Anda di halaman 1dari 12

Akibat Minum Antibiotik Menyebabkan Urtikaria

Jelita Septiwati Sitanggang


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
NIM : 102011385. E-mail : jelita_sitanggang@yahoo.com. Kelompok : A6

1.

Pendahuluan
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Dari berbagai jenis penyakit

kulit, urtikaria tergolong penyakit kulit inflamatorik secara perivaskular, dimana terjadi infiltrat
peradangan di sekitar pembuluh darah tanpa keterlibatan epidermis yang bermakna.1 Dapat terjadi
secara akut maupun kronis, keadaan ini merupakan masalah untuk penderita, maupun untuk
dokter. Urtikaria ini dikenal oleh orang awam dengan sebutan biduran, biasanya disebabkan
karena pemberian obat secara sistemik. Obat yang diberikan secara sistemik antara lain melalui
mulut, hidung, mata, rectum, vagina, suntikan dan infuse. Namun sebenarnya, penyebab urtikaria
tidak diketahui secara signifikan, maka dikenal istilah urtikaria idiopatik.2
2.

Isi

2.1

Skenario
Seorang laki-laki usia 30 tahun datang dengan keluhan biduran pada seluruh tubuh sejak 3

jam yang lalu. Pasien mengatakan, keluhan muncul setelah minum antibiotik. Keluhan disertai
gatal dan merah. Pada pemeriksaan dermatologis: urtika (+), eritem (+).
2.2

Hipotesis
Laki-laki dengan keluhan biduran pada seluruh tubuh disertai gatal dan merah setelah

minum antibiotik disebabkan urtikaria.


3.

Pembahasan

3.1

Anamnesis

Untuk dermatologi, anamnesis sangat penting dilakukan untuk menunjang diagnosis. Untuk
mengidentifikasi penyakit kulit yang diderita pasien, ada banyak pertanyaan yang dapat diajukan.
Anamnesis dermatologis terutama mengandung pertanyaan-pertanyaan seperti onset dan durasi,
fluktuasi, perjalanan gejala-gejala, dan riwayat penyakit terdahulu. 3 Dalam kasus diketahui pasien

Page | 1

mengalami biduran di seluruh tubuh, jadi perlu menanyakan berbagai informasi yang berhubungan
dengan keluhan tersebut.
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya dan durasi rash/ruam serta gatal dapat
bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik. Untuk urtikaria
kronik atau rekuren, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor penyebab sebelumnya dan
keefektifan berbagai pilihan terapi.3
Tanyakan tentang faktor presipitan, seperti panas, dingin, tekanan, aktivitas berat, cahaya matahari,
stres emosional, atau penyakit kronik (misalnya, hipertiroidisme, rheumatoid arthritis, SLE,
polimiositis, amiloidosis, polisitemia vera, karsinoma, limfoma).3
Tanyakan tentang penyakit lain yang dapat menyebabkan pruritus, seperti diabetes mellitus (DM),
insufisiensi ginjal kronik, sirosis bilier primer, atau kelainan kulit nonurtikaria lainnya (misalnya,
eczema, dermatitis kontak).3
Tanyakan tentang riwayat angioedema pada keluarga dan pribadi, dimana urtikaria pada jaringan
yang lebih dalam dan dapat mengancam nyawa jika mengenai laring dan pita suara. Penyebab
spesifik angioedema diantaranya hereditari angioedema (defisiensi C1-inhibitors) dan acquired
angioedema (berhubungan dengan angiotensin-converting enzyme [ACE] inhibitor dan
angiotensin receptor blockers (ARBs). Karakteristik dari angioedema meliputi di bawah ini4 :
1. Vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak pada
urtikaria.
2. Pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan
mukosa dari saluran nafas (bibir, lidah, uvula, palatum molle, dan laring ) dan saluran cerna
(pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat).
3. Suara serak, merupakan tanda paling awal dari oedem laring (tanyakan pasoen bila ia
mengalami perubahan suara serak)
Untuk urtikaria akut, tanyakan tentang kemungkinan pencetus/presipitan, seperti di bawah ini3,4 :
1. Penyakit sekarang (misalnya, demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek, muntah, diare, nyeri
kepala)
2. Pemakaian obat-obatan meliputi penisilin, sefalosporin, sulfa, diuretik, nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs), iodida, bromida, quinidin, chloroquin, vancomycin,
isoniazid, antiepileptic agents, dll.
3. Intravenous media radiokontras
4. Riwayat bepergian (amebiasis, ascariasis, strongyloidiasis, trichinosis, malaria)
5. Makanan (eg, kerang, ikan, telur, keju, cokelat, kacang, tomat)
Page | 2

6. Pemakaian parfum, pengering rambut, detergen, lotion, krim, atau pakaian


7. Kontak dengan hewan peliharaan, debu, bahan kimia, atau tanaman
8. Kehamilan (biasanya terjadi pda trimester ketiga dan biasanya sembuh spontan segera
setelah melahirkan)
9. Kontak dengan bahan nikel (ex, perhiasan, kancing celana jeans), karet (ex, sarung tangan
karet, elastic band), latex, dan bahan-bahan industri
10. Paparan panas atau sinar matahari
11. Aktivitas berat
3.2

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang dilakukan dalam dermatologis ini adalah melakukan inspeksi dan palpasi pada
lesi kulit (penggunaan kaca pembesar sangat membantu). Hal-hal pokok dalam pemeriksaan
dermatologis yang baik adalah3 :
a. Lokasi dan atau distribusi dari kelainan yang ada
Hal ini sangat membantu karena banyak berbagai penyakit kulit yang punya kemiripan dari
segi lesinya, tetapi bisa dibedakan dari tempat predileksinya. Sebagai contoh, urtikaria
merupakan biduran yang terdapat di permukaan kulit seluruh tubuh. Sedangkan
angioudema merupakan jenis urtika yang sering mengenai mukosa, jaringan ikat longgar
seperti kelopak mata dan bibir.
b. Karakteristik dari setiap lesi
Lesi setiap penyakit kulit berbeda-beda. Jadi perlu melihat dan bisa mengidentifikasi tipe,
bentuk, ukuran, garis tepi,batas lesi tersebut untuk bisa mendiagnosis penyakit kulit yang
diderita pasien. Selain itu, warna, gambar permukaan dan tekstur lesi juga faktor untuk
mengidentifikasinya. Sebagai contoh, urtikaria yang terdapat bercak merah di tubuhnya,
dan punya batas tegas. Berbeda dengan, angiudema yang lesinya sendiri juga bercak merah
(eritema) tapi kurang menonjol dan batasnya yang tidak tegas (difus).

c. Pemeriksaan lokasi-lokasi sekunder


Mencari kelainan-kelainan di tempat lain yang dapat membantu diagnosis. Contoh yang
baik, misalnya sela-sela jari kaki pada infeksi jamur, jari-jari dan jemari tangan pada
skabies, dan sebagainya.

Page | 3

3.3

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat untuk
mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti
komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan
urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4
komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.19
Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.2
b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina

perlu

untuk

menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2


c. Tes Alergi. Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radioallergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri
(autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup
sederhana untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing
autoantibodies.4
d. Tes Provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi
hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini dipertimbangkan
secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.4
e. Tes eleminasi makanan dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.2
f. Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.2
g. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.2
h. Tes fisik bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya alergi pada
suhu tertentu. 2
i. Pemeriksaan histopatologik. Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat
membantu diagnosis. Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak
terdapat perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak
antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat
dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang
berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah
eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan. Infiltrasi limfosit
sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai
campuran infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN),
Page | 4

dan sel-sel inflamasi lainnya. Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan
histopatologi dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat
parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi
berhubungan derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke
vaskulitik (parah).2
3.4 Diagnosis
a. Diagnosis Kerja
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan
ditemukan pasien menderita urtikaria. Dalam bentuk klinis dan waktu serangan,
urtikaria dibedakan menjadi dua, yaitu urtikaria akut yang berlangsung selama
beberapa jam atau beberapa hari. Yang sering menjadi penyebab adalah adanya kontak
dengan tumbuhan, bulu binatang maupun makanan. Selain itu, akibat memakan obat
seperti aspirin dan penisilin. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda,
umumnya laki-laki lebih sering daripada perempuan. Sedangkan urtikaria kronik
berlangsung selama beberapa minggu, beberapa bulan, atau beberapa tahun.
Berlawanan dengan anggapan umum, pada bentuk urtikaria ini jarang didapatkan
adanya faktor penyebab tunggal. Kebiasaan mengkonsumsi zat-zat pewarna dan dan
zat-zat pengawet makanan yang berlangsung dalam waktu lama bisa merupakan hal
yang penting.
b. Diagnosis banding
Dengan anamnesis yang teliti, dan pemeriksaan klinis yang cermat serta pembantu
diagnosis urtikaria dan penyebabnya. walaupun demikian, hendaknya dipikirkan pula
beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria.
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan submukosa yang
terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat disebabkan oleh
mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada angioedema mengenai
lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus. Karakteristik dari
angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam
daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic
Page | 5

dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran nafas dan saluran cerna
(pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat), serta suara serak yang
merupakan tanda paling awal dari edema laring.3
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi
dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklatkemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga
berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.6
3.5

Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab

urtikaria bermacam-macam, antara lain2 :


1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun
non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan
urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik
langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat
kontras.
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi
imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang,
udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak
diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).
6. Kontaktan

Page | 6

Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent
(penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan emosi
menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat
timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam
kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur, maupun infestasi parasit.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominant.
3.6

Epidemiologi
Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami

irtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON (1951), menyatakan bahwa umur rata-rata
penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari
60 tahun.2
Penderita atopi lebih mudah mengalami ukrtikaria dibandingkan dengan orang normal.
Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun wanita. Umur, ras,
jabatan/pekerjaan, letak geografis, dan perubahan musim dapat mempengaruhi hipersensitivitas
yang diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering menimbulkan
urtikaria.2
3.7

Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,

sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga
secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine, kinin,

Page | 7

serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan
atau basofil.2
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil
untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik
AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa
bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein,
polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya
asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung
dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin,
trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan
misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah
kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.2
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik; biasanya
IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada
antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu
melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi
obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun
secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel
mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.2
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun
pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi
misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.
Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang
herediter.2
3.8

Manifestasi Klinik
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak eritema dan

edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat. Bentuknya
dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular
sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa
atau subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran cerna dan napas, disebut angiodema.
Page | 8

Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena ialah muka, disertai sesak napas, serak dan
rinitis.2
Dermografisme berupa edema dan eritema yang linear di kulit yang terkena goresan benda
tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria akibat tekanan, urtika timbul
pada tempat yang tertekan, misalnya di sekitar pinggang, pada penderita ini dermografisme jelas
terlihat.2
Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320 nm dan 400-500 nm, timbul
setelah 18-72 jam penyinaran, dan klinis berbentuk urtikaria papular. Hal ini harus dibuktikan
dengan tes foto tempat. Sejumlah 7-71% urtikaria kronik disebabkan faktor fisik, antara lain akibat
dingin, panas, tekanan dan penyinaran. Umumnya pada dewasa muda, terjadi pada episode
singkat, dan biasanya umum kortikosteroid sistemik kurang bermanfaat.2
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan yang
merangsang, dan pekerjaan berat. Biasanya sangat gatal, urtika bervariasi dri beberapa mm sampai
numular dan kofluen membentuk plakat. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti
nyeri perut, diare, muntah-muntah, dan nyeri kepala; dijumpai pada umur 15-25 tahun. Urtikaria
akibat obat atau makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.2
3.9

Penatalaksanaan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui), cara-cara

sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dapat dilakukan dan harapan di masa
mendatang, merupakan hal yang penting untuk pasien, karena mungkin harus hidup dengan
kondisi tersebut untuk beberapa bulan atau beberapa tahun.4
Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab, bahan pencetus
atau antigen, yang sebenarnya lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Menghindari alergen
penyebab dari urtikaria kontak atau anafilaksis, seharusnya akan dapat menyelesaikan masalah.
Intoleransi terhadap makanan dan obat yang tidak diperantarai IgE, harus dipertimbangkan sebagai
urtikaria kronik yang tidak memberikan respons yang baik dengan pemberian antihistamin. Pada
kasus seperti ini, lebih menguntungkan menghindari salisilat, azodyes, benzoat dan pengawet
makanan lain seperti asam sorbik, khususnya bila akan dilakukan tes provokasi double blind.4
a. Non medika mentosa5

Page | 9

Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol,

dan agen fisik.


Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.
b. Medika mentosa
Pengobatan line pertama. Mayoritas pasien urtikaria kronik, mendapatkan pengobatan
simtomatis dengan antihistamin 1 (AH1) klasik. Keberhasilan obat tersebut agak terbatas
karena timbulnya efek samping berupa sedasi dan mulut kering. Oleh sebab itu, beberapa
dokter menjadi segan memberikan obat tersebut, tetapi dengan memberikan antihistamin
yang lebih baru atau yang tidak menimbulkan sedasi. Beberapa antihistamin non sedatif
yang saat ini digunakan untuk urtikaria adalah setirizin, ioratadin, astemizol, akrivastin dan
feksofenadin yang juga bersifat non kardiotoksik, tidak seperti terfenadin.4
Pengobatan line kedua. Walaupun umumnya antihistamin sapat mengalami gejala
urtikaria, pada beberapa kasus yang berat memerlukan kortikosteroid. Sebelum diputuskan
pemberian steroid, seharusnya dilakukan biopsi kulit terlebih dahulu untuk mengklasifikasi
urtikaria secara histopatologis. Berhubung penggunaan steroid jangka panjang berkaitan
dengan beberapa efek samping, saat ini sedang diteliti kemungkinan penggunaan obat
seperti stanozolol, sulfasalazin dan metrotreksat. Obat-obat tersebut dapat mengurangi
kebutuhan akan steroid. Pada urtikaria yang berat dan sangat mengganggu aktivitas pasien,
dapat diberikan dosis tinggi steroid secara oral. Prednisolon 60mg sehari diberikan sebagai
pulse doxing untuk 3-5hari.4
Pengobatan line ketiga. Diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon
terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen
immunomodulatori,

yang

meliputi

cyclosporine,

tacrolimus,

methotrexate,

cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).


Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari
urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone,
albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine,
dan warfarin.5
3.10

Prognosis
Prognosis baik bila menghilangkan dan menghindari penyebabnya. bila penyebabnya tidak

diketahui sering menjadi kronis.


Page | 10

Kesimpulan
.Urtikaria merupakan jenis dermatitis perivaskular yang penyebabnya sering tidak

diketahui. Walau demikian, banyak sekali faktor baik secara imunologik maupun non imunologik
yang dapat menyebabkan bintul-bintul atau biduran di seluruh tubuh, yang mana merupakan gejala
khas urtikaria.

Page | 11

Daftar Pustaka
1. Timothy HM, Ganong WF, Dany F, editor. Patofisiologi penyakit : pengantar menuju
kedokteran klinis. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2010.h.205-9.
2. Aisah S, Djuanda A, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6. Jakarta: FKUI,
2011.h.169-76.
3. Zakaria MA, Safitri A, editor. Dermatologi : catatan kuliah / Robin Graham-Brown, Tony
Burns. Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2005.h.11-4; 151-3.
4. Baskoro A, Effendi C, Sudoyo AW, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.h.395-402.
5. Poonawalla, T., Kelly, B, editor. Urticaria a review. Am J Clin Dermatol; 2009.h.9-21.
6. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC; 2005.

Page | 12

Anda mungkin juga menyukai