ATRIAL FIBRILASI
Oleh :
Nur Alfia Kusumaningsih, S. Ked
K1A1 15 096
Pembimbing:
dr. H. Jamaludin, Sp.JP (K), FIHA
G
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo
G
BAB I
KASUS
Identitas
Umur : 73 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Suku : Muna
Anamnesis
Pasien masuk Rumah Sakit dengan sesak beberapa jam sebelum masuk rumah sakit, sesak
memberat jika berbaring dan pasien sering terbangun dari tidur karrena sesak. Sesak disertai
dengan nyeri dada seperti tertekan. Nyeri dada diraskan menjalar hingga ke belakang dan perut
bagian bawah, nyeri diraskan lebih dari 20 menit dan tidak berkurang dengan istirahat. Pasien juga
mengeluh BAK bercampur darah dan keluar sedikit-sedikit. Mual dan muntah (-), riwayat hipertensi
(-), riwayat DM (-), riwayat asma (-),
. memberat sebelum masuk Rumah Sakit, disertai dengan nyeri dada yang menembus
kebelakang. Pasien juga mengeluhkan sering sesak saat melakukan aktifitas ringan. Keluhan lain
G
batuk (+), demam (-), pilek (-), sesak (-), nyeri dada (-), bengkak (-), kelemahan anggota gerak (-), rasa
kesemutan (-), lidah pelo (-), buang air kecil dan buang air besar lancar tanpa keluhan. Pasien
menyangkal adanya riwayat trauma.
Pasien mengaku tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti pasien.
Riwayat Kebiasaan Sosial : Tidak pernah berolahraga, merokok (-), minum alkohol (-)
Status Generalis
Keadaan Umum
Tanda vital
G
Pernapasan : 46 x/menit
Suhu : 36.5oC
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, bising (-), batas jantung
kesan normal
G
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan EKG
Regularitas : Irreguler
Diagnosis
G
Atrial Fibrilasi
Penatalaksanaan
IVFD RL 20 tpm
Clopidogrel 75 mg 1x1
Resume
Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan jantung berdebar-debar dirasakan memberat
sebelum masuk Rumah Sakit, disertai dengan nyeri dada yang menembus kebelakang. Pasien juga
mengeluhkan sering sesak saat melakukan aktifitas ringan. Keluhan lain batuk (+), demam (-), pilek
(-), sesak (-), nyeri dada (-), bengkak (-), kelemahan anggota gerak (-), rasa kesemutan (-), lidah pelo
(-), buang air kecil dan buang air besar lancar tanpa keluhan. Pasien menyangkal adanya riwayat
trauma. Kebiasaan Sosial yaitu pasien tidak pernah berolahraga. Pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum sakit sedang, kesadaran: composmentis, TD: 80/60 mmHg, N: 115x/menit, S: 36,8oC,
P: 26x/menit. Diagnosis pasien ini adalah Atrial Fibrilasi. Penatalaksanaan di IGD diberikan IVFD RL
16 tpm, Inj digoxin 1 amp diencerkan DS/ 10cc Inj perlahan 5 menit, Alprazolam 0,5 mg 1x1, Inj
Furosemid 3x2 amp, Clopidogrel 75 mg 1x1dan konsul dokter Spesialis Jantung.
Follow Up
Hari/
Perjalanan Penyakit Planning
Tanggal
Selasa, S : Jantung berdebar-debar sejak SMRS, P:
31/12/2019 nyeri dada menembus kebelakang, sesak
G
Hari/
Perjalanan Penyakit Planning
Tanggal
Jam 10.00 (+) IVFD RL 20 tpm
O : KU: Composmentis, GCS E4V5M6
Inj digoxin 1 amp
TD: 80/60 mmHg
diencerkan DS/
N: 115x/menit
10cc Inj perlahan
P: 26x/menit
5 menit
S: 36,8oC
Alprazolam 0,5
A : Atrial Fibrilasi
mg 1x1
Inj Furosemid
3x2 amp
Clopidogrel 75
mg 1x1
Konsul dokter
Spesialis
Jantung
Cek Darah
Lengkap, EKG
S: 36,5oC
A : Atrial Fibrilasi
Rabu, S : Sakit dada tembus belakang, gelisah saat O:
IVFD RL 20 tpm
01/01/2020 tidur
G
Hari/
Perjalanan Penyakit Planning
Tanggal
Jam 06.00 O : KU: composmentis, GCS E4V5M6 Inj Furosemid
Perawatan TD: 100/70 mmHg 3x2 amp
Hari 2 N: 82x/menit
Clopidogrel 75
P: 20x/menit
mg 1x1
S: 36,2oC
A : Atrial Fibrilasi
Jam 18.00 S : Nyeri dada berkurang P:
Perawatan O : KU: composmentis, GCS E4V5M6 IVFD RL 20 tpm
Hari 2 TD: 110/70 mmHg
Inj Furosemid
N: 80x/menit
3x2 amp
P: 20x/menit
S: 36,5oC Clopidogrel 75
mg 1x16
GDS: 319 mg/dL
Ureum: 28,4 mg/dl
Creatinin: 0,7 mg/dl
WBC: 11,0 mg/dl
HGB: 11,4 g/dl
A : Atrial Fibrilasi
Kamis, S : Sakit dada (+), sesak (+) saat beraktifitas, P:
02/02/2020 berdebar-debar IVFD RL 20 tpm
Jam 06.40 O : KU: composmentis, GCS E4V5M6
Inj Furosemid
Perawatan TD: 80/60 mmHg
3x2 amp
Hari 3 N: 88x/menit
P: 22x/menit Clopidogrel 75
S: 36,5oC mg 1x1
A : Atrial Fibrilasi
G
BAB II
PEMBAHASAN
Atrial Fibrilasi
Pada kasus ini, pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan jantung berdebar-debar dirasakan
memberat sebelum masuk Rumah Sakit, disertai dengan nyeri dada yang menembus kebelakang.
Pasien juga mengeluhkan sering sesak saat melakukan aktifitas ringan. Keluhan lain batuk (+),
demam (-), pilek (-), sesak (-), nyeri dada (-), bengkak (-), kelemahan anggota gerak (-), rasa
kesemutan (-), lidah pelo (-), buang air kecil dan buang air besar lancar tanpa keluhan. Pasien
menyangkal adanya riwayat trauma. Kebiasaan Sosial yaitu pasien tidak pernah berolahraga.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran: composmentis,
TD: 80/60 mmHg, N: 115x/menit, S: 36,8oC, P: 26x/menit. Diagnosis pasien ini adalah Atrial Fibrilasi.
Penatalaksanaan di IGD diberikan IVFD RL 16 tpm, Inj digoxin 1 amp diencerkan DS/ 10cc Inj
perlahan 5 menit, Alprazolam 0,5 mg 1x1, Inj Furosemid 3x2 amp, Clopidogrel 75 mg 1x1dan konsul
dokter Spesialis Jantung
Berdasarkan teori, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda dan gejala
yang dapat menyebabkan terjadinya Atrial Fibrilasi. Pada pasien ini didapatkan adanya keluhan
jantung berdebar-debar. Pemeriksaan EKG didapatkan irreguler dengan gelombang P yang
menhilang.
Menurut Tumiwa dan Lefrand, Fibrilasi atrium adalah salah satu kelainan pada irama
jantung yang bersifat ireguler atau aritmia sebagai akibat adanya impuls-impuls abnormal pada
jantung. Kelainan ini dapat berlangsung terus menerus atau hilang timbul.1 Fibrilasi Atrium
memiliki gejala yang bervariasi tetapi tersering dengan palpitasi.2
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum didapatkan.
Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium sebesar 350-650
x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke
ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga
G
menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic
maupun permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol.3
Nadi yang ireguler biasanya dicurigai disebabkan oleh AF, butuh pemeriksaan lanjut oleh
EKG.
Anamnesis
Menetukan beratnya gejala yang menyertai: berdebar-debar, lemah, sesak nafas terutama
saat aktifitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung
kongestif
Pemeriksaan fisik
Tanda Vital : Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen
sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat pada
FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-
140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau
dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia
G
Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Irama gallop s3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif.
Elektrokardiogram
Tidak dijumpai gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang dapat terlihat
aktivitas atrium yang ireguler pada bebe-rapa sadapan EKG, dengan yang tersering pada
sadapan V1.
Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya
kecepatannya melebihi 450x/ menit.
Berdasarkan klasifikasi diatas dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut dapat digolongkan
dengan EHRA III
Terapi
Tujuan yang ingin dicapai dalam tatalaksana AF adalah mengembalikan irama sinus,
mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi terutama tromboemboli
Gejala akibat FA adalah salah satu aspek penting untuk menentukan strategi pemilihan
kendali laju atau irama. Pada pasien dengan FA simtomatik yang telah lama terjadi, terapi yang
dipilih adalah kendali laju. Namun, apabila pasien masih mengalami keluhan dengan strategi kendali
G
laju, kendali irama dapat menjadi strategi terapi selanjutnya. Kendali laju dipertimbangkan pula
sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan pasien dengan keluhan minimal (skor EHRA 1),
sedangkan kendali irama direkomendasikan pada pasien yang masih simtomatik (skor EHRA ≥2)
meskipun telah dilakukan kendali laju optimal.Beberapa indikasi pemilihan strategi terapi pada FA
persisten dapat dilihat di tabel.
Pada pasien dengan hemodinamik stabil, obat untuk mengontrol respons ventrikel
seperti penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin oral dapat diberikan.
Namun, antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya dapat diberikan pada pasien
dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Digoksin atau amiodaron
direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal jantung
atau hipotensi. Pada FA dengan preeksitasi, obat terpilih adalah antiaritmia kelas I
(propafenon, disopiramid, meksiletin) atau amiodaron. Obat yang menghambat NAV tidak
digunakan pada kondisi FA dengan preeksitasi karena dapat menyebabkan aritmia letal.
Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100 kali permenit.8 Obat intravena
mempunyai respons yang lebih cepat untuk mengontrol irama ventrikel. Rekomendasi obat
intravena yang dapat digunakan pada kondisi akut dapat dilihat di table.
Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier, kendali
laju untuk sementara dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia oral. Laju jantung
diharapkan akan menurun dalam 1-3 jam setelah pemberian antagonis kanal kalsium
G
(diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg) atau penyekat beta (propranolol 20-40 mg,
bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). Pada kondisi tersebut, penting diperhatikan untuk
menyingkirkan adanya riwayat dan gejala gagal jantung (Lihat Bab 5). Kendali laju yang
efektif tetap harus dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia intravena di layanan
kesehatan sekunder/tersier.
Fibrilasi atrium dengan respons irama ventrikel yang lambat biasanya membaik dengan
atropin (mulai dari 0,5 mg intravena). Bila pasien masih simtomatik, tindakan yang dapat dilakukan
antara lain kardioversi atau pemasangan pacujantung sementara.
G
Obat Tingkat Layanan Kesehatan Risiko
mg digitalis
Kendali laju dapat dilakukan secara longgar atau ketat. Studi RAte Control Efficacy in
permanent atrial fibrillation (RACE) II menun-jukkan bahwa kendali laju ketat tidak lebih baik dari
kendali laju longgar.177 Pada kendali laju longgar, target terapi adalah respons ventrikel <110 kali
permenit saat istirahat. Bila masih merasa keluhan dengan target ini, pasien dianjurkan untuk
melakukan kendali laju ketat, yaitu dengan target laju saat istirahat < 80 kali permenit. Evalu-asi
Holter dapat dilakukan untuk menilai terapi dan memantau ada tidaknya bradikardia.8 Kendali laju
yang optimal akan mengu-rangi keluhan, memperbaiki hemodinamik dengan memperpanjang
waktu pengisian ventrikel, dan mencegah kardiomiopati akibat takikardia.
Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama. Kardioversi elektrik
dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan dengan arus monofasik karena membutuhkan
energi yang lebih rendah dan memiliki potensi keberhasilan yang lebih tinggi. Posisi
anteroposterior mempunyai keberhasilan lebih tinggi dibandingkan posisi anterolateral.
Keberhasilan tindakan ini pada FA persisten mencapai 80-96%.178 Pemberian obat
G
antiaritmia sebelum kardioversi, misalnya amiodaron, meningkatkan keberhasilan konversi
irama FA ke irama sinus.
Sebesar 23% pasien tetap memiliki irama sinus dalam waktu setahun dan 16% dalam
waktu dua tahun.179 Namun, sebagian besar rekurensi FA terjadi dalam 3 bulan
pascakardioversi.180 Amiodaron adalah antiaritmia yang paling kuat untuk mencegah
rekurensi FA setelah keberhasilan kardioversi.181 Beberapa prediktor terjadinya kegagalan
kardioversi atau rekurensi FA adalah berat badan, durasi FA yang lebih panjang (>1-2
tahun), gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, peningkatan dimensi atrium kiri,
penyakit jantung rematik, dan tidak adanya pengobatan dengan antiaritmia.
Komplikasi kardioversi yang dapat terjadi adalah tromboemboli (1-2%), aritmia
pascakardioversi, dan risiko anestesi umum. Ekokardiograf transtorakal (ETT) harus dilakukan untuk
mengidentifkasi adanya trombus pada ruang-ruang jantung. Ekokardiograf transesofagus (ETE)
harus dikerjakan bila trombus tidak terlihat dengan ETT dan FA diperkirakan berlangsung >48 jam
sebelum kardioversi dilakukan. Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan ETE, terapi
antikoagulan (AVK atau dabigatran) dapat diberikan selama minimal 3 minggu sebelumnya.
Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu pascakardioversi (target INR 2-3 bila memakai
AVK).
G
Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Takikardi menurut PERKI
Bagan manajemen akut & kronik pasien fibrilasi atrium dengan gagal jantung
Komplikasi
Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, karena tidak ada komplikasi.
G
DAFTAR PUSTAKA
Tumiwa, F.A., Lefrandt, R.L. 2009. Mengatasi Fibrilasi Atrium Rapid Response Dengan Bisoprolol . Jurnal
Biomedik 1( 3) : 192-201
Dinarti, L.K., Suciadi, L.P.2009. Stratifikasi Risiko dan Strategi Menejemen Pasien dengan Atrial Fibrilasi.
Major Kedokteran Indonesia 59(6) : 277-284
Damayanti, B.P. 2014. Hubungan Hipertensi Dan Atropfi Ventrikel Kiri Pada Pasien Lansia Dengan Atrial
Fibrilasi. ejournal UNDIP 3(1)
Nasution, S.A., Ranitya, R., Ginanjar, E. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2016. Panduan Praktik Klinik dan Clinical
Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. PERKI. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2016. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium
Non Valvular. PERKI. Jakarta.