Anda di halaman 1dari 33

Laporan Belajar Mandiri

Minggu 2 Blok 3.2

oleh :
Habib El Binampiy Busnia
1810313039
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
SELULITIS

1. Definisi
Selulitis adalah suatu infeksi yang menyerang kulit dan jaringan subkutan. Tempat yang
paling sering terkena adalah ekstermitas, tetapi selulitis juga dapat terjadi di kepala, kulit
kepala, dan leher.
2. Etiologi dan Predisposisi
Invasi bakteri dan jamur :
 Di sebabkan oleh Streptococcus grup A dan Staphylococcus aureus
 Pada bayi yang terkena penyakit ini di sebabkan oleh Streptococcus grup B
 Infeksi dari jamur, Aeromonas hydrophia
 S. Pneumoniae ( Pneumococcus)
Penyebab lain :
 Luka di kulit
 Gigitan serangga
 Riwayat penyakit pembuluh darah perifer
 Diabetes mellitus
 Obesitas
 Pemakaian obat imunosupresan atau kortikosteroid

3. Patofisiologi
Selulitis terjadi saat organisme bacterial merusak asam hialuronat, agen pengikat dan
protektif, yang di kenal sebagai substansi semen jaringan. Dalam kondisi ini, organisme
bakterial memproduksi hialuronidase (enzim yang melakukan hidolisis asam hialuronat),
yang meningatkan permeabilitas jaringan ikat dan merusak Barier jaringan sehingga
memungkinkan invasi oleh bakteri dan penyebaran bakteri.

4. Manifestasi Klinik
Gejala awal Selulitis di awal dapat berupa : Kemerahan pada daerah yang terkena
Selulitis, merasakan nyeri tekan, kulit yang terinfeksi menjadi panas dan bengkak, adanya
lepuhan kecil berisi cairan (vesikel), adanya lepuhan besar berisi cairan (bula), ada pula
pus, kebanyakan pasien Selulitis juga merasakan demam karena proses inflamasi yang
terjadi, dan juga menggigil, malaise, sakit kepala, tekanan darah pasien rendah, juga bisa
timbul abses
5. Penegakkan Diagnosis
1) Anamnesis.
Melakukan anamnesis untuk menentukan selulitis merupakan langkah yang
sangat penting.
 Riwayat Trauma
Apabila terdapat riwayat trauma, pemeriksa harus menanyakan
kejadiannya lebih dalam. Apakah pasien tersebut terkena trauma di tempat
yang memiliki air tergenang, di tempat pemotongan daging, benda-benda
yang berkarat, dan sebagainya.
 Penyakit Kulit Sebelumnya.
Penyakit kulit sebelumnya, seperti dermatitis atopi, psoriasis, dan tinea
pedis perlu ditanyakan untuk memastikan port d’entre dari infeksi saat ini.
 Komorbid yang Berhubungan dengan Kondisi Imunitas Pasien
Komorbid yang harus ditanyakan pada pasien dengan selulitis adalah
Diabetes Mellitus, HIV/AIDS, penyakit ginjal kronis, dan penyakit hati
kronis. Hal ini perlu ditanyakan untuk menentukan kondisi imunitas
pasien yang dapat meningkatkan kejadian selulitis.
 Riwayat Operasi dan Riwayat Gejala Penyerta
Riwayat pembedahan harus ditanyakan karena selulitis dapat terjadi akibat
infeksi luka operasi. Luka operasi dikatakan infeksi apabila terdapat pus
dan tanda-tanda inflamasi. Selain itu, riwayat demam, nyeri yang
terlokalisasi, menggigil dan lemas harus ditanyakan sebagai gejala
penyerta dalam selulitis.
2) Pemeriksaan Fisik Kulit.
Pada pemeriksaan kulit, ditemukan nyeri, nyeri tekan, eritema, dengan
tekstur peau d’orange seperti pada erisipelas, akan tetapi, perbedaan yang
signifikan pada selulitis adalah:
 Batas yang tidak jelas antara kulit yang terinfeksi dengan kulit normal.
 Indurasi yang nyeri memiliki bentuk yang lebih tegas
 Fluktuasi
 Krepitasi pada palpasi.
 Tanda adanya necrotizing fasciitis atau gangrene
Dalam beberapa kasus, epidermis dapat membentuk bulla atau nekrosis yang
berujung pada kerusakan epidermis dan erosi superfisial. Selain bulla,
pembentukan abses, nekrosis, dan fasciitis dapat terjadi. Limfadenopati regional
juga dapat berhubungan dengan selulitis di ekstremitas.
6. Pemeriksaan Penunjang.
Pada pasien dengan selulitis, pemeriksaan penunjang umumnya tidak perlu dilakukan.
Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan untuk menilai komplikasi atau diagnosis banding
dari selulitis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1) Tes Laboratorium
Perhitungan darah lengkap, pemeriksaan kimia, laju endap darah, dan protein C-
reaktif merupakan pemeriksaan yang tidak spesifik, tetapi dapat digunakan dapat
untuk membedakan infeksi nekrotik. Creatinine Kinase (CK) dapat digunakan
sebagai adanya infeksi pada otot seperti pada myositis bacterial, dan infeksi nekrotik.
Protein C-reaktif memiliki sensitivitas 67.1% dan spesifisitas 94.8%, sedangkan
pemeriksaan sel darah putih memiliki spesifisitas 84.5% dan sensitivitas 43.0%.
Peningkatan protein C-reaktif dapat menjadi indikator terdapatnya infeksi, walaupun
pada jumlah normal, tidak dapat mengeksklusi adanya infeksi.
2) Apusan Pus, Eksudat, dan Aspirat.
Pemeriksaan ini merupakan baku emas dalam melihat jenis bakteri apa yang
menginfeksi jaringan lunak. Pemeriksaan ini hanya diindikasikan pada
pasien immunocompromised, selulitis dengan komplikasi, atau selulitis akibat luka
gigitan hewan untuk menentukan terapi antibiotik yang akan diberikan. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan aspirasi lesi yang menonjol, bula ataupun menyeka lesi
terbuka dan diberikan pewarnaan gram, fungal, maupun imunofloresensi.
Identifikasi pathogen yang didapat dari hasil apusan sekitar 7-33 persen. Apusan
baiknya diambil dari batas lesi, karena apabila diambil di bagian paling inflamasi,
kemungkinan hasil kultur akan semakin banyak. Selain itu, lesi terbuka memiliki
kemungkinan organisme yang lebih banyak, sebagaian merupakan penyebab,
sedangkan yang lainnya hanya kontaminan. Biopsi dan penentuan tipe sel inflamasi
dari lesi diikuti dengan kultur, pewarnaan khusus, serta investigasi patologi dapat
sangat membantu penentuan jenis bakteri.
Kultur darah hanya memiliki 4% kemungkinan dalam menentukan pathogen. Akan
tetapi, bila terdapat limfedema, kemungkinan meningkat menjadi 30%. [26] Adanya
demam tinggi, menggigil, selulitis buccal dan periorbital ataupun adanya paparan air
laut maupun mata air, kultur darah harus dilakukan.
Aspirasi dengan jarum direkomendasikan pada pasien yang memiliki gangguan
imunitas, atau yang memiliki paparan abnormal seperti luka gigitan. Selain itu, pada
pasien yang tidak sembuh setelah diberikan antibiotik empiris, hal ini juga
direkomendasikan. Aspirasi dengan jarum dapat melihat mikroba sebanyak 24%.
3) Pencitraan
Pencitraan pada selulitis hanya dilakukan jika selulitis sulit dibedakan dengan
diagnosis bandingnya, misalnya pada kecurigaan terdapat osteomielitis
atau necrotizing fasciitis.
Pencitraan digunakan pada pasien dengan infeksi Clostridia dan bacteroides, di mana
kedua bakteri tersebut menghasilkan gas yang dapat digambarkan radiografi.
Gambaran x-ray pada selulitis anaerobik menunjukkan adanya kantung gas yang
berada di dalam jaringan superfisial dan biasanya dapat diraba. Selain x-ray,
penggunaan CT-scan diindikasikan pada pasien yang dicurigai osteomielitis atau
adanya sumber bakteri pada kulit.
Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat digunakan sebagai penunjang dalam
pemeriksaan infeksi jaringan lunak.  Penggunaan MRI juga dapat membedakan
selulitis dengan fasciitis nekrotik. Pasien dengan selulitis nonnekrotik dapat
digambarkan dengan peningkatan sinyal pada area yang terkena. Walau demikian,
pemeriksaan radiologi tidak boleh menghambat pemeriksaan dengan bedah pada
pasien yang memiliki kecurigaan tinggi, dimana diagnosis dan terapi dapat
ditentukan.
Selain itu, ultrasonografi (USG) juga dapat dilakukan untuk deteksi abses yang samar
dan untuk menilai ada tidaknya diagnosis banding deep vein thrombosis.
Ultrasonografi dapat membantu dokter untuk melakukan aspirasi untuk mengurangi
waktu pasien di rumah sakit serta durasi demam pada anak dengan selulitis.
4) Pemeriksaan Histopatologi.
Eksplorasi terbuka diindikasikan apabila terdapat nyeri, nyeri tekan, takikardia,
takipnea, ketoacidosis/hiperglikemia, perubahan kulit menjadi bulla atau gangrene,
warna kulit menjadi seperti perunggu, hilangnya sensori, krepitus, abses dengan
banyak sumber, serta keluarnya cairan merah pada ujung-ujung luka. Dengan
melakukan eksplorasi terbuka, pemeriksa dapat melakukan biopsi dengan insisi
dalam, serta pemeriksaan histopatologis yang baik dalam menentukan diagnosis dan
mengurangi mortalitas.
Pada selulitis, pemeriksaan histopatologis dapat menunjukkan adanya edema, yang
ditandai dengan adanya dilatasi limfatik dan vascular pada dermis superfisial, serta
infiltrasi streptococcus dan neutrofil pada rongga jaringan serta jaringan limfatik.
Pada lesi yang kronis, dapat ditemukan histiosit dan jaringan granulasi.
7. Tata Laksana.
Anak-anak dengan Selulitis dapat di obati dengan antibiotik oral sebagai pasien rawat
jalan jika gejalanya terlokalisasi tanpa demam. Bila ada gejala sistemik, anak itu harus di
rawat di rumah sakit untuk mendapatkan antibiotik intravena (IV). Kompres hangat
diberikan di daerah yang terkena Selulitis. Lokasi ini di tinggikan dan di imobilisasi bila
mungkin. Asetaminofen di berikan seperlunya untuk mengatasi demam dan nyeri. Selama
24 jam sampai 36 jam pertama setelah pemberian antibiotik, umunya Selulitis akan
tampak membaik. Pemberian antibiotik dapat di ganti dari IV menjadi oral bila gejala
kemerahan, hangat, dan pembengkakan telah berkurang secara nyata. Total lamanya
pemberian antibiotik kira-kira 10 sampai 14 hari.
8. Komplikasi.
Komplikasi dapat berupa gangguan sistemik salah satunya yaitu septicemia, osteomyelitis
juga dapat terjadi, artritis septik, meningitis, hilangnya ketajaman pengelihatan, hingga
potensi abses otak .
ARTHRITIS GOUT
1. Definisi
Artritis gout adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di seluruh dunia.
Artritis gout atau dikenal juga sebagai artritis pirai, merupakan kelompok penyakit
heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler. Gangguan metabolisme yang
mendasarkan artritis gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian
kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl untuk pria dan 6,0 ml/dl untuk wanita. Sedangkan definisi
lain, artritis gout merupakan penyakit metabolik yang sering menyerang pria dewasa dan
wanita posmenopause. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kadar asam urat dalam
darah (hiperurisemia) dan mempunyai ciri khas berupa episode artritis gout akut dan
kronis.
2. Epidemiologi
Artritis gout menyebar secara merata di seluruh dunia. Prevalensi bervariasi antar negara
yang kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan, diet, dan genetic. Di
Inggris dari tahun 2000 sampai 2007 kejadian artritis gout 2,68 per 1000 penduduk,
dengan perbandingan 4,42 penderita pria dan 1,32 penderita wanita dan meningkat
seiring bertambahnya usia. Di Italia kejadian artritis gout meningkat dari 6,7 per 1000
penduduk pada tahun 2005 menjadi 9,1 per 1000 penduduk pada tahun 2009.
Sedangkan jumlah kejadian artritis gout di Indonesia masih belum jelas karena data yang
masih sedikit. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki berbagai macam jenis etnis
dan kebudayaan, jadi sangat memungkinkan jika Indonesia memiliki lebih banyak variasi
jumlah kejadian artritis gout (Talarima et al, 2012). Pada tahun 2009 di Maluku Tengah
ditemukan 132 kasus, dan terbanyak ada di Kota Masohi berjumlah 54 kasus. Prevalensi
artritis gout di Desa Sembiran, Bali sekitar 18,9%, sedangkan di Kota Denpasar sekitar
18,2%. Tingginya prevalensi artritis gout di masyarakat Bali berkaitan dengan kebiasaan
makan makanan tinggi purin seperti lawar babi yang diolah dari daging babi, betutu
ayam/itik, pepes ayam/babi, sate babi, dan babi guling.
3. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi, obesitas,
konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada
wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout. Perkembangan artritis
gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun
angka kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60
tahun. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan
mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun. Wanita mengalami peningkatan resiko
artritis gout setelah menopause, kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun
dengan penurunan level estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini
menyebabkan artritis gout jarang pada wanita muda Penggunaan obat diuretik merupakan
faktor resiko yang signifikan untuk perkembangan artritis gout. Obat diuretic dapat
menyebabkan peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan
hiperurisemia. Dosis rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk kardioprotektif, juga
meningkatkan kadar asam urat sedikit pada pasien usia lanjut. Hiperurisemia juga
terdeteksi pada pasien yang memakai pirazinamid, etambutol, dan niasin.
4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis artritis gout terdiri dari artritis gout asimptomatik, artritis gout akut, interkritikal
gout, dan gout menahun dengan tofus. Nilai normal asam urat serum pada pria adalah 5,1 ± 1,0
mg/dl, dan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl. Nilai-nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/dl pada
seseorang dengan artritis gout. Pada tahap pertama hiperurisemia bersifat asimptomatik, kondisi
ini dapat terjadi untuk beberapa lama dan ditandai dengan penumpukan asam urat pada jaringan
yang sifatnya silent. Tingkatan hiperurisemia berkolerasi dengan terjadinya serangan artritis gout
pada tahap kedua. Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang
hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa
nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan
merasa lelah.
Serangan artritis gout akut terjadi ditandai dengan nyeri pada sendi yang berat dan biasanya
bersifat monoartikular. Pada 50% serangan pertama terjadi pada metatarsophalangeal-1 (MTP-1)
yang biasa disebut dengan podagra. Semakin lama serangan mungkin bersifat poliartikular dan
menyerang ankles, knee, wrist, dan sendi-sendi pada tangan.
Serangan akut ini dilukiskan sebagai sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak
terobati, rekuren yang multipel, interval antara serangan singkat dan dapat mengenai beberapa
sendi (Tehupeiory, 2006). Ketika serangan artritis gout terjadi eritema yang luas di sekitar area
sendi yang terkena dapat terjadi. Meskipun serangan bersifat sangat nyeri biasanya dapat sembuh
sendiri dan hanya beberapa hari. Setelah serangan terdapat interval waktu yang sifatny
asimptomatik dan disebut juga stadium interkritikal. Faktor pencetus serangan akut antara lain
berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat
diuretik atau penurunan dan peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak
dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.
Stadium interkritikal merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode interkritik
asimptomatik. Walaupun secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun pada
aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap
berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu atau beberapa kali pertahun,
atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik dan
pengaturan asam urat yang tidak benar, maka dapat timbul serangan akut lebih sering yang dapat
mengenai beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Kebanyakan orang mengalami serangan
artritis gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati.
Segera setelah serangan akut terjadi penderita mungkin mengalami proses yang terus berlanjut,
meskipun bersifat asimptomatik apabila terapi antiinflamasi tidak diberikan pada waktu yang
cukup, yaitu beberapa hari setelah serangan akut berhenti. Setelah itu terdapat jeda waktu yang
lama sebelum serangan berikutnya. Selama waktu ini deposit asam urat kemungkinan meningkat
secara silent. Stadium gout menahun ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri sehingga
dalam waktu lama tidak berobat secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya
disertai tofus yang banyak dan terdapat poliartikuler.
Tofus terbentuk pada masa artritis gout kronis akibat insolubilitas relatif asam urat. Awitan dan
ukuran tofus secara proporsional mungkin berkaitan dengan kadar asam urat serum. Bursa
olekranon, tendon achilles, permukaan ekstensor lengan bawah, bursa infrapatelar, dan heliks
telinga adalah tempat-tempat yang sering dihinggapi tofus. Secara klinis tofus ini mungkin sulit
dibedakan dengan nodul rematik. Pada masa kini tofus jarang terlihat dan akan menghilang
dengan terapi yang tepat.
Pada tofus yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya kurang memuaskan. Lokasi
tofus yang paling sering pada cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan.
Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.
Pada artritis gout kronis yang menyerang banyak sendi dapat menyerupai artritis reumatoid.
Penderita dapat timbul tofus subkutaneus pada area yang mengalami gesekan atau trauma. Tofus
tersebut dapat serng diduga sebagai nodul rheumatoid.
5. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari The American College of
Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat dalam cairan sendi atau tofus dan/atau
bila ditemukan 6 dari 12 kriteria yaitu, Inflamasi maksimum pada hari pertama, serangan
akut lebih dari satu kali, artritis monoartikuler, sendi yang terkena berwarna kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada sendi metatarsofalangeal, serangan pada sendi
metatarsofalangeal unilateral, adanya tofus, hiperurisemia, pada foto sinar-X tampak
pembengkakan sendi asimetris dan kista subkortikal tanpa erosi, dan kultur bakteri cairan
sendi negatif.
Sedangkan menurut Fauci et al,diagnosis artritis gout meliputi kriteria analisis cairan
sinovial, terdapat kristal-kristal asam urat berbentuk jarum baik di cairan eksraseluler
maupun intraseluler, asam urat serum, asam urat urin, ekskresi >800 mg/dl dalam diet
normal tanpa pengaruh obat, yang menunjukkan overproduksi, skrining untuk
menemukan faktor resiko, seperti urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hati, kadar
glukosa dan lemak, dan hitung darah lengkap, jika terbukti karena overproduksi,
konsentrasi eritrosit hypoxantine guanine phosporibosyl transferase (HGPRT) dan 5-
phosphoribosyl-1-pyrophosphate (PRPP) terbukti meningkat, foto sinar-X, menunjukkan
perubahan kistik, erosi dengan garis tepi bersklerosi pada artritis gout kronis.
6. Tata Laksana
Tujuan pengobatan pada penderita artritis gout adalah untuk mengurangi rasa nyeri,
mempertahankan fungsi sendi dan mencegah terjadinya kelumpuhan. Terapi yang
diberikan harus dipertimbangkan sesuai dengan berat ringannya artrtitis gout.
Penatalaksanaan utama pada penderita artritis gout meliputi edukasi pasien tentang diet,
lifestyle, medikamentosa berdasarkan kondisi obyektif penderita, dan perawatan
komorbiditas.
Pengobatan artritis gout bergantung pada tahap penyakitnya. Hiperurisemia asiptomatik
biasanya tidak membutuhkan pengobatan. Serangan akut artritis gout diobati dengan
obat-obatan antiinflamasi nonsteroid atau kolkisin. Obat-obat ini diberikan dalam dosis
tinggi atau dosis penuh untuk mengurangi peradangan akut sendi.
Beberapa lifestyle yang dianjurkan antara lain menurunkan berat badan, mengkonsumsi
makanan sehat, olahraga, menghindari merokok, dan konsumsi air yang cukup.
Modifikasi diet pada penderita obesitas diusahakan untuk mencapai indeks masa tubuh
yang ideal, namun diet yang terlalu ketat dan diet tinggi protein atau rendah karbohidrat
(diet atkins) sebaiknya dihindari. Pada penderita artritis gout dengan riwayat batu saluran
kemih disarankan untuk mengkonsumsi 2 liter air tiap harinya dan menghindari kondisi
kekurangan cairan. Untuk latihan fisik penderita artritis gout sebaiknya berupa latihan
fisik yang ringan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan trauma pada sendi.
Penanganan diet pada penderita artritis gout dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu
avoid, limit, dan encourage. Pada penderita yang dietnya diatur dengan baik mengalami
penurunan kadar urat serum yang bermakna.
Tujuan terapi serangan artritis gout akut adalah menghilangkan gejala, sendi yang sakit
harus diistirahatkan dan terapi obat dilaksanakan secepat mungkin untuk menjamin
respon yang cepat dan sempurna. Ada tiga pilihan obat untuk artritis gout akut, yaitu
NSAID, kolkisin, kortikosteroid, dan memiliki keuntungan dan kerugian. Pemilihan
untuk penderita tetentu tergantung pada beberapa faktor, termasuk waktu onset dari
serangan yang berhubungan dengan terapi awal, kontraindikasi terhadap obat karena
adanya penyakit lain, efikasi serta resiko potensial. NSAID biasanya lebih dapat ditolerir
disbanding kolkhisin dan lebih mempunyai efek yang dapat diprediksi.
Untuk penderita artritis gout yang mengalami peptic ulcers , perdarahan atau perforasi
sebaiknya mengikuti standar atau guideline penggunaan NSAID. Kolkisin dapat menjadi
alternatif namun memiliki efek kerja yang lebih lambat dibandingkan dengan NSAID.
Kortikosteroid baik secara oral, intraartikular, intramuskular, ataupun intravena lebih
efektif diberikan pada gout monoartritis, penderita yang tidak toleran terhadap NSAID
dan penderita yang mengalami refrakter terhadap pengobatan lainnya.
7. Komplikasi
Komplikasi dari artritis gout meliputi severe degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu
ginjal dan fraktur pada sendi. Sitokin, kemokin, protease, dan oksidan yang berperan
dalam proses inflamasi akut juga berperan pada proses inflamasi kronis sehingga
menyebabkan sinovitis kronis, dekstruksi kartilago, dan erosi tulang. Kristal monosodium
urat dapat mengaktifkan kondrosit untuk mengeluarkan IL-1, merangsang sintesis nitric
oxide dan matriks metaloproteinase yang nantinya menyebabkan dekstruksi kartilago.
Kristal monosodium urat mengaktivasi osteoblas sehingga mengeluarkan sitokin dan
menurunkan fungsi anabolik yang nantinya berkontribusi terhadap kerusakan juxta
artikular tulang.
8. Prognosis
Artritis gout sering dikaitkan dengan morbiditas yang cukup besar, dengan episode
serangan akut yang sering menyebabkan penderita cacat. Namun, artritis gout yang
diterapi lebih dini dan benar akan membawa prognosis yang baik jika kepatuha penderit
terhadap pengobatan juga baik Jarang artritis gout sendiri yang menyebabkan kematia
atau fatalitas pada penderitanya. Sebaliknya, artritis gou sering terkait dengan beberapa
penyakit yang berbahaya dengan angka mortalitas yang cukup tinggi seperti hipertensi
dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas. Penyakit-penyakit ini bisa muncul sebagai
komplikasi maupun komorbid dengan kejadian artritis gout.
Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan baik. Jika serangan artritis
gout kembali, pengaturan kembali kadar asam urat (membutuhkan urate lowering
therapy dalam jangka panjang) dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan penderita.
Selama 6 sampai 24 bulan pertama terapit artritis gout, serangan akut akan sering terjadi.
Luka kronis pada kartilago intraartikular dapat mengakibatkan sendi lebih mudah
terserang infeksi. Tofus yang mengering dapat menjadi infeksi karena penumpukan
bakteri. Tofus artritis gout kronis yang tidak diobati dapat mengakibatkan kerusakan pada
sendi. Deposit dari kristal monosodium urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi dan
fibrosis, dan menurunkan fungsi ginjal.
Pada tahun 2010, artritis gout diasosiasikan sebagai penyebab utama kematian akibat
penyakit kardiovaskuler. Analisis 1383 kematian dari 61527 penduduk Taiwan
menunjukkan bahwa individu dengan artritis gout dibandingkan dengan individu yang
memiliki kadar asam urat normal, hazard ratio (HR) dari semua penyebab kematian
adalah 1,46 dan HR dari kematian karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,97.
Sedangkan individu dengan artritis gout, HR dari semua penyebab kematian adalah 1,07,
dan HR dari kematian karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,08.
ARTHRITIS PSORIATIK
1. Definisi
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik pada kulit yang disebabkan abnormalitas
pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta berbagai gangguan biokimia, imunologis
dan vaskular, yang ditandai dengan bercak merah disertai sisik pada kulit.1Selain kulit
psoriasis juga dapat melibatkan kuku dan persendian. Kebanyakan pasien dengan
psoriasis memiliki keterlibatan kuku. Berdasarkan anatomi, pasien psoriasis dengan
keterlibatan kuku tidak menutup kemungkinan terjadinya psoriasisartritis.
Psoriasis Artritis (PsA) adalah inflamasi muskuloskeletal, terutama terjadi pada tulang
bagian aksial dan sendi perifer,biasanya terjadi pada pasien dengan psoriasis atau pada
pasien dengan riwayat psoriasis pada keluarga, yang ditandai dengan dengan gejala khas
dari dua penyakit yaitu psoriasis dan artritis.
2. Epidemiologi
Kejadian artritis pada pasien dengan psoriasis telah diketahui sejak abad ke 19. Studi
epidemiologi telah mencatat bahwakejadian artritis prevalensinya lebih tinggi pada
pasien psoriasis dibandingkan populasi umum. Frekuensi inflamasiartritis pada populasi
umum diperkirakan 3 - 5%, sedangkan 7 - 42% pasien psoriasistelah diidentifikasi
memiliki PsA. Prevalensi psoriasis dan PsA bervariasi tergantung dari etnis dan
geografis, kemungkinan besar sebagai akibat faktor genetik dan lingkungan.
PsA biasanya dimulai antara umur 30 dan 50 tahun, insidensinya sama pada pria dan
wanita, namun subtipe yang melibatkan tulang belakang terjadi 3 kali lebih sering pada
pria. Ada berbagai laporan tentang prevalensi PsA pada pasien dengan psoriasis, mulai
dari 5% hingga 42%. Keterlibatan kulit biasanya berkembang (70% kasus) beberapa
tahun sebelum manifestasi muskuloskeletal. Dalam 15%, artritis didahului oleh
perubahan kulit selama sekitar 2 tahun.
3. Manifestasi Klinis
Gambaran umum dari PsA adalah adanya manifestasi klinis daktilitis, yang menunjukkan
keterlibatan dari sendi interphalangeal distal yang sering terlihat dalam bentuk
pembengkakkan difus pada sendi yang terlibat. Keterlibatan sendi DIP didahului oleh
peradangan dari entesis yang merupakan proses awal peradangan pada PsA. Proses
peradangan kronis yang terus menerus ini pada akhirnya dapat berlanjut hingga
merlibatkan rongga sendi, osteolisis dan pembentukan tulang baru periartikular.
Untuk menilai atau mendiagnosis PsA, saat ini telah diperkenalkan Classification
Criteria for Psoriatic Arthtritis (CASPAR ). Klasifikasi ini dapat sangat spesifik untuk
mendiagnosis PsA (98,7%), dan lebih mudah digunakan daripada kriteria klasifikasi lain
yang ada. Dalam klasifikasi ini, diagnosis PsA didukung oleh gabungan sejumlah bentuk
klinis.

Berdasarkan bagian tubuh yang terkena dampaknya, PsA dapat dibagi menjadi lima jenis
yaitu :
a. Psoriasis artritis asimetris : biasanya hanya mengenai beberapa persendian di satu sisi
tubuh, baik persendian besar atau kecil, misalnya pada jari tangan dan kaki.
b. Psoriasis artritis simetris : yang mengenai beberapa persendian di kedua sisi tubuh,
seperti pada kedua siku atau kedua lutut. Kondisi ini dapat merusak persendian dan
membuat sendi tidak berfungsi.
c. Artritis mutilan : merupakan jenis PsA yang paling parah dan paling merusak sendi,
hingga dapat menyebabkan perubahan bentuk.
d. Spondilitis : mengenai sendi tulang belakang dan dapat menyebabkan peradangan
serta kekakuan antara tulang-tulang leher, punggung, serta tulang panggul. Dapat juga
menyerang ligamen yang menghubungan ototototke tulang dan jaringan penghubung
lainnya.
e. Distal interphalangeal predominant (DIP) : mengenai persendian kecil diujung jari
tangan dan kaki serta kuku.
SKLERODERMA
a. Definisi
Istilah skleroderma berasal dari kata Yunani, skleros (keras atau berindurasi) dan derma
(kulit). Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan mengenai
pembuluh darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma ditandai oleh adanya
fibrosis dan obliterasi pembuluh darah kulit, paru, pencernaan, ginjal dan jantung.
Penyakit ini bisa lokal dan sistemik. Yang sistemik sering bersifat progesif dan fatal.
Karakteristik kliniknya adalaah adanya indurasi dan penebalan kulit. Deposit jaringan
ikat dan obliterasi pembuluh darah ditemukan dikulit maupun di alat-alat dalam tertentu.
b. Epidemiologi
Skleroderma adalah penyakit sporadis dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan
menyerang semua ras. Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio
pada tahun 1973 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun.
Hubungan skleroderma dengan fenomena Raynaud pertamakali dilaporkan oleh Maurice
Raynaud pada tahun 1865. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa
penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1945 Goetz mengusulkan istilah
progressive systemic sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas baik di kulit maupun
di organ visceral.
Skleroderma lokal relatif jarang didapat. Wanita tiga kali lebih sering terserang dari pada
laki-laki. Penderita kulit putih lebih sering daripada kulit hitam. Penderita berumur antara
20-50 tahun. Pernah dilaporkan penderita anak berumur 15 bulan. Pada skleroderma
linier, serangan berlangsung pada umur yang lebih muda, dua dekade pertama kehidupan.
Pada scleroderma sistemik, wanita empat kali lebih banyak terserang daripada laki-laki.
Penderita kulit hitam lebih banyak dari pada penderita kulit putih. Sebagian besar
penderita mendapat serangan antara umur 30-50 tahun.
c. Etiologi
Etiologi belum diketahui secara pasti (Djuanda, 2007) diduga beberapa faktor dapat
mempengaruhi skleroderma antara lain:
1. Faktor Genetik.
Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan hukum Mendelian.
Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan kekerapan yang berbeda. Sekitar 1,6%
pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang menunjukkan pentingnya
faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus erythematosus
(SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan pertama pasien
skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme gen kandidat,
terutama gen yang berhubungan dengan regulasi imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler
dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang lemah antara single nucleotide
polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah dilaporkan pada gen yang
mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE), endothelin 1, nitric oxide
synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan
reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor
(TNF)-alpha), growth factors dan reseptornya (connective tissue growth factor
[CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-beta]) dan protein matriks
ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC).
2. Faktor Lingkungan.
Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan pentingnya
faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama virus,
paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat
mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan
antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I
autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit.
Hal ini terjadi melalui proses mimikri molekuler antara hCMV dengan host.
Penelitian lain menunjukkan implikasi infeksi hCMV pada vaskulopati allograft pada
transplantasi organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan pembentukan neointima
vaskuler, proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif. hCMV dapat secara
langsung menginduksi produksi CTGF pada fibroblast yang terinfeksi sehingga
hipotesis tentang peran hCMV terhadap kejadian skleroderma adalah rasional. Infeksi
Human parvovirus B19 juga diperkirakan berhubungan dengan kejadian
Skleroderma.
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada
pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan
dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic
hydrocarbons (toluene, trichloroethylene). Obat-obatan yang berhubungan dengan
kejadian skleroderma adalah bleomycin, pentazocine, cocaine dan penekan nafsu
makan (terutama derivat fenfluramine) yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi pulmonal.
d. Klasifikasi
Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu :
1. Skleroderma Lokal
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized scleroderma),
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang
menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya (Jennife and
Victoria, 20101) tanpa keterlibatan sistemik (Vincent and Christina, 2008).
Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih
kekuning-kuningan dan keras, yang sering kali mempunyai halo ungu disekitarnya.
Termasuk dalam kelompok ini adalah :
a) Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh
mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan.
b) Linear Sklerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma
pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan tulang
dibawahnya
c) Skleroderma en coup de sabre : Merupakan varian skleroderma linier, dimana
garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dana kelainan tulang.
2. Sklerosis sistemik
Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai
dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal
yang luas terutama paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit
ini berhubungan dengan gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan
perubahan struktural dan fungsional yang menyeluruh pada mikrovaskular dan
disfungsi organ yang progresif akibat dari proses fibrosis. Adanya gambaran
skleroderma, membedakan sklerosis sistemik dari penyakit jaringan ikat lain.
a) Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas,
muka dan seluruh tubuh.
b) Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut
tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma
CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).
c) Sklerosis sitemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan
kulit walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas
untuk sklerosis sistemik.
d) Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau
penyakit otot inflamasi
e) Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena
Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis
sitemik
e. Manifestasi Klinis
1. Skleroderma sirkumskripta/ Skleroderma lokalisata/Morfea
a) Morfea soliter (Morfea en plaque)
Morfea ditandai dengan satu atau beberapa patch atau plak berindurasi dan
berbatas jelas umumnya dengan hipo atau hiperpigmentasi. Lesi dini ditandai
dengan edema dengan atau tanpa eritema sekitar. Nyeri muncul beberapa
minggu sebelum muncul gejala klinik. Lesi aktif biasa berindurasi dan
berbatas eritema dan violaceous. Lesi berkembang menjadi keputihan atau
kuning, khususnya di sentral. Ukuran bervariasi dari 0,5-30 cm 2. Morfea tipe
plak ini lebih sering ditemukan pada batang tubuh, khususnya bagian bawah,
dibandingkan ekstremitas dan wajah.
b) Morfea linier
Morfea linier ditandai dengan indurasi kulit band-like dan seringnya dengan
perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan kadang menyebabkan
kontraktur. Bentuk morfea ini muncul lebih umum pada anak-anak dan pada
ekstremitas. Proses fibrotik sering sering meluas ke jaringan subkutaneus,
termasuk fasia dan otot. Kontraktur dapat menjadi penyebab morbiditas dan
deformitas. Pada anak yang sangat muda, dapat mempengaruhi pertumbuhan
tulang dan mengganggu pertumbuhan jaringan. Proses pansklerotik yang
meliputi seluruh ekstremitas terlihat pada kasus yang sangat berat.
Skleroderma linier yang terdapat pada wajah dapat berupa lapisan coklat
keunguan atau putih, pita atropi berjalan vertikal di dahi, umumnya dikenal
dengan en coup de sabre. Perubahan meliputi seluruh kulit kepala biasa
ditemukan. Jika hanya jaringan subkutaneus, otot, dan tulang terkena, bentuk
ipsilateral ini dikenal sebagai progressive facial hemiatrophy atau Parry-
Romberg syndrome. Perluasan yang meliputi kulit dan perkembangan
hemiatropi wajah tidak selalu berhubungan secara langsung. Pasien terkena
lesi wajah dan Parry-Romberg syndrome datang dengan keadaan yang sangat
berat. Pasien yang bergejala ringan dapat ditandai hanya dengan single linea
atrophic band. Pasien yang bergejala berat dapat memiliki hemiatropi wajah
dengan hilangnya jaringan subkutaneus, otot, dan tulang serta atropi lidah dan
kelenjar ludah pada sisi yang sama. Pasien bergejala berat ini juga dapat
memiliki gangguan sistem saraf meningen sehingga berpotensial kejang, sakit
kepala, dan perubahan penglihatan.
c) Morfea Segemental.
Bentuk ini dapat berlokalisasi di muka dan menyebabkan hemi-atropi. Bila
berada di sebuah atau lebih dari sebuah ekstremitas, di samping ada indurasi
ada pula atrofi pada lemak subkutis dan otot. Akibatnya ialah kontraktur otot
dan tendon serta ankilosis pada sendi tangan dan kaki.
d) Morfea Generalisata.
Morfea generalisata merupakan bentuk yang lebih berat yang ditandai dengan
lesi multipel, sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar. Beberapa
pasien dapat memiliki bentuk subkutaneus dengan cakupan permukaan tubuh
yang lebih kecil. Onsetnya biasanya perlahan-lahan. Lesi dengan warna ungu
disekeliling indurasi ivory-white shiny biasanya terlihat pada stadium awal.
Plak biasanya lebih besar dibanding morfea lain, dengan diameter dalam
sentimeter. Biasanya plak dimulai pada batang tubuh dan secara bertahap
meningkat dalam ukuran, dengan perkembangan plak baru selama satu atau
dua tahun. Area utama yang terkena adalah batang tubuh atas, dada, abdomen,
dan paha atas.
2. Skleroderma Sistemik
Skleroderma sistemik biasanya dimulai dengan keluhan seperti fenomena Raynaud
yang kronik, edema pitting pada tangan dan jari-jari. Sepertiga pasien pertama kali
mengeluh adanya sakit dan kaku pada jari-jari dan lutut. Pada beberapa kasus,
keluhan pertama adalah poliartritis aktif yang sering berpindah. Dalam kasus lain,
terdapata arthritis jari-jari yang erosif dan berat. Pada pemeriksaan sinar X
ditemukan:
 Resorpsi jari-jari
 Kalsifikasi subkutan
 Ruangan persendian menyempit
 Erosi fokal tulang-tulang tertentu
Kelinan kulit mendahului kelainan alat-alat dalam beberapa tahun sebelumnya.
Penyakit lebih lanjut akan meluas ke anggota gerak atas, badan, muka, dan akhirnya
anggota gerak bawah. Pada fase dini pitting edema yang ringan, tidak sakit
berlangsung beberapa bulan, kemudian kulit menjadi kasar. Sebelumnya kulit terasa
indurasi, kaku, kemudian atrofi, keras dan melekat dengan struktur di bawahnya.
Kulit pada muka menjadi seperti topeng tanpa ekspresi, kehilangan garis-garis muka,
penipisan dari bibir dan penyempitan pembukaan mulut (mikrostomia).
Tampak adanya alur-alur radial sekitar mulut. Jarang mukosa mulut terkena. Kulit
hidung ketat dan nampak hidung lebih runcing. Telengangiektasi pada muka dan
badan bagian atas. Pada daerah yang terkena, kulit menjadi tipis dan rambut
menghilang tak berkeringat. Hiperpigmentasinya menyeluruh seperti penyakit
Addison. Fokal hipo/hiperpigmentasi timbul sebagai reaksi setelah adanya
peradangan pada daerah sclerosis.
Sklerodaktili menyebabkan jari-jari menjadi runcing dengan kulit yang jelas atrofi.
Seperti pada lupus eritematosus sistemik (SLE) ataupun dermatomiositis nampak
adanya telangiektasi pada pinggir kuku. Sekitar 75% dari kasus skleroderma sistemik,
pembesaran, pelebaran kapiler pada lipatan kuku, membentuk “Giant” atau bentuk
sosis dapat dilihat dengan optalmoskop, ini berguna menkonfirmasi diagnosis.
Problem yang umum adanya rasa sakit kambuhan pada tukak ujung jari .
Penyembuhan pada tukak kuku jari lambat. Kontraktur fleksi pada jari-jari yang kaku
menimbulkan masalah.
f. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan dikonfimasi dengan
biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskripsikan sebagai plak yang terlokalisir, berindurasi
dan hairless atau plak ungu. Pada pemeriksaan fisik, kulit pasien terasa “tight”, “hard”,
atau “grooved”. Morfea dapat muncul sebagai plak yang soliter, linier atau generalisata.
Lesi biasanya berdistribusi pada batang tubuh, namun juga bisa pada ekstremitas, wajah,
atau kepala. Walau beberapa pasien mengeluh gatal, namun plak itu sendiri
asimptomatik.
Diagnosis dapat dilihat dari perkembangan plak berinduasi dan band di kulit, dengan atau
tanpa hemiatropi karena tidak mungkin ada di kondisi lain. Jika terdapat batas dengan
lilac-coloured, diagnosis makin mudah. Lesi reticulat ungu dengan minimal indurasi
dapat mirip dengan poliartritis nodosa kutaneus. Lesi dapat dimulai dengan vascular
blush, dan dapat dianggap macular vascular naevus. Pada fase akut, harus dibedakan dari
scleoderma of Buschke, tapi pada keadaan ini onsetnya lebih akut, dan lesi dapat diikuti
dengan episode infeksius. Lesi atrophic pigmented mirip dengan lesi dari atrophy of
Pierini and Pasini, muncul pada 47% pasien dalam satu seri. Plak atophic morphoeic
dapat disebabkan oleh injeksi vitamin K intramuscular atau injeksi kortikosteroid
subkutaneus.
Pada anak-anak, klinis yang biasanya terlihat adalah kontraktur ekstremitas yang
asimetris, yang berhubungan dengan penebalan fasia dan kulit di dasarnya, dan masalah
vaskuler distal yang dieksaserbasi oleh pembedahan ortopedi, termasuk angioma dan
malformasi atriovena. Hal ini menunjukkan bahwa distibusi lesi mewakili sklerotom, atau
area tubuh yang disuplai oleh nervus sensorik spinal, dan bahwa keterlibatan kulit dan
otot muncul pada dermatom dan miotom yang relevan.
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan biopsi kulit. Pada biopsi kulit, di stadium awal
peradangan, terlihat degenerasi fibril kolagen dan edema yang ditemukan di dermis.
Infiltrat perivaskuler atau difus predominan terdiri dari limfosit walau dapat juga terdapat
sel plasma dan makrofag. Pada stadium sklerotik, dermis menebal dengan kolagen yang
padat dan beberapa fibroblas dengan infiltrat peradangan pada dermis dan subcutis
junction. Saat penyakit berkembang, fibril kolagen dermis ini bercampur dengan pola
homogen dan eosinofilik.
Diagnosis Skleroderma ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum
timbul kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan
bila ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun. Tahun
1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria sklerosis sistemik
dengan sensitifitas 97 % dan spesifisitas 98 %., yaitu bila terdapat:
- Satu kriteria mayor, atau
- 2 dari 3 kriteria Minor
Kriteria Mayor :
Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada
kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks
dan abdomen)
Kriteria Minor :
- Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut di atas tetapi hanya terbatas pada jari
- Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Hal ini terjadi akibat iskemia.
- Fibrosis basal kedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikular terutama
di bagian basal kedua paru, tampak pada gambaran foto thorak standar.
g. Tata Laksana
1. Penatalaksanaan Umum (KIE)
 Memberitahu pasien bahwa pada morfea adalah penyakit yang tidak
berbahaya pada kebanyakan kasus. Perjalanan penyakitnya dapat progresif
lambat; namun biasanya terjadi remisi spontan.
 Menjelaskan pada pasien bahwa lesi morfea pada persendian yang membatasi
range of motion (ROM) pasien dapat dipulihkan dengan rehabilitasi.
 Memberitahu pasien bahwa perhatian khusus diberikan pada lesi morfea pada
ekstremitas bawah karena pada pasien pediatrik dapat menyebabkan
diskrepansi panjang kaki. Keterlibatan fasial dan konstriksi ekstremitas yang
meluas juga membutuhkan follow-up yang lebih.
 Penderita harus dilindungi terhadap kedinginan, bila terdapat fenomena
Raynaud.
2. Penatalaksanaan Khusus
Secara umum belum ada pengobatan yang memuaskan untuk scleroderma, baik
bentuk lokal maupun sistemik.
 Penatalaksanaan Skleroderma Lokalisata/Morphea
Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi inaktif secara
spontan dan pada kasus yang lebih berat dapat menyebabkan fibrosis/sklerosis
ireversibel dari kulit dan jaringan subkutan. Pengobatan ditujukan pada
komponen peradangan, pelepasan sitokin, dan aktivasi dan deposit kolagen.
Banyak terapi yang telah digunakan pada pengobatan morfea dengan
keberhasilan yang bervariasi.
Pada bentuk lokal dapat dilakukan operasi bedah plastik atau injeksi
triamsinolon acetonid intralesi, dengan dosis 1 mg/lokasi suntikan, maksimal
10 lokasi suntik. Pengobatan topikal dengan salep kortikosteroid
(triamsinolon, betametason dll) dapat mencegah meluasnya lesi. Perlu emolien
dan sunscreen.
Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Beberapa studi telah
menunjukkan perkembangan pada mayoritas pasien morfea menggunakan
psoralen dan sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A (UVA), atau
fototerapi UVAI.
Pendekatan praktis: untuk cakupan yang terbatas dengan satu atau sedikit lesi
morfea, dapat menggunakan pengobatan topikal seperti calcipotriene,
tacrolimus, retinoids, atau tidak menggunakan pengobatan sama sekali. Di sisi
lain, lesi en coup de sabre dapat menyebabkan kecacatan yang nyata.
Pendekatan pada lesi wajah menggunakan hydroxychloroquine dan mungkin
methotrexate dalam kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg) dari
kortikosteroid sistemik. Pada cakupan yang lebih luas, dapat digunakn
fototerapi. Jika pendekatan tersebut tidak berhasil, atau jika terdapat
keterlibatan subkutaneus yang banyak, pengobatan yang bermanfaat adalah
methotrexate. D-penicillamine, cyclosporine, dan agen immuno-suppressive
lainnya juga telah digunakan.
Pada kasus pediatrik dengan pertumbuhan yang terganggu dari ekstremitas
yang terkena, intervensi bedah, dan stapling dari lempeng epifisis dari sisi
yang normal dapat efektif. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih
lambat, namun berkelanjutan, dari ekstremitas yang terkena dan dapat
menyebabkan tingkat perbedaan ekstremitas yang lebih sedikit.
 Penatalaksanaan Skleroderma Sistemik
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat. Derajat
penyakit merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan
kulit menunjukkan perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ
internal. Pemilihan terapi yang tepat tergantung manifestasi organ spesifik.
Pada bentuk yang sistemik adapat digunakan kortikosteroid secara oral:
Prednison dosis awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahan-lahan hingga
dosis maintenance 2,5 – 5 mg/hr. Bisa diberikan juga vitamin E 200 IU per
hari selama 3-6 bulan. Juga bisa digunakan methyldopa 125-500 mg/hari,
dinaikkan secara bertahap dipertahankan 1-3 bulan sampai ada kemajuan
klinis.
h. Komplikasi
Atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering ditemukan pada
skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda), dan dapat menyebabkan
gangguan mobilitas. Kontraktur sering terlihat pada skleroderma linier meliputi
ekstremitas dan garis sendi berlawanan. Anak-anak sering terkena skleroderma linier
dibanding dewasa. Pada kasus yang berat dan jarang, morfea pansklerotik membutuhkan
amputasi pada ekstremitas yang terlibat karena pertumbuhan yang terganggu. Pasien
dengan keterlibatan kraniofasial linier, seperti en coup de sabre dan hemiatropi fasial,
dapat memiliki abnormalitas neurologik, oftalmologik, dan oral. Kasus berat morfea
dikarakterisasi dengan hiper atau hipopigmentasi, kontraktur, dan atropi jaringan yang
mendasari dapat menjadi hancur (Ricard et al., 2006). Komplikasi Skleroderma sistemik
terjadi akibat PAH (pulmonary arterial hypertension), RP (Raynaud’s phenomenon) dan
SRC (scleroderma renal crisis).
i. Prognosis
Angka harapan hidup lima tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan
hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya
keterlibatan organ visceral. Pada sklerosis sitemik difus kematian biasanya terjadi karena
kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian
terjadi karena hipertensi pulmonal dan malbsorbsi. Pasien sklerosis sitemik mempunyai
resiko yang tinggi untuk mendapatkan keganasan, terutam karsinoma payudara, paru dan
limfoma non Hodgkin Hal ini turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis
sitemik. Satu hal yang unik adalah bahwa resiko timbulnya adenokarsinoma esophagus
sangat rendah walaupun terdapat metaplasi mukosa esophagus distal (metaplasia Barret).
Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis
sklerosis sitemik adalah :
 Usia lanjut( > 64 tahun)
 Penurunan fungsi ginjal (BUN<16 mg/dl)
 Anemia (Hb<11 gr/dl)
 Penurunan kapasitas difusi CO2 pada paru (<50% prediksi)
 Penurunan kadar protein serum total (6 mg/dl)
 Penurunan cadangan paru (Kapasitas vital paksa <80% pada Hb >14 gr/dl atau
kapasitas vital paksa < 65 % pada Hb<14 gr/dl)
OSTEOPOROSIS
1. Definisi
Secara harfiah, kata osteo berarti berlubang. Osteoporosis adalah berkurangnya
kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi
keras dan padat. Untuk mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan persediaan
kalsium dan mineral lainnya yang memadai, dan harus menghasilkan hormon dalam
jumlah yang mencukupi (hormon paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen
pada wanita dan testosteron pada pria). Juga persediaan vitamin D yang adekuat, yang
diperlukan untuk menyerap kalsium dari makanan dan memasukkan ke dalam tulang.
Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya sampai tercapai kepadatan
maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu kepadatan tulang akan berkurang secara
perlahan. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, maka
tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis.

2. Klasifikasi

Dalam terapi hal yang perlu diperhatikan adalah mengenali klasifikasi osteoporosis dari
penderita. Osteoporosis dibagi 2 , yaitu :

 Osteoporosis primer
Osteoporosis primer berhubungan dengan kelainan pada tulang, yang
menyebabkan peningkatan proses resorpsi di tulang trabekula sehingga
meningkatkan resiko fraktur vertebra dan Colles. Pada usia dekade awal pasca
menopause, wanita lebih sering terkena daripada pria dengan perbandingan 6-8: 1
pada usia rata-rata 53-57 tahun.
 Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit atau sebab lain di luar tulang.
Osteoporosis sekunder terutama disebabkan oleh penyakit-penyakit tulang erosif
misalnya mieloma multiple, hipertirodisme, hiperparatiroidisme dan akibat obat-
obatan yang toksik untuk tulang (misalnya ; glukokortikoid).
 Osteoporosis idiopatik
Osteoporosis idiopatik terjadi pada laki-laki yang lebih muda dan pemuda pra
menopause dengan faktor etiologik yang tidak diketahui.
3. Etiologi dan Faktor Resiko
Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu :
a. Pembentukan massa puncak tulang yang kurang baik selama masa pertumbuhan dan
meningkatnya pengurangan massa tulang setelah menopause.
Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sampai usia 40 tahun,
pada wanita lebih muda sekitar 30-35 tahun. Walaupun demikian tulang yang hidup
tidak pernah beristirahat dan akan selalu mengadakan remodelling dan
memperbaharui cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor
pengatur formasi dan resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu
berada dalam keadaan seimbang dan disebut coupling. Proses coupling ini
memungkinkan aktivitas formasi tulang sebanding dengan aktivitas resorpsi tulang.
Proses ini berlangsung 12 minggu pada orang muda dan 16-20 minggu pada usia
menengah atau lanjut. Remodelling rate adalah 2-10% massa skelet per tahun. Proses
remodelling ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lokal yang
menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada konsep Activation –
Resorption – Formation (ARF). Proses ini dipengaruhi oleh protein mitogenik yang
berasal dari tulang yang merangsang preosteoblas supaya membelah membelah
menjadi osteoblas akibat adanya aktivitas resorpsi oleh osteoklas. Faktor lain yang
mempengaruhi proses remodelling adalah faktor hormonal. Proses remodelling akan
ditingkatkan oleh hormon paratiroid, hormon pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin
D. Sedang yang menghambat proses remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan
glukokortikoid. Proses-proses yang mengganggu remodelling tulang inilah yang
menyebabkan osteoporosis.
b. Gangguan pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat.
Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat dapat dapat terjadi karena kurangnya
asupan kalsium, sedangkan menurut RDA konsumsi kalsium untuk remaja dewasa
muda 1200mg, dewasa 800mg, wanita pasca menopause 1000 – 1500mgmg,
sdangkan pada lansia tidak terbatas walaupun secara normal pada lansia dibutuhkan
300-500mg. oleh karena pada lansia asupan kalsium kurang dan ekskresi kalsium
yang lebih cepat dari ginjal ke urin, menyebabkan lemahnya penyerapan kalsium.

Faktor resiko yang tidak dapat diubah :

a. Usia, lebih sering terjadi pada lansia


b. Jenis kelamin, tiga kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Perbedaan
ini mungkin disebabkan oleh factor hormonal dan rangka tulang yang lebih kecil.
c. Ras, kulit putih mempunyai risiko paling tinggi.
d. Riwayat keluarga/keturunan, pada keluarga yang mempunyai riwayat osteoporosis,
anak-anak yang dilahirkan juga cenderung mempunyai penyakit yang sama.
e. Bentuk tubuh, adanya kerangka tubuh yang lemah dan scoliosis
vertebramenyebabkan penyakit ini. Keadaan ini terutam trejadi pada wanita antara
usia 50-60tahundengan densitas tulang yang rendah dan diatas usia 70tahun dengan
BMI yang rendah.

Faktor risiko yang dapat diubah :

a. Merokok
b. Defisisensi vitamin dan gizi (antara lain protein), kandungan garam pada makanan,
peminum alcohol dan kopi yang berat. Nikotin dalam rokok menyebabkan
melemahnya daya serap sel terhadap kalsiumdari darah ke tulang sehingga
pembentukan tulang oleh osteoblast menjadi melemah. Mengkonsumsi kopi lebih dari
3 cangkir perhari menyebabkan tubuh selalu ingin berkemih. Keadaan tersebut
menyebabkan banyak kalsium terbuang bersama air kencing.
c. Gaya hidup, aktivitas fisik yang kurang dan imobilisasi dengan penurunan penyangga
berat badan merupakan stimulus penting bagi resorspi tulang. Beban fisik yang
terintegrasi merupakan penentu dari puncak massa tulang.
d. Gangguan makan (anoreksia nervosa).
e. Menopause dini, menurunnya kadar estrogen menyebabkan resorpsi tulang menjadi
lebih cepat sehingga akan terjadi penurunan massa tulang yang banyak.
f. Penggunaan obat-obatan tertentu seperti diuretic, glukokortikoid, antikonvulsan,
hormone tiroid berlebihan, dan kortikosteroid.
4. Patofisiologi
Osteoporosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun antara factor genetic dan
factor lingkungan.
Factor genetik meliputi: usia jenis kelamin, ras keluarga, bentuk tubuh.
Factor lingkungan meliputi: merokok, Alcohol, Kopi, Defisiensi vitamin dan gizi, Gaya
hidup, mobilitas, anoreksia nervosa dan pemakaian obat-obatan.
Kedua faktor diatas akan menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsium dari
darah ke tulag, peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak tercapainya masa
tulang yang maksimal dengan resobsi tulang menjadi lebih cepat yang selanjutnya
menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru
sehingga terjadi penurunan massa tulang total yang disebut osteoporosis.
5. Manifestasi Klinik
 Nyeri tulang akut.. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri dapat
dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri timbul mendadak.
 Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur
 Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah bila melakukan aktivitas.
 Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan
menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan medulla spinalis tertekan
sehingga dapat terjadi paraparesis.
 Gambaran klinis sebelum patah tulang, klien (terutama wanita tua) biasanya
datang dengan nyeri tulang belakang, bungkuk dan sudah menopause sedangkan
gambaran klinis setelah terjadi patah tulang, klien biasanya datang dengan
keluhan punggung terasa sangat nyeri (nyeri punggung akut), sakit pada pangkal
paha, atau bengkak pada pergelangan tangan setelah jatuh.
 Kecenderungan penurunan tinggi badan.
 Postur tubuh kelihatan memendek.
6. Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis diperlukan karena keluhan utama dapat langsung mengarah ke pada
diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, kesemutan dan rasa
kebal disekitar mulut, immobilisasi yang lama, pengaruh obat-obtan, alcohol,
merokok.
b. Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada apsien osteoporosis, gaya berjalan,
nyeri spinal, sering ditemukannya kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi
badan.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biokimia Tulang
Pemeriksaan ini dilakukan prediksi kehilangan massa tulang, prediksi fraktur,
evaluasi efektivitas terapi. Meliputi hitung kalsium total kalsium dalam serum, ion
kalsium, kadar fosfor dalam serum, kalsium urin, fosfat urin
b. Pemeriksaan Radiologis
 Dual Energy X-Ray Absorptimetry (DXA)
DXA merupakan metode yang paling sering digunakan dalm diagnosis
osteoporosis karena mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang tinggi.
Sumber energinya bukan dari sinar X tapi enerigi yang dihasilkan dari tabung
sinar X. Hasil pengukurannya berupad densitas mineral tulang, kandungan
mineral, perbandingan hasil densitas mineral tulang. Katagori Diagnostiknya
Normal untuk T-score >-1 ; Osteopenia <-1 ; Osteopororsis <-2,5 (tanpa
fraktur) ; Osteoporosis berat <-2,5 (dengan fraktur).
 Single-Photon Absorptimetry (SPA)
SPA digunakan unsure radioisotope I yang mempunyai energy photon rendah
dan digunakan hanya pada bagian tulang yang mempunyai jaringan lunak
yang tidak tebal seperti distal radius dan kalkaneus.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Metode ini mempunyai kelebihan berupa tidak menggunakan radiasi, aplikasi
ini dipakai untuk menilai tulang trabekula melalui dua langkah yaitu T2
sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai densitas serta kualitas jaringan
tulang trabekula dan kedua untuk menilai arsitektur trabekula
8. Tata Laksana
Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi pencegahan yang
pada umumnya bertujuan untuk menghambat hilangnya massa tulang. Dengan cara yaitu
memperhatikan faktor makanan, latihan fisik ( senam pencegahan osteoporosis), pola
hidup yang aktif dan paparan sinar ultra violet. Selain itu juga menghindari obat-obatan
dan jenis makanan yang merupakan faktor resiko osteoporosis seperti alkohol, kafein,
diuretika, sedatif, kortikosteroid.
Selain pencegahan, tujuan terapi osteoporosis adalah meningkatkan massa tulang dengan
melakukan pemberian obat-obatan antara lain hormon pengganti (estrogen dan
progesterone dosis rendah). Kalsitrol, kalsitonin, bifosfat, raloxifene, dan nutrisi seperti
kalsium serta senam beban.
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama bila terjadi
fraktur panggul.
9. Komplikasi
a. Kompresi vertebra.
Kompresi Vertebra yang minimal sekalipun seperti batuk, mengangkat sesuatu, dll.
Vertebra bagian tengah dan bawah thoracic dan paling atas pada bagian lumbar yang
paling sering dipake. Dari kompresi vertebra ini, nantinya jika kemungkinan buruk
akan menjadi fraktur vertebra, dan pada fraktur vertebra tidak ditemukan gejala pada
pasien tersebut dan hanya deformitas pada bentuk tubuh pasien.
b. Hip Fraktur.
Ada 2 bagian yang terkena pada hip fraktur Femoral neck atau Collum Femoralis dan
Intertrohanter region. Orang dengan Hip fraktur biasanya akan jatuh pada ke sisi yang
sakit, dikarenakan sudah tidak kuat menyangga tubuhnya sendiri, dan tidak bisa
menggerakan tubuh yang mengalami patah ini. Pasien dengan banyak fraktur atau
mutiple fractur mempunyai rasa sakit yang signifikan, dan yang mengarah pada
penurunan fungsional dan penurunan kualitas hidup. Pasien dengan osteoporosis
mereka akan kehilangan 1-2 inchi dari tinggi. Pasien ini juga akan meningkatkan
tingkat depresi.

Anda mungkin juga menyukai