Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akalasia adalah penyakit yang jarang dari otot esophagus (tabung yang
menelan). Istilah akalasia berarti gagal untuk mengendur dan merujuk pada
ketidakmampuan dari lower esophagus sphingter (cincin otot antara esophagus
bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat
kedalam lambung. Sebagai akibatnya, pasien-pasien dengan akalasia
mempunyai kesulitan menelan makanan. Akalasia mungkin disebabkan oleh
kegagalan fungsi (malfungsi) dari saraf-saraf yang mengelilingi kerongkongan
dan mempersarafi otot-ototnya. Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum
diketahui. Secara histologik ditemukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion
plexus auerbach sepanjang esophagus pars torakal. Dari beberapa data
disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan
degenerative adalah kemugkinan penyakit dari akalasia.
Saat ini memang semakin modernnya zaman, semakin banyak juga penyakit
yang timbul akibat gaya hidup manusia dan karena factor alami. Salah satunya
penyakit Akalasia yang terjadi karena fungsi dari esophagus yang menjadikan
sering terjadinya tersedak saat makan maupun minum, penyakit ini tidak bisa
menular tapi bisa terjadi pada semua jenis kelamin.
Penyakit akalasia ini lebih menyerang kepada orang sudah usia lanjut
sehingga butuh perawatan khusus karena akan menganggu masa tua, sehingga
dibutuhkan pengetahuan untuk mengobati dan lebih untuk mencegah terjadinya
penyakit ini sejak dini.
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun, hingga
sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu
sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini
sama antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur
pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-

1
9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan
pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.
Oleh karena itu, penyakit ini sangat menarik untuk dibahas karena sangat
dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari kita. Penyakit ini tentu bisa merusak
aspek psikologi dan diperlukan asuhan keperawatan yang holistic dan
pendidikan kesehatan untuk mencegah penyakit ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa defisini dari Akalasia?
2. Bagaimanan manifestasi klinis dari Akalasia ?
3. Apa etilogi dari Akalasia?
4. Bagaimana patofisiologi dari Akalasia ?
5. Bagaimana WOC dari Akalasia?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari Akalasia ?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari Akalasia?
8. Bagaimana asuhan keperawatan dari Akalasia?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari Akalasia
2. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Akalasia
3. Untuk mengetahui etiologi dari Akalasia
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari Akalasia
5. Untuk mengetahui WOC dari Akalasia
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari Akalasia
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari Akalasia
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari Akalasia

2
BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Akalasia dahulu dinamakan kardiospasme, merupakan gangguan
hipomotilitas yang panjang terjadi. Gangguan ini ditandai oleh peristaltic yang
lemah dan tidak teratur, atau aperistalsis korpus eksofagus, kegagalan spingter
esophagus bawah untuk berelaksasi secara sempurna sewaktu menelan.
Akibatnya, makanan dan cairan tertimbun dalam esophagus bagian bawah dan
kemudian dikosongkan dengan lambat bila tekanan hidrostatik meningkat.
Korpus esophagus kehilangan tonusnya dan dapat sangat melebar. (Prince, A.
Sylvia, 1994)
Akalasia adalah kegagalan reaksi serat-serat otot polos saluran cerna pada
persimpangan bagian satu dengan yang lain khususnya kegagalan spingter
esofagogaster untuk mengendur pada waktu menelan akibat denegenasi sel
ganglion pada suatu organ. (kamus saku kedokteran Dorland, 2009)
Akalasia adalah ganguan motilitas yang jarang di mana obstruksi relatif
pada sambungan gastroesofagus menjadi jelek karena adanya gelombang
peristaltik pada esofagus. (Behrman, E. Richard, 1999)
Pada tahun 1672, Sir Thomas Willis mendiskripsikan akalasia, kemudian
pada 1881 Ven Mikuliez mendiskripsikan penyakit seperti spasme jantung dan
memberikan gejala gangguan pada mekanisme menelan. Pada tahun 1929, Hurt
dan Rake menyatakan penyakit ini muncul akibat kelemahan pada sfingter
bawah esophagus (LES) yang kemudian menjadi kegagalan dalam melakukan
relaksasi (Sawyer,2006).
Akalasia adalah suatu gangguan motilitas primer esophagus yang ditandai
oleh kegagalan sfingter esophagus bagian bawah yang hipertonik untuk
berelaksasi pada waktu menelan makanan dan hilangnya peristaltis esophagus.
Kelainan ini menyebabkan obstruksi fungsional dari batas esophagus dan
lambung (Fisichella, 2009).

3
B. MANIFESTASI KLINIS
Ada tanda-tanda utama pada penyakit akalasia, yaitu:
1. Disfagia (sukar menelan)
Klien mengalami disfagia atau sukar menelan baik untuk makanan padat
maupun cair. Sifat pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi selama
bertahun-tahun sebelum diagnosis diketahui secara jelas. Letak obstruksi
biasanya dirasakan pada retrosternal bagian bawah.
2. Regurgitasi
Klien mengalami regurgitasi atau aliran kembali. Hal ini berhubungan
posisi klien (seperti saat berbaring) dan sering terjadi pada malam hari
karena adanya akumulasi makanan pada esofagus yang melebar. Namun,
cari khasnya adalah tidak merasa asam ataupun pahit.
3. Penurunan berat badan
Hal ini disebabkan karena klien takut makan akibat adanya odinofagia
(nyeri menelan). Namun apabila penyakit ini sudah berlangsung lama akan
terjadi kenaikan berat badan karena pelebaran esofagus akibat retansi
makanan dan akan meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan melebihi
tekanan sfingter esofagus bagian bawah (SEB).
4. Gejala yang menyertai gejala utama, seperti nyeri di dada. Gejala ini di
alami sekitar 30% kasus. Sifat nyeri dengan lokasi susternal dan biasanya
di rasakan apabila meminum air dingin. Hal ini akibat komplikasi retensi
makanan dalam bentuk batuk atau pneumonia aspirasi.

C. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Namun, secara
histologik pada penyakit akalasia ditemukan penyebab berupa degenerasi sel
ganglio plexus auerbach di sepanjang esofagus parstorakal yang menyebabkan
control neurologis dan sebagai akibatnya gelombang peristaltik primer tidak
mencapai sfingter esofagus bawah.
Berdasarkan teori, penyebab akalasia antara lain:
1. Teori genetic

4
Akalasia dapat diturunkan berkisar antara 1%-2% dari populasi penderita
akalasia.
2. Teori infeksi
Akalasia disebabkan oleh:
a. Bakteri (diphtheria pertusis, dostridia, tuberculosis, sipilis)
b. Virus (herpes, varicella zooster)
c. Zat toxic (gas kombat)
3. Teori autoimun
Akalasia disebabkan oleh respons inflamasi dalam pleksus mienterikus
esophagus didominasi oleh limposit T yang berperan dalam penyakit
autoimun.
4. Teori degenarative
Akalasia berhubungan dengan proses penuaan dengan status neurologi atau
penyakit psikis seperti Parkinson atau depresi.

D. PATOFISIOLOGI
Banyak faktor yang bisa menyebabkan terserang penyakit akalasia yaitu
diantaranya genetik, faktor usia, autoimun, dan infeksi virus yang
menyebabkan degenerasi saraf yang menimbulkan terjadinya kerusakan kerja
saraf neksus mientrikus pada dua per tiga bagian bawah esophagus. Terjadinya
kerusakan saraf tersebut menyebabkan kerja otot di bagian bawah esophagus
menurun dan terjadi aperistaltik sehingga tekanan di esophagus meningkat. Hal
tersebut menyebabkan sfingter bawah esophagus tidak dapat berelaksasi
sehingga terjadi kesulitan menelan dan makanan tertahan di esophagus.
Selain itu, menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia:
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan
sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya
SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya
hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon gastrin.
Panjang SEB manusia adalah 3-5cm sedangkan tekanan SEB basal normal
rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat sekitar dua kali
lipat atau kurang lebih 50 mmHg. Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan

5
penurunan tekanan sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun
sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk
ke dalam lambung. Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan
minuman di esofagus. Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan
menyebabkan adanya tekanan residual. Bila tekanan hidrostatik disertai
dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual, makanan dapat masuk
kedalam lambung;
2. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan
dilatasi bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus
makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian kearah
motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara
manometrik pada keadaan normal dan akalasia. (Bakry, 2006)

Pada literature lain juga menyebutkan bahwa patofisiologi akalasia, yaitu:


1. Neuropatologi
Beberapa macam kelainan patologi dari akalasia telah banyak
dikemukakan. Beberapa dari perubahan ini mungkin primer (misal:
hilangnya sel-sel ganglion dan inflamasi mienterikus), dimana yang
lainnya (misal: perubahan degeneratif dari n. vagus dan nukleus motoris
dorsalis dari n. vagus, ataupun kelaianan otot dan mukosa) biasanya
merupakan penyebab sekunder dari stasis dan obstruksi esofagus yang
lama.
a. Kelainan pada Innervasi Ekstrinsik
Saraf eferen dari n. vagus, dengan badan-badan selnya di nukleus
motoris dorsalis, menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan
peristaltik yang merupakan respon dari proses menelan. Dengan
mikroskop cahaya, serabut saraf vagus terlihat normal pada pasien
akalasia. Namun demikian, dengan menggunakan mikroskop elektron
ditemukan adanya degenerasi Wallerian dari n. vagus dengan
disintegrasi dari perubahan aksoplasma pada sel-sel Schwann dan
degenarasi dari sehlbung myeh'n, yang merupakan perubahan-
perubahan yang serupa dengan percobaan transeksi saraf.

6
b. Kelainan pada Innervasi Intrinsik
Neuron nitrergik pada pleksus mienterikus menstimulasi inhibisi
disepanjang badan esofagus dan LES yang timbul pada proses
menelan. Inhibisi ini penting untuk menghasilkan peningkatan
kontraksi yang stabil sepanjang esofagus, dimana menghasilkan
gerakan peristaltik dan relaksasi dari LES. Pada akalasia, sistem saraf
inhibitor intrinsik dari esofagus menjadi rusak yang disertai inflamasi
dan hilangnya sel-sel ganglion di sepanjang pleksus mienterikus
Auerbach.
c. Kelainan Otot Polos Esofagus
Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya
menebal pada pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara
mendetail beberapa kelainan otot pada pasien akalasia setelah proses
esofagektomi. Hipertrofi otot muncul pada semua kasus, dan 79% dari
specimen memberikan bukti adanya degenerasi otot yang biasanya
melibatkan fibrosis tapi termasuk juga nekrosis likuefaktif, perubahan
vakuolar, dan kalsifikasi distrofik. Disebutkan juga bahwa perubahan
degeneratif disebabkan oleh otot yang memperbesar suplai darahnya
oleh karena obstruksi yang lama dan dilatasi esofagus. Kemungkinan
lain menyebutkan bahwa hipertrofi otot merupakan reaksi dari
hilangnya persarafan.
d. Kelainan pada Mukosa Esofagus
Kelainan mukosa, di perkirakan akibat sekunder dari statis luminal
kronik yang telah digambarkan pada akalasia. Pada semua kasus,
mukosa skuamosa dari penderita akalasia menandakan hiperplasia
dengan papillamatosis dan hiperplasia sel basal. Rangkaian p53 pada
mukosa skuamosa dan sel CD3+ selalu melebihi sel CD20+, situasi ini
signifikan dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan berhubungan
dengan tingginya resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien akalasia.
e. Kelainan Otot Skelet
Fungsi otot skelet pada proksimal esofagus dan spingter esofagus atas
terganggu pada pasien akalasia. Meskipun peristaltik pada otot skelet

7
normal tetapi amplitude kontraksi peristaltik mengecil. Massey dkk.
juga melaporkan bahwa refleks sendawa juga terganggu. Ini
menyebabkan esofagus berdilatasi secara masif dan obstruksi jalan
napas akut.
2. Kelainan Neurofisiologik
Pada esofagus yang sehat, neuron kolinergik eksftatori melepaskan
asetilkolin menyebabkan kontraksi otot dan meningkatkan tonus LES,
dimana inhibisi neuron NO/VIP memediasi inhibisi sehingga mengbambat
respon menelan sepanjang esofagus, yang menghasilkan gerakan peristaltik
dan relaksasi LES. Kunci kelainan dari akalasia adalah kerusakan dari
neuron inhibitor postganglionik dari otot sikuler LES.

8
E. WOC

9
10
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologik sangat membantu dalam penegakan diagnosis
pada suatu penyakit, ini harus dikorelasikan dengan temuan klinis dan
riwayat penyakitnya. Pada foto polos toraks pasien achalasia tidak
menampakkan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari
gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah
posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium dengan
pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal
esophagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran
penyempitan di bagian distal esophagus atau esophagogastric jungtion yang
menyerupai seperti bird-beak like appearance.
Rontgenogram thorax bisa menunjukkan pelebaran mediastinum akibat
esophagus yang berilatasi mengandung batas udara-cairan. Tanda aspirasi
paru menahun bisa terlihat. Evaluasi cinefluoroscopic esophagus akan
menunjukkan tiga stadium:
a. Stadium 1 atau akalsia ringan, memperlihatkan tidak ada atau sedikit
dilatasi dengan retensi minimum materi kontraks proksimal terhadap
sphingter esophagus bawah. Kontraksi giat esophagus dapat terlihat
dalam stadium ini dan mungkin sulit dibedakan dari spasme esophagus
difus.
b. Stadium 2, memperlihatkan lebih banyak dilatasi dengan kontraksi
nonperistaltik yang lemah dan sambungan esophagogaster meruncing,
yang menggambarkan sphingter distal tidak relaksasi atau tertutup rapat.
c. Stadium 3, memperlihatkan esophagus sangat besar dengan retensi
makanan dan sering penampilan seperti sigmoidcum.
2. Pemeriksaan esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua
pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu menentukan adanya
esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari
obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada
pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal

11
yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal
dari daerah penyempitan, mukosa esophagus berwarna pucat, edema dan
kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi makanan.
Sfingter esophagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan
pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah.
3. Pemeriksaan manometrik
Guananya untuk memulai fungsi motorik esofagus dengan melakukan
pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini
untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara-kuantitatif dan kualitatif.
Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan
manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah
fungsi motorik badan esofagus dang sfingter esofagus bawah. Pada badan
esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter
esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme
relaksasinya.
Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat bada esofagus
meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai
reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau
meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan.
4. Menelan barium atau esofagogastroduodenoskopi (EGD); pemantauan pH
esofagus atau manometer.
Pemeriksaan radiologis barilium biasa dikombinasikan dengan
pemeriksaan dianostic lambung dan deudenum (rangkaian pemerikaan
radiologi gasyrointestinal bagian atas menggunakan barium sulfat)
menggunakan barium sulfat dalam cairan atau supens kri yang ditelan.
Mekanisme menelan dapat dilihat secara langsung dengan pemeriksaan
fluruskopi atau penekanan gambar radiografik. Bila di curigai terdapat
kelainan esophagus ahli radiologi dapat meletakan penderita di berbagai
posisi.
5. Pemeriksaan motilitas
Berfungsi memeriksa bagian motorik esophagus dengan menggunakan
kateter peka tekanan atau balon mini mg diletakan dalam lambung dan

12
kemudian akan naikkan kembali. Tekanan kemudian ditransmisi ke
transduser yang diletakan di luar tubuh penderita, perubahan pengukuran
tekanan esofagus dan lambung sangat menambah pengertian aktivitas
esofagus pada keadaan sehat atau sakit saat istirahat dan selama menelan.

G. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
a. Obat antagonis kalsium, nefodipin 10-20 mg peroral dapat menurunkan
tekanan SEB pasien dengan akalasia ringan sampai sedang. Hasil
pengobatan ini didapatkan perbaikan gejala klinis pasien sampai 18 bulan
bila di bandingkan dengan placcbo. Pemakaian praparat nifedipin
subingual, 15-330 menit sebelum makan tapi menghasikan hasil yang
baik.
b. Amilnitrit dapat di gunakan pada waktu pemeriksaan esofagrogram yang
akan berakibat relaksasi pada daerah kardia.
c. Isosorbit dinitrat dapat menurunkan tekanan sfingter esopagus bagian
bawah dan meningkatkan pengosongan esopagus.
2. Injeksi botolinum toksin
Suatu injeksi botolinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetikolin pada bagian sfingter esofagus bawah,
yang kemudian akan mengembalikan keseimbangaan antara neuro
transmiter eksitasi dan innhibisi. Dengan mengunakan endoskopi, toksin
diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasuk kan kealam
dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45o, dimana jarum dimasukkan
sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamoco juntion.
Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas proksimal dari sfingter
esofasus bawah dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam
sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi
dalam 20-25 unit/ Ml untuk diijeksikan pada setiap kuadran dari sfingter
esophagus bawah.
3. Dilatasi SEB

13
Dengan cara sederhana menggunakan businasi hurst yang terbuat dari
bahan karet yang berisi air raksa dalam ukuran F (French) mempunyai 4
jenis ukuran. Prinsip kerjanya berdasarkan gaya berat yang dipakai
dariukuran terkecil sampai terbesar secara periodik. Keberhasilan businasi
ini hanya pada 50% tanpa kambuh, 30% sedang dan terjadi kambuh
sedangkan 15% gagal.
Dengan menggunakan dilatasi pneumatik. Dilatasi ini dapat dilakukan
dengan cara memasukkan tabung yang berisi air raksa yang disebut bougie
atau lazim disebut dengan kantong pneumatic yang diletakan di daerah
sfingter esophagus bagian bawah, ditiup kuat.
Pasien harus dipuaskan dulu selama 12 jam dan dilakukan pemasangan
dengan panduan fluoroskopi. Posisi balon harus berada di atas hiatus
diafragnatika dan setengah lagi dalam gaster. Balon dikembangkan secara
maksimal dan secepat mungkin agar perengangan SEB seoptimal mungkin,
selama 60 detik setelah itu dikempiskan. Untuk satu kali pengobatan,
pengembangan valon tidak melebihi dua kali.
Tanda-tanda pengobatannerhasil bila pasien merasa nyeri bila balon ditup
dan segera menghilang jika balon dikempiskan. Bila nyeri menetap,
kemungkinan terjadi perforasi.
4. Miotomy heller
Pembelahan serabut-serabut otot perbatasan esophagus-lambung. Operasi
ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) sfingter esophagus
bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2cm), yang diikuti oleh
partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah
sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktifitassehari-hari setelah kira-kira
2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala
sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks post operatif adalah antara
10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan umah
sakit yng tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini
dianggap sebagai terapi utama dalam penangganan akalasie esophagus.

14
Pioroplasti (pelebaran pintu keluar lambung) sering dilakukan bersamaan
agar dapat mengosongkan isis lambung dengan cepat dan mencegah refluks
ke dalan esophagus.

15
BAB III

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PENCERNAAN

Pemeriksaan yang dialakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kelaina


organ/sistem dalam bagian perut. Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan dengan 4
(empat) tehnik/cara yaitu:
A. Inspeksi
Dilakukan untuk mengetahui kesimetrisan dinding perut saat respirasi,
mengkaji tanda luka, umbilical, kulit dinding perut.
Abdomen dibagi dalam 4 kwadran yaitu:
1. Kwadran I (kanan atas)
2. Kwadran II (kanan bawah)
3. Kwadran III (kiri atas)
4. Kwadran IV (kiri bawah)

16
dengan sembilan bagian yaitu :

1. Epigastrik
2. Umbilical
3. Hipogastrik
4. Hipokondrial kanan
5. Hipokondrial kiri
6. Lumbal kanan
7. Lumbal kiri
8. Inguinal kanan
9. Inguinal kiri

B. Auskultasi
1. Untuk memperkirakan gerakan usus dan kemungkinan adanya gangguan
vascular.
2. Dilakukan sebelum perkusi dan palpasi karena dapat mempegaruhi kualitas
dan kuantitas bising usus.
3. Auskultasi dapat dilakukan dengan meletakkan diafragma stetoskop pada
semua kwadran atau salah satu kwadran.

C. Perkusi
1. Untuk memperkirakan ukuran hepar, adanya udara pada lambung dan usus
(timpani atau redup)

17
2. Untuk mendengarkan atau mendeteksi adanya gas, cairan atau massa dalam
perut.
3. Bunyi perkusi pada perut yang normal adalah timpani, tetapi bunyi ini dapat
berubah pada keadaan-keadaan tertentu misalnya apabila hepar dan limpa
membesar, maka bunyi perkusi akan menjadi redup, khususnya perkusi di
daerah bawah arkus kosta kanan dan kiri.

D. Palpasi
1. Palpasi merupakan metode yang dilakukan paling akhir pada pengkajian
perut.
2. Palpasi dapat dilakukan secara palapsi ringan atau palpasi dalam tergantung
pada tujuannya.
3. Palpasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk, ukuran, dan
konsistensi organ-organ dan struktur-struktur dalam perut (intra abdominal).
4. Palpasi ringan dilakukan untuk mengetahui area-area nyeri tekan, nyeri
superficial, dan adanya massa.
5. Palpasi dalam dilakukan untuk mengetahui keadaan hepar, lien, ginjal, dan
kandung kemih.

18
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Anamnesa
a. Identitas klien
Penyakit akalasia lebih sering pada orang dewasa pada usia (25-60 tahun)
b. Riwayat penyakit
Keluhan utama: pasien sering mengeluhkan disfagia, anoreksia, dan
penurunan berat badan.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit percernaan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Head to toe:
1) Kepala dan Leher
Biasanya hygiene kepela tetap terjaga dan pada leher biasanya tidak
terdapat pembesaran kelenjar getah bening.
2) Mata
Biasanya konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik dan palpebra
tidak oedema.
3) Hidung
Biasanya tidak ditemukan kelainan.
4) Mulut
Biasanya kebersihan mulut dan gigi tetap terjaga dan mukosa bibir
kering.
5) Telinga
Bisanya tidak ditemukan kelainan.
6) Dada/Thorax
Paru-paru

I : biasanya simetris kiri-kanan

19
P : biasanya fremitus kiri-kanan
P : biasanya sonor
A : biasanya vesikuler, ronchi tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
I : biasanya Ictus tidak terlihat
P : biasanya Ictus teraba (normal)
P : biasanya jantung dalam batas-batas normal
A : biasanya irama teratur
7) Abdomen
I : biasanya tidak asites, cekung
P : biasanya hepar dan lien tidak teraba
P : biasanya hipertimpani
A : terjadi hiperperistaltik
8) Genitourinaria
Biasanya tidak ada kelainan dan keluhan.
9) Ekstremitas
Biasanya tidak ada oedema.
b. Aktivitas Sehari-hari:
1) Nutrisi
Anoreksia, mual, muntah, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
2) Istirahat/tidur
Rasa lemah, cepat lelah, aktivitas berat timbul sesak nafas, sulit tidur.
3) Eliminasi
Biasanya klien tidak mengalami gangguan.
4) Personal hygiene
Biasanya kebersihan klien tetap terjaga.

B. DIAGNOSA
1. Resiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
kurangnya makanan yang adekuat.
2. Nyeri b.d iritasi mukosa esophagus, respon pembedahan.

20
3. Resiko injuri b.d pascaprosedur pneumatic dilatation, bedah hellers
dilatation, gastrotomi.
4. Resiko tinggi infeksi b.d adanya port de entre luka paskaoperasi.
5. Kecemasan b.d prognosis penyakit, rencana pembedahan.

C. PERENCANAAN

1. Resiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d


kurangnya makanan yang adekuat
Tujuan: pada periode praoperasi dan setelah 7x24 jam pascaoperasi
intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan
Kriteria hasil :
a. Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat
b. Terjadi penurunan gejala refluks esophagus, meliputi :odinofagia
berkurang, pirosis berkurang, RR dalam batas normal 12-20x /menit
c. Berat badan pada hari ke 7 pascaoperasi meningkat 0,5 kg

Intervensi Rasional
Intervensi pembedahan :
1. Anjurkan pasien makan dengan 1. Makanan dapat dengan mudah
perlahan dan mengunyah makanan ke lambung
dengan seksama 2. Beberapa pasien mungkin
2. Evaluasi adanya alergi makanan mengalami alergi terhadap
dan kontraindikasi makanan beberapa komponen makanan
3. Pantau intake dan output, anjurkan tertentu dan beberapa penyakit
untuk timbang berat badan secara lain, seperti diabetes mellitus,
periodic (sekali seminggu) hipertensi, gout, dan lainnya
4. Kolaborasi pemberian penyekat sehingga memberikan
saluran kalsium (calcium channel manisfetasi terhadap pesiapan
blockers) dan ntrat komposisi makanan yang akan
5. Kolaborasi pemberian injeksi agen diberikan
penghambat neuromuscular 3. Berguna daalam mengukur

21
(neuromuscular blocker agents) keefektifan nutrisi dan
jenis botulinum toxin A dukungan cairan
4. Penyekat saluran kalsium dan
nitrat digunakan untuk
menurunkan tekanan esophagus
dan memperbaiki menelan. Bla
metode ini tidak berhasil,
dilatasi pneumatic (kuat) atau
pemisahan serat otot melalui
pembedahan dapat dianjurkan
5. Batillinum toxin tipe A
diproduksi dari clostridium
batullinum dan memberikan
respon batulisme pada manusia
dengan memengaruhi denervasi
(melemahkan) jaringan otot
melalui peningkatan menetap
pada ujung presinaps saraf dan
menghambat pelepasan
asetikolin. Dengan adanya
intervensi pemberian medical
ini diharapkan terjadi
peningkatan kemauan menelan.
Intervensi pasca-bedah dilatasi 1. Dalam waktu 24 jam pasien
pneumatic: dievaluasi atas keberhasilan
1. Batasi intake oral selama 24 jam intervensi. Pasien mendapat
setelah intervensi nutrisi dengan cara intravena
dan peran perawat
mrndokumentasikan jumlah dan
jenis nutrisi yang masuk dan
jumlah yang keluar.
Pemasangan selang nasogastrik

22
dilakukan sebelum intervensi
dan perawat melakukan
pemantauan setiap 4 jam dari
pengeluaran pada selang
nasogastrik. Setelah 24 jam
pasien mendapat diet cair
melewati selang nasogastrik
selama 48 jam dan dipantau
adanya kondisi refluks
gastroesofageal. Pada fase
selanjutnya nutrisi pasien
disesuaikan dengan tingkat
toleransi individu.
Intervensi pasca-bedah hellers
dilatation :
1. Batasi itake oral selama 24-48 jam 1. Dalam waktu 24 jam pasien
setelah pembedahan, bila tidak ada dievaluasi atas keberhasilan
gejala kebocoran, diet diberikan pembedahan. Intake oral yang
sesuai tingkat toleransi diberikan sebelum 48 jam akan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi mengganggu evaluasi adanya
tentang jenis dan komposisi diet kebocoran pada insisi
pascaoperasi yang akan
meningkatkan resiko sepsis
yang berbahaya.
Pasien mendapat nutrisi dengan
cara intravena dan peran
perawat mendokumentasikan
jumlah dan jenis nutrisi yang
masuk dan jumlah yang keluar.
Pemasangan seleng nasogastrik
dilakukan sebelum pembedahan
dan dipertahankan pada saat

23
pascaoperasi. Apabila tidak ada
gejala kebocoran pasc-bedah,
pemberian diet cair melewati
selang nasogastrik dilakukan.
2. Komposisi dan jenis diet
diberikan sesuai tingkat
toleransi individu
Intervensi pascaoperasi gastrotomi : 1. Cairan mengandung nutrisi
1. Beri cairan via selang, segera pertama kali diberikan segera
setelah pembedahan setelah pembedahan dan
2. Lakukan asprasi lambung biasanya mengandung air
3. Beri makanan halus atau makanan hangat dan glukosa 10%. Pada
cair secara bertahap dan dicampur awalnya hanya 30 sampai 60 ml
dengan air (1 sampai 2 ons)diberikan
4. Atur posisi duduk dan lakukan sekaligus, tetapi secara bertahap
optimalisasi gravitasi pada saat jmlahnya ditambah. Pada hari
memberikan makanan cair kedua, dari 180-240ml (6-8 ons)
dapat diberikan sekaligus,
diberikan sesuai toleransi dan
tidak terjadi kebocoran cairan
diselang (Smeltzer, 2002)
2. Pada priode awal pascaoperasi
perawat mengaspirasi sekresi
lambung dan memasukkannya
kembali setelah makanan
ditambahkan untuk memberikan
volume tota yang diinginkan.
Dengan metode ini, dilatasi
lambung dapat dihindari
3. Makanan halus secara bertahap
dicampur dengan cairan jernih
sampai diet penuh tercapai.

24
Makanan halus dapat memenuhi
diet normal, yang dapat
dimakan melalui selang. Pasien
yang khusus menerima
makanan yang diblender
melalui selang tidak dipaksa
untuk mengikuti pola diet
normal, yang secara psikologis
lebih dapat diterima. Selain itu,
fungsi defekasi normal
ditingkatkan melalui kandungan
serat dan residu yang serupa
pada diet normal. Masukan
susus dihindari pada pasien
dengan defisiensi lakosa
4. Menigkatkan efektivitas asupan
nutrisi dan meningkatkan
penerimaan dari lambung
Timbang berat badan dan catat Intervensi untuk evaluasi terhadap
penambahannya intervensi keperawatanyang telah
diberikan

2. Nyeri b.d iritasi mukosa esophagus, respon pembedahan


Tujuan: dalam waktu 1x 24 jam respon pascaoperasi dan tingkat nyeri
berkurang dan teradaptasi
Criteria hasil :
d. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau teradaptasi
e. Pasien mampu melakukan manajemen nyeri nonfarmakologik apabila
sensasi nyeri muncul
f. TTV dalam batas normal
g. Skala nyeri 0-1 (0-4)
h. Ekspresi pasien rilaksdan mampu melakukan mobilitas ringan

25
dengan nyeri yang terkontrol

Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
nonfarmakologi dan noninvasif telah menunjukan keefektifan dalam
mengurangi nyeri
Lakukan manajemen nyeri
keperawatan:
1. Istirahatkan pasien pada saat 1. Istirahat secara fisiologis akan
nyeri muncul menurunkan kebutuhan oksigen
2. Monitor kondisi kepatenan yang diperlukan untuk memenuhi
selang gastronomi, adanya kebutuhan metabolisme basal
komplikasi bedah seperto 2. Adanya gangguan pada kepatenan
refluks, esophageal, perforasi, dari selang dan komplikasi
dan ifeksi luka gastronomi pascaoperasi akan memberikan
3. Ajarkan teknik relaksasi stimulus nyeri yang perlu perawat
pernafasan dalam pada sat perhatikan. Perawat mengkaji
nyeri muncul ulang respon yang bisa
4. Ajarkan teknik distraksi pada menimbulkan rasa nyeri pada
saat nyeri pasien merupakan tanda yang lebih
5. Bantu menyangga sekitar luka berbahaya agar bisa secepatnya
pasien pada saat latihan batuk melakukan kolaborasi dengan tim
efektif atau ajarkan medis untuk intervensi selanjutnya
menggunakan bantal apabila 3. Meningkatkan intake oksigen
pasien akan batuk sehingga akan menurunkan nyeri
6. Manajemen lingkungan: sekunder dari iskemia intestinal
lingkungan tenang, batasi 4. Distraksi (pengalihan perhatian)
pengunjung, dan istirahatkan dapat menurunkan stimulus
pasien perhatian
7. Lakukan manajemen sentuhan 5. Menurunkan tarikan pada kulit
akubat peningkatan dari

26
intraabdomen sekunder dari batuk
akan menurunkan stimulus nyeri
dan pasien mendapat dukungan,
serta kepercayaan diri untuk
melakukan pernafasan diafragma
karena pada kodisi klinik sebagian
besar pasien pascaoperasi takut
untuk melakukan latihan
pernafasan diafragma dan batuk
efektif
6. Lingkungan tenang akan
menurunkan stimulus yang
eksternal dan pembatasan
pengunjung akan membantu
meningkatkan kondisi oksigen
ruangan yang akan berkurang
apabila banyak pengunjung yang
berada di ruangan. Istirahat akan
menurunkan kebutuhan oksigen
jaringan perifer
7. Manajemen sentuhan pada saat
nyeri berupa sentuhan dukungan
psikologis dapat membantu
menurunkan nyeri
Tingkatkan pengetahuan tentang : Pengetahuan yang akan dirasakan akan
sebab-sebab nyeri dan membantu mengurangi nyerinya dan
menghubungkan berapa lama dapat membantu mengembangkan
nyeri akan berlangsung kepatuhan pasien terhadap rencana
terapiutik
Kolaborasi dengan tim medis Analgesic diberikan untuk menbantu
untuk pemberian : menghambat stimulis nyeri ke pusat
analgesik persepsi nyeri di korteks serebri

27
sehingga ngyeri dapat berkurang

3. Resiko injuri b.d pascaprosedur pneumatic dilatation, bedah hellers


dilatation, gastrotomi
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam pasca intervensi dilatasi pneumatic,
bedah hellers dilatation dan gastrotomi, pasien tidak mengalami injuri
Kriteria hasil :
a. TTV dalam batas normal
b. Kondisi kepatenan selang nutrisi optimal
c. Tidak terjadi perforasi, infeksi pada insisigastrotomi, apabila
didapatkan dapat dilatasi dengan berkolaborasi dengan tim medis.
Intervensi Rasional
Intervensi pasca intervensi dilastasi 1. Akalasia dapat diobati secara
pneumatic: konservatif dengan
1. Monitor kondisi gastrointestinal meregangkan area esophagus
2. Laporkan pada ahli yang menyempit disertai
gastroenterology apabila didapatkan dilatasi pneumatic. Perforasi
ada gejala perforasi adalah komplikasi resiko yang
menyebabkan gangguan fungsi
gastrointestinal, jadi harus
dikaji oleh perawat pasca
dilatasi pneumatic, meliputi
adanya perubahan TTV, nyeri
tekan abdomen, dan
hipertermi.
2. Angka terjadinya perforasi
pada intervensi dilatasi
pneumatic, berkisar 5%
(fisichella,2008) sehingga
diperlukan tindakan kolaborasi
dengan deteksi awal untuk

28
mencegah kondisi sepsis yang
menbahayakan.
Intervensi pasca-bedah Hellers
dilatation:
1. Monitor adanya tanda-tanda refluks 1. Angka terjadinya refluks
esophageal dan laporkan pada tim esophageal pada pascaoperasi
medis. miotomi Heller bekisar 10-
15%, maka peran perawat
sangat penting dalam
melakukan monitoring. Tanda
penting refluks, meliputi nyer
tekan ada abdomen dan nyeri
pada dada.
Intervensi pascaoperasi gastrotomi :
1. Kaji kondisi selang gastrotomi dan 1. Selang gastrotomi merupakan
laporkan pada ahli bedah apabila benda asing yang oleh tubuh
ditemukan tanda-tanda infeksi pada harus disingkirkan. Adanya
area insersi respon peradangan lokal akan
2. Fiksasi selang pada abdomen mengganggu kondisi selang
dengan plester dan memerlukan intervensi
3. Libatkan keluarga dalam dari ahli bedah
memonitori kondisi seitar 2. Selang dapat dipertahankan
gastrotomi dengan plester tipis yang
4. Kaji adanya perdarahan diputar melingkari selang dan
gastrointestinal kemudian dengan kuat
dilekatkan pada abdomen. Plug
kateter atau ujung karet
hemostat dapat menutup
lubang keluar dari selang,
segera setelah pemberian
makan untuk mencegah
kebocoran. Balutan kecil dapat

29
diletakkan di atas jalan keluar
selang; selang dapat
dilengkungkan dan diikatkan
pada tempatnya dengan
balutan Montgomery atau
pengikat abdomen kuat.
Tindakan ini melindungi kulit
sekitar insisi dan rembesan
asam lambung dan tumpahan
makanan. Oleh karena itu,
balutan diganti setiap 2 sampai
3 hari dan pasien diajarkan
bagaimana melakukan
aktivitas perawatan balutan
3. Kulit sekitar gastrotomi
melakukan perawatan khusus
karena dapat teriritasi sebagai
akibat kerja enzim dari getah
lambung yang bocor di sekitar
selang. Bila tidak diatasi, kulit
menjadi maserasi, merah,
lecet, dan nyeri. Pasien dan
anggota keluarga harus
dianjurkan untuk berpartisipasi
dalam inspeksi dan aktivitas
hygiene ini. Bila masalah kulit
terjadi, perawat akan
konsultasi dengan ahli terapi
enterostomal.
4. Perdarahan gastrointestinal
dari sisi fungsi pada lambung
dapat juga terjadi. Tanda-tanda

30
vital pasien dipantau dengan
cermat dan semua drainase
dari sisi operatif, muntah, dan
feses diobservasi terhadap
adanya perdarahan. Adanya
tanda-tanda perdarahan
dilaporkan dengan segera.

4. Resiko tinggi infeksi b.d adanya port de entrae dari luka pembedahan
Tujuan: Dalam waktu 12x24 jam tidak terjadi infeksi; terjadi perbaikan
pada integritas jaringan lunak
Kriteria hasil:
Jahitan diepas pada hari ke-12 tanpa adanya tanda-tanda infeksi dan
peradangan pada area luka pembedahan, leukosit dalam batas normal,
TTV dalam batas normal.

Intervensi Rasional
Kaji jenis pembedahan, hari Mengidentifikasi kemajuan atau
pembedahan, dan apakah ada order penyimpangan dari tujuan yang
khusus dari tim dokter bedah dalam diharapkan.
melakukan perawatan luka.
Lakukan perawatan luka:
a. Lakukan perawatan luka steril pada Perawatan luka sebaiknya tidak
hari ke-3 operasi dan diulang setiap setiap hari dengan tujuan
2 hari sekali. menurunkan kontak tindakan
dengan luka yang dalam kondisi
steril sehingga mencegah
kontaminasi kuman ke luka bedah.

b. Bersihkan luka dan drainanse Pembersihan debris (sisa


dengan cairan antiseptic jenis fagositosis, jaringan mati) dan
iodine providum dengan cara kuman sekitar luka dengan

31
swabbing dari arah dalam ke luar. mengoptimalkan kelebihan dari
iodine providum sebagai antiseptic
dan dengan arah dari dalam ke luar
dapat mencegah kontaminasi
kuman ke jaringan luka.

c. Bersihkan bekas sisa iodine Antiseptic iodine providum


providum dengan alcohol 70% atau mempunyai kelemahan dalam
normal salin dengan cara swabbing menurunkan proses epitelisasi
dari arah dalam ke luar. jaringan sehingga memperlambat
pertumbuhan luka, maka harus
dibersihkan dengan alcohol atau
normal salin.

d. Tutup luka dan penampang Penutupan secara menyeluruh


eksternal dengan kasa steril dan dapat menghindari kontaminasi
tutup dengan plester adhesive yang dari benda atau udara yang
menyeluruh menutupi kasa. bersentuhan dengan luka benda.
Kaji kondisi selang gastrotomi dan Selang gastrotomi merupakan
laporkan pada ahli bedah apabila benda asing yang harus
ditemukan tanda-tanda infeksi pada disingkirkan oleh tubuh. Adanya
sekitar area insersi. respons peradangan local akan
menganggu kondisi selang dan
memerlukan intervensi dari ahli
bedah.
Kolaborasi penggunaan antibiotic. Atibiotik injeksi diberikan selama
tiga hari pascabedah yang
kemudian dilanjutkan antibiotic
oral sampai jahitan dilepas. Peran
perawat mengkaji adanya reaksi
dan riwayat alergi antibiotic, serta
memberikan antibiotic sesuai

32
pesanan dokter

5. Kecemasan b.d. prognosis penyakit, miskintransportasi informasi


Tujuan:
Dalam waktu 1x24 jam pasien secara subjektif melaporkan rasa cemas
berkurang.
Kriteria hasil:
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaannya kepada perawat.
b. Pasien dapat mendemostrasikan keterampilan pemecahan
masalahnya dan perubahan koping yang digunakan sesuai situasi
yang dihadapi.
c. Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah
standar; pasien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik.
Intervensi Rasional
Anjurkan pasien dan keluarga untuk Memberikan kesempatan untuk
mengungkapkan dan berkonsentrasi, kejelasan dari rasa
mengekspresikan rasa takutnya. takut, dan mengurangi cemas yang
berlebihan.
Cata reaksi dari pasien/keluarga. Anggota keluarga dengan responsnya
Berikan kesempatan untuk pada apa yang terjadi dan
mendiskusikan kecemasannya dapat disampaikan
perasaannya/konsentrasinya, dan kepada pasien.
harapan masa depan.

D. EVALUASI
1. Gangguan nutrisi teratasi
2. Nyeri teratasi
3. Resiko injuri pascaoperasi teratasi
4. Infeksi teratasi
5. Kecemasan teratasi

33
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Akalasia dahulu dinamakan kardiospasme, merupakan gangguan
hipomotilitas yang panjang terjadi. Gangguan ini ditandai oleh peristaltic yang
lemah dan tidak teratur, atau aperistalsis korpus eksofagus, kegagalan spingter
esophagus bawah untuk berelaksasi secara sempurna sewaktu menelan.
Akibatnya, makanan dan cairan tertimbun dalam esophagus bagian bawah dan
kemudian dikosongkan dengan lambat bila tekanan hidrostatik meningkat.
Korpus esophagus kehilangan tonusnya dan dapat sangat melebar. (Prince, A.
Sylvia, 1994)
Akalasia adalah kegagalan reaksi serat-serat otot polos saluran cerna pada
persimpangan bagian satu dengan yang lain khususnya kegagalan spingter
esofagogaster untuk mengendur pada waktu menelan akibat denegenasi sel
ganglion pada suatu organ. (kamus saku kedokteran Dorland, 2009)

B. SARAN
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai
kelompok mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman-
teman sesama mahasiswa. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembacanya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC


Robbins & Contran, et all. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta:
EGC
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Price, A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta. EGC
https://ipasmp2bbs.files.wordpress.com/2011/07/52391311-makalah-
akalasia.pdf

35

Anda mungkin juga menyukai