Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri merupakan infeksi akut yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini menyebar melalui droplet (infeksi tetesan)
penderita yang terinfeksi ketika batuk, bersin atau berbicara atau melalui kontak langsung
dengan sekresi dahak orang tersebut. Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
demam disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan
(laring, faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu komplikasi
penyakit difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga
menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian.1

Hal ini menyebabkan pada tahun 1920 dilaporkan 206.000 kasus difteri dengan lebih
dari 15.520 kematian di Amerika Serikat. Angka ini kemudian menurun drastis setelah
ditemukannya vaksin toksoid difteri pada tahun 1920-an dan mulai digunakan secara luas 10
tahun kemudian terutama di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Sejak saat itu difteri menjadi
penyakit yang sangat jarang ditemukan yaitu saat Perang Dunia II berakhir. Dilaporkan
kurang dari 5 kasus difteri yang terjadi setelah periode tersebut setiap tahunnya. Demikian
pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. 2

Di Indonesia, penemuan kasus difteri muncul dari daerah dengan cakupan imunisasi
yang rendah. Pada tahun 2011 terjadi KLB difteri di Jawa Timur berdasarkan keputusan
Gubernur. Pada tahun 2016, difteri terjadi di provinsi Jawa Barat yaitu di 6 kabupaten/kota
yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab Bogor,Kota Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu.
Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang cakupan
imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya partisipasi
masyarakat, geografis yang sulit.3

Imunisasi merupakan upaya yang paling efektif untuk mencegah dan memutus rantai
penularan difteri. Oleh karena itu imunisasi DPT sebanyak 3 dosis pada bayi ditambah
dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan murid Sekolah Dasar dapat memberikan kekebalan
terhadap penyakit ini. Selain itu, tatalaksana

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi

Difteri adalah infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh


Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit
dan/atau mukosa.1

Difteri tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadiannya menurun secara


nyata setelah perang dunia ke II, setelah penggunaan toksoid difteria. Dilaporkan
kurang dari 5 kasus difteri yang terjadi di Amerika Serikat setelah periode tersebut.
Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Saat
penyakit ini masih menjadi endemik, sering menyebabkan kematian pada anak-anak
kurang dari 15 tahun. Namun saat ini telah begeser menyerang orang dewasa dengan
usia di atas 25 tahun, terutama yang tidak mendapat vaksin booster. 4

Di ruang perawatan penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.
Soetomo dalam tahun 1982-1986, rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria setiap tahun
dengan angka kematian 4-7%. Akan tetapi, terjadi penurunan jumlah pasien dari tahun
ke tahun, dimana tahun 1989 terdapat 130 kasus dengan angka kematian 3%. Delapan
puluh persen kasus terjadi di bawah 15 tahun, meskipun angka kejadian menurut umur
tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial, pemukiman yang padat,
nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan, menjadi faktor penting terjadinya
penyakit ini.1

Pada tahun 2011, di daerah Jawa Timur terjadi KLB difteri yang dimulai dari
daerah Bangkalan. Kemudian pada tahun 2016, difteri terjadi di provinsi Jawa Barat
yaitu di 6 kabupaten/kota yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab Bogor,Kota
Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai dengan tanggal
10 Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang. Berdasarkan hasil
surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena
adanya penolakan dari orangtua.3

2
Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang
cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya
partisipasi masyarakat, geografis yang sulit.3

2.2 Etiologi

Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, kuman batang Gram-


positif, aerob, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60° C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Kuman tumbuh
secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik pada media yang
mengandung K-tellurit atau media Loeffer. C. diphtheriae sering juga disebut Klebs-
Löffler bacillus, karena pertam akali ditemukan pada tahun 1884 oleh ilmuan Jerman,
Edwin Klebs (1834–1912) dan Friedrich Löffler (1852–1915).5

Gambar 1. Pewarnaan Gram Corynebacterium diphtheriae5

C. diphtheriae dibagi menjadi 3 tipe utama, yaitu tipe gravis, intermedius, dan
mitis, tetapi dari sudut antigenitas basil ini mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini
menjelaskan alasan seeorang pasien dapat terkolonisasi lebih dari satu jenis kuman ini.
Ciri khas C. diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo
maupun in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengna berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai fragmen A dan fragmen B.1

2.3 Patofisiologi6

Kuman C. Diphtheriae masuk melalui ke dalam tubuh melalui 3 cara, yaitu


melalui droplet (infeksi tetesan) penderita yang terinfeksi ketika batuk, bersin atau

3
berbicara, kontak langsung dengan sekresi dahak pasien yang simtomatis, atau melalui
kontak dengan eksudat dari lesi kulit yang terinfeksi bakteri. Setelah kuman ini masuk,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas,
kuman ini akan mulai memproduksi toksin. Toksin ini kemudian akan menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.

Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan


protein dalam sel. Toksin ini akan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase yang
berfungsi dalam proses translokasi asam amino sehingga tidak terbentuk polipeptida
yang diperlukan. Akibatnya, sel akan mengalami nekrosis. Hal ini akan terlihat di
daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Apabila
produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin berupa membran yang melekat erat, berwarna kelabu kehitaman. Bila dipaksa
melepaskan membran akan terjadi perdarahan.

Membran dan jaringan edematus dapat menyumbat jalan nafas. Toksin juga
dapat menyerang organ-organ vital seperti jantung, ginjal, dan saraf. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinis. Miokarditis terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf terjadi setelah 3-7
minggu. Pada jantung dapat terjadi edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada
serat otot dan sistem konduksi.

2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien bergantung pada lokasi anatomi infeksi, status
imun penjamu, dan produksi dan distribusi sistemik toksin. Difteri mempunyai masa
tunas 2-6 hari. Pasien datang berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik.demam jarang melebihi 38,9°C dan keluhan serta gejala lain tergantung
lokalisasi penyakit difteria.

a. Difteri Traktus Respiratorius

Fokus primer infeksi difteri tersering adalah tonsil dan faring (94%) yang
diikuti pada laring dan hidung. Difteria pada awalnya menyerupai common cold,
dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung

4
berlangsung serosanguinus dan kemudia mukopurulen, menyebabkan lecet pada
nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum
nasi.

Gejala pada difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan,


dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat,
berwarna putih-kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula
dna palatum molle atau ke bawah menutupi laring dan trakea. Usaha melepaskan
membran akan mengakibatkan perdarahan.

Gambar 2. Pseudomembran pada tonsilar difteri 6

Dapat terjadi limfadenitis servikaslis dan submandibular, bila terjadi


bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas akan menyebabkan
bullneck. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalah pernafasan atau sirkulasi. Stupor,
koma, kematian dapat terjadi dalam 1 minggu-10 hari. Pada kasus sedang,
penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan disertai penyulit miokarditis atau
neuritis. Pada kasusu ringan membran akan terlepas dalam 7- 10 hari dan biasanya
terjadi penyembuhan sempurna.

5
Gambar 3. Bullneck pada anak dengan difteria laring7

Difteria faring dapat meluas sampai ke laring. Gejala klinis infeksi pada laring
berupa nafas berbunyi, stridor yang progresif , suara parau dan batuk kering. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak.

b. Difteri Kulit6

Difteri kulit dapat berupa ulkus yang sulit sembuh di kulit, batas tegas, dan
terdapat membran berwarna coklat-kelabu pada dasarnya. Dapat menyerupai
gambaran impetigo stapilokokal atau streptokokal. Nyeri, bengkak, eritema dan
eksudat juga sering dikeluhkan. Keluhan cenderung bersifat menahun dengan atau
tanpa gangguan di organ lain.

6
Gambar 4. Difteri pada Kulit7

c. Infeksi di daerah lain

C. diphtheriae dapat menginfeksi mukokutan di tempat lain seperti telinga


(otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulen dan ulseratif), dan genital
(vulvovaginitis). Secara klinis dapat dibedakan dengan infeksi bakteri atau virus
dengan adanya ulserasi, membran dan perdarahan submukosa.

Tabel 1. Manifestasi Klinis Difteria1

2.5 Diagnosis

Diagnosis klinis difteri harus ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


klinis dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis berupa adanya kontak dengan penderita
difteri, suara serak, stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas, demam tak begitu tinggi.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsilitis, faringitis, rinitis, limfadenitis servikal dan
edema jaringan lunak leher (bullneck). Sangat penting untuk dignosis ditemukannya
membran pada tempat infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila
diangkat. Secara hati-hati periksa hidung dan tenggorokan anak, terlihat warna keabuan
pada selaputnya, yang sulit dilepaskan. Kehati-hatian diperlukan untuk pemeriksaan
tenggorokan karena dapat mencetuskan obstruksi total saluran napas.

Penentuan kuman difteria dengan sediaan kurang dapat dipercaya. Cara yang
lebih akurat adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, namun
diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. Diphtheriae dengan

7
pembiakan media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut)
dan in vitro (tes Elek).

2.6 Tatalaksana1,6

a. Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus
pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembapan udara
dengan menggunakan humidifier.

b. Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Pemberian antitoksin harus dibuat segera setelah diagnosis ditegakkan. Dengan


pemberian antitoksin pada hari pertama, dapat menurunkan angka kematian hingga
kurang dari 1%, namun penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka
kematian dapat menigkat sampai 30%.

Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit,
tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI
seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Dosis ADS Menurut Tipe Difteri Dan Cara Pemberian

Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%
dalam 1-2 jam. Sebelum penggunaan perlu dilakukan uji kulit untuk melihat
napakah ada alergi terhadap ini. Efek samping dari ADS adalah hipersensifitas obat

8
2. Antibiotik

Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin serta


mencegah transmisi ke orang lain. Antibiotik yang direkomendasikan untuk C.
diphtheriae adalah eritromisin atau penisilin. Dapat diberikan Penisilin prokain
300.000 unit/hari untuk BB<10 kg dan 600.000 unit/hari untuk BB>10 kg
intramuskular selama 10 hari. Dosis eritromisin 40-50 mg/kg/hari diminum per
oral setiap 6 jam

3. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteriod bagi pasien dengan gejala:


- obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat atau tidak diserta bullneck)
- bila terdapat penyulit miokarditis.
Prednison 2 mg/kgbb/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya
bertahap.

4. Pengobatan karier

Pengobatan ditujukkan pada mereka yang mengandung basil difteria dalam


nasofaringnya namun tidak mempunyai gejala dan uji Shick negatif. Pengobatan
yang diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin
40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

Tabel 3. Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

c. Pencegahan

Secara umum, pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan dan


memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pencegahan secara
khusus meliputi imunisasi dan pengobatan karier. Imunisasi universal dengan toksoid

9
difteri memberikan tingkat antitoksin protektif yang konstan dan untuk mengurangi
tingkat keparahan. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap,
mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibodi
terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi
pengidap difteria dalam nasofaring (karier) atau menderita difteria ringan. Hal ini
dapat tercapai jika 70-80% populasi di daerah telah diimunisasi toxoid difteria.

Vaksin toksoid difteria masuk ke dalam imunisasi program nasional yang


dikombinasikan dengan vaksin pertusis, tetanus dan hepatitis B yang disebut sebagai
pentabio. Jadwal pemberian imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus)diberikan 3 kali
sejak umur 2 bulan (DPT tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan
interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DPT-1 diberikan padan
umur 2 bulan, DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan. Ulangan
booster DPT selanjutnya (DPT-4) diberikan satu tahun setelah DPT-3 yaitu pada umur
18-24 bulan dan DPT-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Apabila belum
diberikan DPT-5 maka vaksinasi penguat diberikan Td sesuai program Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada SD kelas 1, umur 7 tahun. V aksinasi penguat
Td diberikan sesuai program BIAS kelas 6 SD umur 12-13 tahun. Dosis vaksinasi
adalah 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.

Reaksi yang dapat terjadi setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi,
rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan
hilang dalam 2 hari. Reaksi berat jarang timbul seperti kejang, reaksi anafilaktik, dan
ensefalopati.

2.7 Komplikasi

Difteri pada saluran nafas dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas,


disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria atau oleh karena edema
pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.

Dampak toksik dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang


dapat terjadi baik pada difteri ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang
terlambat mendapatkan antitoksin. Pada umumnya miokarditis dapat terjadi pada minggu
ke-2, tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke-6.
Manifestasi miokarditis berupa takikardia, sura jantung redup, terdengar bising jantung,

10
atau aritmia, bisa juga terjadi gagal jantung. Pada pemeriksaan elektrokardiogram
ditemukan elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.

Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama


mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan terjadi pada palatum molle
pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal. Paralisis otot mata
biasanya terjadi pada minggu ke-5. Paralisis ektremitas bersifat bilateral dan asimetris.
Bila terjadi kelumpuhan pada vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.

2.8 Prognosis

Prognosis difteri setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik dari
sebelumnya. Di Indonesia pada daerah yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai
kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Kematian mendadak pada kasus difteria
dapat disebabkan oleh (1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya
membran difteria, (2) adanya miokarditis dan gagal jantung, (3) paralisis diafragma
sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak yang pernah mengalami miokarditis dan
nefritis biasanya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa.

11
BAB III

KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium


diphtheriae yang sangat mudah menular dan berbahaya karena dapat menyebabkan kematian
akibat obstruksi laring atau miokarditis akibat aktivasi eksotoksin difteria. Difteria sangat
menular melalui droplet dan penularan dapat terjadi tidak hanya dari penderita saja, namun
juga dari karier (pembawa) baik anak maupun dewasa yang tampak sehat kepada orang-orang
di sekitarnya. Meskipun angka kejadian difteria sudah sangat jarang ditemui setelah
ditemukan vaksin toksoid difteria dan digunakan secara luas, namun penyakit ini tetap perlu
diwaspadai. Diagnosis yang tepat dan terapi ADS segera dapat menurunkan angka mortalitas
difteria pada anak. Selain itu, imunisasi toksoid difteri berperan penting dalam mencegah
penularan difteria.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo S., Garna H., dkk. Difteria. Dalam : Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi
Kedua. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. h. 312 -21.
2. Cdc.gov. Diphtheria. [online]. Available at: https://www.cdc.gov/diphtheria/
about/index.html. Accessed 22 Oct. 2017.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Imunisasi Efektif Cegah Difteria.
Diakses dari http://www.depkes.go.id/article/view/16021500001/imunisasi-efektif-cegah-
difteri.html.
4. Demirci CS. 2017. Pediatric Diphtheria Medication. Medscape Pediatric Article. Diakses
dari https://emedicine.medscape.com/article/963334-medication#4.
5. Phil.Cdc.Gov. 2017. Gram strain Diphtheriae. Diakses dari
https://phil.cdc.gov/phil/details.asp?pid=7323.
6. Buescher, ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae). Dalam: Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc, 2016: h. 1345-8.
7. Phil.cdc.gov. 2017. Details - Public Health Image Library (PHIL). [online] Diakses dari
https://phil.cdc.gov/phil/details.asp?pid=5325.

13

Anda mungkin juga menyukai