OLEH:
CCR ANGKATAN 32
FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
A. Definisi
Regurgitasi adalah dikeluarkannya isi refluks dari esofagus ke dalam rongga
mulut dan kemudian dikeluarkan dari rongga mulut. Refluks gastroesofagus (GER,
Gastroesophageal reflux) adalah kembalinya isi lambung (makanan, minuman, asam,
pepsin, asam empedu, dsb) ke dalam esofagus tanpa terlihat upaya bayi untuk
mengeluarkannya. Refluks gastroesofagus dan regurgitasi dikaitkan dengan belum
sepenuhnya fungsi motilitas saluran cerna bayi berkembang (IDAI. 2016). Kondisi ini
umum ditemukan pada bayi hingga berusia 12 bulan (Ferguson, Teresa. 2017).
Sebaliknya, penyakit GER (GERD) terjadi ketika refluks isi lambung menyebabkan
gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu. (Rybak, 2017).
B. Epidemiologi
Angka kejadian refluks pada bayi baru lahir terjadi pada bulan pertama kelahiran.
Gastroesophageal reflux terjadi pada sekitar 50% bayi di bawah usia 2 bulan, 60-70%
bayi usia 3-4 bulan. Puncaknya pada bulan ke-4 dengan lebih dari 1 kali episode
regurgitasi. Pada umur 6-7 bulan gejala berkurang dari 61% menjadi 21% dan hanya 5%
pada bayi berumur 12 bulan yang masih mengalami GER (Rusli, B. H., 2012).
GER diklasifikasikan menjadi dua, yaitu GER yang fisiologis dan GER yang patologis.
GER yang menimbulkan gejala lain selain regurgitasi disebut Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD) (Pierre R et al, 2015).
E. Diagnosis & Diagnosis Banding
Berikut ini merupakan alur yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosis GER (IDAI.
2016)
Diagnosis Banding :
- Penurunan berat badan atau kenaikan berat badan yang tidak mencukupi
b. Stenosis Pilorus Infantil merupakan salah satu kelainan saluran cerna yang paling
pilorus dimungkinkan dengan melakukan evaluasi kondisi klinis pada bayi. Gejala
kardinal yang muncul berupa regurgitasi dan muntah yang kuat serta proyektil,
muncul secara bersamaan dari mulut dan hidung, biasanya dimulai antara usia 3-4
minggu. Temuan fisik yang dapat mengkonfirmasi diagnosis stenosis pilorus
adalah adanya Olive sign, massa yang dapat teraba di bagian lateral otot rektus
abdominus kanan atau di garis tengah perut. Massa ini akan bergerak mengikuti
F. Pemeriksaan Penunjang
Sebagian besar kasus GER sudah bisa didiagnosis melalui penemuan klinis.
Namun jika tidak ada perbaikan atau respon terapi minimal, maka bisa dilakukan
umumnya tidak diperlukan karena belum terbukti lebih dapat diandalkan daripada
riwayat dan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis gastroesophageal reflux atau GERD.
Tes dapat dilakukan untuk situasi dengan gejala atipikal, warning sign, atau keraguan
tentang diagnosis, dugaan komplikasi GERD atau kondisi lain atau kegagalan terapi awal
(Baird, 2015).
● Esopgagogastric Ultrasonography
● Esophageal Manometry
sindrom ruminasi dan akalasia esofagus, yang gejalanya mirip dengan refluks
gastroesofagus. Tidak ada cukup bukti untuk mendukung penggunaan manometri
● Monitoring PH Esofagus
berada pada kisaran 4–7. Indeks refluks mencerminkan persentase waktu dalam
11% pada bayi atau> 7% pada anak yang lebih tua dianggap abnormal. Tes ini
bersifat asam.
Bayi umumnya tidak mengalami regurgitasi dibawah usia dibawah 7 hari, bila
pun mengalami regurgitasi tidak melebihi 4 kali sehari. Begitu pula, regurgitasi
berlebihan sangat jarang timbul untuk pertama kalinya pada usia di atas 6 bulan. Setiap
bayi dengan gejala regurgitasi harus ditapis terhadap gangguan organ atau RGE patologis
dengan melihat ‘tanda bahaya’. ‘Tanda bahaya’ pada refluks gastroesofagus yang perlu
diperhatikan orang tua kepada bayinya antara lain: (1) muntah berlebihan, (2) muntah
darah (hematemesis), (3) rewel dan menangis berlebihan, (4) posisi melengkung
punggung (Sandifer), (5) batuk berlebihan yang tidak respon dengan terapi standar, (6)
gagal tumbuh, (7) masalah makan, (8) gangguan neurologi (IDAI, 2016).
Bayi umumnya tidak mengalami regurgitasi pada usia dibawah 7 hari bila pun
mengalami regurgitasi tidak melebihi 4 hari. Begitu pula regurgitasi sangat jarang timbul
pada bayi diatas usia 6 bulan. Sehingga setiap bayi dengan gejala regurgitasi harus
disingkirkan dari gangguan organ atau GER patologis dengan melihat tanda bahaya.
Alergi terhadap protein susu sapi sering memperlihatkan gejala klinis yang mirip ‘tanda
bahaya’ GER atau GERD. Dengan mempertimbangkan bahwa prevalensi alergi protein
susu sapi cukup tinggi (3-5%), maka ‘tanda bahaya’ pada bayi yang mengalami
regurgitasi perlu dipikirkan sebagai gejala alergi protein susu sapi. Riwayat atopi pada
bayi dan keluarga memperkuat dugaan alergi protein susu sapi. GERD perlu dibuktikan
bila bayi tidak mempunyai riwayat atopi/alergi. Penapisan GERD dilakukan dengan
pemantauan pH esofagus 24 jam. Terapi empiris GERD tidak dianjurkan pada bayi rewel
dan menangis. Pada kondisi pemeriksaan penunjang tidak dapat dilakukan untuk
membuktikan GERD, terapi empiris PPI dengan dosis 1 mg/kg BB, sekali sehari selama
orang tua mengenai evolusi RGE merupakan tahap awal yang harus disampaikan. Terapi
atau memberikan susu formula kepada bayi yang mendapat ASI eksklusif karena
- Mengurangi jumlah volume asupan nutrisi dalam jumlah besar karena dapat
terjadi regurgitasi pada bayi. Oleh karena itu, thickening formula diperlukan
- Bila frekuensi dan volume regurgitasi berlebihan banyak (>4 kali sehari),
orangtua sangat cemas, dan bayi sudah mendapat susu formula, maka dapat
- Sendawakan bayi setiap selesai minum susu agar udara yang ikut masuk ke dalam
bayi tegak dengan bersandar pada bahu ibu, kemudian punggungnya di tepuk
- Posisi bayi setelah minum, terlentang dengan sudut 45-60 derajat antara pinggang
gastroesophageal reflux selain dari kepastian karena kondisinya jinak dan sembuh
sendiri. Makanan yang kental, terapi postural, dan perubahan gaya hidup harus
dipertimbangkan jika regurgitasi sering terjadi dan bermasalah. Farmakoterapi
lebih parah untuk pasien yang tidak menanggapi tindakan konservatif (Leung et
al., 2019).
Sekitar 95% bayi mengalami gastroesofagus refluks sampai usia 12 bulan, dengan
peningkatan terbesar pada usia sekitar 8-10 bulan saat bayi mulai duduk tegak. Bayi
dengan gangguan pada perkembangan saraf dan memiliki riwayat keluarga penyakit
usia 18 bulan lebih berisiko mengalami penyakit refluks gastroesofagus kronis (Leung et
al., 2019).
Komplikasi yang dapat terjadi pada GER antara lain, kerusakan lapisan dinding esofagus,
gagal tumbuh, esofagitis, gangguan pernapasan dan gejala neurobehavioral. GER dengan
frekuensi sering dan banyak dapat menyebaban kehilangan kalori pada bayi sehingga
dapat menyebabkan berat badan rendah. GER juga dilaporkan terkait dengan ruminasi
dan protein losing enteropati dengan kejadian digital clubbing (Leung et al., 2019).
besi. Pada anak yang lebih tua mungkin mengeluh heart burn, kurang air, dan disfagia.
Gangguan tidur lebih sering terjadi pada anak-anak dengan penyakit gastroesophageal
reflux, kemungkinan karena refluks asam lambung lebih sering terjadi dalam posisi
esofagus, displasia mukosa esofagus, dan Barrett esophagus (Leung et al., 2019).
Komplikasi pada saluran pernapasan antara lain, penyakit saluran napas reaktif,
kejadian yang mengancam jiwa. Diketahui bahwa stimulasi kemoreseptor laring oleh
cairan asam dapat menyebabkan apnea. Mekanisme henti napas dikarenakan spasme
laring atau apnea sentral refleks. Jika tidak sembuh, henti nafas ini dapat menyebabkan
henti jantung. Dapat dibayangkan bahwa hal ini dapat menjadi penyebab kematian pada
beberapa pasien dengan sindrom kematian mendadak. Pasien dengan penyakit refluks
dengan refluks gastroesofagus lebih rentan terhadap gangguan tubotympani kronis dan
parah, refluks dapat mencapai rongga mulut. Refluksat dapat sangat merusak kesehatan
mulut dengan menyebabkan karies gigi, erosi gigi, dan lesi mukosa mulut. Lingkungan
mulut yang asam disebabkan oleh penyakit gastroesophageal reflux dapat mendorong
2019).
DAFTAR PUSTAKA
Baird, Drew C & Dausen. 2015. Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux in
Infants and Children. Army Medical Center, Fort Hood, Texas. American Family
Physician. ;92(8):705-717.
Bajaji A. 2018. Supererogate, Sophomore, Stricture: Infantile Pyloric Stenosis. G J Dig Dis
Vol. 4 No.2:4
Ferguson TD. 2018. Gastroesophageal reflux: regurgitation in the infant population. Crit
Care Nurs Clin North Am. 30(1):167–177. doi: 10.1016/j.cnc.2017.10.015.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2011. Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Jakarta :
IDAI
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016. Rekomendasi Gangguan Saluran Cerna
Fungsional. Jakarta : IDAI
Leung AKC, Hon KL. 2019. Gastroesophageal reflux in children: an updated review.
Drugs Context. 8: 212591. https://doi.org/10.7573/dic.212591
Martin R, Hibbs AM. Gastroesophageal reflux in premature infants. In: Post TW, editor.
UpToDate. Waltham, MA: [Di akses pada 2 Maret 2021].
Pierre R., et al. 2015. "Hubungan antara Regurgitasi dan Gejala Stridor Saluran
Pernapasan Bayi Usia 1-6 Bulan yang Berkunjung ke Posyandu Wilayah Kerja
Puskesmas Pakjo Kota Palembang Tahun 2014." Majalah Kedokteran Sriwijaya,
vol. 47, no. 2,, pp. 131-138.
Susanti. (2015). Hubungan Menyendawakan Bayi dengan Kejadian Gumoh pada Bayi
0-6 bulan di Desa Manggong Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung.
Jurnal Gizi Kesehatan (JGK) Vol. 7 No.14
Rybak, A., Pesce, M., Thapar, N., & Borrelli, O. (2017). Gastro-Esophageal Reflux in
Children. International journal of molecular sciences, 18(8), 1671.
https://doi.org/10.3390/ijms18081671