untuk anak
atau geriatri), indikasi baru, mengurangi pembatasan label.
 Untuk menjaga bertahannya obat di pasar. Kegagalan
menjawab pertanyaan akan efek samping suatu obat dapat
mengakibatkan kehilangan pasar bahkan penarikan obat. Hal
ini dapat antisipasi dengan studi farmakoepidemiologi.
c. Legalitas
 Semua obat mempunyai efek samping. Keputusan obat disetujui
untuk dipasarkan dan keputusan dokter untuk meresepkan
tergantung pada keseimbangan antara keuntungan dan resiko
obat. Bila mengalami efek merugikan akibat pemakaian obat,
konsumen dapat mengajukan gugatan di peradilan, namun
harus bisa membuktikan penyebab, kerusakan dan bukti telah
terjadi kelalaian.
 Menghadapi tuduhan pengadilan akan efek merugikan obat,
perusahaan tidak bisa mengelak bila semua hal di atas
dapat dibuktikan. Untuk membuktikan bahwa memang obat
dapat menyebabkan efek samping di atas bila digunakan dengan
benar, bukan dari kelalaian pengguna, pabrik dapat melakukan
studi farmakoepidemiologi. Studi ini juga dapat melindungi
pabrik dari tuduhan tanpa dasar.
d. Klinis
Dilakukan uji hipotesis bertujuan utama dari sebagian besar
studi farmakoepidemiologi adalah untuk uji hipotesis. Hipotesis
dapat diuji berdasarkan kelas struktur kimia suatu obat. Contoh:
studi terhadap cimetidin dilakukan karena cimetidn mempunyai
kesamaan struktur dengan metiamide, yang telah ditarik dari
peredaran karena menyebabkan agranulositosis. Hipotesis juga
dapat didasarkan temuan studi premarketing dan post marketing
baik dengan hewan coba maupun uji klinis. Bila suatu obat memang
menyebabkan efek samping, uji hipotesis juga bisa dilakukan
untuk menghitung frekuensi kejadian efek samping.
Pada prinsipnya semua obat membutuhkan studi ini, namun
diprioritaskan pada obat yang lebih penting untuk dipelajari.
Contoh : senyawa kimia baru lebih perlu diuji dibandingkan “mee
too product”, karena belum adanya data-data keamanan
senyawa yang sejenis sehingga obat baru lebih berpeluang
menimbulkan efek samping.
Profil keamanan suatu kelas obat juga merupakan
pertimbangan penting untuk memutuskan perlunya dilakukan
studi post marketing obat baru dari kelas yang sama. Profil dari
obat lama dari kelas yang sama dapat digunakan untuk
memprediksi profil obat baru. Formulasi obat dapat menjadi
pertimbangan perluya dilakukan studi farmakoepidemiologi formal.
Post marketing surveylance (PMS) : yg berhubungan dgn
ROTD sangat dianjurkan untuk mengatasi kesenjangan antara hasil
uji klinik dengan kondisi kenyataan.
Penyakit yang kan diterapi juga merupakan pertimbangan
perlu tidaknya studi post marketing dilakukan. Obat yang digunakan
untuk terapi penyakit kronis akan digunakan dalam jangka
panjang, sehingga diperlukan studi efek samping jangka
panjang.
Juga obat yang digunakan untuk terapi penyakit umum
perlu diuji, karena banyaknya pasien yang akan menggunakan
obat ini. Obat yang digunakan untuk terapi penyakit yang self-
limited, karena toksisitas serius tidak bisa diterima. Terutama
obat yang digunakan oleh individu sehat, seperti kontrasepsi oral.
Orang dengan penyakit ringan tapi menggunakan obat untuk
penyakit parah, dapat lebih rendah toleransinya terhadap
toksisitas. Penting juga untuk melihat adanya alternatif terapi,
sehingga dibandingkan keuntungan dan resiko obat baru
dengan obat yang sudah biasa digunakan.

H. KONTRIBUSI FARMAKOEPIDEMIOLOGI
Kontribusi farmakoepidemiologi antara lain :
1. Memberikan informasi yang mendukung data yang telah didapat
pada studi pra-marketing :
 Hasil studi farmakoepid mempunyai presisi lebih tinggi
 Hasil studi farmakoepid dapat menunjukkan data pada pasien
yang tidak menjadi objek studi pra-marketing (anak, geriatri,ibu
hamil dan lainnya)
 Studi farmakoepid dapat menunjukkan hasil modifikasi karena
pemakaian obat lain (interaksi obat) atau adanya penyakit lain
 Studi farmakoepid dapat menunjukkan keamanan relatif
terhadap obat lain dengan indikasi sama
2. Memberikan informasi baru yang belum didapat dari studi pra-
marketing, meliputi :
 Penemuan efek samping dan efek menguntungkan yang
tidak terdeteksi sebelumnya (efek tidak biasa dan efek tertunda)
 Informasi pola pemakaian obat
 Informasi efek overdosis obat
 Implikasi ekonomis dari pemakaian obat

I. JENIS LUAR DARI FARMAKOEPIDEMIOLOGI


1. Epi deskriptif
Memeriksa distribusi penyakit dalam suatu populasi, dan mengamati fitur dasar
penyebarannya dalam hal waktu, tempat, dan orang. Kami mencoba merumuskan hipotesis,
melihat ke asosiasi?
Desain studi yang khas : Survei kesehatan masyarakat (sinonim: studi cross-sectional, studi
deskriptif)

2. Epi Analitik
Menguji hipotesis spesifik tentang hubungan suatu penyakit dengan penyebab spesifik,
dengan melakukan studi epidemilogik yang menghubungkan pemaparan minat dengan hasil
yang diinginkan? (hubungan sebab-akibat)

Desain studi yang khas : Kohort, kontrol kasus, desain eksperimental

J. DESKRIPTIF FARMAKOEPIDEMIOLOGI ADALAH PENDAHULUAN ANALISIS YANG PERLU


DIPERLUKAN

untuk melakukan studi pharmacoepidemiologic analitik, Anda harus terlebih dahulu:

 tahu ke mana harus mencari

 tahu apa yang harus dikontrol

 Mampu merumuskan / mengujir hipotesis yang sesuai dengan bukti laboratorium /


lapangan

3 DASAR FARMAKOEPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF

tiga karakteristik penting dari penyakit yang kita cari dalam epidemiologi deskriptif adalah:

 Orang

o Umur

o Jenis kelamin

o status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pendapatan)

o status pernikahan

o profil etnis / genetik

o perilaku / kebiasaan

 Tempat

 Waktu

Anda mungkin juga menyukai