Anda di halaman 1dari 12

FARMASI SOSIAL

RENUNGAN AWAL

• Mengapa pasien menggunakan (atau tidak minum) obat


seperti yang diresepkan?
• Jenis informasi obat apa yang memiliki efek terbaik pada
pemahaman pasien dan kapan harus disediakan?
• Bagaimana seorang apoteker paling efektif mengidentifikasi
pasien yang terkait dengan obat masalah / efek samping?
• Bagaimana cara layanan farmasi baru untuk pasien /
pelanggan menjadi diimplementasikan dalam perawatan
kesehatan?
PENDAHULUAN
• Perubahan orientasi praktek kefarmasian dari product
oriented ke patient oriented menuntut adaptasi dari perguruan
tinggi dan apoteker yang telah bekerja untuk terus berbenah
dan melengkapi diri agar mampu berperan maksimal dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
• Perubahan orientasi ini mengharuskan apoteker untuk memiliki
peran yang lebih luas dari hulu ke hilir mulai dari pembuatan,
pengawasan, penyerahan hingga pemastian bahwa obat yang
akan digunakan oleh pasien memenuhi prinsip-prinsip
rasionalitas .
• Apoteker dituntut berinteraksi dengan pasien dalam rangka
memberikan informasi yang tepat terhadap obat yang akan
digunakan oleh pasien.
• Untuk menjalankan peran ini maka setiap apoteker tidak hanya
dilengkapi dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences),  analisis
farmasi, dan teknologi farmasi tetapi lebih dari itu, apoteker
juga diwajibkan menguasai farmasi klinik dan farmasi sosial.
PENDAHULUAN (II)

• Farmasi klinik sudah banyak dikenal dan hampir seluruh


perguruan tinggi farmasi (PTF) di Indonesia telah melengkapi
kurikulumnya dengan mata kuliah-mata kuliah yang menjadi
cakupan dari farmasi klinik. Bahkan beberapa PTF telah
membuat kurikulum apotekernya berbasis peminatan ke klinik
dan beberapa yang lainnya telah membuka pendidikan spesialis
dan magister untuk bidang ini.
• Farmasi sosial adalah hal yang baru dan belum diterapkan PTF
di Indonesia.
• PEngetahuan-pengetahuan dasar farmasi dirasakan (tidak
cukup) mendukung orientasi apoteker yang telah mengarah
pada pasien.
• Oleh karena itu, apoteker harus dilengkapi dengan kemampuan
yang dapat memaksimalkan peran apoteker dalam lingkungan
sosial ini. Disinilah farmasi sosial muncul sebagai isu utama
untuk menjawab tantangan ini.
• Selanjutnya diperkenalkan Farmasi Sosial, yaitu suatu disiplin
ilmu (field of study) kefarmasian yang berkembang dengan
dukungan disiplin ilmu lain yang terkait untuk menguji, meneliti,
memahami, dan mengatasi persoalan-persoalan yang senantiasa
timbul dalam pengabdian profesi farmasi.
• Tujuan ilmu tersebut adalah pemahaman dan penjelasan
menyeluruh tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan
farmasi atau sedang dihadapi oleh farmasi (Harding dkk., 1994).
• Definisi lain menyebutkan bahwa Farmasi Sosial merupakan
hibrida ilmu kefarmasian yang bergerak/berkembang di atas
landasan teori serta metodologi ilmu sosial dan perilaku (social
and behaviour) untuk mengungkap masalah-masalah pharmacy
practice. Dalam hal ini disiplin ilmu-ilmu yang terkait, antara lain,
politik, komunikasi, psikologi, sosiologi, pendidikan, pharmacy
practice, ekonomi, manajemen, sejarah, dan antropologi.
• Perkembangan Farmasi Sosial dipicu oleh adanya perubahan konsep
pola penyakit dan penatalaksanaannya ke pola hidup sehat dan
promosi kesehatan.
• Dalam rangka menyambut dan menyesuaikan perubahan tersebut,
Farmasi Sosial juga bergeser dari konsep bio-pathology ke
sociopsychology, yang pada tindakan nyata menunjukkan pergeseran
dari product oriented ke patient oriented.
• Perubahan konsep tersebut berakibat pada konteks kefarmasian,
yaitu bergeser dari dispensing and compounding menuju ke bentuk
hubungan client-counsellor yang berarti farmasis berfungsi sebagai
konsultan obat (drug advicer).
• Farmasi Sosial termasuk salah satu hasil perubahan dan pergeseran
tersebut, disiplin ilmu yang pada awalnya dianggap sebagai
dermografi penggunaan obat dan farmako-epidemiologi, diperluas
menjadi ilmu pengawasan dan penggunaan obat (drug monitoring),
dan selanjutnya berkembang sebagai pharmacy practice di benua
Amerika, serta Farmasi Sosial di Eropa Barat (Harding dkk., 1994).
PERKEMBANGAN
• Pada awalnya, sekitar dua dekade lalu, farmasi sosial
disinonimkan dengan farmakoepidemologi dan
disitribusi sosial/demografi penggunaan obat.
• saat ini, cakupan farmasi sosial menjadi lebih luas
dan tidak hanya dibatasi oleh pemetaan distribusi
obat pada sebuah populasi
• Untuk mencapai hasil yang optimum dalam asuhan
kefarmasian (pharmaceutical care) apoteker harus
memiliki pemahaman mengenai aspek psikologi dan
perilaku (behaviour) dari pasien dan tenaga
kesehatan lainnya. Konsep ilmu psikologi dan prilaku
inilah yang menjadi konsep fundamental dari ilmu
farmasi sosial.
• Dalam farmasi sosial, pengobatan dilihat dari
persepektif sains, sosial dan humanistik.
• Farmasi sosial mencakup semua faktor-faktor
sosial yang mempengaruhi penggunaan obat
seperti kepercayaan pasien terhadap obat,
regulasi, kebijakan, perilaku, informasi obat, dan
etik.
• Bahkan Schafer, dkk (1992) memberikan
pengertian yang lebih luas dengan merumuskan
farmasi sosial.
• Umumnya farmasi sosial mencakup
– farmakoekonomi,
– farmakovigilance/farmakoepidemologi,
– statistik farmasi,
– farmakoinformatik,
– ilmu kesehatan masyarakat,
– komunikasi,
– administrasi farmasi,
– manajemen farmasi,
– marketing,
– penilaian kualitas hidup,  
– aspek sosiobehavioral dalam dunia kesehatan dan farmasi, 
– Good Pharmacy Practice in Community and Hospital Pharmacy Settings,
– Good Pharmacy Education Practice, dan
– promosi kesehatan.
• Penelitian dalam farmasi sosial dihubungkan dengan bidang yang
lebih luas yang dikenal dengan penelitian pelayanan kesehatan
(health services reserach).
• Farmasi sosial menekankan pada pemahaman dan peningkatan
kualitas praktek kefarmasian dan penggunaan obat.
• Penelitian dibidang ini sangat penting karena seperti yang
diketahui bersama bahwa praktek kefarmasian harus didasarkan
pada bukti ilmiah (evidence-based) dan menggunakan cara-cara
terbaik sehingga praktek kefarmasian harus selalu dievaluasi dan
hasil evaluasinya harus segera diimplementasikan.
• Hasil dari penelitian dapat dijadikan dasar oleh penentu
kebijakan dalam menetapkan regulasi yang terkait dengan
pelayanan kesehatan.
• Penelitian dibidang farmasi sosial dapat dilakukan secara
kuantitatif (survei) dan kualitatif seperti wawancara, diskusi, dan
pengamatan/observasi.

Anda mungkin juga menyukai